BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan di sebuah Negara, manusia merupakan organ terpenting yang harus ada. Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam melaksanakan seluruh aktivitasnya membutuhkan manusia lain untuk saling tolong menolong. Begitu pula di dalam sebuah Negara, manusia saling bahu membahu untuk menopang jalannya suatu pemerintahan di dalam Negara agar terwujud suatu Negara yang sejahtera dan mampu mensejahterakan rakyatnya. Manusia terlibat langsung dalam perannya, baik menjabat sebagai Badan Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Pegawai Negeri yang mengabdi dan bertugas untuk menjaga arah dan keberlangsungan Negara atau sebagai Pegawai Swasta yang menjalankan perannya dalam sektor ekonomi dan/atau sebagai rakyat biasa yang bertugas mengontrol jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh para pejabat Negara. Namun ditengah perbedaan tugas masing-masing manusia tersebut, semua memiliki suatu kewajiban yang sama sebagai warga Negara yaitu membayar pajak. Seperti yang diketahui bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam
2
bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan maupun kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”.1 Dari uraian diatas, tampak bahwa karena kepentingan rakyat, Negara memerlukan dana untuk kepentingan tersebut. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak. Pemungutan pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan agar setiap pajak yang akan dipungut haruslah berdasarkan undang-undang. Berdasarkan hasil amandemen UUD 1945, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 23A yang selengkapnya berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang”. Pemungutan pajak yang harus berlandaskan undang-undang ini berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang biasa disebut “berasaskan yuridis”. Dengan asas
1
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton; Hukum Pajak Edisi 4; Penerbit Salemba Empat; Jakarta; 2008, hlm 5
3
ini berarti pemerintah telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut pajak.2 Tidak dapat dipungkiri bahwa pajak merupakan suatu alat yang menopang jalannya perekonomian di Negara Indonesia ini. Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping dari penerimaan lainnya. Dalam posisinya yang sangat strategis maka pajak harus dikelola dengan baik oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sesuai dengan struktur keuangan Negara. Pemerintah Negara Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan Negara. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah antara lain adalah dengan merevisi berbagai macam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pajak, serta membentuk peraturan-peraturan perpajakan yang baru agar semakin konstektual dengan perkembangan jaman. Seiring berkembangya suatu Negara, maka semakin berkembang pula ekonomi masyarakat dari Negara itu sendiri. Perkembangan ekonomi tersebut menjadikan masyarakat memiliki penghasilan yang meningkat pula, oleh karena hal tersebut perkembangan juga terjadi di sektor penerimaan Negara dari pajak. Dengan meningkatnya penghasilan, maka muncullah orang-orang baru yang telah memenuhi ketentuan sebagai Subjek Pajak, yang seharusnya memiliki kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Meningkatnya penghasilan ini juga memberikan dampak yang baik bagi pendapatan Negara 2
ibid
4
khususnya dari sektor pajak. Semakin besar penghasilan seseorang, maka semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Seiring dengan bertambahnya penghasilan masyarakat ternyata tidak serta merta berujung baik terhadap realita penerimaan Negara dari sektor pajak. Target penerimaan yang diusung oleh DJP pada tahun 2014 tidak dapat terpenuhi. Shortfall (selisih antara target dan realisasi penerimaan) pajak yang begitu besar terjadi pada tahun 2014, DJP hanya mampu mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp 981,9 triliun atau 91 persen dari target Rp 1.072 triliun, dengan kata lain terjadi Shortfall pajak sebesar 90 triliun. Penyumbang Shortfall tersebut adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 70,9 triliun dengan hanya membukukan penerimaan Rp 404,7 triliun atau 85,1 persen dari target Rp 475,6 triliun dan Pajak Penghasilan (PPh) non-migas sebesar Rp 55,9 triliun dengan pencapaian sebesar Rp 460,1 triliun atau 94,7 persen dari target Rp 486 triliun.3 Salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, menaikkan pendapatan dari sektor pajak dan menekan shortfall pajak adalah dengan mengeluarkan kebijakan berupa Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak, yang mana kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015. Alasan 3
Elisa Valenta Sari, “Penerimaan Pajak 2014 Meleset Rp 90 Triliun”, http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150105184140-78-22529/penerimaan-pajak-2014-melesetrp-90-triliun/ diakses pada 30 Agustus 2015
5
dikeluarkannya kebijakan ini adalah karena pada tahun 2015 ini disebut sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak, sehingga setelah lewat tahun pembinaan ini direncanakan akan dilakukan program penegakkan hukum yang lebih keras. Tujuan dikeluarkannya PMK Nomor 91/PMK.03/2015 adalah bahwa dalam rangka melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak dan untuk mendorong Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan, membayar atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak dalam Surat Pemberitahuan, serta melaksanakan pembetulan Surat Pemberitahuan di tahun 2015 sebagai upaya untuk mengingkatkan penerimaan Negara dan membangun basis perpajakan yang kuat, diperlukan adanya instrumen kebijakan di bidang perpajakan. Dasar hukum Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi adalah Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, yang secara lengkap berbunyi : Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
6
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau 2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP menyebutkan “karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”. Ini adalah alasan dikurangkan atau dihapuskannya sanksi administrasi, dengan alasan inilah DJP dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi. Ruang lingkup kekhilafan atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak yaitu: 1. keterlambatan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; 2. keterlambatan
pembayaran
atau
penyetoran
atas
kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya; 3. keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; dan/atau 4. pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, yang dilakukan pada tahun 2015.4 4
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015
7
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 hanya mencakup sanksi administrasi yang timbul sebagai akibat dari pembetulan, pembayaran, dan/atau pelaporan dilakukan Wajib Pajak di tahun 2015. Pembetulan, pembayaran, dan/atau pelaporan tersebut dibatasi atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa Desember 2014 dan sebelumnya.5 Apabila Wajib Pajak belum pernah membayar pajak yang terutang dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar, maka Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dan melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa Desember 2014 dan sebelumnya di tahun 2015, sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak akan diberikan pengurangan atau penghapusan. Apabila Wajib Pajak merasa bahwa pembayaran pajak yang terutang dan pelaporannya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa Desember 2014 dan sebelumnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya maka apabila Wajib Pajak melakukan pembayaran atas kekurangan pembayaran pajaknya dan membetulkan SPTnya di tahun 2015, sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak akan diberikan penghapusan.
5
Incuna Surawijaya, " Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Tahun 2015", http://pajaktaxes.blogspot.com/2015/05/pengurangan-atau-penghapusan-sanksi.html diakses pada 30 Agustus 2015
8
Dikeluarkannya peraturan tersebut juga berpotensi menimbulkan kerugian Negara. Hal ini disebabkan karena hilangnya potensi pemasukkan Negara dari penerimaan berupa sanksi administrasi pajak yang seharusnya diterima oleh Negara.
Diterapkannya
PMK
Nomor
91/PMK.03/2015,
memberikan
kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang. Apabila dilihat dari fungsi budgeter pajak, Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi tidak sesuai dengan tujuan fungsi budgeter, karena Negara akan kehilangan pemasukan dari sektor Pajak yang berwujud sanksi administrasi. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari pemerintah, yang ingin menggenjot pendapatan dari sektor pajak dan mengurangi shortfall pajak.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis bermaksud untuk mengajukan
sebuah
penulisan
hukum
yang
berjudul
“REALISASI
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 91/PMK.03/2015 DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK DALAM KAITANNYA DENGAN FUNGSI UTAMA PAJAK DI KABUPATEN SLEMAN”. Adapun beberapa rumusan masalah yang dipakai sebagai pembatas dalam penelitian ini,
9
berupa rumusan masalah empiris dan rumusan masalah normatif, dengan rumusan masalah sebagai berikut : Empiris Apakah kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 sebagai Extra Effort telah menjalankan fungsi budgeter dan regulerend dengan baik? Normatif 1. Apakah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 telah melanggar fungsi utama pajak? 2. Faktor apa yang dapat membenarkan pelanggaran tersebut?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui realisasi pelaksanaan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 sebagai Extra Effort telah menjalankan fungsi budgeter dan regulerend dengan baik. 2. Untuk mengetahui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 telah melanggar fungsi budgeter dan regulerend pajak atau tidak. 3. Untuk mengetahui faktor yang dapat digunakan sebagai pembenaran pelanggaran tersebut.
10
D. Keaslian Penelitian Penelusuran terhadap penelitian dan karya-karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam rencana penelitian ini telah dilakukan. Namun demikian, berdasarkan penelusuran yang dilakukan Penulis, menemukan sebuah karya ilmiah yang memiliki permasalahan yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang sedang direncanakan. Karya ilmiah tersebut adalah sebuah tesis yang dibuat oleh Ehrmons Fisca Purwa Winastyo pada tahun 2010 dengan judul Efektivitas “Sunset Policy” Dalam Meningkatkan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Dan Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Sawah Besar Dua. Dalam penelitian yang dibuat oleh saudara Ehrmons ini menyoroti masalah Sunset Policy yang terdapat dalam Pasal 37A dalam UndangUndang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP). Kemudian di dakam
karya ilmiah tersebut saudara
Ehrmons memfokuskan penelitiannya pada efektivitas Sunset Policy terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, yang dalam pembahasannya berisikan terkait pemahaman wajib pajak, pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT Tahunan PPh, dan Penyetoran SPT Tahunan PPh Kurang Bayar. Kemudian saudara Ehrmons melakukan pembahasan terkati Efektivitas “Sunset Policy” dalam
meningkatkan penerimaan pajak di KPP
Pratama Jakarta Sawah Besar Dua, yang mana disitu saudara Ehrmons membaginya menjadi 2 sub bab yakni peningkatan penerimaan dari wajib pajak baru dan dari wajib pajak lama.
11
Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Erhmons Fisca Purwa Winastyo jelas berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengangkat pokok permasalahan yaitu pelaksanaan Peraturan Menteri
Keuangan
Nomor
91/PMK.03/2015
tentang
Pengurangan
atau
Penghapusan Sanksi Administrasi, yang menjadi dasar acuan penelitian. Perbedaan selanjutnya adalah lokasi penelitian yang dilakukan oleh penulis yang berada di Kabupaten Sleman. Karya ilmiah lain yang memiliki permasalahan hampir sama dengan penelitian milik penulis adalah karya Saudari Dahliana Hasan yang berjudul “Sunset Policy dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian tersebut dipublikasikan pada Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada bulan Juni 2009. Dalam penelitiannya tersebut Saudari Dahliana Hasan melakukan pembahasan terkait kebijakan Sunset Policy pada tahun 2008, yang tertuang dalam Pasal 37A UU KUP. Rumusan permasalahan yang diambil oleh Saudari Dahliana Hasan adalah “Makna Yuridis Sunset Policy” dan “Implikasi Sunset Policy terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan di DIY dalam kurun waktu Januari-Oktober 2008”. Setelah penulis membaca dan mencermati Karya Ilmiah dari Saudari Dahliana Hasan, penulis menemukan perbedaan dengan Penulisan Hukum yang akan Penulis lakukan. Perbedaan tersebut adalah terkait pokok permasalahan
12
yaitu penulis menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sedangkan Saudari Dahliana Hasan menggunakan dasar hukum Pasal 37A UU KUP. Lokasi penelitian yang dilakukan juga berbeda, penulis memfokuskan pada KPP Pratama Kabupaten Sleman, sedangkan Saudari Dahliana Hasan memfokuskan pada DJP DIY. Penelitian ini dilakukan penulis dengan itikad baik dan tanpa maksud melakukan plagiarisme, sehingga jika ada penelitian yang serupa maka penulis mengharapan penelitian ini dapat melengkapi dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa penelitian yang dilakukan adalah asli, bukan plagiat, dan telah memenuhi syarat keaslian penelitian. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi penulis Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis di bidang hukum Pajak, khususnya tentang fungsi utama pajak, yakni fungsi regulerend dan fungsi budgeter pajak dalam mengendalikan dan mendorong masyarakat agar sejalan dengan tujuan dan rencana pemerintah. 2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum dan literatur di bidang hukum pajak khususnya terkait pelaksanaan
13
kebijakan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015. 3. Manfaat bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memahami dan mengakses informasi mengenai Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
atas
Keterlambatan
Penyampaian
Surat
Pemberitahuan,
Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak, yang saat ini sedang gencar diberitakan oleh pemerintah. Serta dapat meningkatkan minat dari masyarakat untuk menggunakan fasilitas tersebut. F. Hambatan Pada pelaksanaan penulisan hukum yang telah dilakukan oleh penulis, penulis menemukan hambatan yang mengakibatkan penulis melakukan perubahan pada judul dan rumusan masalah. Pada awalnya penulis menetapkan judul penulisan hukum yakni "Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2015 Dalam Upaya Meningkatkan Penerimaan Pajak Dalam Kaitannya Dengan Fungsi Utama Pajak di Kabupaten Sleman", namun pada saat penulis melakukan penelitian di Kantor Direktorat Jenderal Pajak khususnya KPP Pratama Sleman, penulis mendapatkan data Wajib Pajak yang mengajukan permohonan Fasilitas PMK No.91/PMK.03/2015, namun dari keseluruhan permohonan tersebut belum ada permohonan yang dikabulkan/ tidak dikabulkan oleh DJP. Oleh sebab tersebut, penelitian yang sebelumnya mendasarkan pada
14
"Efektivitas" tidak dapat dilakukan, karena kecenderungan data yang akan didapatkan adalah nihil. Hambatan lain yang didapatkan oleh penulis dalam penelitian adalah tidak dikeluarkannya data jumlah Wajib Pajak yang terlambat membayarkan SPT, melakukan pembetulan SPT dan terlambat membayarkan pajak. Oleh karena hal tersebut penulis tidak dapat membandingkannya dengan jumlah permohonan PMK No.91/PMK.03/2015 yang diterima KPP Pratama Sleman. Hambatan berikutnya yang didapatkan oleh penulis adalah tidak dapat dikeluarkannya penerimaan pajak KPP Pratama Sleman terkhusus untuk Penerimaan dari sektor PPh dan PPN selama bulan Mei 2015 sampai dengan Oktober 2015.