BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dewasa ini, pernikahan dini menjadi isu yang bukan hanya menyita perhatian masyarakat Indonesia, tetapi masyarakat global, terutama bagi negara – negara berkembang yang mempunyai masalah dalam menekan laju pertumbuhan penduduknya. Di banyak konferensi yang digelar secara nasional maupun internasional, disebutkan bahwa pernikahan dini membawa dampak negatif yang lebih dominan dibandingkan dampak positif. Beberapa negara bahkan menyatakan pernikahan di bawah umur adalah bentuk kekerasan terhadap anak yang harus dihapuskan. Perkawinan usia dini memberi dampak peningkatan resiko kehamilan ketika organ reproduksi masih belum matang, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi. Selain dampak negatif secara fisik bagi individu, pernikahan dini juga mengakibatkan berkurangnya kesempatan memperoleh pendidikan, juga semakin menurunnya fungsi sosial dan ekonomi pada pasangan belia. Jika terjadi dalam skala yang besar maka pernikahan dini berpotensi meningkatkan laju pertumbuhan penduduk. Pada akhirnya akan menyulitkan program – program pembangunan nasional, karena besarnya kuantitas SDM tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang baik. Pertumbuhan penduduk dalam jumlah besar merupakan isu yang krusial bagi negara berkembang seperti Indonesia. Bertambahnya penduduk dalam jumlah besar 1
selalu diikuti oleh permasalahan kependudukan yang kompleks. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada sensus penduduk 2010 lalu, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641,3 juta jiwa dimana kurang lebih 40 juta diantaranya merupakan penduduk usia 10 – 19 tahun. Sementara BKKBN juga memberikan pernyataan bahwa 28% penduduk Indonesia merupakan penduduk usia muda, angka ini lebih besar dibandingkan data yang dirilis BPS. Apabila berdasarkan data BPS jumlah remaja tersebut menikah, berarti akan ada kurang lebih 20 juta pasangan muda potensial memiliki keturunan. Bila masing – masing pasangan memiliki 2 – 3 anak, maka pertambahan penduduk dalam waktu dekat akan mencapai 20 - 60 juta orang. Meski angka tersebut dapat dikatakan merupakan perhitungan kasar, namun ini dapat membantu memberikan gambaran lonjakan pertumbuhan penduduk yang akan terjadi apabila penduduk usia muda menikah di bawah umur. Permasalahan yang mengekor pada ledakan penduduk tentu sangat beragam seperti yang sudah disinggung sebelumnya,
selain
mempengaruhi
dinamika
sosial
kemasyarakatan
dan
pembangunan, bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi juga akan terkena dampak. Jika lapangan kerja masih minim, maka angka pengangguran akan mengalami peningkatan, akan terjadi krisis lahan dan pangan, dan kesejahteraan sosial akan semakin sulit untuk diwujudkan. Sejatinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dini.Sampai dengan dekade lalu, pernikahan dini terjadi karena faktor sosial budaya masyarakat.Bahkan hingga saat ini, budaya menikah muda masih terjadi di pedesaan.Orang tua pada masa lalu dan orang – orang di pedesaan mempunyai stigma 2
yang negatif terhadap remaja yang tidak menyegerakan menikah.Anggapan perawan tua atau perjaka tua merupakan bentuk tekanan sosial masyarakat terhadap remaja yang masih lajang meski usianya belum genap seperempat abad.Budaya inilah yang kemudian menumbuhsuburkan pernikahan dini beberapa dekade lalu, dan masa kini di pedesaan.Selain faktor sosial budaya, faktor ekonomi pun dapat mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Ada anggapan bahwa ketika menikah seseorang akan meningkat taraf hidupnya, dengan begitu anak perempuan terutama, tidak lagi menjadi tanggungan orang tuanya. Namun pada dasarnya tidak ada jaminan bahwa pernikahan bisa menjamin kesejahteraan anak lebih dibandingkan apa yang bisa diberikan orang tuanya. Ironisnya, United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah pernikahan dini terbanyak di dunia.Sementara di tingkat ASEAN, Indonesia berada di urutan kedua terbanyak setelah Kamboja.1 Fakta berdasarkan data statistik pernikahan dini dengan pengantin berusia di bawah 16 tahun yang dilakukan Survei Data Kependudukan Indonesia tahun 2007 menunjukkan, di beberapa daerah sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan pasangan usia di bawah 16 tahun. Di Jawa Timur, angka pernikahan dini mencapai 39,43 %, Kalimantan Selatan 35,48 %, Jambi 30,63 %, dan Jawa Barat 36 %.2 Kemudian penelitian yang dilakukan oleh PLAN
1
metrotvnews.com. Diakses: Kamis, 23 Januari 2014 pukul 15.30 WIB
2
Palu, Basir. 2008. Menyelamatkan Generasi Muda. Diunduh dari suarapembaruan.com Kamis, 23 Januari 2014 pukul 11.24 WIB.
3
pada Januari – April 2011 di 8 Kabupaten di Indonesia menunjukkan hasil yang mengejutkan, bahwa 33,5% anak usia 13 – 18 tahun pernah menikah dan rata – rata menikah pada usia 15 – 16 tahun. Hal tersebut mendukung penelitian Bappenas pada tahun 2008 dimana 34,5% dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak.3 Sementara data terbaru Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI mencatat bahwa perkawinan di bawah usia pada 2010-2012 di Kabupaten Indramayu sebanyak 825 perkawinan, Kabupaten Malang 474 perkawinan dan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanya 44 perkawinan.4 Data – data tersebut menunjukkan maraknya pernikahan dini di berbagai pelosok negeri. Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul banyak faktor yang mewarnai ragam penyebab terjadinya pernikahan dini.Pesatnya perkembangan teknologi, lunturnya nilai – nilai moral pada remaja, budaya asing yang masuk tanpa penyaringan, memunculkan pergaulan bebas di kalangan remaja. Bagi banyak remaja yang sedang dalam proses pencarian jati diri, jika tidak disertai pendampingan yang kuat maka akan terjadi degradasi moral. Seperti yang terjadi di masa kini, dimana remaja tidak dapat menggunakan teknologi secara tepat guna dan budaya asing tidak terfilter sesuai adat ketimuran. Salah satu hasil dari proses tersebut adalah munculnya free sex atau seks bebas di kalangan remaja. Free sex atau seks bebas merupakan satu bentuk penyimpangan yang dilakukan banyak remaja masa kini di Indonesia, 3
http://female.kompas.com/read/2011/10/06/15331434/3.Dampak.Buruk.Pernikahan.Dini.
Diakses:
Kamis, 23 Januari 2014 pukul 15.30 WIB. 4
http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/berita/558-angka-perkawinan-di-bawah-umurmasih-tinggi-.html. Diakses: Rabu, 22 Januari 2014 pukul 15.10 WIB.
4
terutama di kota – kota besar. Dampaknya sudah jelas, selain bersiko tertular penyakit seksual seperti HIV/AIDS, kehamilan diluar pernikahan pun kerap terjadi. Kehamilan tanpa status pernikahan bagi masyarakat Indonesia jelas merupakan sebuah aib yang menodai harga diri dan martabat keluarga, karenanya secara umum orangtua menutupi aib tersebut dengan menikahkan anaknya tanpa mempertimbangkan lagi usia dan masa depan anaknya. Satu sisi terbentur pada kewajiban memenuhi tanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan, pasangan yang terlanjur hamil sebelum adanya ikatan pernikahan mau tidak mau dihadapkan pada opsi untuk menikah meski umurnya masih belum mencukupi persyaratanusia minimal. Pernikahan tersebut bisa dilangsungkan dengan memohon Dispensasi Nikah ke Pengadilan Agama setempat.Dispensasidapat dipahami sebagai keputusanoleh pejabat yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan warga masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintahsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dispensasi nikah dapat dipahami sebagai kelonggaran yang diberikan oleh Hakim atas permohonan dari anak yang akan melangsungkan pernikahan meskipun usianya belum memenuhi kriteria usia minimal untuk menikah. Meskipun bukan satu – satunya latar belakang untuk mengajukan dispensasi nikah, namun kehamilan pra nikah menjadi alasan yang paling dominan dari banyaknya permohonan dispensasi nikah di berbagai daerah di Indonesia.Fenomena ini terjadi di banyak kabupaten/ kota di Indonesia. Wonogiri misalnya, tahun 2013 lalu mencatat sejumlah 78 kasus permohonan dispensasi nikah dimana 75% 5
diantaranya dilatarbelakangi calon mempelai putri yang terlanjur hamil.5 Kemudian Kabupaten Blitar, sampai dengan bulan September tahun 2013 lalu mengeluarkan 200 dispensasi nikah yang mayoritas dilatarbelakangi kehamilan.6 Demikian halnya dengan Kabupaten Ponorogo yang sampai dengan November 2013 lalu menerima 112
permohonan dispensasi nikah dari kalangan muda-mudi atau pelajar dari
setingkat SMA, SMP, bahkan SD, masih dilatarbelakangi alasan yang sama, yakni kahamilan pra nikah.7 Senada dengan beberapa kabupaten tersebut, kabupaten/ kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pun menjumpai fenomena yang sama. Kabupaten Gunungkidul, BPS mencatat bahwa perempuan kelompok umur 15 – 19 tahun didapatkan 14% berstatus menikah dan 2,8% diantaranya telah menikah pada usia 15 tahun. Sementara pada kelompok umur 20 – 24 tahun didapatkan 57% berstatus menikah dan 24,2% telah menikah pada usia 18 tahun. 8 Pun demikian yang ditemukan di Kabupaten Bantul, kasus pernikahan dini yang tercatat dalam data Kantor Kementrian Agama Kabupaten Bantul relatif tinggi, setelah mengabulkan 145 pernikahan dini pada tahun 2011, jumlah ini menurun menjadi 108 kasus pada tahun 5
http://www.sragenpos.com/2014/75-perkawinan-usia-dini-di-wonogiri-hamil-duluan-483473, diunduh 23 Januari 2013.
6
blitarkab.go.id. Diakses Rabu, 15 Januari 2014 pukul 12.25 WIB.
7
http://regional.kompas.com/read/2013/12/04/0842572/Telanjur.Hamil.112.Pelajar.Ajukan.Dispensasi. Nikah.Muda. Diakses Rabu, 15 Januari 2014 pukul 11.25 WIB.
8
Suryaningrum, Asrie M. 2009. Analisis Status Ekonomi sebagai Salah Satu Faktor Risiko Pengambilan Keputusan Menikah Usia Dini Remaja Puteri di Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tesis tidak diterbitkan.
6
2012, namun sayangnya angka pernikahan dini kembali meningkat pada tahun 2013, dimana sampai dengan bulan Oktober 2013 sudah tercatat 123 kasus pernikahan dini. Ternama sebagai kotapendidikan, kota budaya dan kota pelajar, ternyata Kota Yogyakarta pun mengalami maraknya pernikahan dini. Data Pengadilan Agama Yogyakarta menunjukkan adanya kenaikan jumlah pemohon dispensasi nikah semenjak beberapa tahun lalu. Tahun 2008 tercatat sejumlah 21 pemohon dispensasi nikah, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 28 pemohon. Kemudian pada tahun 2010 tercatat sejumlah 36 pemohon yakni 28,57% meningkat dibandingkan tahun 2009. Jumlah ini meningkat bahkan hampir dua kali lipat pada 2011 menjadi 61 pemohon dispensasi nikah, yakni 73,84% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012, meski jumlahnya tidak signifikan, namun jumlah pemohon tetap mengalami peningkatan sebanyak 5 pemohon, yakni menjadi 66 pemohon dispensasi nikah.9 Angka yang fantastis jika mengingat Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota yang menjadi sentra edukasi bagi pelajar dari penjuru negeri. Melihat data yang mencatat banyaknya jumlah pemohon dispensasi nikah yang meningkat dari tahun ke tahun, Pengadilan Agama tentu tidak bisa dilepaskan peranannya. Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989) tentang Peradilan Agama, pengaturan mengenai perkawinan menjadi kekuasaan absolut Pengadilan Agama. Meski perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai yang
9
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Yogyakarta tahun 2010, 2011, 2012.
7
masih di bawah umur bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku baik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun Pengadilan Agama tetap harus memutuskan perkara pemberian dispensasi nikah yang termuat dalam butir perkawinan. Laporan Pengadilan Agama menunjukkan
masih banyaknya jumlah
permohonan dispensasi nikahpada tahun 2012 dan 2013. Mengingat masih belianya usia dan keterbatasan kapasitas baik moril maupun materiil, tentu Pengadilan Agama melalui Hakim sebagai street level beureucrat tidak bisa serta merta memberikan dispensasi nikah. Batasan usia minimal untuk menikah diatur dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974. Pada pasal tersebutdijelaskan bahwa bila seseorang (yang beragama Islam) belum mencapai usia minimum, dapat mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan (agama). Aturan lain yang mengatur dispensasi nikah adalah pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, yang maksudnya sama dengan pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974.10Meski demikian, aturan hukum tersebut tidak merinci alasan untuk mengabulkan maupun menolak permohonan dispensasi nikah. Hakimkemudian mau tidak mau dihadapkan pada posisi yang dilematis. Hakim merupakan personifikasi hukum sebagai salah satu elemen dasar peradilan yang berkewajiban menjamin keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses legal. Pada permasalahan dispensasi nikah, Hakim dihadapkan pada 10
PA Pekalongan.2009.Putusan Pengadilan Agama tentang Prmohonan Dispensasi nikah sebagai Sebuah Diskresi.Hal. 11
8
pilihan antara mengabulkan atau menolak permohonan yang masuk ke Pengadilan Agama Yogyakarta.antara tidak memberikan dispensasi demi melindungi hak anak (calon pengantin di bawah umur) sesuai undang – undang, namun di sisi lain hakim juga harus mempertimbangkan nasib anak yang dikandung oleh pemohon dispensasi nikah yang mengajukan permohonan karena sudah terlanjur hamil. Pernikahan anak di bawah umur sebetulnya bukan dibiarkan terjadi oleh pemerintah Indonesia. Pada dasarnya, pernikahan yang terjadi pada remaja usia kurang dari 19 tahun bagi laki – laki dan kurang dari 16 tahun bagi perempuan merupakan bentuk pelanggaran Undang – Undang Perkawinan. Ketika belum mencapai usia yang disyaratkan, artinya mempelai masih termasuk dalam kategori anak – anak. Inilah yang kemudian terbentur pada masalah pemenuhan kebutuhan anak – anak. Pengaturan mengenai pemenuhan hak anak diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang meliputi hak tumbuh dan berkembang, hak sipil dan hak kebebasan, hak pengasuhan dan perawatan, hak bermain dan hak berpartisipasi, hak kesehatan, hak pendidikan serta perlindungan khusus.11Artinya, ketika terjadi pernikahan pada mempelai yang usianya belum mencukupi, hak – hak anak tidak dapat diperoleh seutuhnya karena kepadanya dibebankan tanggung jawab baru sebagai kepala dan anggota sebuah rumah tangga muda yang belum tentu sesuai dengan kapasitas mereka baik secara fisik maupun psikologis.
11
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
9
Pengaturan mengenai dispensasi nikah dan pernikahan di bawah umur yang disebabkan oleh kehamilan pra nikah masih sangat minim. Pernikahan di Indonesia sendiri hanya diatur melalui Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974. Peraturan tersebut masih belum mengalami perubahan sampai dengan saat ini. Melengkapi Undang – Undang Perkawinan, terdapat Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dalam proses penyusunannyamerujuk Undang – Undang Perkawinan dan penyebarluasannya dilakukan melalui Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.Pada Kompilasi Hukum Islam dijabarkan lebih rinci mengenai pernikahanyakni pada Buku I tentang Hukum Perkawinan dan pengaturan khusus tentang Kawin Hamil yang diatur pada Bab VIII. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman pokok Hakim yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, termasuk penyelesaian perkara dispensasi nikah. Namun sayangnya peraturan tersebut masih belum mampu memecahkan persoalan mengenai pernikahan yang dilakukan anak di bawah umur dikarenakan sudah terlanjur hamil.Hal ini dapat dimaklumi karena umumnya sebuah aturan maupun kebijakan memiliki kekurangan dan tidak mungkin merespon kebutuhan banyak kepentingan sekaligus, karena dalam proses penyusunannya ada keterbatasan prediksi pemangku kepentingan, sehingga
10
untuk merespon kebutuhan penyelesaian masalah yang aktual dan terkhusus, pemangku kepentingan dimungkinkan untuk melakukan sebuah diskresi 12. Keterbatasan kebijakan dalam merespon permasalahan khusus tersebut kemudian menuntut Hakim dengan kemerdekaan dan otoritas yang dimilikinya untuk menemukan alasan hukum melalui penafsiran dan pemaknaan, sehingga dapat dirumuskan alasan hukum untuk mengabulkan maupun menolak permohonan dispensasi nikah. Hakim sebagai personifikasi hukum dalam lembaga peradilan juga dimungkinkan untuk melakukan diskresi, yang secara konseptual dapat dipahami sebagai langkah yang bisa ditempuh oleh pemangku kepentingan (dalam hal ini hakim), untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam regulasi yang formal/ baku. Proses pengambilan keputusan dalam bentuk diskresi yang dilakukan Hakim untuk mengabulkan maupun menolak permohonan dispensasi nikah ini kemudian menjadi hal menarik untuk dikaji. Sepanjang tahun 2012 - 2013permohonan dispensasi nikah yang ditangani olehPengadilan agama Yogyakarta dan tercatat dalam laporan akhir tahunan, yakni sebanyak 38 permohonan pada tahun 2012, kemudian 48 permohonan pada tahun 2013. Namun dikarenakan ketentuan prosedur, penulis hanya dapat mengakses 30 perkara pada tahun 2013.Keseluruhan berkas permohonan yang diterima oleh Pengadilan Agama pada akhirnya dikabulkan oleh Majelis Hakim.Hal ini kemudian 12
Putranti, Isniyarti W. 2011. Kinerja Bidang Pengawasan dan Pengaduan Perizinan Dinas Perizinan Koa Yogyakarta dalam Perizinan IMBB (Izin Membangun Bangun – Bangunan) tahun 2009 – 2011. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.Tesis tidak diterbitkan.Hlm. 38
11
perlu menjadi perhatian khusus, mengapa Majelis Hakim cenderung mengabulkan permohonan dispensasi nikah yang ditangani oleh Pengadilan Agama Yogyakarta? Perkawinan yang dilakukan oleh remaja yang masih di bawah umur memang menjadi kajian yang menarik sejak bertahun lalu.Beragam penelitian pun muncul untuk memperdalam pemahaman mengenai perkawinan di bawah umur. Banyak termin yang muncul sebagai penyebutan perkawinan yang dilakukan oleh remaja yang masih di bawah umur, diantaranya pernikahan/ perkawinan dini, pernikahan/ perkawinan usia belia, pernikahan/ perkawinan remaja, pernikahan/ perkawinan anak, pernikahan/ perkawinan di bawah umur dan masih banyak lagi istilah yang muncul untuk menamai fenomena ini. Adapun dalam undang – undang sendiri tidak disebutkan istilah khusus mengenai pernikahan yang dilakukan oleh remaja yang belum mencapai batas usia minimal yang ditentukan. Karenanya selanjutnya dalam penelitian ini untuk merujuk maksud perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai yang masih di bawah umur disebut sebagai pernikahan di bawah umur. Sementara penyebutan dispensasi usia yang diberikan kepada calon mempelai yang masih di bawah umur selanjutnya dalam penelitian ini akan disebut sebagai dispensasi nikah.
1.2 Rumusan Masalah Uraian tersebut mengantarkan pada suatu rumusan masalah mengenai: 1. Bagaimana Proses Pelayanan Publik Pengadilan Agama Yogyakarta pada Perkara Dispensasi Nikah? 12
2. Mengapa Majelis Hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta cenderung mengabulkan permohonan dispensasi nikah kepada anak – anak yang belum mencukupi batas minimum usia perkawinan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan dari penelitian, yaitu untuk mengetahui alasan majelis Hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta cenderung mengabulkan permohonan dospensasi kawin kepada anak – anak yang belum mencukupi batas minimum usia perkawinan.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Universitas Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengayaan informasi mengenai proses pengambilan keputusan yang dilakukan Majelis Hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta terkait dikabulkannya permohonan dispensasi nikah. 2. Bagi Pengadilan Agama Kota Yogyakarta Penelitian ini dapat membantu memberikan tambahan informasi dan bahan evaluasi terhadap penetapan dispensasi nikah pada calon mempelai di bawah umur.
13
3. Bagi Masyarakat Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat dapat lebih paham mengenai isu pernikahan di bawah umur dan proses penetapan dispensasi nikah sehingga masyarakat menjadi lebih peka dalam merespon isu pernikahan di bawah umur. 4. Bagi Penulis Menyentuh permasalahan langsung ke lapangan dan mengkajinya dengan teori yang ada serta mempertajam analisis melalui penelitian yang telah dilakukan sebelumnya akan membantu penulis dalam memperkaya wawasan dan pengetahuan mengenai proses pengambilan keputusan, dasar pertimbangan hakim dan proses diskresi dalam penetapan dispensasi nikah bagi calon mempelai di bawah umur.
14