BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan multikultural merupakan salah satu upaya untuk membangun multikulturalisme di Indonesia 1 .Fakta sosial empiris yang ada menunjukkan bahwa sebagai masyarakat multikultural, bangsa Indonesia dihadapkan kepada tantangan yang bersifat lokal maupun global.Masyarakat dihadapkan beragam masalah mulai dari kekerasan horisontal maupun vertikal, korupsi, inequalities dalam beberapa bidang kehidupan, disintegrasi bangsa, yang semuanya mengarah pada krisis kehidupan berbangsa.Tantangan akibat dinamika global adalah kenyataan bahwa intensitas tinggi masuknya budaya global, mulai mengancam budaya lokal.Konteks ke-Indonesia-an saat ini, mulai dari fakta sejarah kebangsaan, kebijakan politik, dan fakta globalisasi, mengharuskan genarasi muda (didalamnya termasuk semua sekolah) dibekali dengan pendidikan multikultural. Pendidikan
multikultural
merupakan
urgensi
bagi
pendidikan
di
Indonesia.Kemajemukan adalah fakta yang tidak dapat dikesampingkan oleh siapa pun.Berangkat dari kemajemukan sudah selayaknya negara Indonesia menjadi negara yang harus demokratis.Untuk menjadi negara yang demokratis salah satu prasyaratnya adalah menghargai kemajemukan.Di dalam masyarakat majemuk atau multikultural seperti Indonesia, tidak dapat dipungkiri kemajemukan tersebut menjadi salah satu dasar dan penyebab adanya konflik dan tindakan 1
Pande Made Suputra “IdentitasEtnisdanOtonomi Daerah dalamMembangunMultikulturalisme di Indonesia”WacanaAntropologi Hal.76-77
1 Universitas Sumatera Utara
diskriminasi.Indonesia negara multicultural tetapi pada masyarakat Indonesia sebagian besar tidak menanamkan ideologi multikulturalisme.Hal ini dilihat dari banyaknya kasus-kasus yang tidak berpihak terhadap penghargaan keberagaman itu sendiri. Pada peristiwa bentrok antar suku di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dua suku yang tinggal sekampung di Hero Koe Desa Ruang Kecamatan Satar Mese Barat terlibat baku bunuh di lokasi pemakaman umum Langke Norang, Rabu, 13 April 2011. Peristiwa berdarah itu pecah lantaran hal sepele yaitu satu suku menggelar upacara adat di lokasi pemakaman umum tanpa melibatkan suku yang lain. Suku Ruang yang tinggal sekampung dengan suku Hero Koe merasa tersinggung karena suku Hero Koe menggelar acara secara sepihak.Suku Ruang yang kalap, di bawah pimpinan Sius Step dibantu tujuh rekannya, langsung menyerang suku Hero Koe saat upacara adat berlangsung 2. Di Cirebon terjadi penutupan Gedung Gratia milik umat Kristiani, intimidasi terhadap kegiatan siaran Radio Gratia, pelarangan pendirian rumah duka milik masyarakat Tionghoa dan kasus penggusuran tanah makam milik umat Kristen oleh Pemerintah Daerah Kota Cirebon 3.
2
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/214673-perang-suku-di-ntt--3-tewas.
3
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Email_page?id=89/hl=id/Tantangan_Pluralisme_Sem akin_Berat
2 Universitas Sumatera Utara
Negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk meredam, dan menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi.Bahkan lebih jauh lagi seharusnya negara bertanggung jawab untuk menanamkan paham-paham multikulturalisme kepada setiap warganegara.Dalam kenyataannya negara menjadi aktor yang tidak berpihak terhadap keberagaman itu sendiri.Aksi ini dilancarkan dengan dikeluarkannya berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang anti keberagaman.Kebijakan negara yang anti keberagaman dapat kita lihat seperti PNPS NO 1 1965 tentang Penyegahan penyalahgunaan dan/penodaan agama pasal 1 dan masih ada beberapa peraturan-peraturan pemerintah dan daerah lainnya tentang tindakan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang tertindas. Medan adalah kota yang memiliki masyarakat yang sangat beragam baik keberagaman suku, agama, adat dan budaya. Keberagaman suku diantaranya suku Melayu, Jawa, Karo, Toba, Simalungun, Minang, Pakpak, Tamildan lain sebagainya. Dari tiap suku tersebut membawa budaya yang berbeda-beda dan sangat menarik oleh sebab ini menjadi kan kota Medan sangat unik. Tidak hanya suku, agama juga beraneka ragam di kota Medan mulai dari agama resmi seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, Khonghucu. Terdapat juga aliran kepercayaan lainnya seperti Parmalim, Pemena, Ahmadiyah, Saksi Jahowa, dan lain sebagainya. Dengan adanya keberagaman tersebut penulis menemukan kasus yang tidak menghargai adanya keberagaman yang terjadi di Kota Medan khususnya yang berhubungan dengan agama maupun aliran kepercayaan 3 Universitas Sumatera Utara
Aliansi Sumut Bersatu 4 mencatat berbagai kasus intoleransi yang terjadi melalui pemantauan lima (5) media lokal, pada tahun 2011 tercatat ada sebanyak 63 kasus, sedangkan di tahun 2012 naik menjadi 75 kasus. Adapun jenis kasus intoleransi yang terjadi mulai dari tindakan diskriminatif, pernyataan negative terhadap kehidupan beragama, tuntutan ormas terhadap pemerintah, tindakan lokalisasi, pengrusakan dan permasalahan rumah ibadah, penistaan dan penyalahgunaan symbol agama dan kekerasan terhadap pemuka agama. Tahun 2012 terjadi pengrusakan rumah ibadah, Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Dolok Masihul serta ancaman terhadap pendetanya, akibat ancaman tersebut pendeta kehilangan rasa aman, pendeta tersebut mengaku tidak memiliki masalah dengan pihak lain. Gereja tersebut dirusak oleh orang yang tidak dikenal dengan menggunakan linggis dan benda tajam. 5 Pada tanggal 24 Juli 2013, telah terjadi pemecatan terhadap seorang siswi sekolah dasar yang bernama Dini Kemala Wulandari di SD Negeri 040462 Jl. Udara Berastagi, karena menggunakan Jilbab. Pemecatan tersebut dilakukan oleh Kepala Sekolah Sabarita br. Sembiring.Ibu Dini menemui Ibu Sabarita untuk meminta izin agar Dini dapat bersekolah menggunakan jilbab. Ibu Sabarita menyarankan agar Ibu Dini mencarikan sekolah yang mengizinkan memakai jilbab atau sekolah khusus untuk Islam, karena di sekolah 040462 tidak ada siswi 4
AliansiSumutBersatu (ASB) adalahorganisasimasyarakatsipilatau LSM yang sejaktahun 2006 melakukan upayaupayapenguatanuntukmendorongpenghormatandanpengakuanterhadapkeberagamanmelaluipendidi kankritis, dialog, advokasidanpenelitian. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan ASB berupayamelibatkanaktivismudalintas agama, mahasiswa/I, NGO, Jurnalisdankelompok marginal lainnyadengan semangatKEBERSAMAAN DALAM KEBERAGAMAN.(diambildari cover belakangbukuberjudulAliansiSumutBersatuLahirUntukMerawatPluralisme) 5 HarianSinar Indonesia Baru, 14 Mei 2012
4 Universitas Sumatera Utara
yang menggunakan jilbab. Kekawatiran Ibu Sabarita apabila Dini diberikan kesempatan menggunakan jilbab, akan muncul permintaan lain dari pelajar lainnya 6. Melihat beberapa peristiwa yang telah terjadi di Indonesia maupun di Medan tidak dipungkiri bahwa betapa pentingnya adanya penerapan mengenai pendidikan multikultural.Dalam UU SISDIKNAS No 20 tahun2003 Bab III (pasal 4, ayat 1) dikatakan “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa” 7 .Dalam hal ini ada usaha-usaha dalam bidang pendidikan untuk mempertahankan kemajemukan dimana masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultur.Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyrakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik Buchori (2007). Biasanya, melalui pendidikan multikultural siswa yang datang dari golongan etnis yang berbeda dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka serta mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak yang sama. Apa pun dan bagaimanapun bentuk dan model pendidikan multikultural, mestinya tidak
dapat
lepas
dari
tujuan
umum
pendidikan
multikultural,
yaitu
mengembangkan pemahaman yang mendasar tentang proses menciptakan system dan menyediakan pelayan pendidikan yang setara serta menghubungkan 6
Harian Waspada 24-25 Juli 2013 DepartemenPendidikanNasional RI, UU SISDIKNAS No 23 tahun 2003 , (Jakarta : SinarGrafika, 2006 hal: 2)
7
5 Universitas Sumatera Utara
kurikulum dengan karakter guru, budaya sekolah dan konteks lingkungan sekolah guna membangun suatu visi “lingkungan sekolah yang setara”. Namun antara yang diidealkan dengan realitas, seringkali tidak sama. Penerapan pendidikan multikultural sudah ada berlangsung dan berhasil diterapkan. SMA Negeri 10 Fajar Harapan Banda Aceh sebagai sekolah boarding yang mengahruskan anak-anak untuk tinggal di asrama sekolah. Di sini banyak peserta didik berasal dari berbagai daerah yang ada di Aceh, bahkan ada yang dari luar Aceh, dengan membawa berbagai perbedaan kultur dan adat istiadat. Pembelajaran di SMA Negeri 10 Fajar Harapan dapat berjalan dengan harmonis, tidak terjadi diskriminasi, dan siswapun tidak terkotak-kotak dalam pembelajaran di asrama.Pendidikan Multikultural di SMA Negeri 10 Fajar Harapan sudah lama diaplikasikan dalam pembelajaran.Ini terbukti dalam penilaian para peserta didik seadanya tanpa memperhatikan anak siapa, berasal dari daerah mana, baik lakilaki maupun perempuan.Semua berkesempatan meraih berbagai prestasi 8. Di Sumut pendidikan multikultural masih sangat jarang sekali, pendidikan multikultural dapat dijumpai di LSM, Kuliah, Pelatihan-pelatihan yang berhubungan mengenai keberagaman, Organisasi yang mengangkat isu-isu tentang keberagaman, dan salah satunya adalah sekolah di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.Ketertarikan penulis dalam mengangkat lokasi penelitian di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan, karena melihat visi, misi, dan tujuan sekolah yang mencerminkan kurikulum sekolah yang berbasis multicultural. 8
Nizariah, S.sos “Memotivasi Belajar siswa”MULTIKULTURALISME : MENUJU PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTUR Hal. 76-77
6 Universitas Sumatera Utara
Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25 Agustus 1987.Sekolah tersebut terdiri atas beberapa jenjang pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK).Yayasan Perguruan Sultan ISkandar Muda juga diperkuat 126 tenaga pengajar lulusan D3, S1, S2 dan Pegawai. Jumlah siswa berkisar 2.200 orang beragam etnis, 600 orang diantaranya adalah anak asuh yang bebas biaya sekolah, anak yang akan diberikan subsidi silang dan penerimaan beasiswa 9 . Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana strategi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda dalam menerapkan dan memberikan pendidikan multikultural terhadap peserta didik pada tingkat sekolah menengah atas (SMA), dan melihat hasil yang dicapai dalam penerapan system pendidikan multikultural. 1.2. Tinjauan Pustaka 1.2.1. Antropologi Pendidikan Kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang
9
http://ypsim.sch.id/home/profil/sejarah-singkat/
7 Universitas Sumatera Utara
dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan Oleh praktek-praktek pendidikan (Imran Manan,1989). Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan. Antropologi pendidikan dapat dilihat melalui kajian-kajian mengenai masalah enkulturasi, sosialisasi dan transmisi kebudayaan. Mengenai soal apa yang ditransmisi Fortes (dalam koentjaraningrat 1990:229) ada empat bidang yaitu : 1. Unsur-unsur yang menyangkut proses fisiologi, reflex-refleks, gerakgerak, reaksi-reaksi, serta penyesuaian fisik yang diperlukan untuk bertahan dalam masyrakat dan kebudayaan. 2. Sikap psikologi serta berbagai perasaan yang perlu untuk maksud yang sama. 3. Berbagai adat-istiadat sosial yang perlu untuk dapat berinteraksi dan bergaul dalam masyarakat. 4. Berbagai konsep, nilai budaya, adat istiadat, dan pandangan umum dalam kebudayaan. Koentjaraningrat (1990:231) tanggapan yang baik serta permintaan yang meningkat untuk mengadakan penelitian antropologi pendidikan yaitu:
8 Universitas Sumatera Utara
1. Pendekatan antropologi menggunakan berbagai teknik wawancara yang mendalam, yang dianggap sangat berguna untuk memperoleh banyak data mengenai
berbagai
masalah
sosial-budaya
yang
melatarbelakangi
pendidikan sekolah masa kini. 2.
Pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai masalah transmisi kebudayaan pada umumnya.
3. Pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai cara mendidik murid-murid dengan latar belakang kebudayaan yang berbedabeda. 4. Metode cross-cultural yang dikembangkan oleh antropolog dianggap dapat membantu ilmu pendidikan yang komparatif. Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
9 Universitas Sumatera Utara
1.2.2. Pendidikan, Multikulturalisme, Pendidikan Multikultural 1.2.2.1.Pendidikan Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perluasan, dan cara mendidik. Pendidikan merupakan sebuah agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat yang baru.Pendidikan bisa didapatkan melalui keluarga, sekolah dan lingkungan sosial.Berbagai lembaga jasa pendidikan, dituntut untuk menyesuaikan diri agar kurikulum dan fasilitas pendidikan yang disediakan dapat memfasilitasi lahirnya sumber daya manusia yang memiliki keunggulan. Menurut H.A.R. Tilaar (2004), ada dua jenis manusia unggul, pertama, manusia yang memiliki keunggulan individualistik, dan kedua manusia yang mempunyai keunggulan partisipatori. Freire (2004 : ix-x) merumuskan gagasan-gagasan tentang hakekat pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dn pembaharu, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya.Kebutuhan objektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subjektif (kesadaran subjektif) untuk
10 Universitas Sumatera Utara
mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya yang objektif. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang konstan, yaitu (1) Pengajar, (2) Pelajar atau anak didik, (3) Realitas dunia. 1.2.2.2. Multikulturalisme Multikulturalisme adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan hubungan setiap manusia dengan melihat keberadaan setiap kebudayaan dan dipandang secara setara, dengan demikian muncul suatu gagasan yang normative mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masing kebudayaan suatu bangsa. Menurut Blum (2001 : 2) konsep multikulturalisme adalah sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis tertentu. Dengan kata lain, multikulturalisme merupakan penilaian terhadap budaya-budaya orang lain bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut,
melainkan
mencoba
melihat
bagaimana
sebuah
budaya
asli
mengekspresikan nila-nilai bagi anggotanya sendiri. Jock Youn (dalam Piliang, 2003) ada dua sikap yang berbeda dalam melihat perubahan dan transformasi dalam kaitannya dengan multikulturalisme, antara lain: 1. Multikulturalisme Plural, yaitu pandangan yang mengedepankan “absolutism identitas”. Identitas dipandang sebuah kepastian yang sudah given, sacral, tidak boleh berubah, dan tidak boleh dicemari oleh 11 Universitas Sumatera Utara
kebudayaan luar. Multikulturalisme seperti ini lebih menempatkan kelompok etnis, ras, daerah, agama, sebagai entitas yang berbeda dan terpisah
secara
absolute.
Sehingga
menfikkan
kemungkinan
persilangan interaksi dan identifikasi antar budaya. 2. Multikulturalisme
transformative,
yaitu
menekankan
potensi
pertukaran budaya secara terbuka, persilangan norma dan nilai-nilai peleburan batas-batas, serta eklektisisme dalam berbagai bentuk ekspresi sosial politik dan budaya. Lebih
lanjut
Azraa
(dalam
Pujaastawa
2006:75)
mengatakan
multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman atau pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk memperkokoh negara kesatuan Republik Indonesia selain konsep heteronomi maka konsep multikulturalisme adalah salah satu strategi yang bisa diambil untuk mengatasi konflik yang bersifat horizontal di Indonesia. Untuk membangun multikulturalisme di Indonesia menurut Suputra (2006:67) ada beberapa upaya yang mesti dilakukan antara lain: 1. Melalui pendidikan multikultural baik yang diselenggarakan melalui lembaga pendidikan formal ataupun nonformal. 2. Melalui prinsip lintas budaya (transcultural) yakni semacam garis penghubung bagi berbagai kebudayaan daerah.
12 Universitas Sumatera Utara
3. Melalui prinsip keterbukaan yang kritis, yaitu keterbukaan terhadap kebudayaan luar serta proses interaksi pertukaran yang dimungkinkan didalamnya, harus disertai sikap kritis. Oleh karena itu, ada semacam mekanisme saringan budaya (culturalfilter)
dapat meminimalisasi
ekses-ekses dari keterbukaan tersebut. Bikhu Parekh (2001) istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni, pertama, konsep ini terkait dengan kebudayaan; kedua, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan; dan ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu untuk merespon pluralitas itu. Oleh sebab itu multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatic melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideology dalam kehidupan manusia. Alfonso Taryadi (dalam Ata Ujan 2011:14-15) mengatakan bahwa ada lima jenis multikulturalisme : 1. Multikulturalisme isolasionis: mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda, menjalani hidup mandiri dan terlibat dalam saling interaksi minimal sebagai syarat yang niscaya untuk hidup bersama. 2. Multikulturalisme akomodatif: mengacu pada visi masyarakat yang bertumpu pada satu budaya dominan, dengan penyesuaian-penyesuaian dan pengaturan yang pas untuk kebutuhan budaya minoritas. 3. Multikulturalisme mandiri: mengacu pada visi masyarakat dimana kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan budaya dominan dan bertujuan menempuh hidup mandiri dalam satu kerangka politik kolektif yang dapat diterima. 13 Universitas Sumatera Utara
4. Multikulturalisme kritis atau interaktif: merujuk pada misi masyarakat sebagai tempat
kelompok-kelompok cultural kurang peduli untuk
menempuh hidup mandiri, dan lebih peduli dalam menciptakan satu budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda. 5. Multikulturalisme cosmopolitan: mengacu pada visi masyarakat yang berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi para individu yang kini tidak terikat pada budaya khusus, secara bebas bergiat dalam eksperimen-eksperimen antarkultur dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri. Salah satu wacana penting mengenai multikulturalisme adalah terbangunnya system pendidikan multikultural untuk mewujudkan suatu perdamaian dan kesetaraan.Pendekatan dan pendidikan multikultural tidak sekedar mengenal, menghargai, dan menyambut perbedaan, tetapi harus ditandai dengan keterlibatan, mempertanyakan
dan
mempelajari
perbedaan
(Fay,
2002).Pendidikan
multikultural memberikan alternative melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis pada keragaman di tengah masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, dan lain-lain. 1.2.2.3. Pendidikan Multikultural Menurut James Bank (dalam Nurdin 2011:85) pendidikan multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas
14 Universitas Sumatera Utara
multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya, ada lima dimensi yang saling berkaitan dalam pendidikan multikultural, yaitu: 1. Conten Integrasi, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. 2. The knowledge contruction process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran. 3. An Equity Paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, gender, ataupun sosial. 4. Prejudice Reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. 5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan ekstra kurikuler (seni budaya, olahraga, keagamaan, maupun kegiatan lain) agar mampu berinteraksi antara peserta didik maupun pendidik (guru) dalam menciptakan budaya akademik. Sutijono
(2010:60)
mengusulkan
standar
kompetensi
pendidikan
yangberdasarkan pada paham multikulturalisme itu adalah untuk menghasilkan warga negara yang dapat hidup rukun satu sama lain terlepas dari agama, ras, bahasa, budaya dan sosial, menghormati hak-hak satu sama lain, memberikan kesempatan bagi semua kelompok untuk mengembangkan budaya mereka, dan meningkatkan kerjasama antar kelompok untuk kemakmuran negaranya. Dari 15 Universitas Sumatera Utara
standar kompetensi ini, selanjutnya Sutijono juga menguraikan tujuan dari kompetensi dasar tersebut untuk menghasilkan warga negara yang : 1. Dapat menerima perbedaan etnis, agama, bahasa, budaya, status sosial, gender dalam masyarakat. 2. Dapat bekerja sama dalam konteks multi-etnis, multi-kultur, dan multiagama untuk pengembangan ekonomi dan penguatan negara. 3. Dapat menghormati hak-hak orang lain terlepas dari etnis, agama, bahasa dan budaya mereka diberbagai aspek kehidupan. 4. Dapat memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara lain untuk mengekspresikan
pendapatnya
dan
aspirasinya
dalam
institusi
pemerintahan, baik dalam badan legislative maupun eksekutif. 5. Dapat mengembangkan tindakan yang adil terhadap semua warga negara terlepas dari etnis, agama, bahasa dan budayanya.
1.2.3Sejarah Pendidikan Multikultural Konsep pendidikan multikultural pertama sekali dikembangkan di Amerika Serikat sebagai bagian dari pergerakan hak asasi manusia pada tahun 1960an dan 1970an yang dilakukan oleh sekelompok etnis minoritas yang merasa tertindas dan terdiskriminasi.Perubahan yang signifikan ini berasal dari pergerakan etnis berkulit hitam Afrika di Amerika untuk mendapatkan penghargaan yang setara dengan etnis mayoritas di Amerika yang berkulit putih (Bank, 2011). Kelompok Afrika Amerika ini menuntut penghapusan diskriminasi
16 Universitas Sumatera Utara
di bidang akomodasi public, perumahan, lapangan kerja dan pendidikan Banks(2010:5). Dibidang pendidikan secara spesifik kelompok yang keberadaanya berawal dari imigrasi ini pun mendesak agar sekolah dan istitusi pendidikan merubah kurikulumnya sehingga pengalaman, sejarah, kultur dan perspektif mereka juga menjadi bahan pembelajaran dikelas. Mereka juga meminta peningkatan pengrekrutan guru-guru dan pengurus sekolah yang berkulit hitam dan coklat untuk dijadikan role model bagi anak-anak Afrika Amerika tersebut (Banks, 2010). Di negara lain seperti di Inggris, pendidikan multikultural atau sering juga dikenal sebagai pendidikan anti-rasisme juga muncul pada tahun 1970an sebagai bentuk penolakan terhadap diskriminasi rasial yang dirasakan oleh imigran yang berkulit hitam dan coklat dari Asia Afrika. Sama seperti di Amerika, di Inggis pergerakan perlawanan dan kebijakan dan kultur yang membeda-bedakan kaum perempuan juga dilakukan oleh sekelompok feminist (Banks, 2010). Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhineka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragaman dalam kesatuan ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukkan relasi masyarakat terhadap praktk hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat bhineka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula
17 Universitas Sumatera Utara
praksis pendiddikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah mengabaikan kekayaan kebhinekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi 10. Berbeda dengan Negara AS, Inggris dan Negara-negara di Eropa, dimana pada umumnya multicultural bersifat budaya antar bangsa, keragaman budaya datang dari luar bangsa mereka.Adapun multicultural di Indonesia bersifat budaya antaretnis yang kecil, yaitu budaya antar suku bangsa.Keragaman budaya datang dari dalam bangsa Indonesia sendiri.Oleh sebab itu, hal ini sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan pelaksanaan pendidikan multicultural di Indonesia.Semangat sumpa pemuda dapat menjadi ruh yang kuat untuk mempersatukan warga Negara Indonesia yang berbeda budaya. Di Indonesia, wacana mengenai pendidikan multikultural mulai dikenal pada masa otonomi dan desentralisasi (Saifuddin, 2002). Berakhirnya rezim orde baru dan turunnya Suharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia mengawali era demokratisasi dan reformasi di Indonesia.Pendidikan multikultural ini dilihat sebagai konsep pendidikan yang sesuai untuk pada zaman desentralisasi (Saifuddin, 2002, Mahfud, 2009). Seperti yang diungkapkan oleh Mahfud (2009), berakhirnya system pemerintahan yang bersifat sentralistik pada tahun 1998 yang memaksakan konsep mono-kulturalisme dan uniformitas dapat memunculkan reaksi balik yang negative bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang pada dasarnya multikultural.
10
H.A.R. Tilaar, “Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional”hal : 166
18 Universitas Sumatera Utara
1.2.4. Pembelajaran Bermuatan Multikultural Gollnick & Chinn (2013) menyatakan bahwa, di dalam pendidikan multikultural, guru harus memperhatikan bahwa setiap siswa belajar dengan memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa. Guru harus mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi yang tepat bagi setiap siswa. Guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong siswa untuk belajar dan menghargai pembelajaran. The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur : a. Aktifitas Produktifitas Bersama (Joint Productivity Activity) Guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Untuk tujuan ini, guru dan siswa harus bekerjasama untuk sebuah proyek.Dalam sebuah proyek, guru membagi siswa ke dalam kelompok berdasarkan kriteria yang berbeda, seperti minat, ragam budaya, ragam kemampuan. Guru mengawasi dan mendorong interaksi diantara siswa serta dengan dirinya, selama bekerjasama untuk memecahkan masalah atau sebuah proyek. b. Perkembangan Bahasa (Language Development) Pengembangan
bahasa
dalam
kurikulum
bertujuan
meningkatkan
kompetensi guru dalam menyampaikan pengajaran.Melek huruf adalah kemampuan paling mendasar bagi siswa dalam mengakses pendidikan, 19 Universitas Sumatera Utara
dimana semua guru harus menolong siswa untuk menjadi melek huruf. Guru harus menghargai bahasa ibu dan dialek semua siswa dan mendorong mereka untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka dalam proses pembelajaran. Guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi. c.
Kontekstualisasi (Contextualisation) Dalam hal ini, guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Guru perlu menghubungkan informasi yang baru dengan pengalaman siswa, bukan dengan pengalaman guru. Dengan terlibat dalam komunitas
sekolah
dan
dengan
orangtua
siswa,
guru
dapat
mengembangkan dasar pengetahuan mereka mengenai budaya dan pengalaman siswa mereka, yang mungkin sangat berbeda dari guru. d. Percakapan Instruksional (Instructional Conversation) Pengajaran melalui percakapan melibatkan siswa dalam dialog.Berbagi pengetahuan dan mengajukan pertanyaan mengenai ide-ide atau gagasan merupakan komponen penting dalam percakapan instruksional antara guru dan siswa. Jadi dalam metode ini, guru menggunakan dialog antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa. Mereka membimbing siswa untuk berbicara, membangun siswa dari
20 Universitas Sumatera Utara
pengalaman dan pengetahuan mereka terdahulu untuk menolong mereka belajar. e.
Aktifitas Menantang (Challenging Activities) Mengajarkan
pemikiran
kompleks
menantang
siswa
untuk
mengembangkan kompleksitas kognitif. Beberapa guru mungkin tidak memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa yang memiliki status sosial ekonomi rendah, disabilitas, karena anggapan mereka mungkin sudah memiliki berbagai tantangan di dalam pengalaman hidup mereka atau dianggap tidak dapat menghadapi tantangan yang sama dengan teman mereka yang lain. Seringkali, siswa-siswa tersebut justru diberikan tugastugas yang berulang, latihan yang tidak menarik dan membosankan. Guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Kunci untuk menolong siswa belajar adalah dengan menghubungkan kurikulum dengan budaya dan pengalaman nyata siswa.Siswa harus dapat melihat diri mereka sendiri dalam kurikulum yang diajarkan untuk memberikan makna dari setiap hal yang diajarkan dalam kehidupan mereka.Sebaliknya, mungkin saja mereka bisa menolak pembelajaran yang ditawarkan karena dipandang sebagai budaya dominan yang kurang sesuai dengan budaya mereka.Peneliti di CREDE telah menggunakan dan menguji standar ini di berbagai sekolah dengan berbagai populasi.
21 Universitas Sumatera Utara
1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka penulis menyimpulkan rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana Bentuk Pendidikan Multikultural pada Sekolah Menengah Atas yang dilakukan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. 2. Bagaimana strategi penerapan pendidikan multikultural yang diterapkan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan pada tingkat SMA.
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mendeskripsikan bagaimana bentuk penerapan pendidikan multikultural beserta strategi yang digunakan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat kampanye pentingnya pendidikan multicultural. Selain itu penelitian ini juga diharapkan menjadi pemikiran baru bagi masyarakat ataupun institusi pendidikan lain untuk menerapkan pendidikan multicultural, baik dalam lembaga pendidikan formal maupun non formal. Penelitian ini juga diharapkan menajadi pendorong bagi pemerintah untuk merancang kurikulum pendidikan nasional yang berbasis multikulturalisme. Secara teoritis, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dibidang pendidikan khususnya bidang antropologi. 22 Universitas Sumatera Utara
1.5.Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa metode etnografi yang berdasarkan pada kenyataan lapangan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan dan apa yang dialami oleh informan dengan penerapan sistem Pendidikan Multikultural. Metode etnografi digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia terkait dengan perkembangan teknologi komunikasi dalam setting sosial dan budaya tertentu.Spradley (1997:3) mengungkapkan bahwa etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan yang bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan peneliti dalam melakukan penelitian agar mendapat data-data dilapangan adalah: •
Teknik observasipartisipasi Teknik yang dilakukan adalah Mengamati kegiatan yang dilakukan oleh para siswa dan staff pengajar serta keterlibatan langsung peneliti dalam kegiatan di lapangan dengan cara ikut serta dalam beberapa kegiatan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.
•
Teknik wawancara Di tengah-tengah kegiatan tersebut peneliti melakukan wawancara secara mendalam atau indept Interview dilakukan dengan alat bantu seperti pedoman wawancara sesuai dengan topic penelitian, tujuannya untuk mendapatkan informasi, persepsi, opini dari permasalahan penelitian. Wawancara mendalam
secara umum
adalah proses memperoleh
23 Universitas Sumatera Utara
keterangan untuk tujuan penelitian dan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai dan tanpa menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan cara terbuka agar para informan dapat menjawab pertanyaan dan bercerita panjang lebar tentang apa yang dialami, dihadapi, dan dirasakannya. Penulis menentukan informan yang diambil dari staff pengajar SMA dan siswa SMA. Kriteria informan dari staff pengajar berdasarkan dari lamanya mengabdi di YPSIM. Kriteria informan dari siswa berdasarkan perwakilan setiang kelas mulai dari kelas X, XI, XII, dan masing-masing kelas diambil berdasarkan jenis kelamin yaitu setiap kelas laki-laki dan perempuan. •
Pengembangan Rapport Membangun Rapport ( hubungan baik) merupakan cara yang sangat bermanfaat dalam penelitian ini, tujuannya agar tercipta hubungan baik dengan informan baik siswa atau pun staff
pengajar tingkat Sekolah
Menengah Atas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan sehingga data yang dihasilkan mampu mendekati data dilapangan. •
Analisis data Analisis data dilakukan untuk menganalisis makna yang ada di balik data, informasi yang telah diperoleh dari informan yang telah di peroleh dari Sekolah Menengah Atas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan .Data ini berasal dari naskah wawancara peneliti dengan informan yaitu siswa dan staff pengajar, catatan lapangan, foto dan video, dokumen
24 Universitas Sumatera Utara
pribadi dan dokumen penting lainnya. Semua itu dikumpulkan untuk menjadi kunci terhadap apa yang telah diteliti. Menurut Spradley(1997) semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Semua kata yang digunakan oleh informan dalam menjawab pertanyaan penelitian adalah symbol-simbol.Symbol yang dimaksud adalah istilahistilah yang digunakan oleh informan. 1.6. Pengalaman Penelitian Penulis melakukan penelitian di Sekolah Menengah Atas Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.Penulis
mulai melakukan penelitian
setelah surat izin untuk terjun ke lapangan di keluarkan pada tanggal 22 Desember 2014. Kemudian penulis pergi ke sekolah tersebut tetapi tanpa disadari penulis pihak sekolah sudah melaksanakan libur natal dan tahun baru selama 2 minggu.Penulis kembali mendatangi sekolah pada tanggal 6 Januari karena bertepatan secara umum sekolah-sekolah sudah aktif kembali. Penulis tiba di sekolah pukul 08.00 WIB pagi, penulis melihat ada satpan yang duduk di depan pintu masuk sekolah dan penulis bertanya kepada satpam untuk bertemu Kepala Sekolah SMA. Prosedur yang digunakan pihak sekolah ialah apabila ada tamu yang datang harus meminta izin terlebih dahulu ke satpam kemudian satpam akan memberikan izin masuk jika tamu memberikan penjelasan identitasnya. Penulis kemudian diberikan izin masuk dan memasuki kantor staff pengajar SMA. Penulis melaporkan ke bagian resepsionis untuk diberikan izin bertemu dengan Kepala Sekolah SMA dengan menunjukkan surat pengantar dari
25 Universitas Sumatera Utara
Universitas.Menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan inilah yang dirasakan penulis dengan waktu hampir 30 menit penulis baru mendapat panggilan dan dipersilahkan masuk menjumpai kepala sekolah SMA. Penulis menerangkan maksud dan tujuan datang ke sekolah dan memberikan surat izin ke lapangan dengan mengatakan akan melakukan penelitian sebagai pelengkap datadata pada skripsi yang sedang di kerjakan oleh penulis. Kepala Sekolah memeberikan izin penulis untuk melakukan penelitian dan mengatakan besok sudah bisa melakukan penelitian.Kamis 7 Januari 2015 pukul 08.00 WIB penulis mendatangi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.Hari ini adalah hari pertama penulis melakukan penelitian.Pada saat itu waktu belajar mengajar sedang berlangsung, penulis menunggu siswa istirahat dari kelas.Posisi penulis pada saat itu di kantin sekolah.Siswa mulai berdatangan karena waktu istirahat sudah tiba, penulis mendatangi salah seorang siswa P.Sidabutar (siswa laki-laki berusia 17 tahun) kelas XI IPS dan penulis memperkenalkan identitas penulis. P.Sidabutar dengan sambutan senyuman kepada penulis menandakan ia setuju untuk di wawancarai. Dalam perbincangan dengan P.Sidabutar penulis mendapatkan banyak informasi terkait sekolah yang memiliki sistem pendidikan multicultural.Ia pada awalnya tidak mengetahui bagaimana penerapan pendidikan keberagaman. Dengan rasa tidak percaya bagaimana bisa agama-agama yang berbeda dapat berdampingan dengan baik dalam sebuah sekolah.P.Sidabutar menceritakan pengalaman awal masuk sekolah di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda ini. Dimulai dengan rasa penasarannya karena tidak mengerti dengan apa itu sekolah 26 Universitas Sumatera Utara
keberagaman. Setelah ia masuk di YPSIM P.Sidabutar merasakan lingkungan yang berbeda dimana antara siswa yang satu dengan yang lainnya tidak ada pembedaan. P.Sidabutar juga belajar menghargai setiap perbedaan yang terdapat di lingkungan sekolah. Antara siswa yang satu dengan yang lainnya tidak membeda-bedakan teman baik dari segi agama, suku, ras, ekonomi dan gender. Mereka juga saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Pada saat itu jam istirahat terlalu singkat dan pembicaraan kami selasai. Bel tanda masuk kelas pun berbunyi, P.Sidabutar meminta izin untuk masuk ke ruangan kelas. Pukul 11.00 WIB Penulis kemudian mendatangi salah seorang siswa jurusan akuntansi yang sedang berada di kantin berhubung siswa tersebut masuk siang pada pukul 01.00 WIB. Siswa itu benama Asma siswa kelas XII Akutansi. Asma (siswa perempuan 17 tahun) siswa SMA di Yayasan Sultan Iskandar Muda Medan yang beragama Islam dan bersuku Jawa. Mengobrol dengan Asma sangat asyik karena Asma mampu memberikan keterangan mengenai sekolahnya. Asma juga menjelaskan bagaimana diterapkannya sistem pendididkan keberagaman. Sebelum masuk kesekolah ini Asma sudah tahu bahwa sekolah ini tidak membeda-bedakan teman yang satu dengan yang lainnya dai segi agama suku ras dan gender. Asma mendapatkan ilmu multikultural disekolah ini dan diimplementasikannya di tengah-tengah masyarakat. Asma juga menjelaskan bahwa teman-teman yang satu dengan yang lainnya berteman dengan baik tidak membeda-bedakan. Jika ada seorang teman yang melakukan tindakan yang membeda-bedakan teman atau misalnya menjauhi temannya karena beda agama maka disini tidak ada sanksi yang tegas, hanya saja 27 Universitas Sumatera Utara
mendapatkan teguran dari masing-msing teman atau teguran dari guru untuk tidak melakukannya kembali. Dari kepribadian Asma sendiri mengatakan ia tidak membeda-bedakan teman yang satu dengan yang lainnya semua teman disama ratakaan olehnya. Kegiatan yang sering mereka lakukan juga selalu membaur dan membantu teman yang satu dengan yang lainnya tanpa ada membedakan dan terkecuali. Sistem tolong menolong juga diterapkannya dalam membantu membersihkan tempat-tempat ibadah atau kegiatan seremonial keagamaan. Tidak terasa saat penulis asyik mengobrol Asma, bel tanda masuk untuk siswa di pukul 01.00 sudah berbunyi menandakan Asma harus kembali mengikuti belajar mengajar di kelas. Siang itu Pukul 01.10 WIB Penulis mengahiri penelitian dan kembali pulang. Pada Senin, 12 Januari 2015 pagi pukul 09.45 penulis kembali melakukan penelitian ke Yayasan Perguruan Sultan Iskndar Muda Medan. Pagi itu penulis mendatangi siswa SMA kelas XI IPS yang bernama CR (tidak ingin disebutkan namyanya, laki-laki berumur 16 tahun). Penulis menjelaskan maksud dan tujuan terlebih dahulu. Ternyata kebahagian tersendiri bagi CR bisa mengobrol dengan penulis.
CR
merasakan
bagaimana
pengalamannya
disekolahnya.
CR
mendapatkan mutu pendidikan multikultural atau keberagaman disekolahnya yaitu sekolah berbasis keberagaman Yayasan Sultan Iskandar Muda Medan. Sebagai siswa CR mengikuti tata tertib dan panduan yang diajarkan oleh pihak sekolah. Dengan demikian CR paham bagaimana keberagaman, misalnya tidak boleh mebedakan teman dengan yang satu dan yang lainnya yaitu dalam kategori gender. Pembagian peran dikelas misalnya ketua kelas tidak harus laki-laki dan 28 Universitas Sumatera Utara
boleh juga perempuan. Menurutnya dengan belajar keberagaman ini kita bisa menghargai teman-teman yaitu antara laki-laki dan perempuan. Apa lagi dengan teman yang berbeda dari segi agama, ras, suku, dan lainnya. Penulis memiliki kendala dalam melakukan penelitian ini dimana penulis harus mewawancarai informan saat jam istirahat dan proses belajar mengajar tidak berlangsung. Kemudian penulis mendatangi salah seorang staff pengajar ED (yang tidak ingin disebutkan namanya). Penulis kembali menyampaikan maksud dan tujuan, ED menyambut penulis dengan baik dan mempersilahkan penulis memintai keterangan dari ED. ED menjelaskan sistem pembelajaran gender kepada siswa. Di mana materi diajarkan walau masih dasar yaitu tidak mendiskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Semua siswa di lakukan setara, karena memang sekolah juga mengajarkan demikian. Sebagai pengajar ED juga harus memahami makna keberagaman dan kesetaraan. ED merasa hidup dengan keberagaman yang saling berdampingan adalah kekeyaan bangsa yang luar biasa. ED sudah lama mengajar di yayasan tersebut dan mengajarkan keberagaman kepada siswa sangat menarik sekali, itulah yang dirasakannya. Karena menurutnya guru juga adalah sosok teladan yang akan dicontoh. Setelah selesai mengobrol dengan salah satu staff pengajar penulis permisi untuk pulang karena ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan penulis, saat itu pukul 12.45 WIB.Penulis juga mengalami kendala saat-saat libur hari besar keagamaan yang di laksanakan oleh pihak sekolah yang jarang di lakukan oleh sekola-sekolah lainnya.Di sekolah lainnya biasanya hari libur keagamaan hanya satu hari saja pada tanggal libur tersebut.Namun di Yayasan Perguruan Sultan 29 Universitas Sumatera Utara
Iskandar Muda Medan libur yang di lakukan lebih dari satu hari dari libur nasional bisa sampai dua atau tiga hari. Selasa 20 Januari 2015 tepat pukul 11.00 WIB penulis kembali ke sekolah yang berbasis multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Penulis sebelumnya sudah membuat janji dengan informan yang akan dijumpai penulis yaitu AR (seorang laki-laki yang tidak ingin disebutkan namanya 22 tahun). AR adalah salah seorang pegawai di bagian penyimpanan database sekolah secara online di Yayasan Sultan Iskandar Muda Medan. AR sudah lama bekerja sama dengan pihak Yayasan dan juga sebagai teman dekat pendiri Yayasan. AR mengatakan jika ingin bertemu dengannya harus membuat janji terlebih dahulu karena AR memiliki kesibukan.Setelah beberapa menit penulis menunggu dan membuat janji untuk bertemu di kantin sekolah. Kantin sekolah tidak hanya dipergunakan sebagai pemadam kelaparan tetapi juga disediakan tempat-tempat duduk untuk berdiskusi.AR tiba di kantin sekolah dan memohon maaf atas keterlambatannya menemui penulis.AR banyak sekali menyampaikan informasi terkait sekolah dan memberikan data-data kepada penulis terkait sekolah.Penulis sangat senang sekali berkenalan dan mengobrol dengan AR karena memiliki kecerdasan di bidang IT dan berbagai pengalaman yang dirasakannya di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Dari AR lah penulis mendapatkan banyak masukan terkait penulisan skripsi dan pengumpulan data. AR menjelaskan secara detail bagaimana sistem pola anak asuh yang diterapkan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
30 Universitas Sumatera Utara
Medan. AR yang pada dasarnya sudah memiliki pemahaman multicultural jadi merasa tidak asing untuk berada di sekolah tersebut.Program anak asuh berantai dan bersifat silang ini menurut AR sangat bagus sekali karena program ini dapat membantu anak-anak yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan.Disela berdiskusi dengan AR, AR sesekali memberikan candaan agar diskusi tidak terasa tegang sekali.Di sekolah ini AR juga mengajarkan siswa-siswi bagaimana mengoperasikan IT dengan mengadakan seminar terkait media.AR bahkan di tahun berikutnya salah satu masuk kategori sebagai orang tua asuh di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Setelah berbincangan dengan AR selesai kemudian penulis kembali ke kediamannya untuk melanjutkan penulisan skripsi.
31 Universitas Sumatera Utara