BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kekerasan terhadap perempuan (KTP) merupakan fenomena universal yang terjadi di hampir semua negara di dunia, dimana pelakunya seringkali adalah mereka yang dikenal baik oleh korban. Pasangan intim lebih mungkin melakukan kekerasan, melukai, memperkosa maupun melakukan pembunuhan terhadap perempuan dibanding orang lain.1 Setidaknya satu dari tiga orang perempuan di dunia pernah dipukul, dipaksa melakukan hubungan seksual atau disiksa selama hidupnya.2 Studi WHO di berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa setidaknya 1 dari 4 orang perempuan mengaku pernah mendapakan kekerasan fisik atau kekerasan seksual, atau keduanya dari pasangan intimnya sepanjang hidupnya.3 Kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan oleh pasangan ini juga diikuti oleh adanya kontrol perilaku terhadap korban.4 Sementara studi berbasis populasi yang dilakukan terhadap laki-laki di Asia-Pasific menunjukkan bahwa 26% hingga 80% laki-laki mengaku pernah melakukan kekerasan fisik dan atau seksual terhadap pasangannya.5
1
Mohammad Hakimi, et al., 2001, Membisu Demi Harmoni, Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia. LPKGM FK UGM-Rifka Annisa WCC-Umea University-Women's Health Exchange, Yogyakarta., hlm. 6 2 Lori Heise, et al., 1999, Ending Violence Against Women. Population Report, Johns Hopkins University School of Public Health - Population Information Program, Baltimore.,hlm. 1 3 Claudia Gracia-Moreno, et al., 2005, WHO Multi-country Study on Women's Health and Domestic Violence agains Women: Initial Results on Prevalence, Health Outcomes and Women's Responses. WHO Press, Geneva., hlm. 19 4 Ibid., hlm. 29; 5 Emma Fulu, et al., 2013, Why Do Some Men Use Violence Against Women and How We Can Preveni It?: Quantitative Finding From The United Nations Multi-Country Study on Men and Violence in Asia and The Pacific. UNDP - UNFPA - UN Women and UNV, Bangkok.,hlm. 27
1
2
Di Indonesia sendiri berdasarkan berbagai penelitian berbasis populasi yang pernah ada, diperkirakan 25% hingga 59% perempuan yang pernah menikah atau memiliki pasangan, pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangannya. Survei SEHATI di Purworejo, Jawa Tengah, tahun 2001/2002 menunjukkan 27% dari 765 perempuan mengaku pernah mendapatkan kekerasan fisik dan/atau seksual dari suaminya.6 Survei IMAGES (International Men and Gender Equality Survey) terhadap 2.500 lebih laki-laki yang dilakukan di tiga wilayah di Indonesia, Jakarta, Purworejo dan Jayapura pada tahun 2012/2013 menunjukkan bahwa 25,7 % - 60,2 % laki-laki mengaku pernah melakukan kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan pasangan intimnya.7 Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang dihimpun dari berbagai lembaga layanan di Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2012 mencatat sejumlah 3.169 hingga 216.156 kasus KTP setiap tahunnya dengan kecenderungan jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1. Sebagian besar atau lebih dari 90% kasus KTP tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga atau relasi personal (KDRT/RP), dan selebihnya merupakan kasus Non KDRT/RP, yaitu kasus KTP yang terjadi dalam ranah komunitas atau ranah negara.8 KTP dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut hukum di Indonesia merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang harus dihapuskan. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam konvensi CEDAW (Convention on Ellimination of All Forms of Discrimination Againts Women) 6
Mohammad Hakimi, et al., 2001, Op.Cit.,hlm. 55 Emma Fulu, et al., 2013, Op. Cit., hlm. 29 8 KDRT/RP adalah kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga (KDRT) atau relasi personal (RP), seperti kekerasan terhadap istri atau mantan istri, kekerasan oleh pacar atau mantan pacar, kekerasan terhadap anak perempuan, serta kekerasan seksual oleh orang yang dinekal. Lihat Kristi Poerwandari, et al., 2002, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia. KomnasPerempuan, Jakarta., hlm. 46, 50-91 7
3
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Gambar 1 Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di Komnas Perempuan Berdasarkan Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga / Relasi Personal (KDRT/RP) Tahun 2001 hingga 2012
umber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2008 hingga 2013.9
S
Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Mahkamah Syariah (MS),berdasarkan laporan tahunan Komnas Perempuan 9
LihatKomnas-Perempuan, 2008, Refleksi 10 Tahun Reformasi. Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2007, Komnas Perempuan, Jakarta.; Komnas-Perempuan, 2009, Kerentanan Perempuan Terhadap Kekerasan Ekonomi dan Kekerasan Seksual: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara. Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2008, Komnas Perempuan, Jakarta.; Komnas-Perempuan, 2010, Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang. Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2009, Komnas Perempuan, Jakarta.; KomnasPerempuan, 2011, Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara. Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2010, Komnas Perempuan, Jakarta.; Komnas-Perempuan, 2012, Stagnasi Sistem Hukum, Menggantung Asa Perempuan Korban. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2011, Komnas Perempuan, Jakarta.; Komnas-Perempuan, 2013, Korban Berjuang, Publik Bertindak: Mendobrak Stagnasi Sistem Hukum Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2013, KomnasPerempuan, Jakarta..
4
tersebut, tercatat memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Sejak tahun 2008 hingga 2012 rata-rata di atas 90% kasus KTP yang tercatat setiap tahunnya berasal dari perkara perceraian yang ditangani oleh MS/PA/PTA di seluruh Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tabel 1. KDRT yang berasal dari perkara perceraian tersebut merupakankekerasan terhadp istri (KTI) yang terungkap dari alasan terjadinya perceraian di MS/PA/PTA. Tabel 1 Data Kasus KTP Di Komnas Perempuan Berdasarkan Sumber Datanya Tahun 2009 s/d 2012 Sumber Data MS/PA/PTA PN/PT
Tahun 2008 (n)
%
Tahun 2009 (n)
%
42.076 77,3%129.02689,9%
Tahun 2010 (n) 93.133
%
Tahun 2011
Tahun 2012
(n)
(n)
%
%
89%105.539 88,6% 203.507 94,1%
773
1,4%
1572 1,1%
Na.
Na.
1.299 1,1%
952
0,4%
UPPA/Kepolisian
3220
5,9%
1.247 0,9%
Na.
Na.
2.313 1,9%
3.922
1,8%
Kajari/Kajati
1499
2,8%
279 0,2%
Na.
Na.
726 0,6%
Na.
0,0%
Lainnya
6857 12,6% 11.462 8,0%
11.970
11%
9.230 7,7%
7.775
3,6%
Sub Total
54.425 100%143.586 100% 105.103 100%119.107 100% 216.156 100%
Sumber: Catatan Tahunan Komnas Perempuan10 Keterangan: MS/PA/PTA : Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama UPPA/Kepolisian : Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Tingkat Polres / Kepolisian PN/PT : Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi Kajari/Kajati: Kejaksaan Negeri/Kejaksaan Tinggi Lainnya : Rumah Sakit, WCC (Women Crisis Center), P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), Organisasi Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemerintah Daerah, dll. Na. : not available / tidak ada informasi
10
Sumber data; Catatan Tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2008 s/d 2012, lihat Komnas-Perempuan, 2009, Op. Cit., hlm. 8; Komnas-Perempuan, 2010, Op. Cit., hlm. 11-12; Komnas-Perempuan, 2011, Op. Cit., hlm. 16; Komnas-Perempuan, 2012, Op. Cit., hlm. 10; Komnas-Perempuan, 2013, Op. Cit., hlm 8-13
5
Berdasarkan tabel 1 tersebut tampak bahwa data KDRT atau KTI yang berasal dari perkara percerai di MS/PA/PTA tersebut jauh lebih tinggi puluhan kali lipat dari pada keseluruhan data KTP yang berasal dari lembaga-lembaga pelaksana hukum pidana seperti UPPA/Kepolisian, Kejaksaan Negeri/Tinggi dan Pengadilan Negeri/Tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sungguhpun telah ada UUP-KDRT No. 23 Tahun 2004 yang mengatur KDRT sebagai permasalahan pidana, namun pada kenyataanya sebagian besar perempuan korban KDRT yang menempuh jalur hukum, lebih memilih menyelesaikannya secara perdata melalui Pengadilan Agama. UUP-KDRT belum menjadi acuan berperilaku bagi perempuan, utamanya istri untuk menyelesaikan persoalan KDRT yang terjadi. Demi meningkatkan akses keadilan bagi perempuan dan utamanya perempuan korban KDRT Mahkamah Agung pada tahun 2010 menerbitkan Edisi Revisi Buku II tentang Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang kemudian diperbaharui dalam Edisi Revisi Buku II tahun 2012, dengan menyebutkan UU No. 23 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2002 sebagai sumber hukum formil dan materiil di lingkungan Peradilan Agama.11 Buku pedoman tersebut diberlakukan di Lingkungan Peradilan Agama berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan. Dengan digunakannya UU P-KDRT sebagai sumber hukum formil dan materiil di Peradilan Agama, diharapkan dapat meningkatkan akses keadilan dan perlindungan hukum bagi terpenuhinya hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besarnya adalah perempuan. 11
Mahkamah Agung RI, 2010, Buku II : Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Edisi Revisi 2010), Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 54-56; Mahkamah Agung, 2013, Buku II: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Harun, Ibrahim Ahmad, Ed., Mahkamah Agung, Jakarta. hlm. 65
6
Menanggapi banyaknya istri korban KDRT yang memilih menyelesaikan masalahnya melalui Peradilan Agama tersebut kalangan feminis dan organisasi perempuan di Indonesia meresponya secara berbeda. Beberapa diantara mereka mengusulkan gagasan penyatuan hukum pidana dan perdata pada permasalahan hukum keluarga. Irianto dalam bukunya “Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan”, mengusulkan adanya pengadilan keluarga yang mengintegrasikan penyelesaian masalah pidana dan perdata hukum keluarga dalam satu pengadilan yang sama, tanpa membedakan latar belakang golongan agama, kelas maupun status sosial.12 Federasi LBH-APIK bahkan telah menyusun sebuah naskah akademik mengenai Rancangan Undang-Undang Peradilan Keluarga Terpadu, dimana gagasan utamanya adalah agar permasalahan KDRT baik pidana maupun perdata dapat diadili dalam satu peradilan keluarga.13 Rifka Annisa sejak tahun 2009 bekerjasama dengan Badan Peradilan Agama berupaya mengintegrasikan UU No. 23 Tahun 2004 dan UU No. 22 tahun 2002 dalam Sistem Peradilan Agamayang gagasan utamanya agar Peradilan Agama dalam memutus perkara keluarga dalam bidang perkawinan dan perceraian mempertimbangkan UU No. 23 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 2002.14
12 Sulistyowati Irianto yang melihat dikotomi ranah pidana dan perdata pada perkara hukum keluarga sebagai sesuatu hal yang tidak bisa dipertahankan lagi, dalam bukunya, Sulistyowati Irianto and Antonius Cahyadi, 2008, Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta., hlm. 326 13 Asosiasi LBH-APIK, 2013, Pengadilan Keluarga Terpadu. Suara Apik, Asosiasi LBHAPIK Indonesia, Jakarta. Lihat juga, Pusat Pengembangan Hukum dan Gender Universitas Brawijaya - Asosiasi LBH-APIK Indonesia - JKP3, 2014, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadilan Keluarga, Jakarta, Pusat Pengembangan Hukum dan Gender Universitas Brawijaya - Asosiasi LBH-APIK Indonesia - JKP3. 14 Lihat Tim 10 Jejaring Nasional Lintas Institusi, 2010, Rekomendasi Hasil-hasil Seminar dan Lokakarya Pengintegrasian UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia. Rifka Annisa – Badilag MARI – LBH APIK Jakarta, Jakarta.; Saeroni (eds.), 2009, Proceding Strategi pengintegrasian Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, Rifka Annisa.; Ninik Rahayu, et al., 2014a, Mewujudkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kdrt Melalui Peradilan Agama: Pengintegrasian UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Perlindungan Anak di Peradilan Agama. Rifka Annisa, Yogyakarta.
7
Respon dari kalangan feminis dan organisasi perempuan tersebut, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran feminist legal theory yang memandang bahwa hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada perempuan dan siapa saja yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebutdan membentuk identitasnya sendiri.15Feminist legal theory menekankan betapa pentingnya menanyakan pada perempuan dan mempertimbangkan pengalaman perempuan korban dalam pembangunan hukum dan meningkatkan akses keadilan bagi perempuan.16Mereka juga melakukan kritik terhadap positivism hukum dan permisahan yurisdiksi hukum pidana dan perdata. Feminist legal theory berpendapat bahwa hukum memiliki keterbatasan atau keterikatan terhadap realitas nilai-nilai sosial. Keterbatasan tersebut meliputi rumusan hukum yang phallocentric (didominasi laki-laki); keterbatasan mengenai proses kerja dalam struktur hukum; keterbatasan pada pengadilan yang memfokuskan pada rasional dan logis saja.17Rumusan hukum dan teori-teori hukum nampak lebih merefleksikan nilai-nilai maskulin yang patriakh, sehingga lebih banyak menguntungkan laki-laki.18 Dalam konstruksi budaya patriarkhi, perempuan seringkali diposisikan secara subordinat di hadapan laki-laki, dankekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari mekanisme sosial yang mendorong posisi subordinasi 15
Donny Danardono, 2008a, Theori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan Anti-Esensialisme. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Irianto, Sulistyowati, Ed., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.,hlm. 3 16 Sulistyowati Irianto, 2009, Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiolegal. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Irianto, Sulistyawati and Shidarta, Eds., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 246-280. 17 Agnes Widanti, 2005, Hukum Berkeadilan Gender: Aksi-interaksi Kelompok Butuh Perempuan dalam Perubahan Sosial,. Kompas, Jakarta., hlm 27-28 18 Niken Savitri, 2008, Feminist Legal Theory Dalam Teori hukum. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Irianto, Sulistyowati, Ed., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta., Op. Cit., hlm. 56-57
8
perempuan di hadapan laki-laki.19KTI yang terjadi dalam ranah privat rumah tangga, seringkali diterima sebagai sesuatu yang wajar terjadi, bahkan mendapatkan legitimasi dan dilanggengkan melalui keyakinan, norma-norma, dan lembaga-lembaga sosial yang ada.20 Konstruksi budaya dan sistem sosial yang patrikh tersebut dapat mempengaruhi cara pandang seseorang, termasuk para hakim dan penegak hukum, dalam upaya mewujudkan akses keadilan dan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama. Berbagai persoalan di atas tentu menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, terutama untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi istri korban KDRT yang bercerai di Pengadilan Agama. Barda Nawawi Arif, dalam membahas perlindungan hukum bagi korban membedakannya dalam dua hal yaitu; pertama, perlindungan in abstracto atau “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung” terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak korban sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, perlindungan hukum in concreto atau perlindungan hukum senyatanya, sebagaimana hukum ditegakkan, diterapkan dan dilaksanakan agar perlindungan yang senyatanya (in concreto) dapat diwujudkan.21 Dalam kajian mengenai perlindungan hukum tersebut, penting untuk melihat bagaimana perlindungan in abstracto bagi istri korban KDRT yang bercerai di Peradilan Agama, sebagaimana tertuang dalam perundang-undangan dan kebijakan Mahkamah Agung yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. 19
Lihat dalam mukadimah deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan sebagaimana telah diterjemahan dalam Kristi Poerwandari, et al., 2002, Op. Cit., hlm. 41 20 Lori Heise, et al., 1999, Op. Cit., hlm. 1 21 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Banding., hlm. 55
9
Salah
satu
kebijakan
tersebut
adalah
KMA/032/SK/IV/2006
tentang
Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi di Peradilan Agama. Dalam Buku II Edisi Revisi tahun 2010 dan 2012 disebutkan bahwa UU P-KDRT sebagai sumber hukum materiil dan formil di Peradilan Agama. Sedangkan perlindungan hukum in concreto dapat dilihat melalui penerapan norma-norma hukum yang ada dalam putusan Mahkamah Agung terhadap perkaraperceraian karena alasan KDRT di lingkungan Peradilan Agama. Putusan Mahakamah Agung merupakan putusan tingkat akhir bagi perkaraperkara perceraian di Peradilan Agama, sehingga diharapkan dapat memberikan gambar lebih komprehensif mengenai penerapan hukum atau perlindungan hukum in concretobagi istri korban KDRT di lingkungan Pengadilan Agama, baik pada tingkat pertama, tingkat banding maupun kasasi di Mahkamah Agung. Kajian perlindungan hukum ini akan menganalisa bagaimana perlindungan hukum bagi istri korban KDRT dalam putusan perceraian Mahkamah Agung di lingkungan Peradilan Agama berdasarkan KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Asministrasi di Peradilan Agama khususnya dalam Buku II edisi revisi tahun 2010 dan 2012. Bagaimana perlindungan hukum bagi istri korban KDRT dalam revisi buku II tersebut dan bagaimana penerapannya dalam putusan Mahkamah Agung pada perkara perceraian di lingkungan Peradilan Agama. Pembahasan perlindungan hukum bagi istri korban KDRT pada putusan Mahkamah Agung di Peradilan Agama tersebut, selanjutnya akan dianalisa berdasarkan perspektif feminist legal theory.
10
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas kiranya dapat disusun rumusan masalahnya sebagai berikut; 1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi istri korban kekerasan dalam rumah tangga pada putusan perceraian Mahakamah Agung di lingkungan Peradilan Agama ditinjau dari KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi istri korban kekerasan dalam rumah tangga dalam putusan perceraian Mahakamah Agung tersebut ditinjau dari perspektif feminist legal theory? C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis terhadap berbagai penelitian sebelumnya berkaitan dengan perlindungan hukum bagi istri korban KDRT yang bercerai di Pengadilan Agama, sejauh pengetahuan penulis belum satupun yang membahas penelitian sebagaimana dalam rumusan masalah dalam penelitian ini. Namun demikian terdapat beberapa penelitian yang memiliki relevansi dan kemiripan dengan yang hendak penulis lakukan, diantaranya; 1. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penelitian ini dilakukan oleh Rika Saraswati yang dipublikasikan pada tahun 2006. Fokus permasalahan studi ini tentang bagaimana penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga di pengadilan baik secara perdata di Pengadilan Agama maupun secara pidana di Pengadilan Negeri. Faktor-faktor pendukung
11
dan penghambat penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui hukum pidana/publik.22Meskipun penelitian Saraswati ini mengkaji bagaimana penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama, namun ia melakukannya sebelum adanya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam kesimpulannya Saraswati menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat diselesaikan melalui hukum publik yaitu dengan menggunakan pasal 351-356 KUH Pidana tentang penganiayaan fisik, pasal 340 KUHP tentang pembunuhan, pasal 279 KUHP tentang pemalsuan surat untuk menikah lagi. Faktor yang mendukung penyelesaian secara publik adalah kesadaran korban bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang musti dihukum meskipun dilakukan oleh suami sendiri dan kemauan korban untuk memprosesnya secara hukum, serta adanya dukungan keluarga dan lingkungan. 2. Runtuhnya sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Penelitian ini dilakukan oleh Sulistyowati Irianto dan Antonius Cahyadi yang dipublikasikan pada tahun 2008. Fokus permasalahan studi ini adalah bagaimana akses perempuan kepada keadilan yang disediakan oleh negara, ketika dirinya menjadi korban kekerasan (domestik dan publik). Bagaimanakah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan diselesaikan di persidangan sejak kurun waktu 1955, 1960-an sampai 2003? Bagaimana hakim memaknai kasus
22
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung., hlm. 7-8
12
kekerasan terhadap perempuan melalui pertimbangan putusannya?23Dalam kesimpulannya Sulistyowati dan Cahyadi menyatakan bahwa pembedaan pengadilan antara pidana dan perdata dalam kasus kekerasan terhadp perempuan sangatlah merugikan perempuan, anak dan pihak lain yang lemah dalam keluarga karena menegasikan kasus-kasus pidana dalam putusan perdata.24 3. Perlindungan Hukum Kepada Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Ambon dalam Pemberian Rasa Keadilan Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 Penelitian ini merupakan tesis karya Lilian GF. Apituley tahun 2009 pada Magister Hukum Universitas Gajah Mada. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum pada perempuan korban KDRT dalam rangka meningkatkan rasa keadilan; faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat dalam rangka memberikan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan; langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh sehingga perlindungan itu dapat memberi rasa keadilan. Dalam penelitiannya, Lilian GF Apituley menyimpulkan bahwa perlindungan hukum kepada perempuan korban KDRT belum efektif diberikanan, dikarenakan aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi, Jaksa dan Hakim belum memahami tentang UU P-KDRT dan tidak memiliki sensitifitas gender. Hambatanhambatan yang dialami dalam pemberian perlindungan hukum kepada 23
Penelisian ini tidak fokus pada masalah kekerasan dalam rumah tangga, namun juga menyangkut perkara waris, dan pembagian harta bersama. Lihat Sulistyowati Irianto and Antonius Cahyadi, 2008, Op. Cit., hlm. 16-17 24 Ibid., hlm. 319
13
perempuan korban kekerasan diantaranya adalah aparat penegak hukum yang bias gender, budaya patriarkhi, dari dalam diri perempuan itu sendiri dan lingkungan masyarakat yang bias gender. Apituley memberikan rekomendasi untuk melengkapi pranata dan penegakan hukum agar perlindungan dan keadilan bagi perempuan dapat dicapai. 4. Perceraian Yang Diakibatkan Oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Solok Ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Penelitian ini dilakukan oleh Atrianti untuk menyelesaikan studinya pada Masgister Kenotariatan UGM tahun 2010. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Kota Solok; faktor-faktor terjadinya perceraian di Kota Solok; serta bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan yang diceraikan akibat KDRT dihubungkan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2004. Atrianti menyimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian di Kota Solok adalah karena kurang keharmonisan dalam rumah tangga, kurang tanggungjawab, gangguan pihak ketiga, penganiayaan, krisis akhlak dan faktor cemburu. Sedangkan faktorfaktor yang menyebabkan KDRT adalah ekonomi, karena pekerjaan istri, perselingkuhan suami, campur tangan pihak ketiga, pemahaman yang salah terhadap ajaran agama, kebiasaan suami minum-minuman keras, dan kebutuhan biologis. Perlindungan hukum yang diberikan oleh negara dapat dilihat dalam pasal 33, 34, 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
14
pasal 4, 5 dan 26 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Salah Satu Sebab Perceraian di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Propinsi DI. Yogyakarta Penelitian ini merupakan tesi yang ditulis oleh A. Awaludin tahun 2006 pada Program Magister Ilmu Hukum UGM. Fokus permasalahan yang diteliti adalah tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara KDRT sebagai salah satu sebab perceraian di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di Propinsi DI. Yogyakarta. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perkara KDRT sebagai salah satu sebab perceraian di Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Negeri (PN) merupakan permasalahan perdata. KDRT meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran keluarga. Pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam memutus perkara KDRT sebagai penyebab perceraian di PA dan PN adalah pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam bagi muslim dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 bagi non muslim dan tak satupun dalam perkara perdata perceraian tersebut menggunakan UU P-KDRT sebagai konsideran dalam putusannya. Berbagai penelitian di atas telah memberikan informasi yang berharga bagi penulis tentang studi mengenai perlindungan hukum bagi perempuan korban KDRT serta bagaimana Pengadilan Agama merespon kasus-kasus KDRT yang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama. Namun demikian masih banyak aspek-aspek yang belum terjawab, terutama bagaimana perlindungan hukum bagi
15
perempuan korban KDRT yang bercerai di Pengadilan Agama ditinjau berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 dan feminist legal theory. Selain itu kajian tentang perlindungan hukum yang penulis lakukan akan meliputi perlindungan hukum in abstracto sebagaimana dalam perundang-undangan dan kebijakan di lingkungan Peradilan Agama, serta perlindungan hukum in concreto sebagaimana dalam putusan kasasi perkara-perkara perceraian di Pengadilan Agama yang mengandung unsur KDRT. Sample putusan kasasi tersebut, terutama adalah putusan yang diambil setelah adanya revisi buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama tahun 2010 yang telah mencantumkan UU No. 23 Tahun 2004 sebagai sumber hukum formil dan materiil di Pengadilan Agama. Dengan demikian sejauh pengetahuan penulis, penelitian terhadap permasalahan yang hendak penulis lakukan belum pernah dilakukan sebelumnya. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk; 1.
Mengetahui dan menganalisa bagaimana perlindungan hukum bagi istri korban KDRT pada putusan perceraian Mahakamah Agung di lingkungan Peradilan Agama ditinjau dari Keputusan Ketua Mahkamag Agung Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.
2.
Mengetahui dan menganalisa bagaimana perlindungan hukum bagi istri korban kekerasan dalam rumah tanggapada putusan perceraian Mahkamah Agung ditinjau dari perspektif feminist legal theory.
16
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat dalam memperluas khasanah pemikiran tentang keadilan gender dan perlindungan hukum istri korban KDRT yang bercerai di Peradilan Agama. Khususnya dalam konteks pembangunan hukum bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak istri korbanKDRT yang justru seringkali terungkap melalui peradilan perdata perceraian di Peradilan Agama. Hasil penelitian ini juga dapat berguna bagi para praktisi hukum dalam mendampingi perkara kekerasan dalam rumah tangga yang masuk ke Peradilan Agamaagarlebih optimal dalam memenuhi rasa keadilan bagi korban. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap Peradilan Agama dalam memberikan jaminan akses keadilan bagi istri korban kekerasan dalam rumah tangga yang menyelesaikan masalahnya melalui Peradilan Agama.