ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tesis ini membahas tentang kekerasan simbolik dalam media atau lebih spesifik lagi dalam sinetron remaja. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode semiotika. Sinetron remaja yang menghiasi layar televisi telah terbukti memiliki muatan kekerasan baik verbal maupun fisik akan tetapi ada bentuk kekerasan lain yang seringkali luput dari pengawasan penonton dan KPI, yaitu kekerasan simbolik yang berlangsung dengan sangat halus sehingga seringkali hal tersebut tidak disadari oleh korbannya dan memungkinkan untuk berlangsung berulang-ulang dan dapat berujung menjadi kekerasan verbal maupun fisik. Dalam konteks penelitian ini, kekerasan simbolik yang terjadi dalam sinetron remaja direpresentasikan dalam dominasi kultural dan sosial. Televisi memiliki pengaruh yang luar biasa dalam membentuk gaya hidup seseorang, terlebih bagi seorang remaja yang sedang berada dalam fase pencarian jati diri. Melalui tayangan di televisi baik itu film, reality show, atau iklan seorang remaja dapat membangun identitas dirinya hal ini senada dengan pernyataan Fiske (1987:4) bahwa “Televisi merupakan agen budaya”. Televisi telah mempengaruhi pola hidup seseorang melalui teks-teks yang ditampilkan baik secara verbal maupun visual. Sebagai contoh, televisi dapat memengaruhi rutinitas, pola konsumsi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Di antara serbuan film-film produksi luar negeri terutama korea, Sinetron masih menjadi salah satu acara yang memiliki banyak penggemar, terbukti hingga tahun 2014 ini,
1 TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2
beberapa judul sinetron tidak beranjak dari 10 besar acara televisi, menurut survei yang dilakukan AGB Nielsen. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) “ sinetron merupakan kepanjangan dari sinema dan elektronik “ sinema berarti gambar hidup dan elektronik mengacu pada media yang dipakai yaitu media elektronik yang memuat gambar (visual). Lebih jauh diungkapkan Sunardian (2006:27) sinetron secara prinsip tidak berbeda dengan sinema celleluoid, layar lebar atau bioskop. Namun , karena dari segi teknis dan karakter media peralatannnya berbeda, keduanya mesti dibedakan. Jadi, sinetron berarti gambar hidup yang ditayangkan dalam media elektronik visual akan tetapi secra teknis memiliki perbedaan dengan film. Sinetron merupakan salah satu tayangan televisi yang masih diminati oleh masyarakat indonesia.Hal tersebut dapat diketahui dari beberapa sinetron yang tetap memiliki rating yang sangat tinggi dibanding program acara lainnya. Selain itu penayanngannya yang berada pada prime time merupakan indikasi lain bahwa sinetron memiliki tempat terhormat dalam industri televisi. Salah satu genre sinetron yang tetap bertahan dengan rating yang cukup bagus adalah sinetron remaja. A teen drama is a type of drama series with a major focus on teenage characters. The genre was relatively non-existent for the first 45 years of television. It came into prominance in the early 1990s, especially with the popularity of the series Beverly Hills, 90210. After the show became a success, television writers and producers realized the potential for this new genre to reach out previously ignored demographic. ( http://en.wikipedia.org/wiki/Teen_drama, diakses 6 februari 2014)
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3
Genre drama remaja muncul pada tahun 1990, diawali dengan suksesnya drama seri Beverly Hills 90210, yang pada akhirnya membuat penulis dan produser acara televisi menyadari potensi dari genre baru ini untuk memperluas segmen penonton. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, pada tahun 1990 merupakan awal bangkitnya sinetron-sinetron remaja yang mengambil setting di sekolah. TVRI sebagai pelopor stasiun televisi juga melihat adanya peluang dari genre ini, hal ini dibuktikan dengan dibuatnya program Sepekan Sinetron Remaja pada 1991. Keberhasilan TVRI sehingga menuai respon yang positif inilah yang kemudian diikuti oleh stasiun televisi swasta. Sedangkan menurut Kristanto (186:2004) genre film remaja merupakan film tentang remaja dengan masalah dan tokoh-tokohnya yang umumnya masih bersekolah tingkat SMU. Baik Film maupun sinetron remaja keduanya secara umum banyak mengambil setting di sekolah, khususnya sekolah SMU, baik SMU negeri maupun swasta. Gita Cinta Dari SMA merupakan film layar lebar bertemakan remaja yang dibuat pada tahun 1979 yang kemudian pada tahun 1990 diadaptasi menjadi sinetron dan ditayangkan oleh Indosiar. Film-film bertemakan remaja lain yang cukup fenomenal dengan 1,3 juta penonton dan berhasil meraih keuntungan sebesar 4,5 milyar rupiah (kristanto, 2004) seperti Ada Apa Dengan Cinta juga dicoba untuk diadaptasi ke layar televisi, film Lupus dan Jomblo, dicoba untuk diangkat ke layar televisi dengan format sinetron pada tahun 1995 dan menuai sukses besar yang akhirnya diikuti dengan beberapa sinetron remaja lain baik yang merupakan adaptasi dari film maupun yang bukan merupakan adapatasi dari film layar lebar misalnya seperti Pernikahan Dini, Senandung Masa Puber, kepompong, Putih Abu-Abu, Arti Sahabat, dan masih banyak yang lainnnya.
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4
Sinetron remaja sebagai salah satu program televisi juga tidak terlepas dari muatan kekerasan, terbukti dengan banyaknya teguran tertulis, peringatan hingga penghentian sementara yang diberikan oleh KPI pada beberapa sinetron yang dianggap melanggar P3 dan SPS, data ini bisa dilihat di website resmi Komisi Penyiaran Indonesia. Kekerasan merupakan suatu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika mendengar kata “kekerasan”, sebagian besar di antara kita akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Menurut Geen (1995) kekerasan merupakan pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum, atau mengontrol. Kekerasan juga dinilai sebagai sebuah tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), suatu konsep yang sedang menjadi fokus perhatian di berbagai forum diskusi. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita, baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Pada paragraf sebelumnya telah dijelaskan mengenai fenomena kekerasan yang telah banyak dikenal masyarakat dan telah sering menjadi pusat perhatian sebagian besar masyarakat. Kekerasan fisik serta kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang wujudnya “ mudah dikenali” dan dampaknya juga mudah untuk diamati . Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi pada kehidupan sehari-hari. Bentuk kekerasan ini adalah “kekerasan simbolik”. Bentuk kekerasan ini hampir tidak pernah menjadi pokok perhatian berbagai pihak, padahal jika diamati, bentuk
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5
kekerasan inilah yang memberikan dampak yang cukup besar, terutama dampak bagi masyarakat secara makro. Kekerasan simbolik memang bukanlah sebuah kekerasan yang mudah dilihat wujudnya. Kekerasan semacam ini ada dimana-mana, termasuk dalam media massa dengan berbagai wujud dan strateginya . Konsep ini dikemukakan oleh Bourdieu, Seorang sosiolog dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok elit atau kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” ideologi, budaya , kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok atau kelas yang didominasinya (Martono, 5:2012) . Salah satu wujudnya dalam media massa adalah dominasi budaya konsumerime dalam gaya hidup remaja yang direpresentasikan dalam sinetron remaja. Pada umumnya penggambaran tentang seseorang, institusi atau bahkan suatu profesi di media massa diwarnai stereotype. Menurut Christian, budaya dapat mengubah sejarah1. Melalui penelitian christian, ditemukan bahwa stereotype yang dilakukan oleh media massa terhadap suatu profesi dapat bermuara pada kekerasan simbolik. Christian menyoroti tentang penggambaran pustakawan dalam media massa yang diwarnai dengan stereotype negatif. Pustakawan direpresentasikan sebagai orang dengan penampilan yang buruk dan kuno, dan berkepribadian yang tidak menyenangkan sehingga representasi ini mengesampingkan nilai-nilai positif yang berkaitan dengan profesi tersebut misalnya dedikasi tinggi pada profesi, berorientasi tinggi pada pelayanan terbaik. 1 Linda Christian, clarion University of pennsylvania, symbolic violence and the new librarian, Pro Quest, USA : Washington, 2009
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6
Jika penggambaran ini dilakukan secara terus menerus maka dapat dikatakan media telah melakukan kekerasan simbolik terhadap profesi pustakawan melalui teks-teks yang ditampilkan, sehingga hal ini akan mengukuhkan stereotype negatif tentang pustakawan. Popular culture atau sering disebut budaya pop mulai mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat indonesia. Dominic Strinati mendefinisikan budaya pop sebagai lokasi pertarungan di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan, diperdebatkan dan dipertandingkan serta ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara makna segala sesuatunya dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus (Strinati, 2003). Budaya pop adalah budaya pertarungan makna di mana segala macam makna bertarung memperbutkan hati masyarakat. Demikian juga dengan sinetron , diantara maraknya programprogram televisi yang baru, baik dalam format acara musik, travelling, kuliner, akan tetapi sinetron masih mendapatkan tempat dihati penonton hal ini dapat dicermati melaui rating yang relatif cukup baik dan stabil. Sinetron remaja sebagai budaya pop merupakan media yang efisien dalam mengkomoditaskan segala sesuatu dan menjualnya dalam bentuk praktis agar dapat dengan mudah dicerna dan ditelan oleh masyarakat khususnya remaja.
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7
Pop culture dapat menjadi perantara kekerasan yang terjadi dalam kehidupan remaja,berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Augusto De vananzi , seorang remaja yang tidak dapat mengadaptasi pop culture dalam gaya hidupnya akan menjadi kelompok minoritas yang pada akhirnya didominasi oleh sekelompok remaja lain yang dapat mengadaptasi pop culture, baik dalam gaya busana, maupun pola hidup. Pada akhirnya hal seperti ini akan menjurus pada pelecehan dan bullying. Dan lebih lanjut lagi dijelaskan dalam penelitian ini, peristiwa semacam ini yang menjadi pemicu korban untuk bertindak ekstrem untuk melakukan balas dendam2. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi beberapa aksi penembakan di sekolah yang dilakukan oleh korban bullying. Fenomena tersebut patut dicermati, karena saat ini banyak film maupun sinetron remaja yang kental dengan nuansa pop culture. Seringkali film-film tersebut hanya menampilkan gaya hidup remaja yang mengarah kepada hedonisme dan mengesampingkan nilai-nilai positif yang mungkin muncul dalam realitas kehidupan remaja. Untuk menganalisa gaya hidup remaja yang ditampilkan oleh media massa maka dipilihlah 2 sinetron remaja yang saat ini masih ditayangkan dan mendapatkan rating yang cukup baik. Sinetron Diam-diam Suka merupakan terbaru dari SCTV dengan genre drama remaja ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari remaja dan mayoritas adegannya mengambil setting di sekolah. Sinetron yang mayoritas dibintangi oleh remaja ini ditayangkan pada pukul 18.15 yang termasuk prime time. Survei yang dilakukan oleh ABC daily rating pada bulan juni 2014 menunjukkan bahwa 2 Augusto De Vananzi. 2012. School Shootings In The USA : Popular Culture As Risk, Teen marginality, and Violence Against Peers. USA: SAGE. Hal 268
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8
sinetron Diam-Diam Suka berada pada urutan ke 3 dari 30 acara televisi. Ini menunjukkan bahwa sinetron tersebut memiliki penggemar yang cukup banyak. Terlebih dengan banyaknya iklan yang muncul di sela penanyangan sinetron tersebut. Sinetron “Diam-Diam Suka” ini menceritakan tentang seorang remaja bernama Sri yang berasal dari keluarga tidak mampu lalu mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di SMU swasta yang elit. Sehingga timbul konflikkonflik yang pada akhirnya mengarah kepada kekerasan baik verbal, fisik dan tentu saja simbolik. Sinetron kedua adalah sinetron “Ganteng-Ganteng Srigala”,
ini
merupakan sinetron terbaru dari SCTV yang awal penayangannya adalah awal bulan Mei. Berdasarkan data dari Forum Lautan Indonesia, rating sinetron ini menempati posisi pertama pada bulan juni. Sinetron ini menceritakan Tristan (Kevin Julio) bersama saudara-saudaranya adalah murid baru di salah satu international school. Tidak ada yang mengetahui bahwa Tristan dan saudarasaudaranya adalah seorang vampir dengan misi mencari dan mengambil darah suci yang terdapat dalam tubuh Nayla (Jesicca Milla). Pada akhirnya cerita ini berkembang menjadi cinta segitiga antara Tristan, Nayla dan
galang yang
merupakan sahabat Nayla. Jadi dalam kedua sinetron ini peneliti mengasumsikan terdapat unsur-unsur kekerasan simbolik yang digambarkan melalui adeganadegannya. Pada bab VII, pasal 14 P3SPS disebutkan bahwa program siaran yang mengambil lokasi dan situasi sekolah wajib mematuhi norma dan nilai yang berlaku, tidak melecehkan, tidak menghina atau merendahkan sekolah sebagai
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9
lembaga pendidikan. Salah satu poinnya adalah tidak menggambarkan atau memperolok – olok guru sebagai sosok yang buruk, demikian juga cara berpakaian siswa dan juga tidak memaki dengan kata-kata kasar. Namun pada kenyataannya beberapa sinetron remaja yang umumnya mengambil setting di sekolah, acapkali melanggar pasal ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya sinetron remaja yang telah mendapatkan peringatan dari KPI. Apabila penggambaran sekolah melalui sinetron-sinetron ini terus menerus dilakukan maka bukan tidak mungkin akan menjurus kepada stereotype. Untuk mengekspolarasi bagaimana proses kekerasan simbolik terhadap sekolah yang berlangsung dalam sebuah tayangan sinetron remaja, peneliti menggunakan dasar teori representasi milik Stuart Hall (1997). Representasi adalah bagian terpenting dari proses dimana arti (meaning) diproduksi dan dipertukarkan antara anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam benak kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan benda, orang atau kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi dari obyek, orang, benda dan kejadian yang tidak nyata (fictional). Jika dihubungkan dengan penelitian ini, maka sinetron remaja ini telah melakukan proses representasi atas obyek yang ditampilkan di dalam acara tersebut, dengan menggunakan alat yang disebut bahasa (language), Bahasa sendiri terdiri dari simbol dan ini bisa diamati dari narasi,musik, visual, peristiwa, obyek, orang, pakaian, aksesoris,warna dan lainlain. posisi suatu obyek akan bisa diketahui dari analisis terhadap sign dan simbol tersebut, yang artinya kekerasan simbolik yang berlangsung sangat halus dan dibawah kesadaran objek penderita akan dapat dikenali dengan metode ini.Teori
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10
representasi tersebut berkait dengan konsep kekerasan simbolik dalam konteks pemikiran Bourdieu, dimana keduanya sama-sama fokus pada penggunaan bahasa (language). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan permasalahan dari tema penelitian ini, yaitu : “Bagaimana media melalui sinetron “ Diam-Diam Suka” dan “GantengGanteng Srigala “menampilkan kekerasan simbolik dalam bentuk dominasi kultural dan dominasi sosial?” 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kekerasan simbolik dalam dua sinetron remaja indonesia “Diam-Diam Suka” dan “Ganteng-Ganteng Srigala”. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan oleh pihak televisi terutama divisi pemograman untuk lebih selektif dalam memilih program yang sekiranya dianggap aman oleh pemirsanya
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11
1.4.2 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memahami praktik representasi realitas dari suatu fenomena dengan karakteristik tertentu dalam sebuah medium representasi khususnya media berupa sinetron remaja.
TESIS
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM SINETRON....
DEBBY LELIANA