1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-nafaqah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian den kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya seperti pengobatan, bahkan sekalipun istri adalah seorang wanita yang kaya.1 Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya berdasarkan al-Qur'an, as-Sunnah dan ijma' ulama.2 Dasar tersebut memberi ketetapan bahwa kewajiban suami untuk memberikan makanan, pakaian den kediaman serta kebutuhan primer lainnya bagi istri dan anak-anaknya, yang tentunya disesuaikan dengan tingkat kedudukan sosial pasangan tersebut dan selaras dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat tinggal mereka. Beberapa ulama telah memberikan perincian hal-hal penting yang harus diberikan sebagai nafkah. Hal-hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri dan standar kehidupan mereka. Bila istri belum dewasa dia harus dinafkahi oleh ayah atau walinya Rasulullah SAW menikahi Aisyah dua tahun sebelum ia mencapai masa pubernya dan Beliau tidak memberinya nafkah. Namun jika istri belum puber dan telah berkumpul dengan suaminya menurut Mazhab Maliki den Syafi'i suami tak wajib memberinya nafkah. 1
1986), hal 85. 2
Ibid
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid VII, Terj. Mahyudin Syaf, ( Bandung : Al Ma'arif,
2
Sedangkan menurut Abu Yusuf (ulama Hanafi) wajib menafkahi. Akan tetapi Imam Abu Hanifah, sepakat dengan pendapat Mazhab Maliki dan Syafi'i.3 Dalam ketentuan syari'at Islam suami wajib menyediakan kebutuhan pokok keluarga. Namun jika suami tak cukup mampu membelanjai keluarganya atau jika pendapatan terlalu rendah untuk memenuhi standar hidup yang layak, maka istri boleh bekerja atas keinginannya untuk menambah penghasilan. Menurut Abdur Rahman, meskipun istri boleh bekerja untuk menambah penghasilan, namun ada ketentuannya pertama, suami berhak untuk membatasi dan mengakhiri istri yang bekerja bilamana perlu; kedua suami berhak melarang pekerjaan yang dirasakannya akan menjerumuskan istrinya kepada kajahatan, kesesatan atau penghinaan; ketiga, istri berhak secara pribadi untuk berhenti dari pekerjaannya kapan saja, dan suami tidak bisa memaksa istri untuk bekerja; dan keempat setiap pendapatan yang diperoleh istri adalah milik keluarga bukan milik pribadi istri.4 Selanjutnya apakah masalah ketidak mampuan suami untuk memenuhi nafkah keluarga dapat dijadikan alasan percerian (cerai gugat) oleh istri. Pada pasal 116 dijelaskan tentang perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut3
Abdurrohman I Do'I, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (syariah I), Terj. Zainudin dan Rusydi Sulaiman ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal 370 4 Ibid, hal 371
3
c. d. e. f. g. h.
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; Salah satu mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; Suami melanggar taklik-talak; Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.5 Secara eksplisit dalam ketentuan di atas tidak dikemukakan, tetapi
secara implisit ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar terhadap masalah ketidakmampuan suami dalam memberikan nafkah keluarga, yakni: pertama terkait dengan keadaan suami yang tidak menafkahi keluarga karena meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya dan kedua ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah keluarga dikarenakan suami mendapat cacat badan atau penyakit sehingga suami tidak dapat menjalankan kewajibannya. Pada pasal 75 Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa: Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.6 Dasar ini memberikan penjelasan bahwa alasan sakit tersebut harus
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1995) hal 14 6 Undang Undang Republik Indonesia, No. 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama
4
dibuktikan dengan pemeriksaan oleh dokter. Dengan melihat dasar-dasar hukum Islam dalam uraian di atas, maka istri mempunyai hak, untuk melakukan cerai gugat terhadap suami yang dianggap tidak memberikan nafkah keluarga. Namun bagaimana jika istri menerima keadaan suami yang tidak dapat memberikan nafkah keluarga dan tidak melakukan tindakan hukum. Apakah dalam hukum Islam sikap istri yang demikian dapat dibenarkan, sebab dengan keadaan tersebut, peranan istri menjadi berubah sebagai pencari nafkah keluarga. Dari sinilah masalah ini menjadi menarik untuk diteliti dalam studi kasus keluarga.
B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini rumusan masalah yang dikemukakan, yang didasari dari latar belakang masalah adalah sebagai berikut: 1. Apa hak dan kewajiban suami istri dalam Islam ? 2. Mengapa kewajiban suami sebagai pencari nafkah tidak dapat dipenuhi ? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang istri yang berperan sebagai pencari nafkah keluarga ?
C. Tujuan Studi Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka studi ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tentang hak dan kewajiban suami istri dalam Islam. 2. Untuk mengetahui mengapa kewajiban suami sebagai pencari nafkah tidak dapat dipenuhi sehingga istri berperan sebagai pencari nafkah keluarga.
5
3. Untuk mengetahui bagaimana hukum Islam terhadap istri yang berperan sebagai pencari nafkah keluarga.
D. Kegunaan Studi Hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat, sekurang-kurangnya untuk dua hal, yaitu: 1. Dapat dijadikan bahan untuk menyusun hipotesis, bagi penelitian berikutnya, untuk mengetahui dan menetapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam sikap dan tindakan mengenai peranan istri sebagai pencari nafkah keluarga. 2. Dapat dijadikan untuk merumuskan konsep pemantapan hidup yang baik dalam membina keutuhan keluarga dalam hubungan pergaulan antar suami istri.
E. Sumber Data Sehubungan dengan penelitian yang bersifat studi kasus (case study) yang sifatnya sempit namun mendalam, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan populasi maupun sampel.7 Penelitian dalam bentuk studi kasus dalam hal ini terfokus pada sebuah keluarga yang diteliti secara mendalam yakni, di Desa Karanglo Kidul, Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. Dalam penelitian ini sumber data berasal dari informan pada penelitian di lapangan yang merupakan sumber data primer, sedangkan sumber data yang
7
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hal 115
6
didapat dari literatur yang terkait dengan pokok bahasan merupakan sumber data sekunder.
F. Metodologi Penelitian Dalam rangka pengumpulan data dalam riset lapangan (sumber data primer) maka peneliti melakukan penelitian dalam jangka waktu selama tiga bulan dari tanggal 09 Pebruari sampai 09 Mei 2009 dengan sepuluh kali pertemuan di lokasi dan menggunakan 3 prosedur taknik pengumpulan data, yaitu : pengamatan, wawancara, dan dokumen. 1.
Pengamatan (Observasi) Pengamatan mengumpulkan
bermaksud
mengumpulkan
pernyataan-pernyataan
yang
fakta,
berupa
yaitu
deskripsi,
penggambaran dari kenyataan yang menjadi perhatian. Suatu fakta hanya mencakup aspek-aspek tertentu saja dari apa yang dilihat, yaitu hal-hal yang dianggap penting bagi rangka pikiran atau teori yang bersangkutan. 2.
Wawancara (Interview) Wawancara dalam proses penelitian adalah salah satu cara dalam mengumpulkan data. Dengan cara ini peneliti dapat memperoleh data mengenai apa saja yang menjadi latar masalah. Informasi yang diberikan informan bisa berkembang dengan sendirinya. Ini berarti hasil yang diberikan penelitian juga dapat memberikan penilaian secara psikologis tentang diri informan. Hal yang demikian ini merupakan wawancara mendalam. Wawancara
mendalam
(in
depth
interview)
merupakan
7
wawancara yang lebih bebas, pertanyaan tidak tersusun terlebih dahulu, malah disesuaikan dengan keadaan; ciri yang unik dari informan dan pelaksanaan tanya jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari.8 Sehingga dengan cara tersebut dapat dihasilkan data yang lebih baik, karena informan berbicara dalam suasana apa adanya (tidak dibuatbuat). 3.
Dokumen Dokumen dibagi atas dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dan dokumen ini sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.9 Dalam penelitian ini tentu menggunakan dokumen pribadi, karena penelitian yang dilakukan merupakan studi kasus terhadap sebuah keluarga, maka data-data pribadi baik berupa catatan pribadi, foto dan lain-lain. Adapun dalam pengumpulan data sekunder (riset bibliografi) dilakukan dengan cara menelaah dan menganalisis sumber-sumber data yang ada. Kemudian dari telaah dan analisis sumber-sumber itu hasilnya diidentifikasi, dicatat dan dikualifikasikan menurut kerangka yang telah direncanakan. Sumber data sekunder ini merupakan pelengkap atau merupakan landasan teori.
8
Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990), hal 138-139 9 Ibid, hal 161
8
G.
Sistematika Pembahasan Bab I : Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan studi, kegunaan studi, data-data yang akan dihimpun, sumber data, teknik pengumpulan data, pengolahan dan analisis data serta sistematika pembahasan. Bab II : Landasan teori yang membahas tentang hak dan kewajiban suami istri, pengertian istri sebagai pencari nafkah, hukum Islam mengenai kewajiban suami yang tidak dapat digunakannya hak gugat cerai istri terhadap suami yang tidak mampu mencari nafkah keluarga. Bab III : Studi kasus yang mendeskripsikan tentang, latar belakang terjadinya perubahan peranan istri sebagai pencari nafkah keluarga dan pandangan suami istri tentang perubahan peranan istri sebagai pencari nafkah keluarga. Bab IV : Analisa hukum Islam tentang perubahan istri sebagai pencari nafkah keluarga. Bab V : Simpulan dan saran-saran.
9
E. LANDASAN TEORI 1.
Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Kompilasi hukum Islam pada bab XII bagian kesatu umum, pasal 77 dijelaskan tentang hak dan kewajiban swami istri sebagai berikut: (1). Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. (2). Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (3). Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. (4). Suami istri wajib memelihara kehormatannya. (5). Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pada pasal tersebut terlihat bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum serta dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama jika suami atau istri melalaikan kewajibannya. Dalam pasal 80 disebutkan tentang kewajiban suami, yang
10
dijabarkan dalam 7 (tujuh) ayat, yaitu:
(1). Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh (2). Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3). Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, dan bangsa. (4). Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c. biaya pendidikan bagi anak. (5). Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna istrinya. (6). Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7). Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.
Dalam kaitan hal tersebut, maka firman Allah di dalam al-Qur'an
11
surat an-Nisa' ayat 34 menjelaskan sebagai berikut:
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di saat kepergian suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya sesunggulmya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.12
Dari dasar ayat di atas, maka dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan tentang kewajiban istri sebagaimana pasa183 dan 84 berikut: Pasal 83 (1). Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
12
Islam. (2). Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya Pasal 84 (1). Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasa183 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. (2). Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3). Kewajiban suami tersebut dalam ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz. (4). Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Lebih lanjut mengenai masalah hak dan kewaijiban suami istri yang tidak bisa dikesampingkan adalah masalah hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suami, bahkan termasuk anak-anaknya. Di mana dalam kompilasi hukum Islam telah dijelaskan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung tiga kewajiban: pertama, nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; kedua, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan istri dan anak; dan ketiga, biaya pendidikan bagi anak. Dalam buku Fiqih Wanita yang dikarang oleh Ibrahim Muhammad
13
Al-Jamal dijelaskan bahwa nafkah itu jelas menjadi kewajiban suami. Namun begitu patut juga diperhatikan keadaannya, karena suami yang menjadi sasaran pembicaraan Allah sebagaimana firmannya:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Pandangan di atas menegaskan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan besar dan kecilnya sangat tergantung dari rizki yang didapatkanya. Bahkan bagi istri yang dicerai yang dalam masa 'iddah, maka kewajiban suami untuk memberi nafkah merupakan ketetapan Allah seperti firman berikut:
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah (pemberian) menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi oran-orang yang taqwa.
Syari'at Allah tentang nafkah ini tetap berlaku sampai dengan terjadinya benar-benar perceraian antara suami istri sesudah jatuhnya
14
talak. Sehingga dengan demikian suami tidak dibenarkan jika tidak memberikan mut'ah kepada istri yang diceraikan selama dalam masa 'iddah. Dan seorang suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya untuk hal-hal berikut:
B. Pengertian Istri sebagai Pencari Nafkah
Pembahasan pada bagian ini lebih difokuskan pada ketidakmampuan suami dalam memenuhi kewajiban yang merupakan tanggung jawabnya dan juga pemenuhan hak istri untuk mendapatkan haknya sebagai istri. Maknanya bahwa karena suami tidak mampu, bahkan sama sekali tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai suami, maka terjadi perubahan bahwa istri melakukan peranan sebagai "pengganti" suami yang mempunyai kewajiban mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam ketentuan hukum Islam bahwa yang berkewajiban mencari nafkah adalah suami sedangkan istri berkewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya, sebab istri tidak bekerja, maka urusan rumah tangga adalah urusan utamanya.
15
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hak dan Kewajiban Suami Istri Rumah tangga itu tersusun dari suami isteri, karena tidak dinamakan rumah tangga yang sempurna kalau belum ada keduanya. Suami isteri dalam rumah tangga itu bermacam-macam keadaannya ada yang berkeadaan sebagai halnya kucing dengan anjing; setiap waktu bertengkaran dan rusuh, berkelahi dan bertinju, dan terkadang bercakar-cakaran. Inilah yang dikatakan rumah tangga yang tiada beres dan kusut, tiap-tiap golongan tidak mengetahui hak dan kewajibannya menjadi pengisi rumah tangga. Ada pula yang sebagai rumah kuburan, sunyi senyap, si isteri tidak menghiraukan
kepentingan
suaminya
hingga
urusan
makan
dan
sebagainya. Si suami idem, masing-masing mementingkan diri sendiri, pertaliannya hampir tidak ada, laksana seorang mayit tidak berhubungan dengan mayit lain. Ada juga yang hampir sebagai pasar, tempat berjual beli. Suami menghitung benar uang keluar masuk, sepeser tak mau ia lebihkan, tetapi kalau kurang, ia pura-pu-ra tidak tahu. Isteri pun mengukur tenaga dan makanan yang ditumpahkan dan disediakannya untuk suaminya, supaya jangan ada lebih sedikit pun makanan dan tenaga dari pemberian suami, kalau dapat ia hendak hemat dan peras lakinya, supaya ia sendiri senang dan suaminya setengah mati. Tetapi tidak kurang-kurangnya suami isteri dalam rumah tangga sebagai seorang kawan yang setia terhadap sahahabatnya yang dikasihi, sama-sama bertenaga, sama-sama mencari
16
jalan untuk menenteramkan dan ..mengamankan rumah tangganya. Yang belakangan ini, hendak kita luaskan pembicaraannya. Untuk menciptakan rumah tangga sebagai yang belakangan tadi, Allah telah memperingatkan manusia yang hendak atau telah berumah tangga akan hak dan kewajiban masing-masing, yang bila dikerjakan niscaya tercapailah maksud berumah tangga yang sebaik-baiknya itu. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban. Hak yang dapat ia tuntut dari suaminya bila tidak diberikan, dan kewajiban yang mesti ia tunaikan terhadap suaminya. Suami pun demikian, ia mempunyai hak yang dapat ia tuntut dari isterinya dan ada mempunyai kewajiban yang mesti ia tunaikan terhadap isterinya. Dalam pada itu si suami ada mempunyai derajat kekuasaan atas isterinya, bukan hak kuasa sebagai-seorang tuan terhadap budaknya, atau sebagai kusir terhadap kudanya, atau sebagai seorang majikan terhadap buruhnya, bukan pula berarti si suami boleh berbuat sesuka-sukanya terhadap isterinya, atau boleh melakukan sewenang-wenang.. Malah kalau dilihat dari jurusan didikan, kekuasaan yang diberikan atas diri suami itu, bukanlah perkara kecil, tetapi perkara yang lebih berat dari amanat Allah kepada guru-guru terhadap murid-muridnya, pemimpin terhadap rakyatnya dan raja terhadap rakyatnya. Dalam Kompilasi hukum Islam pada bab XII bagian kesatu umum, pasal 77 dijelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri sebagai berikut: (6). Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
17
(7). Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (8). Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anakanak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. (9). Suami istri wajib memelihara kehormatannya. (10). Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.10 Pada pasal tersebut terlihat bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum serta dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama jika suami atau istri melalaikan kewajibannya. Dalam pasal 80 disebutkan tentang kewajiban suami, yang dijabarkan dalam 7 (tujuh) ayat, yaitu: (5). Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh (6). Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (7). Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, dan bangsa. (8). Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c. biaya pendidikan bagi anak. (8). Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna istrinya. (9). Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (10). Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.11
10
Abdurahman, Kompilasi hukum Islam di Indonesia (Jakarta ; Akademika Pressindo, 1995), hal 132 11 Ibid
18
Dalam kaitan hal tersebut, maka firman Allah di dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 34 menjelaskan sebagai berikut:
(#θà)xΡr& !$yϑÎ/uρ <Ù÷èt/ 4’n?tã óΟßγŸÒ÷èt/ ª!$# Ÿ≅āÒsù $yϑÎ/ Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’n?tã šχθãΒ≡§θs% ãΑ%y`Ìh9$# ÉL≈©9$#uρ 4 ª!$# xáÏym $yϑÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M≈sàÏ≈ym ìM≈tGÏΖ≈s% àM≈ysÎ=≈¢Á9$$sù 4 öΝÎγÏ9≡uθøΒr& ôÏΒ ÷βÎ*sù ( £èδθç/ÎôÑ$#uρ ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ ∅èδθÝàÏèsù ∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ∩⊂⊆∪ #ZÎ6Ÿ2 $wŠÎ=tã šχ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 ¸ξ‹Î6y™ £Íκön=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& Artinya : "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di saat kepergian suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya sesunggulmya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar".12 Dari dasar ayat di atas, maka dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan tentang kewajiban istri sebagaimana pasal 83 dan 84 berikut: Pasa183 (1). Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2). Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga seharihari dengan sebaik-baiknya. Pasal 84 (1). Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. (2). Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. 12
Al-Qur'an, 4 : 34
19
(3). Kewajiban suami tersebut dalam ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz. (4). Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.13 Secara fitrah, laki-laki dan wanita berbeda, baik fisiologis dan psychisnya. Wanita secara fisiologis, lebih halus, lembut dan lunak, sehingga mampu mengikuti perilaku anak-anak, dan bersabar mengendalikan emosi di dalam mengasuh dan mendidik anak. Adapun laki-laki, secara fisiologis lebih kuat dan gesit, sehingga mampu lebih kuat melakukan tindakan, mampu melakukan perjuangan dan mampu mempertahankan diri sendiri dan keluarganya, mengatasi ancaman bahaya dari luar terhadap diri dan keluarganya, maka laki-laki sebagai penanggung jawab keluarga, sudah selayaknya memperoleh hak pengawasan atas tingkah laku istri dan keluarganya. Akan tetapi menyangkut masalah kepemimpinan ini merupakan satu kaidah (pondasi) pembangunan rumah tangga yang telah merupakan satu ketetapan, dalam rangka pembentukan masyarakat dan peletakan dasar, bahwa kehidupan ini akan menjadi baik, bila mematuhi pondasi kerangka tersebut. Seorang muslim tidak dibenarkan apabila melepaskan diri dari bentuk kehidupan berkepemimpinan, demikian halnya posisi suami istri dalam berumah tangga, terdapat konsep kewajiban kepemimpinan yang didasarkan atas adanya tingkat kelebihan suami sebagaimana dalam firman Allah surat al-Baqarah dikemukakan bahwa:
“Ï%©!$# ã≅÷WÏΒ £çλm;uρ 4 $[s≈n=ô¹Î) (#ÿρߊ#u‘r& ÷βÎ) y7Ï9≡sŒ ’Îû £ÏδÏjŠtÎ/ ‘,ymr& £åκçJs9θãèç/uρ 4 …
13
Abdurahman, Kompilasi, hal : 134
20
∩⊄⊄∇∪ îΛÅ3ym ͕tã ª!$#uρ 3 ×πy_u‘yŠ £Íκön=tã ÉΑ$y_Ìh=Ï9uρ 4 Å∃ρá÷èpRùQ$$Î/ £Íκön=tã Artinya : "....Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana".14 Mengenai hal ini, maka Mahmud Syaltut memberikan pandangan bahwa menurut kaidah yang ditetapkan Qur'an dalam surat al-Baqarah 228, mempunyai makna bahwa dalam keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, ditetapkan agar berani memikul tanggung jawab memelihara dan memimpin. Dia bertugas mengusahakan kehidupan anak dan istrinya serta membendung seluruh apa yang mungkin dapat merusak rumah tangganya.15 Tingkatan kelebihan dimaksud bukanlah derajat kekuasaan dan paksaan melainkan memimpin dan mengetahui rumah tangga, ditimbulkan oleh perjanjian perkawinan dan keperluan pergaulan. Derajat bimbingan yang dibebankan kepada laki-laki, merupakan tanggung jawab yang lebih berat dari pada tanggung jawab istri. Kepentingan istri, anak-anak dan rumah tangga mengenai pembelanjaan dan hal-hal yang tak sanggupi oleh seorang wanita dan terletak di luar bats kesanggupannya, semua itu dibebankan kepada suami.16 Dengan demikian, tanggung jawab yang diberikan kepada suami yang merupakan suatu kewajiban, menurut Syaltut dikarenakan dua sebab : 1.
Sifat dan keadaan laki-laki itu sendiri kuat memikul urusan-urusan berat, 14
Al-Qur'an, 2 : 228 Mahmud Syaltut, Akidah dan syari'ah Islam, ter, Fachruddin Hs. dan Nasharuddin, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), hal 166 16 Ibid, hal : 167 15
21
2.
berkat kekuatan tubuh, kemauan dan tenaga yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Membelanjai rumah tangga, maknan, pakaian dan seluruh keperluan istri dan anak-anak dan keluarga yang ditanggungnya.17 Hal yang tidak kalah pentingnya mengenai masalah hak dan
kewajiban suami istri dalam Islam adalah pergaulan suami istri yang baik. Islam menuntut agar suami bersikap baik terhadap istrinya dan istri dituntut pula begitu terhadap suaminya. Amanat-amanat Rasulullah banyak sekali berkenaan dengan pergaulan yang baik suami sebagaimana yang dicatat Syaltut yang merupakan ucapan Rasul di hari-hari yang semasa hidupnya sebagai berikut : 1. Kuamanatkan olehmu agar bersikap baik terhadap wanita (istri). 2. Ia yang lebih bermanfaat kepada orang beriman sesudah takwa ialah istri yang saleh, bila diperintah diturutinya, bila dilihat wajhanya menyenangkan. Bila suaminya di rumah, diladeninya dengan baik, dan bila suaminya pergi (tidak di rumah) dipelihara harta dan kehormatan suaminya. 3. Orang-orang yang sempurna imannya ialah yang berbudi baik, dan orangorang pilihan (yang terbaik) ialah yang amat baik budinya terhadap istrinya. 4. Tidak boleh seorang laki-laki mukmin marah terhadap wanita yang beriman, jika ada yang tidak menyukai budi pekertinya, mungkin ada orang yang menyukainya.18 Ketetapan Islam agar suami istri menunaikan kewajiban pergaulan baik dan tanggung jawab masing-masing merupakan kaidah umum yang telah ditetapkan, dan merupakan kemerdekaan (hak asasi) pria dan wanita dalam kehidupannya. Demikianlah seterusnya dalam keseluruhan hak dan kewajiban, bukan hanya untuk laki-laki saja dan bukan pula untuk wanita semata-mata. Laki-laki bertanggung jawab dan wanitapun bertanggung
17 18
Ibid Ibid, hal : 170 - 171
22
jawab. Laki-laki mempunyai hak dan wanita juga mempunyai hak. Kelanjutan dari pertanggungjawaban dan kemerdekaan masingmasing, maka Allah memberikan persamaan antara laki-laki dan wanita dalam hak dan derajat memperoleh pahala dari amal baik dan kebaktian masing-masing, seperti firman-Allah sebagai berikut:
y7Í×‾≈s9'ρé'sù ÖÏΒ÷σãΒ uθèδuρ 4s\Ρé& ÷ρr& @Ÿ2sŒ ÏΒ ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# zÏΒ ö≅yϑ÷ètƒ ∅tΒuρ ∩⊇⊄⊆∪ #ZÉ)tΡ tβθßϑn=ôàムŸωuρ sπ¨Ψyfø9$# tβθè=äzô‰tƒ Artinya : "Siapa yang mengerjakan perbuatan baik, baik laki-laki atau perempuan, sedang dia beriman, maka orang itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dirugikan sedikitpun".19 Setelah lanjut mengenai masalah hak dan kewajiban suami istri yang tidak bisa disampingkan adalah masalah hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suami, bahkan termasuk anak-anaknya Di mana dalam kompilasi hukum Islam telah dijelaskan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung tiga kewajiban: pertama, nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; kedua, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan istri dan anak; dan ketiga, biaya pendidikan bagi anak. Dalam buku Fiqih Wanita yang dikarang oleh Ibrahim Muhammad Al-Jamal dijelaskan bahwa nafkah itu jelas menjadi kewajiban suami.20 Namun begitu patut juga diperhatikan keadaannya, karena suami yang menjadi sasaran pembicaraan Allah sebagaimana firmanya:
19
Al-Qur'an, 4 : 124 Ibrahin Muhammd al-Jamal, Fiqih Wanita, ter, Anshori Umar, (Semarang : CV Syifa', 1988), hal. 463. 20
23
!$£ϑÏΒ ÷,ÏΨã‹ù=sù …çµè%ø—Í‘ ϵø‹n=tã u‘ωè% tΒuρ ( ϵÏFyèy™ ÏiΒ 7πyèy™ ρèŒ ÷,ÏΨã‹Ï9 ª!$# çµ9s?#u Artinya : "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya".21 Jadi, kalau suami itu kaya memang hendaknya ia memberikan nafkah sesuai dengan kekayaannya. Sedang bagi yang sedang mengalami kesulitan, maka semampunyalah tanpa harus memberi lebih dari itu, dan sama sekali tidak ada keharusan melihat kaya miskinnya fihak istri. Artinya, kalau suaminya miskin, sedang istrinya dari keluarga orang kaya yang biasa hidup serba kecukutpan sandang-pangannya, maka dialah yang harus mengeluarkan hartanya untuk mencukupi dirinya, kalau dia punya. Kalau tidak, maka istri harus bersabar atas rizki yang diberikan Allah kepada suaminya Karena Allah yang rnenyempitkan dan melapangkan rizki itu.22 Pandangan di atas menegaskan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan besar dan kecilnya sangat tergantung dari rizki yang didapatkannya. Bahkan bagi istri yang dicerai yang dalam masa iddah, maka kewajiban suami untuk memberi nafkah merupakan ketetapan Allah seperti firman berikut:
∩⊄⊆⊇∪ šÉ)−Gßϑø9$# ’n?tã $ˆ)ym ( Å∃ρâ÷÷êyϑø9$$Î/ 7ì≈tFtΒ ÏM≈s)‾=sÜßϑù=Ï9uρ
21 22
Al-qur'an, 65 : 7 Al-Jamal, Fiqih, 464
24
Artinya : "Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah (pemberian) menurut yang ma'ruf sebagai suatu kewajiban bagi orangorang yang takwa".23 Syari'at Allah tentang nafkah ini tetap berlaku sampai dengan terjadinya benar-benar perceraian antara suami istri sesudah jatuhnya talak. Sehingga dengan demikian suami tidak dibenarkan jika tidak memberikan nafkah kepada istri yang diceraikan selama dalam masa `iddah. Dan seorang suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya untuk hal-hal berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bila dia ke luar rumah dan pergi ke tempat lain tanpa persetujuan suami atau alasan yang dibenarkan agama. Bila dia bepergian tanpa izin suami. Bila dia ihram tanpa persetujuan suami. Dan nafkah tetap diberikan bila disertai dan atas persetujuan suami. Bila dia menolak bersetubuh dengan suaminya. Bila dia dipenjara karena tindak pidana. Bila suami meninggal dan dia menjadi janda. Dan dia berhak mewarisi harta peninggalan suaminya sesuai dengan haknya.Inilah merupakan alasan yang utama mengapa si janda tak berhak memperoleh nafkah selama masa `iddah karena kematian suami.24 Jadi, keharusan nafkah dari seorang suami tak hanya sewaktu dia
masih menjadi istri sahnya dan terhadap anak-anak dan istri itu, suami wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian. Dan tidak benar jika ada suami yang memperlakukan istri dan membuatnya sengsara setelah talak pertama dan ketika ia menjalani masa `iddah tanpa nafkah. Hal ini tidak dibolehkan, dia harus diberi nafkah yang seimbang, sesuai dengan standar hidup suami. Dalam situasi ini masih ada harapan hidup untuk berdamai, dan bila tidak maka 23
perceraian
itu
harus
dilakukan
secara
terhormat.
Al-Qur'an
Al-Qur'am, 2 : 241 Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, ter. Zaimudin Rusydi Sulaiman. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal : 370. 24
25
membebankan tanggung jawab tambahan, bila Istri sedang hamil. Perceraian sama sekali tidak diperkenankan sampai anak yang dikandungnya lahir, dia harus dinafkahi sepatutnya. Perawatan terhadap anak dan kesejahteran istri merukan tanggung jawab seorang suami. Bahkan seandainya seorang ibu tak dapat menyusui atau timbul keadaan yang menghalanginya untuk menyusui anak, juga merupakan tanggung jawab suami untuk dirawat dengan biaya khusus. Hal ini jangan sarnpai mengurangi nafkah bagi ibu sesuai dengan keadaannya.25 Di dalam Al-Qur'an Allah berfirman tentang masalah kewajiban ayah (suami) penanggung perawatan terhadap anak, sebagai berikut:
’n?tãuρ 4 sπtã$|ʧ9$# ¨ΛÉムβr& yŠ#u‘r& ôyϑÏ9 ( È÷n=ÏΒ%x. È÷,s!öθym £èδy‰≈s9÷ρr& z÷èÅÊöムßN≡t$Î!≡uθø9$#uρ Ÿ 4 Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ £åκèEuθó¡Ï.uρ £ßγè%ø—Í‘ …ã&s! ÏŠθä9öθpRùQ$# Artinya : "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf".26 Dalam ayat di atas, kata "rizq" meliputi kecukupan pangan, pakaian yang memadahi, dan berbagai kebutuhan lainnya. Dan secara khusus menyebutkan kebutuhan nafkah pemeliharaan anak, sehingga orang-orang yang kurang peduli terhadap anak-anaknya, maka tanggung jawab terhadap anak tersebut akan ditekan untuk memenuhi aspek lain baik dilakukan oleh ibu ataupun ayah. Demikianlah beberapa hal yang berkenaan tentang hak dan kewajiban 25 26
Ibid, 372-373 Al-Qur'an, 2 : 233
26
suami istri dalam membentuk keluarga yang didalamnya terdapat kaidahkaidah hukum Islam sebagai pedoman agar tidak terjadi penyimpangan.
B. Pengertian Istri sebagai Pencari Nafkah Yang dimaksud dengan belanja, semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya. Banyak belanja
yang diwajibkan, sekadar keperluan dan
kebutuhan serta mengingat keadaan kekuatan yang berkewajiban menurut adat disuatu tempat. Dengan mengingat Firman Allah dalam surat Al Baqarah 233.
4 $yγyèó™ãρ āωÎ) ë§øtΡ ß#‾=s3è? Ÿω 4 Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ £åκèEuθó¡Ï.uρ £ßγè%ø—Í‘ …ã&s! ÏŠθä9öθpRùQ$# ’n?tãuρ 4 Artinya : Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. "27
Sebab-sebab yang mewajibkan nafkah ada dua : 1. Dengan sebab turunan, wajib atas bapak atau ibu kalau bapak tidak ada,
memberi belanja kepada anaknya, begitu juga kepada cucu kalau dia tidak mempunyai bapak. Syarat wajibnya belanja atas dua ibu bapak kepada anak, apabila si anak masih kecil dan miskin, atau besar tetapi tidak kuat berusaha, dan miskin pula. Sebaliknya, wajib atas anak memberi belanja kepada kedua orang ibu
27
Al Qur'an, 2 : 233
27
bapaknya, apabila keduanya tidak kuat lagi berusaha dan tidak mempunyai harta. Firman Allah s.w.t. :
…. $]ùρã÷ètΒ $u‹÷Ρ‘‰9$# ’Îû $yϑßγö6Ïm$|¹uρ Artinya : "Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik"28 Cara bergaul yang baik itu amat banyak, ringkasnya menjaga jangan keduanya mendapat kesakitan atau kesusahan, dan menolong keduanya dalam segala keperluan. 2. Dengan sebab perkawinan, diwajibkan atas suami memberi belanja kepada isterinya yang ta'at, baik makanan atau pakaian, maupun tempat kediaman dan perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami. Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masing-masing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan yang sama dengan keadaan suami, walaupun sebagian ulama mengatakan nafkah istri itu dengan kadar tertentu, tetapi yang mu'tamad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta mengingat keadaan suami. Firman Allah Al Baqarah 228 :
4 Å∃ρá÷èpRùQ$$Î/ £Íκön=tã “Ï%©!$# ã≅÷WÏΒ £çλm;uρ Artinya : "Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. 29
Dari ayat di atas, jelaslah bahwa nafkah seorang istri itu harus sesuai dengan 28 29
Al Qur'an, 31 : 15 Al Qur'an, 2 : 228
28
keta'atannya, seorang istri yang tidak ta'at (durhaka) kepada suaminya tidak berhak mengambil segala belanja. Pembahasan pada bagian ini lebih difokuskan pada ketidak mampuan suami dalam memenuhi kewajiban yang merupakan tanggung jawabnya dan juga pemenuhan hak istri untuk mendapatkan haknya sebagai istri. Maknanya bahwa karena suami tidak mampu, bahkan sama sekali tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai suami, maka terjadi perubahan bahwa istri melakukan peranan sebagai "pengganti" suami yang mempunyai kewajiban mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam ketentuan hukum Islam bahwa yang berkewajiban mencari nafkah adalah suami sedangkan istri berkewajiban tmtuk menyelenggarakan dan mengatur rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya, sebab istri tidak bekerja, maka urusan rumah tangga adalah urusan utamanya. Seperti merawat anak dan keluarga, serta semua pekerjaan rumah yang diperlukan untuk memelihara kebersihan dan kenyamanan lingkungan rumahnya. Dengan peranan istri sebagai penyelenggara dan pengatur rumah tangga tersebut, maka kewajiban suami adalah menyediakan kebutuhan bagi keluarganya. Akan tetapi apabila suami tak cukup mampu membelanjai keluarganya atau jika pendapatannya terlalu rendah untuk memenuhi standar hidup yang layak, dan istri berikeinginan untuk bekerja, maka keduanya boleh bekerja untuk menambah penghasilan. Walaupun demikian menurut Abdur Rahman ada hak bagi suami dan istri sebagai berikut: 1.
Suami berhak untuk membatasi dan mengakhiri pekerjaan isterinya
29
2. 3. 4.
bilamana perlu. Suami berhak melarang pekerjaan yang dirasanya akan menjerumuskan istrinya kepada kejahatan, kesesatan atau penghinaan. Istri berhak berhenti dari pekerjaannya kapan saja. Setiap pendapatan yang diperoleh istri adalah milik kelurga bukan milik pribadi istri.30 Konsep yang ditawarkan Abdur Rahman adalah untuk menyiasati
adanya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang sesuai dengan standar kebutuan. Jadi alasan istri dibolehkan bekerja adalah untuk mencukupi adanya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Pengertian yang dimaksud dalam kajian ini adalah bahwa suami tidak mampu untuk bekerja, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga Ragam ketidak mampuan suami untuk memenuhi kewajiban sebagai pencari nafkah keluarga memang sangat beragam. Dalam kompilasi hukum Islam pasal 116 huruf e dijelaskan bahwa karena suami mendapat cacat badan atau penyakit, maka ia tidak dapat menjalankan kewajibannya.31 Artinya adalah bahwa suami yang tidak dapat melakukan kewajiban sebagai suami yakni memberikan nafkah, dikarenakan mendapatkan cacat badan atan penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk bekerja Maka terhadap keadaan suami yang demikian, jelas peranan istri akan berubah menjadi pencari nafkah, dengan catatan jika istri tidak melakukan gugatan perceraian. Memang menjadi kontoversial saat istri itu bekerja sebagai pencari nafkah, yang kadang tidak sesuai dengan kodratnya, atau pekerjaan yang membahayakan keselamatan dirinya, bahkan tak jarang pekerjaan tersebut 30 Abdurrohman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (syariah I), Terj. Zainuddin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal : 371 31 Abdurahman, Kompilasi hukum Islam di Indonesia (Jakarta ; Akademika Pressindo, 1995), hal : 141
30
malah menurunkan derajatnya, seperti bekerja sebagai pekerja seks. Bermunculan berbagai usaha dan lapangan pekerjaan yang sangat potensial merusak
moral
pribadi
dan
masyarakat seperti,
panti
pijat yang
mempekerjakan wanita-wanita cantik setengah baya untuk melayani laki-laki iseng, rumah karaoke, bilyar dan lain-lain. Semua ini muncul karena tuntutan masyarakat yang terpengaruh budaya globalisasi. Realitas kehidupan seperti ini, bertentangan dengan keinginan untuk membangun keluarga ideal yang harmonis dan sejahtera, yang didambakan. Pada prinsipnya Islam mengarahkan kaum wanita, supaya dalam bekerja harus mengutamakan tugas fitrahnya, yaitu mengurus rumah tangga dan mendidik anakanaknya agar kelak dapat menjadi generasi penerus yang shaleh, sehingga dapat mengelola dunia ini dengan baik sesuai dengan tanggung jawab manusia sebagai hamba Allah. Namun demikian, menurut sebagian ulama, kaum wanita tidak haram bekerja di luar rumah asalkan dapat memenuhi syarat-syarat syar'i. Dengan memahami peran strategis dan sentral kaum wanita, yaitu beramal dan menyelenggarakan tugas-tugas kehidupan sesaui dengan fitrahnya, maka jika mereka berkeinginan bekerja di luar rumah, hendaklah benar-benar dapat menjaga kebaikan keluarga, yaitu kepentingan anak-anak dan suaminya serta tidak menimbulkan peluang bagi kerusakan moral dan tersebarnya fitnah di tengah masyarakat. Oleh karena itu menurut Muhammad Thalib, wanita yang karena alasan dan kondisi tertentu harus bekerja di luar rumah, haruslah memenuhi
31
syarat-syarat tertentu sebagai berikut:32 Pertama, pekerjaan yang dilakukan benar-benar membutuhkan penanganan kaum wanita, sehingga tidak bercampur aduk dengan kaum lakilaki. Misalnya, menjadi guru di taman kanak-kanak, sekolah khusus putri, perawat untuk pasien perempuan dan jenis pekerjaan lain yang menangani kaum perempuan dan anak-anak. Kedua, suami yang bertanggung jawab atas nafkah istri tidak dapat muencukupi kebutuhan mereka sekeluarga, sehingga terpaksa istri bekerja di luar guna membantu mencukupi nafkah keluarga. Sekalipun demikian, pekerjaan yang dilakukan tidak boleh membuat yang bersangkutan bercampur bebas. Ketiga, jam kerja yang diperlukan wanita. untuk pekerjaan di luar rumah tidak menelantarkan kewajiban pokoknya mengurus keluarga Sebab mengurus rumah tangga dan anak-anak, adalah kewajiban (fardlu ain) bagi perempuan yang telah berkeluarga, sekalipun dia memiliki pembantu. Sedangkan bekerja mencari nafkah demi membantu mencukupi kebutuhan keluarga, tidak wajib bagi wanita. Keempat, ada persetujuan suami, sebab Islam menetapkan perempuan tidak bertanggung jawab menafkahi dirinya sendiri, tetapi yang menanggung adalah suami atau ayah atau saudara laki-lakinya Hal ini berarti setiap perempuan dalam bekerja di luar rumah bukanlah merupakan tuntutan kebutuhan hidup secara prinsip, tetapi hanya bersifat sekunder.
32
Muhammad Thalib, Solusi Islam terhadap Dilema Wanita Karir. (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), hal : 108-110
32
Mencermati pandangan Muhammad Thalib tersebut, maka dipandang kurang lengkap sebab masalah istri yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, karena suaminya tidak mampu menjalankan kewajiban mencari nafkah, tidak menjadi bahan pertimbangan yang merupakan alasan istri bekerja mencari nafkah. Untuk itulah kembali perlu diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan "istri sebagai pencari nafkah" adalah terjadinya perubahan peranan yang dikarenakan suami tidak mampu (cacat badan atau sakit), dan istri mengambil posisi "merangkap" di samping mengurusi rumah tangga, ia juga berperan sebagai pencari nafkah keluarga, karena kondisi suami yang tidak mampu serta tidak memungkinkan pihak-pihak yang lain yang dapat menggantikan kewajiban suami mencari nafkah selain istri itu sendiri.
C. Suami Yang Tidak Mampu Mencari Nafkah dan Hak Gugat Cerai Istri Salah satu kewajiban suami adalah mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Menurut Mazhab Maliki dan syafi'i, jika suami menolak atau mengabaikan pemberian nafkah selama dua tahun, istri berhak menuntut cerai. Tetapi berbeda dengan Mazhab Hanafi, ketidakmampuan ataupun pengabaian nafkah ini bukan merupakan alasan yang cukup untuk bercerai. Beberapa pertimbangan dapat dilakukan jika terkait dengan kepergian suami, yakni seorang istri berhak menuntut suaminya agar mengajaknya berpergian atau dengan cara memberi nafkah selama ia ditinggalkan, sejumlah uang belanja sebelum suami pergi harus diberikan atau dengan memberikan kuasa kepada seseorang untuk menafkahi istrinya. Biaya hidup itu diberikan dalam
33
jangka waktu yang sama seperti kebiasaan suami membayarkannya.33 Ada sebagian ulama terkemuka seperti Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, yang memperbolehkan perceraian antara suami istri lewat keputusan hakim apabila suami tidak memberikan nafkah, yaitu manakala fihak istri itu sendiri yang menuntut perceraian, sedang suami memang tak punya harta yang nyata. Alasan mereka cukup banyak, misalnya menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal yang mengutip QS. al-Baqarah: 229 sebagai berikut: Ada sebagian ulama terkemuka seperti Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, yang memperbolehkan perceraian antara suami istri lewat keputusan hakim apabila suami tidak memberikan nafkah, yaitu manakala fihak istri itu sendiri yang menuntut perceraian, sedang suami memang tak punya harta yang nyata. Alasan mereka cukup banyak, misalnya menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal yang mengutip QS. al-Baqarah: 229 sebagai berikut:
βr& öΝà6s9 ‘≅Ïts† Ÿωuρ 3 9≈|¡ômÎ*Î/ 7xƒÎô£s? ÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 88$|¡øΒÎ*sù ( Èβ$s?§÷s∆ ß,≈n=©Ü9$# ÷ΛäøÅz ÷βÎ*sù ( «!$# yŠρ߉ãm $yϑŠÉ)ムāωr& !$sù$sƒs† βr& HωÎ) $º↔ø‹x© £èδθßϑçF÷s?#u !$£ϑÏΒ (#ρä‹è{ù's? Ÿξsù «!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï? 3 ϵÎ/ ôNy‰tGøù$# $uΚ‹Ïù $yϑÍκön=tã yy$oΨã_ Ÿξsù «!$# yŠρ߉ãn $uΚ‹É)ムāωr& ∩⊄⊄∪ tβθãΚÎ=≈©à9$# ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù «!$# yŠρ߉ãn £‰yètGtƒ tΒuρ 4 $yδρ߉tG÷ès? Artinya : "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, 33
Doi, Karakteristik, 371
34
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukumbukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalakan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukumhukum Allah, maka janganlah kamu melaggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim".34 Tafsir ayat ini adalah apabila suami itu hendak mempertahankan istrinya maka ia wajib menahanya dengan ma'ruf, atau bila hendak menceraikan juga wajib dengan cara yang baik pula. Maka maknanya, bahwa dengan tidak memberikan nafkah berarti tidak dapat mempertahankan istri dengan cara yang ma'ruf. Dalam Islam diajarkan bahwa perempuan itu merupakan makluk yang harus dihormati. Kaum wanita sebagai ibu harus dijunjung tinggi, sebab diibaratkan bahwa surga itu berada di telapak kaki ibu. Jika sebagai istri ia berhak menerima segala sesuatu berupa kebutuhan dan hajat hidup, dan nafkah baik yang bersifat lahir maupun batin. Dalam hukum disebutkan bahwa laki-laki dengan perempuan bagaikan sisi mata uang dan perempuan mempunyai fungsi yang besar dalam kehidupan manusia sebagai ibu. Sebagai orang yang ditugasi melahirkan dan melanjutkan generasi manusia yang akan mengatur alam semesta ini. Dari uraian di atas, maka sebelum mengemukakan hukum Islam tentang suami yang tidak mampu mencari nafkah, perlu diketahui terlebih dahulu tentang macam penyebab suami tidak dapat memberikan nafkah, yakni: pertama, suami tidak dapat mempertahankan istri dengan cara yang ma'ruf dalam arti tidak mempunyai harta atau usaha (pekerjaan); menjadi 34
Al-Qur'an, 2:229
35
pengangguran sehingga tidak dapat memenuhi nafkah istri dan anak; kedua, suami dipenjara sangat lama sehingga kewajiban memberikan nafkah tidak dapat dilakukan; dan ketiga, ketidakmampuan suami memberikan nafkah dikarenakan suami mengalami cacat atau sakit yang membuatnya tak dapat bekerja untuk mencari nafkah.35 Hukum Islam sebenarnya tak pernah menolak hak wanita. Bahkan la memberikan kemungkinan kepadanya untuk menuntut cerai kepada hakim apabila dirasa mengalami "penderitaan". Berdasarkan penderitaan itu, seorang istri boleh menuntut cerai. Dan adalah kewajiban hakim untuk memeriksa kebenaran pengaduannya dengan seksama. Dan kalau ternyata benar, maka boleh istri menceraikan suaminya. Melihat tiga hal penyebab suami tidak dapat memberikan nafkah, maka hukum Islam memberikan hak terhadap istri untuk melakukan perceraian, jika memang dikehendaki. sebab ketiga hal tersebut dapat mengganggu dalam upaya pemenuhan kebutuhan istri baik yang berupa kebutuhan nafkah lahir maupun batin. Akan tetapi berkaitan dengan alasan cata atau sakit yang berupa Sopak dan Kusta terdapat perbedaan pendapat yang menyebabkan terjadinya
faskh
perkawinan.
menurut
mazhab
Imamiyah
misalnya
berpendapat bahwa bagi istri, jika suaminya menderita penyakit Sopak dan Kusta, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan faskh, sedangkan mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali berpendapt bahwa pihak istri boleh melakukan
35
Al-Jamal, 416-420
36
fask, jika suaminya menderita penyakit terseut, bagi Syafi'i dan Hambali, hukumnya sama dengan orang-orang gila.36 Dalam term hukum Islam dikenal "khulu' cerai atas permintaan istri" dimana khulu' berasal dari kata khul 'al-tsawb berarti melepaskan atau mengganti pakaian dari badan, karena seorang perempuan merupakan pakaian laki-laki. Dan seperti yang telah ditetapkan oleh syari'ah yaitu diberikan hak suami untuk menceraikan istrinya, maka istri juga dapat menuntut cerai kalau cukup alasannya. Seperti jika suami tidak memberi nafkah atau suami berlaku kejam, maka istri dapat meminta cerai (khulu).37 Khulu' ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya dan khulu' tersebut disyaratkan adanya ketidaksukaan (kekhawatiran) istri terhadap suami.38 Ulama Maliki menetapkan khulu' sebagai al-Talak bil 'Iwadh atau perceraian dengan membayar. Sedangkan ulama Hanafi berkata bahwa khulu' berarti
berakhirnya
hubungan
perkawinan
yang
sah,
baik
dengan
mengucapkan kata khulu' ataupun kata lain yang berarti sama, Ulama Syafi'i berpandangan bahwa khulu' adalah perceraian yang dituntut pihak istri dengan membayar sesuatu dan dengan mengucapkan kata cerai atau khulu'. Ia dapat dicapai atas kesepakatan kedua belah pihak atau atas perintah hakim agar istri membayar jumlah tertentu kepada suaminya, dan tidak melebihi apa
36
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab : Ja'far, Hanafi,Maliki, Syafi'I, Hambali. ter. Masykur A. B, Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff. (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), hal : 356. 37 Doi, Karakteristik, hal 347 38 Mughniyah, Fiqih, hal 456
37
yang telah diberikan suaminya sebagai mahar.39 Karena itu para ulama mazhab sepakat bahwa harta tebusan (dalam khulu') hendaknya mempunyai nilai, dan bahwa jumlahnya boleh sama, kurang atau lebih banyak daripada mahar. 40 Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa istri berhak menuntut mencerai (khulu') seandainya merasa khawatir terhadap suaminya, sebagaimana firman berikut:
$ysÎ=óÁムβr& !$yϑÍκön=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù $ZÊ#{ôãÎ) ÷ρr& #—θà±çΡ $yγÎ=÷èt/ .ÏΒ ôMsù%s{ îοr&z÷ö∆$# ÈβÎ)uρ (#θãΖÅ¡ósè? βÎ)uρ 4 £x’±9$# Ú[àΡF{$# ÏNuÅØômé&uρ 3 ×öyz ßxù=÷Á9$#uρ 4 $[sù=ß¹ $yϑæηuΖ÷t/ ∩⊇⊄∇∪ #ZÎ6yz šχθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ šχ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ Artinya : "Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyuz (kekejaman) atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan bila kamu menggauli istrinya dengan baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".41 Dengan demikian bila istri merasa khawatir suami tidak menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari'ah dalam ikatan perkawinan mereka, istri tersebut dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan itu. Dan landasan khulu' menurut As-Sunnah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas Ra sebagai berikut:
39
Doi, Karakteristik, 348 Mughniyah, Fiqih, 457 41 Al-Qur'an, 4:128 40
38
b اa[M\ ]MY^_ اQM` اKLMN OMP اQMPRS اةUV س ان اRYZ OP اOZ aMi lML[Z mMnZ RMV KLMN QMPRo bل اdMe رRMg QM_Rhi j[e وlL[Z bل اdMeل رRMhi ,مqMe u اai Uvw_ اxU اآOw_ و,Og دqZ r[s لdMeل رRMN ,jz{ Q_ RN } ؟hg ~_ اOgدU` اj[e وlL[Z b اa[\ .}hL[` Rh[} وhg ~_ اYN ا: j[e وlL[Z b اa[\ bا Artinya : "Dari Ibnu Abbas ra bahwasannya istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW. Ia berkata: "Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qois, saya tidak mencelanya dalam akhlak dan agama. Tetapi saya membenci kekufuran dalam Islam. Rasulullah bertanya: "Apakah kamu kembalikan kebun itu kepadanya ?". Ia menjawab: "Ya'. Rasulullah SAW. bersabda: "Terimalah kebun itu dan lepaskanlah ia". (HR Bukhari).42 Kata-kata, "Saya tidak menyukai kekafiran dalam Islam" maksudnya, tidak suka mendurhakai suami dan meninggalkan kewajiban akibat tidak cinta yang amat sangat terhadapnya Namun demikian, khulu' baru boleh dilakukan apabila betul-betul ada alasan yang memaksa seperti kalau suami itu cacat tubuhnya, atan buruk
akhlaknya, atau suka menyakiti istri dan tidak
menunaikan kewajibannya sebagai suami, atau dengan bersuamikan dia wanita itu khawatir akan semakin jauh dari Allah. Jadi kalau tidak ada alasan yang memaksa, hal itu tentu tidak boleh dilakukan.43 Artinya bila seluruh usaha penyelesaian telah gagal, suami gagal memperbaiki istrinya dan istri gagal memperbaiki suaminya, demikian hakim pendamai juga telah gagal pula, sedangkan jurang persengketaan antara suami istri telah bertambah luas untuk melepaskan ikatan perkawinan. Maka.di waktu itu, Islam memberikan jalan kepada istri untuk membebaskan
42
Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari. Juz. VII. ter. Achmad Sunarto dkk, (Semarang : CV. Asy-Syifa', 1993), hal : 186 43 Al-Jamal, Fiqih, 433
39
dirinya dengan memberikan sejumlah hartanya kepada suaminya untuk penebus dirinya.44 Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah Allah berfirman dalam masalah khulu' ini sebagai beri
$yϑŠÉ)ムāωr& !$sù$sƒs† βr& HωÎ) $º↔ø‹x© £èδθßϑçF÷s?#u !$£ϑÏΒ (#ρä‹è{ù's? βr& öΝà6s9 ‘≅Ïts† Ÿωuρ 3 3 ϵÎ/ ôNy‰tGøù$# $uΚ‹Ïù $yϑÍκön=tã yy$oΨã_ Ÿξsù «!$# yŠρ߉ãn $uΚ‹É)ムāωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ*sù ( «!$# yŠρ߉ãm 4 $yδρ߉tG÷ès? Ÿξsù «!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï? Artinya : "Kamu tidak boleh lagi mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepadanya (istri), kecuali jika keduanya merasa khawatir tidak akan dapat menegakkan aturan-aturan Allah. Kalau kamu khawatir keduanya tidak akan dapat menegakkan aturan-aturan Allah, tidak mengapa barang itu dibayar (diberikan) oleh perempuan itu untuk menebus dirinya. Itulah aturan-aturan Allah, sebab itu janganlah kamu melanggar".45 Di dalam hal yang demikian syari'at memberikan tempat adanya khulu' dan dibolehkan istri meberikan hartanya untuk membebaskan diri dan suaminya, karena tidak tertahan bencinya, karena suami menimbulkan masalah. Apabila istri tidak mempunyai harta untuk membebaskan diri dari kekhawatiran suaminya, sedangkan suami tidak menerimanya, melainkan dia ingin tetap memegang istrinya, maka syari'at Islam membukakan jalan kepada istri itu untuk membawanya ke pengadilan dengan bukti yang kuat atas kekhawatirannya terhadap suami. Berdasarkan pertimbangan demikian,
44 45
Syaltut, Akidah. 184-185 Al-Qur'an, 2:229
40
Qadhi boleh menceraikan perempuan itu dari suaminya.46 Dengan demikian bila istri merasa khawatir suami tidak menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari'ah dalam ikatan perkawinan mereka, istri tersebut dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan itu dengan menyerahkan kembali seluruh atau sebagian dari harta kekayaan yang ada, dan bila mereka telah melakukan hal ini, terjadilah perceraian yang tak dapat diubah lagi. Tetapi kalau istri gagal memberikan pembayaran, maka masih ada cara lain untuk memutuskan ikatan perkawinan itu melalui mubarat, yaitu tak ada pembayaran pengganti yang harus
diberikan, dan perceraian itu
sendiri sah, semata-mata dengan persetujuan kedua belah pihak.47 Kompensasi atau pembayaran ganti rugi itu merupakan kesepakatan di antara suami istri. Istri boleh mengembalikan semua atau sebagian dari maskawin yang telah diterima, tetapi tidak lebih dari maskawin itu. Seandainya kelebihan itu telah dibayarkan, atau mungkin membuat kesepakatan lain yang menguntungkan pihak suami, seperti merawat anak mereka selama menyusui dua tahun, atau memelihara anak selama masa yang ditentukan, maka ia merupakan tanggungannya sendiri, setelah anak itu dihentikan menyusunya. Hal ini harus dilakukan dengan persetujuan suami.48 Ada beberapa alasan di mana istri dapat menuntut cerai melalui otoritas hakim, dan hakim dapat mengabulkan karena beberapa hal: 1. 2.
Perlakuan menyakitkan yang terus-menerus terhadap istri. Kewajiban-kewajiban dalam kaitannya dengan hubungan perkawinan tidak terpenuhi. 46
Syaltut, Akidah. 186 Doi, Karakteristik. 350 48 Ibid. 47
41
3. 4. 5. 6.
Sakit ingatan (kejiwaan). Ketidakberdayaan yang tak dapat diatasi (disembuhkan). Suami, pindah tempat tinggal tanpa sepengetahuan istri. Sebab-sebab lain yang menurut pendapat hakim dapat dibenarkan untuk bercerai.49 Demikianlah uraian pada bagian ini yang mengemukakan tentang
masalah hukum Islam tentang suami yang tidak mampu berperan sebagai pencari nafkah, yang mana dalam hukum Islam dibolehkan istri melakukan perceraian, sebab hal ini menyangkut hak istri, dan pihak istri dapat melakukan khulu'.
D. Hak Gugat Cerai Istri Yang Tidak Digunakan Terhadap Suami Yang Tidak Mampu Mencari Nafkah Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku asas, diantaranya adalah (1) kesukarelaan; (2) persetujuan kedua belah pihak; (3) kebebasan memilih; (4) kemitraan suami istri; (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka (karena darurat).50 Pertama, kesukarelaan merupakan asas terpenting perkawinan Islam. Kesukarelaan ini tidak hanya harus terdapat di antara kedua calon suami istri, tetapi juga di antara kedua orang tua kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam; Kedua, persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis
49
Ibid, hal : 352-353 Mohammad Dud Ali, Hukum Islam : PengantarIlmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal : 124. 50
42
dari asas pertama. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pria, harus diminta lebih dahulu oleh wali atau orang tuanya Dan perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak dapat dikatakan batal oleh pengadilan. Ketiga, kebebasan memilih pasangan merupakan hak individu, karenanya ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang yang tidak disukainya. Maka satelah mendengar pengaduan itu, Rasulullah menegaskan bahwa Jariyah dapat memilih untuk meneruskan perkwinan dengan orang lain yang disukainya atau meminta perkawinan itu dibatalkan. Keempat, kemitraan suami-istri dengan fungsi yang berbeda sebagaimana QS. an-Nisa 34 dan al-Baqarah 187, dimana kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda: suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab numah tangga; Kelima, untuk selama-lamanya, menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (QS. ar-Rum: 21). Keenam, monogami terbuka, disimpulkan dalam alQur'an surat an-Nisa': 129, bahwa seorang pria muslim boteh beristri lebih dari seorang, asal dapat memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat berlaku adil terhadap semua istrinya Dan dalam ayat yang sama dikatakan bahwa manusia tidak mungkin berbuat adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena hal tersebut, maka seorang laki-laki lebih baik kawin
43
dengan seorang wanita saja ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang itu merupakan
jalan darurat yang baru boleh dilakukan oleh seorang laki-laki
kalau terjadi bahaya, antara lain untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau istrinya misalnya tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri.51 Asas tersebut penting untuk dicermati, sebab bahwa seorang yang telah melakukan perkawinan dengan perjanjian suci, tidak gampang untuk melakukan perceraian, meskipun hak gugat cerai ini merupakan hak setiap orang. Ada keterikatan-keterikatan yang menimbulkan rasa cinta kasih sayang pada setiap orang yang tentunya berbeda-beda Misalnya saja seorang istri dalam menghadapi suarni yang tidak mampu untuk mencari nafkah karena sakit yakni, sukar untuk
disembuhkan (cacat), maka dalam hal ini ada
seoranq istri yang menggantikan hak gugat cerai terhadap suaminya, dan kemudian istri (janda) melakukan perkawinan dengan orang lain. Namun ada juga seorang istri yang dengan tabah dalam menghadapi penderitaan suami (sakit) dan menganggapnya sebagai cobaan, sehingga meskipun suami itu tidak mampu untuk bekerja dan memenuhi nafkah, istri tersebut tetap melangsungkan ikatan perkawinan dan tidak melakukan usaha perceraian, bahkan sampai dengan suami itu meninggal. Dua pandang tersebut, merupakan suatu hal yang sah untuk dilakukan menurut hukum Islam. Dalam pasal 80 tentang kewajiban suami pada ayat (6) disebutkan bahwa Istri dapat membebaskan saminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada, ayat (4) huruf a dan b, yakni tentang 51
Ibid, 124-126
44
kewajiban suami untuk memberi nafkah, kiswah dari tempat kediaman bagi istri serta biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan.anak.52 Dengan berdasarkan ketentuan tersebut, maka bagi istri yang tetap mempertahankan ikatan perkawinan dengan membebaskan kewajiban suami dalam mencari nafkah yang merupakan hak istri dan anak, maka telah terjadi pelimpahan kewenangan dimana istri berperan sebagai pencari nafkah, sehingga hak gugat cerai terhadap suami yang tidak mampu tersebut tidak dilaksanakan. Sedangkan bagi istri yang tidak bisa menerima kenyataan terhadap suami yang tidak mampu runtuk memberikan nafkah, dan dikarenakan mungkin istri tidak mampu untuk bekerja, maka jalan untuk melakukan perceraian dengan gugatan kepada suami juga dapat dilakukan. Sebab
alasan
tersebut
termasuk
macam-macam
penderitaan
yang
mengakibatkan perceraian. Sebagaimana dijelaskan dalam Fiqh Wanita, bahwa macam-macam penderitaan yang mengakibatkan perceraian adalah: 1.
Perceraian karena suami tidak memberi nafkah.
2.
Perceraian karena merana (karena istri tidak tahan menghadapi suaminya yang cacat; cacat pada alat kelamin, impoten, sakit yang sukar disembuhkan, lumpuh).
3.
Perceraian karena kekejaman suami.
4.
Perceraian karena khawatir terjerumus dalam dosa karena suami 52
Abdurrahman, Kompilasi. 133.
45
meninggalkan istri tanpa udzur sekian lama, sehingga kepergian suami tersebut istri menjadi tersiksa. 5.
Perceraian karena suamni dipenjara (mendapat keputusan hakim dipenjara lama sekali, yang rasa-rasanya istrinya itu takkan mampu bertahan sekian lama).53 Alasan
tersebut
dapat
dibenarkan
terjadinya
perceraian
dan
digunakannya hak gugat cerai istri terhadap suami. Namun tidak digunakannya hak gugat cerai oleh istri terhadap suami yang tidak mampu mencari nafkah yang didasarkan pada asas perkawinan seperti kesukarelaaan, kemitraan suami istri, dan untuk selama-lamanyaa, merupakan asas yang memang menurut setiap orang tentu berbeda-beda, ada yang kuat dalam meyakini dan mengamalkannya tetapi ada yang lemah, dan ada yang biasabiasa saja. Bagi mereka yang kuat dalam memegang keyakinan bahwa perkawinan itu mesti dipertahankan untuk selama-lamanya, maka meskipun suami tidak rnampu mencari nafkah, tentu istri akan berupaya untuk dapat mencukupi kebutuhan (nafkah) dengan cara bekerja. Banyaknya perceraian itu telah dijadikan dasar (alasan) oleh beberapa orang yang mempersoalkan rumah tangga untuk mengubah syari'at, dengan jalan merampas hak menceraikan, dengan jalan melakukan pemeriksaan, penyelidikan, pembelaan dan meminta supaya dikemukakan saksi dan sebagainya. Cara yang serupa itu tidak dapat sesuai dengan kehidupan rumah tangga yang berdasarkan cinta dan kasih sayang, sedang di pengadilan itu
53
Al-Jamal, Fiqih. 416-420
46
terlalu banyak tipu daya dan membuat tuduhan-tuduhan palsu, yang bahayanya lebih besar terhadap kesejahteraan rumah tangga dan hanya akan menambah banyaknya perceraian. Memperbaiki rumah tangga tidak akan berhasil hanya dengan memperhatikan perintah (peraturan) yang berhubungan pembentukan keluarga dan pemeliharan dari bahaya persengketaan suami istri dan dengan memilih mazhab ringan mudah (lapang) di sekitar jatuhnya tidaknya perceraian. Juga dengan membatasi dan mempersempit daerah (lapangan) perceraian yang amat dimurkai Allah dari dianggap sebagai keadaan dan jalan darurat untuk melepaskan suami istri dari krisis yang menimpa, sehingga mereka kembali rukun, berkasih-kasihan, hidup tenteram dan bahagia.54 Pandangan mengutamakan
Syaltut,
memang
menghendak:i
perlunya
lebih
ikatan perkawinan yang selama-lamanya, sehingga tidak
dengan mudah untuk melakukan perceraian. Mempertahankan keutuhan rumah tangga tentu lebih baik daripada melakukan perceraian, apalagi jika suami istri tersebut telah mempunyai anak, tentu akan bermasalah lebih banyak. Maknanya adalah bahwa apabila terjadi masalah dalam keluarga (suami istri) perlu dicarikan solusi yang tepat dan jangan sampai malah terjerumus dalam pertikaian yang dapat membuat perceraian. Bila prinsip perdamaian ditetapkan oleh Islam sedemikian rupa di atas setiap muslim, maka usaha untuk memperdamaikan bagi mereka yang mengalami persengketaan dalam rumah tangga dapat dilakukan. 54
Syaltut, Akidah. 191
47
Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa hukum Islam tentang hak gugat cerai istri yang tidak digunakan terhadap suami yang tidak mampu mencari nafkah keluarga, adalah dibolehkan dengan anggapan bahwa istri dikemudian hari dapat mengusahakan dan memenuhi kebutuhan keluarga, dalam arti istri berperan sebagai pencari nafkah keluarga, akan tetapi jika dipandang memberatkan dan tidak kuasa lagi untuk mengusahakan nafkah keluarga, tentu tidak ada jalan lain kecuali melakukan perceraian, sehingga kehidupan istri tidak terlalu berat, sebab kewajiban mencari nafkah dalam Islam ditetapkan kepada pihak suami.
48
BAB III PERUBAHAN PERANAN ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH
A. Deskripsi Latar Belakang Kehidupan Suami Istri Dalam penelitian tentang kehidupan IG (suami) dan MH (istri) yang bertempat tinggal di Karanglo Kidul Jambon Ponorogo, maka sebagai langkah awal yang perlu dilakukan peneliti adalah menelusuri latar belakang kehidupan keluarga tersebut IG dilahirkan di Ponorogo tahun 1940, sebagai anak nomer 6, dengan pendidikan setara SLTP dan bekerja sebagai wiraswasta. Kehidupan IG pada waktu kecil sering sakit-sakitan, sebagai anak petani dan seorang janda dengan 6 saudara tentu keadaan orang tua IG sangat pas-pasan. Dengan kondisi anak yang banyak tersebut, maka perhatian orang tua terhadap anak tidak maksimal, kelemahan kondisi IG yang sejak kecil itu tidak tertangani secara baik, apalagi biaya untuk kesehatan pada waktu itu sangat mahal. Sejak kecil IG sering menderita kejang-kejang (step) disertai keadaan jantung IG yang dianggap oleh dokter mengalami kelainan, jika terlalu capek kondisinya menjadi lemas dan kemudian badannya menjadi panas lalu timbul kejang-kejang atau step.55 Setelah IG selesai menamatkan sekolah, IG mencoba melamar pekerjaan disebuah perusahaan Roti di kota dan diterima. Maka awal kehidupanya sebagai pegawai roti ini akhirnya mendapatkan pengalaman. Tetapi IG tidak kuat untuk bekerja lebih lama diperusahan roti tersebut,
55
Wawancara dengan IG, tanggal 3 Juni 2009
49
karena kondisi badannya yang sering sakit-sakitan, lalu diputuskan untuk keluar dan memulai usaha sendiri dengan dibantu oleh kakak dan adikadiknya di rumah. Dengan bermodalkan sangat terbatas, IG memulai menekuni berternak ayam kampung. Usahanya menekuni peternakan ayam tersebut memang kemudian membuahkan hasil dan diperoleh kemajuan, sehingga kehidupan IG sedikit lebih terangkat. Namun dari keberhasilan itu tentu tidak hanya dinikmati IG sendiri, melainkan dengan saudara-saudara yang berjumlah 6 orang tersebut.56 Pada tahun 1980 IG melamar MH yang sekarang menjadi istrinya, pernikahan tersebut akhirnya membuahkan anak sebanyak 3 orang, yakni; RM lahir tahun 1982, BMK lahir tahun 1985 dan BAM lahir tahun 1990. Dari kehidupan selama 6 tahun dilalui IG bersama keluarga dengan baik, segala kebutuhan dapat dipenuhi IG yang bekerja sebagai wiraswasta berternak ayam/kambing layaknya sebagai orang desa.57 MH sebagai isteri IG merupakan anak ke satu dari lima bersaudara, dia dilahirkan di Ponorogo tahun 1960. Kehidupan keluarga MH juga berasa1 dari keluarga petani yang tergolong sederhana Sebagai anak pertama MH sering membantu kebutuhan terhadap adik-adiknya, bahkan di waktu IG suaminya sukses dalam usahanya maka segala kebutuhan adik-adik MH dapat terpenuhi. Sebab jika hanya menggantungkan pada hasil pertanian yang dilakukan ayah MH tentu tidak mencukupi.58
56
Wawancara dengan IG, tanggal 10 Juni 2009 Wawancara dengan IG, tanggal 24 Juni 2009 58 Wawancara dengan MH, tanggal 10 Juni 2009 57
50
Pendidikan MH di Sekolah Dasar Negeri Karanglo Kidul I Jambon, MH dikenal sebagai seorang yang ulet dan tekun diantara teman-temannya. Dalam menempuh kehidupan keluarga bersama IG, dilakukan dengan penuh pengabdian. MH tergugah wanita yang tangguh dan mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap suami dan keluarga. Karenanya pada waktu mendapatkan musibah yang menimpa suaminya terkena serangan jantung dan paru, sehingga akibatnya tak mampu melakukan pekerjaan yang berat, maka MH menerima keadaan suami dengan pasrah.59 Kejadian tersebut dialami pada tahun 1986 dan membuat IG tak berdaya serta tak mampu lagi untuk bekerja. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pengobatan IG, hingga akhirnya usahanya jatuh bangkrut dan tak mampu lagi untuk dipertahankan. Melihat keadaan yang demikian, maka tidak ada pilihan lagi bagi MH untuk bekerja mencari nafkah. Maka sejak saat itu telah terjadi perubahan peranan istri sebagai pencari nafkah keluarga, sebab IG tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya sebagai pencari nafkah.60 IG sendiri menyadari bahwa dirinya sudah tak mampu lagi untuk bekerja, bahkan sempat pada waktu itu menyarankan agar istrinya menikah dengan pria lain yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun istrinya. (MH) menolak saran tersebut dan tetap mencintai IG sampai selama-lamanya. Bahkan MH bertekat dengan sekuat tenaga untuk dapat mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari dengan cara bekerja. Bagi MH masalah mencari nafkah
59 60
Wawancara dengan MH, tanggal 8 Juni 2009 Wawancara dengan MH, tanggal 8 Juni 2009
51
tidak dijadikan penghalang untuk tetap meneruskan ikatan perkawinan dan membina rumah tangga yang baik, membesarkan dan mendidik anak-anak, agar kelak dapat menjadi anak yang berguna dan selalu menaati kedua orang tua, sebab jerih payah orang tua tak kenal lelah unhik mengusahakan segalagalanya demi kebutuhan anak-anak.61 Pada tahun 1986 MH dengan modal yang pas-pasan untuk meneruskan /membeli sepasang kambing dan menjadi buruh tani (menanam padi, dll), maka sejak saat itu MH telah dapat memenuhi kebutuhan keluarga, dan selain bekerja buruh tani dan ternak seadanya MH juga berusaha kembali dengan mencoba membuat kue dalam jumlah yang terbatas dan dijual di desa sekitar, juga dibeberapa sekolah. Dengan dibantu anak-anaknya yang besar, maka kegiatan rumah tangga menjadi lebih lebih ringan, demikian juga jika MH pergi ke sawah sebagai buruh tani maka urusan rumah tangga banyak dikerjakan oleh anaknya yang besar, termasuk mengurus suaminya yang sakit dan juga anak-anaknya yang dua masih kecil dan kadang-kadang orang tua MH datang membantu untuk mengurus anak dan suaminya. Kehidupan yang demikian itu dilalui oleh MH bertahun-tahun sampai dengan sekarang. Banyak rintangan-rintangan yang menyulitkan kehidupan rumah tangga dengan keadaan suami yang tidak bisa mencari nafkah. Keadaan IG yang sukar disembuhkan memang pada awalnya membuat MH kurang bisa mengatasi segala permasalahan, namun berkat ketabahan dan ketekunan MH untuk tetap berpegang teguh pada keutuhan rumah tangga, maka segala 61
Wawancara dengan IG, tanggal 24 Juni 2009
52
masalah yang ada selalu dapat diselesaikan dengan baik. Tak jarang orang tua baik dari pihak IG, maupun ayah MH sendiri memberikan bantuan baik secara moral dan material. Ibu MH juga sering memberikan nasehat-nasehat agar menjadi istri yang tabah menghadapi keadaan suami, selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebab segala kejadian yang menimpa manusia tidak lepas dari taqdir Allah, dan manusia harus tabah menerima kondsi tersebut sebab manusia tidak berkuasa atas segala kekuasaan.62 Dengan demikian, maka sakitnya IG mengakibatkan MH melakukan kewajiban dengan beban tambahan yang lebih banyak, sebab MH tidak hanya berkewajiban mengurus anak-anak, tetapi juga menanggung nafkah keluarga sehingga telah terjadi perubahan penambahan peran MH sebagai pencari nafkah keluarga, sebab IG tak mampu lagi mencari nafkah. . B. Pandangan Suami Istri tentang Perubahan Istri sebagai Pencari Nafkah Dari latar belakang kehidupan suami istri dalam membentuk keluarga tersebut, serta penyebab terjadinya perubahan peranan istri sebagai pencari nafkah, maka pada bagian ini akan diuraikan pandangan-pandangan suami istri tentang masalah perubahan istri sebagai pencari nafkah keluarga. Pandangan ini sangat perlu untuk diketahui, sebab berkaitan dengan penentuan kedudukan hukumnya. Apakah pernah terjadi perbuatan talak atau khulu' terhadap keadaan suami yang tidak mampu memenuhi kewajiban mencari nafkah keluarga. Sebab jika ditinjau secara umum, maka keadaan
62
Wawancara dengan MH, tanggal 8 Juni 2009
53
suami yang tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai pencari nafkah, yang merupakan salah satu kewajiban pokok yang harus dipenuhi dalam Islam, dapat dijadikan sebagai alasan (sebab) terjadinya perceraian yang memang dalam hukum Islam dibolehkan. Untuk itulah perlu mengetahui pandangan suami istri tersebut, berkenaan dengan hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban suami istri yang sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam ikatan perkawinan. Sebab sangat memungkinkan seorang istri merasa tertekan dengan suami, tetapi tidak kuasa melakukan perceraian yang disebabkan banyaknya campur tangan orang tuakedua belah pihak, bahkan juga sering terjadi pihak istri terasa terancam jiwanya jika sampai melakukan gugatan kepada pengadilan untuk memperoleh persetujuan hakim agar istri tersebut diberikan hak untuk melakukan perceraian dengan suaminya, karena suami tidak mampu memberikan nafkah, baik lahir maupun nafkah batin. Ancaman dan desakan orang tua memang banyak berpengaruh dalam kehidupan keluarga. Pertama, Suami (IG) mengakui bahwa dirinya tidak mampu untuk bekerja mencari nafkah, sakit yang dideritanya sangat parah dan sepertinya tak akan mungkin bisa disembuhkan, sehingga dia bisa bekerja kembali apalagi melihat usianya yang terus bertambah dan tambah tua, tentu tidak ada harapan bagi dirinya untuk bekerja mencari nafkah. Sejak tahun 1976, pertama IG mengalami lemah jantung, maka mulai saat itu keadaan fisiknya makin hari menjadi makin lemah, dan kegiatan di rumah tak lebih hanya duduk-duduk dan tidur saja. Usaha pengobatan telah dilakukan sampai kemana-mana, mulai dari dokter sampai orang pintar, tetapi sudah tak bisa
54
lagi mengembalikan dan menyembuhkan sakit yang diserita IG. sakit IG memang
cukup
lama
dan
dengan
perkembangannya
menunjukkan suatu keadaan kesehatan yang
tidak pernah
baik. Keadaan yang
menyebabkan kambuhnya sakit IG adalah karena melakukan pekerjaan berat yang dalam ukuran orang normal sebenarnya aktivitas itu tidak berat. Kondisi IG sudah tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan yang memerlukan tenaga cukup berat. Kondsi ini juga disadari oleh istri (MH) yang memang tidak memungkinkan ia kembali sembuh dari sakitnya. Jadi alasan tidak mampu bekerja mencari nafkah dikarenakan sakit.63 Kedua, IG pernah menyarankan kepada MH tentang keadaan dirinya yang tak mampu memenuhi kewajiban bekerja mencari nafkah untuk berusaha agar MH mencari suami "baru" supaya kebutuhan hidup keluarga dapat tepenuhi dengan baik. Tetapi MH yang menolak saran IG dan mengatakan bahwa dirinya (MH) tidak akan mencari suami yang lain sampai selama-lamanya. Rasa cinta MH kepada IG sangat tulus dan tidak mau bercerai dari IG, di samping itu MH sangat memperhatikan anak-anaknya yang dalam pandangan MH jika dirinya kawin lagi tentu anak-anaknya kurang perhatian dan menjadi anak tiri bagi anak-anaknya tentu kurang menyenangkan.64 Ketiga. pandangan IG terhadap istri (MH) yang bekerja tidak menjadi masalah, apalagi dalam pekerjaannya itu memang sesuai dengan kodrat kewanitaan. Bahkan dirinya (IG) telah memberikan ijin kepada istrinya untuk
63 64
Wawancara dengan MH dan IG, tanggal 15 Juli 2009 Wawancara dengan IG, tanggal 24 Juni 2009
55
bekerja dan berpesan agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam. pekerjaan MH juga tidak tergolong berat sebagai buruh tani maka pekerjaan itu memang sesusai dengan pekerjaan wanita, yang memerlukan ketelatenan dan ketelitian yang semuanya itu banyak dimiliki oleh karakteristik wanit. IG juga memahami benar bahwa MH tidak merasa tertekan (berat) dengan pekerjaan yang dilakukan. perjuangan untuk menyatukan ikatan perkawinan dengan IG tetap dipertahankan. Pekerjaan yang
bukan
didasari
dengan
rasa
ibadah,
mencari
nafkah
dan
mempertahankan keutuhan rumah tangga.65 Keempat, pandangan MH terhadap dirinya yang bekerja mencari nafkah diyakini bertentangan dengan hukum Islam, demikian juga mengenai ketidakmampuan suami untuk mencari nafkah karena sakit, menjadi sebab keringanan dan tidak diberlakukannya hukum tentang kewajiban mencari nafkah bagi suami. Peranan ganda yang dilakukan MH baik sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah keluarga, mempunyai nilai yang lebih. MH menyadari dan berkeyakinan bahwa perceraian bagi dirinya bukan suatu keputusan yang baik, sebab dalam pandangannya dirinya mampu beruasaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja. Dan dirinya memang termasuk tipe orang yang "gigih" mempertahankan serta mempunyai semangat yang kuat.66 Kelima, Pandangan MH dan IG tentang perubahan peranan istri sebagai pencari nafkah keluarga dibenarkan, jika terdapat alasan yang menjadi
65 66
Wawancara dengan MH dan IG, tanggal 15 Juli 2009 Wawancara dengan MH, tanggal 15 Juli 2009
56
penyebab seorang suami tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga (nafkah keluarga). sebab terhadap pandangan yang menginginkan perceraian karena suami tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, juga dapat dibenarkan jika istri tidak mampu untuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan hidup dengan cara bekerja. terhadap istri yang membanting tulang bekerja mencari nafkah, sedangkan suami dalam kadaan sakit yang sulit untuk disembuhkan, maka dalam pandangan untuk perubahan penanggung kebutuhan dengan tujuan agar istri dan anak-anak tidak terlantar.67
67
Wawancara dengan MH dan IG, tanggal 15 Juli 2009
57
BAB IV ANALISA
Dalam analisa akan diperinci tentang latar belakang perubahan peranan istri sebagai pencari nafkah keluarga dan kemudian diberikan analisa hukum Islam berkenaan dengan masalah tersebut. Hal ini dilakukan karena bahwa sebuah ketentuan hukum haruslah memperhatikan alasan-alasan (dasar argumentasi) dan dampak dari sebuah ketentuan hukum yang diberlakukan. Pertama, Dalam ketentuan hukum islam bahwa yang berkewajiban mencari
nafkah
adalah
suami
sedangkan
istri
berkewajiban
untuk
menyelenggarakan dan mengatur rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya, sebab istri tidak bekerja, maka urusan rumah tangga adalah urusan utamanya. Seperti merawat anak dan keluarga, serta semua pekerjaan rumah yang diperlukan untuk memelihara kebersihan dan kenyamanan lingkungan rumahnya. Dengan peranan istri sebagai penyelenggara dan pengatur rumah tangga tersebut, maka kewajiban suami adalah menyediakan kebutuhan bagi keluarganya. Di dalam kompilasi Hukum Islam disebutkan tentang kewajiban suami, yang dibagi dalam 7(tujuh) ayat, yaitu: (1) Suami adalah pembimbing terhadap dalam rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting diputuskan oleh suami istri bersama; (2) Suami wajib melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (3) Suami wajib memberikan pendidikan kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, dan bangsa; (4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung; (a).
58
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; (b). biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; (c). biaya pendidikan bagi anak; (5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf (a) dan (b) di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna istrinya; (6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b; dan (7) Kewajiban suami.sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak. Dan kalau suami itu kaya memang hendaknya ia memberikan nafkah sesuai dengan kekayaannya Sedang bagi yang sedang mengalami kesulitan, maka semampunya tanpa harus memberi lebih dari itu, dan sama sekali tidak ada keharusan melihat kaya miskinnya fihak istri. Artinya, kalau suaminya miskin, sedang istrinya dari keluarga orang-orang kaya yang biasa hidup serba kecukupan sandang pangannya, maka dia sendirilah yang harus mengeluarkan hartanya untuk mencukupi dirinya kalau ia punya. Kalau tidak, maka istri harus bersabar atas rizki yang diberikan kepada sauminya Karena Allah yang menyempitkan dan melapangkan rizqi agar pertama adalah jelas bahwa suami wajib memberi nafkah, baik sedikit atau banyak, tergantung dari rizki yang diterima dari Allah. Dan jika suami tidak dapat memberikan nafkah, maka istri dapat menuntut hak dan melakukan perceraian. Kedua, mengenai alasan suami tidak dapat memberikan nafkah pad aistri dan anak, yang dapat dijadikan dasar argumen di antaranya adalah : (1) suami tidak memperlakukan istri dengan cara yang ma'ruf dalam arti tidak mempunyai harta atau usaha (perkerjaan), menjadi pengangguran sehingga tidak dapat
59
memenuhi nafkah isri dan anak, (2) suami dipenjara sangat lama sehingga kewajiban memberikan nafkah tidak dapat dilakukan; (3) ketidakmampuan suami memberikan nafkah dikarenakan suami mengalami cacat atau sakit yang membuatnya tak dapat bekerja untuk mencari nafkah dan (4) suami meninggalkan istri dalam waktu yang lama (2 tahun) serta tidak memberikan nafkah sebelum kepergiannya atau alasan pergi jauh tanpa sepengathuan istri. Maka dalam kasus ini yang menjadi penyebabnya adalah karena ketidakmampuan suami memberikan nafkah sebab suami mengalami sakit yang membuatnya tak dapat bekerja untuk mencari nafkah. alasan karena suami sakit dan tak mampu mencari nafkah dapat dipakai dasar gugatan istri kepada suami untuk bercerai. Ketiga, terhadap pandangan istri yang bekerja untuk mencari nafkah keluarga terdapat dua pandangan yang berbeda menurut pandangan Haya binti Mubarok Al-Barik yaitu (1) mereka (tidak mengharamkan) dengan beberapa alasan diantaranya : (a) kewajiban berhias bagi wanita; (b) haram berbarruj dan menampakan perhiasan dan bagian auratnya yang mengundang hawa nafsu, sehingga bekerja di luar rumah akan menyebabkan terjadinya tindakan itu; (c) haram bagi wanita bercampur dengan orang yang bukan muhrimnya; (d) seorang perempuan adalah aurat yang harus dipelihara dan dijaga; (e) seorang selalu menunjukkan mengurus putra putrinya, urusan rumah tangga dan urusan suami, sebagai suatu fitrah seorang wanita.68 Selain itu Islam menetapkan perempuan tidak bertanggung jawab
68
Mubarok al-Barik, Ensklopedia Wanita Muslimah. ter. Amir Hamzah. (Jakarta: Darul falah, 1999), 160
60
menafakahi dirinya sendiri, tetapi yang menanggung adalah suami atau ayah atau saudara laki-lainya. Hal ini berarti stiap perempuan dalam bekerja di luar rumah bukanlah merupakan tuntutan kebutuhan hidup secara prinsip tetapi hanya bersifat sekunder, sehingga sewaktu-waktu istri tersebut dapat melakukan tindakan untuk menolak tidak mau bekerja. Sedangkan pandangan yang ke-2 mereka membolehkan istri bekerja di luar rumah dengan asalan : (a) pekerjaan yang dilakukan benar-benar membutuhkan penanganan kaum wanita, sehingga tidak bercampur aduk dengan kaum laki-laki. Misalnya, menjadi guru taman kanak-kanak, sekolah khusus putri, merawat untuk pasien perempuan dan jenis pekerjaan lain yang menangani kaum perempuan dan anak-anak; (b) suami yang bertanggung jawab atas nafkah istri tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka sekeluarga, sehingga terpaksa istri bekerja di luar guna membantu mencukupi nafkah keluarga. Sekalipun demikian, pekerjaan yang dilakukan tidak boleh membuat yang bersangkutan bercampur bebas; (c) jam kerja yang diperlukan wanita untuk pekerjaan luar rumah tidak menelantarkan kewajiban pokoknya mengurus keluarga Pengurus rumah tangga dan anak-anak, adalah kewajiban (fardhu ain) bagi wanita yang telah berkeluarga, sekalipun dia memiliki pembantu. Sedangkan bekerja mencari nafkah demi membantu mencukupi kebutuhan keluarga tidak wajib bagi wanita; dan (d) ada persetujuan suami. Keempat, Dalam pasal 80 tentang kewajiban suami pada ayat (6) disebutkan bahwa Istri dapat rnembebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b, yakni tentang kewajiban suami untuk memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri serta biaya
61
rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. Dengan berdasarkan ketentuan tersebut, maka bagi istri yang tetap mempertahankan ikatan perkawinan dengan membebaskan kewajiban suami dalam mencari nafkah yang merupakan hak istri dan anak, maka telah terjadi pelimpahan kewenangan dimana istri berperan sebagai pencari nafkah, sehingga hak gugat cerai terhadap suami yang tidak mampu tersebut tidak dilaksanakan. Sedangkan bagi istri yang tidak bisa menerima kenyataan terhadap suami yang tidak mampu untuk memberikan nafkah, dan dikarenakan mungkin istri tidak mampu untuk bekerja, maka jalan untuk melakukan perceraian dengan gugatan kepada suami juga dapat dilakukan. Sebab alasan tersebut termasuk macammacarn penderitaan yang mengakibatan perceraian. Alasan tersebut dapat dibenarkan terjadinya perceraian dan di gunakannya hak gugatan istri terhadap suami. Namun tidak digunakannya hak gugat cerai oleh istri terhadap suami yang tidak mampu mencari nafkah yang didasarkan pada asas kekeluargaan seperti kesukarelaan, kemitraan suami istri, dan untuk selama-lamanya, merupakan asas yang memang menurut setiap orang tentu berbeda-beda, ada yang kuat yang meyakini dan mengamalkannya tetapi ada yang lemah, dan ada yang biasa-biasa saja. Bagi mereka yang kuat dalam memegang keyakinan dalam perkawinan itu mesti dipertahankan untuk selamalamanya, maka meskipun suami tidak mampu mencari nafkah, tentu istri akan berupaya untuk dapat mencukupi kebutuhan (nafkah) dengan cara bekerja. Dengan berdasarkan pada ke-4 dasar argumen tersebut di atas, maka tindakan IG yang menyatakan bahwa keadaan dirinya yang tak mampu memenuhi kewajiban bekerja mencari nafkah untuk berusaha agar MH mencari suami "baru"
62
supaya kebutuhan hidup keluarga dapat dipenuhi dengan baik, merupakan bentuk dari kepasrahan dan keiklasan. Tetapi dengan adanya pandangan MH yang menolak saran IG, dan mengatakan bahwa dirinya (MH) tidatk akan mencari suami yang lain, sampai selama-lamanya, menunjukkan rasa cinta MH terhadap IG sangat tulus dan tidak mau bercerai dari IG, di samping itu MH sangat memperhatikan anak-anaknya yang dalam pandangan MH jika dirinya kawin lagi tentu anak-anaknya kurang perhatian dan menjadi anak tiri bagi anak-anaknya tentu kurang menyenangkan. Demikiann halnya dengan pandangal IG terhadap istri (MH) yang bekerja tidak menjadi miasalah, apalagi dalam pekerjaannya itu memang sesuai dengan kodrat kewanitaan dengan dirinya (IG) telah memberikan ijin kepada istrinya untuk bekerja, dan bersuami agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh ketentun hukum Islam. Pekerjaan MH juga tidak tergolong berat, sebagai buruh tani di desa Karanglo Kidul, maka pekerjaan itu sangat sesuai dengan pekerjaan wanita, yang memerlukan ketelatenan dan ketelitian, semuanya itu banyak dimiliki oleh karakteristik wanita. IG juga memahami benar keadaan MH tidak merasa tertekan (berat) dengan pekerjaan yang dilakukan. Perjuangan untuk meneruksan ikatan perkawinan dengan mantap dibutuhkan. Pekerjaan yang dilakukan istri didsari dengan rasa ibadah, mencari nafkah dan mempertahankan keutuhan rumah tangga. Begitu pula pandangan MH terhadap dirinya yang bekerja mencari nafkah diyakini tidak bertentangan dengan hukum Islam, demikisn juga mengenai ketidakmampuan suami untuk mencari nafkah karena sakit, mejadi sebab keringanan dan tidak diberlakukannya hukum tentang kewajiban mencari nafkah
63
bagi suami. Peranan ganda yang dilakukan MH baik sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah keluarga, mernpunyai nilai yang lebih. MH menyadari dan berkeyakinan bahwa perceraian bagi dirinya bukan suatu keputusan yang baik, sebab dalam pandangannya dirinya mampu berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja. Dan ditinya memang termasuk tipe orang yang "gigih" mempertahankan prinsip serta mempunyai semangat yang kuat. Maka dengan pandangan MH dan IG tersebut dan dipadukan dengan (4) empat argumen sebagaimana telah diuraikan di atas jelas menjadi pertimbangan bahwa keadaan yang terjadi pada keluarga IG tersebat secara hukum Islam dapat dibenarkan, sebaiknya memang tidak dilakukan oleh istri (MH) mempunyai dasar argumen yang kuat sebagai istri memang secara bebas tidak melakukan tindakan tersebut dengan tidak melakukan khulu' misalnya, tetapi tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga yang menjadi landasan yang lebih penting untuk dipertahankan. Jadi, apa yang dilakukan istri (MH) dengan tidak melakukan tindakan gugat cerai terhadap suaminya (IG) tidak bertentangan dengan syari'at Islam, hal ini di bolehkan menurut hukum Islam. Apalagi jika dilihat bahwa istri (MH) merasa dirinya dapat menghidupi dan mampu untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Atas pertimbangan tersebut, jelas bahwa MH tidak mempermasalahkan suaminya yang tidak bekerja. Dan jika demikian maka berdasarkan ketentuan dalam kompilasi hukum Islam pasal 80 adalah telah terjadi pelimpahan wewenang dimana suami tidak lagi berkuasa untuk dapat memenuhi kewajiban mencari nafkah. Satu hal yang menjadi pertimbangan yang menyangkut ketentuan hukum
64
Islam adalah berkenaan dengan pernyataan IG terhadap MH yang disebutkan bahwa IG menyarankan agar MH mencari suami yang 'baru'. Ungkapan IG kepada MH tersebut telah menunjukkan bahwa IG telah melakukan talak satu, sebab pernyataan itu memberikan pengertian bahwa istri (MH) dianjurkan mencari suami lagi, artinya kalau MH mau maka MH dapat melakukan pernikahan lagi dengan menceraikan IG sebab IG telah memberikan kebebasan kepada MH untuk melakukan anjuran melakukan perceraian. Dengan demikian jika sampai sekarang IG dan MH tidak menyadari akan perkataan yang pernah diungkapkan IG tersebut, maka hakekatnya jika sampai dengan saat sekarang istri MH masih masih menjalin hubungan perkawinan, tentu melanggar hukum Islam sehingga telah melakukan talak satu, meskipun IG tidak menyadari, baik secara sadar maupun tidak langsung dan saran tersebut jelas menunjukkan keseriusan seorang istri tidak terbebani dengan penderitaan (sakit) yang dialami IG. Suami IG dan MH sepertinya tidak menyadari bahwa apa yang pernah dikatakan oleh IG pada istrinya bermakna talak. Maka sebenarnya dalam ketidaktahuan tentu tidak terkena suatu hukum, namun jika pada saat sekarang IG dan MH tidak menyadari bahwa apa yang pernah dikatakan suaminya itu sebagai suatu talak, maka IG dan MH harus melakukan akad nikah lagi yang tujuannya untuk melaksanakan ketentuan dalam hukum Islam.
65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dengan memperhatikan pembahasan tersebut di atas maka pada bagian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hak dan kewajiban suami istri adalah : (a) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat; (b) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain; (c) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; (d) suami istri wajib memelihara kehormatannya; (e) Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Hak dan kewajiban suami istri haruslah seimbang dan dengan kewajiban pokok suami sebagai pencari nafkah maka istri berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur rumah tangga, suami tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai pencari nafkah keluarga dikarenakan suami mengalami cacat atau sakit yang membuatnya tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah. Hukum Islam membolehkan istri berperan sebagai pencari nafkah keluarga jika suami sedang sakit parah. Dan istri dapat memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja yang sesuai dengan kodratnya dan dengan kemampuan sendiri.
66
Akan tetapi, jika istri tidak mampu bekerja, maka istri boleh mengajukan gugat cerai yang tujuannya agar dirinya dan anaknya tidak terlantar hidupnya. 2. Suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya sebagaimana tersebut di bawah : a. Bila dia keluar rumah dan pergi ke tempat lain tanpa persetujuan suami atau alasan yang dibenarkan oleh agama. b. Bila Ia berpergian tanpa izin suami c. Bila Ia ihrom tanpa persetujuan suami dan nafkah tetap diberikan bila disertai atas persetujuan suami d. Bila Ia menolak bersetubuh dengan suaminya e. Bila Ia dipenjara karena tindak pidana f. Bila suami meninggal dan dia menjadi janda, dia berhak mewarisi harta peninggalan suaminya sesuai dengan haknya. Inilah merupakan alasan yang utama mengapa si janda tak berhak memperoleh nafkah selama masa iddah kematian suaminya. 3. Wanita yang karena alasan dan kondisi rumah tangga harus bekerja di luar rumah, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Pekerjaan yang dilakukan benar-benar membutuhkan penanganan kaum wanita, sehingga tidak bercampur aduk dengan kaum laki-laki. b. Suami yang bertanggung jawab atas nafkah istri tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga terpaksa istri bekerja di luar guna membantu mencukupi nafkah keluarga tersebut. c. Jam kerja yang diperlukan wanita, untuk pekerjaan di luar rumah tidak
67
menelantarkan kewajiban pokok mengurus keluarga. d. Persetujuan suami, menurut pendapat dari Muhammad Tholib, dalam hukum Islam ada tiga hal tentang suami yang tidak mampu mencari nafkah : (1). suami tidak mampu/dapat mempertahankan istri dengan cara yang makruf, dalam arti tidak mempunyai harta atau usaha. (2). suami dipenjara sangat lama, sehingga kewajiban memberikan nafkah tidak dapat dilakukan, (3). Ketidakmampuan suami memberikan nafkah dikarenakan suami mengalami cacat atau sakit yang membuatnya tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah.
B. Saran Pentingnya keluraga bagi kehidupan, khususnya dalam masyarakat kecil (keluarga), yang harus dibina dengan rasa cinta dan kasih sayang supaya tercipta keluarga yang harmonis dan sebagai tempat pembentukan watak anak atau keturunan anak yang sholih (berbuat amal kebaikan) atau sebaliknya menjadi anak yang durhaka, baik suami/istri akan menjadi suami yang baik atau istri yang baik. Apabila keluarga tersebut terbina dengan harmonis dan selalu melaksanakan tuntunan agama Islam dan mentaati norma-norma yang berlaku dalam kehidupan rumah tangga. Melihat pentingnya keluarga bagi kehidupan di dunia ini, maka dari itu marilah kita bina keluarga yang selalu didasari cinta dan kasih sayang, supaya tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah, seperti yang dicontohkan oleh Nabiyyina Muhammad SAW yaitu "Al Baiti Jannatii". Amin.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman I Do'i, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (syariah I), Terj. Zainudin dan Rusydi Sulaiman ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996). Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1995) Haya binti Mubarok al-Barik, Ensklopedia Wanita Muslimah. Terj. Amir Hamzah. (Jakarta : Darul Falah, 1999) Ibrahim Muhammd al-Jamal, Fiqih Wanita, Ter, Anshori Umar, (Semarang : CV Asy-Syifa', 1988). Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari. Juz. VII. Terj. Achmad Sunarto dkk, (Semarang CV. Asy-Syifa', 1993). Mahmud Syaltut, Akidah dan syari'ah Islam, Terj., Fachruddin Hs. dan Nasharuddin, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994). Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, 1990),
(Bandung : Remaja Rosdakarya,
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : PengantarIlmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993). Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab : Ja'far, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali. Ter. Masykur A.B, Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff. (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996). Muhammad Thalib, Solusi Islam Terhadap Dilema Wanita Karir. (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999). Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid VII, Terj. Mahyudin Syaf, ( Bandung : Al Ma'arif, 1986). Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), Undang Undang Republik Indonesia, Agama
No. 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan
69
Wawancara dengan IG, tanggal 3 Juni 2001 1 Wawancara dengan IG, tanggal 10 Juni 2001 1
Wawancara dengan IG, tanggal 24 Juni 2001 Wawancara dengan MH, tanggal 10 Juni 2001 1 Wawancara dengan MH, tanggal 8 Juni 2001 1 Wawancara dengan MH, tanggal 8 Juni 2001 1 Wawancara dengan IG, tanggal 24 Juni 2001 1 Wawancara dengan MH, tanggal 8 Juni 2001 1 Wawancara dengan IG, tanggal 24 Juni 2001 1 Wawancara dengan MH, tanggal 8 Juni 2001 1 Wawancara dengan MH dan IG, tanggal 15 Juli 2001 1 Wawancara dengan IG, tanggal 24 Juni 2001 1 Wawancara dengan MH dan IG, tanggal 15 Juli 2001 1 Wawancara dengan MH, tanggal 15 Juli 2001 1