BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Makanan manusia dapat bersumber dari produk hewani maupun nabati. Salah satu sumber protein hewani yang dikenal masyarakat adalah susu. Susu termasuk makanan yang berkualitas dan sebagai makanan yang baik bagi manusia. Hal ini didukung oleh kemasan yang baik, nutrisi yang dapat membantu pertumbuhan, serta dapat mencegah atau menurunkan kejadian malnutrisi (Marshall et al., 2003). Badan Standardisasi Nasional dalam SNI tahun 1998 menyatakan bahwa susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Susu sebagian besar terdiri atas air, sedangkan sisanya berupa lemak, laktosa (karbohidrat), dan protein (casein dan protein whey). Susu mengandung mineral dalam jumlah yang kecil, protein darah spesifik, serta beberapa bahan sintesis susu. Struktur serta sifat dari komponen ini sangat memengaruhi karakteristik dari susu dan memiliki efek yang sangat penting pada saat dilakukan pengolahan susu lebih lanjut (Robinson, 2002). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat populasi sapi perah di Indonesia sebanyak 611.000 ekor pada tahun 2013. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 2,5% dibandingkan tahun sebelumnya, namun jumlah tersebut hanya
1
2
mampu menghasilkan 20% dari jumlah konsumsi susu nasional yakni sebanyak 600.000 ton. Swastika et al. (2005) menyatakan bahwa kebanyakan peternakan sapi perah di Indonesia merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Hal ini menyebabkan produksi susu tidak bisa optimal. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, berdasarkan data dari Dinas Pertanian, memiliki sapi perah sebanyak 4000 ekor pada tahun 2013 dengan kabupaten Sleman memiliki populasi paling banyak. Provinsi DIY memiliki 3 koperasi susu yaitu Koperasi Warga Mulya (KWM), Koperasi Sarono Makmur (KSM), dan Koperasi Unit Pelaksana Proyek (UPP) Kaliurang. Volume susu segar yang diterima oleh Koperasi Susu Warga Mulya rata-rata per hari sebanyak 6.600 liter. Susu ini akan dikirim ke PT Sari Husada sebanyak 89,6%, 0,78% untuk produksi susu pasteurisasi, dan 9,62% untuk konsumen/agen (Handayani et al., 2005). Minat masyarakat umum, khususnya di daerah Yogyakarta untuk mengonsumsi susu sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkembangnya rumah-rumah makan yang menjual berbagai jenis susu sapi dan kambing maupun olahannya. Susu yang dijual mulai dari jenis susu segar, susu pasteurisasi, ataupun diolah untuk menjadi makanan lainnya. Sistem penjualan susu ini masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan bak terbuka dan pengolahannya pun masih terbatas pada pemanasan. Kualitas kebersihan masih sangat tergantung kepada tingkat pendidikan dan pengetahuan dari penjual. Susu yang dijual ini pada
3
umumnya didapatkan dari beberapa koperasi susu di Yogyakarta, atau juga didapatkan langsung dari peternak sapi perah. Akibat dari hal ini tentunya kualitas susu yang didapatkan masyarakat sangat bervariasi tergantung dari titik pengambilan susu. Susu sebagai salah satu sumber protein hewani yang sangat lengkap ternyata memiliki kelemahan. Gizi susu yang tinggi dapat digunakan sebagai medium yang sangat baik bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Susu dalam waktu yang sangat singkat menjadi tidak layak dikonsumsi bila tidak ditangani secara benar (Mennane et al., 2007). Penurunan kualitas susu akan terlihat pada saat pemeriksaan angka lempeng total (Total Plate Count). Susu yang baik untuk dikonsumsi harus memiliki jumlah angka lempeng total di bawah batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) SNI. Susu yang melebihi batas standar akan sangat berbahaya untuk dikonsumsi walaupun telah dilakukan pengolahan lanjutan (Suwito, 2010). Kualitas angka lempeng total seara langsung berhubungan dengan adanya bakteri-bakteri patogen penghasil toksin dalam susu. Mikroorganisme yang berkembang dalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak juga dapat membahayakan kesehatan masyarakat karena kemampuan bakteri untuk menghasilkan toksin. Toksin tersebut dapat menyebabkan penyakit yang tidak hanya sebatas pada gangguan pencernaan saja, melainkan juga mampu menyebabkan gangguan saraf dan gangguan pernafasan. Penanganan susu yang tidak benar juga dapat menyebabkan daya simpan susu menjadi singkat, harga jual murah yang pada akhirnya juga akan menurunkan pendapatan peternak sebagai produsen susu (Saleh, 2004). Jeffrey et al. (2009)
4
menyatakan bahwa ada beberapa bakteri yang mampu hidup di susu dan mampu menyebabkan penyakit, yaitu Salmonella spp., Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Campylobacter jejuni. Kasus keracunan akibat mengonsumsi susu di Indonesia pernah terjadi di beberapa daerah. Siswa Sekolah Dasar (SD) di Tulungagung sebanyak 72 siswa, 300 siswa SD di Bandung, dan 73 karyawan Carefour di Surabaya pada tahun 2007 dilaporkan mengalami mual dan muntah setelah mengonsumsi susu yang tercemar oleh E. coli dan S. aureus (Suwito, 2010). Kasus salmonellosis pernah terjadi pada tahun 1997 dengan korban sebanyak 28 orang karena mengonsumsi susu pasteurisasi di California. Kejadian lain juga terjadi pada Maret tahun 2000 terjadi 93 kasus di New Jersey karena mengonsumsi susu pasteurisasi yang terkontaminasi Salmonella typhimurium (Olsen et al., 2006). Kasus keracunan makanan akibat mengonsumsi susu mentah terjadi sebanyak 81 kasus di Amerika Serikat pada tahun 2010-2012. Penyebab terjadinya keracunan tersebut adalah Campylobacter sp. sebanyak 62 kasus, E. coli sebanyak 13 kasus, dan Salmonella spp. sebanyak 2 kasus (Andrew, 2014). Kejadian keracunan salmonellosis terjadi akibat adanya ekskresi toxin oleh Salmonella spp. pada makanan. Escherichia coli merupakan mikroflora yang bersifat patogen yang biasanya ada di dalam usus hewan dan manusia. Keberadaan bakteri ini pada makanan merupakan hal yang harus dicegah mengingat kemungkinan adanya bakteri enteropatogenik atau toksigenik yang mampu menyebabkan gangguan pencernaan (Soomro et al., 2002). Escherichia coli serotipe O157:H7 merupakan salah satu E. coli patogen yang mampu menyebabkan kematian. Keberadaan bakteri ini pada
5
susu mentah ataupun pada susu olahan menunjukkan adanya kontaminasi kotoran. Cemaran ini dapat terjadi karena beberapa hal antara lain ketidaktaatan pada prosedur standar, kurangnya sanitasi individu, serta teknologi yang tidak tepat, oleh karena itu penting untuk dilakukan pengawasan dan memperketat peraturan pada setiap rantai pengolahan susu agar tidak terjadi kontaminasi (Law, 2000). Badan Standardisasi Nasional (2008) menyatakan bahwa pengawasan proses sanitasi dan higienitas susu diatur dalam bentuk Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Keberadaan NKV ini diharapkan proses sanitasi yang dilakukan sesuai standar dan memenuhi batas kelayakan terhadap keamanan bahan pangan asal hewan. Salmonella spp. adalah salah satu dari penyebab utama kasus infeksi melalui makanan (foodborne disease). Dua jenis bakteri yang sering menginfeksi adalah Salmonella enterica (S. enterica) dan Salmonella bongori. Fruth and Rabsch (2009) menyatakan beberapa bakteri yang menyebabkan outbreak kasus salmonellosis antara lain S. bongori dan S. enterica subspesies salmae, arizonae, diarizonae, houtenae, dan indica. Sebanyak 11% kasus infeksi salmonella merupakan infeksi non tifoid dan infeksi inilah yang menyebakan terjadinya kematian ataupun memerlukan perawatan yang lebih intensif (Scallan et al., 2011). Usaha untuk mengurangi penyakit pada hewan ternak maupun cemaran dilakukan dalam berbagai macam metode, salah satunya adalah pengobatan dengan antibiotik. Banyaknya antibiotik yang memiliki fungsi yang sama terhadap manusia, hewan akuatik, maupun ternak menyebabkan berkembangnya organisme yang memiliki daya tahan terhadap antibiotik (Rizzo et al., 2013). Baquero et al. (2008) melaporkan adanya kasus infeksi akibat organisme resisten antibiotik
6
sebesar 18.000 jiwa di Amerika Serikat. Implikasi dari sifat resisten antibiotik ini adalah adanya perubahan pada sifat dan tingkah laku bakteri pada saat proses pengolahan makanan. Bacon et al. (2003) melaporkan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan bakteri resisten antibiotik pada media dan adanya toleransi yang berbeda terhadap kondisi lingkungan seperti pemanasan dan keasaman. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi standar proses pengolahan makanan. Kasus E. coli dan Salmonella spp. yang resisten terhadap antibiotik telah terjadi di berbagai belahan dunia. Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat selama tahun 1997-2007 memperlihatkan adanya peningkatan resistensi antibiotik pada E. coli terhadap siprofloksasin, trimetoprim, sulfametoksasol, dan amoksisilin/asam klavulanik. Pada tahun-tahun berikutnya, peningkatan resistensi pun muncul terhadap ampisilin, sulfonamid, dan gentamisin. (McEwen et al., 2008). Kasus resistensi pada Salmonella spp. terjadi seiring dengan peningkatan angka kejadian demam tifoid. Resistensi ini terjadi pada antibiotik jenis kloramfenikol yang merupakan drug of choice dari penyakit demam tifoid (Mandell, 1995). Jenis antibiotik lain yang dilaporkan mengalami resisten adalah penicillin dan vancomycin (Monica et al., 2013). Kasus-kasus pencemaran bakteri ini dapat dicegah dengan berbagai metode pengolahan. Pasteurisasi merupakan metode terbaik yang dilakukan untuk membuat susu bebas dari agen patogen dan aman untuk dikonsumsi (Zeinhom dan Gihan, 2014). Beberapa jenis bakteri masih ditemukan setelah mengalami proses pasteurisasi, antara lain adalah Salmonella spp. dan E. coli. Hal ini dapat terjadi
7
karena proses pasteurisasi yang tidak tepat ataupun kontaminasi setelah pasteurisasi (Van Kessel et al., 2004). Susu memiliki peran yang sangat vital dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Nilai gizi susu yang sangat tinggi akan berguna dalam menunjang gizi pada masa pertumbuhan maupun sebagai pelengkap makanan sehari-hari. Metode pengolahan susu di tempat-tempat penjual susu yang yang bermacam-macam sehingga diperlukan pengawasan dan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi mengani kualitas susu dari segi mikrobiologis, mendeteksi cemaran Salmonella spp. dan E. coli pada susu segar dan susu olahan, dan melihat tingkat resistensi antibiotik.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut: 1.
Berapa angka lempeng total
(ALT) bakteri pada susu (segar,
pasteurisasi, UHT, dan susu kaki lima) di masyarakat ? 2.
Apakah terdapat cemaran Salmonella spp. dan Escherichiacoli pada susu (segar, pasteurisasi, UHT, dan susu kaki lima) yang beredar di masyarakat ?
3.
Bagaimana tingkat sensitivitas Salmonella spp. dan Escherichia coli yang diisolasi dari susu (segar, pasteurisasi, ultra high temperature (UHT), dan susu kaki lima) yang beredar di masyarakat terhadap beberapa jenis antibiotik ?
8
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui tingkat cemaran bakteri pada susu (segar, pasteurisasi, ultra high temperature (UHT), dan susu kaki lima) yang beredar di masyarakat umum.
2.
Mengetahui keberadaan Salmonella spp. dan Escherichia coli dalam susu (segar, pasteurisasi, ultra high temperature (UHT), dan susu kaki lima) di masyarakat umum.
3.
Mengetahui tingkat sensitivitas Salmonella spp. dan Escherichia coli terhadap antibiotik yang diisolasi dari susu (segar, pasteurisasi, ultra high temperature (UHT), dan susu kaki lima) yang beredar di masyarakat.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang kualitas susu yang beredar di masyarakat umum, baik dari tingkat angka cemaran total, keberadaan Salmonella spp. dan Escherichia coli, serta tingkat sensitivitas terhadap beberapa antibiotik di kabupaten Sleman. Informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan pembuatan standar prosedur dalam penanganan, pengolahan, dan penyimpanan susu yang selama ini masih berbedabeda pada setiap tempat. Standarisasi prosedur penanganan dan pengolahan susu akan dapat meningkat kualitas susu dan lebih aman dikonsumsi oleh masyarakat
9
umum. Informasi sensitivitas bakteri terhadap antibiotik diharapkan menambah pengetahuan tentang penggunaan antibiotik yang tepat.
Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk mengetahui kualitas susu antara lain: penelitian yang pernah dilakukan oleh Suwito et al. (2014) pada susu segar kambing peranakan ettawa (PE) di kabupaten Sleman menganalisis mengenai total plate count (TPC), jumlah Staphylococcus sp., jumlah koliform, serta deteksi Eschericia coli dan Salmonella spp. berdasarkan reaksi biokimia. Perbedaannya adalah pada sampel yang dipergunakan yaitu sampel susu sapi, baik yang segar,olahan, maupun yang dijual di warung-warung tradisional. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Zeinhom dan Gihan (2014) dilakukan untuk meneliti tentang adanya bakteri penyebab milkborne disease pada susu mentah, susu di pasar tradisional, dan swab tangan pemerah. Penelitian dilakukan dengan melihat adanya cemaran bakteri Salmonella spp., E. coli, Aeromonas sp., dan Yersinia. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah adanya tambahan parameter pengukuran sensitivitas terhadap beberapa antibiotik. Van Kessel et al. (2004) pernah meneliti tentang kontaminasi bakteri Salmonella spp., Listeria monocytogenes, dan koliform pada bulk tank. Sampel dari penelitian tersebut menggunakan 861 sampel tangki pengumpul di 21 negara bagian di Amerika Serikat. Penelitian yang akan dilakukan menggunakan sampel berupa susu sapi baik yang segar, pasteurisasi, UHT, maupun susu yang dijual di kaki lima. Proses identifikasi dan isolasi juga dilakukan terhadap E.coli.
10
Kalmus et al. (2014) melakukan penelitian mengenai kualitas susu mentah yang langsung dikonsumsi di Estonia. Sampel yang dipergunakan adalah susu dari 14 peternakan sapi perah dan susu pada agen-agen penjual. Sampel selanjutnya dicek jumlah sel somatik, angka cemaran total, dan deteksi keberadaan Salmonella spp. dan Listeria monocytogenes. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada titik pengambilan sampel yang dilakukan pada susu olahan di beberapa swalayan. Hill et al. (2012) juga meneliti tentang kualitas mikrobiologi pada susu segar di Selandia Baru. Penelitian ini mencoba untuk mendeteksi berbagai macam bakteri, yaitu Salmonella spp., E. coli, S. aureus, Listeria, dan Campylobacter. Jumlah sampel yang diujikan adalah 297 sampel. Metode yang dipergunakan merupakan gabungan dari metode konvensional dan metode PCR untuk mendeteksi gen patogen pada E. coli. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jensis sampel susu dan tanpa menggunakan metode PCR. Penelitian lain yang pernah dilakukan untuk mendeteksi Salmonella pada susu dilakukan oleh Marathe et al. (2011) di India. Perbedaan pada yang akan dilakukan terletak pada metode deteksinya. Metode yang akan dipergunakan pada penelitian ini adalah metode isolasi dan identifikasi konvensional, sedangkan penelitian Marathe et al. (2011) menggunakan metode PCR tanpa proses pengkayaan. Sampel yang diteliti pada penelitian ini diambil pada beberapa titik distribusi susu di kabupaten Sleman. Kebaruan penelitian ini adalah penggunaan berbagai macam jenis susu sebagai sampel, yaitu susu segar, susu pasteurisasi, susu UHT, serta susu yang
11
dijual di kaki lima. Jenis susu yang berbeda-beda ini diharapkan dapat memberikan hasil yang komprehensif mengenai gambar kualitas susu di tiap-tiap tingkat distribusi. Pengujian sensitivitas antibiotik pada Salmonella spp. dan Escherichia coli yang diisolasi dari susu belum pernah dilakukan sebelumnya.