BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan dan minuman adalah kebutuhan pokok manusia sehari-hari. Terkadang dengan kesibukan yang ada, kita jarang memiliki waktu untuk membuat dan menyediakan makanan atau minuman sendiri sehingga makanan dan minuman siap saji menjadi pilihan yang praktis. Industri makanan dan minuman pun menjadi semakin marak karena permintaan konsumen yang terus meningkat di Indonesia. Dapat kita lihat besarnya nilai penjualan Makanan dan Minuman di Indonesia, seperti di bawah ini:
Gambar 1.1 Nilai Penjualan Makanan dan Minuman di Indonesia Sumber : GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia) oleh www.bankmandiri.co.id
1
Peluang inilah yang diminati oleh para pemain Industri Makanan dan Minuman. Perusahaan-perusahaan makanan dan minuman di Indonesia berusaha membuat makanan atau minuman siap saji yang praktis dan disukai oleh masyarakat Indonesia. Besarnya pengaruh industri makanan dan minuman terhadap total industri non migas di Indonesia juga membuktikan bahwa Industri ini terus berkembang. Tabel 1.1 Peran sub Industri Indonesia
Sumber : BPS diolah Kemenprin (http://rocana.kemenperin.go.id)
Sejak tahun 2005 hingga triwulan 2 tahun 2011, industri makanan, minuman dan tembakau masih memegang peran terbesar terhadap total industri, yakni sebesar 34,71%. Diikuti oleh industri alat angkut, mesin dan peralatannya sebesar 27,15%, dan industri pupuk, kimia dan barang karet sebesar 12,69%.
2
Dengan pertumbuhan peran industri yang baik, maka akan ada banyak pemain yang bersaing dan berusaha untuk menduduki posisi terbaik dalam masing-masing industri. Begitu pula dalam Industri Makanan dan Minuman di Indonesia, setiap perusahaan selalu berusaha mencoba
melakukan hal-hal yang menarik perhatian konsumen,
memberikan sesuatu yang lebih di bandingkan pesaingnya. Dengan demikian perusahaan akan dapat bersaing dan tetap bertahan dalam industri yang digelutinya.
Salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan agar dapat bersaing yaitu dengan mengembangkan brand atau mereknya. Cobranding merupakan bagian dari strategi pengembangan merek dengan menciptakan produk baru dari brand yang sudah ada. Brand yang sudah ada ini dapat berasal dari satu perusahaan yang sama ataupun berbeda perusahaan (Keller, 2008).
Co-branding adalah bentuk kerja sama antara dua merek atau lebih yang dikenal pelanggan dengan baik, di mana semua nama merek tersebut tetap digunakan dalam membentuk merek baru (Kartajaya, 2010).
Definisi co-branding lainnya yaitu dimana kedua merek ternama atau
lebih
digabungkan
menjadi
satu.
Masing-masing
merek
mengharapkan bahwa nama merek yang lainnya akan memperkuat kecenderungan atau niat masyarakat untuk membeli. Dalam hal produk
3
yang dikemas bersama, setiap merek berharap bahwa produk tersebut dapat menjangkau konsumen baru dengan mengasosiasikannya dengan merek yang satunya lagi (Kotler, 2008). Perusahaan melakukan cobranding dikarenakan adanya kompetitif market dan persaingan produk baru (Spethman&Benerza, 1994 dalam
Ling-Teng Chang, 2012). Di
Indonesia, pemerintah juga menargetkan industri makanan dan minuman ini berkembang dengan pesat di tahun-tahun kedepannya seperti tabel target pertumbuhan industri di berikut ini:
Tabel 1.2 Target Pertumbuhan Cabang Industri Indonesia Cabang Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil,Barang Kulit & Alas Kaki Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya Kertas & barang cetakan Pupuk, Kimia &barang dari Karet Semen dan Brang Galian bukan logam Logam Dasar, Besi & Baja Alat Angkut, Mesin & Peralatannya Barang lainnya Total Industri
2009
2010
11.29 6.53 -1.46 6.27 2.52 -0.63 -4.53 -2.94 3.13 2.52
6.64 2.15 1.75 4.60 5.00 3.25 2.75 4.00 5.18 4.65
2011 7.92 3.40 2.75 4.80 5.46 3.74 3.40 6.40 5.60 6.10
2012 8.15 3.75 2.90 4.90 5.75 4.05 4.00 7.78 6.00 6.75
2013
2014
8.94 10.40 4.30 5.60 3.40 3.90 5.30 5.58 7.00 8.30 4.60 5.30 4.50 5.50 8.30 10.20 6.40 6.80 7.47 8,95
Rata-rata 2010-2014 8.41 3.84 2.94 5.04 6.30 4.19 4.03 7.34 6.00 6.78
Sumber : Kemenprin (2010)
Target pertumbuhan ini membuat para pemain industri harus waspada dan berinovasi untuk mempertahankan brand-nya di persaingan yang semakin ketat. Tujuan lainnya adalah mengembangkan pasar, cobranding akan menjadi suatu ‘jembatan’ bagi suatu komunitas untuk
4
menerima brand satu dengan brand lainnya (www.kompasiana.com, 2011) Hal tersebut yang dilakukan oleh Wall’s dan Buavita yang menghadirkan produk Ice cream rasa buah dengan merek Wall’s Buavita. Kita ketahui bahwa Wall’s sudah kuat dengan produk ice cream-nya, berdasarkan data dari www.unilever.co.id (2012) Wall’s memasuki pasar Indonesia pada tahun 1992, Wall’s terus menerus menciptakan inovasi yang hebat sepanjang tahun untuk memenuhi kepuasan pelanggan di segala segmen.
Dengan memadukan produk-produk yang baik dan komunikasi sempurna 360 derajat, Wall’s selalu mencoba membawa cinta dan kegembiraan untuk setiap orang. Dengan 13 merek dan lebih dari 40 varian, kini Wall’s telah menjadi pilihan utama produk es krim Indonesia. Selain itu, berdasarkan survei Top Brand Awards 2012, Wall’s menduduki peringkat pertama dengan persentase 72,4% dan di urutan kedua yaitu Campina dengan persentase 17,9% (www.topbrand-award.com, 2012)
Sedangkan untuk Buavita, brand ini sudah kuat dengan minuman sari buahnya. Dari survei Frontier mencatat ada beberapa merek minuman sari buah dalam kemasan yang ada di pasaran:
5
Gambar 1.2 Survei Minuman Kemasan Siap Saji Sumber : www.frontier.co.id Hasil survei tersebut merupakan hasil dari Top Brand Awards 2012, dimana terdapat lima merek teratas minuman sari buah dalam kemasan yaitu dari peringkat pertama adalah Buavita (32,3%), Ale-Ale (28,1%), ABC (11,8%), Frutang (7,3%) dan Nutrijeruk (4,8%).
Dengan hasil survei yang ada dapat dilihat bahwa kedua perusahaan ini yaitu Wall’s dan Buavita sudah menduduki peringkat pertama dalam kategorinya masing-masing, mereka juga memiliki brand yang kuat serta memiliki target pasar yang berbeda. Kedua perusahan ini mencoba untuk lebih menarik perhatian masyarakat dengan memperluas merek mereka dengan melakukan co-branding sehingga menghasilkan target pasar yang baru dengan memanfaatkan peluang yang ada.
6
Peluang yang mendukung pengembangan merek ini diantaranya masih rendahnya tingkat konsumsi buah di Indonesia dan trend pola hidup sehat yang sedang berkembang di masyarakat. Menurut Direktur Pengembangan Usaha dan Investasi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementerian Pertanian Jamil Musanif, saat ini konsumsi buah dan sayur nasional kurang lebih 40kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut masih di bawah standar kecukupan pangan terhadap
buah
dan
sayur
yang
ditetapkan
FAO
yakni
65,75
kg/kapita/tahun. Dengan tingkat konsumsi yang rendah secara tidak langsung
pemerintah
akan
mendukung
masyarakatnya
untuk
mengkonsumsi buah baik dalam bentuk apa pun agar konsumsi buah di Indonesia dapat meningkat. Wall’s dan Buavita juga melihat tingkat pola hidup masyarakat yang semakin modern, mereka membutuhkan gaya hidup sehat terutama di kota-kota yang rutinitasnya sangat tinggi. Hidup sehat bisa dilakukan dengan berbagai macam cara seperti olah raga, mengatur pola makan dan yang paling gampang adalah mengkonsumsi buah. Wall’s Buavita memanfaatkan peluang-peluang tersebut dengan menciptakan produk ice cream dengan rasa buah. Masyarakat dapat mengkonsumsi buah dengan bentuk yang berbeda dari biasanya yaitu dalam bentuk ice cream.
7
Dengan melakukan co-branding Wall’s dan Buavita bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam strategi co-branding ini, ada faktor-faktor yang dapat menilai kecocokan kedua brand yang bergabung menjadi satu sehingga hasil dari co-branding dapat dibilang sukses dan memberi dampak positif bagi keduanya.
1.2 Rumusan Masalah Setiap perusahaan ingin brand-nya tetap eksis dan bertahan dalam persaingan industri yang semakin ketat. Berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan brand agar tetap menjadi pilihan konsumen. Salah satu strategi yang dilakukan oleh perusahaan adalah strategi brand extension yaitu perusahaan melakukan perluasan merek yang sudah ada terhadap produk baru atau produk yang dimodifikasi dalam katagori baru (Kotler, 2008), contohnya Lifeboy yang kita kenal dengan produk sabunnya memperluas mereknya dengan mengeluarkan Lifeboy Shampoo. Sebuah brand harus dapat menciptakan distinctive customer satisfaction yaitu kepuasan pelanggan yang hanya diberikan oleh produk itu sendiri dan tidak diberikan oleh produk yang dibuat oleh pesaing (Kartajaya, 2010). Untuk menciptakan hal itu maka perusahaan harus mengelola brand equity perusahaannya dengan baik. Brand equity sendiri adalah sekumpulan asset dan liabilities yang terkait dengan nama merek dan simbol, sehingga dapat menambah nilai yang ada dalam produk atau jasa tersebut. Aset yang terdapat dalam merek tersebut meliputi :
8
kesadaran akan merek (brand awareness), kesan kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association) dan loyalitas merek (brand loyalty).
Brand equity yang kuat akan membantu tujuan dari
pengembangan merek, perusahaan dapat memahami kebutuhan dan keinginan serta harapan konsumen sehingga konsumen lebih mudah menerima hasil dari pengembangan merek yang dilakukan oleh perusahaan. Praktik pengembangan merek yang dilakukan oleh Wall’s dan Buavita adalah mengeluarkan produk Ice cream Wall’s Buavita. Kedua perusahaan ini memanfaatkan strategi co-branding yang merupakan bagian dari pengembangan merek. Wall’s yang kuat dengan ice cream-nya bekerjasama dengan Buavita yang dikenal kuat dengan minuman sari buah. Kedua merek ini memiliki sumber daya dan brand equity yang baik pada masing-masing bidangnya dibuktikan dari Top brand Warads yang diraih keduanya kemudian mereka memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan pengembangan merek praktik co-branding. Keduanya hadir dengan satu produk ice cream rasa buah, bagi kedua perusahaan hal tersebut merupakan brand development dimana Wall’s mengeluarkan ice cream varian rasa buah dan Buavita hadir dalam bentuk ice cream. Nama kedua brand ada dalam kemasan ice cream yang dipasarkan oleh karena itu usaha yang dilakukan oleh mereka termasuk dalam cobranding. Co-branding adalah bentuk kerja sama antara dua merek atau
9
lebih yang dikenal pelanggan dengan baik, di mana semua nama merek tersebut tetap digunakan dalam membentuk merek baru (Kertajaya, 2010). Simonin dan Ruth (1998) dalam Bouten (2011) dalam evaluasi cobranding mengatakan bahwa harus ada ‘logic of a combination’ atau kombinasi yang masuk akal yaitu kesesuaian antara category product dan kesesuaian image masing-masing brand. Brand image fit adalah kesamaan imajinasi yang akan ditangkap oleh konsumen atau kesamaan konsep antara parent brand dan merek hasil ekstensionnya. Sedangkan category fit adalah kesamaan antara category produk
antara merek induk dan
merek ekstensionnya. Dalam penelitian ini, brand image fit dan category fit yang diukur adalah kecocokan brand image dan product category
antara kedua
perusahaan yang melakukan co-branding, yaitu kecocokan brand image Wall’s dan brand image Buavita serta kecocokan category produk Wall’s dan category produk Buavita bukan kecocokan antara parent brand (Wall’s/Buavita) terhadap hasil co-branding-nya (ice cream Wall’s Buavita). Definisi yang diambil berdasarkan penelitian Lissane (2011), menyatakan bahwa brand image fit adalah keadaan dimana kedua merek saling melengkapi dan konsumen melihat adanya hubungan brand image level atau tingkatan citra merek. Sedangkan untuk category fit adalah sejauh mana konsumen menilai kedua produk dapat berjalan seiringan (compatible) sesuai dengan tingkatan fungsi produk.
10
Brand image fit akan mempengaruhi brand trust. Brand trust adalah kesediaan konsumen untuk mengandalkan kemampuan merek tersebut dalam menjalankan fungsinya (Chaudhuri,
2001). Tapan (2001)
menyatakan bahwa kemampuan untuk memasangkan image dari kedua brand dalam co-branding mungkin lebih efektif karena memiliki sesuatu yang sama dan berhubungan satu sama lain dalam benak konsumen sehingga dengan brand image konsumen akan mengevaluasi dan akan menghasilkan sebuah kepercayaan (Richardson, Alan & Arun, 1994 dalam Ling-Teng Chang, 2012). Begitu pula untuk category fit akan mempengaruhi brand trust karena didalam perluasan merek, konsumen meyakini bahwa yang memasuki kategori yang tidak berhubungan maka hasilnya tidak dapat dipercaya sehingga akan menghasilkan persepsi yang negatif terhadap perluasan merek (Kirmani, 1999) jadi perluasan merek harus dalam kategori yang berhubungan agar dapat dipercaya oleh konsumen. Kepercayaan merek merupakan kemauan konsumen mengandalkan kemampuan suatu merek menjalankan fungsi yang telah di perlihatkan oleh merek tersebut (Chaudhuri & Holbrook, 2001, Morgan & Hunt, 1994 dalam Ling-Teng Chang, 2012). Semakin diandalkan suatu merek oleh pelanggan, semakin tinggi niat konsumen untuk membeli (Amraoui L, 2004 ; Gurviez P. et Korchia M, 2002 dalam O. Bouhlel, 2009 ).
11
Usaha co-branding yang dilakukan Wall’s dan Buavita diharapkan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat sehingga dapat berdampak positif bagi perusahaan. Respon yang baik dapat berupa purchase intention atau keinginan konsumen untuk membeli. Oleh karena itu untuk lebih mendalami strategi co-branding yang dilakukan oleh Wall’s dan Buavita penulis ingin melakukan penelitiaan berjudul: “Evaluasi
Co-Branding
Ice Cream
Wall’s
Buavita
Terhadap
Keinginan untuk Membeli”
1.3 Tujuan Penelitian 1.Untuk mengetahui hubungan antara brand image fit terhadap brand trust. 2.Untuk mengetahui hubungan antara category fit terhadap brand trust 3.Untuk mengetahui hubungan brand trust terhadap purchase intention.
1.4 Manfaat Penelitian 1.Manfaat Akademis Penelitian ini dapat dijadikan masukan atau referensi untuk materi pengembangan merek dalam praktik co-branding bersama faktor-faktor yang mempengaruhinya yang berdampak pada purchase intention sehingga dapat digunakan untuk para pengajar ataupun mahasiswa manajemen lainnya
12
2. Manfaat Kontribusi Praktis a. Bagi perusahaan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagaimana mempertahankan brand dan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengembangkan brand-nya khususnya dengan cara co-branding. Perusahaan juga harus memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi co-branding agar usaha yang dilakukan berhasil dan dapat memberikan hasil positif bagi perusahaan melalui hasil penjualan yang diharapkan. b. Bagi penulis menjadi pembelajaran untuk memasuki dunia usaha dalam industri makan dan minuman yang diminati oleh penulis sehingga dapat menjadi masukan atau dalam usahanya 1.5
Batasan Penelitian Adapun batasan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Penelitian ini hanya mengambil sampel dari populasi masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi 2. Objek penelitian ini hasil co-branding antara Wall’s dan Buavita yaitu ice cream rasa buah Wall’s Buavita sehingga responden dalam penelitian ini baik pria atau wanita dengan usia minimal 15 tahun mengetahui produk dari Wall’s dan Buavita sendiri
13
1.6
Sistematika Penelitian Skripsi Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, di mana antara bab yang satu dengan yang lainnya terhadap keterkaitan yang erat. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut: 1.6.1 BAB I : Pendahuluan Bagian ini berisi latar belakang yang secara garis besar memuat halhal yang mengantarkan pada produk permasalahan, rumusan masalah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian, tujuan yang hendak dicapai dan manfaat yang diharapkan serta sistematika penulisan skripsi. 1.6.2 BAB II : Landasan Teori Bagian ini berisi tentang konsep-konsep dan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang dirumuskan yaitu CoBranding, Brand image fit, Brand Trust dan Purchase Intention. Uraian tentang konsep dan teori ini diperoleh melalui studi kepustakaan dari literatur, buku dan jurnal. 1.6.3 BAB III : Metodelogi Penelitian Bagian ini akan menguraikan tentang gambaran secara umum objek penelitian, pendekatan, model penelitian yang digunakan, variabel penelitian, teknik pengumpulan data, teknik dan prosedur pengambilan
14
sampel serta teknik analisis yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah. 1.6.4 BAB IV : Hasil dan Pembahasan Bagian ini berisi tentang gambaran umum mengenai subyek dan desain penelitian, kemudian paparan mengenai hasil kuesioner yang dilakukan serta deskripsi dari analisis output kuesioner yang telah disebar ke responden di Jabodetabek. Hasil tersebut kemudian dihubungkan dengan teori dan hipotesis yang terkait yang ada di dalam bab II. 1.6.5 BAB V : Kesimpulan dan Saran Bagian ini memuat kesimpulan peneliti yang dibuat dari hasil penelitian yang menjawab hipotesis penelitian serta memuat saransaran yang berkaitan dengan objek penelitian
15