BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain tempat tinggal dan makanan. Sejak dahulu kala, pakaian telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Pakaian tidak bisa dilepaskan dari kehidupan dan kebudayaan manusia. Setiap bangsa di dunia umumnya memiliki pakaian nasional yang disesuaikan dengan adat istiadat, kondisi geografis dan cuaca atau iklim setempat. Pakaian nasional tersebut biasanya telah ada sejak dahulu dan dikenalkan dari generasi ke generasi. Setiap pakaian nasional memiliki ciri khasnya masing-masing yang dapat memberikan gambaran mengenai kebudayaan suatu bangsa serta menyampaikan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pemakainya. Jepang memiliki pakaian nasional bernama kimono. Apabila ditelusuri akar katanya, kata kimono berasal dari ki yang berarti memakai dan mono yang artinya barang, sehingga secara harafiah kimono berarti sesuatu yang dipakai atau pakaian. Dahulu kimono berarti pakaian secara umum, namun sekarang ini kimono digunakan untuk merujuk khususnya pada pakaian tradisional Jepang. Pada masa ini, kimono tidak hanya menjadi pakaian tradisional Jepang, namun juga menjadi pakaian nasional negara Jepang. Menurut Japan Encyclopedia mengenai arti kimono: Kimono. General term for the Japanese national costume for both men and women. It is a long robe, open in front, which is crossed 1
2
left over right and held closed with a fabric belt (obi) (Frederic, 2002:519). Menurut Japan Encylopedia di dalam kutipan di atas, kimono merupakan pakaian nasional negara Jepang yang dipakai oleh para perempuan maupun lakilaki. Bentuk kimono menyerupai jubah panjang yang terbuka di bagian depan. Di dalam pemakaiannya, sisi bagian kiri selalu berada di bagian atas dan diikat dengan sabuk dari kain yang disebut obi. Pada zaman dahulu masyarakat Jepang memakai kimono dalam kesehariannya, namun sejak pengaruh Barat masuk ke Jepang pada zaman Meiji, pemakaian kimono menjadi berkurang. Pada masa ini kimono tidak lagi dipakai, sebagai gantinya masyarakat Jepang memakai pakaian bergaya Barat dalam kesehariannya. Kimono hanya dipakai saat menghadiri acara-acara tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, upacara minum teh, sichi-go-san, dan seijinshiki. Kimono memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh pakaian bergaya Barat. Tidak seperti pakaian Barat yang polanya bervariasi, kimono dibuat dari satu pola dasar. Semua kimono memiliki bentuk yang sama dan ukuran standar yang dapat dipakai oleh siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki, tanpa mempedulikan tinggi
ataupun
berat
pemakainya
(Yamanaka,
1982:42).
Hal
tersebut
menunjukkan keserbagunaan kimono, yang tidak ditemukan pada pakaian bergaya Barat. Kimono juga memiliki perbedaan dengan pakaian bergaya Barat berkaitan dengan pemakaiannya. Tidak seperti pakaian Barat yang cenderung praktis dan fleksibel dalam pemakaiannya, pakaian nasional Jepang ini memiliki aturan yang
3
terperinci berkaitan dengan pemakaiannya. Semua ada aturannya, mulai dari cara pemakaiannya serta jenis-jenis kimono yang harus sesuai dengan status perkawinan dan acara yang diadakan. Misalnya, kimono yang dipakai perempuan yang belum menikah dengan yang telah menikah akan berbeda. Perempuan yang belum menikah akan memakai kimono furisode dengan lengan melambai dan cenderung memilih motif yang besar dengan warna-warna yang cerah. Perempuan yang telah menikah, sebaliknya, akan mengenakan kimono dengan lengan yang lebih pendek dan cenderung memilih motif dan warna yang tidak begitu mencolok. Jenis kimono juga bermacam-macam disesuaikan dengan acara yang akan dihadiri, misalnya kimono untuk berkunjung, berkabung, dan sebagainya. Hanya dengan melihat dari kimono nya, kita dapat memperoleh informasi mengenai pemakainya berkaitan dengan status perkawinan maupun acara yang akan dihadiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Liza Dalby menjelaskan: The kimono aesthetic is different. The point is not to stand out, but to harmonize with one’s surroundings, both natural and social, mindful of the season and the event. The criteria defining the appropriateness of kimono are highly ramifie, yet while some of the rules are quite strict (wool kimono are not worn to a party, married woman do not wear swinging sleeves, ro is not worn in the fall), a range of choices exists in all of these dimensions; formality, age, and season (Dalby, 1983:300 ). Pada kutipan di atas, Liza Dalby mengatakan bahwa estetika kimono berbeda. Pokok dari estetika kimono bukan supaya tampak menonjol di antara yang lain tetapi supaya bisa harmonis dengan kehidupan sosial maupun dengan alam. Berdasarkan pernyataan Liza Dalby tersebut, tampak bahwa aspek alam dan musim menjadi hal yang penting dalam pemakaian kimono.
4
Orang Jepang memang telah sejak dahulu kala memiliki kedekatan dengan alam. Banyak aspek dalam budaya Jepang yang memiliki keterkaitan dengan alam, salah satunya adalah kimono. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai hal-hal apa sajakah pada kimono yang mencerminkan hubungan dengan alam dan alasan mengapa hal-hal tersebut mencerminkan hubungan dengan alam. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, muncul permasalahan yang akan dibahas yaitu : 1. Hal-hal apa sajakah pada kimono yang mencerminkan hubungan dengan alam? 2. Mengapa kimono menonjolkan hal-hal yang terkait dengan alam baik dalam model, motif, warna, maupun pemakaiannya? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hal-hal pada kimono yang mencerminkan hubungan dengan alam.
5
2. Untuk mengetahui alasan mengapa kimono menonjolkan hal-hal yang terkait dengan alam baik dalam model, motif, warna, maupun pemakaiannya. 1.4 Ruang Lingkup Orang Jepang dikenal sangat mencintai alam. Kecintaan orang Jepang terhadap alam tersebut terwujud dalam banyak hal dalam kehidupan mereka. Orang Jepang menghargai air pemberian Tuhan dengan cara memanfaatkan dengan sebaikbaiknya dan dijaga kebersihannya. Contoh lain, mereka menganggap keramat pohon-pohon yang telah berusia tua dan memberikan sesaji. Karena dianggap keramat maka pepohonan tersebut tidak pernah ditebangi dan terus dijaga kelestariannya. Di dalam skripsi ini, penulis akan membahas mengenai kecintaan orang Jepang terhadap alam yang tercermin dalam kimono. Bahasan mengenai kimono tentu saja akan sangat luas, untuk itu penelitian ini dibatasi pada hal-hal pada kimono yang mencerminkan kecintaan orang Jepang terhadap alam. 1.5 Landasan Teori Di dalam Ensiklopedi Indonesia, ekspresi diartikan sebagai ungkapan, pernyataan, atau cara pernyataan (1980: 899). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan, misalnya memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya (2008: 360). Selanjutnya, definisi ekspresi menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 5, yaitu respons individu, sederhana maupun kompleks
6
terhadap suatu rangsangan yang sampai padanya, baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Ekspresi dapat berupa verbal maupun nonverbal ( 1989: 50). Ekspresi merupakan bentuk tanggapan atas berbagai fenomena yang terjadi di sekeliling individu, misalnya fenomena kultural maupun sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pakaian berarti barang yang dipakai misalnya baju, celana, dan sebagainya (2008: 1000). Pakaian berkaitan erat dengan kehidupan dan kebudayaan manusia. Bangsa-bangsa di dunia pada umumnya memiliki pakaian adat tradisional. Pakaian adat tradisional di dalam kehidupan yang nyata mempunyai fungsi yang sesuai dengan pesan-pesan atau nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Pesan-pesan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek lain dari kebudayaan masyarakat itu sendiri (Depdikbud, 1993:1). Dalam pakaian adat terkandung nilai atau pesan yang hendak dicapai terutama oleh si pemakai. Nilai-nilai tersebut diyakini dan diterima secara umum oleh masyarakat pendukungnya dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Depdikbud, 1993: 14). Orang Jepang dikenal sangat mencintai dan menghargai alamnya. Sikap menghargai alam ini merupakan karakteristik yang khas dari kebudayaan masyarakat Jepang (Hasegawa, 1966: 123). Sikap orang Jepang yang mencintai alam telah terbentuk sejak dahulu kala. Kepercayaan tradisional orang Jepang yaitu Shinto turut serta memupuk kecintaan orang Jepang terhadap alam. Menurut Kobayashi, frasa kunci dari cara hidup Shinto adalah hidup harmonis dengan alam untuk kebaikan bersama. Supaya dapat mencapai keharmonisan yang berkelanjutan dengan alam, manusia harus beradaptasi dan mengadopsi
7
ritme kehidupan di alam. Manusia mempunyai kewajiban untuk menciptakan sebuah lingkungan dimana alam dicintai, diperhatikan, dan dihargai (Kobayashi, 2001:90). Takashina mengemukakan bahwa hidup begitu dekat dengan alam membuat orang Jepang belajar untuk menerima alam sebagaimana adanya dan mencoba menemukan keindahan yang tampak dalam aspeknya yang selalu berubah pada berbagai waktu dan di dalam berbagai situasi (Japan Echo, 2007: 62). Kecintaan orang Jepang terhadap alam memiliki kaitan erat dengan kecenderungan mereka untuk menghargai hal-hal yang sifatnya halus dan tidak berlangsung lama. Para ahli berpendapat bahwa penghargaan orang Jepang terhadap bunga, bulan, dan salju didasari oleh penyesalan terhadap kefanaan sebuah fenomena yang mendorong mereka untuk menghargai kejadian langka yang terjadi di setiap musim dan waktu (Hayashiya via Arinie, 2012: 20). Alam memegang peranan penting dalam kehidupan orang Jepang. Berbagai unsur dalam kebudayaan Jepang yang mempunyai kaitan erat dengan alam dan fenomenanya, salah satunya adalah bidang kesenian. Orang Jepang hidup begitu dekat dengan alam sehingga keseniannya pun memiliki kaitan yang erat dengan alam. Anesaki mengemukakan bahwa terdapat asosiasi yang dekat antara kesenian Jepang terhadap kehidupan orang Jepang dan hubungannya dengan alam, di mana alam merupakan lingkungan hidup dan sumber inspirasi kesenian mereka (Anesaki, 1984: 4-5). Berbagai objek dan fenomena atau gejala alam merupakan subjek favorit dalam kesenian Jepang. Supaya dapat hidup lebih dekat dengan alam, orang Jepang berusaha untuk memindahkan alam ke kehidupan mereka
8
dengan cara mewujudkan objek-objek alam ke dalam bentuk miniatur (Nakamura, 1964: 356). 1.6 Tinjauan Pustaka Terdapat buku- buku yang membahas kimono, di antaranya adalah buku yang berjudul “The Book of Kimono”. Buku yang ditulis oleh Yamanaka Norio dan diterbitkan pada tahun 1982 tersebut membahas kimono secara umum mulai dari sejarahnya, bagian-bagian dari kimono, jenis-jenis kimono, cara merawat kimono, sampai etiket selama memakai kimono. Buku ini menjadi rujukan utama bagi penulis dalam penelitian ini. Selain buku tersebut, terdapat beberapa penelitian yang menurut penulis memiliki kaitan dengan tema skripsi ini. Pertama, penelitian yang berjudul “ Analisis Pengaruh Budaya Barat terhadap Kimono Pada Era Taisho (19121926).” Penelitian yang berupa skripsi tersebut ditulis oleh Asri Adetiani, mahasiswa Universitas Bina Nusantara Jakarta pada tahun 2007. Penelitian tersebut membahas mengenai kimono namun lebih menitikberatkan pada perubahan-perubahan yang terjadi pada kimono pada era Taisho akibat adanya pengaruh Barat. Penelitian tersebut dengan penelitian penulis mempunyai persamaan, yaitu sama-sama mengangkat kimono sebagai bahan penelitian. Meskipun begitu, di dalam penelitian ini penulis akan meneliti kimono dengan mengaitkannya dengan sikap orang Jepang yang mencintai alam. Penelitian lain adalah skripsi yang berjudul “Kyogashi Ohanami sebagai Bentuk Penghargaan Orang Jepang terhadap Alam”. Skripsi tersebut ditulis oleh Arinie Ratna Puspita, mahasiswa program studi Jepang Universitas Indonesia,
9
pada tahun 2012. Permasalahan yang diteliti dalam skripsi tersebut adalah kyogashi yang disajikan pada saat ohanami sebagai ungkapan penghargaan orang Jepang terhadap alamnya. Makna yang terkandung dalam kyogashi ohanami tersebut diteliti melalui bentuk dan warnanya. Walaupun sama-sama membahas mengenai kecintaan dan penghargaan orang Jepang terhadap alam, namun dalam skripsi ini penulis mengambil objek yang berbeda, yaitu tentang kimono. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan data kualitatif. Data-data penelitian diperoleh melalui studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data-data tertulis baik berupa buku, jurnal, majalah, maupun artikel. Data pustaka yang dikumpulkan adalah data pustaka yang berkaitan dengan kimono dan sikap orang Jepang terhadap alam, seperti buku-buku tentang kimono, pola pikir masyarakat Jepang, motif, dan sebagainya. Data-data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif, yaitu dengan menjabarkan fakta-fakta secara tertulis dengan dilengkapi gambar dan tabel. 1.8 Sistematika Penulisan Skripsi ini direncanakan terdiri dari 4 bab, dengan rincian sebagai berikut: Bab I Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Orang Jepang dan alam yang meliputi kecintaan orang Jepang terhadap alam dan hubungan antar seni, alam, dan kehidupan orang Jepang
10
Bab III
Kimono secara spesifik yang meliputi definisi, sejarah singkat dan
jenisnya. Bab IV Kimono sebagai sarana ekspresi kecintaan orang Jepang terhadap alam. Bab V Kesimpulan