KIPRAH • Volume 37
1
2
Volume 37 • KIPRAH
NUANSA
KIPRAH HUNIAN, INFRASTRUKTUR, KOTA DAN LINGKUNGAN
• Setya Budhy Algamar • Ruchyat Deni Jakapermana • Waskito Pandu • Supardi • Mohammad Irian • Antonius Budiono • Sjukrul Amien • Dadan Krisnandar
Amwazi Idrus
Dedy Permadi
Etty Winarni
Yunaldi • Djuwanto
Lisniari Munthe • Warjono • Srijanto • Ade Syaiful • Krisno Yuwono
• Endah P.
• Agus Iwan Setiawan • Dian Irawati
Tim Dok. Puskom
Widowati • Litha
Anas S • Yusron • Nadi Tarmadi • Sutikno • Budi
Kementerian Pekerjaan Umum
Puskom PU, Gedung Bina Marga Lt.1 Jl Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp./ Fax: 021-725 1538, 021-722 1679 e-mail:
[email protected]
menerima kiriman artikel, atau tulisan lain yang (1) bersifat populer dan (2) sesuai dengan isi Majalah KIPRAH. (3) Panjang tulisan minimal 400 kata, maksimal 1600 kata. (4) Pengiriman naskah dapat dilakukan melalui email ke
[email protected], disertai dengan data diri berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon, fax atau E-mail (bila ada). (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. (6) Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi dari tulisan.
T
empat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk dapat berlindung dari derasnya hujan serta teriknya matahari. Akan tetapi, tempat tinggal juga melambangkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Bagi orangorang yang berpenghasilan besar, mereka dapat membangun rumah bertingkat yang besar dan nyaman, memiliki halaman luas nan asri dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap serta memadai. Sayangnya, tak sedikit orang yang harus puas tinggal di rumah petak mungil atau gubuk reyot yang saling berhimpitan, dikelilingi saluran air mampet dan sampah di sepanjang jalan setapak dan lorong-lorong sempit, dengan ruangan kecil berperabot seadanya, serta tanpa adanya akses air bersih maupun listrik yang memadai. Di permukiman kumuh inilah warga perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa tinggal sembari mencoba mengubah nasibnya. Meskipun mereka sebenarnya tidak senang harus tinggal di permukiman kumuh, tetapi keadaan ekonomi dan desakan kebutuhan membuat mereka “nekat” bertahan. Lahan pekerjaan yang lebih baik menjadi magnet yang tak pupus menarik penduduk desa untuk pindah dan tinggal di perkotaan, meskipun nasibnya di kota belum jelas. Tidak siapnya kota-kota menghadapi ledakan penduduk dan urbanisasi yang tidak terkendali menimbulkan berbagai permasalahan, salah satunya semakin suburnya permukiman kumuh di kota-kota besar di dunia, tak terkecuali Indonesia. Semakin pesatnya keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indikator gagalnya pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan perumahan dan tata kota yang berkelanjutan. Tidak hanya meruwetkan tata ruang kota, padatnya permukiman kumuh di sepanjang tepian sungai, tepi rel kereta api, areal pemakaman umum, di bawah jembatan, maupun jalan layang ini juga berdampak bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan standar hidup warga perkotaan, serta tindak kejahatan. Konflik pun tak terhindarkan ketika pemerintah daerah berkepentingan untuk mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul, sementara keberadaan permukiman kumuh justru dianggap sebagai solusi bagi warga miskin yang hidup di perkotaan. Minimnya sosialisasi pemerintah, terutama pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan, sering kali menimbulkan penolakan warga. Bahkan, tak jarang mereka sampai bertindak anarkis demi membela tempat tinggal “miliknya”. Meskipun demikian, beberapa pemerintah dan kepala daerah berhasil menemukan solusi tepat dalam pengaturan dan penyediaan permukiman yang lebih layak bagi warganya. Kota Solo misalnya, berhasil menangani permasalahan permukiman kumuh di wilayahnya melalui pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan budaya lokal. Permasalahan permukiman dan perkotaan, khususnya permukiman kumuh, pun kian menjadi sorotan dunia. Sejak awal tahun 2010 ini, telah diadakan beberapa pertemuan internasional membahas pembangunan permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan. Diawali dengan diadakannya World Urban Forum 5 (WUF) di Brazil, kemudian acara World Shanghai Expo 2010 di Cina, hingga rencana penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Ministers’ Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) yang akan dilaksanakan pada tanggal 22-24 Juni 2010 di Solo, Indonesia. Semoga saja kegiatan-kegiatan yang telah dan akan dilakukan pemerintah, baik di tingkat regional, nasional, maupun daerah, benar-benar mampu menghasilkan pembangunan permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan, terutama bagi kesejahteraan masyarakat miskin dan marjinal. (Redaksi) KIPRAH • Volume 37
3
DAFTARISI NUANSA 3 ...........................................................................................................3 LINTAS INFO Tiga Jembatan Bentang Panjang Dibangun 6 di Kalimantan.....................................................................................6 7 Rawa Menjadi Prioritas Andalan..............................................7 7 Hulu Brantas Kategori Kritis......................................................7 8 Operasi & Pemeliharaan BKT Penting.....................................8 8 Ketua Komisi V DPR-RI Dilantik.................................................8 9 Anggaran Tambahan PU Rp 1,25 T............................................9 9 Terbit, Permen PU tentang Jalan Tol......................................9 9 Segera Terbit, Perpres Tata Ruang Kawasan BBK...............9 LAPORAN UTAMA 10 Permukiman Kumuh, PR yang Belum Selesai.......................10 Realita Permukiman Kumuh: “Siapa Sih yang Mau 14 Hidup Kaya Gini??”......................................................................14 17 Suara Hati Pemukim Kumuh.....................................…..…..........17 18 Okupasi Bantaran Kali Kian Marak................………................18 20 Menjamurnya Permukiman Pinggiran Rel KA...................20 Urbanisasi, Arus yang Belum (Tak Pernah) Bisa 23 Berhenti........................................................................................23 25 Upaya Pemerintah Menangani Permukiman Kumuh......25 26 Bebas Kumuh 2020, Mungkinkah?........................................26 28 Perlunya Pendampingan di Kawasan Kumuh......................28 29 Pemerintah Harus Ubah Paradigma.....................................29
10 14
42 44
4
Volume 37 • KIPRAH
20
52
DAFTARISI
Perbaikan Kampung, Hemat Biaya dan Minim 30 Gejolak .........................................................................................30 31 Perlu Pengakuan Pemerintah.................................................31 Perlu Kebijakan Optimal dalam Mengakomodasikan 32 Warga............................................................................................32 32 Masalah Sosial Harus Diperhatikan.......................................32 33 Penanganan Permukiman Kumuh Kota Cimahi....................33 36 Revitalisasi Boezem Morokrembangan.................................36 38 Jalan Panjang menuju Bebas Kumuh...................................38
GALERI FOTO 42 World Expo Shanghai 2010.................................................42 SELINGAN 44 Melongok Lombok...................................................................44 TAHUKAH ANDA 46 Tahukah Anda.........................................................................46 47 Yang Unik................................................................................….47 JELAJAH 48 Flood Way Dikeruk, Banjir pun Berkurang......................48 50 Menyelamatkan Waduk, Menolong Kehidupan................50 52 Manado Benahi Akses Jalan.................................................52 Percepatan Pembangunan Jalan di Papua Perlu 54 Dana Rp 9,78 Trilyun..............................................................54
58 Perlunya Air Minum di Papua..............................................58 59 Dari Papua ke Irian Terus ke Papua Lagi.........................59 60 Pusat Perhatikan Infrastruktur PU di Maluku.................60 62 EINRIP untuk Kawasan Timur Indonesia .........................62 LAPORAN KHUSUS WUF 5, World Expo Shanghai, dan APMCHUD 2010: 64 Event Internasional Peduli Perkotaan...............................64 68 Menjalin Kerja Sama Global..............................………….........68 WACANA 70 Kompensasi Eksternalitas Pembangunan Kota...............70 Pembaharuan Pengaturan Usaha & Peran 74 Masyarakat Jasa Konstruksi......................................................74 76 Pelestarian Bangunan dan Pengingkaran Sejarah.…..76 78 Menuju Permukiman Ramah Lingkungan.......................78 JENDELA 80 Rahma Sarita: Untuk Banjir......................................................80 INFO BUKU Banjir Kanal Timur, Tidak Perlu Menunggu Lebaran 81 Kucing...........................................................................................81 KARIKATUR..... 82 KARIKATUR...............................................................................82
29
36 38
54
68 76
KIPRAH • Volume 37
5
LINTASINFO
Tiga Jembatan Bentang Panjang Dibangun di Kalimantan
D
alam waktu dekat, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBJN) VII Kalimantan berencana membangun tiga buah jembatan bentang panjang di Kalbar, Kalsel, dan Kaltim. Ketiga jembatan tersebut masing-masing Jembatan Tayan sepanjang 1.420 meter di Kalbar, Jembatan Kota Baru (3 km) di Kalsel, dan Jembatan Pulau Balang ( 1.708) di Kaltim. Studi kelayakan dan amdal ketiga jembatan tersebut telah selesai dikerjakan, tinggal menunggu kesiapan dana yang rencananya akan dipikul bersama antara pemda, pemerintah pusat, dan bantuan pinjaman dari luar negeri. Demikian dijelaskan Kepala BBJN VII, Subagiyo, sewaktu ditemui Kiprah di Banjarmasin. Jembatan Tayan misalnya, rencananya mulai dibangun 2011 dan selesai 2014 diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp 800 milyar. Saat ini, pemerintah pusat tengah berupaya mencarikan dana pinjaman dari Cina. Jembatan yang membentang di atas Sungai Kapuas ini merupakan bagian dari mata rantai Lintas Selatan Kalimantan (3.500 Km) yang juga masuk sistem jaringan jalan ASEAN Highway sehingga perannya sangat penting dan strategis dari sistem jaringan jalan nasional yang menghubungkan antar wilayah 4 provinsi di Kalimantan. Sementara untuk pembangunan Jembatan Pulau Balang di Kaltim, bentang pendeknya sepanjang 408 meter mulai dikerjakan pihak pemerintah daerah dengan membangun pilar tiang pancang jembatan. Sedang sisanya, bentang panjang 1.300 meter yang rencananya akan dibiayai melalui dana APBN dan pinjaman luar negeri, kini sedang diupayakan oleh pemerintah pusat. Jembatan lain yang nilainya cukup strategis adalah Jembatan Kota Baru di Kalsel
6
Volume 37 • KIPRAH
sepanjang 3 kilometer, yang membentang di atas laut menghubungkan daratan Kalimantan (Batu Licin) dengan Pulau Kota Baru. Saat ini, jembatan tersebut dalam tahap evaluasi menyangkut penetapan tinggi dan panjang jembatan dari muka air laut yang perencanaan desainnya dikerjakan oleh LAPI-ITB Bandung Rencana ini diharapkan menarik pihak investor untuk membiayai terwujudnya jembatan tersebut yang diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp 1 trilliun. Apalagi daerah ini memiliki potensi sumber daya alam melimpah, berupa hasil pertambangan, perkebunan, dan perikanan, selain hasil hutan. Dibalik rencana besar itu, menurut Subagiyo, terkendalanya masalah dana jangan sampai dijadikan penghambat atau alasan untuk tidak berbuat sebaik-baiknya bagi pelayanan kepada masyarakat, meski masalah mutu masih menjadi ganjalan. Mutu Subagiyo mengakui, luasnya wilayah dan panjang jalan yang harus ditangani di Kalimantan kurang didukung sistem kelembagaan yang memadai, khususnya menyangkut penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM). Selama ini masalah tersebut masih dititipkan di Bidang Tata Usaha, padahal masalah mutu pekerjaan kini sudah menjadi tuntutan mendesak. Oleh karena itu, Subagiyo mengusulkan ke pusat agar BBJN VII Kalimantan segera membentuk Bidang Mutu agar mutu penanganan jalan di Kalimantan semakin meningkat dan tidak tertinggal jauh dibanding dengan daerah-daerah lain. Sebagai ilustrasi, Subagiyo menyebutkan bahwa untuk wilayah Pulau Jawa, yang luasnya separuh dari luas Kalimantan, ditangani oleh dua balai besar tipe A, sedangkan di Kalimantan hanya ditangani oleh
Longsor, Km 75 ruas penajam Tanah Grogot, Kaltim. (Foto:Yunus)
satu balai besar tipe B. Kenyataan ini yang membuat penanganan jalan di Kalimantan kurang maksimal dan terkesan tertinggal jika dibanding penanganan jalan di daerah lain. Namun dibalik itu, Subagiyo bertekad supaya lebar jalan nasional seluruh Kalimantan, yang sekarang ratarata baru 4 hingga 4,5 meter, pada tahun 2014 sudah memiliki lebar 6-7 meter. Di samping itu, Subagiyo juga mengeluhkan kerusakan jalan Trans Kalimantan akibat over load kendaraan pengangkut batu bara, sawit, dan angkutan barang lain yang melintasi jalan itu. Seperti yang terjadi di ruas jalan Trans Kalimantan, di wilayah utara Kalimantan Timur sebagian besar berlubang, amblas, dan longsor. Ruas Bontang-Tanjung Redep misalnya, kondisi jalannya masih termasuk katagori kelas IIIB dengan lebar rata-rata 4 hingga 4,5 meter. Jalan ini hanya mampu menahan kendaraan dengan beban maksimal 8 ton. “Truk yang melintas membawa muatan jauh lebih berat daripada kapasitas jalan,” tandasnya. Selain itu, tidak semua titik longsor dapat segera diperbaiki karena biaya dari pemerintah pusat minim. Misalnya, kebutuhan untuk mengatasi satu titik longsor membutuhkan dana Rp 1 milyar hingga 3 milyar. Padahal di ruas SangattaSimpang Perdau ada 34 titik longsor. (Joe)
LINTASINFO
Rawa Menjadi Prioritas Andalan
S
ebagai sumber daya lahan alternatif rawa sangat potensial dijadikan lahan produktif ketahanan pangan. Tak kurang dari 33,4 juta hektar potensi lahan rawa di Indonesia yang lokasinya tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua siap dikembangkan. Berdasarkan survei, lahan dataran rendah pantai dan dekat pantai sekitar 5,6 juta hektar dari 24 juta hektar, diantaranya cocok dikembangkan untuk lahan pertanian produktif. Menurut Dir. Rawa dan Pantai, Ditjen SDA, Djajamurni Wargadalam, sampai saat ini reklamasi lahan rawa yang telah dikembangkan seluas 1,8 juta hektar, terdiri dari rawa pasang surut 1,46 juta hektar dan 0,34 juta hektar lahan rawa lebak. Namun dalam perkembangannya, kondisinya banyak yang menurun akibat kurang pemeliharaan (terbatasnya dana O&P). Dampak yang lebih jauh, banyak lahan rawa terlantar kurang terawat dan produksinya anjlok. Padahal, kata Djaja-
Hulu Brantas
murni, rawa memiliki potensi besar, bila direvitalisasi, yakni bisa meningkatkan produksi pangan (padi ), dari rata-rata 3 ton/ ha/thn, meningkat menjadi 5 hingga 6 ton/hektar/tahun. “Sangat strategis untuk mendukung ketahanan pangan,” ujarnya. Ia mencontohkan keberhasilan peningkatan produksi padi lahan rawa di Telang Saleh, Kab.Banyuasin, Sumsel, dan lahan rawa di Kab. Sambas, Kalbar, yang berhasil memetik hasil padi 8 ton/hektar sekali panen. Belum lagi tambahan dari hasil tanaman sisipan. Kegiatan revitalisasi ini menurut Djajamurni meliputi rehabilitasi sistem tata kelola air pada jaringan makro, pemasangan bangunan pintu klep pengatur pada saluran pemasok, dan perbaikan saluran drainase, yang merupakan pengatur sistem tata air mikro di tingkat usaha tani. Upaya lain yang tak kalah penting adalah kegiatan O&P pada seluruh jaringan.
Untuk mengembalikan fungsi semula, setidaknya dibutuhkan dana sekitar Rp 1,78 triliun, yaitu untuk peningkatan dan merehabilitasi jaringan makro seluas 230.000 hektar dan biaya O&P bangunan seluas 800.000 hektar, yang diprediksi membutuhkan sekitar Rp 500.000 /hektar/tah un. Selain penetapan prioritas dan pengembangan daerah baru, tentunya. (Gus)
Kategori Kritis tersebut karena 70 persen dari sekitar 57 sumber air penting di Kota Batu berada di dekat permukiman dan telah dieksploitasi oleh warga setempat untuk kegiatan domestik, seperti mandi, cuci, dan air minum. Selain itu, cara bertani yang salah juga ikut memperparah kerusakan lingkungan, yaitu terjadinya erosi dan sedimentasi.
Bantaran Sungai Brantas. (Foto:Istimewa)
K
Diakuinya, akibat krisis ekonomi pada 1997 persoalan rawa menjadi kurang diperhatikan. Anggaran terbatas telah menyebabkan semakin besarnya kerusakan lahan rawa, terutama pada jaringan pematus makro dan mikro serta bangunan pintu-pintu klep pengatur yang memerlukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas pelayanan yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman kurang bagus. Kondisi yang demikian, antara lain berlangsung di Dandai Jaya, Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala.
ondisi air di hulu Sungai Barantas saat ini sudah dalam kategori kritis sehingga memerlukan strategi penanganan yang lebih taktis. Hal
Direktur Utama PJT I, Tjoek Waluyo Subijanto, yang hadir pada saat penghijauan di Desa Giripurno, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, menyatakan, PJT I bekerja sama dengan Pemkot Batu dan LSM berusaha mempertahankan kelestarian sumber air, antara lain dengan penghijauan. Dalam kegiatan tersebut telah ditanam 500 dari rencananya 10.000 batang pohon di daerah tangkapan air
yang diselingi penanaman buah alpukat, petai, nangka, dan sengon untuk menjawab kebutuhan ekonomi warga. Tiga model kebijakan yang diterapkan untuk melindungi sumber sungai Brantas, yakni melalui perlindungan hard ware, software, dan edukasi kepada masyarakat, terutama generasi muda setempat, termasuk mendorong desa untuk membuat peraturan desa dalam upaya mencegah eksploitasi sumber-sumber air. Di sisi lain, Tjoek mengkhawatirkan ekspansi perusahaan besar, seperti hotel serta investasi bisnis air minum dalam kemasan, yang jika tidak diatur dan dibatasi bisa mengancam kelangsungan sumber air. (Trie)
KIPRAH • Volume 37
7
LINTASINFO
Operasi & Pemeliharaan BKT Penting
P
royek Banjir Kanal Timur (BKT) terbukti telah berhasil mengurangi luas dan lama genangan akibat banjir Jakarta tahun ini, setelah akhir Desember lalu tembus ke laut. Kalau sebelumnya tinggi genangan rata-rata 0,5 hingga 1 meter dan lama genangan 72 jam, kini setelah ada BKT tinggi genangan hanya semata kaki orang dewasa dan 14 jam kemudian airnya sudah surut. Dengan kata lain, sekali pun pembangunan BKT belum 100 persen tuntas, tetapi keberadaannya telah memberi manfaat bagi sebagian warga ibu kota, yaitu rasa aman dari banjir, karena berkurangnya luas dan lama genangan. Sekalipun demikian, mantan Dirjen Sumber daya Air (SDA), Kementerian Pekerjaan Umum, Siswoko, mewanti-wanti kepada jajaran SDA agar masalah Operasai dan Pemeliharaan (O&P) diperhatikan. Oleh karena itu, pengelolaan paska proyek
nanti harus tetap ditangani oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini BBWS Ciliwung-Cisadane, meski pihak Pemprov. DKI ikut andil, khususnya dalam pembebasan lahan. “Toh manfaatnya untuk warga DKI juga,” ujar Siswoko, saat hadir dalam acara Peluncuran Bedah Buku BKT di Pendopo Sapta Taruna PU 30 Maret lalu. Fungsi BKT sendiri, selain mengurangi ancaman banjir di daerah Jakarta Timur, juga melindungi permukiman, kawasan industri dan pergudangan, serta akan dimanfaatkan sebagai prasarana konsevasi air, yaitu pengisian kembali air tanah, sumber air baku, dan prasarana transportasi air. Menurut Siswoko, paska konstruksi masalah O&P menjadi penting agar bangunan tetap berfungsi sesuai rencana. BKT ini merupakan salah satu bagian dari sistem penanganan banjir yang menye-
luruh, yang akan diikuti dengan pekerjaan terusmenerus, terutama bagian hilirnya, seperti pembuatan folder Siswoko, mantan Dirjen SDA. atau waduk (Foto:Dok.) tampungan banjir dll. Bahkan, di beberapa bagian atau lokasi yang kondisi lebar salurannya masih sekitar 15 meter harus dibuat sesuai rencana, yaitu lebar 70 meter dan panjang 23,5 Km. Selain itu, upaya struktural ini harus diikuti dengan upaya-upaya nonstruktural, agar kanal tetap bersih dapat digunakan untuk lalu lintas air. Bukan menjadi tempat buangan sampah dan limbah bagi industri dan rumah tangga, khususnya yang datang dari aliran Sungai Cipinang dan Kali Sunter. (Joe)
Ketua Komisi V DPR-RI Dilantik dijabat oleh Taufik Kurniawan yang sekarang menjadi wakil Ketua DPR-RI menggantikan almarhum Marwoto. Pelantikan yang berlangsung Kamis (15/ 4) yang lalu di gedung Nusantara DPR-RI, dihadiri 36 anggota Komisi V DPR-RI dan Wakil Ketua Komisi V Muhidin M Said ( FPG), H.Mulyadi ( F-PD), dan Yoseph Umarhadi ( F-PDIP). Ketua Komisi DPR-RI, Dra. Yasti Soepredjo Mokoagow.(Foto:Dok.)
W
akil Ketua DPR-RI, Pramono Anung, menetapkan Dra.Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi Partai Amanat Nasional sebagai Ketua Komisi V DPR-RI yang baru. Sebelumnya, jabatan ketua Komisi V
8
Volume 37 • KIPRAH
Dalam kesempatan tersebut, Pramono Anung berpesan agar Ketua Komisi V yang baru dapat berhati-hati dan bekerja sama secara kolektif kolegial dengan pimpinan-pimpinan Komisi V yang lain. “Saya mungkin tidak perlu berpesan apaapa lagi, karena Ibu Yesti ini juga dari anggota Komisi V DPR-RI,” kata Pramono.
Sementara Yasti yang baru saja dilantik mengatakan, sebagai pimpinan yang baru dia berharap dapat bekerja sama dengan sejumlah jajaran Komisi V. Yasti juga berharap dapat menerapkan mekanisme kerja hubungan antar anggota dan pimpinan Komisi V DPR dijalankan dengan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebersamaan, dan saling menghormati. Ketua Komisi V yang baru menyampaikan keinginannya untuk selalu terbuka terhadap saran, masukan, bahkan kritik. Dia menyadari sebagai politisi yang baru pertama kali duduk sebagai anggota dewan, masih belum memiliki pengalaman seperti anggota-anggota Komisi V yang sebelumnya telah menjadi anggota Dewan. Untuk itu, kata Yasti, agar dapat
LINTASINFO menjadi pimpinan yang baik dan benar dia mengharapkan kesediaan anggota Komisi V untuk menegur atau mengingatkan jika ada kekeliruan atau hal-hal yang berpotensi menjadi kelemahan dan kekeliruan. “Saya akan senang, lapang
dada, dan bahagia menerimanya sebagai bagian dari hubungan yang saling menghormati satu sama lain,” kata Yasti. Pada akhir sambutannya, Yasti mengajak seluruh anggota Komisi V DPR-RI untuk menyukseskan tugas-tugas yang harus
diemban dan dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada partai semata dan konstituen masing-masing, namun terlebih lagi kepada seluruh rakyat Indonesia.(Jons)
Anggaran Tambahan PU Rp1,25 T
K
ementerian Pekerjaan Umum (PU) kembali mendapat alokasi anggaran tambahan dalam APBNP 2010 sebesar Rp 450 miliar. Sebelumnya, Kementerian PU juga telah mendapat alokasi anggaran tambahan sebesar Rp 805,2 miliar, sehingga total menjadi Rp 1,25 triliun. Wakil Ketua komisi V DPR Muhidin M. Said mengatakan, penambahan anggaran
dalam APBNP 2010 sebesar Rp 450 miliar sudah mendapatkan persetujuan dari komisi V DPR. “Ada tambahan anggaran lagi Rp 450 miliar, jadi total menjadi Rp 1,25 triliun, “ ujarnya di Jakarta, Senin (3/5). Menurut Muhidin , tambahan anggaran sebesar itu tetap belum mampu menutupi kekurangan anggaran tahun ini untuk Kementerian PU yang diproyeksikan mencapai Rp 6 triliun.(Lmm)
Salah satu infrastruktur yang dibangun Kementerian PU. (Foto:Dok.)
Terbit, Permen PU tentang Jalan Tol
K
elambatan atau terbengkalainya 20 proyek ruas tol diharapkan segera teratasi dengan terbitnya peraturan Menteri PU terkait proyekproyek tersebut. Menurut Kepala BPJT Nurdin Manurung, dengan Permen PU itu pemerintah dapat menerapkan ketentuan Peraturan Presiden No. 67/2005
tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Permen Pekerjaan Umum tersebut akan mengatur kriteria investasi tol sementara BPJT akan menginvestasi kelayakan proyek serta kemampuan badan usaha jalan tol dalam menyelesaikan proyek tersebut. (Ist) Jalan tol di Jakarta.(Foto:Dok.)
Segera Terbit, Perpres Tata Ruang Kawasan BBK
N
askah Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (RTR Kawasan BBK) telah sesuai dengan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. Diharapkan proses selanjutnya dapat disahkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres), demikian disampaikan Direktur Jenderal Penataan Ruang, Imam S. Ernawi pada Kegiatan Koordinasi Tim Pelaksana Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) di Jakarta. Raperpres tentang kawasan ini telah melalui proses yang panjang, termasuk
pembicaraan dengan pihak Pemerintah Daerah terkait. “Raperpres ini diharapkan segera dapat diselesaikan dan diproses lebih lanjut sesuai mekanisme BKPRN, agar dapat segera diusulkan kepada Presiden sekaligus disahkan sebagai Perpres,” imbuh Imam. Direktur Penataan Ruang Wilayah I, Bahal Edison Naiborhu, menambahkan, telah sesuainya RTR Kawasan BBK dengan aspirasi masyarakat tersebut juga ditunjukkan dengan adanya persetujuan serta dukungan dari masing-masing Bupati dan Walikota terkait. Khususnya, terhadap materi Raperpres RTR Ka-
wasan BBK yang dituangkan dalam naskah kesepakatan substansi dan dukungan proses legalisasi Raperpres tentang RTR Kawasan BBK. Menurut Edison, sebaiknya permasalahan substansi sudah tidak diper0masalahkan lagi karena pada dasarnya Raperpres ini telah disetujui dan mendapatkan dukungan dari Pemerintah Daerah terkait. “Segala masukan yang didapatkan pada hari ini akan diadopsi jika memang sesuai dengan aturan Perundang-undangan yang berlaku,” tandas Edison. (Oc/Sha) KIPRAH • Volume 37
9
LAPORANUTAMA
Permukiman Kumuh, PR yang Belum Selesai Permukiman tak sehat daerah Roxy, Jakarta Barat .(Foto:Wy)
Rumah, barangkali menjadi dambaan setiap insan yang hidup di dunia ini. Bagaimanapun kondisinya, kehidupan seseorang sebagian besar diawali, dilakoni, dan diakhiri di rumah. Akan tetapi, tidak setiap insan dapat memenuhi harapan untuk memiliki rumah idamannya. elihat kondisi kota-kota besar di Indonesia, banyak terdapat penduduk yang “terpaksa” hidup di dalam rumah yang kondisinya sangat jauh dari standar rumah layak. Rumah-rumah yang tak layak tersebut berada pada suatu daerah yang memiliki kepadatan bangunan yang tinggi, kekurangan pelayanan air bersih dan sanitasi, serta penghuninya sangat miskin.
M
permukiman yang formal, yang dirancang berdasarkan pembakuan resmi.
hingga 2010 akan meningkat dengan tingkat pertambahan 2,5 % per tahun.
Membicarakan masalah permukiman kumuh di perkotaan, sulit untuk tidak memulainya dengan masalah kependudukan, khususnya urbanisasi. Salah satu penyebab urbanisasi karena tidak seimbangnya pembangunan antara kawasan perkotaan dengan perdesaan.
Akhirnya dengan kondisi yang serba di bawah standar tersebut, daerah tersebut dicap atau dinamakan sebagai permukiman kumuh. Hal ini berbeda dengan
Kota yang merupakan pusat ekonomi menjadi faktor penarik para urban. Berdasarkan data dari PBB, diperkirakan tingkat urbanisasi di Asia pada tahun 2005
Penduduk yang mayoritas berasal dari perdesaan tersebut rata-rata berpendidikan rendah dan miskin tersebut, membanjiri kota hanya bermodalkan paspasan atau istilahnya bonek (bondo nekat) untuk mengadu nasib. Kota semakin padat, dan diperparah pula dengan pertumbuhan alami kota tersebut (penduduk asli).
10
Volume 37 • KIPRAH
Urbanisasi akhirnya berdampak tidak seimbangnya permintaan dan penyediaan
LAPORANUTAMA lebih banyak menyediakan perumahan bagi yang berpenghasilan menengah ke atas. Mereka yang berpenghasilan rendah nyaris tidak tersentuh karena ketidak mampuan mereka membeli atau menyewa perumahan seperti apapun bentuknya. Para pendatang dari desa yang tidak memiliki pendidikan dan kemampuan tersebut, membangun rumah-rumah mereka di atas lahan-lahan yang dapat mereka “temukan”, seperti bantaran sungai, kiri-kanan jalur rel kereta api, kolong jembatan, tempat pembuangan sampah, bahkan kuburan sekalipun. Biasanya, mereka membawa juga keluarga dan kerabatnya. Lambat laun mereka beranak-pinak yang membuat semakin padatnya permukiman tersebut. Faktor lain yang secara tidak langsung meningkatkan permukiman kumuh perkotaan adalah menurunnya pendapatan masyarakat akibat krisis politik dan ekonomi di Indonesia di tahun 1998, yang telah meningkatkan secara drastis proporsi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.
dalam segenap aspek kehidupan, terutama perumahan dan permukiman. Urbanisasi merupakan fenomena global, membawa dampak berupa masalahmasalah perkotaan, terutama di negaranegara berkembang, baik menyangkut transportasi, perumahan, kesehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana umum, sektor tenaga kerja, perekonomian kota, tata ruang, dan lain sebagainya. Masalah-masalah ini makin majemuk dan makin pelik, terutama dalam penyediaan perumahan dan permukiman. Kebijakan melalui produk jadi, seperti proyekproyek Perum Perumnas dan Real Estate,
Di tengah kondisi seperti ini, tidaklah mengherankan kalau sektor informal dalam perekonomian kota maupun perumahan tumbuh semakin subur semenjak krisis yang melanda Indonesia. Dengan kesempatan kerja yang semakin langka, angka pemutusan hubungan kerja yang tinggi, pendapatan yang terus menurun, maka kondisi serta standar kualitas kehidupan masyarakat cenderung menurun pula. Kemampuan daya beli masyarakat menurun secara signifikan termasuk akses mereka terhadap rumah yang layak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika permasalahan rumah kumuh ataupun rumah liar semakin akut. Hal ini tentu membutuhkan perhatian serius dari seluruh stakeholders di bidang permukiman dan pemerintah kota itu sendiri.
Bila kondisi permukiman kumuh tidak ditangani dengan serius dan komprehensif, akan timbul dampak negatif yang mengancam kota tersebut. Oleh karena umumnya penghuni adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang cenderung miskin serta kepadatan penduduk yang tinggi sehingga sanitasi di lingkungan tersebut sangat buruk, maka berbagai penyakit akan timbul di permukiman tersebut, terutama penyakit yang mengancam anak-anak balita. Selain itu, timbul berbagai permasalahan sosial, seperti maraknya tindak kriminalitas dan perilaku-perilaku asusila di kota tersebut, dengan alasan untuk mempertahankan hidup. Berdasarkan data dari UN Habitat tahun 2001, populasi kumuh di perkotaan sekitar 28,0 % dari total populasi kota. Persentase tersebut masih cukup besar, padahal berdasarkan kasat mata, telah banyak program pemerintah yang dikeluarkan dengan alokasi dana yang besar untuk menangani masalah perkotaan yang satu ini. Namun, sampai sekarang masalah ini tetap saja belum terselesaikan. Bagi sebagian orang atapun pemerintah, permukiman kumuh tetap dianggap sebagai masalah yang harus diselesaikan kapan pun jua. Akan tetapi, dari sudut yang berbeda, mungkin ada pihak yang menganggap itu sebagai sebuah solusi, terutama bagi kaum marjinal di perkotaan. Bagaimanakah pandangan kita? Adakah solusi yang tepat untuk mengatasinya? Munculnya kawasan permukiman kumuh merupakan satu indikasi kegagalan program perumahan yang terlalu berpihak pada produksi rumah jadi, terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, dan prioritas program perumahan pada rumah milik. Program pemberdayaan masyarakat dalam menyediakan rumah yang layak bagi dirinya sendiri belumlah dilaksanakan dengan optimal. KIPRAH • Volume 37
11
LAPORANUTAMA Bagi sebagian besar orang, terutama para pengambil kebijakan, permukiman kumuh dipandang sebagai suatu masalah, terutama dilihat dari sisi penampilan fisiknya. Permukiman kumuh selalu menjadi kambing hitam bagi kumalnya wajah kota dan terkadang menyiratkan bahwa kegagalan pembangunan adalah sesuatu yang haram bagi kebanyakan pemimpin.
membahayakan kepentingan publik dan negara, namun tetap harus memberikan lokasi pengganti bagi mereka.
Lingkungan yang kotor, becek, sanitasi yang buruk, bangunan yang semrawut, penampilan yang jorok, sumur yang tercemar, kepadatan bangunan dan hunian yang tinggi, penggunaan bahan bangunan bekas dan murah, dan sebagainya, merupakan gambaran umum yang dikaitkan dengan eksistensi permukiman kumuh. Di samping itu, pada permukiman kumuh juga melekat stereotip kriminalitas tinggi dan penyumbang kekacauan kota dan komunitasnya. Jalan pemecahan yang diambil biasanya adalah menggusur permukiman tersebut. Memang, untuk kasus-kasus tertentu, penggusuran dapat dilakukan apabila permukiman kumuh tersebut dapat
Tanpa bantuan sedikit pun dari pemerintah, orang-orang (yang berkemauan keras) yang tinggal di permukiman seperti ini mampu membangun perekonomian keluarga mereka. Mereka tidak memerlukan kredit perbankan (apalagi menyedot devisa negara), di samping tidak memiliki akses, juga mungkin karena mereka membutuhkan sistem finansial yang lebih sederhana.
Tetapi, kalau saja kita mau menengok lebih dalam, ternyata ada beberapa permukiman kumuh yang dapat memberikan jawaban hidup bagi orang yang tinggal di dalamnya, khususnya bagi orang yang memiliki kemauan keras.
Mereka mampu memanfaatkan sumber daya yang amat terbatas agar dapat bertahan di tengah himpitan kerasnya kehidupan kota modern. Kebanyakan dari mereka mampu mendaur ulang bahanbahan tak terpakai menjadi sesuatu yang berguna bagi diri mereka sendiri.
Secara swadaya, mereka juga mampu memenuhi kebutuhan akan rumah mereka. Secara ekonomi, permukiman ini juga memasok barang dan tenaga kerja yang murah untuk ikut memutar roda perekonomian kota, terutama dalam sektor informal. Pertemuan Johannesburg Summit yang diselenggarakan oleh UN Habitat pada tanggal 25 September 2002 di kota Johannesburg telah menghasilkan the Johannesburg Declaration dan the Johannesburg Plan of Implementation (JPOI). Pada pertemuan itu, seluruh negara peserta kembali menegaskan komitmen mereka terhadap pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), termasuk mengenai pembangunan berkelanjutan yang merupakan unsur dasar dari agenda internasional serta memberi dorongan baru untuk aksi global dalam memerangi kemiskinan dan menjaga lingkungan. Pemahaman pembangunan berkelan-jutan diperluas dan diperkuat khususnya yang berkenaan dengan pentingnya keterkaitan antara kemiskinan serta lingkungan dan penggunaan sumber-sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun manusia. Negara-negara peserta juga bertekad membangun suatu solidaritas pendanaan dunia untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan pengembangan sosial dan kemanusiaan di negara-negara berkembang. Para delegasi setuju dan menegaskan kembali komitmen nyata yang luas dan target-target aksi untuk mencapai implementasi yang lebih efektif dari sasaransasaran pembangunan berkelanjutan. Konsep kemitraan antara pemerintah, kalangan pebisnis dan masyarakat sipil diberikan suatu penekanan yang kuat oleh pertemuan ini, baik dalam proses perencanaan maupun implementasinya.
Permukiman tak layak huni .(Foto:Wy)
12
Volume 37 • KIPRAH
Dalam hal pemberantasan kemiskinan untuk tahun 2015, para peserta menyepakati suatu aksi bersama untuk mengurangi setengah proporsi dari penduduk
LAPORANUTAMA
Tepian Waduk Pluit, Jakarta Barat .(Foto:Wy)
dunia yang berpendapatan kurang dari $ US 1 per hari dan setengah proporsi penduduk yang menderita kelaparan. Supaya di tahun 2020 dapat tercapai suatu perbaikan yang berarti bagi kehidupan, paling tidak 100 juta penghuni rumah kumuh harus dihapuskan, sebagaimana yang diusulkan dalam inisiatif “Kota tanpa permukiman kumuh”. Hal ini tentu memiliki dampak luas terhadap penentuan progam-progam pemerintah kota untuk ikut berpartisipasi mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan tersebut. Penanganan permukiman kumuh juga ditegaskan kembali dalam World Urban Forum (WUF) 5 di Rio Janeiro, Brazil pada tanggal 22 – 26 Maret 2010, yang mengambil tema “The Right to the City-Bridging the Urban Divide”. Agenda acara WUF antara lain upaya-upaya mengurangi kemiskinan dan upaya pembangunan kota yang berkelanjutan, meliputi akses
tempat tinggal, kesehatan, air, sanitasi dan pelayanan infrastruktur. Juga dalam waktu dekat ini akan diselenggarakan acara konferensi tingkat menteri tentang Perumahan dan Pengembangan Perkotaan seAsia-Pasifik (Asia Pacific Ministers’ Conference on Housing and Urban Development, APMCHUD) pada tanggal 22–24 Juni 2010 di Solo, Jawa Tengah. Pada acara tersebut, perbaikan permukiman kumuh menjadi salah satu agenda acaranya. Dengan terangkatnya masalah permukiman kumuh sebagai permasalahan dunia, maka program aksi secara menyeluruh haruslah disusun untuk mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat, memperbaiki kondisi lingkungan, membuka lapangan kerja, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan sebagainya. Semuanya itu ditujukan untuk memantapkan proses pembangunan berkelanjutan.
Dalam kaitannya dengan perbaikan kondisi permukiman di perkotaan, maka diperlukan adanya perubahan paradigma. Di samping memiliki masalah terutama dalam hal kualitas lingkungan yang buruk, permukiman kumuh sesungguhnya memiliki potensi untuk dikembangkan dan mempunyai kontribusi yang memadai terhadap pemecahan masalah permukiman dan perekonomian kota. Pemerintah, khususnya pemerintah kota, perlu memikirkan cara-cara baru dalam menangani masalah permukiman. Dampak-dampak dari permukiman kumuh tersebut masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang belum selesai. Kaum marginal di perkotaan umumnya tetap membutuhkan perhatian kita bersama, terutama untuk meningkatkan kapasitas dan aksesibilitas mereka terhadap perbaikan kualitas kehidupannya. Negeri dengan kota-kotanya ini dibangun bukan hanya untuk mereka yang mujur, namun juga bagi mereka yang belum beruntung.(Nld) KIPRAH • Volume 37
13
LAPORANUTAMA
Realita Permukiman Kumuh:
“Siapa Sih yang Mau Hidup Kayak Gini??”
Pemanfaatan tanah kosong untuk permukiman warga menimbulkan kekumuhan.(Foto:Joe)
S
iang itu terik matahari memanggang kawasan Kampung Bayam, Kelurahan Papanggo, Jakarta Utara. Di tengah terik matahari tersebut tim Kiprah terjun ke kawasan ini untuk melihat langsung kondisi permukiman kumuh yang ada. Saat sedang sibuk-sibuknya memotret kawasan kumuh dari atas rel kereta, beberapa pasang mata menatap penuh curiga. Kami meneruskan perjalanan memasuki perkampungan, namun perasaan was-was mulai melanda saat beberapa warga mulai berkumpul. Seorang bapak kemudian menegur dengan nada tak bersahabat, “Ini potret-potret, maksudnya apa?” Sejenak kami terdiam, kemudian dengan hati-hati mencoba menanyakan kenapa warga terkesan tidak ramah. Beberapa saat kemudian, setelah menjelaskan maksud kedatangan kami, kesalahpaham-
14
Volume 37 • KIPRAH
an yang nyaris timbul itu bisa diatasi. Agar lebih mengakrabkan diri, kami membelikan rokok dan makanan ringan. Sontak ketegangan yang tersisa melumer dengan sendirinya. Siang itu, dari tenda darurat sebuah warung mie ayam, meluncurlah berbagai macam cerita milik warga permukiman kumuh. Dari mulut Pak Asep (40), tercetus bagaimana perasaan tidak tenang karena menempati lahan secara ilegal dirasakan warga disini. Terlebih sebagian merupakan korban gusuran dari taman BMW yang ditertibkan sekitar tahun 2007 lalu oleh Pemda DKI Jakarta. Itulah sebabnya warga masih curiga jika ada orang luar memotret atau mencari tahu kondisi lingkungannya. Takutnya hal tersebut berujung pada penggusuran kembali. Dari pembicaraan tersebut, kami me-
nangkap kesan bahwa mereka pun sadar bahwa mereka salah menempati lahan yang kini mereka diami tersebut. “Tapi mau kemana lagi? Sekarang apa-apa mahal. Kalau mampu, kita juga bakalan pindah. Memangnya siapa sih yang mau hidup kayak gini,” Kata Ngadimin (43), seorang warga yang berprofesi sebagai buruh serabutan. Hidup di tempat ini memang nyaris tak tertahankan bagi kebanyakan orang. Coba saja bayangkan, rumah dengan tinggi langit-langit kurang dari 180 cm, dengan dinding dan atap dari bahan seadanya (seng, triplek, dan lain-lain). Sebagian besar juga masih berlantaikan tanah. Belum lagi bau dari saluran air mampet dengan banyak sampah dan kotoran. Bagaimana tidak, di sepanjang saluran mampet itu warga membuang sam-
LAPORANUTAMA pahnya dan juga berjejer jamban di sisinya. Bahkan, pada saat kami mengobrol pun ada warga yang sedang buang air besar di jamban darurat tersebut, hanya berjarak kurang dari 5 meter dari tempat kami duduk. Hal yang biasa di lingkungan ini. Namun, jangan dikira warga di sini tidak acuh terhadap lingkungannya. Mereka memiliki struktur organisasi tersendiri, semacam pengurus lingkungan. Ada ketua, sekretaris, hingga keamanan. Ujang (47) mengaku, pengajian warga juga rutin digelar. Sebagai bukti, kami juga melihat sebuah mushola kecil yang cukup bersih dan rapi, juga semacam gardu, tempat berkumpul warga. Untuk listrik dan air, Asep menjelaskan bahwa hal itu bisa dipenuhi. “Tapi bukan sambungan resmi, Bapak tahulah darimana,” jawabnya sambil terkekeh saat kami menanyakan tentang fasilitas listrik dan air. Hal yang bisa di maklumi, selain karena dianggap mahal, juga karena mereka dianggap penghuni liar sehingga tidak memungkinkan mendapat layanan secara resmi. Masalah legalitas juga menjadi pertanyaan warga. Jika mereka dianggap liar, pada
kenyataannya banyak warga yang memiliki KTP. Soal dianggap sebagai penghuni liar, warga tampak menyimpan kekesalan yang amat sangat. “Selama ini, hak-hak kami diabaikan terus,” kata Asep lagi. “Padahal kalau pas pemilu, dikasih TPS juga, terus pas kampanye, pada datang janji ini-itu. Sekarang mana?!” tandasnya dengan nada panas. “Kita semua sudah bosan akan janji-janji,” tambahnya lagi.
terbaru sambil membersihkan beras dan mencari kutu di rambut temannya. Sebagian lagi kami saksikan hanya sedang termenung diam.
Sebetulnya keinginan warga mudah saja. “Kami mengerti bahwa tempat kami ini tidak boleh ditinggali. Tapi kalau menggusur harus manusiawi dong, kami kan bukan hewan,” demikian kata Ngadimin. Bagaimana dengan tawaran relokasi ke rusun? Pada dasarnya warga tidak berkeberatan, asalkan lokasi tidak terlalu jauh dan persyaratan untuk mendapatkannya tidak dipersulit.
Tentunya tidak semua seperti itu. Beberapa orang masih tampak bersemangat. Tengoklah Wagimin (38), asal Cilacap, yang bekerja sebagai buruh bangunan. Atau Darmono (42), yang kesehariannya berdagang asongan. “Alhamdulillah, masih bisa ngumpulin buat dikirim ke kampung,” demikian tuturnya sambil tersenyum. Pastinya, hanya anak-anak yang tidak merasakan tekanan. Mereka dengan bebas berlarian dan bermain di antara jalan dan lorong perkampungan.
Bagaimana kegiatan warga di sini? Di salah satu sudut, beberapa pria bermain kartu dan catur. Di depan sebuah rumah tampak seorang wanita muda yang sedang asyik mendengarkan radio. Tak jauh darinya, beberapa wanita lain berkumpul. Apa yang mereka lakukan? Rupanya mereka sedang ramai berceloteh tentang gosip
Ada satu kesan yang mirip dari sebagian besar wajah mereka. Itu adalah wajahwajah yang letih oleh hidup dan risau akan masa depan. Wajah yang sudah acuh dan nyaris tanpa gairah hidup. Kata yang paling tepat adalah “orang-orang kalah”.
Namun perlu diakui, ada semacam stigma negatif dari masyarakat sekitar terhadap penghuni permukiman kumuh ini. Seperti dinyatakan Mamat (44), seorang sopir angkot yang trayeknya melintasi jalan dekat perkampungan ini. “ Wah, kalau malam sih, di sini baru ramai pada keluar,” katanya. Siapa yang keluar? “Ya perempuan, biasalah,” jawabnya tertawa geli. Silahkan Anda tarik kesimpulan sendiri. Secara demografi, warga di sini memiliki beragam profesi. Ada yang jadi satpam, tukang parkir, buruh, tukang cuci, pemulung dan lain-lain. Sebagian besar justru menganggur. Satu hal yang menyatukan mereka semua adalah sebagai masyarakat kelas bawah dengan ekonomi yang lemah. Memang, kota menjadi magnet bagi kaum urban untuk mengadu nasib. Dampak negatifnya, perkembangan tata kota menjadi semrawut dan timbullah permukiman kumuh di mana-mana.
Sarana MCK di kawasan kumuh.(Foto:Joe)
Namanya saja mengadu nasib..... yah untung-untungan. Harus diakui bahwa KIPRAH • Volume 37
15
LAPORANUTAMA sebagian pendatang yang kurang dibekali keterampilan dan bermodal cekak, terpaksa menempati daerah-daerah perkotaan yang sebenarnya tidak diperuntukkan sebagai tempat tinggal. Impian dan harapan untuk memiliki rumah sederhana, sehat, memenuhi standar minimum kebutuhan f isiologis dan psikologis, aman, dan nyaman, masih jauh panggang dari pada api. Permukiman kumuh jelas rentan terhadap bahaya kebakaran, tindak kejahatan, gangguan alam, dan penyakit. Tentu tak layak sebagai tempat berteduh dan berlindung.
secara tidak wajar, seperti suka merokok dan berkata kotor serta tindakan negatif lainnya. Terciptanya permukiman kumuh perkotaan pasti tidak dikehendaki semua pihak, terutama pemerintah daerah dan kota yang menghendaki pemanfaatan ruang kota sesuai RTRW karena keberadaan kawasan kumuh tidak dapat sepenuhnya mendukung terwujudnya kota yang berkelanjutan. Faktanya, permukiman kumuh kian lama kian menjamur. Kehadiran mereka telah menimbulkan konflik kepentingan antara warga dan peme-
murah, terjangkau, dan pemerintah benar-benar merealisasikannya. Pasalnya, banyak tanah kosong tidak jadi dibangun, akhirnya ditempati lagi oleh pendatang liar lainnya. “Yang penting lokasinya tidak jauh dari tempat kami bekerja,” paparnya. Mereka pilih menetap karena takut direlokasi oleh pemerintah karena tidak ada kepastian. Kondisi ini akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan hunian yang memadai bagi mereka. Herman (50) dan warga lain yang bermukim di kampung Pulo Bukit Duri sadar kalau mereka tinggal di atas lahan terlarang, namun untuk mewujudkan keinginan pindah ke tempat lain, bukan perkara gampang. Mereka umumnya hanya pedagang kecil atau buruh pabrik yang tinggal menetap atau sementara. Mereka memilih membangun rumah tingkat di bantaran sungai. Mereka harus menerima dan mencoba untuk mengatasi segala konsekuensi dari pilihan tersebut. Bagi warga, tinggal di sejengkal tanah di kawasan kumuh adalah suatu perjuangan besar. Asalkan tetap punya uang, mereka sudah dapat hidup, meski serba minimal dan selalu siap menghadapi segala resiko.
Kawasan kumuh Papanggo, Jakarta Utara.(Foto:Joe)
Bahkan menurut beberapa pakar kriminologi, kejahatan dapat dijumpai dalam struktur sosial dan fisik dari suatu lingkungan, sehingga keadaan suatu lingkungan dapat memunculkan kejahatan. Hal inilah yang menyebabkan kenapa di suatu lingkungan kumuh misalnya dapat terjadi lebih banyak kejahatan dibanding dengan lingkungan lain. Lingkungan kumuh juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perilaku anak
16
Volume 37 • KIPRAH
rintah. Antara yang mengatur dan yang diatur, sehingga pemecahannya menjadi semakin rumit. Kosasih (45), salah seorang warga Kampung Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta, sejak puluhan tahun tinggal di bantaran sungai Ciliwung merasa gelisah atas tragedi banjir yang tak pernah absen. Ia pun dapat menerima dan memahami pentingnya program relokasi yang ditawarkan pemerintah. Asal harganya
Bedanya, kalau dulu manusia memilih sungai Ciliwung untuk bertempat tinggal, mengembangkan budaya, dan menjaga kelestariannya. Namun sekarang, sungai itu dianggap daratan yang mudah dicapai dan relatif murah, sehingga okupasi lahan sampai ke badan sungai terus berlangsung. Mereka memperlakukan Ciliwung sebagai tempat pembuangan sampah dan MCK. Akibatnya, sungai Ciliwung tercemar dan beralih peran dari sumber kehidupan menjadi sumber bencana. Okupasi DAS marak terjadi sejak tahun 2000. Lebar Ciliwung yang semula 14 meter, kini hanya tersisa 8 meter. Padahal, menurut Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, seharusnya lebar sungai 30–40 meter ditambah bantaran 10 hingga 15 meter. (Wy&Joe)
LAPORANUTAMA
Suara Hati Pemukim Kumuh Subur Suhadi (40), asal Purwokerto, Jawa Tengah, yang juga pengurus RW 02 Kompleks Rusunawa Budha Suchi, Cengkareng, merasa berterima kasih atas bantuan semua pihak karena berhasil hidup lebih aman, nyaman, dan tenteram dibanding 7 tahun silam. Saat itu, ia bersama warga lainnya masih bermukim di daerah Kampung Jati di Subur Suhadi. (Foto:Joe) bantaran Kali Anyar. Meski demikian, setiap bulan ia dan warga lain harus merogoh kocek untuk uang sewa rumah, listrik, air bersih, dan lingkungan sebesar Rp 150.000,-. Apalagi, daerah ini sekarang semakin ramai dan berkembang maju setelah banyak dibangun apartemen dan ruko di sekitarnya. Lokasinya pun cukup strategis, gampang dijangkau, fasos dan fasumnya terbilang lengkap, mulai dari sanitasi, pelayanan pendidikan, kesehatan, hingga fasilitas olah raga cukup tersedia. Menurutnya, penanganan masyarakat kumuh di bantaran kali harus dilakukan secara manusiawi karena sebagian dari mereka sudah menetap di sana secara turun temurun. Untuk itu, harus ada kompromi antara pemerintah dengan warga setempat.
Asep (40) Anggota Satpam warga Kali Bayem, Papanggo, Ancol. Bapak dua orang anak ini menjadi korban gusuran eks Kawasan BMW Pademangan, sejak 2 tahun silam, namun nasibnya mengenaskan. Kini, ia dan ratusan warga lainnya terpaksa tinggal di bedeng di sepanjang pinggiran rel KA antara Stasiun Priok dan Kota. “Kami dibutuhkan hanya pada saat Pemilu Asep. (Foto:Joe) ataupun Pilkada. Di luar itu, kami dianggap tidak ada, padahal kami punya KTP resmi. Janji-janji pemda sebelumnya hingga kini belum ada realisasinya,” ujarnya. Hal tersebut dibenarkan Tukimin, pengurus RT setempat. Bagi Asep dan kawan-kawan, yang dibutuhkan hanya kepastian tempat tinggal yang menetap, layak huni, dan terjangkau, sehingga tercipta rasa aman dan nyaman. Menurut Asep, hampir setiap tahun warga mendengar isu bahwa hunian mereka akan dibebaskan oleh pemerintah untuk penataan kota. Namun, kasak-kusuk yang berembus itu dengan cepat menguap. Minimnya sosialisasi pemerintah menyebabkan sebagian warga berspekulasi maupun menolak untuk pindah.
Yusuf (25), salah seorang warga Pluit, Muara Angke, yang beruntung bisa menjadi mahasiswa semester akhir Universitas Atmajaya, Jakarta, mengatakan, upaya struktural dan non struktural harus dilaksanakan. Hal yang terpenting adalah memperbaiki kerja sama atau kolaborasi di antara instansi-instansi pemerintah untuk menemukan solusi bersama dan mengintegrasikan action plan mereka.
Yusuf.(Foto:Joe)
Menurutnya, semua pemangku kepentingan perlu memainkan peranannya untuk memberikan kontribusi pada solusi secara menyeluruh, seperti menyamakan pemahaman atau persepsi antara masyarakat, pemerintah, dan swasta tentang permukiman kumuh, relokasi, mentaati tata ruang dan tata guna lahan, pengelolaan sampah yang baik, reboisasi, pembangunan sumur resapan, dan seterusnya.
“Lebih baik kami kebanjiran di sini daripada harus pindah ke rusunawa, tetapi hidup menjadi tidak nyaman dan tidak ada kepastian menetap,” kata Hasan (35) warga Rawa Jati, Jakarta Selatan. Selain itu, muncul kekhawatiran sempitnya ruangan yang harus dihuni lebih dari satu keluarga. Hasan.(Foto:Joe) Kalaupun terpaksa pindah, Hasan dan rekan-rekannya minta ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp1,5 juta per meter persegi atau lebih tinggi dari harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah di wilayah itu, yaitu sekitar Rp 700.000,- per meter persegi. Harga patokan tanah itu dipandang cukup untuk membangun rumah baru yang layak huni. “Karena sebetulnya kami sendiri sudah bosan kebanjiran terus setiap tahun. Kami tidak keberatan dipindah, asalkan pemerintah bersedia membebaskan tempat tinggal kami dengan harga yang pantas,” tutur bapak tiga orang anak ini.
Dari semua masalah penanganan kawasan kumuh perkotaan di atas, kiranya masalah permukiman kumuh akan terus menjadi ganjalan apabila tidak segera ditangani secara bijak karena masalah permukiman kumuh adalah masalah kita semua.(Joe)
KIPRAH • Volume 37
17
LAPORANUTAMA
Kawasan kumuh Kali Bayem, Papanggo, Ancol.(Foto:Joe)
Okupasi Bantaran Kali Kian Marak Seiring dengan perjalanan waktu, penduduk di kota metropolitan Jakarta semakin bertambah. Dampak langsung dari kejadian itu okupasi terhadap lahan bantaran sungai di Jakarta semakin marak.
B
anyak orang memilih tinggal di daerah bantaran kali karena lebih murah dan ekonomis. Alasannya, bukan lagi karena membutuhkan air dan alirannya, mereka menganggap daerah bantaran kali sebagai daerah yang mudah dicapai, dekat dengan tempat mencari nafkah, dan murah. Itulah sebabnya okupasi dan alih fungsi lahan semakin marak dari tepian hingga ke badan sungai. Sayang, pemanfaatannya tidak dibarengi
18
Volume 37 • KIPRAH
dengan upaya pelestarian lingkungan yang sangat penting bagi keberlangsungan sungai itu. Banyak sungai menderita karena penyempitan, pendangkalan, dan pencemaran akibat ulah manusia. Dari 13 sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta, hampir seluruhnya tak luput dari tindakan okupasi. Sebut saja Sungai Ciliwung, Cipinang, Kali Adem, Kali Anyar, Sunter, Grogol, dan masih banyak contoh lagi.
Selain karena kemiskinan, rusaknya sejumlah kali di Jakarta juga disebabkan oleh pertambahan penduduk yang terus menerus tak terkendali. Seiring dengan itu, semakin beragam dan kompleks pula aktivitas manusia yang merugikan kelestariannya. Sungai yang seharusnya menjadi sumber bermacam berkah dalam perjalanan waktu kemudian justru menjadi sumber
LAPORANUTAMA aneka musibah. Sampah di sungai misalnya, menebarkan bau busuk dan menjadi sumber berbagai penyakit. Tumpukan sampah juga dapat menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai serta menghambat aliran, akhirnya menimbulkan banjir. Dan, sampah bukan hanya persoalan di daerah hilir. Sejak di daerah hulu dan tengah masyarakat dan industri telah membuang limbahnya ke kali, sehingga kali semakin tercemar. Hal ini diperparah lagi dengan tingkah laku masyarakat yang menganggap sungai adalah TPA sampah dan WC terpanjang. Buktinya, hampir sebagian besar daerah permukiman di bantaran sungai memang tidak memiliki tempat pembuangan sampah, apalagi yang memisahkan antara sampah basah dan kering. Mereka tak peduli, langsung membuangnya ke kali karena dirasakan lebih praktis dan ekonomis. Dan persoalan sungai, menurut para ahli SDA, dapat dibaca sebagai persoalan konflik cara pandang manusia dalam menilai sungai, apakah sebagai barang publik (public goods) atau sebagai sumber daya milik bersama (common properety resources). Cara pandang sungai sebagai barang milik adalah pandangan tradisional, sedangkan cara pandang sungai merupakan sumber daya bersama adalah cara pandang yang lebih maju yang telah disertai dengan kearifan.
Tahun 2002, pemerintah menyatakan siap membangun rusunami di tepi sungai, yakni di Kelurahan Bidara Cina. Namun janji itu hingga kini belum terealisasi. Pada tahun 2009, ada target pembangunan 14 menara kembar (twin block/TB) rusunawa berkapasitas 80-100 unit rumah tipe 30-36 meter persegi. Rusunawa itu tersebar di Kelurahan Cipinang Besar Selatan (2 TB), Cakung Barat (6 TB), dan Penggilingan (6TB) di Jakarta Timur. Hingga akhir 2008 sudah terbangun 10 TB, namun belum dilengkapi dengan fasilitas listrik dan air bersih. Akibatnya, rusunawa yang dibangun dengan menghabiskan anggaran negara yang cukup besar itu tidak siap huni. Padahal, bangunan yang dibiarkan terlantar berpotensi mengalami kerusakan lebih cepat. Sementara itu, sosialisasi terhadap masyarakat juga masih minim, sehingga menghambat penataan warga di bantaran sungai. Melalui program resettlement, Pemprov DKI Jakarta akan memindahkan ribuan warga bantaran Ciliwung di sepanjang Pengadegan (Rawajati)-Jembatan Kali
bata-Manggarai ke rusunawa. Prioritas penggunaannya diutamakan bagi warga yang berstatus penduduk legal yang memiliki sertifikat atau tanda kepemilikan lahan. Penanganan kawasan kumuh selama ini memang banyak menuai kegagalan atau sekedar memindahkan kekumuhan, tetapi ada pula yang berhasil. Contoh sukses penanganan warga penggusuran justru diperlihatkan Rusunawa Yayasan Budha Suchi di Cengkareng dan Muara Karang yang menampung tak kurang dari 1500 KK “korban” penertiban Kali Anyar, Kampung Jati, dan Kali Adem. Keberhasilan juga diwujudkan di sejumlah rusunawa yang dibangun Perum Perumnas, baik di dalam maupun di pinggiran kota, dan ternyata tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Harus diakui, kawasan kumuh tidak saja terdapat di daerah bantaran sungai, tetapi banyak juga yang berada di pinggiran rel kereta api, areal pemakaman umum, di bawah jembatan, jalan layang, dan bahkan di tengah-tengah kawasan yang tidak kumuh sekalipun. (Joe)
Janji relokasi Kendati demikian upaya untuk menertibkan dan merelokasi warga bantaran bukannya tak dilakukan, namun prosesnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Program penataan kawasan kumuh di bantaran sungai sudah lama menjadi wacana pemerintah. Masyarakat yang puluhan tahun menetap di tepi sungai dijanjikan untuk dipindahkan ke rumah susun sederhana yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum di tanah Pemprov DKI Jakarta.
Bantaran sungai untuk permukiman.(Foto:Dok.) KIPRAH • Volume 37
19
LAPORANUTAMA Pinggiran rel kereta api (KA) menjadi alternatif permukiman bagi penduduk yang tidak mempunyai lahan formal, selain bantaran sungai. Lahan kosong yang tidak terjaga dengan baik dimanfaatkan sebagian orang untuk tempat tinggal. Permukiman pinggiran rel kereta api itu semakin lama semakin menjamur. Walau PT Kereta Api sebenarnya tak henti-hentinya melakukan penertiban terhadap warga yang tinggal di sepanjang pinggir jalur kereta api, karena selain dilarang juga mengganggu operasional kereta api. Ruwetnya penataan warga di pinggiran rel KA di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Foto:Dok.)
Menjamurnya
Permukiman Pinggiran Rel KA
S
etidaknya sudah 200 KK kita pulangkan ke daerah asal Jateng dan Jatim, terutama mereka yang tidak memiliki kartu identitas. Namun, siapa menjamin mereka tidak kembali lagi, bahkan dengan rombongan lebih besar, kata Sugeng Priyono, Manajer Humasda PT Kereta Api sewaktu ditemui Kiprah di kantornya, Jakarta. Ia katakan, usaha merelokasi warga pinggiran rel ke rumah susun sewa tak mampu menarik minat mereka, karena tarif listrik dan air di sana dianggap terlalu mahal dan memberatkan. Selain
20
Volume 37 • KIPRAH
itu, kedekatan lokasi dengan tempat mencari nafkah juga menjadi alasan. Seiring dengan perjalanan waktu, penduduk yang bermukim dan berusaha di sepanjang pinggiran rel terus bertambah hingga melampui ambang batas. Dan alasan orang tinggal di pinggiran rel, bukan karena gampang naik kereta api, tetapi mereka menganggap pinggiran rel sebagai daerah yang mudah dicapai, dekat dengan tempat mencari nafkah, dan sekaligus murah.
Itulah sebabnya, kita kini melihat terjadinya okupasi lahan bantaran rel kereta api mulai dari tepian ruang milik jalan, hingga daerah manfaat jalan. Padahal, itu merupakan daerah terlarang karena sangat berbahaya, mengganggu keselamatan operasional kereta, dan penghuninya itu sendiri. Di banyak lokasi bahkan telah tumbuh pasar darurat dan pasar tumpah. “Seharusnya daerah manfaat jalan itu clean, bebas dari segala bentuk gangguan.
LAPORANUTAMA tak hanya dilakukan melalui program penertiban atau sekedar menggusur, tetapi selalu mempertimbangkan faktor sosiologis dan psikologis warga.
an warung makan, kios dan WC umum yang selama ini menggangu.
Pendekatan manusiawi dalam sosialisasinya, terbukti membuahkan hasil yang diinginkan. “Kami kompromikan, kami beri mereka batas waktu, peringatan, juga bantuan tenaga dan alat, serta prosesnya kita tunggui hingga rampung.”
Syair lagu “Sapa Suruh Datang Jakarta” kiranya tepat untuk menggambarkan betapa getir dan beratnya resiko perjuangan hidup kaum urban di Jakarta dan kota besar lain. Khususnya, dalam mengadu nasib meningkatkan ekonominya, meski mereka terpaksa bertempat tinggal dan berusaha di daerah terlarang yang selalu diuber-uber oleh petugas Kamtib. Mereka tidak kapok karena telah terkondisi dengan keadaan seperti itu.
Prinsipnya, kami selalu mengajak warga berdialog sebelum memberikan surat peringatan pembongkaran. Semua warga yang memiliki bangunan di atas tanah terlarang, dipersilahkan membongkar sendiri bangunan mereka, agar bahan bangunan dapat digunakan lagi untuk kepentingan lain,” kata Sugeng meyakinkan. Melalui model pendekatan seperti itu, ternyata beberapa kawasan kumuh yang selama ini dianggap rawan, dapat diselesaikan tanpa gejolak, tidak mendapat perlawanan warga. Bahkan, beberapa pemilik warung mau membongkar sendiri bangunan mereka.
Aturannya, pada jarak 20 meter kanan-kiri rel harus bersih dari gangguan, termasuk hunian liar tadi,” tandas Sugeng. Sugeng bercerita tentang kekhawatiran para masinis untuk mengeluarkan anggota badannya ketika harus melewati jalur Stasiun Beos Kota hingga Tanjung Priok, yang saat ini dipenuhi hunian liar. Mereka takut lehernya putus, akibat tersambar seng bangunan liar milik warga.
Tuntutan Perut
Mereka mengaku dan sadar bahwa selama ini mereka tinggal dan berusaha di atas lahan terlarang bukan haknya. Namun, untuk pindah ke tempat lain bukan perkara gampang. Mereka memilih membangun rumah kumuh di pinggiran rel karena lokasinya berdekatan dengan tempat mereka mencari nafkah.
Ia mencontohkan, saat penanganan kawasan kumuh di sepanjang rel kereta api antara Jakarta Kota dan Tanjung Priok, Tanah Abang batas Tanggerang atau Jatinegara batas Bekasi, kini kondisinya semakin membaik. Sedang untuk mempertahankan kawasan itu agar tetap bersih dan rapi, pihak PT Kereta Api bekerja sama dengan melibatkan warga eks penghuni untuk ikut menjaga sekaligus merawatnya.
Kondisi seperti itu bila dibiarkan terus dan tidak ditertibkan, kata Sugeng, persoalannya akan semakin ruwet dan kompleks, karena menyangkut faktor sosio-ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Fatah (30), warga Klender, mengatakan, pihaknya setuju dengan penertiban ini, supaya lingkungan kumuh kawasan bantaran rel menjadi bersih dan rapih.
Keseriusan PT Kereta Api dalam menangani kawasan kumuh di pinggiran rel
Fatah dan beberapa warga lainnya juga turut membongkar bangun-
Penertiban warga bantaran rel KA terus dilakukan melalui pendekatan persuasif dan dialogis untuk menghindari konflik. (Foto:Joe) KIPRAH • Volume 37
21
LAPORANUTAMA Umumnya mereka bermata pencarian sebagai pedagang kecil atau pengasong, buruh kasar, dan pengepul barang-barang bekas. Sebagian dari mereka merupakan warga pendatang ilegal, baik yang tinggal sementara maupun yang terus menetap. Seperti pengakuan Widodo (24), pemuda yang biasa jualan asongan asal Purwokerto, Jateng. “Bagi saya dan warga lain, meski tinggal tak layak, hal itu harus diterima dengan suka cita karena dicapai melalui perjuangan yang tidak mudah. Asalkan bisa tetap punya uang, kami siap hidup dengan serba minim. Resiko itu tidak besar karena kami siap hidup dengan apa adanya, ketimbang sulit hidup di desa,” ujarnya. Melihat persoalan tersebut sudah saatnya pemerintah menyiapkan alternatif tempat tinggal yang layak bagi masyarakat. Pemerintah juga harus bertindak tegas dalam penataan kotanya, termasuk membebaskan permukiman liar di ka-
Pendekatan manusiawi dalam sosialisasinya, terbukti membuahkan hasil yang diinginkan. “Kami kompromikan, kami beri mereka batas waktu peringatan, juga bantuan tenaga dan alat, serta prosesnya kita tunggui hingga rampung.
wasan pinggiran rel, bantaran sungai, kolong jalan tol/jembatan, dan tanah kosong, serta pemakaman umum, agar tata ruang kota tidak semakin hancur. Mengingat, persoalan permukiman kumuh perkotaan sudah semakin menggurita, sehingga pemecahannya pun seharusnya jangan parsial. Tetapi, harus secara menyeluruh, melibatkan seluruh
pemangku kepentingan. Sugeng pun mengakui bahwa PT Kereta Api tidak akan mampu mengatasi masalah kawasan kumuh sendirian. Ini karena menyangkut soal kemiskinan kota. Sebagian besar ditentukan oleh sektor lain. Oleh karena itu, Sugeng mengharapkan munculnya kesadaran bersama dari semua sektor untuk bersama-sama berkontribusi dalam mengatasi permukiman kumuh ini secara bijak. Bagaimana pun, PT Kereta Api telah melakukan sejumlah pekerjaan yang diperlukan guna mengatasi pertumbuhan permukiman kumuh yang terus membayangbayangi dinamika kota. Penertiban bangunan kumuh di lahan milik PT Kereta Api akan terus dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan persuasif, edukatif, dan dialogis untuk meminimalkan konflik saat penertiban.(Joe)
Permukiman kumuh kelurahan Papanggo Ancol, Jakarta Utara yang masih menyisakan masalah.(Foto:Joe)
22
Volume 37 • KIPRAH
LAPORANUTAMA
Urbanisasi, Arus yang Belum
(Tak Pernah) Bisa Berhenti
Apa sih yang menjadi penyebab permukiman kumuh di kota? Kenapa sekarang kota tampak kumuh, padahal dahulu tidak? Sebenarnya, apa penyebabnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering dilontarkan oleh penduduk asli kota yang sudah lama tinggal. “Banyak pendatang dari desa nih yang cari kerja di kota, modalnya pas-pasan atau cuma nekat. Jadinya, mereka tinggal sembarangan deh.” Begitulah jawaban yang paling sering kita dengar.
P
erpindahan penduduk dari desa ke kota, atau yang biasa dikenal dengan istilah urbanisasi, seolaholah menjadi salah satu kambing hitam semakin padat dan kumuhnya permukiman di perkotaan. Benarkah urbanisasi yang menjadi faktor utama penyebab permukiman kumuh di perkotaan? Apa sebenarnya yang menjadi kelebihan kota maupun kekurangan desa sehingga perpindahan penduduk desa ke kota kian meningkat? Lalu, dampak apa saja yang timbul dari peningkatan urbanisasi tersebut? Pembangunan perkotaan kian lama kian bertambah maju. Kemajuan tersebut dapat dilihat secara kasat mata melalui semakin banyaknya gedung-gedung bertingkat dan pencakar langit, serta suburnya pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran. Bagi sebagian besar penduduk desa, kemajuan pembangunan di perkotaan memberikan kesempatan lebih untuk meningkatkan perekonomian keluarga mereka. Oleh karena itulah, apabila ditanya alasan penduduk desa yang mencari pekerjaan di kota, maka sebagian besar akan menjawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka yang tinggal di desa. Sementara anggota keluarga mereka yang termasuk kategori angkatan kerja bekerja di kota, anak-anak dan orang tua dapat tetap tinggal di desa. Tak jarang, demi memastikan keragaman sumber penghasilan, anggota keluarga seringkali bekerja terpencar di berbagai tempat, di kota-kota kecil maupun di kota-
Mobilitas perpindahan penduduk dari desa ke kota semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya tingkat kehidupan masyarakat.(Foto:Lies)
kota besar. Hal ini dimaksudkan agar keamanan f inansial mereka tidak rentan terhadap pengaruh kondisi ekonomi di satu tempat. Meskipun bagi sebagian orang meninggalkan kampungnya dan bekerja di perkotaan karena tidak ada pilihan lain, namun kebanyakan dari mereka bermigrasi merupakan suatu pilihan. Peningkatan jaringan transportasi serta ketersediaan telepon selular yang mempermudah komunikasi dan berjejaring dengan kenalan mereka di kota telah membuat
penduduk desa paham mengenai keuntungan (ataupun kerugian) untuk pindah ke kota, terutama mengenai informasi kesempatan kerja serta kondisi hunian di perkotaan. Selain luasnya kesempatan kerja, alasan seseorang merasa ditarik ke kota adalah ketersediaan beragam fasilitas, khususnya fasilitas pendidikan dan kesehatan di perkotaan yang lebih baik. Adapun alasan lainnya ialah struktur sosial dan budaya di kota lebih bebas, sementara di perdesaan dirasa lebih mengekang.
KIPRAH • Volume 37
23
LAPORANUTAMA Kondisi Desa Di samping kemajuan pembangunan di perkotaan yang menjadi faktor meningkatnya urbanisasi, kondisi perdesaan yang dianggap tidak mampu menyediakan kesempatan kerja bagi penduduknya serta minimnya penghasilan yang layak dari kegiatan pertanian juga menjadi faktor penyebab utama terjadinya urbanisasi. Mengapa penduduk desa banyak yang pindah ke kota? Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, kebanyakan penduduk desa bekerja di sektor pertanian. Sektor ini sangat tergantung dengan kondisi cuaca, ketersediaan lahan, dan tingkat kesuburan tanah. Kerawanan bencana di daerah tersebut, seperti banjir, kemarau, ataupun gempa bumi, maupun perubahan ekologis yang berkelanjutan, seperti penggurunan atau erosi tanah, juga menjadi pemicu orang untuk bermigrasi. Kedua, kemiskinan petani. Jumlah petani kita banyak, tetapi hasil produknya tidak signifikan, sehingga akhirnya petani tidak bisa sejahtera, dan tetap dipeluk kemiskinan. Permasalahannya, petani-petani di Indonesia ternyata sebagian besar adalah buruh tani yang tidak punya lahan, petani penggarap yang tidak punya sawah, atau petani gurem yang lahannya di bawah 0,5 hektar. Selain tanah miliknya tergolong kecil, para petani seringkali terpaksa berhutang atau menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melunasi hutang. Akibatnya, penghasilan di desa cenderung kecil dan petani tetap miskin. Sedangkan untuk meningkatkan produksi, mereka harus membayar teknologi yang dibutuhkan, bibit tanaman unggul, ataupun obat anti hama yang relatif mahal. Kemiskinan petani memang menjadi awal permasalahan yang membuat banyak petani beralih profesi serta memilih mencari kerja di perkotaan. Mereka
24
Volume 37 • KIPRAH
Umumnya kaum urban di kota besar bermatapencaharian sebagai pedagang informal. (Foto:Lies)
terpaksa keluar dari daerah asalnya akibat rendahnya kualitas hidup atau adanya daerah yang menjanjikan kesempatan untuk hidup lebih layak. Seringkali seseorang memutuskan bermigrasi karena kombinasi dari kedua faktor di atas. Pilihan yang tersedia adalah menambah penghasilan mereka dengan pekerjaan tambahan yang tidak terkait dengan sektor pertanian, baik pekerjaan di desa maupun di kota untuk sementara, sebagai buruh bangunan, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, dan pekerjaan informal lainnya, yang umum ditemukan di perkotaan. Faktor ketiga, kurangnya angkatan kerja produktif di perdesaan. Banyaknya penduduk desa usia produktif yang bekerja di kota membuat penduduk yang tinggal di desa lebih banyak anak-anak dan orang tua. Para pemuda desa juga makin enggan mengolah sawah dan lebih tertarik pergi ke kota untuk memperbaiki taraf hidupnya. Di sisi lain, okupasi lahan pertanian semakin marak untuk berbagai keperluan non-pertanian.
Dampak Laju urbanisasi yang tinggi pada akhirnya memang mengancam keberadaan daya dukung sebuah kota. Potret glamor dan indah perkotaan nyatanya tidak seratus persen benar. Keberadaan permukiman kumuh memang menjadi alternatif bagi para migran yang kurang beruntung mendapatkan tempat tinggal yang layak. Selain itu, sebagian besar para migran hanya dapat bekerja di sektor informal, seperti sebagai kuli bangunan, pembantu, pedagang kaki lima, dan lainnya sebagainya. Bahkan, banyak pula dari mereka yang mengambil jalan pintas di kota dengan bekerja sebagai bandar narkoba, pekerja seks, ataupun preman. Dengan demikian, tujuan para migran untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian dengan datang ke kota belum tentu dapat terwujud. Peningkatan urbanisasi justru lebih banyak menimbulkan permasalahan, terutama menjamurnya permukiman-permukiman kumuh di perkotaan. Nyatanya, kota tidak selalu “manis”, tetapi juga memberikan “kepahitan”. (Endah)
LAPORANUTAMA
Upaya Pemerintah Menangani Permukiman Kumuh
P
emerintah tidak tinggal diam dalam menangani permukiman kumuh yang terjadi di perkotaan. Beberapa program penanganan permukiman kumuh telah digulirkan, antara lain: a. Program M.H. Thamrin di Jakarta dan W.R. Supratman di Surabaya Program ini muncul pada tahun 1966 (saat Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta) karena permintaan sumbangan terus menerus warga kampung untuk memperbaiki fasilitas di kampungnya. Program tersebut melibatkan 60 % partisipasi masyarakat berupa uang, tenaga kerja, bahan bangunan, atau tanah. Sisanya (40 %) menjadi tanggungan Pemda DKI Jakarta. Pada waktu bersamaan, berlangsung juga program perbaikan kampung di Surabaya yang dikenal dengan nama “Proyek W.R. Supratman” yang memiliki banyak kemiripan dengan proyek serupa di Jakarta. b. Program Perbaikan Kampung (Kampong Improvement Program/KIP) Program ini meliputi perbaikan jalan kendaraan, jalan orang dan saluran air, rehabilitasi dan pembuatan selokan kampung, pengadaan tempat pembuangan dan gerobak sampah, penyediaan air bersih melalui kran-kran umum, pembuatan fasilitas MCK, serta pembangunan puskesmas dan sekolah dasar. Beberapa contoh pelaksanaannya adalah Sombo (Surabaya), Bandarharjo (Semarang), dan Kawasan 12 Ulu (Palembang). c. Program Perbaikan Lingkungan Permukiman Kota (P2LPK) Program ini didanai APBN untuk kota-kota kecil dan perdesaan, seperti P3KT, P2LDT, P3LDT, dan KTP2D. Secara umum, komponen programnya tidak berbeda jauh dengan program KIP. d. KIP Komprehensif Merupakan penyempurnaan dari program KIP; yang membedakannya adalah dimunculkannya kembali komponen pelibatan dan pemberdayaan masyarakat secara individu dan kelembagaan, khususnya pemberdayaan ekonomi melalui kegiatan pengelolaan stimulan dalam bentuk dana bergulir dari pemerintah untuk merangsang dana swadaya masyarakat. e. Program Peningkatan Kualitas Lingkungan (PKL) Pada tahun 2001, bersamaan dengan kebijakan global mewujudkan “Cities Without Slum”, dicanangkan Genta Kumuh oleh Wapres RI pada puncak peringatan hari Habitat Dunia di Surabaya. PKL merupakan pengembangan dari program KIP
yang komponennya adalah pendampingan masyarakat (untuk menghasilkan output kelembagaan dan community action plan), bantuan prasarana lingkungan (memperbaiki kondisi prasarana dan sarana lingkungan permukiman), maupun stimulasi peningkatan ekonomi melalui dana bergulir (merangsang masyarakat meningkatkan pendapatannya, menabung, serta mengalokasikan dana untuk perbaikan dan pemeliharaan prasarana dan sarana). f. Program terkait Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh Program-programnya adalah : • Perumahan Swadaya / P2BPK Program ini diarahkan untuk memberdayakan masyarakat agar mampu mengadakan, memiliki, dan menghuni sendiri rumah yang layak secara berkelompok. • Program Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan (P2KP) P2KP adalah sebuah program yang dirancang pemerintah dengan dukungan Bank Dunia untuk menanggulangi kemiskinan di perkotaan sebagai akibat krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997. Program ini menggunakan skema bantuan langsung kepada masyarakat yang menjadi target group (kelompok sasaran). Konsepnya adalah pelaksanaan dan pengelolaan program di lapangan diserahkan kepada masyarakat, sedangkan pemerintah hanya fasilitator agar situasi kondusif. • Community Based Housing and Initiative Local Development (CoBILD) Program ini ditujukan untuk membiayai perbaikan/peremajaan rumah, pembangunan rumah baru, serta pengadaan dan perbaikan/pemeliharaan prasarana dan sarana permukiman dengan kelompok sasaran adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang memiliki kesanggupan mengembalikan pinjaman yang diberikan. • Kasiba (Kawasan Siap Bangun) / Lisiba (Lingkungan Siap Bangun). Kebijakan ini diambil untuk menyelesaikan masalah pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sekaligus untuk menghambat maraknya aktivitas usaha spekulasi tanah dan penguasaan tanah dalam jumlah besar oleh pengembang yang tidak diimbangi dengan kesediaan menyediakan tanah dan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah misalnya kebijakan lingkungan hunian berimbang 1:3:6. •Kebijakan dan Program Bantuan Bagi Mayarakat Berpenghasilan rendah. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan dan program bantuan langsung bagi masyarakat berpenghasilan rendah.(Nld) KIPRAH • Volume 37
25
LAPORANUTAMA
Bebas Kumuh 2020,
Mungkinkah?
D
alam Millenium Development Goals (MDGs), masalah kemiskinan menjadi salah satu tujuan yang hendak dicapai. Mengacu pada MDGs, Kementerian Pekerjaan Umum menargetkan Indonesia terbebas dari kawasan permukiman kumuh di perkotaan pada 2020. Bebagai program dengan dukungan pemerintah daerah dan instansi terkait, Kementerian PUmelaksanakan program-program, antara lain P2KP, Pasimas dan Sanimas. Program-program tersebut berjalan dengan melibatkan masyarakat. Erna Witoelar, mantan Menteri Kimbangwil dan mantan duta besar MDGs, berbagi cerita dan masukan dalam upaya menangani permukiman kumuh di perkotaan
di Indonesia. Langkah apa yang dapat ditempuh untuk mengurangi dan menata kawasan kumuh? Berikut adalah petikan wawancara Kiprah dengan Erna Witoelar. Apa yang menyebabkan Ibu begitu peduli dengan lingkungan dan masya-rakat? Kepedulian saya terhadap kawasan kumuh, air besih dan sanitasi karena kepedulian terhadap lingkungan yang terbawa sejak dulu, baik secara profesional dari background pendidikan, kegiatan-kegiatan yang diikuti, maupun sebagai duta besar MDGs. Saya menjadi duta besar MDGs pelaksana di negara berkembang untuk memperbaiki kawasan kumuh, akses air bersih, dan sanitasi.
Erna Witoelar mantan Menteri Kimbangwil dan mantan Duta Besar MDGs. (Foto:Dok.)
Apa pendapat Ibu mengenai tujuan dan pencapaian MDGs tahun 2015? Menurut saya, MDGs sangat serius untuk memperbaiki kawasan kumuh, akses air bersih, sanitasi, dan kemiskinan di negara berkembang. Kesemua permasalahan tersebut tercantum secara khusus dalam butir-butir MDGs. Apa pandangan Ibu mengenai kaitan kemiskinan dan berkumuhan di perkotaan dan perdesaan? Sebetulnya, orang salah kaprah mengenai kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. Orang menilai bahwa kemiskinan di perkotaan lebih baik daripada di pedesaan. Padahal, kemiskinan di perkotaan lebih buruk. Miskin di pedesaan, orang masih bisa makan, bercocok tanam. Tapi miskin di perkotaan, tanpa uang orang tidak bisa makan. Sehingga, jika orang tidak punya uang dan kelaparan akan timbul pikiran negatif yang berdampak pada kriminal. Selain itu, dari waktu ke waktu urbanisasi semakin tinggi. 50% Masyarakat di negara berkembang tinggal di kawasan kumuh perkotaan sehingga kawasan kumuh menjadi perlu ditangani lebih serius. Jika tidak dikendalikan, permasalahan akan terus bertambah dan rawan. Bagaimana dengan luasan wilayah permukiman kumuh, apakah semakin meluas?
Sepanjang bantaran kali Ciliwung antara Kalibata hingga Manggarai tumbuh permukiman kumuh mengakibatkan lebar kali menyempit dan dangkal akibat sedimentasi. (Foto:Dok.)
26
Volume 37 • KIPRAH
Wilayah kantong kemiskinan semakin meluas karena jumlah penduduk miskin
LAPORANUTAMA yang datang ke perkotaan tidak berkurang. Miskin disini maksudnya adalah orang yang coba-coba hidup di perkotaan dengan bekal seadanya. Sebagian dari mereka tinggal di kawasan kumuh hanya sementara. Jika mereka sudah memiliki penghasilan yang lebih tetap, mereka pindah ke rumah kontrakan atau membeli rumah sederhana. Ada turn over yang cukup tinggi. Jadi bukan daerahnya yang semakin meluas, tapi penghuninya yang meningkat. Dan tidak menutup kemungkinan, jika sudah sesak, akan timbul permukinan kumuh di tempat lain atau permukiman kumuh meluas. Apa benar kumuh identik dengan kriminalitas?
Menurut Ibu, bagaimana memecahkan masalah kawasan kumuh? Permukiman di kawasan kumuh perlu ditangani secara holistik. Bukan hanya dengan pembangunan fisik dan perbaikan saja. Harus terpadu. Tetapi tidak bisa malah juga tidak bisa ditangani dengan melakukan hal yang sama di tiap daerah. Suatu kawasan kumuh perlu penanganan berbeda sesuai dengan kondisi daerah. Penanganan kawasan kumuh di Jakarta tentunya berbeda dengan penanganan kawasan kumuh di Yogyakarta, dan daerah lain, walaupun ada kesamaan penyebab, yakni urbanisasi. Penanganan
melakukan pembangunan dan perbaikan kawasan, tetapi kurang mengajak partisipasi masyarakat. Pemerintah memprogramkan pembersihan kawasan kumuh dan merelokasi warga tanpa melakukan pendekatan ke masyarakat, sehingga yang terjadi adalah mereka pindah ke lokasi baru, lalu kembali ke tempat lama. Hal tersebut disebabkan oleh lokasi baru yang jauh dari tempat bekerja, tempat baru masih belum siap huni, atau fasilitasnya kurang memebuhi kebutuhan. Kota Solo berhasil memperbaiki kawasan kumuhnya. Permukiman kumuh diper-
Sebenarnya, kumuh identik dengan keterpaksaan. Mereka terpaksa tinggal di permukiman kumuh karena miskin. Seperti yang tadi saya bilang, miskin di perkotaan bisa menimbulkan kriminalitas. Mereka datang ke kota untuk meningkatkan kesejahteraan. Ada yang berhasil, ada yang tidak. Orang miskin di perkotaan cenderung tidak memiliki uang sama sekali dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Apa yang membuat Ibu mau menerima tugas mulia sebagai Duta besar MDGs? Dari dulu saya melihat bahwa pembangunan masyarakat hanya dilihat dari sektor ke sektor. Padahal, pembangunan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak sektor per sektor. Saya lihat, konsep MDGs mencakup itu semua secara keseluruhan dalam bentuk paket pembangunan yang saling terkait. Saya melihat upaya tersebut sebagai pendekatan yang cocok, benar, atau holistik. Pendidikan saya, yakni Ilmu Lingkungan, mengajarkan pendekatan holistik. Ilmu Lingkungan juga mengajarkan mengenai pembangunan berkelanjutan dengan unsur ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya menjadi satu. Pendekatan tersebut yang menurut saya tepat untuk mencapai tujuan.
Kawasan kumuh di Cimahi, Jabar, merupakan problem sosial yang harus diatasi. (Foto:Lies)
semakin baik jika pemerintah dan instansi terkait mengenal kelompok sasaran. Jika lahan yang mereka pakai adalah lahan pemerintah, baiknya lahan tersebut diputihkan menjadi kawasan permukinan. Kemudian, masyarakat urunan untuk memperbaiki lingkungan dengan didampingi pemerintah. Sistem pendampingan tersebut efektif. Dengan pendampingan, pemerintah dan instansi terkait mengetahui secara langsung/tepat kebutuhan masyarakat di kawasan kumuh. Suatu hal yang belum dilakukan pemerintah dari dulu adalah pendampingan. Dari dulu pemerintah
baiki dengan alternatif kawasan dan digarap. Tempat disiapkan agar masyarakat siap pindah. Menurut Ibu, apa yang perlu dilakukan kedepan dan apa harapan Ibu? Ke depan, perlu didorong hal-hal kecil yang telah berhasil diterapkan bersama. Pemerintah telah melakukan beberapa program, seperti Sanimas, Pamsimas, Rusunawa dan P2KP. Dorong dan beri kepercayaan kepada Pemda untuk bekerja sama. Pemda yang baik diberi insentif dan yang kurang baik ditegur.(Ind)
KIPRAH • Volume 37
27
LAPORANUTAMA
Perlunya Pendampingan di Kawasan Kumuh Erna Witoelar, mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah
P
ermukiman di kawasan kumuh saat ini dinilai meng khawatirkan. Tingkat urbanisasi yang tinggi dan terus akan bertambah, mengakibatkan mun-culnya kawasan-kawasan permukiman kumuh baru di perkotaan. Erna Witoelar selaku duta besar MDGs (pada waktu itu) melihat bahwa bagi masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh perlu pendampingan dari pemerintah sebagai fasilitator kawasan. Menurut Erna, dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat, maka pemerintah akan mengetahui kebutuhan masyarakat dan dapat membenahi kawasan kumuh. Tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan kumuh mendorong timbulnya beberapa permasalahan, seperti kemiskinan, lingkungan hidup yang buruk, anak-anak yang tidak memiliki akses Dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat, maka pemerintah akan pendidikan, dan pelayanan kesehatan sebagai mengetahui kebutuhan masyarakat dan dapat membenahi kawasan kumuh (Foto:Lies) kebutuhan dasar manusia yang kenyataannya masih rendah. Permukiman kumuh dalam wilayah kantong- Permukiman di kawasan kumuh merupakan suatu persoalan kantong kemiskinan semakin meluas, salah satunya disebabkan yang perlu ditangani secara holistik dan terpadu. Tidak hanya jumlah penduduk miskin yang datang ke perkotaan tidak melakukan pembangunan dan perbaikan fisik, air bersih, berkurang. lapangan pekerjaan, atau pendidikan saja. Karena kondisi kawasan kumuh di tiap-tiap daerah berbeda, sehingga Erna menilai bahwa sebagian masyarakat yang tinggal di diperlukan penanganan yang berbeda pula. kawasan kumuh merupakan orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke kota. Mereka datang dengan bermodalkan Dicontohkannya, kondisi kawasan kumuh di Jakarta berbeda semangat semata tanpa memikirkan resiko dan tantangan yang dengan kawasan kumuh di Yogyakarta. Penanganannya akan akan dihadapi olehnya. Sementara itu, sebagian lagi merupakan semakin baik jika pemerintah mengenal kelompok sasaran penduduk yang mau tidak mau terpaksa tinggal menetap di sehingga dapat diketahui kebutuhan masyarakat tersebut kawasan kumuh karena kurang beruntung di perkotaan. seperti apa. Pemerintah hendaknya juga mengeluarkan aturan yang tepat. Terkait dengan kemiskinan, masyarakat sering salah kaprah mengasumsikannya. Mereka beranggapan kemiskinan di Untuk permukiman kumuh di bantaran sungai, jika memang perkotaan lebih baik daripada kemiskinan yang mereka hadapi bantaran tersebut membahayakan untuk dihuni, hendaknya di perdesaan. pemerintah mengeluarkan aturan yang tegas dan merelokasi masyarakat ke tempat yang layak serta segera menggarap lokasi “Miskin di pedesaan, masyarakat masih bisa makan dan hidup tersebut. Namun, jika masih memungkinkan untuk dihuni, dari hasil kebun. Tetapi di perkotaan, jika tidak memiliki uang, pemerintah dapat mengajak masyarakat untuk memperbaiki masyarakat tidak bisa makan dan tidak bisa hidup, sehingga untuk lingkungan tersebut. (Ind) dapat bertahan hidup orang akan melakukan apa saja untuk dapat makan dan hidup,” jelas Erna.
28
Volume 37 • KIPRAH
LAPORANUTAMA
Pemerintah Harus Ubah Paradigma
P
emerintah harus mengubah paradigma dalam penanganan kawasan permukiman kumuh. Paradigma proyek yang selama ini digunakan harus digeser menjadi paradigma sosial yang partisipatif dengan melibatkan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga perlu melaksanakan pemerataan pembangunan yang sejatinya merupakan pangkal pemicu munculnya permukiman kumuh. Sosiolog Imam Prasodjo menjelaskan, pembangunan yang tidak merata dan hanya terpusat di kota-kota besar menyebabkan perpindahan penduduk ke daerah tersebut. Secara teoritis, pada saat pembangunan itu timpang dan terkonsentrasi hanya pada wilayah tertentu, orang otomatis akan berdatangan. Sebagian dari penduduk yang melakukan perpindahan tersebut adalah penduduk miskin. Mereka membutuhkan tempat tinggal yang murah sehingga pada akhirnya dipilihlah tempat-tempat seperti pinggir kali, bawah jembatan, serta lahan-lahan kosong sebagai tempat tinggal. Dan, mereka tidak berhenti sampai di situ, mereka terus beranak-pinak sementara orang dari daerah lain terus berdatangan. Artinya, pemerintah harus berpacu dengan tingkat kekumuhan yang semakin meningkat. Ada beberapa alternatif solusi yang dapat dikedepankan untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, urbanisasi harus ditekan. Caranya, dengan melakukan pemerataan pembangunan, mendistribusikan pusat-pusat pembangunan di berbagai wilayah. Hal tersebut membutuhkan kerja sama dan koordinasi antara kota-kota pusat pembangunan dengan kota-kota yang berada di sekitarnya.
Kedua, masyarakat harus dilibatkan dalam penanganan permukiman kumuh, sehingga kekumuhan tidak semakin berkembang. Dengan meliImam Prasojo, Sosiolog batkan masyarakat, maka mereka (Foto:Dok.) akan proaktif sekalipun tidak ada pemerintah. Bahkan, jika perlu, penduduk kawasan kumuh diberi kewenangan untuk membatasi orang yang datang ke kawasan mereka. Ketiga, perlu dilakukan upaya preventif dan penjagaan di kawasan yang potensial akan menjadi kawasan kumuh. Selama ini, perhatian terhadap upaya preventif terkesan kurang. Pemerintah hanya bertindak setelah suatu kawasan sudah telanjur menjadi permukiman kumuh. Keempat, revitalisasi kawasan kumuh harus dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya, misalnya negosiator. Upaya represif sudah terbukti berulang kali gagal memberikan solusi terbaik. Kelima, pendekatan untuk mengatasi masalah permukiman kumuh adalah pendekatan integratif yang memerlukan keterlibatan berbagai kementerian di pemerintahan. Itu memerlukan sebuah dirigen yang canggih sehingga visinya benar dan memiliki kemampuan sebagai integrator yang bagus. Kebijakan yang sifatnya top down memiliki kecenderungan untuk gagal. Sebab, pemerintah sebagai pengambil kebijakan tidak dapat mengakomodasi keinginan dan kebutuhan masyarakat. Dalam pembangunan rumah susun bagi penduduk kawasan kumuh misalnya, pemerintah terkesan memaksa masyarakat untuk pindah ke rumah susun. Padahal, fungsi rumah bagi sebagian masyarakat adalah juga untuk tempat usaha, bukan hanya tempat tinggal. Keengganan mereka pindah dari kawasan kumuh ke rumah susun bukan tanpa alasan, mereka takut kehilangan mata pencaharian jika pindah ke rumah susun. Dengan demikian, ke depan, pemerintah harus lebih melibatkan masyarakat dalam penanganan kawasan kumuh. Pendekatan partisipatif dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek – dan bukan hanya sekedar objek akan lebih efektif dan memiliki efek kontinuitas lebih besar dalam penanganan permukiman kumuh. (Ivan)
Program padat karya dengan melibatkan masyarakat lokal.(Foto: Lies) KIPRAH • Volume 37
29
LAPORANUTAMA
Perbaikan Kampung, Hemat Biaya dan Minim Gejolak
P
erbaikan kampung adalah suatu upaya memperbaiki prasarana perkotaan secara minimum, dengan meningkatkan kualitas hidup penduduk miskin Darundono, Akademisi perkotaan dengan biaya rendah. Universitas Tarumanegara Perbaikan kampung menjadi pili(Foto:Dok.) han kebijakan, dengan pertimbangan rumah-rumah dan penghuninya sudah ada, dengan keteraturan dan modal sosial. Kebijakan perbaikan kampung telah dilakukan selama tiga dasawarsa, dari tahun 1969-1999. Sampai tahun 2004, Mantan Presiden Bank Dunia dalam suratnya kepada mantan Gubernur DKI Ali Sadikin , menyatakan Proyek MHT sebagai The Global Best Practice. Tetapi saat ini kebijakan perumahan di Provinsi DKI Jakarta berubah menjadi pembangunan rumah susun, yang memakan biaya lebih dari 1 Triliun rupiah selama 5 tahun ini. Beberapa penelitian menyebutkan rumah susun banyak dimiliki oleh masyarakat menengah ke atas, yang awalnya adalah diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
komunitas sejak diambilnya kebijakan perbaikan kampung sampai dengan paska pembangunan sangat menentukan keberhasilan pembangunan.
Bahkan, badan internasional seperti Bank Dunia terus berusaha untuk mengembangkan pendekatan dalam mengatasi kemiskinan melalui berbagai kajian yang menggali sumber kekuatan dari komunitas miskin itu sendiri yang dikenal dengan istilah modal sosial (social capital). Adanya arisan, koperasi simpanpinjam, maupun majelis taklim dan lain-lain merupakan bibit modal sosial yang terdapat hampir di setiap kampung. Menggusur kampung pada hakikatnya sama dengan menggusur jaringan sosial yang membantu para warga kampung memecahkan persoalan dalam keadaan sulit dan membangkitkan rasa identitas dan saling memiliki. Dari segi ekonomi, peremajaan perkotaan lebih mahal 10-15 kali lipat. Tanah makin sulit. Mengapa harus membongkar rumah-rumah yang sudah ada dan telah menjadi perumahan bagi orang dalam jumlah besar. Hal itu akan membuat masalah lebih rumit. Maka, perbaiki saja yang telah dimiliki. Tentang relokasi, tak ada tanah yang terjangkau harganya bagi orang-orang yang dipindahkan serta akan jauh dari tempat kerja. Penghuni rumah susun yang akhirnya memutuskan lingkungan permukiman melalui proyek Penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perbaikan MHT, gagasan Gubernur Ali Sadikin.(Foto:Lis) keluar dari permukiman baru itupun Perumahan Pemprov DKI pada tahun memilih kembali ke permukiman kam2002 menyimpulkan bahwa kelompok sasaran (masyarakat pung. Kembali dari mula, dengan modal kosong, menempati berpenghasilan rendah) yang mendiami rumah susun yang lahan-lahan marjinal, miskin, dan kumuh. dibangun hanya 20 persen. Laporan UN Habitat dengan judul The Challengge of The Slums, Ini berarti bahwa 80 persen penghuni rumah susun adalah Oktober 2003 dalam membahas masalah permukiman kumuh golongan berpenghasilan menengah yang tidak perlu dan tidak selalu menekankan bahwa permukiman kumuh bukan hasil pantas menerima subsidi pemerintah. Pemerintah Provinsi DKI globalisasi dan ketidakadilan, tetapi lebih sebagai hasil juga merencanakan membangun 125.000 unit rumah susun pemerintahan yang buruk. Menerima permukiman informal tahun ini yang terletak di pinggiran kota, seperti Cilincing, sebagai permukiman formal merupakan konsekuensi terhadap Marunda dan Rorotan. Sekalipun fasilitas kesehatan dan arus urbanisasi yang harus diterima sebagai kenyatan dan bagian pendidikan disediakan, namun lapangan kerja penghuni masih dari rajutan dan lansekap kota. Pilihan kebijakan perbaikan di tengah kota, sedangkan angkutan umum belum mendukung. kampung sebagai habitat warga kota yang berpenghasilan Tidak seperti pada perbaikan kampung yang partisipatif, rusun rendah merupakan keputusan yang arif, mengingat besarnya pendekatannya adalah lebih bersifat teknokratik. Calon kelompok sasaran dan keterbatasan dana. Adalah keputusan penghuni tidak dilibatkan dalam proses pembangunan dan yang menentukan kebijakan yang dapat membawa pemketerikatan sosial yang ada di permukiman semula menjadi bangunan berkelanjutan. Pembangunan yang melibatkan modal retak. Dari sudut pandang tadi, tata ruang (membangun) di sosial yang ada dan memperkuatnya merupakan kunci pinggiran kota menciptakan Urban Sprawl. Peran serta pembangunan yang berkelanjutan. (Nld)
30
Volume 37 • KIPRAH
LAPORANUTAMA
Perlu Pengakuan Pemerintah
P
enghuni permukiman kumuh itu silih berganti. Menurut perhitungan dari UN Habitat, tahun ini itu sudah terlampaui target pengentasan pemukim yang tinggal di permukiman kumuh, yakni 100 juta orang Dodo Yuliman, Praktisi di Asia. Tetapi kenyataannya, UN Habitat.(Foto:Dok.) jumlah pemukim kumuh yang baru bertambah banyak. Mereka hidup di daerah-daerah ilegal, seperti bantaran sungai, pinggiran rel KA dan lain-lain, yang sangat rentan terhadap bencana banjir, penyakit menular, kriminalitas dan juga penggusuran. Kerentanan itu yang menjadi program MDGs karena mereka tetap memiliki hak yang sama dengan yang lain, walaupun hidup mereka kurang beruntung.
Studi kasus di Brazil menunjukkan hampir 20 % penduduk kota Rio de Janeiro tinggal di permukiman kumuh. Program perbaikan permukiman kumuh dilakukan secara sistemik dan transparan dengan melibatkan semua pihak. Mulai dari menyelipkan rumah yang layak di permukiman kumuh sampai merelokasi permukiman yang rawan longsor ke lokasi yang lebih aman, tetapi tetap dekat dengan lokasi yang lama. Di Srilangka, pemerintahnya mencanangkan program 1 juta rumah dengan menumbuhsuburkan koperasi-koperasi dan bank perempuan. Program tersebut berjalan efektif karena mendukung kepentingan dan kebutuhan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kesehatan. Di Filipina, pernah punya program perumahan yang cukup baik pada tahun 90-an, yakni program pinjaman perumahan untuk komunitas.
Langkah yang dapat dilakukan adalah pengakuan terhadap mereka. Ini Sementara di Thailand, pemerintah pernah dilakukan Walikota Solo untuk dan swasta terlibat dalam pengempermukiman di sebelah utara kota Solo. bangan permukiman kumuh yang Kurang lebih ada sekitar 200 KK dan menghabiskan dana cukup besar. diperparah dengan krisis ekonomi yang Akan tetapi, hasilnya cukup kelihatan, menjadikan permukiman menjadi dengan permukiman yang sangat padat, tidak teratur, dan tidak terpola. rapi, air bersih, dan sanitasinya bagus. Saat itu, walikota akan memberikan status yang legal dengan syarat mau Proyek Rusunawa sebagai upaya mengurangi Di Indonesia, masih belum terlihat ditata. Masyarakat daerah tersebut daerah kumuh perkotaan (Foto:Lis) secara jelas keberhasilan programmenerima karena di “manusiakan”. program pemerintah dalam perPendekatan ini sangat humanistik yang jarang ditemui di kotabaikan kampung karena penduduk yang relatif besar dikota besar lainnya. bandingkan dengan Thailand. Setelah adanya pengakuan, perlu adanya dukungan dalam bentuk teknis, seperti infrastruktur dan sanitasi. Hal ini sangat diperlukan untuk mencegah segala macam penyakit yang dapat mengakibatkan lost generations . Berikutnya, pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Dengan adanya pengakuan, mereka dapat meminjam uang kepada bank untuk menjalankan usaha untuk mempertahankan hidupnya. Program-program selain pemerintah, seperti NGO, swasta, dan lain-lain juga sangat mudah mengalir ke daerah tersebut. Akhirnya, diharapkan dengan program-program yang masuk secara sistemik dapat mengentaskan kemiskinan dan dapat meningkatkan kualitas dari permukiman kumuh.
Jadi, yang perlu dilakukan untuk penanganan permukiman adalah recognition (pengakuan), dukungan, dan memberikan program-program yang siap untuk berjalan secara sistemik dan sesuai spesifikasi masyarakatnya. Program pemerintah seribu tower rumah susun belum optimal. Dengan jumlah lantai yang tinggi, perawatannya menjadi mahal untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Akhirnya, ditinggalkan penghuni aslinya, disewakan ke sembarang orang. Rusun baru juga banyak yang dihuni oleh masyarakat yang mampu, padahal sebenarnya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Relokasi diperlukan bagi daerah yang berbahaya, akan tetapi perlu memperhatikan lokasi yang tepat bagi mereka untuk perekonomiannya. Semua tinggal berpulang dari political will pemerintah untuk melindungi segenap masyarakatnya.(Nld)
KIPRAH • Volume 37
31
LAPORANUTAMA Perlu Kebijakan Optimal dalam Mengakomodasikan Warga
S
ejatinya pemerintah pusat dan daerah telah, sedang, dan terus berbuat banyak untuk mengatasi problem kawasan kumuh, baik secara struktural maupun non struktural. Berbagai pola Anita Firmanti, Kepala dan metode penanganan telah pula Puslitbang Permukiman. (Foto:Dok.) dilakukan, antara lain dengan revitalisasi, menata ulang kawasan, dan membangun rusunawa. Namun, karena persoalannya bukan teknis semata, melainkan juga menyangkut perilaku manusia yang terkait erat dengan kemiskinan, keterbatasan, dan kepadatan, maka perlu kebijakan yang optimal dalam mengakomodasikan aspirasi warga, seperti diungkapkan Anita Firmanti, Kepala Puslitbang Permukiman Kementerian PU. “Prinsipnya adalah dari dan untuk mereka. Dan, merelokasi tempat tinggal tanpa mempertimbangkan latar belakang ekonomi dan tempat kerja dapat dipastikan akan mengalami kegagalan,” tegas Anita. Ia mencontohkan upaya yang dilakukan saat merelokasi warga bantaran Kali Ciliwung dan Cipinang ke rusunawa yang dibangun 1995 ternyata tak mampu menarik minat penduduk karena tarif listrik dan air di sana dianggap mahal, juga luas kamar yang dirasa sangat sempit. Lantaran tak diminati, pemanfaatan rusunawa itu akhirnya tak lagi sesuai peruntukannya.
Selain itu, tindakan tegas kurang diperlihatkan pemerintah dalam usaha menertibkan permukiman. Pemerintah di satu sisi menghimbau penduduk untuk pindah, tetapi di sisi lain melegalisir status kependudukan warga. Kenyataannya, 90 persen warga bantaran Ciliwung memiliki KTP resmi dan legalitas listrik sebagai sumber penerangan. Melihat permasalahan itu, konsep Anita Firmanti sewaktu menangani kawasan kumuh Cigugur, Cimahi, dan Jabar, yang konon terpadat di dunia (500 orang/ha), agak berbeda karena melalui jalur konsolidasi lahan dan membangun rusunawa sebagai tempat penampungan sementara. Tipologi bangunan dan prasarana infrastrukturnya sangat memperhatikan kondisi lokal dengan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat, sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pengawasannya. Proyek yang akan selesai tahun 2012 tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi model bagi daerah lain dalam mengatasi permukiman kumuh. Seperti kota-kota besar lain, Bandung pun menghadapi problem kawasan kumuh yang tak ringan dan perlu penanganan, seperti kawasan kumuh Kampung Cicadas, Dewi Sartika, Babakan Surabaya, di pinggiran rel KA, bantaran kali, atau kolong jembatan.(Joe)
Masalah Sosial Harus Diperhatikan
M
Kalau persoalan teknis mungkin tidak begitu masalah, akan tetapi persoalan lainnya itu yang agak rumit. Hal terpenting adalah mekanisme pendekatan secara sosiologis.
penataan kawasan-kawasan kumuh di Indonesia. Upaya pemerintah untuk mengatasi permukiman kumuh sebenarnya telah dilakukan. Misalnya, pembangunan Rumah Susun (Rusun) sebagai salah satu upaya agar orang yang tinggal di lingkungan kumuh bisa hidup layak di suatu tempat yang Mulyadi, Wakil Ketua Komisi V telah disediakan melalui proDPR-RI (Foto:Dok.) gram pemerintah, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Saat ini, di DPR telah masuk Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2010 terkait dengan Rancangan Undang-Undang Pengalihan Hak atas Tanah untuk Kepentingan Pembangunan. Apabila RUU itu sudah selesai, hal itu merupakan salah satu instrumen untuk mempercepat pembangunan, termasuk untuk
Akan tetapi, persoalan lainnya adalah kita harus betul-betul menyinkronkan antara tempat tinggal warga dengan tempat beraktivitasnya sehari-hari. “Walaupun sudah kita sediakan rusun yang bagus, tapi jauh dari pekerjaan mereka, maka mereka enggan untuk menempatinya,” imbuhnya. (Jons)
asalah penataan kawasan kumuh terkait erat dengan dua persoalan sosial. Pertama, masalah pembebasan lahan yang merupakan persoalan kompleks yang menjadi kendala dalam pembangunan infrastruktur permukiman. Kedua, masalah status tanah, terkait dengan bagaimana cara untuk pembebasannya. Padahal jelasjelas tanah negara, seperti contoh tragedi Makam Mbah Priok di Jakarta Utara yang menelan korban jiwa dan puluhan lukaluka.
32
Volume 37 • KIPRAH
LAPORANUTAMA
Rumah susun sebagai tampungan sementara bagi warga yang terkena perbaikan kampung di Cimahi, Jawa Barat. (Foto:Lis)
Penanganan Permukiman Kumuh Kota Cimahi Oleh: ** Pardino
P
osisi Kota Cimahi yang secara geografis berbatasan langsung dengan Kota dan Kabupaten Bandung mendorong urbanisasi dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, sekitar 2% per tahun dan rerata densitas penduduk = 1.331 jiwa/km2 (Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, 2006). Kombinasi hal tersebut dengan kebutuhan hunian, keterbatasan penghasilan, serta lahan perkotaan yang mahal menyebabkan permukiman kota tumbuh tanpa mempertimbangkan visi sustainabilitas; dampak derivatifnya berupa degradasi kualitas lingkungan. Kelurahan Cigugur Tengah merupakan salah satu kawasan dengan kepadatan
tinggi di Kota Cimahi yang mengalami degradasi lingkungan. Secara khusus, hal ini berakumulasi di RW 5 yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi, yakni 226 jiwa/ha akibat berdekatan dengan kawasan industri di sekitarnya. Kawasan ini kepadatan bangunannya cukup tinggi. Pola tata massa bangunan tumbuh secara organis tidak teratur. Jarak antar bangunan sangat dekat sehingga kurang baik bagi kesehatan penghuni dan rawan bahaya kebakaran. Kaum buruh tinggal di suatu rumah kontrakan berukuran rata-rata 9-18 m2, dihuni oleh perorangan atau keluarga dengan kamar mandi komunal, rata-rata
jumlah lantai bangunan rumah sewa tersebut adalah dua-tiga lantai, dengan lebar koridor rata-rata kurang dari 1 m2 yang umumnya dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas masak karena rumah sewa rata-rata tidak dilengkapi dengan dapur. Dari hasil survei, mayoritas pemukim berpendapatan antara Rp600 - Rp1 juta per bulan (36,9%). Adapun pemukim yang berpendapatan di atas Rp1 juta per bulan sebesar 25,3%. Sisanya, berpendapatan di bawah Rp300 ribu per bulan (12,5%) dan Rp300 - 600 ribu per bulan (18,1%). Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar penduduk di kawasan tersebut berpendapatan rendah. KIPRAH • Volume 37
33
LAPORANUTAMA dalam penanganan kawasan kumuh kota. Responsiveness memerlukan kelembagaan pemkot yang tanggap terhadap stakeholders. Hal ini dapat direalisasikan melalui Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) yang diarahkan sebagai perencana integrasi program berbagai dinas, seperti pengentasan kemiskinan, perbaikan lingkungan hidup, serta pemberdayaan ekonomi. Selain task-force proses pembelajaran pengetahuan kelembagaan. Visi jangka panjang ke depan diharapkan Pokjanal berhasil menghimpun segenap program pembangunan serta keterpaduan Dinas Pemkot Cimahi guna menangani pembangunan kawasan kumuh di daerahnya.
Diskusi kelompok menentukan tipe dan jenis bangunan yang akan dibangun. (Foto:Pardino)
Pada sisi lain, pengeluaran rata-rataRp956.378 per bulan. Hal ini berarti tidak ada saving di golongan masyarakat tersebut. Kondisi ini mengimplikasikan prioritas kehidupan warga akan cenderung membutuhkan upaya keras guna mencapai penyadaran tentang kualitas bermukim. Selain itu tingkat kemampuan warga untuk berpatisipasi dalam penanganan kawasan secara finansial juga rendah.
internal perkotaan, pengentasan permukiman kumuh dapat diupayaan melalui sinergi penyelesaian masalah kemiskinan, kualitas lingkungan hidup, dan kapasitas
Untuk itu komunikasi dan koordinasi yang efektif antara pemkot dan masyarakat dalam rangka pembentukan visi kolektif perlu informasi yang handal dan terfokus pada problem solving. Dan ini merupakan dasar kerja sama yang vital dalam penataan kawasan kumuh. Focus Group Discussion(FGD) berbasis active learning merupakan sarana untuk mencapai kondisi tersebut karena strategi ini menempatkan pemkot - masyarakat sebagai mitra (identitas baru) yang harus memberi solusi atas persoalan bersama, misal-nya aplikasi proposal bisnis ke pihak swasta. Good Public Expenditure (GPE)
Padahal upaya peningkatan Menurut World Bank dalam kualitas lingkungan permu“Mengoptimalkan Kontribusi kiman yang berwawasan susDesentralisasi Bagi Pembanguntainabilitas hanya dapat dicapai an: Metodologi Kerangka Kerja melalui penataan ulang kawaPengukuran Kinerja Pemerintah san menuju sinergi efisiensi tata guna lahan, konservasi Gambar. Posisi Spasial Kota Cimahi terkait Perkembangan Regional Daerah” (2008), Otonomi Daerah menggiring penganggaran lingkungan, serta aktivitas ekopembangunan untuk menuju pencapaian nomi. Proses ini membutuhkan ke- daerah, termasuk pengelolaan kotanya. GPE yang dapat ditengarai melalui mampuan finansial, minimal 30% dari pengelolaan keuangan publik, kinerja pendapatan harus dialokasikan untuk Karenanya, pemerintah kota yang fiskal, penyediaan publik (fokus pada mampu menerapkan prinsip Good Goverpembiayaan infrastruktur. pendidikan, kesehatan, prasarana), dan nance, khususnya prinsip responsiveness iklim investasi. Iklim investasi ini diinKarenanya, pada konteks pengembangan dan strategic vision, amat diperlukan
34
Volume 37 • KIPRAH
LAPORANUTAMA dikasikan melalui pelatihan manajemen usaha, pelatihan angkatan kerja, promosi perdagangan, menghubungkan badan usaha kecil dan besar, pelatihan aplikasi kredit untuk UKM, dan program penyesuaian usaha. Model penanganan kawasan permukiman kumuh seperti ini sanagat didukung Walikota Cimahi yang peduli terhadap daya saing daerahnya melalui eksplorasi sumber-sumber pembiayaan yang berbasis competitive advantage, yakni industri kreatif. Kemampuan daerah untuk menggali keuangan sendiri serta keterbatasan sumber daya alam daerah sebaiknya mengadopsi strategi pilot project (inspiratif dan replikatif) sebagai solusi pembangunan permukiman. Operasionalisasinya melalui Pokjanal (Kelompok Kerja Instansional) yang mengintegrasikan berbagai program/kegiatan dinas berbasis kluster. Koordinasi dan integrasi program/kegiatan antar dinas akan mengefisienkan pembiayaan pembangunan. Kemitraan dengan swasta
Kapasitas
serta mampu berkoordinasi dengan pemkot sesuai kebutuhan prioritasnya.
Ketidakmerataan akses terhadap informasi menyebabkan ketidakseimbangan partisipasi yang dapat berujung pada ketidak-puasan terhadap program pembangunan maupun ketidaktepatan sasaran implementasi.
Pembahasan atas penanganan kawasan kumuh perkotaan merupakan diskursus yang kian mengarah pada peran penting aspek-aspek kelembagaan, pembiayaan, serta pemberdayaan masyarakat.
Strategi Peningkatan Masyarakat
Oleh karena itu, akses terbuka terhadap informasi mengenai program penanganan kawasan kumuh merupakan tahap penting untuk meningkatkan partisipasi, demokratisasi, serta menjadikannya prioritas komunitas. Peningkatan dan pemerataan akses ini dilakukan berdasar prinsip gender equality, yakni melibatkan pria dan wanita sesuai kapasitasnya.
Tentu dukungan aspek teknis tetap menjadi komponen integral seiring dengan kebutuhan untuk mengatasi keterbatasan lahan, persyaratan bangunan gedung, ataupun rekayasa perilaku. Sejumlah kesimpulan yang dapat diperoleh atas uraian di atas, meliputi: Pertama, penataan kawasan kumuh perkotaan memerlukan upaya penanganan sinergis atas isu kemiskinan, lingkungan hidup, serta kapasitas daerah, termasuk pengelolaan perkotaan. Faktor kelembagaan dan pembiayaan pembangunan merupakan isu krusial yang membutuhkan peningkatan kapasitas para pelaku pembangunan, khususnya pemkot dan masyarakat. Kedua, pemerintah kota yang mampu mengimplementasikan Good Governance merupakan prasyarat pengelolaan proses pembangunan, termasuk penataan kawasan
Pada tahun 2008 diperoleh data bahwa 35,1% komunitas Gambar. Posisi Kelurahan Cigugur Tengah dalam Konteks warga di daerah kumuh Kota Tata Ruang Kota Cimahi Cimahi memiliki usaha/wiraswasta, dimana 85,2% usaha tersebut Profil ekonomi komunitas RW 5 ini pun kumuh. mengakses bank sebagai salah satu bervariasi, mulai dari kaum miskin (pen- Ketiga, masyarakat yang sadar terhadap sumber pembiayaan. Kondisi ini meru- dapatan < USD1 per hari) hingga kelom- permukiman berkualitas, setara dalam pakan potensi untuk dikembangkan pok yang memiliki usaha dalam cakupan mengakses informasi, serta berkesebagai income source dalam penyerapan yang signifikan. Hal ini memunculkan mampuan untuk mengalokasikan ketenaga kerja, pembiayaan infrastruktur, variasi penanganan yang beragam pula. mampuan finansialnya untuk mendumodal kerja sama dengan berbagai pelaku Mulai dari yang membutuhkan imple- kung penataan kawasan kumuh menjadi mentasi kluster 1 (bantuan dan per- unsur penting dalam penataan kawasan bisnis, serta dasar pelibatan CSR. lindungan sosial), kluster 2 (pemberda- kumuh. Model penangan permukiman Pada tahun 2009 sebanyak delapan UMKM yaan masyarakat), maupun kluster 3 kumuh di kota Cimahi ini kiranya dapat kinerja bisnisnya dapat ditingkatkan (pemberdayaan UKM). menjadi contoh bagi daerah lain dalam dengan melibatkan peran swasta dalam menangani problem yang sama. pembinaan ekonomi lokal. Hal itu me- Penanganan sesuai profil target-group ini rupakan kemajuan, yang perlu diting- akan mengefektifkan upaya pember- ** Kapuslitbang SEB dan Peran Masyarakat, dayaan karena cenderung tepat sasaran Kementerian PU. katkan secara menerus. KIPRAH • Volume 37
35
LAPORANUTAMA
Kawasan Boezem Morokrembangan yang semula kumuh, kotor, dan bau kini menjadi bersih dan rapi setelah dilakukan revitalisasi. (Foto:Dok.)
Revitalisasi
Boezem Morokrembangan Oleh: **Edward Abdurrahman
B
oezem Morokrembangan di Surabaya merupakan waduk kecil yang dibangun pada zaman kolonial Belanda. Boezem ini diperuntukan sebagai penampung saluran drainase dari daerah tangkapan air serta sebagai pengendali banjir di kota Surabaya dengan catchment area yang melingkupi sebagian besar kawasan di sebelah selatannya. Sejalan dengan perkembangan kota dan kurangnya pengendalian pemanfaatan lahan mengakibatkan kawasan sekitar boezem tumbuh menjadi lokasi hunian yang tidak terkendali baik berupa kawasan kumuh (slums) maupun pemukim ilegal
36
Volume 37 • KIPRAH
(informal shelter), bahkan kawasan yang semula menjadi catchment area saat ini sudah dipenuhi hunian baik yang legal maupun penghuni ilegal, seperti di perkampungan Tambak Sari dan Kalianak Timur. Perkembangan kawasan Boezem yang sudah berlangsung puluhan tahun ini memberikan kesan kurangnya concern pemerintah dalam pengendalian dan pemanfaatan ruang di kawasan sekitar Boezem maupun penanganan Boezem sebagai sebuah infrastruktur strategis Kota Surabaya. Hal ini disadari ketika kegiatan penanganan fisik boezem akan dimulai tiga tahun yang lalu, ternyata
tumpukan sampah di areal Boezem sudah berusia lebih dari 30 tahun, begitu juga dengan proses pemanfaatan lahan sudah berlangsung semenjak 50 tahun yang silam. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat diawali dengan adanya izin sementara pemakaian tanah negara dari Kepala Kantor Pengawas Agraria Karesidenan Surabaya 15-6-1959, No. 2744/7B/1959. Perkembangan hunian di sekitar kawasan Boezem yang kurang terkendali ini telah mempengaruhi kualitas lingkungan di sekitar Boezem maupun fungsi Boezem itu sendiri. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan lahan, maka berdasarkan hasil penelitian terhadap warga yang bermukim di sekitar Boezem ter-
LAPORANUTAMA dapat warga yang memiliki KTP maupun warga yang tidak memiliki KTP, dan ada pula sebagian yang termasuk kategori keluarga musiman, yang keberadaannya bersifat temporer (Sumber: Sugiarto, Pemberdayaan Masyarakat). Memperhatikan kondisi pemanfaatan lahan di sekitar kawasan Boezem dan dinamika sosial ekonomi masyarakat yang terjadi saat ini maka untuk mewujudkan sustainabilitas penanganan kawasan boezem ke depan diperlukan langkah pemecahan yang mampu mensinergikan penanganan fisik dan non fisik. Pendekatan non fisik menjadi penting dalam penanganan kawasan Boezem karena terkait dengan sejarah kawasan dan preference masyarakat yang ingin tetap bermukim di areal tersebut. Dalam penanganan kawasan kumuh maupun squatter seperti yang terjadi di kawasan Boezem ini maka pendekatan dengan mendudukkan community sebagai subyek pembangunan akan lebih memberikan secure kepada masyarakat karena terkait langsung dengan kehidupan dan penghidupan masyarakat sebagai penghuni lingkungan (human in habitant). Melalui pendekatan ini pula, secara psikologis kita akan menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepedulian lingkungan hunian kepada masyarakat. Meskipun penanganan fisik Boezem sudah dimulai semenjak tiga tahun yang lalu seperti pengerukan dan penanganan drainase, namun keberlanjutan fungsi Boezem akan sangat ditentukan pula oleh perilaku masyarakat terhadap lingkungan. Hal ini telah terbukti dengan kebiasaan masyarakat yang selama ini membuang sampah ke sungai maupun ke boezem yang akhirnya mempengaruhi fungsi Boezem dan kualitas lingkungannya. Tentunya, hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk menemukan pola penanganan yang mampu memberikan implikasi keberlanjutan pada boezem dan lingkungan hunian di sekitar boezem. Untuk menemukan pola penanganan
aspek non fisik, diperlukan penggalian informasi primer di lapangan serta datadata yang up to date. Penanganan non f isik ini akan sangat membutuhkan ketelatenan dan keinginan untuk lebih dekat dengan masyarakat sehingga need masyarakat dapat digali lebih jauh. Untuk bisa menghasilkan solusi yang mudah diterima berbagai pihak maka penelitian (research) kawasan menjadi sebuah kebutuhan sehingga menghasilkan upaya-upaya yang lebih mudah untuk diimplementasikan. Selama ini penanganan kawasan dengan pendekatan non fisik seperti perencanaan partisipatif (participatory planning) dan pemberdayaan masyarakat (community empowering) sudah dilakukan, namun belum banyak yang diperkuat dengan penelitian yang lebih mendalam terkait peraturan kawasan dan spatial planning, potensi kawasan, rencana pengembangan kawasan (area development), preference masyarakat, dan history kawasan, yang kemudian mampu menghasilkan sebuah sustainable design. Dua pendekatan tersebut (participatory planning dan community empowering) akan semakin efektif dilakukan jika dilandasi research kawasan yang dilakukan oleh perguruan tinggi/lembaga penelitian setempat. Dengan demikian, link and match antara perguruan tinggi/lembaga studi sebagai pihak yang memahami situasi kawasan dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan akan memberikan efektivitas penanganan. Pendekatan penanganan kawasan berbasis research ini telah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi seperti Lund University Swedia, Birmingham University bekerja sama dengan pemerintah kota dalam menghasilkan sebuah penanganan kawasan berkotaan dimana perguruan tinggi berhasil memberikan gagasan desain kawasan yang mampu meng- accelerate pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Kawasan kumuh (slums) dan squatter secara umum memberikan kesan sebagai
beban pembangunan perkotaan dan hal ini tidak bisa dipungkiri. Meskipun demikian, ada dua hal penting dalam penanganan kawasan kumuh. Pertama, kawasan kumuh memiliki dinamika ekonomi, artinya masyarakat di kawasan tersebut juga memiliki potensi tentunya dengan skala terbatas. Kedua, masyarakat di kawasan kumuh memiliki kohesi yang baik di antara mereka, yang ditandai dengan mudahnya kita mendapat infomasi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, maupun aktivitas yang berkembang di antara masyarakat. Kohesi dan budaya masyarakat ini merupakan modal sosial dalam mendorong upaya penanganan lingkungan yang lebih baik. Pendekatan penanganan kawasan dengan memperhatikan situasi lokal ini mendapat dukungan dari UAI (Union of Architect International) “Sustainable by Design as a universal architectural concept, by improving knowledge, strategies and methods across different climatic, political, social, and cultural contexts. Ada dua langkah penguatan yang mungkin dilakukan, yaitu: Pertama, pemerintah memberikan dukungan kepada perguruan tinggi/lembaga studi untuk melakukan penelitian di kawasan Boezem Morokrembangan agar diperoleh informasi aktual dan preferensi masyarakat terhadap penanganan kawasan. Kedua, diperlukan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat yang sekaligus sebagai kontrol internal masyarakat. Kontrol internal masyarakat ini menjadi sangat penting karena melalui mekanisme ini efektivitas penanganan akan jauh lebih mudah dilakukan dimana kesadaran masyarakat terhadap lingkungan bisa dibangun secara terus menerus oleh dan dari masyarakat sendiri dengan pembekalan yang dilakukan melalui pendampingan masyarakat oleh tokoh-tokoh penggerak masyarakat atau LSM lingkungan. ** Kasi di Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya.
KIPRAH • Volume 37
37
LAPORANUTAMA
Kota sebagai magnet kaum urban untuk memperbaiki nasibnya.(Foto:Dok.)
Jalan Panjang menuju
Bebas Kumuh
Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan di Indonesia semakin berkembang. Kemajuan tersebut ditunjukkan dari semakin berkembangnya kota-kota kecil di Indonesia menjadi kota sedang dan besar, dengan Jakarta sebagai pusat. Sayangnya, tak sedikit pula desa-desa maupun kota-kota kecil lainnya yang tidak berkembang, sehingga terjadi ketimpangan.
K
etimpangan pembangunan ini membawa banyak dampak, salah satunya peningkatan perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau yang lebih kita kenal dengan istilah urbanisasi. Akibat semakin banyaknya orang desa yang pindah ke kota demi mencari perbaikan hidup, semakin banyak pula permukiman yang harus disediakan pemerintah kota. Oleh karena daya dukung dan daya tampung kota tidak sesuai dengan jumlah penduduk urban yang datang, sedangkan tingkat persaingan kerja sangat tinggi, maka semakin banyak pula penduduk urban miskin di
38
Volume 37 • KIPRAH
perkotaan. Selain itu, kota yang tidak siap dalam menyediakan infrastruktur permukiman dasar yang memadai, seperti kualitas perumahan yang layak, air minum, dan sanitasi, serta lahan bagi pembangunan kawasan hunian baru, mengakibatkan menjamurnya permukiman-permukiman kumuh di perkotaan. Pada dasarnya, permukiman yang masuk kategori kumuh atau tidak layak huni terbagi menjadi dua, yaitu permukiman slums dan squatters. Permukiman slums di sini adalah kawasan atau lingkungan permukiman yang tidak dilayani infra-
struktur secara memadai, tetapi status kepenghuniannya “biasanya” legal. Sementara itu, permukiman squatters adalah kawasan atau lingkungan permukiman yang dihuni oleh masyarakat secara ilegal, biasanya di tanah kosong bukan miliknya dan atau tidak pada tempat yang diperuntukkan bagi permukiman, misalnya di bantaran kali, bantaran rel kereta api, kolong tol, kolong jembatan, dan lain sebagainya. Data Bappenas menyebutkan, lahan yang digunakan untuk permukiman kumuh antara tahun 1999 sampai tahun 2004
LAPORANUTAMA meningkat dari 47,000 hektar menjadi 54.000 hektar dengan tingkat laju kekumuhan mencapai 2,9 persen per tahun. Sementara itu, sekitar 15 juta rumah yang dihuni oleh penduduk masuk kategori di bawah standar. Bahkan, hasil penelitian United Nations Development Programme (UNDP) mengindikasikan peningkatan luas permukiman kumuh mencapai 1,37 persen atau 57.800 hektar setiap tahun antara tahun 2004 sampai 2009. Meskipun demikian, memang belum ada jumlah persis penduduk yang tinggal di permukiman kumuh. Menurut Budi Yuwono, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, yang pasti adalah angka permukiman kumuh tidak bergerak turun, melainkan berpindah-pindah saja. “Dibabat di sini, muncul di sana. Jadi bisa dibayangkan, betapa kompleksnya permasalahan (permukiman) kumuh ini,” demikian tukas Budi. Munculnya permukiman-permukiman kumuh di perkotaan, menurut Budi, salah satunya adalah akibat sistem perencanaan perkotaan yang tidak sanggup menangani berbagai tantangan abad 21 dan telah gagalnya kita menampung kebutuhan untuk melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dalam perencanaan kawasan perkotaan.
Berbicara tentang cara penekanan laju urbanisasi dan penanganan permukiman kumuh di perkotaan, salah satu program pengurangan kawasan kumuh yang dilakukan Kementerian PU adalah revitalisasi, membangun, atau bisa juga intervensi kebijakan penyediaan perumahan layak huni untuk pendatang kota berupa rusunawa (rumah susun sewa). Kementerian PU merencanakan pembangunan rusunawa sebanyak 270 rusunawa berlantai 4 dari tahun 2010 sampai tahun 2014 dengan alokasi anggaran sekitar Rp 10 milyar/unit rusunawa. Alokasi anggaran tersebut fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunannya. Rencananya, 70% rusunawa akan dibangun Kementerian PU di pulau Jawa karena lebih banyak kota metropolitan dan kota besarnya. Sisanya, 20% untuk pembangunan rusunawa di pulau Sumatera dan 10% akan dibangun di Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT dan Papua. Daerah-daerah yang berhasil dalam mengendalikan kawasan kumuh di daerahnya melalui adanya rusun, antara lain adalah Gresik, Sidoarjo, Cingeset-Bandung, dan Cimahi. Dalam kesempatan yang sama, Budi membantah bahwa harga rusun yang dipatok pemerintah dikategorikan mahal.
Budi Yuwono, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum. (Foto:Dok.)
Budi mengatakan bahwa harga sewa rusunawa di tiap-tiap daerah bervariasi, tetapi cukup terjangkau. Harga sewa rusunawa yang dibangun PU paling mahal adalah rusunawa di Batam yang harga sewanya sebesar Rp200.000,-/bulan untuk ukuran 24m2. Meskipun demikian, banyak juga rusunawa yang harga sewanya di bawah itu, terutama jika kepala daerahnya berinisiatif memberikan subsidi, seperti harga sewa rusunawa di Gresik yang hanya Rp100.000,-/bulan. Selain melalui pembangunan rusunawa, juga ada beberapa kemungkinan yang bisa
Urbanisasi memang belum atau nyaris tak bisa dihentikan karena migrasi merupakan bentuk penyelamatan diri. Pemerintah juga tidak mudah untuk mengontrol ke mana, bagaimana, dan kapan penduduk akan melakukan migrasi. Seringkali program peningkatan kualitas permukiman kumuh, seperti penataan kawasan permukiman kumuh, memiliki rancangan yang kurang baik dan akhirnya menimbulkan masalah lain di kemudian hari. Dalam menghadapi situasi ini, para pembuat kebijakan akhirnya cenderung memilih untuk terus berusaha agar masyarakat miskin tetap berada di desa dan melihat mereka sebagai sumber ketidakteraturan dan kriminalitas.
Hunian Rusunawa Budha Suchi Cengkareng, Banten. (Foto:Wy) KIPRAH • Volume 37
39
LAPORANUTAMA dilakukan pemerintah dalam menekan laju urbanisasi di perkotaan. Pertama, berhenti untuk berusaha menghentikan migrasi dan mulai menghadirkan kebijakan dan program yang realistis yang dapat membantu proses urbanisasi menjadi lebih baik, baik bagi masyarakat miskin kota maupun bagi kota itu sendiri secara keseluruhan. Kedua, pemerintah juga harus terus melakukan pengentasan kemiskinan dan pembangunan manusia melalui proses bertahap. Ketiga, menjadikan kaum miskin sebagai pemeran utama dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan kota. Jika pemerintah kreatif mencari cara untuk mendukung hal tersebut dan tidak lagi mengecilkan peran kaum miskin, maka mereka dapat melakukan perbaikan permukiman dan perumahan, serta menjadi mitra dalam upaya penyediaan perumahan dan pelayanan. Memang, tidak semua kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah, khususnya Kementerian PU, berhasil. Budi Yuwono memberi contoh ada rusun yang telah selesai dibangun, tetapi sampai sekarang belum dihuni atau penghuninya
belum tentu (warga) rumah kumuh yang dimaksudkan semula. Penanganan permukiman kumuh di DKI Jakarta misalnya, rumah susunnya terbangun, tetapi kawasan kumuhnya tetap ada. Menurut Budi, kendala-kendala utama dalam penataan permukiman kumuh ada 3 (tiga), yaitu: 1. Padatnya penduduk di kawasan kumuh, terutama di squatters (bangunan ilegal dan liar) 2. Terikatnya penduduk dengan mata pencaharian sehingga dibutuhkan komunikasi terus-menerus antara pemerintah yang ingin mengurangi kawasan kumuh dengan mereka yang tinggal di situ. 3. Bervariasinya komitmen pemerintah daerah. Kendala tersulit adalah pemerintah daerah yang kurang berkomitmen. Akibatnya, pembangunan rusun terhambat atau tidak tepat sasaran. Contoh kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk membatasi migrasi desa ke kota adalah dengan mempersulit akses
ke dalam kota. Misalnya, pemberlakuan kartu identitas bagi para penghuninya. Dengan demikian, mereka yang tidak mempunyai kartu tersebut tidak mendapat akses pelayanan umum yang gratis atau bersubsidi, seperti pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi, kebijakan tersebut cenderung mengurangi jumlah tenaga kerja di kota dan meningkatkan harga barang dan jasa. Selain itu, tindakan ini juga meningkatkan tingkat kemiskinan para migran yang harus membayar pelayanan yang seharusnya dapat diperoleh secara gratis. Kebijakan lainnya adalah penggusuran paksa bagi para migran untuk kembali ke desa atau trasmigrasi. Sayangnya, seringkali program penggusuran paksa ini salah sasaran yang menyasar pada penduduk kelahiran kota yang tidak mempunyai latar belakang untuk bertani sama sekali dan tidak memiliki keinginan untuk menata hidup baru di desa. Program relokasi yang dilakukan pemerintah seringkali juga tidak mampu memberikan kesempatan kerja dan kondisi hidup yang layak, tak jarang hanya memindahkan satu lokasi permukiman kumuh ke lokasi lainnya.
Lingkungan kumuh yang tak layak huni. (Foto:Dok.)
40
Volume 37 • KIPRAH
LAPORANUTAMA Dengan demikian, program-program tersebut tidak dapat berjalan secara optimal. Pemerintah, khususnya Kementerian PU, merasa bahwa semua permasalahan ini merupakan tanggung jawab seluruh stakeholders, bukan hanya tanggung jawab pusat semata. Budi Yuwono menjelaskan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota juga harus punya komitmen untuk pengentasan kawasan kumuh di daerahnya. “Harus ada strategi dari pemerintah daerah, baik kabupaten maupun kota, untuk mengatasi masalah itu. Baru kita (pusat) masuk ke sana. Kalau pemdanya tidak ikut memiliki program itu, ya repot.” Budi Yowono sendiri dengan tegas menyatakan, perencanaan kota yang berhasil itu bila dilakukan secara partisipatif. Artinya, melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan program. “Peran masyarakat dalam perencanaan kota telah dikuatkan melalui UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.” Perencanaan kota yang partisipatif menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya pemerintah kota. Hal ini yang diwujudkan dalam Rencana Stategis Pembangunan Permukiman Perkotaan dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah, yaitu terselenggaranya perencanaan kota yang berkeadilan, berkelanjutan, dan manusiawi sehingga dapat mewujudkan kota sebagai permukiman layak huni serta berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tetapi Budi Yuwono mengakui, implementasi program masih lemah, terutama menyangkut koordinasi, komitmen, dan keterbukaan dari masing-masing pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah. Faktanya, banyak pemda masih mengabaikan kewajibannya untuk membuat rencana tata ruang dan melaksanakannya secara konsisten. Padahal, perencanaan kota yang tidak partisipatif akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, sehingga jumlah masyarakat miskin kota bukannya berkurang, tetapi
Upaya revitalisasi City Walk kawasan Jalan Slamet Riadi kota Solo. (Foto:Istimewa)
justru semakin bertambah. Budi mencontohkan, para pedagang pasar tradisional yang tergusur akibat maraknya pembangunan kawasan perdagangan skala besar. Pendirian mini market yang menyingkirkan sedikitnya 20 pedagang pasar tradisional. Bahkan, Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APSI) mencatat ada 8 pasar tradisional tutup di Jakarta pada awal 2008 gara-gara tidak mampu bersaing dengan pasar modern. Contoh keberhasilan pemerintah daerah dalam menerapkan perencanaan pembangunan kota yang partisipatif dengan keterlibatan penuh masyarakat adalah kota Solo. Walikota Solo mengandalkan komunikasi yang intensif dengan masyarakatnya, terutama masyarakat (dari kawasan) kumuh. “Buktinya, dia berhasil memindahkan masyarakat yang tinggal di bantaran kali ke tempat baru. Rumahrumah yang semula membelakangi kali, sekarang memutar menghadap kali, dan (bagian) depannya diikhlaskan untuk jalan. Belum lagi pembinaan-pembinaan kawasan home industry, seperti di Lawean, yang ditata rapi,” tutur Budi. Tidak saja berhasil menangani permukiman kumuh, pemerintah kota Solo juga berhasil merevitalisasi pasar-pasar tradisional, pedagang kaki lima, sehingga
ekonomi informal dan lokal tradisional terselamatkan. Pemerintah Indonesia juga berupaya mencapai target-target Millennium Development Goals (MDGs), yang salah satu targetnya adalah untuk membebaskan semua kota dari permukiman kumuh di tahun 2020. Sebagai permulaan, pemerintah menargetkan 270 kota di Indonesia bebas permukiman kumuh di tahun 2010, kemudian meningkat menjadi 350 kota pada tahun 2015. Pada dasarnya, MDGs merupakan kesepakatan internasional yang sasarannya telah diterapkan di berbagai bidang, salah satunya mengurangi daerah kumuh, penyediaan sanitasi dan air bersih. Budi menyatakan bahwa target MDGs di tahun 2015 nanti bisa tercapai, meskipun masih harus bekerja keras untuk pencapaian semua program MDGs. “Akan tetapi, jika ditanyakan bagaimana hasilnya,” sekali lagi Budi menegaskan, “tidak mungkin hanya pusat sendiri yang melakukan. Jadi, diperlukan sinergi dan komitmen juga dari pemerintah daerah kabupaten/kota.” Agaknya, pembangunan permukiman dan perkotaan, khususnya permukiman ku-muh, masih harus melalui perjalanan yang cukup panjang, seiring dengan dinamika perkembangan kotanya. (Joe&Endah) KIPRAH • Volume 37
41
GALERIFOTO
W Paviliun Indonesia tampak depan.(Foto:Lis)
Warna warni payung menghiasi Paviliun Indonesia. (Foto:Lis)
Pembukaan Paviliun oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa. (Foto:Lis)
Tari Pendet Bali. (Foto:Lis)
42
Volume 37 • KIPRAH
orld Expo Shanghai merupakan ajang berkumpulnya masyarakat dunia untuk berbagi pengalaman dan keberhasilan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Expo yang dibuka selama 6 bulan dimulai sejak 1 Mei 2010 dan akan berakhir 31 Oktober 2010 ini resmi dibuka oleh Presiden RRC Hu Jintao pada jumat (30/4). Luas area expo seluruhnya 5,28 km2, terletak di tengah kota dan di tepi sungai Huang Pu, di antara jembatan Nan Pu dan jembatan Lu Pu. Kurang lebih 200 negara dan 47 organisasi International akan mengikuti World Expo ini. Tema expo kali ini adalah Better City, Better Life yang mempunyai arti kota membuat kehidupan yang semakin membaik. Tema pavilion dalam World Expo ini terbagi 5 (lima), yakni Urban Footprints, Urban Planet, Urban Dwellers, Urban Beings, and Urban Dreams Paviliun Indonesia seluas 4.000 m2 dengan bangunan 2400 m2, mempunyai tema BioDiverCity. Tema itu diambil dari rangkaian kata Bio (kehidupan) – Diverse (keanekaragaman) dan City (kota) yang menghadirkan keanekaragaman budaya Indonesia dengan menampilkan keharmonisan antar manusia dan lingkungannya. Paviliun Indonesia menampilkan desain tropis kontemporer yang melambangkan keterbukaan melalui material bambu.(Lis)
Antrian pengunjung Paviliun Indonesia. (Foto:Lis)
Anyaman bambu sebagai Keanekaragaman biota laut pelengkap bangunan. (Foto:Lis) Indonesia. (Foto:Lis)
GALERIFOTO
Meriahnya acara pembukaan World Shanghai Expo 2010 Urban Planet. (Foto:Lis)
Paviliun Latvia. (Foto:Lis)
Paviliun Afrika. (Foto:Lis)
Paviliun Estonia. (Foto:Lis)
Paviliun Belanda. (Foto:Lis)
Paviliun Ukraina. (Foto:Lis)
Paviliun UK. (Foto:Lis)
KIPRAH • Volume 37
43
SELINGAN
Melongok Lombok Pantai Kuta, Lombok. (Foto: Remo)
“I love the blue of Indonesia......” Masih ingat jingle salah satu iklan produk rokok barusan? Jingle itu yang spontan meluncur dari mulut ketika mata disuguhi pemandangan birunya Pantai Senggigi.
A
pa yang orang jumpai di Lombok, belum tentu ada di Bali. Sebaliknya, apa yang orang jumpai di Bali, pasti ada di Lombok. Ini berarti Lombok lebih lengkap daripada Bali, demikian promo seorang teman yang memang asli orang Lombok. Sebagai contoh, di Lombok orang bisa menjumpai Pura, tetapi di Bali orang tidak akan menemukan rumah-rumah adat Suku Sasak.
botol yang bisa digunakan sebagai hiasan di dalam rumah.
Dari segi itu, bisa jadi benar. Lombok, dengan daerah wisata andalan Pantai Senggigi dan Gunung Rinjani, juga mempunyai Pantai Kuta yang bahkan lebih menarik dari Kuta Bali karena selain pantainya masih bersih, pasirnya juga putih. Di beberapa lokasi, bahkan butiranbutiran pasirnya sebesar merica. Oleh warga setempat, butiran-butiran pasir itu dijual kepada wisatawan dalam wadah
Soal makanan khas, kalau di Yogya terkenal dengan gudegnya, di Lombok terkenal dengan Plecing Kangkung dan Ayam Taliwangnya. Kedua jenis makanan itu berbumbu sambal dengan bahan dasar cabe atau lombok. Tetapi jangan terus menyamakan sifat orang Lombok dengan cabe yang biasanya pedas dan panas. Ini karena menurut bahasa setempat, berdasarkan keterangan H. Lalu Suhaemie
44
Volume 37 • KIPRAH
Selain itu, Lombok juga memiliki beberapa obyek wisata lain yang sangat menarik, di antaranya Gili Terawangan, Gili Meno, Gili Air, Gili Nangu, Gili Sundak, Gili Tangkong, Cakranegara, Sentanu, Tetebatu, Air Terjun Sendang Gile, Hutang Monyet Pusuk, Taman Narmada, dan Taman Mayura.
dari Dinas Pariwisata Lombok Barat, lombok berarti lurus. “Jadi bukan karena masakannya pedas-pedas, maka wilayah bagian NTB itu dinamai Lombok. Kesalahpahaman itu yang harus dibetulkan, juga pendapat bahwa orang Lombok itu keras (panas) sesuai dengan nama daerahnya,” tegasnya. Pulau Seribu Masjid Pulau Lombok memiliki luas 5.435 km2, berdasarkan sensus tahun 2001, memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.722.123 jiwa. Hampir 90% penduduknya beragama Islam. Berbeda dengan Bali yang karena mayoritas penduduknya beragama Hindu, maka amat banyak dijumpai Pura sebagai tempat beribadah sehingga dikenal dengan Pulau Seribu Pura, maka Lombok dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam dikenal dengan Pulau
SELINGAN Seribu Masjid karena banyaknya masjid yang tersebar di daerah itu. Suatu langkah yang berani, mengingat wisatawan, utamanya asing, dan masih sering mengkaitkan antara masjid, Islam dengan terorisme. Apalagi bom Bali yang menelan ratusan korban beberapa tahun lalu sempat membuat Bali sepi dari turis.
pribadi dalam waktu kurang lebih 30 menit. Di sepanjang Pantai Senggigi banyak dijumpai hotel dari mulai kelas melati hingga bintang lima. Untuk urusan makan, wisatawan juga tidak perlu bingung, karena banyak restoran yang berderet di sepanjang jalan, dari ukuran kecil hingga besar.
Namun, Suhaemie optimistis sebutan Pulau Seribu Masjid bagi Lombok tidak akan menghalangi kedatangan turis lokal maupun asing. Hal Ini karena peran ulama dengan tokoh adat dan pemerintah saling bersinergi. “Islam itu rahmatan lil alamin. Jadi, siapapun yang kemari, monggo. Gak diganggu,” ujar Suhaemie, yang mengaku pernah sukses mendatangkan satu kapal berisi dua ribu turis yang berangkat dari Benoa, Bali, dan sebuah kapal turis yang datang langsung dari Darwin Australia.
Setiap bulan Juli, bertepatan dengan musim liburan, Pemerintah Daerah Lombok menggelar Festival Senggigi yang menampilkan kesenian dan kebudayaan setempat. Dipilih Senggigi sebagai
Lebih dari itu, sasaran turis lain yang berpotensi bagi Lombok, selain Australia dan negaranegara dari benua lain, juga turisturis dari negara-negara di Timur Tengah, seperti Dubai. Negara ini konon bahkan be-rencana menanamkan modalnya untuk membangun sebuah resor di Lombok. Festival Senggigi Berkunjung ke Lombok bisa kapan saja. Setiap hari ada penerbangan langsung, baik dari Bali, Jakarta, maupun dari Surabaya. Dari Bali bahkan bisa dicapai dengan kapal feri yang melayani penumpang setiap 30 menit sekali dengan waktu tempuh kurang lebih empat setengah jam. Dengan pesawat, perjalanan dari Jakarta bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih dua jam, dari Surabaya sekitar 40 menit, sedangkan dari Bali hanya selama 20 menit. Dari Bandara Selaparang umumnya wisatawan langsung menuju ke Senggigi yang bisa ditempuh dengan taksi atau mobil
turis itu merupakan suatu permainan adu fisik dengan menggunakan perisai sebagai tameng dan pemukul dari rotan. Dua pemain yang diadu diambil dari penonton. Menurut Suhaemie, Perisaian sebenarnya merupakan permainan rakyat yang dilakukan sebagai ritual untuk mendatangkan hujan. Setiap musim kemarau yang panjang, dimana daerahdaerah sudah mulai mengalami kekeringan, masyarakat Lombok melakukan atraksi Perisaian. Dengan saling menyerang dan memukul hingga berdarah-darah, diharapkan Tuhan menyirami mereka dengan menurunkan hujan. Namun, sekarang ini Perisaian selain dilakukan untuk tujuan ritual juga ditampilkan sebagai hiburan.
Pemain Perisaian terdiri dari dua orang yang dipimpin oleh satu wasit. Pertarungannya sendiri dilakukan dalam empat babak atau ronde. Layaknya tinju, setiap ronde mereka diberi kesempatan untuk bePerisaian. (Foto: Remo) ristirahat selama beberapa menit. Pada ronde ke empat, wasit akan memutuskan siapa yang tema festival karena daerah tersebut menang dan siapa yang kalah. Kadangmasih merupakan pendongkrak utama kadang tidak sampai empat ronde wasit pendapatan asli daerah (PAD) NTB. sudah bisa memutuskan pemenangnya Festival yang dimulai sejak tahun 2003 itu apabila salah satu pemain menyerah. terus menggeliat dan berkembang sampai sekarang. Yang tadinya hanya bersifat Saling pukul dan sabet di antara pemain lokal, dengan diikuti oleh 15 kecamatan terjadi begitu cepat karena goresan di Lombok Barat, sekarang sudah diikuti merah di pinggang ataupun di perut tahuoleh beberapa kabupaten kota di NTB. tahu terlihat pada saat pemain beFestival tersebut dimaksudkan untuk ristirahat di setiap ronde. Seperti tinju, meningkatkan dan menge-nalkan nilai- sekali-sekali wasit harus memisahkan kedua pemain saat adu pukulnya nilai budaya masyarakat Lombok. terlalu rapat dan dirasa membahaPerisaian yakan. Yang menarik, setiap kali dipisahkan satu sama lain, masing-masing Salah satu atraksi yang dipertontonkan pemain akan menari-nari dengan gaya setiap hari, dari mulai jam 16.00 waktu yang khas. Selanjutnya, pertandingan setempat hingga maghrib, adalah Peri- diakhiri dengan saling berpelukan saian. Pertunjukan yang banyak menye- setelah salah satu pemain dinyatakan dot perhatian masyarakat, termasuk para sebagai pemenang. (Patitis SR) KIPRAH • Volume 37
45
TAHUKAHANDA
Permukiman liar di sepanjang bantaran rel kereta api, di daerah Papanggo Jakarta Utara. (Foto:Joe)
Tridaya Pendekatan pembangunan permukiman dengan tiga sasaran pemberdayaan sebagai satu kesatuan upaya, yaitu pemberdayan masyarakat, pemberdayaan lingkungan, dan pemberdayaan kegiatan usaha.
memburuk, baik secara fisik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya. Sarut ( Saringan air rumah tangga) Prasarana untuk pengolah air tanah atau air permukaan yang mempunyai kulitas sesuai dengan kriteria tertentu atau menjadi air bersih.
Ventilasi udara Lingkungan Permukiman Lubang yang berfungsi mengeluarkan gas yang terakumulasi dalam pipa untuk menyesuaikan tekanan udara dalam saluran atau manhole menjadi sama dengan tekanan udara luar. NUSSP (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project) Kegiatan penanganan perumahan dan permukiman kumuh dengan menggunakan dana pinjaman dari Asian Development Bank.
Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. KLB (Koefisien Lantai Bangunan) Koefisien perbandingan antara luas seluruhan lantai bangunan gedung dan luas persil/ kaveling/blok peruntukan.
Permukiman Kumuh
dalam satu lingkungan tempat hunian yang memiliki WC dan dapur, baik menyatu dengan unit maupun bersifat publik, dan diperoleh melalui kredit kepemilikan rumah dengan subsidi maupun tanpa subsidi. Kasiba (Kawasan Siap Bangun) Sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih dan pelaksanaanya dilakukan secara bertahap yang lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder. Prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan. Gentrifikasi
Rusunami (rumah susun sederhana milik) Lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau
46
Volume 37 • KIPRAH
Bangunan bertingkat yang dibangun
Perubahan stratifikasi sosial; stratifikasi penduduk kota tingkat bawah dari ka-
TAHUKAHANDA wasan kumuh di daerah tengah kota yang kemudian menjadi permukiman mewah lengkap dengan segala fasilitas kehidupan bagi golongan yang mapan, kaum eksekutif profesional, ekonomi kuat, dsb
san yang lain. Umumnya, rumusan yang tertulis di dalam suatu panduan rancang kota dibuat sedemikian rupa tanpa mengurangi kreativitas arsitek. Squatter (Penghuni Liar)
Kawasan Kumuh Bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan yang ditujukan dengan kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat, serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sarana pra-sarana sosial budaya. UDGL ( Urban Design Guidelines) Suatu perangkat pengaturan berupa panduan/arahan desain tata bangunan berikut lingkungannya untuk suatu kawasan/bagian kota tertentu. Materi panduan rancang kota yang bersifat spesifik sesuai keragaman yang ada antara suatu kawasan dengan kawa-
Orang-orang atau kelompok orang yang menghuni atau menempati suatu kawasan, lahan, atau bangunan tanpa ijin resmi Slums ( Kawasan Kumuh legal) Suatu kawasan permukiman yang dilihat dari keabsahan keberadaanya yang tidak melanggar hukum.
2. Fasilitas umum yang kondisinya kurang dan tidak memadai. 3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya. 4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komunitas yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial.
Beberapa fakta tentang permukiman kumuh:
5. Penghunian permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen.
1. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal, baik secara fisik, kesehatan, maupun sosial.
6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencarian tambahan di sektor informal. (Iip)
untuk mengubah restoran menjadi sesuatu yang unik, seperti menambah suasana pedesaan pada restoran, menambahkan karaoke, menyediakan makanan ekstrim, dan masih banyak lagi.
Restoran ini sangat ramai karena selain konsepnya yang unik dan kreatif, restoran ini hanya berjarak beberapa kilometer dari bandara Okinawa, sehingga banyak turis yang menyempatkan diri untuk makan di restoran ini.
Yang unik...
U
ntuk dapat menarik pengunjung untuk makan ke restoran, biasanya pihak restauran mengubah gaya restorannya menjadi lebih unik dan aneh. Banyak cara yang dilakukan
Dan percaya ga percaya, ternyata ada seorang pemilik restoran yang membangun restoranya di atas pohon. Lho? kok bisa? Ya, tentu saja bisa. Restoran ini ada di Okinawa, Jepang. Restoran ini berdiri di atas pohon Gajamaru dengan ketinggian 20 kaki.
Di restoran ini, kalian bisa memesan beraneka jenis makanan Asia seperti makananJepang, Korea, China, India, dan Asia Tenggara. Dan perlu diketahui, ternyata pohon yang dijadikan penumpu retoran ini adalah pohon asli lho. Pohon ini memang sangat besar dan kuat sehingga sanggup untuk menahan beban bangunan restoran ini. Berminat untuk makan di restoran ini? Silahkan datang ke Okinawa, Jepang.(Iip)
KIPRAH • Volume 37
47
JELAJAH
Kegiatan pengerukan flood way Sedayu Lawas untuk mengangkat volume sedimen sebesar 1,4 juta m3. (Foto:Dok.)
Flood Way Dikeruk,
Banjir pun Berkurang
M
enteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, menyambut baik upaya pengerukan flood way Sedayu Lawas di Lamongan, Jawa Timur, yang hasilnya dapat mengurangi dampak banjir akibat luapan sungai Bengawan Solo. “Banjir Sungai Bengawan Solo yang kerap melanda wilayah Cepu, Bojonegoro, Babat, Lamongan, hingga Gresik untuk tahun ini dapat diminimalisir berkat selesainya pengerukan bangunan sodetan (flood way) Sedayu Lawas sepanjang 12.500 meter oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo,” ujar menteri saat meninjau prasarana pengendali banjir di Lamongan, Jawa Timur awal April lalu.
kurang dari 1,4 juta M3 sedimen yang harus diangkat dari badan saluran yang selama ini menjadi salah satu penghambat atau penyebab terjadinya banjir dan genangan di daerah Bojonegoro dan Lamongan. Untuk itu, dibutuhkan dana sekitar Rp 23 milyar berasal dari dana stimulus APBN 2010.
Graita Sutadi, Kepala BBWS Bengawan Solo, dalam laporannya mengatakan, tak
Padahal flood way ini dirancang untuk bisa mengalirkan air Bengawan Solo dengan
48
Volume 37 • KIPRAH
“Bangunan sodetan ini, sejak selesai dikerjakan tahun 2001 oleh Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Bengawan Solo waktu itu, belum pernah dilakukan pengerukan, sehingga sedimennya sangat tinggi dan menghambat aliran air Bengawan Solo menuju pantai utara laut Jawa,” ujarnya.
debit sebesar 640 M3 per detik, namun karena tiadanya dana operasi dan pemeliharaan (O&P), fungsinya menjadi menurun dan hanya mampu mengalirkan air dengan debit 230 hingga 416 M3 per detik. Akibatnya, banjir dan genangan selalu datang saban tahun setiap musim hujan tiba, terutama di wilayah Bojonegoro dan Lamongan. “Fakta menunjukan bahwa masalah O&P sangatlah penting. Tak kalah pentingnya dengan pembangunan,” tegas Graita. Bahkan, terhadap bangunan yang telah selesai dibangun seharusnya langsung diikuti dengan kegiatan pengelolaan, termasuk pemeliharaan O&P-nya. Apalagi di banyak tempat, bangunan prasarana SDA sudah berusia tua, sementara O&P terbatas, maka fungsinya menurun,
JELAJAH seperti terjadinya pendangkalan, rusaknya bangunan, atau kebocoran. Padahal kata Graita, untuk menjaga kelangsungan bangunan agar tetap stabil dan dapat berfungsi secara efektif, pemeliharaan dan pengawasan harus dilakukan secara periodik dan berkesinambungan. Kegiatan ini harus diutamakan dan menjadi perhatian khusus. Sebelum terlambat. Melihat permasalah itu, BBWS Bengawan Solo melakukan normalisasi sungai dengan mengeruk sodetan sepanjang 12.500 meter, lebar dasar 100 meter, kemiringan lereng 1 : 1,5 dan volume galian 1,4 juta M3. Lokasinya mulai dari Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, hingga Kecamatan Brondong, Kabupaten Tuban, dan rampung dikerjakan selama 20 minggu kalender oleh PT Adhi Karya. Waduk Pacal Pengerukan juga dilakukan terhadap bangunan 4 pintu intake Waduk Pacal di
Bojonegoro akibat tertimbun sedimen, sehingga air dari waduk tak bisa mengalir ke saluran pembawa. Petani menjadi resah karenanya, khawatir gagal tanam pada MT berikutnya. Waduk ini dibangun sejak jaman Belanda (1927-1933), berfungsi untuk mengairi sawah seluas 16.600 hektar, selain untuk perikanan darat dan kegiatan pariwisata. Namun, karena keterbatasan dana pemeliharaan, maka banyak bangunan yang rusak atau fungsinya menurun. Misalnya timbunan sedimen di 4 pintu intake ( 2 pintu pengambilan dan 2 pintu penguras) telah mengganggu pasokan air karena pintunya tertutup dan tertimbun sedimen setebal 10 meter. Agar pintu bisa beroperasi kembali, pihak BBWS Bengawan Solo mengambil langkah strategis dengan melakukan pengerukan sedimen di depan pintu pengambilan. Tak kurang dari 30.000 M3 sedimen harus diangkat dari dasar waduk dengan mengerahkan berbagai macam alat berat mulai dari dreager, eksavator, hingga kapal keruk yang dibantu tenaga
Graita Sutadi, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo. (Foto: Joe)
penyelam marinir dari Surabaya. Kegiatan tersebut dikerjakan selama 2 bulan (Februari-Maret 2010) dengan dana stimulus APBN sebesar Rp 4 milyar. Kini, masyarakat petani di Lamongan dan Bojonegoro merasa bersyukur dan gembira atas beroperasinya kembali Waduk Pacal yang menjadi dambaan mereka selama ini, terutama pada saat membutuhkan air. (Joe)
(Sumber: BBWS Bengawan Solo) KIPRAH • Volume 37
49
JELAJAH
Menyelamatkan Waduk,
Menolong Kehidupan Bendung Colo, Nguter Kab. Wonogiri mampu mengairi areal sawah irigasi teknis seluas 27.000 ha, masing-masing di Daerah Irigasi Kab. Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan Karanganyar, Jawa Tengah. (Foto:Dok.)
Bengawan Solo adalah sebuah ironi. Tatkala musim hujan tiba, sungai terpanjang di pulau Jawa (527 kilometer) itu pun mendatangkan penderitaan. Sawah, ladang, rumah, bangunan, terendam. Jalan dan rel kereta api tidak dapat dilalui. Sebaliknya ketika kemarau, Bengawan Solo tidak banyak membantu masyarakat. Ketinggian air permukaan tidak cukup tinggi untuk menjangkau saluran irigasi. Petani terpaksa mengangkat air dengan mesin pompa, sehingga biaya produksi menjadi tinggi, padahal petani harus bercocok tanam karena hidup harus berlanjut.
M
eski telah dibangun prasarana sumber daya air, berupa waduk, bendung, dan jaringan irigasi berserta bangunan pelengkapnya, tetapi pelayanannya tak dapat menjamin daerah hilir bebas dari banjir atau air irigasinya mencukupi di saat dibutuhkan.
Kepala Balai Besar W ilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo, Graito Sutadi, menginformasikan waduk didesain untuk 100 tahun, termasuk kemampuan menampung sedimen. “Namun, baru 25 tahun dead storage telah terisi sedimen lebih dari 60 persen,” katanya. Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri mulai dibangun tahun 1977
50
Volume 37 • KIPRAH
hingga selesai tahun 1982 yang menenggelamkan puluhan desa pada wilayah seluas 8.800 hektar. Dalam perjalannya selama 28 tahun beroperasi, kemampuan Gajah Mungkur kian menurun, terutama karena sedimentasi akibat rusaknya DAS di daerah hulu di kawasan Pegunungan Seribu. Setidaknya, terdapat delapan sungai yang dibendung oleh Waduk Gajah Mungkur, yaitu Keduang, Tirtomoyo, Temon, Solo Hulu, Alang, Unggulan, Wuryantoro, dan Remnam yang berpengaruh terhadap ketersediaan air waduk. Dari delapan sungai tersebut, Sub DAS Kahi Keduang merupakan kontributor terbesar penyumbang sedimen. Alirannya
langsung masuk ke arah mulut pintu intake sehingga mengganggu operasional kerja waduk secara keseluruhan. Secara kasat mata di hulu sepanjang aliran Kali Keduang di sana-sini memang telah terjadi longsoran akibat budi daya tanaman rakyat. Erosi berupa material tanah, pasir, kerikil, batu, dan pohon yang longsor itu langsung masuk ke sungai dan akhirnya mengendap di waduk. Hal ini membuktikan bahwa kebutuhan ekonomi jangka pendek masyarakat setempat dalam bentuk penanaman lereng bukit berhadapan dengan kebutuhan ekonomi jangka panjang warga di sepanjang aliran Bengawan Solo
JELAJAH yang melewati 23 kabupaten. Warga di hilir Bengawan Solo jelas berkeinginan waduk optimal, sehingga sawah terairi sekaligus banjir dapat dikendalikan. Dengan demikian, mereka dapat panen dan harta bendanya utuh. Itulah yang menjadi akar permasalahan pendangkalan waduk. Di sisi lain, masyarakat di hulu kemudian justru menghendaki adanya kompensasi atas pengorbanannya selama ini. “Perlu penanganan secara arief dan bijak dalam memecahkan masalah ini, yaitu dengan memperhatikan dan membantu prasarana infrastruktur, seperti perbaikan lingkungan permukiman, pelayanan air bersih, dan bantuan lainnya,” ujar Graito.
sumber air di daerah hulu terus berkurang, sungai-sungai banyak yang kering, terutama di musim kemarau. Semakin berkurangnya sumber air di kawasan hulu itu, menurut Ruhban Rozziyanto, Kabid Operasi dan Pemeliharaan BBWS Bengawan Solo, diakibatkan oleh penutupan vegetasi yang sangat rendah sehingga air hujan tidak dapat ditampung di dalam tanah karena kadar bahan organiknya rendah.
Di bidang fisik langkah kongkrit yang dilakukan, pihak BBWS Bengawan Solo berencana membangun dam penangkap sedimen (debris dam) di hilir Kali Keduang, yang berfungsi sebagai kantong lumpur, sebelum masuk ke Waduk. Melalui upaya ini, diharapkan dapat menangkal sedimen yang selama ini mengancam kelestarian waduk. Upaya lainnya, pihak Perum Jasa Tirta (PJT) I selaku pengelola waduk melakukan pengerukan secara rutin dan berkala agar waduk tetap berfungsi meski biayanya cukup mahal, seperti diungkap Suwartono, Direktur Pengelolaan PJT I, Wilayah Bengawan Solo.
Sedimen memang kaya unsur hara sehingga menyuburkan sawah. Tetapi,
Sedangkan di hilir Bengawan Solo, untuk mengurangi banjir, pihak BBWS melakukan peninggian sejumlah tanggul dan pengerukan saluran flood way sebanyak 1,4 juta meter kubik di Sedayu Lawas, Lamongan. Selain itu, juga dilakukan normalisasi sungai (Grompol dan Mang kang) di wilayah Kabupaten Sragen dan sejumlah sungai di Madiun. Langkah lain adalah pengerukan sedimen di depan pintu outlet Waduk Pacal untuk menjamin pasokan air irigasi agar masa tanam petani tidak terganggu. Rusaknya DAS Hulu Akibat rusaknya lingkungan DAS hulu Bengawan Solo, telah menyebabkan
Berkurangnya persediaan air juga akibat kemampuan infiltrasi air ke dalam tanah rendah, lanjutnya sehingga aliran air langsung masuk ke sungai dan waduk dengan membawa material sedimen.
Untuk memperpanjang usia waduk agar tetap berfungsi, hal utama yang harus dijaga adalah kelestarian lingkungan atau konservasi hutan di DAS. Penanaman pohon merupakan hal yang paling penting agar waduk tetap berfungsi sesuai rencana. (Graito Sutadi)
yang sangat berpengaruh terhadap produksi pangan nasional. Melihat kompleksnya masalah yang dihadapi, PU jelas tidak mampu sendirian melestarikan waduk. “Kami dibantu instansi lain, pemda, dan masyarakat serta dunia usaha mengerahkan aksi tanggung jawab sosial melestarikan DAS,” ujar Graito. Konservasi Menurut Graito Sutadi, untuk memperpanjang usia waduk agar tetap berfungsi, hal utama yang harus dijaga adalah kelestarian lingkungan atau konservasi hutan di DAS. Penanaman pohon merupakan hal paling utama untuk mempertahankan usia waduk tetap berfungsi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun l999 tentang Kehutanan, luas hutan untuk mendukung keseim-bangan ekosistem minimal 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itulah yang menjamin ketersediaan sumber daya air. Bekerja sama dengan Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, pemda dan BUMN, pihak BBWS Bengawan Solo melakukan penghutanan kembali pada daerah-daerah kritis dengan melibatkan masyarakat secara langsung mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatan.
sedimen juga mengganggu operasional kerja waduk dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Buruknya perawatan waduk, yang ditandai sedimentasi tinggi, juga mengurangi peran fungsi waduk untuk mengairi sawah. Sebaliknya, ketika musim hujan ketinggian air di luar perkiraan sehingga dapat menjebol tanggul dan mengakibatkan banjir.
Pembangunan check dam pengendali sedimen, ground sill, perkuatan tebing, pembuatan teras bangku, dan sosialisasi, merupakan sedikit contoh kongkrit penanganan daerah hulu, secara struktural dan non struktural. GNKPA pun terus digiatkan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.
Padahal di DAS utama Bengawan Solo, terganggunya peran Waduk Gajah Mungkur juga mengancam ketahanan pangan nasional. Setidaknya bagi 27.000 hektar sawah irigasi teknis yang terdapat di Jateng, apalagi di DAS Bengawan Solo (Jatim) dimana terdapat 70.000 hektar
Melalui cara seperti ini, diharapkan longsoran tebing-tebing sungai di daerah tangkapan air menjadi berkurang, sehingga sedimen tidak masuk ke tampungan waduk. Dengan demikian, selamatnya waduk berarti pula menolong banyak orang dalam kehidupan. (Joe)
KIPRAH • Volume 37
51
JELAJAH
Jembatan Soekarno dalam pengerjaan. (Foto:Lis)
Manado Benahi Akses Jalan
M
anado, kota pantai yang terkenal dengan Bunakennya, terus berkembang pesat, terlebih setelah sukses menggelar konferensi tingkat dunia World Ocean Conference (WOC). Berdasarkan pengamatan singkat, terjadi kepadatan lalu lintas di beberapa titik di pusat kota akibat lalu lintas angkot yang tidak tertib dan juga pengaruh jumlah kendaraan serta kapasitas jalan. Terkait dengan upaya kemacetan itu, di Manado sendiri sebenarnya telah banyak upaya pemerintah untuk mengatasinya. Salah satunya, dengan pembangunan Jalan Lingkar atau yang biasa disebut sebagai Ring Road. Jalan lingkar itu ditujukan
52
Volume 37 • KIPRAH
untuk membuat jalur alternatif akibat makin padatnya arus di pusat kota serta melancarkan arus lalu lintas regional dari luar kota Manado menuju Bandara Sam Ratulangi dan Pelabuhan Peti Kemas Bitung. Jalan mulus ber-hotmix di Manado Ring Road Tahap I kini telah dapat dinikmati oleh pengendara. Ring Road tahap I itu dimulai dari titik nol Kelurahan Molas hingga Bengkol sepanjang 25 km. Sementara itu, untuk Manado Ring Road Tahap II sepanjang 8 Km masih dalam proses. Di sisi lain, Manado Ring Road Tahap III dan IV sepanjang masingmasing 10 Km kini tinggal menunggu penyelesaian.
Tak hanya jalan lingkar, sebagai pelengkap sistem jaringan Manado Ring Road sisi Barat sedang dilakukan proyek besar, yakni pembangunan jembatan Soekarno serta jalan Boulevard (tahap II). Pembangunan Jembatan Soekarno sendiri memiliki panjang sekitar 625 Meter,- lebar 7 meter serta tinggi 18 meter dan menelan biaya sekitar Rp225 miliar dari dana APBN murni. Jembatan Soekarno melewati Sungai Tondano dan merupakan bagian dari Manado Ring Road yang menghubungi Manado Utara – Manado Selatan. Diharapkan nantinya jembatan mendorong percepatan pembangunan di Sulut.
JELAJAH Nantinya, jembatan itu akan menjadi Landmark Kota Manado sekaligus merupakan sebagai jembatan terpanjang di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
prioritas. Pembangunan jalan tol Manado – Bitung sangat diutamakan bagi konsentrasi lalu lintas dari dan ke Pela-buhan Laut Bitung menuju Manado.
Jembatan yang mulai dibangun sejak jaman Presiden Megawati itu sampai saat ini ternyata belum juga rampung. Kendalanya, bagian tengah jembatan yang akan menggunakan konstruksi cable stay harus direview. Desainnya diharapkan selesai akhir tahun 2010 ini, sehingga pembangunan jembatan itu akan selesai tahun ini.
Walau pembangunan jalan tol yang dinilai sangat strategis itu pernah dilakukan hingga dua kali, tetapi sampai sekarang belum ada investor yang benar-benar tertarik.
Selain itu, untuk memperlancar arus lalu lintas arah pusat Kota Manado, kini dilakukan juga pelebaran akses jalan dari Bandara Sam Ratulangi. Pelebaran jalan Manado-Mapanget sepanjang 11,8 km dari dua lajur menjadi empat lajur dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas ruas jalan Manado-Mapanget sebagai jalan utama menuju Bandara Sam Ratulangi. Tak hanya jalan dalam kota, pembangunan jalan lintas dan jalan tol juga menjadi
Kini, pemerintah pusat segera akan membangun melalui tender ke pihak swasta, apabila pembebasan tanah oleh pemerintah daerah sudah dilakukan. Jika tahun 2010 ini semua lahan sudah dibebaskan, maka tahun 2011 diharapkan jalan tol itu sudah rampung. Pembangunan jalan lintas trans Sulawesi juga menjadi prioritas penting di Sulut. Lintas barat Sulawesi diprioritaskan mengingat pertumbuhan lalu lintasnya sudah cukup tinggi dan merupakan simpul pusat-pusat kegiatan ekonomi daerah menuju outlet pelabuhan Makassar, Parepare, dan pelabuhan Baru. Jalan
lintas ini menghubungkan wilayah Sulawesi Selatan – Sulawesi Barat - Sulawesi Tengah – Gorontalo. Pada lintas barat yang masih 4,5 meter dilakukan pelebaran jalan dan jembatan menjadi lebar 6 dan 7 meter, sepanjang 1.260 Km. Pada tahun 2010 dilakukan kelanjutan penanganan Lintas Barat yang masih tersisa 100 km. Upaya pemerintah untuk membuat infrastruktur agar kota Manado semakin maju itu patut diacungi jempol. Keberadaan Sulawesi Utara, yang secara geografis berada di bibir Pasifik dan Manado sebagai pintu gerbangnya, harus mendapat perhatian lebih terutama dalam penataan infrastrukturnya. Terlebih jika Manado hendak menjadi kota pariwisata dunia dan akan berkembang menjadi pusat pelayanan untuk wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI), maka pembenahan infrastruktur menjadi hal penting yang harus dilakukan. Tak dapat dipungkiri, kompetisi kota secara global menuntut hal tersebut. (Lis)
Usulan Program Infrastruktur PU Provinsi Sulut • • • • • • • • • • • • •
Pembangunan Jalan bebas hambatan (tol) Manado-Bitung sepanjang 31 km khususnya pembebasan lahan Penyusunan FS Jalan bebas hambatan (tol) Manado-Tomohon Pembangunan tahap II Ring Road Kota Manado sepanjang 12 km Pembangunan jalan Boulevard Manado tahap II dari Jembatan Soekarno – TPI Tumumpa sepanjang 2,5 km Pembangunan dan peningkatan ruas Lintas Timur Pulau Sulawesi Girian – Taludaa/Batas Gorontalo sepanjang 390 km Pembangunan dan peningkatan ruas Lintas Barat Pulau Sulawesi Bitung – Atinggola/Batas Gorontalo sepanjang 345 km Peningkatan dan preservasi jalan-jalan di wilayah Kapet Manado-Bitung Pembangunan, peningkatan dan preservasi jalan nasional di pulau-pulau perbatasan antar negara Penyusunan FS Jembatan Bitung-Pulau Lembeh Penyelesaian Jembatan Soekarno Pelebaran ruas arteri dalam kota Manado Pembangunan Simpang Susun (Fly over) dalam kota Manado, Winangun, Kayuwatu dan Maumbi, Minahasa Utara Pembangunan Simpang Susun (Fly over) dalam kota Manado menunjang terminal regional dan barang di Liwas Ring Road Manado. (Sumber : Sambutan Gubernur Sulut dalam pembukaan Konreg Wilayah Timur, Manado, 6 April 2010) KIPRAH • Volume 37
53
JELAJAH
Percepatan Pembangunan Jalan di Papua Perlu Dana Rp 9,78 Trilyun Dalam masa reses Maret lalu, tim Komisi V DPR-RI melihat dari dekat pembangunan infrastruktur di provinsi Papua sekaligus menyerap aspirasi dari daerah yang dikunjunginya itu. Reporter KIPRAH yang mengikuti kunjungan tersebut, Etty Winarni, menuliskan laporannya seperti di bawah ini.
Peningkatan kapasitas pelabuhan Samudra Jayapura terus dilakukan. (Foto:Ind)
S
ebanyak 17 anggota Komisi V DPRRI yang dipimpin Muhidin Muhammad Said selaku Ketua Tim dalam rangka reses Masa Persidangan II tahun sidang 2009–2010 melakukan kunjungan kerja singkat ke Provinsi Papua. Karena kunjungan kerjanya hanya berlangsung tiga hari, tentu saja para wakil rakyat tersebut tidak dapat melihat kegiatan pembangunan infrastruktur yang sedang berjalan secara lebih luas dan
54
Volume 37 • KIPRAH
merata. Mereka turun ke lapangan hanya di sekitar Jayapura. Proyek- proyek pembangunan infrastruktur yang sempat dilihat, antara lain Kawasan Perbatasan dan Pos Lintas Batas Negara RI dengan Papua New Guinea di SKOW, jalan nasional Hamadi – Holtecam – Skow , Bendung Tami ( Irigasi ) dan Kantor Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah X Propinsi Papua. Namun demikian, informasi dan permasalahan Papua mereka gali habis dalam kesempatan pertemuan dengan jajaran pemda.
Dalam pertemuan yang berlangsung cukup lama itu, Gubernur Papua, Barnabas Suebu, yang berhalangan hadir di wakili oleh Ketua BAPPEDA. Hadir pula dalam kesempatan tersebut, antara lain Direktur Jalan dan Jembatan Wilayah Timur Ditjen Bina Marga, Chaerul Taher, para Kepala Dinas terkait, jajaran Pemda Yahukimo, Pemda Puncak Jaya, Balai Jalan Nasional Wilayah X, dan pejabat lainnya. Seperti biasanya, setelah pimpinan Tim
JELAJAH menyampaikan maksud dan tujuan kunjungan kerja, disusul jajaran Pemda menyampaikan penjelasan hal-hal yang berkaitan dengan daerahnya, aspirasinya, problem yang dihadapidan lain sebagainya, para anggota mengajukan pertanyaan, melakukan dialog, dan meyakinkan bahwa aspirasi daerah bakal dibawa ke Jakarta dan diperjuangkan ke kementerian yang bersangkutan dalam kesempatan rapat kerja dengan para menteri atau dalam kesempatan rapat dengar pendapat umum dengan para pejabat eselon satu. Dialog panjang yang cukup intens dalam kunjungan kerja singkat ke Papua ini tentu saja sebagai upaya para wakil rakyat menampung aspirasi daerah sebagai bahan masukan dalam penajaman program dan upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat luas Isolasi Pegunungan Tengah Dalam kesempatan pertemuan itu, Pemerintah Kabupaten Yahukimo minta perhatian serius baik dari provinsi, kementerian PU maupun Komisi V DPRRI dalam rangka membuka isolasi wilayah Pegunungan Tengah pada umumnya, dan kabupaten Yahukimo khususnya, terhadap beberapa kabupaten yang berbatasan langsung dengan Yahukimo, sebagai upaya pembukaan akses antar wilayah, dimana Yahukimo memiliki posisi yang sangat strategis karena dikelilingi oleh 5 ( lima ) kabupaten, yaitu Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Boven Digul, Asmat, dan Mappi.
wilayah Pegunungan Tengah dan sekitarnya sehingga dengan sendirinya taraf perekonomian masyarakat akan meningkat. Yang tidak kalah pentingnya adalah pembukaan isolasi wilayah di kabupaten Yahukimo dapat menunjang penanggulangan rawan pangan dan kelaparan yang sering melanda Yahukimo dari tahun ke tahun akibat tidak adanya akses jalan darat dari Ibukota Kabupaten ke 51 distrik di Yahukimo. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Yahukimo mengusulkan rencana kegiatan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dengan total kebutuhan dana sekitar Rp 1.219.788.563.000,- untuk pembangunan jalan Logpon – Suator sepanjang 60 km, pembangunan jalan Dekai- Seredala , 56 km, pembangunan jalan Dekai- Sumo – Wamena, 128 km, pengaspalan jalan dalam kota 164 km serta pengaspalan jalan Dekai – Logpon sepanjang 18,50 km. Demikian pula halnya Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya, yang juga perlu mendapatkan perhatian yang sama seperti kabupaten Yahukimo.
Penanganan Jalan Sejak dulu, provinsi Papua mengandalkan modal transportasinya berupa transportasi udara. Kondisi geografis dan sebaran penduduknya membuat transportasi udara tersebut sampai saat ini dipandang sebagai transportasi paling efektif untuk menjelajah wilayah ini. Resikonya, biaya memang tinggi dan harga serba mahal karena semua kebutuhan diangkut melalui udara. Lihat saja, harga semen di Jayapura satu sak Rp 75 ribu, di Wamena harganya Rp 585.000 dan di Puncak Jaya, satu sak semen mencapai Rp1,2 juta. Biaya subsidi penerbangan Jayapura – Wamena per tahunnya mencapai Rp 350 milyar atau sekitar 47 prosen APBD Kabupaten Jaya Wijaya. Transportasi udara menjadi pilihan utama karena pada kenyataannya infrastruktur jalan yang ada saat ini sangat tidak sebanding dengan luas wilayah Papua tersebut. Oleh karenanya, menurut Chaerul Taher, direktur Jalan dan Jem-batan wilayah Timur Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, pihaknya mulai tahun 2010 ini melakukan percepatan pembangunan jalan dan jembatan di propinsi Papua sepanjang 2.417 Km dengan titik berat tujuh ruas jalan strategis sepanjang
Dengan kondisi geografi yang sangat strategis tersebut, Yahukimo dapat berperan sebagai jalur distribusi barang dan jasa di wilayah Pegunungan Tengah dan sekitarnya, yang tentunya harus ditunjang dengan penyediaan infrastruktur wilayah yang baik, khususnya infrastruktur jalan dan jembatan. Dengan demikian, perhatian dan bantuan, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Papua, sangat diharapkan guna mendukung Yahukimo dalam rangka mewujudkan pembukaan isolasi
Ruas jalan nasional Hamadi – Holtecam – Skow berbatasan dengan New Guinea.(Foto:Ind)
KIPRAH • Volume 37
55
JELAJAH 2.056.6 Km dan empat ruas jalan strategis lainnya sepanjang 361 Km. Percepatan pembangunan infrastruktur jalan tersebut bertujuan untuk menunjang pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Papua dan menekan tingkat harga yang terlalu mahal. Kepada tim Komisi V DPR-RI yang meninjau dari dekat pelaksanaan pembangunan jalan di propinsi Papua itu, Chaerul Taher menambahkan, biaya pembangunannya sampai selesai tahun 2014 nanti memerlukan dana sekitar Rp 9,78 trilyun. Tahun 2010 ini, dialokasikan dana sebesar Rp 1,14 trilyun. Dengan demikian, masih diperlukan tambahan dana sebesar Rp 827 milyar agar seluruh ruas jalan tersebut dalam 5 ( lima ) tahun dapat fungsional. Selain itu, diperlukan juga tambahan anggaran untuk pengadaan 9 Fleet alat pemeliharaan rutin jalan sebesar Rp 51,206 milyar. Diperlukan Multi Years Contract untuk mempercepat pembangunan/penanganan jalan serta menjaga ruas jalan agar tetap berfungsi ( fungsional ). Pembangunan 11 ruas jalan strategis tersebut sudah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah serta memperhatikan PP No.26/2008 tentang RTRWN dimana di Provinsi Papua telah ditetapkan memiliki 6 ( enam ) kawasan andalan (sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nantinya ), dan adanya pusat–pusat kegiatan nasional maupun wilayah, yaitu PKN ( Kota Jayapura dan Timika ) serta PKW ( al. Merauke, Arso, Wamena ) dan PKSN /Pusat Kegiatan Strategis Nasional untuk menunjang kepentingan kawasan perba-tasan negara, antara lain Jayapura, Tanah Merah, dan Merauke. Menurut dia, di Provinsi Papua terdapat 65 ruas jalan nasional dengan total panjang 2.111 km. Dari 65 ruas tersebut terdapat 7 ruas jalan strategis yakni Nabire – Wagete – Erotali , Timika – Mapurujaya – Pomako, Serui – Menawi –
56
Volume 37 • KIPRAH
Gedung Asrama Mahasiswa di kota Sorong, Papua. (Foto:Ind)
Saubeba, Jayapura – Wamena – Mulia, Jayapura – Sarmi, Jayapura – Hamadi – Holtekamp – Batas PNG dan Merauke – Waropko dengan panjang total 2.060 km. Khusus untuk jalur Jayapura – Holtekamp – Skouw – Batas PNG sepanjang 53 km, telah terdapat penanganan hingga 2009 sepanjang 31,9 km dan total panjang jembatan 19,8 meter. Pembangunan jalan dengan target effektif 7,64 km dengan rincian lebar badan jalan 4,5 m ( aspal HRSWC ) dan lebar bahu jalan 1,5 meter telah dibiayai oleh APBN secara multiyears 2008- 2009 dengan total dana sebesar Rp 19,65 milyar. Sedangkan untuk tahun 2010, untuk ruas ini telah dianggarkan sebesar Rp 10,51 milyar yang bersumber dari dana APBN. Untuk kawasan perbatasan, pemerintah juga tengah melakukan peningkatan jalan di daerah Skouw dan Merauke, ruas jalan yang membatasi Indonesia dengan Papua New Guine sepanjang 500 km dari Merauke hingga Waropko. Kondisi jalan di perbatasan saat ini sepanjang 120 km sudah beraspal, sisanya masih jalan tanah. Untuk mendukung keberlanjutan pe-
nanganan jalan perbatasan tersebut, perlu dilaksanakan program multi years selama 3 ( tiga ) tahun. Pembangunan jalan nasional di perbatasan ini juga dalam rangka untuk mendukung kepentingan pertahanan Negara. Pembukaan pos perbatasan untuk angkutan kendaraan antara kedua negara saat ini belum berlangsung, baru untuk keperluan lalu lintas orang saja. Secara bertahap, penanganan jalan diharapkan dapat diarahkan juga pada penanganan jalan di wilayah tengah, hingga ke Pegunungan Bintang dan Wamena. Sumber Daya Air Berdasarkan hasil peninjauan lapangan ke Bendung Tami dan Daerah Irigasi Koya, Tim Komisi V DPR RI menilai telah terjadi erosi dan kerusakan lingkungan yang cukup parah di daerah hulu. Ini terlihat dari sedimentasi lumpur dan limbah kayu di Sungai Tami. Di lokasi bendung terdapat tumpukan ranting dan kayu tertimbun di tubuh bendung, kurang adanya pemeliharaan yang rutin sehingga ranting dan
JELAJAH kayu gelondongan menumpuk berserakan, serta terdapat sedimentasi yang sudah meninggi di badan bendung dan sekitarnya. Di samping itu, belum maksimalnya pemanfaatan air irigasi oleh masyarakat petani untuk tanaman padi, yaitu baru sekitar 25 % petani yang meman-faatkan air irigasi. Masyarakat petani tambak lebih dominan memanfaatkan lahan di D.I. Koya untuk memelihara ikan karena hasil pemeliharaan ikan lebih menguntungkan dari pada padi serta kondisi saluran primer dan sekunder fungsi layanannya sudah semakin menurun. Oleh karenanya, Komisi V DPR RI menyarankan agar Balai Wilayah Sungai Papua menganggarkan dana 0 & P Bendung Tami yang cukup sehingga tumpukan ranting , kayu, dan sedimen dapat diatasi segera. Selain itu, rehabilitasi saluran primer dan sekunder agar dianggarkan supaya distribusi air untuk pertanian dapat terpenuhi, utamanya untuk tanaman padi.
Cipta Karya Untuk memenuhi kebutuhan air minum di Provinsi Papua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertekad untuk mengembangkan dan meningkatkan pelayanan air minum kepada masyarakat Provinsi Papua melalui Pengembangan Daerah Air Minum ( PDAM ). Mengenai air minum dalam pertemuan Komisi V DPR-RI dengan jajaran Pemda Papua terungkap bahwa PDAM kabupaten Jayapura sekarang berubah menjadi PDAM Jayapura dengan wilayah pelayanan di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Bupati Jayapura dan Walikota Jayapura telah menandatangani MOU yang berisi, antara lain bahwa PDAM Jayapura melayani Wilayah Kota Jayapura dan Wilayah Kabupaten Jayapura Walikota Jayapura dan Bupati Jayapura akan memberikan Penyertaan Modal Pemerintah kepada PDAM Jayapura. Namun demikian, sebelum tingkat pelayanan mencapai 80 %, PDAM Jaya-
pura tidak diminta untuk menyetor keuntungan ke kas daerah. Saat ini, PDAM Jayapura dalam kondisi kurang sehat (Skor dari BPPSPAM 1,80). Total kapasitas terpasang 895 liter/detik dan kapasitas produksi minimal (musim kemarau) sekitar 426 liter/detik. Jumlah pelanggan sekitar 26.918 SR dengan tarip air minum minimum (musim kemarau) Rp 850,-/m3 , rata –rata = Rp 3.500,-/m3 , tingkat kebocoran 52 %, efisiensi penagihan 70 %. Untuk PDAM di provinsi Papua, tingkat kebocoran masih tinggi ( 52 % ). Pada musim kemarau, kapasitas sumber air menurun, pelayanan masih digilir, belum bisa melayani 24 jam/hari, dan kondisinya kurang sehat. Usulan untuk mengatasi masalah tersebut adalah perlu dilakukan program penyehatan PDAM, dibuat Review Master Plan, FS, DED SPAM Jayapura serta dilakukan pengembangan SPAM Jayapura. (Ew)
Tim Komisi V DPR RI meninjau bangunan Bendung Tami di Jayapura yang mengalami pendangkalan akibat sedimentasi sehingga fungsinya semakin menurun dari waktu ke waktu.(Foto:Ind) KIPRAH • Volume 37
57
JELAJAH
Perlunya
Air Minum di Papua
Data menyebutkan, jumlah penduduk di kabupaten pemekaran d” 10 ribu jiwa (d” 2.000 KK). Sardjiono menilai, jika pengembangan air minum di kabupaten pemekaran mesti menggunakan PDAM, maka target keuntungan tidak tercapai dan menyebabkan PDAM menjadi sakit. “Jika penduduk (Kab.Pemekaran) kurang dari 2.000 KK, lalu dipaksakan dengan PDAM, akan menjadi sakit, karena pendapatan PDAM sangat ditentukan oleh jumlah pelanggan. Semakin sedikit, semakin sulit PDAM dikelola,” ujar Sardjiono. Dijelaskan, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Jayapura saat ini tengah menggalang dana untuk PDAM agar dapat menjangkau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Melalui kerjasama ini, diharapkan akan terjadi peningkatan pelayanan yang hasil keuntungannya dibagi rata antara PDAM Kabupaten dan PDAM Pemerintah Kota. Dengan catatan, jika tingkat layanan belum mencapai 80%, PDAM belum terikat menyetorkan penghasilan ke kas daerah.
Hidran Yahukimo Papua. (Foto:dok.)
D
alam upaya memenuhi kebutuhan air minum di Provinsi Papua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkomitmen untuk mengembangkan dan meningkatkan pelayanan air minum kepada masyarakat Provinsi Papua melalui Pengembangan Daerah Air Minum (PDAM). Seiring adanya pemekaran kawasan di provinsi ini, pemerintah pusat terus memfasilitasi pengembangan air minum pada ibukota-ibukota kabupaten agar kawasan-kawasan tersebut mendapatkan pelayanan air minum melalui peningkatan bertahap. Untuk itu, Pemprov Papua telah mengalokasikan dananya pada 2007 hingga mencapai Rp 40 miliar. Demikian dikatakan Sardjiono, Kasubdit Pengembangan Air Minum Wilayah II,
58
Volume 37 • KIPRAH
Ditjen Cipta Karya yang mewakili Direktur Pengembangan Air Minum, saat mendampingi Komisi V DPR RI berkunjung ke Provinsi Papua (12/3). Provinsi Papua memiliki enam PDAM, yakni PDAM Kabupaten Jayapura, PDAM Biak Numfor, PDAM Kabupaten Merauke, PDAM Kabupeten Nabire, PDAM Kabupaten Jayawijaya, dan PDAM Kabupaten Yapen Waropen. Namun, dari 6 perusahaan itu hanya satu yang dinyatakan kondisinya sehat (PDAM Kabupaten Yapen Waropen). Sementara itu, beberapa PDAM, seperti PDAM Biak Numfor, PDAM Kabupaten Merauke, dan PDAM Kabupeten Nabire, ketiganya telah melakukan kerjasama dengan Belanda sehingga statusnya menjadi PDAM Swasta.
Menurut Sardjiono, kendala yang dirasakan saat ini adalah belum memadainya dukungan dari pemda dalam hal pengembangan jaringan di daerah distribusi yang menyebabkan terbatasnya jumlah pelanggan yang bisa dilayani. Ditambah lagi, masih minimnya tenaga kompetensi sumber daya manusia (SDM). Untuk itu, di masa depan kompetensi kemampuan SDM yang bekerja di sektor air minum mulai dari perencanaan, pembangunan pengelolaan, dan bidang pengusahaan PDAM perlu terus ditingkatkan. Ditegaskan, jika PDAM difasilitasi dan dioperasikan dengan baik serta memiliki manajemen pengelolaan yang juga baik, sangat dimungkinkan pelayanan kepada masyarakat akan meningkat. Dengan demikian, PDAM memiliki keuntungan yang mampu menopang biaya operasional. Dengan begitu, masalah finansial akan dapat diatasi, harap Kasubdit Pengembangan Air Minum Wilayah II, Ditjen Cipta Karya. (Ind)
JELAJAH
Dari Papua Ke Irian Terus Ke Papua Lagi Selain potensi pertambangan, Papua menyimpan kekayaan hutan berupa kayu, terutama kayu besi dengan kualitas terbaik. Sesuai data Dinas Kehutanan Provinsi Papua, sekitar enam juta hektar hutan di Papua kaya dengan kayu Merbau, jenis kayu kelas satu, sementara potensi hutan sagu di Papua mencapai 2,2 juta Ha dan pengembangan rawa mencapai 2,4 juta Ha.
P
apua, Irian, Irian Barat, Irian Jaya, hanyalah nama. Jaman kolonial dulu, penjajah Belanda menyebutnya Netherland New Guinea, West Papua, untuk membedakan dengan Papua di sebelah timurnya yang berada dibawah koloni Inggris. Yang dulu dibawah koloni Inggris itu, sekarang kita kenal dengan Papua Nugini. Setelah Indonesia merdeka, pulau terbesar nomor dua di dunia setelah Green Land itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Kita menyebut pulau itu dengan Irian. Konon, nama itu akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Tentu ini perlu di uji kebenarannya karena nama Irian berasal dari nama pohon di sekitar danau Sentani. Setelah 17 tahun merdeka tahun 1962, barulah Irian kembali ke pangkuan ibu pertiwi, setelah Bung Karno 19 Desember 1961 di Yogyakarta memberikan komando yang dikenal dengan nama TRIKORA. Setelah Persatuan Pendapat Rakyat (Pepera), jadilah provinsi Irian Barat, kemudian di masa Orde Baru menjadi Irian Jaya. Di jaman reformasi, saat Gus Dur alm. menjadi presiden, beliau menyetujui
Mengingat dan mempertimbangkan besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Provinsi Papua, maka diperlukan infrastruktur pendukung yang memadai untuk mendukung ekplorasi dan ekploitasi sumber daya alam di kawasan tersebut. penggunaan nama Papua sebagai ganti Irian Jaya dan itu dikukuhkan melalui UU no. 21/2003 tentang Otonomi Khusus Papua. Begitulah, dari Papua ke Irian, terus sekarang ke Papua lagi. Sesuai UU No. 21 tentang Otonomi Khusus Papua, wilayah ini di bagi menjadi dua provinsi. Bagian timur disebut provinsi Papua, sedangkan bagian baratnya menjadi provinsi Irian Jaya Barat, kemudian setahun kemudian diubah menjadi Papua Barat. Provinsi Papua saat ini dipimpin oleh Gubernur Barnabas Suebu, SH, dengan wakilnya Alex Hasegem, SE.Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yang dulu kita kenal sebagai Irian Barat. Potensi Papua, seperti yang disampaikan ketua Bappedanya, di depan rombongan Komisi V DPR-RI, adalah tambang tembaga dan emas yang merupakan primadona sumber daya alam tambang provinsi Papua saat ini. Namun, masih banyak potensi lainnya yang belum digarap secara serius, seperti minyak dan gas bumi, emas, tembaga,batubara, nikel, pasir besi, dan lain-lain.
Infrastruktur pendukung yang sangat dibutuhkan, antara lain jalan raya, pelabuhan laut, pelabuhan udara, perumahan, layanan air minum, dan sebagainya. Pembangunan infrastruktur di provinsi Papua, antara lain bertujuan untuk menunjang pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan menekan tingkat kemahalan harga barang kebutuhan pokok dan yang lainnya. Potensi daerah rawa terutama berada di dataran rendah merauke. Di kabupaten ini, terutama di daerah pengembangan rawa Kurik, ribuan transmigran telah lama mengolah lahan ini menjadi daerah pertanian yang subur, dan bisa disebut sebagai lumbung padinya Papua. Pengembangannya terus dilakukan tahap demi tahap sesuai dengan ketersediaan dana yang ada. Wilayah yang luas dengan jumlah penduduk yang sedikit serta penyebaran yang tak merata itu memang cukup berat. Kita tak perlu heran apabila setelah puluhan kilometer, jalan yang kita lalui belum juga ketemu kampung. Soalnya, sebagian besar penduduk bertempat tinggal di balik bukit agak jauh dari jalan yang kita lalui. (Ew) KIPRAH • Volume 37
59
JELAJAH
Instalasi penjernihan air PDAM Tual Maluku Tenggara kapasitasnya masih perlu ditingkatkan untuk pelayanan warga kota Tual. (Foto:Suprapto)
Pusat Perhatikan Infrastruktur PU di Maluku
P
rovinsi Maluku merupakan daerah yang terkenal dengan sebutan wilayah seribu pulau, tepatnya sekitar 1.340 buah pulau dan mempunyai luas daratan sekitar 712.480 km2, terdiri dari 92.4 % lautan, 7.6 % daratan, dan dengan jumlah penduduk 1.384.585 jiwa. Untuk menghubungkan antar wilayah di 11 Kabupaten dan Kota, Provinsi Maluku masih mengandalkan sebagian besar pada transportasi penyeberangan feri. Sebab, untuk transportasi udara masih terbatas dan biayanya cukup mahal. Sebagai gambaran, untuk sekali penerbangan dari Ambon - Kab Tual saja biayanya hampir sama ongkos dari Jakarta – Ambon. Untuk itulah, infrastruktur di Maluku harus terus dipacu, baik transportasi darat maupun udara, serta sarana dan prasarana, jalan lebih-lebih Trans Maluku, untuk segera tersambung, yakni Ambon - Pulau Seram, Pulau Buru, dan Saumlaki.
60
Volume 37 • KIPRAH
Infratruktur PU di propinsi Maluku masih tertinggal dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal itu disebabkan kemampuan APBD di Maluku tidak cukup untuk membiayai pembangunan infratruktur di Maluku sehingga masih memerlukan sentuhan dan perhatian serius dari pemerintah pusat, baik melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun peningkatan alokasi dana APBN yang belum signifikan. Permasalahan yang terjadi di propinsi Maluku, utamanya bidang ke-PU-an, masih sangat kompleks, misalnya sistem transportasi yang belum terintegrasi serta tingkat kemiskinan masih tinggi sebesar 28.23 % . Alokasi anggaran dari tahun ketahun memang semakin meningkat namun kenaikannya belum sesuai dengan yang diharapkan, sehingga banyak program-program yang belum bisa terlaksana sesuai yang diharapkan.
Kepala Dinas PU Propinsi Maluku, Antonius Sihalolo, mengatakan, guna mengatasi ketertinggalan maupun keterisolasian di Propinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dan memiliki pulau-pulau terluar dan berbatasan langsung dengan Negara tetangga, diperlukan langkahlangkah kongkrit untuk percepatan prioritas pembangunan insfrastruktur, khususnya bidang ke-PU-an, meliputi Bidang Sumber Daya Air, Bidang Bina Marga, dan Bidang Cipta Karya. Dana yang diperlukan untuk percepatan pembangunan infrastruktur sebesar Rp. 4.760.523.600 selama 5 tahun Anggaran, yakni 2010-2014. Kondisi insfrastruktur Bidang Sumber Daya Air saat masih kurang memadai. Contohnya, potensi Irigasi di Maluku seluas 44.700 ha yang tersebar di Pulau Seram seluas 29.188 Ha, pulau Buru 15.512 Ha. Dari jumlah tersebut, di wilayah yang
JELAJAH potensial, irigasinya hanya sekitar 19.120 Ha. Padahal, kondisi tersebut tidak sesuai dengan yang diinginkan bidang Sumber Daya Air. Dalam rangka swasembada pangan, maka diperlukan luasan areal irigasi sebesar 34.910 Ha. sehingga luas irigasi yang harus dibangun adalah sebesar 15.790 Ha, yang tersebar di Pulau Buru dan Pulau Seram.
pai saat ini sudah terlayani dengan SPAM sebesar 39.5 %. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman melalui Sistem Air Limbah sebesar 80 % dari pelayanan minimal dengan sistem pengolahan limbah terpadu dan komunal bar pada kota Ambon. Total pelayanan minimal secara keseluruhan propinsi Maluku di 11 Kab/kota baru mencapai 8,8 %.
Di Bidang Bina Marga terdata panjang jalan nasional 1.066,650 km, dan jalan provinsi sepanjang 818,750 km. Adapun panjang Jalan Trans Maluku sepanjang 1.016,380 km, kemudian Jalan Trans Aru 288,480 Km, Jalan Lintas P. Seram sepanjang 450, 144 km, lalu Jalan Lintas P.Buru memiliki panjang 2651,607 Km, dan panjang Jalan strategis adalah 920,210 Km.
DPR-RI dukung Trans Maluku
Gambaran kondisi perkerasan jalan di wilayah Maluku tersebut menunjukkan masih terdapat ruas-ruas jalan yang kondisinya rusak, baik rusak ringan maupun rusak berat. Untuk itu, perlu ditingkatkan sehingga transportasi penghubung antar pulau di Maluku dapat berjalan dengan lancar sehingga memacu pertumbuhan ekonomi serta mengatasi isolasi daerah. Padahal yang diharapkan, kondisi Jalan paling tidak untuk jalan Nasional 90 % mantap, dan jalan provinsi 65 kondisinya mantap.Sedangkan capaian pelayanan Air bersih menurut Antonius Sihaloho sam-
Wakil Ketua Komisi V DPR-RI dari Fraksi PDIP, Yoseph Umarhadi, berjanji akan mendukung secara politis melalui pembiayaan APBN setiap tahun guna terealisasinya pembangunan jalan Trans Maluku. Anggaran tahun 2010 ini akan dikucurkan bulan Juli mendatang. Sebagai upaya membuka daerah terisolir, beberapa ruas jalan yang telah dipatenkan menjadi Trans Maluku atau masih dalam proses perintisan saat ini tengah diperbaiki. “Seingat saya, alokasi anggaran yang diusulkan untuk jalan Trans Maluku oleh pemerintah pusat berkisar antara Rp 5 – 10 miliar,” ujar Yoseph. Dikatakannya, pemerintah pusat dan komisi V DPR-RI telah sepakat dalam membuka akses jalan di daerah-daerah terisolir di setiap provinsi di tanah air. Semua ini ditujukan demi terwujudnya pembangunan seluruh jalan trans di Indonesia. “ Untuk Trans Maluku sudah dijadwalkan,
Kepala Dinas PU Provinsi Maluku Antonius Sihalolo. (Foto:Jons)
dalam arti sudah masuk program pemerintah pusat dan kini pekerjaan secara bertahap sedang dilaksanakan ,” tandasnya. Adapun Jalan Trans Maluku yang direncanakan untuk diselesaikan, diantaranya Pulau Seram, Pulau Buru, dan Saumlaki. Khusus ruas di jalan-jalan tersebut pemerintah pusat bersama Komisi V DPR RI terus memantau pelaksanaan perbaikan jalannya. Ruas jalan ini diharapkan dapat segera tersambung sehingga akses jalan penghubung antar kabupaten lain antara satu dengan lainnya dapat terintegrasi. Ini merupakan permintaan masyarakat sendiri, tutur Yoseph Umarhadi. Terlebih lagi, kata Yoseph, akses jalan yang belum terhubung tersebut memiliki kekayaan alam yang menyimpan berbagai potensi obyek wisata yang hingga kini belum tersentuh para investor. Dirinya menilai, semestinya jalan-jalan tersebut, sudah dipersiapkan sebelum pagelaran event Sail Banda. Persoalannya, proses alokasi anggaran tidak mudah. Namun demikian, tambah Yoseph, dipastikan cepat atau lambat jalan Trans Maluku akan rampung pada waktunya nanti. Untuk itu, dia berharap rekan-rekan Komisi V DPR-RI terus mendukung pemerintah pusat supaya alokasi anggarannya dapat meningkat setiap tahun.( jons)
Kondisi salah satu ruas jalan trans Maluku di Tual, Maluku Tenggara, sebagian masih berupa jalan perkerasan yang perlu ditingkatkan. (Foto:Jons) KIPRAH • Volume 37
61
JELAJAH
EINRIP
untuk Kawasan Timur Indonesia
S
aya sekarang senang karena jalan ini akan menolong saya. Tidak hanya hemat waktu, tapi juga hemat solar,” demikian pengakuan Markus, pengemudi truk yang setiap hari mengggunakan jalan Pontianak – Tayan yang saat ini sedang dibangun. “ Karena dengan hemat waktu, saya bisa menambah rit untuk mengangkut barang-barang dari dan ke Pontianak. Ya, paling tidak uang belanja yang bisa dibawa pulang bisa bertambah,” ujar Markus di belakang kemudi. Pengakuan Markus hanyalah salah satu dari banyak orang yang merasakan manfaat jalan Pontianak - Tayan. “Apabila jalan ini selesai dibangun akan sangat membantu perekonomian masyarakat Kalimantan Barat dan Kalimantan pada umumnya” tutur Gubernur Kalimantan Barat Cornelis. Pergerakan barang dan jasa antar wilayah akan semakin cepat karena transportasi semakin lancar. Apalagi kalau pembangunan Jembatan Tayan segera terwujud. Hal itu jelas sangat berpengaruh terhadap hubungan antar Provinsi di Kalimantan. Rencana pembangunan Jembatan di atas sungai Kapuas yang mempunyai panjang 1.420 meter, ini membutuhkan dana Rp 500 milyar. Pemerintah pusat saat ini tengah berupaya mencari dana pinjaman dari luar negeri. Ruas jalan Pontianak – Tayan (104 km) merupakan salah satu ruas jalan yang mendapat bantuan dari program EINRIP (Eastern Indonensia National Road Improvement Project) dari Australia. Jalan ini mempunyai peran strategis dalam sistem jaringan jalan nasional. Selain itu,
62
Volume 37 • KIPRAH
Duta Besar Australia untuk Indonesia Bill Farmer memberikan ucapan selamat kepada Menteri PU Djoko Kirmanto, saat berkunjung ke lokasi proyek. (Foto:Srijanto)
Program
Pemerintah Australia telah memberikan pinjaman sangat lunak sebesar Aus$ 300 juta, dan sebagai sharing, pemerintah Indonesia dialokasikan Aus$30 juta. Program EINRIP mencakup wilayah 9 provinsi, yaitu Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, dengan target penanganan jalan sepanjang total 500 km, termasuk penggantian jembatan.
EINRIP merupakan kemitraan antara pemerintah Australia dengan Indonesia dalam program pelaksanaan jalan nasional dengan konstruksi standar tinggi, khususnya untuk wilayah kawasan timur Indonesia. Pelaksanaan pekerjaan program EINRIP dikelola oleh Ditjen Bina Marga Kementerian PU.
Pemerintah Australia sendiri terus berperan aktif dalam meningkatkan kualitas jalan di Indonesia sejak 40 tahun lalu, kata Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, dalam suatu kesempatan. Pemerintahnya sangat berbahagia bisa turut berpartisipasi dalam proyek besar di Indonesia. Menurutnya, dari 20
juga bagian dari mata rantai Lintas Selatan Kalimantan dan sistem jaringan jalan ASEAN Highway. Saat ini, sedang dibangun jalan sepanjang 31,5 km dengan standar lebar 6 -7 meter, dengan bahu jalan 1,5 meter, dikerjakan oleh PT Waskita Karya dengan dana sebesar Rp 137,34 milyar.
JELAJAH paket pekerjaan tersebut mencakup pekerjaan pemeliharaan, peningkatan, dan pem-bangunan jalan dan jembatan. Tujuan utama dari program ini adalah untuk penanganan jaringan jalan nasional agar memenuhi standar pelayanan dan aksesibilitas yang layak. Dari 20 paket pekerjaan sipil tersebut, saat ini 12 paket telah terkontrak, 4 paket masih dalam proses tender, dan empat paket lainnya dalam proses persiapan lelang, tutur Hermanto Dadak. Sedang berjalan Selain ruas Pontianak – Tayan, paket pekerjaan yang saat ini sedang dalam pembangunan adalah ruas Tohpati – Kusamba di Provinsi Bali. Jalan sepanjang 10,9 km ini dikerjakan oleh kontraktor PT Jaya Konstruksi dan PT Duta Graha Indah dengan alokasi dana sebesar Rp 180,82 milyar. Ruas ini merupakan peningkatan terhadap ruas yang telah ada dengan membuat duplikasi terhadap jalan lama. Teknologi daur ulang diterapkan dalam pekerjaan ini agar lebih efisien. Peningkatan juga dilakukan terhadap persimpangan jalan , drainase, fasilitas pengairan, dan aspek lainnya. Sampai saat ini, progresnya mencapai lebih dari 38 % Sumbawa Besar By Pass di Provinsi NTB yang memiliki panjang jalan 11,20 km, dikerjakan PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk. Lebar jalan ini existingnya bervariasi antara 5 – 6 meter ditingkatkan menjadi 7 meter dengan bahu jalan selebar 2 meter. Nilai kontrak untuk mengerjakan paket ini sebesar Rp 71,51 milyar. Paket pekerjaan peningkatan jalan Tinanggea-Kasipute di Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan jalan yang melewati taman nasonal, terletak di Km 119 – Km 141. Panjang jalan yang ditingkatkan dengan program EINRIP adalah 33,77 km, tepatnya dari Km 118,85 – Km 152,62 ruas Tinanggea – Kasipute.
Ruas ini juga akan dilakukan peningkatan terhadap 21 jembatan bentang pendek dengan konstruksi jenis box culvert dan 5 buah jembatan existing akan dilakukan rehabilitasi. Nilai kontrak pekerjaan ini mencapai Rp 115,73 milyar, dikerjakan oleh PTMulti Structure bersama PT Trifa Abadi Sementara itu program EINRIP untuk di Provinsi Sulawesi Selatan melakukan penanganan jalan sepanjang 26,88 km antara Bantaeng - Bulukumba. Pada ruas ini terdapat 5 buah jembatan baru akan dibangun dengan total bentang 89 meter dan 2 buah jembatan lama yang dilakukan rehabilitasi. Nilai paket pekerjaan ini mencapai Rp 124,60 milyar, dikerjakan oleh PT Waskita Karya bersama PT Brantas Abipraya. Terkontrak Sementara itu, saat ini ada 7 paket pekerjaan baru terkontrak masingmasing di Provinsi Bali adalah lanjutan ruas Tohpati – Kusamba sepanjang 8,20 Km. Dalam paket ini terdapat 6 jembatan yang dibangun terkait dengan duplikasi jalan yang telah ada. Total panjang jembatan yang dibangun adalah 211 meter, dengan nilai kontrak sebesar Rp175,61 milyar. Di Provinsi Sulawesi Selatan paket pekerjaan yang mendapatkan bantuan dari program EINRIP adalah ruas Sengkang – Impaimpa sepanjang 24,18 Km. Jalan yang ada akan dilebarkan dari 44,5 meter menjadi 6 meter dengan bahu jalan 1,5 meter. Di ruas ini terdapat 1 buah bangunan atas jembatan yang akan dibangun dan 5 buah jembatan yang ada akan direhabilitasi. Total nilai kontrak pekerjaan ini adalah Rp 100,65 milyar. EINRIP juga melakukan peningkatan jalan di Provinsi Sulawesi Utara, menyusul banjir yang terjadi pada Juli 2006, karena curah hujan yang tinggi, yang menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan.
Dikoridor Molibagu – Taludaa terdapat 5 jembatan yang rusak cukup serius. Bangunan bawah dan pemasangan bangunan atas merupakan program pekerjaan sipil, sedangkan untuk pengadaan material rangka baja dibiayai dari program EINRIP. Dana Rp 42,66 milyar diperuntukan bagi penanganan pekerjaan 5 jembatan dengan total panjang 480 meter dan jalan sepanjang 2 Km. Provinsi lain di Sulawesi yang mendapatkan program EINRIP adalah Sulawesi Tenggara. Ruas jalan yang ditangani adalah Bambae – Sp. Kasipute, sepanjang 23,93 Km. Dengan dana Rp 95,60 milyar ruas ini dikerjakan oleh PT Bumi Karsa bersama PT Nindya Karya. Selain Pulau Sulawesi, program ini juga menangani jalan dan jembatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tepatnya di beberapa ruas di Pulau Sumbawa. Ruas tersebut adalah Pal IV Km 70 sepanjang 31,79 Km, dengan nilai kontrak Rp 145,6 milyar, km 70 – Bts Cabdin Dompu sepanjang 14,10 Km dengan kontrak Rp 68,26 milyar. Bts Cabdin Dompu – Banggo sepanjang 23,61 Km dengan nilai kontrak Rp 101,93 milyar. Sedang dan dalam persiapan tender Masih ada 8 paket pekerjaan di 4 provinsi yang saat ini sedang dalam pelaksanaan tender dan persiapan tender. Masingmasing paket tersebut adalah Lakuan – Buol di Sulawesi Tengah(16,24 Km) dengan 2 buah jembatan. Setelah itu, ruas Martapura – Ds. Tungkep (18,89 Km) dan Banjarmasin – Bts Kalteng (12,90 Km) yang keduanya di Provinsi Kalimantan Selatan. Jeneponto – Bantaeng (25,83 Km) di Provinsi Sulawesi Selatan. Adapum 4 paket pekerjaan yang masih dalam persiapan tender adalah Ende – Aegela (15,60 Km Provinsi, ruas Bukukumba – Tundong di Provinsi Sulawesi Selatan sepanjang 65,24 Km yang dibagi kedalam 3 paket pekerjaan.(Sr)
KIPRAH • Volume 37
63
LAPORANKHUSUS
WUF 5, World Expo Shanghai, dan APMCHUD 2010:
Event Internasional Peduli Perkotaan (Foto:Dok.)
I
stilah urbanisasi ternyata tidak hanya merujuk pada perpindahan penduduk dari desa ke kota, melainkan juga pertambahan penduduk suatu kota sebagai akibat migrasi penduduk dari daerah pedesaan sekitarnya atau km perpindahan penduduk dari kota lain (Kamus Tata Ruang, Ditjen CK dan IAP, 1998). Bahkan, menurut Dirjen Cipta Karya Kementerian PU, Budi Yuwono, pada saat diwawancarai di salah satu televisi swasta, Kamis (6/5/2010), istilah urbanisasi kini juga memiliki arti yang lebih luas, yaitu perubahan suatu desa menjadi kota. Saat ini, pesatnya urbanisasi akibat ledakan pendudukan dan penyebaran pendudukan yang tidak merata menjadi isu krusial yang menarik perhatian dunia. Menurut prediksi PBB, 50 tahun ke depan ada sekitar 2/3 masyarakat dunia yang akan tinggal di perkotaan masing-masing
64
Volume 37 • KIPRAH
negara, termasuk Indonesia. Peningkatan urbanisasi menimbulkan efek domino yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi umat manusia dan lingkungan. Ledakan penduduk dan tidak meratanya penyebaran penduduk juga merupakan faktor adanya ketidakseimbangan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan sehingga semakin meningkatkan urbanisasi. Cepatnya peningkatan urbanisasi di perkotaan menimbulkan banyak permasalahan, salah satunya adalah maraknya permukiman kumuh di perkotaan. Oleh karena itulah, dunia semakin peduli terhadap pengelolaan pembangunan permukiman dan perkotaan. Hal itu ditandai dengan diselenggarakannya tiga rangkaian kegiatan penting yang menyangkut tema permukiman, yaitu World Urban Forum 5 (WUF) dengan tema Right to the City: Bridging the Urban Devide, World
Shanghai Expo 2010 melalui Better City Better Life, dan 3rd Asia Pasific Ministers’ Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) dengan tema “Empowering Communities for Sustainable Urbanization”. World Urban Forum 5 (WUF) Tantangan yang harus dihadapi oleh perkotaan di dunia di masa depan akibat pesatnya peningkatan urbanisasi, terutama pada beberapa dekade terakhir, ialah pengurangan ancaman kemiskinan, peningkatan akses fasilitas dasar masyarakat (air bersih, tempat tinggal, sanitasi, lingkungan yang bersahabat), dan pertumbuhan kota yang berkelanjutan. Oleh karena itulah, pada tanggal 22-26 Maret 2010 telah dilaksanakan World Urban Forum 5 di kota Rio de Janeiro, Brazil. Forum internasional terbesar di dunia
LAPORANKHUSUS ini merupakan pertemuan internasional kelima yang membahas tentang pembangunan perkotaan dan permasalahannya. Kegiatan yang mengusung tema Right to the City: Bridging the Urban Divide atau Hak untuk Bertempat Tinggal di Kota: Menjembatani Kesenjangan Perkotaan ini diprakarsai oleh UN Habitat bekerja sama dengan pemerintah Brazil dan dihadiri oleh 21.000 peserta lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia. UN Habitat adalah lembaga PBB yang fokus pada isu perumahan dan permukiman bangunan perkotaan. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Bali Moniaga, Duta Besar RI untuk Brazil, bersama Dirjen Cipta Karya PU, Budi Yuwono. Adapun partisipan lainnya dari Indonesia terdiri dari perwakilan kementerian/lembaga pemerintahan dan instansi terkait, seperti Kementerian Perumahan Rakyat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Luar Negeri, Walikota Palembang dan wakil pemerintah kota Jakarta Barat, serta URDI (Urban and Regional Development Institute). Dalam forum WUF ini, delegasi Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam menyampaikan berbagai permasalahan yang dihadapi, kebijakan yang diambil, serta program-program yang sudah dijalankan
maupun terus dilakukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, termasuk sasaran-sasaran Millennium Development Goals atau MDGs 2015. Kegiatan yang diikuti oleh delegasi Indonesia mencakup mengikuti konferensi, forum dialog dan diskusi, serta pameran pembangunan perkotaan ini tidak hanya sebagai ajang berbagi pengalaman, namun sekaligus promosi awal dari penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Ministers’ Conference on Housing and Urban Development atau biasa disebut APMCHUD yang akan diselenggarakan di Solo pada Juni 2010. Secara khusus, ketua Delegasi RI mengundang negara-negara Asia-Pasifik untuk menghadiri APMCHUD. Selain itu, delegasi RI sempat berpartisipasi dalam pertemuan South-South Cooperation yang menekankan kepada negara-negara Selatan akan pentingnya melihat kembali potensi kerja sama mereka, khususnya terkait dengan urbanisasi berkelanjutan dan permukiman bagi semua. Delegasi Indonesia pun menjajaki kemungkinan kerja sama di bidang perumahan dan permukiman dengan negara-negara peserta, termasuk negara tuan rumah. Delegasi RI juga menghadiri diskusi “Rental Housing” yang menekankan perlunya kebijakan khusus tentang rumah sewa yang
Kawasan Kota Favela, Brazil (Foto:Dok.)
dapat menciptakan keseimbangan antara pemilik dengan penyewa rumah. Berbagai permasalahan penting dibahas oleh para menteri dari negara peserta dalam pertemuan pleno yang dipimpin oleh Menteri Perkotaan Brazil dan Menteri Perumahan dan Perkotaan USA. 4 (Empat) permasalahan utama yang dibahas adalah: 1) akses masyarakat miskin akan haknya terhadap penghidupan di kota; 2) pemerintah daerah harus mencegah pembangunan kota yang lebih menguntungkan para pemilik modal; 3) pembangunan wilayah perkotaan harus mempertimbangkan aspek lingkungan, kepastian tinggal bagi masyarakat miskin, dan ancaman perubahan iklim; serta 4) pembangunan infrastruktur perkotaan bagi pemenuhan hak dasar masyarakat perkotaan.
Pada WUF ini, delegasi Indonesia turut berbagi pengalaman pelaksanaan program dalam mengatasi permasalahan pembangunaan permukiman dan perkotaan. Diantaranya, implementasi NUSSP (Neighbourhood Upgrading Shelter Sector Project) dari tahun 2005-2009 yang telah mengentaskan lebih dari 7 ribu hektar kawasan kumuh di 32 kabupaten, program P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) yang mencakup lebih dari 10.000 kelurahan dengan dana Rp2,04 trilyun sejak dilakukan pada tahun 1999, program PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang didukung oleh Bank Dunia dengan target 15 provinsi, program SANIMAS (Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003 di lebih 400 lokasi, program RUSUNAWA (Rumah Susun Sederhana Sewa) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005 dan mencapai 31.150 unit di 24 propinsi, program KIP (Kampung Improvement Program/ Program Perbaikan Kampung), dan juga KIPRAH • Volume 37
65
LAPORANKHUSUS Indonesia tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Delegasi dari Indonesia yang dipimpin oleh Hatta Rajasa (Menko Perekonomian) didampingi Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan) mengadakan pemutaran video berisi tentang investasi dan promosi infrastruktur di Indonesia yang ditampilkan di teater dalam paviliun Indonesia.
Denyut nadi kota Shanghai, Cina. (Foto:Lis)
program gerakan pembangunan 1 juta rumah murah. Dalam sambutan penutupnya, Anna Tibaijuka, Direktur Eksekutif UN Habitat, menyampaikan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini jumlah penduduk dunia yang tinggal di kawasan kumuh telah meningkat dari 780 juta menjadi 820 juta jiwa. Oleh karena itu, ada dua kerja sama yang dilakukan oleh UN Habitat. Pertama, pencanangan Program World Urban Campaign, yaitu program kerja sama antara UN Habitat dengan sektor publik dan swasta, serta masyarakat sipil untuk mengangkat isu urbanisasi berkelanjutan menjadi agenda pemerintahan di seluruh dunia. Kedua, kerja sama dengan perusahaan Coca Cola untuk penyediaan 1 juta US$ bagi pe-ngembangan air murni di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Program ini bertujuan membantu kelestarian sumber daya air dan efisiensi penggunaan air serta membantu proses daur ulang air kotor menjadi air bersih ini diharapkan dapat terlaksana dalam 2 tahun mendatang. World Shanghai Expo 2010 Rangkaian kegiatan internasional yang
66
Volume 37 • KIPRAH
membahas mengenai pembangunan permukiman dan perkotaan selanjutnya adalah World Shanghai Expo 2010. Kegiatan ini diadakan sejak 1 Mei sampai 31 Oktober 2010 di Shanghai, Cina. World Expo yang merupakan acara 5 tahunan sejak tahun 1851 ini melibatkan partisipasi negara-negara seluruh dunia untuk berbagi pengalaman dan ajang promosi di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi, sekaligus mempererat hubungan kerja sama antar bangsa. Di momen inilah negara-negara peserta expo mempromosikan keberhasilan sekaligus saling berbagi permasalahan melalui pameran. Adapun tema besar World Expo 2010 adalah Better City, Better Life (Kota yang lebih baik akan memberikan kehidupan yang lebih baik juga). Negara-negara yang menjadi peserta mendekorasi paviliun negaranya sesuai dengan 5 tema, yaitu Urban Footprint (Jejak Urban), Urban Planet (Planet Urban), Urban Dwellers (Penduduk Urban), Urban Beings (Manusia Urban), dan Urban Dreams (Mimpi Urban). World Shanghai Expo 2010 diikuti kurang lebih 200 negara peserta dan 47 organisasi internasional.
Selain itu, para delegasi dari berbagai kementerian/lembaga pemerintahan, seperti Kementerian PU, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian BUMN, serta BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menunjukkan kerja sama apiknya dalam pameran ini. Paviliun Indonesia memamerkan berbagai potensi sumber daya alam (kehidupan laut dan hutan), industri kreatif dan kebudayaan (hasil bumi, kain, alat musik, makanan), investasi, perdagangan, dan pariwisata Indonesia. Paviliun seluas 4.000 m2 dengan bangunan 2.400 m2 yang mengusung tema BioDiverCity ini patut menjadi kebanggaan bangsa karena menampilkan keharmonisan antara manusia dan lingkungan dalam keanekaragaman budaya Indonesia. Mari Elka Pangestu mengungkapkan keberadaan Paviliun Indonesia memiliki peran penting bagi program pencitraan Indonesia sebagai satu bangsa yang sering tidak dikenal dunia. Melalui Paviliun Indonesia, diharapkan dunia Internasional dapat melihat kemajuan Indonesia sebagai bagian dari dunia yang sedang membangun peradaban. APMCHUD Setelah penyelenggaraan World Urban Forum di Brazil dan World Shanghai Expo di Cina, kegiatan terakhir dan sangat penting, khususnya bagi pemerintah In-
LAPORANKHUSUS donesia, adalah penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Ministers’ Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) yang akan dilaksanakan pada tanggal 2224 Juni 2010 di Solo, Indonesia.
anggota, perwakilan dari lembaga internasional dan regional, serta pemerintah lokal, akademisi, peneliti, serta organisasi kemasyarakatan yang peduli pada isu perumahan dan pembangunan kota.
Dirjen Cipta Karya Kementerian PU Budi Yuwono yang sekaligus juga merupakan Wakil Ketua I APMCHUD menjelaskan bahwa APMCHUD merupakan pertemuan internasional dari 68 negara anggota yang diwakili para menteri di bidang pembangunan perumahan dan pengembangan perkotaan seAsia-Pasifik yang didirikan pada bulan Desember 2006. Tujuan penyelenggaraan APMCHUD ke-3 nanti adalah membicarakan perlunya penggelolaan perkotaan yang lebih seimbang antara unsur sosial, ekonomi, dan lingkungan melalui pembangunan berkelanjutan.
Kegiatan yang akan diadakan adalah Konferensi Tingkat Menteri dari 68 negara anggota dan pertemuan pejabat senior, working group meeting, kunjungan lapangan, dan pameran.
Sebagai tuan rumah dan negara yang memiliki populasi serta jumlah kota yang besar, Indonesia akan memperlihatkan praktik terbaik dalam bidang perumahan dan pembangunan perkotaan yang telah dilakukan. Peserta APMCHUD nantinya diperkirakan sekitar 650 orang, terdiri atas menteri dan penjabat senior dari 68 negara
Tantangan dari semakin tingginya angka urbanisasi di berbagai kota dunia, khususnya kawasan Asia-Pasifik, ditunjukkan dari adanya pertumbuhan perkotaan yang diproyeksikan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050 dimana sebagian besar dari pertumbuhan ini akan terjadi di negara berkembang, 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan, 2/3 penduduk dunia tinggal di perkotaan pada tahun 2030 dan separuhnya berada di kawasan Asia-Pasifik, dan 50% penduduk perkotaan di Asia tinggal di permukiman kumuh, serta 650 juta penduduk Asia-Pasifik adalah masyarakat miskin. Di Indonesia sendiri, menurut Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Monoarfa yang juga Ketua APMCHUD, mengingat bahwa sejak tahun 2007 ada
sekitar 50% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Selain itu, 58,6% penduduk tinggal di pulau Jawa yang luasnya kurang dari 7% luas daratan Indonesia, adanya 17% permukiman di lokasi rawan bencana, serta tingkat kemiskinan mencapai 14,15% atau sekitar 32,53 juta jiwa menjadikan APMCHUD sebagai forum penting untuk dapat berbagi pengalaman dan informasi dengan negara-negara anggota APMCHUD sekaligus mencari solusi terbaik. Solo dipilih sebagai tempat penyelenggaraan APMCHUD karena keberhasilan Walikota Solo dalam implementasi pembangunan permukiman dan perkotaan yang mampu melibatkan masyarakat dengan menghargai budaya lokal. Pada APMCHUD nanti, kota Solo akan menjadi salah satu kota percontohan dan akan membagi pengalaman serta keberhasilannya kepada negara-negara anggota. Semoga saja kegiatan APMCHUD di Solo nanti dapat menghasilkan Deklarasi Solo yang menjadi kerangka regional pemberdayaan masyarakat untuk urbanisasi yang berkelanjutan, khususnya dalam konteks perubahan iklim dan penguatan ekonomi lokal di Indonesia. (Endah)
Pemanfaatan bantaran sungai dengan penghijauan untuk mendukung keindahan kota. (Foto:Dok.) KIPRAH • Volume 37
67
LAPORANKHUSUS
Kegiatan seni budaya di kota Surakarta (Kirab). (Foto: Pemkot Surakarta, 2008)
Menjalin Kerja Sama Global (AMPCHUD, Surakarta 22-24 Juni 2010) Oleh : **Taufan Madiasworo
A
PMCHUD merupakan Forum Menteri seAsia-Pasifik di Bidang Pembangunan Perumahan, Permukiman dan Perkotaan (Asia Pacific Ministers’ Conference 0n Housing and Urban Development) yang dibentuk dengan tujuan mendorong kerjasama global, berbagi pengalaman, informasi dan pengetahuan dalam mengatasi permasalahan dan tantangan permukiman dan pembangunan perkotaan seperti : urbanisasi, perumahan dan pengelolaan permukiman, kemiskinan, lingkungan kumuh (slum area), Millenium Development Goals (MDGs), serta mengembangkan kebijakan dan strategi bagi
68
Volume 37 • KIPRAH
pengembangan permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan. Konferensi pertama APMCHUD diadakan di New Delhi, India pada tahun 2006 dan telah menghasilkan suatu kesepakatan berupa Deklarasi New Delhi dan kerangka kerja tentang implementasi urbanisasi berkelanjutan di Asia Pasifik. Selanjutnya, APMCHUD kedua pada tahun 2008 di Teheran telah menghasilkan Deklarasi Teheran dan rencana aksi untuk kerjasama regional tentang promosi pembangunan perkotaan berkelanjutan di Asia Pasifik dengan beberapa fokus pada bidangbidang sebagai berikut: 1) perencanaan
dan pengelolaan perkotaan dan perdesaan; 2) peningkatan kualitas kawasan kumuh; 3) pelaksanaan MDGs tentang air dan sanitasi; 4) pembiayaan perumahan yang berkelanjutan dengan meningkatkan keterjangkauan dan kualitas perumahan sederhana; serta 5) pengembangan urbanisasi berkelanjutan dengan fokus pada bencana alam. APMCHUD memiliki visi mempromosikan pembangunan permukiman berkelanjutan di kawasan Asia Pasifik dan misi menjadi focal point/hub pengetahuan global dan fasilitator pembangunan permukiman berkelanjutan (KAK Penyusunan Materi APMCHUD, 2010).
LAPORANKHUSUS APMCHUD ke-3, dengan tuan rumah Indonesia, akan diselenggarakan di kota Surakarta pada tanggal 22-24 Juni 2010. Kegiatan ini merupakan merupakan forum internasional bagi 68 negara yang diwakili oleh para menteri seAsia-Pasifik di bidang permukiman dan perkotaan. Adapun tema APMCHUD ke-3 ini adalah Empowering Communities for Sustainable Urbanization. Ditetapkannya tema tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa kondisi seperti tingginya tingkat urbanisasi, populasi dan kemiskinan, tingginya konsumsi energi, eksploitasi lingkungan yang berlebihan, dan Millenium Development Goals (MDGs). Di sisi lain, isu lingkungan global juga tidak dapat dihindari seperti pemanasan global dan perubahan iklim.
yang diantaranya akan memuat kerangka regional peningkatan pemberdayaan masyarakat untuk urbanisasi yang berkelanjutan dalam konteks perubahan iklim dan penguatan ekonomi lokal.
Terdapat 5 (lima) sub tema yang akan menjadi pokok bahasan dalam APMCHUD ke-3 ini, yaitu: 1) perencanaan dan manajemen perkotaan dan perdesaan; 2) peningkatan kualitas kawasan kumuh perkotaan; 3) pelaksanaan MDGs untuk air minum dan limbah; 4) pembiayaan perumahan berkelanjutan; dan 5) penanganan urbanisasi berkelanjutan. Dalam APMCHUD ke-3 ini juga diharapkan dapat ditetapkan sebuah kesepakatan dalam bentuk Deklarasi Solo (Solo Declaration),
Kota Surakarta terpilih sebagai tempat pelaksanaan APMCHUD ke-3 dengan beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Kota Surakarta menunjukkan langkah nyata dan progress yang cukup signifikan dalam sektor pembangunan perumahan, permukiman, dan perkotaan berbasis pemberdayaan komunitas masyarakat; 2) Kota Surakarta menunjukkan tekad dan keseriusan untuk menjalin kerja sama sama dengan seluruh pemangku kepentingan tidak hanya di tingkat nasional,
Surakarta, tuan rumah APMCHUD ke-3 Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama Solo. Kota yang merupakan pusat kebudayaan Jawa ini, kaya dengan beragam aset warisan budaya. Dulunya, kota ini juga merupakan tempat kedudukan dari residen yang membawahi karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Sektor pariwisata berbasis budaya lokal merupakan sektor unggulan kota Surakarta.
Pengelolaan sektor informal yang cukup berhasil di kota Surakarta, dapat dijadikan best practices. (Foto: Pemkot Surakarta, 2009)
Kampung Batik Laweyan. (Foto : Pemkot Surakarta, 2008)
namun juga tingkat global; dan 3) Kota Surakarta menunjukkan inovasi untuk mendukung kapasitas lokal, menjaga keberlanjutan lingkungan, serta secara konsisten melakukan pembangunan secara terpadu dan terencana. Dampak strategis APMCHUD Melalui pelaksanaan forum APMCHUD yang ke-3 ini, diharapkan dapat memberikan dampak strategis yang berkelanjutan dalam menjawab tantangan perumahan dan pembangunan perkotaan secara lebih efektif di masa mendatang, memberikan dukungan bagi pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan masyarakat, penguatan ekonomi lokal, mereduksi permasalahan urbanisasi, lingkungan kumuh dan krisis lingkungan, serta masalah global (global warming dan perubahan iklim). Selanjutnya, melalui sharing pengalaman, informasi dan pengetahuan, membangun kesepahaman, pemantapan kemitraan dan kerjasama strategis secara global umumnya serta regional, khususnya antar negara-negara Asia Pasifik diharapkan permasalahan dan tantangan tersebut di atas dapat ditangani secara optimal. **Kasi Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan Wilayah II, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum.
KIPRAH • Volume 37
69
WACANA Pembangunan kota-kota di Indonesia sering dikritik sebagai proses yang tidak atau kurang menuju ke arah pengembangan liveable cities, suatu lingkungan binaan yang mampu memberikan kenyamanan yang memadai bagi warganya dari semua segmen. Di samping sejumlah kemajuan yang dicapai dari proses pembangunan, dengan mudah kita dapat mengamati berbagai persoalan justru dipicu oleh aktivitas pembangunan itu sendiri. Sebut saja kemacetan lalu-lintas semakin akut akibat pembangunan berbagai gedung yang membangkitkan dan menarik pergerakan baru tanpa antisipasi pengembangan jaringan jalan yang memadai; pencemaran udara, suara, dan air akibat pembangunan berbagai pusat aktivitas industri dan transportasi; serta hilangnya mata pencaharian sekelompok pedagang tradisional akibat pengembangan pusat perdagangan modern, dll. Dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota, fenomena ini lazim disebut eksternalitas.
Kompensasi Eksternalitas Pembangunan Kota Oleh: **Miming Miharja
E
ksternalitas merupakan fenomena dimana aktifitas pembangunan kota menciptakan dampak tertentu terhadap pihak-pihak yang pada hakekatnya tidak ikut terlibat dalam akifitas tersebut, dapat bersifat menguntungkan namun juga bisa merugikan. Eksternalitas yang menguntungkan tentu merupakan berkah multiplier effect pembangunan. Yang menjadi persoalan adalah fenomena eksternalitas negatif juga banyak terjadi namun terabaikan, sehingga memicu ketidakadilan dalam perikehidupan warga kota. Kerugian umumnya dialami oleh kelompok-kelompok yang lemah aksesnya terhadap mekanisme pengambilan kepu-
70
Volume 37 • KIPRAH
tusan formal pembangunan kota. Akibatnya, peningkatan kualitas kehidupan sekelompok warga kota tertentu acapkali diiringi dengan terjadinya penurunan kualitas hidup kelompok warga yang lain sehingga menciptakan atau memperdalam ketidakadilan. Ada tiga syarat utama yang harus ditegakkan agar sisi buruk dari fenomena eksternalitas pembangunan kota ini bisa diatasi. Pertama, pemahaman seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan aktifitas pembangunan kota: eksekutif, legislatif, para pakar, lembaga swadaya
masyarakat, sektor swasta, serta masyarakat luas pada umumnya, akan fenomena eksternalitas. Kedua, suasana demokratis dimana setiap gejala eksternalitas (terutama yang negatif) dapat disuarakan untuk mendapat perhatian dan dipersoalkan secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Ketiga, tegaknya kelembagaan yang mampu menjalankan mekanisme kompensasi eksternalitas ini secara efektif. Ketiga syarat ini telah sejak lama terpenuhi dalam tatanan proses pembangunan kota-kota di negara maju, sehingga tidak aneh bila kita mengamati kondisi kota-kota mereka yang sangat nyaman dan berkeadilan.
WACANA Pemahaman eksternalitas dapat bersifat kompleks. Pada saat suatu investasi menghasilkan kedua jenis eksternalitas positif dan negatif, tidak selalu dapat dikatakan bahwa eksternalitas positifnya bisa mengompensasi yang negatif secara langsung. Mengapa? Sebab, mungkin pihak yang dirugikan dan diuntungkannya berbeda (misalnya penduduk kawasan di sekitar pusat perdagangan yang mengalami kemacetannya, sementara penduduk dari wilayah lain yang memanfaatkan kesempatan kerjanya). Mungkin juga karena memang sifat dari eksternalitas negatifnya secara hakiki tidak bisa dikompensasi oleh eksternalitas positifnya. Contohnya kemacetan lalu lintas yang hanya bisa diatasi oleh perbaikan sistem jaringan jalan dan atau pengembangan angkutan umum, bukannya oleh penyediaan lapangan kerja.
Kawasan Bundaran H.I . Jakarta. (Foto:Lies)
Sementara itu, belum terpenuhinya ketiga syarat tersebut dalam proses pembangunan kota-kota di negeri kita, telah menyebabkan sulitnya kita terhindar dari resiko pembangunan kota yang mengandung berbagai bentuk eksternalitas negatif yang mungkin saja disadari dan dikeluhkan, namun tidak mampu dikompensasi. I. Pemahaman eksternalitas Respon aktif terhadap fenomena eksternalitas diharapkan berkembang sebagai bagian dari proses kontrol publik untuk menekan dampak dari pembangunan kota yang merugikan. Tentu saja respon tersebut akan muncul bila ada pemahaman yang baik terhadap fenomenanya itu sendiri. Dengan kata lain, pemahaman dari semua elemen warga kota secara luas tentang eksternalitas adalah syarat bagi terbangunnya awareness untuk menekan ekses negatif perilaku kapitalistik pembangunan kota.
Dengan demikian, analisis eksternalitas dari suatu kegiatan pembangunan (baca: investasi) kota tidak dapat dilakukan dalam bentuk selisih besaran eksternalitas negatif dan positif secara sederhana. Akan tetapi, memerlukan kajian yang mendalam dengan mengacu pada asas optimasi rasa keadilan publik. Pertanyaan kuncinya adalah adakah suatu mekanisme yang efektif dalam mengenali, menganalisa, mengitung, dan secara patuh menjadikan pemahaman atas eksternalitas ini menjadi acuan pada proses pembangunan kota yang berasaskan optimasi kepentingan publik oleh karena jawabannya di negara kita adalah belum ada, maka agenda pengembangan mekanisme kompensasi ini sangat menarik dan strategis dalam upaya memperbaiki arah pembangunan kota menuju liveable cities. Pertanyaan berikutnya adalah siapakah sebenarnya pemicu eksternalitas? Meskipun pembangunan fasilitas umum oleh dana publik adalah salah satu sumber eksternalitas, kekuatan kapital yang dimiliki sektor swasta merupakan pemicu utama lainnya. Dalam pemahaman ilmu ekonomi, sektor swasta dikenal sebagai entitas dengan motif utama memaksi-
malkan profit. Adanya beberapa pelaku usaha dengan kepedulian sosial yang tinggi tidak cukup mengompensasi karakter agregat kapitalis yang memiliki kecenderungan memaksimalkan profit. Ini suatu karakter yang berpotensi membentuk perilaku yang mengabaikan eksternalitas negatif. Jika tidak ada pihak yang mempersoalkannya, perilaku kapital akan cenderung pada upaya mencapai keuntungan maksimal serta cenderung mengabaikan biaya sosial akibat eksternalitas negatif yang ditimbulkannya. Mengapa? Karena dalam struktur pembiayaan perusahaan, biaya untuk mengompensasi eksternalitas negatif termasuk dalam kelompok biaya produksi yang sifatnya mereduksi profit. Meskipun secara fair harus dikatakan bahwa pada saat yang bersamaan investasi juga berpotensi menciptakan eksternalitas positif, namun tetap harus ada suatu analisa dan perhitungan yang jelas terhadap resultan dari eksternalitas suatu investasi. II. Stadium demokrasi Meskipun masih banyak kelemahan akibat euphoria kebebasan, namun secara agregat kita dapat merasakan banyak hikmah positif perkembangan demokrasi tersebut dalam mempromosikan pembangunan yang lebih berkeadilan. Kebebasan media pemberitaan yang cukup luas dalam menyajikan proses pengungkapan penyimpangan-penyimpangan di berbagai sektor telah mampu membangun keyakinan publik untuk berani menyuarakan setiap persoalan. Mengapa kontrol publik yang datang dari pihak masyarakat menjadi ujung tombak dalam pengendalian eksternalitas? Karena mereka adalah pihak yang paling banyak mengalami kerugian oleh akibat dari eksternalitas (negatif) yang tidak terkontrol, sehingga paling paham akan realitas persoalan yang dihadapi. Mestinya masyarakat kota adalah pihak yang paling termotivasi untuk mempertanyakan, misalnya, mengapa pembangunan mal (pusat perdagangan) baru diizinkan oleh pemerintah kota? Apakah KIPRAH • Volume 37
71
WACANA sudah sesuai dengan rencana tata ruang kota yang pernah disusun? Siapa pihak yang mendapat manfaat terbesar dari pembangunan itu? Apa kerugian yang diderita masyarakat (tambah macet, tambah bising, pedagang kecil kehilangan pangsa, dst.)? Adakah kompensasi yang terukur dan memadai untuk mengatasinya? Untuk itu, penting dilakukan kontrol publik. Kekuatan kontrol publik ini hanya dimungkinkan bila ada kecerdasan masyarakat yang memadai yang disertai pembentukan kelompok-kelompok kepedulian. Namun demikian, terpenuhinya syarat kedua ini memerlukan upaya pembenahan guna meminimalkan resiko negatif akibat euphoria kebebasan. Perlu dikembangkan kesadaran publik bahwa penyuaraan fenomena eksternalitas pembangunan kota sejatinya bertujuan untuk melakukan koreksi terhadap ekses negatif dari aktifitas pembangunan secara proporsional. Sikap berlebihan dalam mengembangkan koreksi tersebut bisa berakibat melemahkan akselerasi pembangunan kota bahkan bisa bersifat kontra produktif. Bagaimanapun, proses pembangunan kota perlu didorong untuk selalu berakselerasi. Di tengah semangat pembangunan kota melalui skema partisipasi sektor swasta yang merupakan alternatif solusi bagi persoalan keterbatasan dana pemerintah, upaya koreksi yang tidak proporsional bisa menjadi bumerang. III. Kelembagaan kompensasi Syarat ketiga yang tidak kalah pentingnya bagi keberhasilan pengembangan mekanisme kompensasi eksternalitas pembangunan kota adalah dukungan kelembagaan. Kelembagaan tidak semata merujuk pada pengertian konvensional kelembagaan sebagai body of institution (badan organisasi), melainkan pada pengertian yang komprehensif, yakni suatu set rule of the game yang mengatur
72
Volume 37 • KIPRAH
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Setiabudi, Jakarta Selatan. (Foto:Ahmad Fauzi)
tata cara dan prosedur bagaimana seharusnya mekanisme kompensasi tersebut dijalankan. Tentu saja didalamnya terkandung kebutuhan mendefinisikan badanbadan organisasi sebagai unit pelaksana fungsi regulasi, deteksi, analisa, pengambilan keputusan, dan eksekusi keputusan. Fungsi regulasi merupakan elemen pokok yang merumuskan tata aturan main bagaimana prosedur pengenalan (deteksi) terhadap fenomena eksternalitas, analisis terhadap masalah eksternalitas yang muncul, aturan penambilan keputusan, serta eksekusi dan kontrol terhadap keputusan yang telah diambil akan diatur. Regulasi ini menempati peranan menda-
sar dalam memberikan landasan hukum bagi setiap tindakan yang akan diambil oleh perangkat terkait dalam proses kompensasi eksternalitas. Bentuk regulasi ini dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah pusat, peraturan daerah, serta bentuk-bentuk produk legal lainnya sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jelas bahwa fungsi regulasi ini terdiri dari unsur peraturan yang dirumuskan oleh lembaga legislatif dengan memperhatikan input dari eksekutif, yudikatif, masyarakat luas, dan pihak lain yang berkepentingan, termasuk sektor swasta. Adapun pengembangan konten dari regulasi untuk mengatur setiap langkah dalam proses kompensasi
WACANA eksternalitas ini selayaknya disusun berdasarkan pelajaran dari berbagai kasus dan fenomena kerugian dan keuntungan dari semua bentuk kegiatan investasi dan pembangunan kota.
inkan fungsinya, diperlukan personilpersonil yang memiliki kapabilitas dan pemahaman yang baik tentang substansi persoalannya, serta pengawasan oleh pihak independen.
Fungsi deteksi berperan dalam mengamati, mengenali, serta memformulasikan fenomena eksternalitas dari suatu gejala yang dirasakan menjadi rumusan statement of problem yang jelas dan objektif. Fungsi deteksi ini pada dasarnya dapat dilakukan oleh setiap elemen masyarakat (terutama yang terkena dampak dari suatu kegiatan investasi dan atau pembangunan kota) baik individual maupun kolektif/institusional.
Fungsi pengambilan keputusan idealnya diperankan oleh lembaga khusus yang bisa merupakan kelengkapan dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Bila persoalan dapat diputuskan dalam tataran non-juridis, maka lembaga semacam bappeda dan bapedalda dapat diberdayakan. Namun, bila terjadi ketidak sepahaman yang cukup tajam antara pihak-pihak yang berbeda pandangan dalam penyelesaian persoalan kompensasi eksternalitas ini, maka diperlukan lembaga peradilan yang lebih formal.
Deteksi pada dasar-nya bisa bersifat exante, yaitu meprediksi kondisi-kondisi yang akan terjadi sebagai dampak dari suatu kegiatan pembangunan/investasi, serta ex-post, yaitu menyatakan kondisikondisi yang secara nyata sudah terjadi sebagai dampak dari kegiatan pembangunan/investasi. Fungsi analisa berfungsi menindaklanjuti perumusan masalah yang telah dihasilkan pada tahap deteksi untuk dianalisa secara komprehensif. Analisa bertujuan memahami lebih lanjut aspek negatif serta positif untuk menentukan gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan aspek cross-compensation-nya atau tidak. Nampak bahwa proses analisa ini memerlukan kecermatan khusus untuk dapat mempertimbangkan setiap fenomena secara jelas dan berimbang. Dengan demikian, diperlukan suatu lembaga yang memiliki indepen-densi serta profesionalisme yang tinggi. Lembaga ini bisa merupakan lembaga pemerintah yang independen dan ditugasi khusus untuk tujuan ini. Sebetulnya, lembaga badan perencanaan pembangunan daerah (bappeda) serta badan pengendali dampak lingkungan daerah (bapedalda) dapat diberdayakan untuk mengemban fungsi ini. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi yang harus dijaga oleh lembaga ini dalam mema-
Pembentukan suatu lembaga pengadilan yang bertugas khusus dalam pengendalian eksternalitas pembangunan/investasi kota semacam pengadilan tipikor dan sejenisnya merupakan suatu strategi yang baik untuk mewujudkan mekanisme kompensasi eksternalitas pembangunan kota yang efektif. Fungsi eksekusi keputusan yang telah diambil berada pada kelembagaan peme-
rintah yang tugas pokoknya menjalankan hasil kesepakatan atau bahkan keputusan pengadilan. Dalam hal ini, kepolisian dan polisi pamong praja merupakan organorgan yang dapat difungsikan untuk tujuan ini. Fungsi eksekusi ini jelas merupakan ujung tombak dari pelaksanaan keputusan dalam rangkaian mekanisme kompensasi eksternalitas yang kerjanya dilandasi oleh keputusan yang memiliki dasar hukum yang sudah tetap. Namun demikian, yang lebih penting adalah penetapan suatu strategi agar keseluruhan sistem aturan main tersebut dapat dijalankan secara akuntabel, transparan, dan konsisten. Hal terakhir ini harus didukung oleh mekanisme reward and punishment yang jelas dan konsisten. Dalam hal ini, perkembangan keterbukaan dalam penyelenggaraan setiap aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan publik di negeri kita dewasa ini cukup memberi harapan bagi keberhasilan mekanisme kompensasi eksternalitas ini untuk dijalankan. ** Dosen pada Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Kemacetan di Jl. Gatot Subroto Jakarta Selatan. (Foto:Lis) KIPRAH • Volume 37
73
WACANA
Pembaharuan Pengaturan Usaha &
Peran Masyarakat Jasa Konstruksi Oleh: **Tri Djoko Waluyo dan H. Putut Marhayudi
A
nda, saya, dan pembaca lainnya, khususnya masyarakat jasa konstruksi, tentunya sudah mengetahui terbitnya PP 04 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Anda dan saya sedikit banyak memahami bahwa dinamika perkembangan usaha jasa konstruksi semakin hari semakin cepat dan dinamis sehingga memerlukan pengaturan yang kompatibel sesuai dengan dinamika/tuntutan perkembangan usaha jasa konstruksi tersebut. Ruang ini mungkin tidak cukup untuk membedah PP 04 tahun 2010 secara detail dan lengkap. Tetapi, semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit gambaran tentang kisi-kisi pokok perubahan mendasar atas produk hukum tersebut, yang konon merupakan karya panjang yang telah melalui proses konsultasi publik dalam usaha membenahi pengaturan tentang usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi. Hanya saja, di sayangkan sejak PP 4 ini disahkan sebagai Peraturan Pemerintah tanggal 6 Januari 2010, yang kedudukanya sebagai pengganti PP 28 Tahun 2000, yang ramai muncul dipermukaan justru hanya menyangkut masalah sertifikasi dan registrasi. Padahal, sertifikasi dan registrasi hanya merupakan salah satu konsekuensi atas perubahan tersebut. Sementara, esensi dari perubahan tersebut menyangkut nafas pengaturan usaha dan peran masyarakata jasa konstruksi yang nantinya akan di-break down dengan peraturan menteri justru belum nampak tersentuh.
74
Volume 37 • KIPRAH
Kegiatan sektor jasa konstruksi memerlukan dukungan kelembagaan dan payung hukum yang kuat. (Foto:Dok.)
Kalau kita menengok kebelakang, sesungguhnya terdapat berbagai permasalahan yang ditemui ketika “PP 28 tahun 2000” mulai diimplementasikan, antara lain seperti: (a) Lembaga yang diamanatkan oleh UU Jasa Konstruksi (UUJK) tidak dideskripsikan secara jelas sehingga dapat menimbulkan kerancuan lembaga mana yang ditunjuk oleh UU Jasa Konstruksi; (b) Sumber pendanaan pelaksanaan operasional kebijakan Lembaga bersifat tidak tetap sehingga menyebabkan pelaksanaan tugas Lembaga menjadi tidak optimal dan akuntabilitas pelaksanaan operasional kebijakan Lembaga menjadi rendah;
(c) Badan Pelaksana (Bapel) kurang optimal dalam mendukung LPJK dari sisi sumberdaya dan akuntabilitas; (d) Pembidangan usaha belum dijabarkan sebagaimana amanat UUJK sehingga menghambat daya saing penyedia jasa karena tidak selaras dengan kebutuhan pasar dan norma klasifikasi internasional; (e) Pemerintah dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi mengalami kesulitan dalam mengontrol proses sertifikasi dan menjamin keberlanjutan pelayanan publik dan; (f) Mekanisme sertifikasi sangat beragam dan tidak mengacu pada satu standar sehingga belum dapat memberikan gam-
WACANA baran kompetensi penyedia jasa yang sesungguhnya. Tidak dapat dipungkiri, adanya berbagai permasalahan yang ditemui tersebut menunjukan bahwa dalam pengaturan usaha & peran masyarakat dalam mengembangkan jasa konstruksi kita ibarat masuk ke ruang gelap yang belum di ketahui saklar lampunya. Dampaknya dapat dilihat dimana usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi yang diatur dalam PP 28 Tahun 2000 belum signifikan mengantarkan pencapaian tujuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dalam hal ini terutama untuk mewujudkan struktur usaha jasa konstruksi yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Hasilnya, pengembangan jasa konstruksi ternyata hanya “enak” didengarkan ketimbang hasil penerapannya.
rakat jasa konstruksi, tetapi justru mendudukkan usaha & peran masyarakat jasa konstruksi secara proporsional. Di sisi lain, dalam PP 04 tahun 2010 juga menempatkan kembali peran pemerintah sebagai regulator karena jasa konstruksi merupakan pelayanan publik, sedangkan masyarakat jasa konstruksi tetap sebagai eksekutor. Pemerintah, dalam perannya sebagai regulator, tetap dan harus mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat jasa konstruksi. Sedangkan masyarakat jasa konstruksi, sebagai eksekutor, senantiasa berpedoman terhadap regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah sehingga terjadi checked and balance dalam pengembangan jasa konstruksi.
Lalu apa esensi perubahan dari PP 28 Tahun 2000 menjadi PP 04 Tahun 2010 tersebut? Kalau kita bolak-balik PP 04 Tahun 2010, sesungguhnya ada 4 substansi peru-bahan prinsip dalam pengaturan usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi, yaitu: (a)Perubahan substansi kelembagaan dengan tujuan untuk memperkuat keberadaan dan fungsi LPJK dalam melaksanakan 5 tugas yang diamanatkan UUJK; (b)Keberadaan sekretariat lembaga dengan tujuan untuk mendukung kegiatan LPJK agar dapat lebih optimal dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan UUJK; (c)Perubahan substansi pembidangan usaha dengan tujuan agar pembidangan usaha lebih serasi dan selaras dengan kebutuhan pasar dan standar internasional; dan (d) perubahan substansi sistem sertifikasi dengan tujuan meningkatkan akuntabilitas proses penilaian kemampuan kompetensi penyedia jasa. Sesungguhnya, esensi dari nafas PP 4 tersebut pada hakekatnya tidak akan menghilangkan usaha & peran masya-
Kegiatan pembangunan gedung bertingkat, Jakarta semakin marak. (Foto:Dok.)
Yang jelas, dengan terbitnya PP 04 Tahun 2010 kita tidak ingin masuk lagi dalam kamar gelap yang tidak tahu dimana saklarnya. Kita tidak bisa lagi menggunakan kunci inggris yang bisa kita stel semau kita untuk menuju suatu tujuan, karena kalau itu terjadi lagi, bisa mengakibatkan stagnasi pengembangan jasa konstruksi. Yang kita butuhkan adalah pisau yang tajam yang sesuai dengan penggunaannya. Nafas pengaturan usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi yang tertuang dalam PP 04 Tahun 2010, yang detail pelaksanaannya nantinya diatur
melalui peraturan menteri, diarahkan untuk memberikan keleluasaan bagi mengembangkan inisiatif dan kreativitas pengembangan secara inovatif dalam rangka pengembangan jasa konstruksi Indonesia, dengan muaranya untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat di sektor konstruksi. Jadi, bagaimana nantinya menilai keberhasilan implementasi dari Peraturan ini? Ukuran keberhasilan melaksanakan PP nomor 04 Tahun 2010 ini tidak sekedar kesiapan menterjemahkan pembagian urusan, kelembagaan, pembidangan usaha, sistem sertifikasi, personil, aset, dan keuangan yang tidak lebih hanya merupakan input bagi proses pelaksanaan itu sendiri karena yang diperlukan masyarakat jasa konstruksi justru output, result, dan outcome dari implementasi pelaksanaannya. Bahasa verbalnya, jangan lagi pengaturan usaha & peran masyarakat jasa konstruksi diartikan sebagai sebuah pembagian kekuasaan atau pembagian kewenangan, dan lain sebagainya. Akan lebih bijaksana jika PP 4 Tahun 2010 kita artikan sebagai gabungan antara alat dan filsafat menuju proses pengaturan usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi yang lebih ideal. Oleh karena itu, diperlukan kebersamaan dalam mensosialisasikan peraturan ini antara pemerintah dengan lembaga pengembangan jasa konstruksi, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Mudah-mudahan tulisan singkat ini memberikan wacana pemahaman/persepsi yang sama atas terbitnya PP 04 Tahun 2020 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, sehingga kita tidak akan terperangkap lagi dalam ruangan gelap dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi di Indonesia. ** Tri Djoko Waluyo, M.Eng.Sc (Kapus PPUKBPKSDM-PU) DR.H. Putut Marhayudi (Staf PPUK-BPKS DM-PU)
KIPRAH • Volume 37
75
WACANA
Pelestarian Bangunan dan Pengingkaran Sejarah Oleh: **Widjaja Martokusumo
Belum hilang ingatan masyarakat akan kejadian yang menimpa situs arkeologis Majapahit di desa Trowulan, Jawa Timur, kini kembali muncul kasus penghancuran bangunan tua di kota Pangkal Pinang, Bangka-Belitung. Masyarakat pemerhati pelestarian tentu sangat menyesalkan kejadian tersebut, sementara pemerintah setempat berdalih bahwa bangunan tersebut tidak termasuk ke dalam kategori bangunan pelestarian dan bangunan sudah berada dalam kondisi terbengkalai. Tidak mustahil kejadian sejenis akan kembali terulang, sehingga apa “lesson learned” dari peristiwa tersebut?
D
i Indonesia, persoalan pelestarian bangunan tua/bersejarah sudah sejak 1970an diwacanakan, namun masih saja terdapat sejumlah pendapat yang pro dan kontra. Mereka yang pro pelestarian menyakini bahwa bangunan/karya arsitektur sebagai bagian dari produk sejarah merupakan petunjuk untuk memahami kondisi budaya rancang bangun zaman kiwari. Paling tidak, melalui penelusuran sejarah sejumlah peristiwa penting dapat dirunut hingga relevansinya kepada masa kini dan mendatang. Nuansa kesejarahan sarat dengan makna rekreatif/edukatif dan pemahaman terhadap lingkungan bersejarah, berkaitan langsung dengan upaya penghormatan peradaban manusia. Di pihak lain mereka yang memiliki pandangan berbeda akan pelestarian (konservasi) berdalih bahwa pelestarian tidak lain merupakan upaya mengabaikan kebutuhan/aktifitas baru. Selanjutnya, penolakan terhadap perubahan (melalui upaya konservasi) dianggap sebagai sebuah tindakan menghalangi upaya perbaikan/pembangunan kawasan kota. Tidak jarang, muncul pula pendapat bahwa kegiatan konservasi dianggap sebagai sebuah upaya kelompok minoritas (elit) yang dipaksakan kepada kelompok mayoritas (marjinal). Selain perdebatan di atas, terdapat perbedaan apresiasi masyarakat terhadap bangunan dan lingkungan bersejarah antara pandangan masyarakat
76
Volume 37 • KIPRAH
Keberadaan bangunan bersejarah perlu dilestarikan. (Foto:Dok.)
Barat (negara industri) dan masyarakat dunia berkembang. Persoalan pelestarian di negara berkembang, menurut Tyman (1992) dalam jurnal TRIALOG Zur Situation der Denkmalpflege in Südostasien vol. 35, ditandai oleh sejumlah ciri, misalnya usia artefak yang relatif muda. Selain itu umumnya karakter benda/bangunan yang layak dilindungi pun dibentuk oleh unsur-unsur budaya yang sangat beragam. Berangkat dari realitas yang ada, diskrepansi dalam struktur masyarakat di dunia ketiga secara tidak langsung juga
turut menyebabkan sulitnya pengungkapkan apresiasi terhadap warisan budaya pada umumnya dan terhadap karya seni bangunan (arsitektur) pada khususnya. Hal ini terjadi karena realitas sosial yang mendukung nilai seni bangunan menjadi fragmen-fragmen yang tidak mudah dikaitkan satu sama lain secara arsitektural. Konsekuensinya, untuk menilai signifikansi artefak tersebut agar layak dijadikan warisan bersejarah, diperlukan
WACANA sebuah political will yang dibarengi pemahaman substansi yang mendalam, misalnya tentang kriteria pelestarian per se. Jadi, memang masih tersisa sebuah pekerjaan rumah yang berat bagi pemerhati dan para pemangku yang terlibat dalam perkara pelestarian. Lebih lanjut, hal ini mengisyaratkan bahwa kiranya perlu dilakukan upaya untuk mengkritisi kembali proses penilaian sejarah (hitorical assesment) dan kriteria benda-benda yang perlu dilindungi. Berkaitan dengan hal penilaian, UU Benda Cagar Budaya (BCB) no. 5/1992 secara eksplisit menyatakan kriteria signifikansi, yaitu kesejarahan, ilmu pengetahuan, langgam arsitektur, dan nilai kebudayaan, selain juga kriteria batas usia minimal (50 tahun). Artinya, dalam kasus penghancuran bangunan eks bioskop Surya (1924) dan Garuda (1919) sesungguhnya kedua bangunan tersebut sudah memenuhi persyaratan sebagai sebuah artefak yang harus dilindungi, sebagaimana diamanatkan dalam UU no 5/1992 dan UU Bangunan Gedung (BG) no. 28/2002. UU no. 28/2002 yang menyatakan bahwa pengelolaan bangunan-bangunan yang memiliki signifikansi khusus (dilindungi) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Dengan demikian, apa yang telah terjadi di Pangkal Pinang dapat dilihat sebagai sebuah pengingkaran fakta sejarah! Dalam konteks kegiatan rancang kota (seni bina kota), konservasi/pelestarian dapat dilihat sebagai salah satu upaya pengendalian proses-proses produksi spasial secara politis maupun fisikal (perencanaan spasial). Tentunya, upaya pelestarian kini tidak hanya sebatas ranah bangunan, namun juga sudah mencakup ranah lingkungan/kawasan. Perhatian terhadap aspek non fisik/bangunan dalam kegiatan pelestarian merupakan sebuah perubahan signifikan dalam diskusi pelestarian global sejak tahun 1980-an. Artinya, konsep pelestarian tidak saja dibatasi oleh hal-hal yang bersifat kesejarahan belaka, namun juga mencakup isu
Contoh kampanye pelestarian bangunan di Jerman. (Foto: Dok.) lingkungan yang lebih luas. Perubahan ini sekaligus memperlihatkan bahwa substansi pelestarian bersifat dinamis dan memiliki kaitan erat dengan pengelolaan lingkungan hidup, seperti yang diungkapkan Pendlebury (2008) dalam Conservation in the Age of Concensus. Kegiatan pembangunan yang tidak terkendali pada kawasan/tempat bersejarah dapat menjadi ancaman serius terhadap kelestarian nilai kesejarahan tempat tersebut. Vandalisme terhadap bangunan tua/bersejarah bukan sekedar karena persoalan ideologis belaka, namun lebih banyak dikarenakan motif ekonomi (global). Berkenaan dengan hal tersebut, pengendalian lingkungan melalui pelestarian merupakan upaya untuk meminimalkan kerugian/kerusakan yang mungkin terjadi. Konservasi bangunan tua dan lingkungan bersejarah diyakini tidak hanya sekedar penghormatan kepada masa lalu (sejarah), tetapi juga terkait dengan aspek pemanfaatan artefak secara cerdas. Oleh karena itu, dalam era globalisasi dan era perubahan cepat ini pelestarian dapat berperan signifikan bagi pembentukan jati diri. Selain itu, hal lain yang perlu diketengahkan di sini adalah kegiatan pelestarian bangunan dapat memberikan
kontribusi dalam penciptaan ruang kota yang berkualitas. Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa di Pangkal Pinang adalah kegiatan pelestarian bukan saja semata-mata pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah, namun menjadi tanggung jawab seluruh stakeholders pembangunan. Kerja sama warga dan pemerintah lokal menjadi sangat relevan ketika dikaitkan dengan tantangan global dalam pembangunan kota yang berjati diri dan berkelanjutan. Apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap kekayaan artefak kota berupa bangunan tua hanya dapat terjadi bila proses pelestarian memiliki manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, harus selalu disepakati bahwa kegiatan pelestarian dilakukan di dalam konteks peningkatan kualitas lingkungan binaan dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi dan ekologi. Kiranya, kini sudah saatnya institusi pemerintah dalam melakukan pembe-nahan fisik kotanya harus lebih peduli dengan peninggalan sejarah berupa bangunanbangunan tua/ bersejarah, atau kota-kota kita akan kehilangan penggalan sejarahnya…. **Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB. KIPRAH • Volume 37
77
WACANA
Menuju Permukiman
Ramah Lingkungan
B
ukan tanpa alasan kampanye permukiman ramah lingkungan digalakkan. Hal itu untuk mengingatkan masyarakat tentang pentingnya arti permukiman yang sehat, aman, nyaman, dan lestari bagi penghuninya. Pasalnya, tidak semua orang menyadari bahwa maraknya isu ini ditandai dengan fenomena degradasi lingkungan yang semakin parah sehingga menimbulkan bencana. Berikut petikan wawancara Kiprah dengan Rana Yusuf Nasir, Direktur Rating dan Teknologi PT Green Building, yang fokus pada masalah bangunan permukiman. Bagaimana pandangan bapak tentang perencanaan permukiman yang ramah lingkungan yang lebih menjamin keamanan dan kenyamanan bagi penghuninya? Bila ditinjau dari upaya membangun suatu lingkungan masyarakat yang tertib, tenteram, dan sejahtera, pada dasarnya berhadapan dengan faktor internal, yaitu lingkungannya itu sendiri. Kenapa demikian? Sebab ciri perkembangan kotakota di Indonesia umumnya terjadi secara alami, bukan melalui suatu perencanaan sebelumnya. Bukankah setiap kota telah memiliki rencana tata ruang wilayah dan peruntukannya? Memang benar, meski ada perencanaan misalnya, tetapi tumbuh kembangnya banyak yang tanpa kendali. Hal tersebut dapat dilihat dari pemanfaatan ruang yang terbangun cenderung ekspansif dan menyebar serta mengkonversi ruang-
78
Volume 37 • KIPRAH
Rana Yusuf Nasir, Direktur Rating dan Teknologi PT Green Building
ruang alami yang memiliki fungsi ekologis, seperti okupasi daerah resapan air, hutan situ, daerah aliran sungai, ekosistem pantai, dan lahan-lahan ekonomi lainnya. Misalnya, Dampaknya sangat merugikan. Bencana banjir, tanah longsor, abrasi pantai, atau rusaknya biota laut, sungai, dan sebagainya karena lingkungannya terganggu.
roket. Di sisi lain, budaya dan tingkat kesadaran masyarakat tentang air dan sumbernya masih kurang menunjang kelestarian air. Oleh karena itu, perlu terobosan-terobosan teknologi dalam rangka upaya penghematan air.
Terkait dengan pemanfaatan sumber daya air pak, belum lama ini kita telah memperingati Hari Air Sedunia (HAD) pada tanggal 22 Maret lalu. Bagaimana Bapak memandang persoalan sumber daya air ke depan?
Betul. Kasarnya, kita tak harus membeli air dari negara tetangga. Tetapi, tak serta merta bisa membuat masyarakatnya berboros-boros menggunakan air. Sebagian besar dari kita mungkin sulit untuk membayangkannya, mengingat di Indonesia air bersih masih tergolong mudah diperoleh. Coba saja bertandang ke negara-negara tetangga yang sumber airnya tergantung dari negara lain karena tak mampu menghasilkan atau mengelola air sendiri, harganya disana bisa bekalikali lipat.
Masalah sumber daya air ke depan semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan Hari Air Sedunia dicanangkan. Hal itu mengingatkan masyarakat dunia akan arti pentingnya pengelolaan sumber daya air yang sustainable. Pasalnya, tidak semua orang menyadari bahwa air yang terlihat tak terbatas itu pun bisa menjadi harta karun yang sulit dicari. Air bersih menjadi langka dan mahal setiap tahun, air tanah pun menjadi sulit. Oleh sebab itu, perlu pengelolaan sumber daya air yang menyeluruh dan berkelanjutan. Persoalan-persoalan apa saja yang akan manjadi tantangan sehingga masalah air ke depan semakin rumit dan kompleks? Ya, itu tadi. Persediaan air bersih setiap tahun cenderung semakin merosot, air menjadi semakin mahal, akibatnya air menjadi sumber konflik kepentingan, sementara tarif air tanah pun kian me-
Negara kita kan memiliki ketersediaan banyak air, apa yang perlu dikhawatirkan?
Dalam posisi tersebut, kita harus mensyukuri bahwa di negara sendiri kita bisa membeli sebotol air minum dengan harga Rp 2000. Meski demikian, bukan berarti kita bisa tenang-tenang. Dengan jumlah penduduk semakin meningkat dan seiring dengan tingginya kebutuhan dunia usaha, kebutuhan air juga meningkat. Bagaimana menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya air bagi kehidupan. Menyangkut perubahan tata nilai dan perilaku budaya masyarakat? Pendekatan budaya hemat air harus digalakkan. Belajar mengantisipasi kelang-
WACANA kaan air harus mulai dilakukan secara terus menerus. Dan itu, bisa dimulai dari diri kita sendiri, misalnya melalui kegiatan rumah tangga sehari hari. Selain membuka kran hanya saat diperlukan dan tidak membiarkannya mengucur tanpa manfaat, perbaiki semua kran air yang bocor karena tetesannya bisa menghabiskan 25 liter air setiap harinya, dan akan mencapai 10.000 liter per tahun. Biasakan pula anggota keluarga untuk mandi dengan pancuran karena jauh lebih hemat ketimbang berendam di bathtub atau mandi dengan gayung. Matikan pancuran selagi memakai sabun atau sampo. Untuk sikat gigi, biasakanlah menggunakan gelas untuk berkumurkumur agar air tidak terbuang percuma saat keran mengucur. Saat mencuci pakaian, biasakan untuk memisahkan pakaian yang sangat kotor dengan pakaian yang tidak terlalu kotor karena pembilasan pakaian yang sangat kotor cenderung menggunakan air yang lebih banyak. Tampung juga air dalam wadah saat mencuci buah atau sayuran agar sisa airnya masih bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman atau kloset jongkok. Dan, siram air hanya pada waktu pagi atau malam hari untuk mengurangi evaporasi dari air tersebut. Demikian pula untuk kepentingan-kepentingan lainnya. Sebetulnya berapa persen sih kebutuhan riil air rumah tangga setiap harinya? kalau selama ini kita dianggap boros? Tentu lain kan penggunaannya antara masyarakat perkotaan dan perdesaan? Sebagai gambaran, kamar mandi di rumah umumnya menggunakan 60-70 %, kebutuhan dapur 15%, dan sisanya untuk keperluan lain, seperti mencuci baju dan menyiram kebun. Dari seluruh air yang ada di bumi , 97 % merupakan air laut, dan dari 3 % air tawar yang tersisa, hanya 1 % saja yang tersedia untuik digunakan seluruh manusia. Anda bisa bayangkan, dengan hanya 1 % air bersih yang tersedia, seberapa lama kita bisa memanfaatkannya. Terlebih lagi populasi manusia di
dunia cenderung meningkat setiap tahunnya dan manusia takkan pernah bisa lepas dari air karena 70% tubuhnya mengandung air. Berdasar penelitian, setiap hari satu orang perdesaan menggunakan 50 liter air dan satu orang perkotaan menggunakan 140 liter air. Suatu jumlah yang cukup besar. Itu sebabnya penghematan harus dilakukan dari lingkup yang paling kecil sekali pun. Budaya hemat air juga harus dilakukan oleh beragam jenis dunia usaha (hotel, restoran, rumah sakit) dalam operasional sehari-hari, yaitu dengan menilik konsumsi air di tiap lini.
Bukan tanpa alasan Hari Air Sedunia dicanangkan. Hal itu mengingatkan masyarakat dunia akan pentingnya arti pengelolaan sumber daya air yang sustainable. Pasalnya, tidak semua orang menyadari bahwa air yang terlihat tak terbatas itu pun bisa menjadi harta karun yang sulit dicari.
Bagaimana dukungan rekayasa teknologi terhadap penggunaan air? Teknologi memang bisa kita manfaatkan untuk penghematan penggunaan air. Di sini, produsen sanitasi dituntut untuk selalu menciptakan inovasi yang ujungnya menghemat air, seperti penggunaan kloset dengan sistem dual flush atau Ecoflush dengan tombol pembilas. Ternyata kloset jenis ini mampu mengurangi pemakaian air hingga 70 %. Demikian pula penggunaan lavatory faucet, hand shower dan shower spray yang mampu menghemat air tanpa harus mengorbankan kenyamanan. Untuk menuju permukiman yang ramah lingkungan, tentu penghematan juga diberlakukan bagi penggunaan energi dan
pemanfaatan tata ruang, termasuk arsitektur bangunannya. Bagaimana Bapak melihat hal ini? Ooh tentu. Idealnya, pembangunan harus berdasar pada master plan yang telah dirancang pemerintah melalui konsep penataan ruang. Dan, penataan ruang yang baik itu harus mengacu pada peraturan zonasi (UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Bahkan, pada Bab XI dengan tegas disebutkan setiap pelanggaran terhadap peraturan ini dapat dikenai sanksi hukuman pidana, baik bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran maupun pejabat yang memberi ijin. Kalau ini bisa dijalankan, bagus. Namun praktiknya? Pola pemanfaatan ruang kota kurang mendukung terwujudnya kota yang berkelanjutan, tumbuh tak terkendali, dan mengkonversi ruang-ruang alami yang memiliki fungsi ekologis. Padahal, lahan-lahan alami tersebut sangat penting artinya untuk menjaga kelangsungan ekosistem. Kerusakan dan pengrusakan yang terjadi di atasnya menimbulkan berbagai macam bencana alam yang sangat merugikan. Terkait dengan penghematan energi, harus mulai dihemat pemakaiannya, baik itu energi listrik, minyak, dan gas bumi, maupun energi lain dengan sentuhan desian dan teknologi yang ramah lingkungan, hemat, efektif, dan efisien. Karenanya, desain perencanaan bangunan menjadi sangat penting. Di sini peran Kementerian Pekerjaan Umum sangat vital dalam upaya pembinaan teknis, evaluasi, dan pengawasan bangunannya. Selain itu juga, pemda menyangkut perizinan dan perguruan tinggi serta produsen properti menyangkut inovasi dan solusi. Harapan ke depan tentang permukiman? Terwujudnya permukiman yang ramah lingkungan aman, nyaman, sehat, dan lestari bagi penghuni dan lingkungannya. (Joe)
KIPRAH • Volume 37
79
JENDELA
JENDELA
Rahma Sarita :
Untuk Banjir
C
antik dan cerdas. Itulah kesan pertama yang didapat ketika bertemu dengannya. Tak sedikit pun ekspresi lelah di wajahnya. Padahal, ia baru saja kembali dari luar kota malam sebelumnya. Sosoknya memang sudah lama malang melintang di dunia pertelevisian. Belakangan, ia menyapa pemirsa TV One sebagai News Anchor.
Selama 10 tahun, Rahma Sarita menjajaki dunia jurnalisme pertelevisian. Awalnya, ia tak terpikir untuk menjadi seorang presenter. “Dulu saya ingin masuk sekolah seni, tetapi tak diizinkan orang tua,” katanya. Ya, kecintaannya pada seni lukis memang nyaris mengantarkannya ke sekolah seni, tetapi malah sekolah hukum yang ia jalani. Lulus Fakultas Hukum Universitas Airlangga, wanita kelahiran Surabaya, 7 April l975 ini mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Namun, Rahma malah masuk ke TVRI Surabaya. “Saya banyak bersyukur, justru latar belakang sekolah hukum sangat membantu pekerjaan. Saya terlatih untuk berfikir tajam, kritis, dan menganalisis masalah dengan cepat,” aku bungsu dari delapan bersaudara ini. Kariernya pun terus melonjak cepat setelah hijrah dari TVRI Surabaya ke Jakarta. Ia kemudian bergabung dengan Metro TV, sebelum akhirnya hinggap di TV One. Di sini, ia bertugas sebagai News Anchor untuk Kabar Petang sekaligus sebagai produser program. Rahma juga turun tangan dalam pengembangan Devisi News. Karena itu, ia dituntut jeli menangkap isu-isu ekonomi dan politik dengan cekatan. “Dunia TV menjadi bagian yang tak terpisahkan dari saya. Saya sangat menikmati setiap momen di sini. Semua bergerak cepat dan selalu ada hal yang baru. Ritmenya sangat dinamis dan menantang. Kreativitas kita juga dituntut untuk bergulir,” cerita Rahma bersemangat. Bekerja di lingkungan TV memang memungkinkan dirinya bertemu dengan berbagai kalangan, termasuk travelling, yang sangat ia sukai. “Itu yang paling saya suka dari pekerjaan ini,” ungkap penggemar program Witness di Aljazeera TV dan The Larry King Show di CNN. Kini Rahma juga meng-handle program Kerah Putih dan program lainnya Ketika ditemui Kiprah seusai memandu Acara Peluncuran Buku BKT di Pendopo Sapta Taruna PU (30/3), ia mengatakan, penanganan banjir Jakarta oleh Balai Besar Wilayah Sungai
80
Volume 37 • KIPRAH
Rahma Sarita. (Foto:Dok)
Ciliwung-Cisadane sangat positif. Langkah ini merupakan terobosan teknologi untuk mengurangi ancaman banjir, khususnya bagi warga wilayah Jakarta Timur. Meski gawe besar ini belum tuntas 100 persen, tetapi hasilnya telah dirasakan oleh masyarakat. Sejauh ini keberadaan BKT mampu memperlihatkan manfaat di kala ancaman banjir datang, seperti pada saat datangnya musim hujan lalu. Bahkan, tambahnya, upaya mengatasi bajir sebetulnya secara sistimatis dan konsepsional dilakukan pemerintak kolonial Belanda sejak tahun l918 silam. Menurutnya, penanganan banjir memerlukan komitmen politik yang kuat dan konsisten dari pihak pemerintah, tetapi perlu keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat agar banjir dapat dikendalikan dan dikelola secara bijak. Ia menghimbau, selain berhasil membangun infrastruktur, sebaiknya masalah sosial, ekonomi masyarakat yang merupakan garapan non-struktural juga perlu diperhatikan, khususnya, bagi mereka yang selama ini bermukim di daerah bantaran kali, demikian juga menyangkut pembebasan lahan untuk proyek. Terhadap masyarakat yang selama ini tinggal di kawasan bantaran kali, perlu ditata dan diminta kesadarannya untuk direlokasi demi terwujudnya bantaran kali yang aman, nyaman, dan lestari. Melihat keberhasilan BKT, kiranya menata ulang tanpa mencari kambing hitam adalah solusi terbaik. Untuk itu, perlu kebijakan optimal dalam mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi warga agar mendapat dukungan riil dari masyarakat. Selamat untuk BKT! (Joe)
INFOBUKU
INFOBUKU
Banjir Kanal Timur, Tidak Perlu Menunggu Lebaran Kucing Deskripsi Buku Judul Pengarang Impresum Kolasi
B
agi anda warga Jakarta, ada sebuah kabar gembira di awal tahun 2010 ini. Ada apakah gerangan? Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) sudah tembus ke laut dan berfungsi. Walaupun belumlah rampung seratus persen, garapan dari Kementerian PU ini berfungsi untuk mengurangi potensi genangan dan banjir yang selalu menghantui Jakarta setiap musim penghujan tiba. Mau tahu bagaimana sejarah dan perjuangan panjang mewujudkan proyek yang menjadi tumpuan harapan warga Jakarta ini? Anda bisa mengetahui hal tersebut dari buku “Banjir Kanal Timur, Karya Anak Bangsa”. Buku ini di tulis oleh Robert Adhi Ksp, seorang wartawan senior dari Harian Kompas berdasarkan wawancara dengan beberapa pihak terkait ditambah data dari sumbersumber literatur lainnya. Buku ini enak untuk dibaca dan desainnya cukup menarik. Ia juga dilengkapi dengan ilustrasi dan foto berwarna, indeks dan “glossary”. Walaupun berbicara mengenai proyek teknik, pembahasan didalamnya jauh dari kesan teknik yang rumit, bahkan lebih cenderung ke gaya penulisan feature yang lebih mengungkap sisi humanisme. Bagian pertama dari buku ini membicarakan tentang problema banjir Jakarta
dari penyebab hingga beberapa alternatif solusinya. Bagian kedua berbicara tentang sejarah Banjir Kanal Timur sejak master plan Jakarta 1973 hingga banjir besar Jakarta di awal tahun 2007 yang membuat pemerintah mengambil keputusan untuk mempercepat pembangunannya. Beragam kesulitan yang menghadang pembangunan proyek ini, dari masalah pembebasan tanah, penentangan warga, relokasi fasilitas dan utilitas umum, juga segudang hambatan lainnya terekam jelas di bagian ketiga, termasuk cara penyelesaiannya serta suka-duka dalam pengerjaan proyek. Profil Pitoyo Subandrio dan Parno, selaku orang-orang dibalik sukses pembangunan Banjir Kanal Timur, ditulis dalam bagian keempat. pada bagian kelima, ditampilkan pandangan dan komentar seputar Banjir Kanal Timur dan pengendalian banjir dari berbagai kalangan, seperti swasta, pemerintah, LSM, dan warga masyarakat. Satu hal yang membanggakan tentang proyek Banjir Kanal Timur sepanjang 23,5 km ini adalah dibangun dengan otak, otot, dan kantong bangsa Indonesia. Selain itu perencana dan kontraktor Indonesia serta sumber dana dari APBN/APBD sendiri! Proyek ini bisa menjadi acuan dan model bagi pembangunan proyek infrastruktur
: Banjir Kanal Timur, Karya Anak Bangsa : Robert Adhi Ksp : Jakarta : Grasindo, 2010 : xviii, 300 hlm : Ilus. ; 23 cm
strategis lainnya. Pembelajaran yang bisa diambil dari buku ini adalah bagaimana anggaran dikucurkan sekaligus agar proyek berjalan cepat, tender yang transparan, dan bagaimana cara penyelesaian kasus-kasus pembebasan lahan. Menteri PU, Djoko Kirmanto, sendiri dalam pengantar buku ini menegaskan bahwa keberhasilan proyek BKT ini perlu dibarengi dengan pembenahan sistem drainase dan pemanfatan ruang agar mampu mengatasi perso-alan banjir secara efektif. Di sisi lain, Jusuf Kalla dalam kata pengantarnya menyoroti hitung-hitungan biaya BKT yang sebesar 2,5 trilyun rupiah itu ternyata terbilang murah bila dibandingkan dengan dampak kerugian akibat banjir Jakarta yang menghabiskan dana 8 trilyun per tahunnya. Ini yang membuat ia berani mengusulkan untuk menggelontorkan dana sekian trilyun tersebut dalam waktu singkat untuk mempercepat pembangunan BKT. Terbukti, hasilnya kini sudah kita lihat bersama. Ini senada dengan penda-pat Kepala Balai Besar Wilayah Ciliwung Cisadane, Pitoyo Subandrio. Dengan dana proyek BKT sebelumnya yang cuma dianggarkan 60 milyar pertahun, kalau ini terus dilan-jutkan, “Sampai lebaran kucing, BKT baru selesai” candanya, sebagaimana dikutip dalam buku ini. (Wy) KIPRAH • Volume 37
81
KARIKATUR
Goes Ise’09
82
Volume 37 • KIPRAH
KARIKATUR
KIPRAH • Volume 37
83
84
Volume 37 • KIPRAH