BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Rumah
merupakan
kebutuhan
pokok
(primer)
yang
dibutuhkan
oleh manusia, selain makanan dan pakaian. Dalam perkembangannya, rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat bernaung dan perlindungan diri, namun juga sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, peningkatan kualitas generasi mendatang, termasuk sebagai simbol untuk memperlihatkan status sosial dan gaya hidup. Karena itu kebutuhan untuk memperindah rumah semakin ditingkatkan. Sejalan dengan itu, Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 H ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kutipan UUD 1945 tersebut menegaskan bahwa setiap penduduk di Indonesia berhak bertempat tinggal dan hidup sejahtera. Yang dimaksud dengan berhak bertempat tinggal adalah memiliki kesempatan untuk memiliki tempat berteduh yang digunakan sebagai tempat tinggal, umumnya berbentuk tenda-tenda nomaden, rumah, hingga apartemen. Permasalahannya, seiring dengan perkembangan jumlah manusia, semakin tinggi pula kebutuhan masyarakat akan rumah. Sementara dihadapkan dengan penawaran lahan yang terbatas, maka penawaran rumah
relative
terbatas dibanding permintaannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011-2013 menunjukkan, backlog terus bertambah dan angka backlog tahun 2013 mencapai
1
12 juta unit. Sedangkan supply produksi rumah 250.000 –400.000 unit / tahun (Studi Bank Dunia, 2013). Dalam situasi demikian, tidak semua penduduk memiliki rumah. BPS (2014) melaporkan pada tahun 2013, sebanyak 21,32 persen penduduk Indonesia tidak memiliki rumah. Mereka yang memiliki rumah sebanyak 78,68 persen dari sekitar 251 juta penduduk Indonesia . Berdasar realita di atas, maka usaha bidang property menjadi terbuka lebar dan berkembang pesat. Berbagai jenis perumahan dibangun untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bermacam-macam tipe rumah mulai dari yang sederhana sampai mewah, harga rumah yang beragam, hingga lokasi rumah yang tersebar di berbagai daerah memudahkan para konsumen untuk memilih rumah yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Komponen penunjang kepemilikan rumah juga semakin mudah serta menjangkau beragam lapisan masyarakat, contohnya dengan kucuran KPR yang melimpah. Hampir seluruh bank besar di Indonesia memiliki produk kredit kepemilikan rumah dengan
beragam
perkantoran,
variasi
pembiayaan.
Selain
itu,
apartemen,
gedung
mall, dan gudang industry juga dibangun oleh para pengembang
(developer). Seiring dengan perkembangan bisnis properti maka dibutuhkan dana yang sangat besar. Berbagai upaya dilakukan guna memenuhi kebutuhan dana yang diperlukan untuk pengembangan kegiatan usaha, salah satunya adalah dengan menerbitkan saham. Penerbitan saham dilakukan oleh berbagai jenis perusahaan di pasar yang disebut dengan pasar modal. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi (misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Khusus untuk Indonesia pasar modal dinamakan Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan listing di BEI maka usaha untuk
2
menghimpun dana akan semakin mudah karena semua laporan kinerja perusahaan akan di publikasikan di BEI sehingga baik perusahaan sendiri maupun para calon investor akan sangat mudah memperoleh informasi. Semua saham yang tercatat di BEI diklasifikasikan kedalam sembilan sektor menurut klasifikasi industri yang telah ditetapkan BEI, yang diberi nama JASICA (Jakarta Industrial Clasification). Salah satunya adalah sektor properti dan Real Estate, dimana sektor ini merupakan indikator penting untuk menganalisis kesehatan ekonomi nasional. Dengan kata lain, kegiatan di bidang properti dapat dijadikan indikator seberapa aktifnya kegiatan ekonomi secara umum yang sedang berlangsung. Namun demikian, perkembangan industri properti perlu dicermati secara hati-hati karena dapat memberikan dampak pada dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, industry properti dapat menjadi pendorong bagi kegiatan ekonomi karena meningkatnya kegiatan di bidang properti bisa mendorong naiknya berbagai kegiatan di sektor lain yang terkait. Namun disisi lain, perkembangan industri properti yang berlebihan dapat pula menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian. Di PT. Bursa Efek Indonesia, terdapat indeks sektoral properti dan Real Estate. Indeks sektoral properti dan Real Estate merupakan gambaran untuk menunjukkan apakah terjadi penurunan atau peningkatan peran sektor properti dan Real Estate tersebut terhadap perekonomian Indonesia dewasa ini. Sektor ini dianggap sebagai sektor yang penting di Indonesia karena merupakan indikator penting untuk menganalisis kesehatan ekonomi suatu negara. Industri properti dan Real Estate juga merupakan sektor yang pertama memberi sinyal jatuh atau sedang bangunnya perekonomian sebuah negara (Santoso, 2005).
3
Fenomena ini masih hangat dan memiliki dampak yang cukup signifikan bagi negara-negara di dunia termasuk Indonesia adalah krisis global Subprime Mortage tahun 2008 yang mana telah terjadi krisis perumahan di Amerika Serikat yang dipicu oleh macetnya kredit dari para debitur dengan profil gagal bayar yang tinggi. Kredit ini ditandai dengan pemberian suku bunga yang lebih tinggi dari normal dan penyalurannya cenderung kurang hati-hati, ditambah dengan keuangan peminjam tidak dianalisis secara seksama. Pada kenyataannya, sejauh ini bisnis property Indonesia justru sektor yang memiliki rata-rata indeks paling rendah, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel ini menunjukkan sektor agriculture (pertanian) memiliki rata-rata indeks harga terbesar diantara sektor lain, diikuti sektor mining (pertambangan). Sementara itu, Bank Dunia bahkan memperingatkan akan potensi terjadinya penggelembungan (bubble) di sektor property. Hal ini ditengarai tingginya pinjaman atau kredit yang diberikan perbankan dan semakin tingginya harga property di Tanah Air.
Tabel I.1 Data Pergerakan Harga Indeks Sektoral Tahun 2010-2014
Sector
2010
2011
2012
2013
2014
ratarata
Agriculture
Mining
Basic
2.284.31
2.146.03
2.062.93
2.139.96
2.351.03
2.196.85
9
6
7
0
5
7
3.274.16
2.532.37
1.863.66
1.429.31
1.368.99
2.093.70
3
8
5
1
9
3
387.254
408.273
526.551
480.744
543.674
469.299
4
Industry Miscellaneo
967.023
us Industry
1.311.14
1.336.52
1.205.01
1.307.07
1.225.35
7
4
2
3
6
Consumer
1.094.65
1.315.96
1.565.87
1.782.08
2.177.91
1.587.30
Goods
3
4
8
6
9
0
229.254
326.552
336.997
524.908
324.162
699.446
907.524
930.399
1.160.28
903.372
Property
& 203.097
Real Estate Infrastructur
819.209
e
4
Finance Trade
466.669
491.776
550.097
540.334
731.640
556.103
& 474.080
582.186
740.949
776.786
878.634
690.527
992.465
1.147.91
1.150.62
1.335.20
1.089.86
1
4
5
9
Service Manufacturi
823.140
ng Sumber : www.idx.co.id
Dalam laporan Indonesia Economic Quarterly 2013 yang dirilis Bank Dunia, terdapat dua faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya bubble property di Indonesia, terutama di Jakarta. Bank Dunia menganalisis faktor pertama adalah terus meningkatnya harga jual apartemen di Jakarta yang tumbuh 45 persen (year-on-year) per Desember 2012. Kondisi ini, dialami juga oleh subsektor property lain, yakni perkantoran dan kawasan industri. Harga jual ruang kantor di Jakarta naik sekitar 43 persen per Desember. Sementara sewa lahan industri (greater Jakarta) berada di atas 22 persen. Kedua, tingkat pertumbuhan kredit untuk apartemen yang melaju cepat hingga 84 persen pada
5
periode yang sama. Pinjaman dari perbankan ini ikut mendorong kenaikan harga property. Pertanyaan yang perlu diajukan apakah kondisi bubble property di Indonesia mengganggu kesehatan finansial perusahaannya? Masalah finansial yang dihadapi suatu perusahaan apabila dibiarkan berlarut-larut dapat mengakibatkan terjadinya kebangkrutan.
Kebangkrutan perusahaan dapat
mempengaruhi yang memiliki kepentingan dalam perusahaan termasuk para pemegang saham, pemasok, kreditur pelanggan, karyawan, dan manajemen perusahaan itu sendiri. Dalam insiden kebangkrutan perusahaan khususnya pada perusahaan yang memperkerjakan banyak orang dapat secara signifikan mempengaruhi mata pencaharian banyak orang dan perekonomian di mana perusahaan tersebut berlokasi. Pemegang saham dan investor dapat menderita kerugian ekonomi yang besar karena mereka adalah pihak terakhir yang berkepentingan untuk melunasi dalam masalah likuidas perusahaan (Yap et.al, 2012 : 332). Untuk memprediksi apakah industri property di Indonesia dapat tetap bertahan atau berpotensi mengalami kebangkrutan, maka perlu dilakukan penelitian atas kinerja perusahaan property di BEI. Terdapat beberapa model prediksi yang digunakan sebagai perangkat analisis kebangkrutan seperti model Altman Z-Score, model Grover, model Springate, model Ohlson dan model Zmijewski. Namun tingkat akurasi dalam prediksi berbeda-beda. Menurut Purnajaya dan Merkusiwati (2014), model Altman Z-Score, Springate, dan model Zmijewski relatif banyak digunakan karena relatif mudah diaplikasikan dan juga memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi dalam melakukan prediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Model Springate
6
memiliki akurasi sebesar 92,5% , sedangkan tingkat akurasi dari model Zmijewski adalah sebesar 94,9%. Senada dengan itu, penelitian yang dilakukan Fatmawati (2012) menyimpulkan bahwa model Zmijewski merupakan prediksi yang lebih akurat dibandingkan model Altman Z-score dan model Springate. Namun penelitian Hadi dan Anggraeni (2008) menunjukkan bahwa model Zmijewski tidak bisa memprediksi kebangkrutan. Sedangkan Model Altman dan Model Springate cukup mampu memprediksi kebangkrutan secara moderat. Penelitian
ini
menemukan
bahwa
model
Altman
merupakan
prediktor
kebangkrutan terbaik. Namun Imanzadeh et al (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan model Springate lebih konservatif dibandingkan model Zmijewski dalam arti model Springate lebih efisien daripada model Zmijewski. Adanya perbedaan berbagai model prediksi kebangkrutan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perbandingan Potensi Kebangkrutan Perusahaan Properti yang Go Public di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010-2015 Berdasarkan Model Z - Score Altman, Springate, dan Zmijewski”
Melalui penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan acuan untuk
meneliti tentang kemampuan model prediksi kebangkrutan dan sekaligus dapat menjadi masukan bagi stakeholder Perusahaan Properti agar dapat di lakukan tindakan pencegahan yang terbaik sejak dini.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti berikut:
7
1. Bagaimana
hasil
perbandingan
potensi
kebangkrutan
pada
perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berdasarkan model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski ? 2. Apakah terdapat perbedaan perbandingan potensi kebangkrutan perusahaan property yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berdasarkan model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski ? 3. Sejauhmana perbedaan perbandingan potensial antara
model
kebangkrutan di
Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski dengan
kenyataan yang ada?
C.
Tujuan Penelitian 1. Ingin mengetahui hasil perbandingan potensi kebangkrutan pada perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berdasarkan model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski. 2. Ingin mengetahui perbedaan perbandingan tingkat kebangkrutan perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berdasarkan model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski. 3. Ingin mengetahui perbedaan perbandingan potensial kebangkrutan di antara
model
Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski dengan
kenyataan yang ada?
D.
Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penerapan
model perbandingan kebangkrutan sehingga
dapat di gunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan
8
keputusan investasi pada perusahaan property yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Selain itu, bagi peneliti, penelitian ini merupakan
sarana
untuk
mengaplikasikan
berbagai
ilmu
pengetahuan yang sudah diperoleh pada saat perkuliahan di Jurusan Manajemen FEB UNS terhadap permasalahan bisnis. 1. Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan property dan stakeholder terkait dalam menentukan kebijakan mengenai kelangsungan kehidupan perusahaan, sehingga dapat terhindar dari kesulitan keuangan perusahaan di masa depan.
9