BAB I PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Masalah Keberadaan kota 1 dikenali dengan adanya berbagai macam kondisi dan hal-hal yang membuat kota menjadi wilayah yang dinamis dan dikenal dengan heterogen2. Defenisi yang mendukung keheterogenan kota juga dinyatakan oleh Louis Wirth (dalam Antropologi Perkotaan, 1994) merumuskan kota sebagai “… a relatively large, dense, and permanent settlement of socially heterogenous individuals”. Kota ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya dan heterogenitas masyarakatnya. Sejalan dengan kehidupan kota yang keadaannya begitu kompleks serta beranekaragam, maka keberadaan kotapun dinamakan heterogen. Heterogen dalam hal keanekaragaman yang diikuti dengan perbedaan etnik / suku bangsa, agama, ras, adat-istiadat, serta perbedaan kelas maupun strata sosial ekonomi. Defenisi lain juga menyatakan bahwa Kota adalah sistem jaringan kehidupan manusia ynag ditandai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen serta 1
Menurut Yunus (2005) Kota adalah sebuah istilah atau kata yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat baik masyarakat awam maupun masyarakat yang memperdalam studinya mengenai kota, karena hal inilah bagi masyarakat awam kata kota ini seolah-olah tidak memerlukan pembahasan lebih lanjut. Namun, manakala seseorang memasuki wacana ilmiah, pengertian kta ini ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan sebelumnya. Dalam pemahaman awam, sesuatu kota merupakan suatu tempat yang berasosiasi dengan kompleks pertokoan besar yang berjajar-jajar keramaian lalu lintas yang luar biasa dan bangunan yang berjubel. 2
Heterogen (keadaan berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis); kenakeragaman: masyarakat di kota besar juga membuat perbedaan segala peristiwa. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Universitas Sumatera Utara
corak materialistis. Sementara menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No.4/1980 Kota adalah wadah yang memiliki batasan administrative wilayah
seperti
kotamadya
dan
kota
administrasi
(http://id.wikipedia.org/wiki/kota). Dari defenisi yang menyatakan bahwa kota adalah heterogen, maka seiring dengan beragamnya keadaan dan kondisi hidup di perkotaan, terdapat pula permasalahan-permasalahan yang menghinggapi kota beserta penduduk yang tinggal di dalamnya. Faktor yang paling menonjol yang menghinggapi penduduk kota adalah masalah ekonomi. Kehidupan yang keras di perkotaan membuat sesuatu yang berbau materi atau uang menempati posisi penting bagi setiap orang yang tinggal dan memutuskan menetap di kota, hal ini dilakukan demi mempertahankan hidup. Masyarakat yang menempati wilayah kota sehingga kota menjadi padat penduduk dan mengakibatkan masalah-masalah baik sosial, ekonomi, dan budaya terjadi pada akhirnya keran perkembangan kota yang terjadi salah satunya karena adanya urbanisasi. Akhirnya permasalahan pun muncul berangkat dari kehidupan masyarakat kota yang mengutamakan kebutuhan akan materi dan terjadilah persoalan yang semuanya berpangkal pad faktor ekonomi. Terjadilah kemerosotan sosial dan budaya dalam hal kemiskinan, kriminalitas serta budaya materialis yang mengagungkan harta benda sebagai hal yang paling utama dalam kehidupan, akibatnya masyarakat kota banyak yang hidup dalam tingkat persaingan yang tinggi seperti dalam hal hal mencari pekerjaan, serta tingkat individual yang tinggi dengan mengutamakan diri sendiri ataupun kepentingan kelompok. Keberadaan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang begitu banyak di kota, sehingga mengakibatkan sebahagian masyarakat harus terpaksa ada yang bermukim di tempat kumuh dan juga liar, tidak terlepas dari adanya urbanisasi tadi. Masyarakat yang demikian banyak yang terjebak di kota, padahal sebelumnya keinginan mereka sebagai pendatang ke kota adalah ingin mengadu nasib lebih baik namun tidak beruntung, masyarakat seperti itulah korban dari urbanisasi. Urbanisasi ikut mempengaruhi kondisi pemukiman di perkotaan. Urbanisasi juga semakin memicu kemiskinan yang lebih banyak di perkotaan. Masyarakat yang berurbanisasi dan kurang memiliki peruntungan yang baik dikancah lapangan pekerjaan kota kemudian banyak yang bergantung pada pekerjaan di sektor informal 3. Ketiadaan keahlian/skill, tidak adanya keterampilan dan tidak memenuhi kriteria pendidikan yang diperlukan dalam mencari pekerjaan di kota menjadi ciri bagi masyarakat lemah yang hidup di kota. Adanya
ciri khas kota yang menunjukkan banyaknya penduduk dari
beranekaragam suku bangsa, agama, ras, adat-istiadat serta kelas sosial yakni dari yang kaya sampai miskin, membuat kehidupan kota begitu kontras dengan perbedaan dan mencoloknya kesenjangan para masyarakat, khususnya yang paling tampak adalah menyangkut aspek ekonomi atau kemiskinan tadi. Faktor ekonomi membawa dampak yang besar bagi terciptanya srata sosial ekonomi sehingga membuat kesenjangan masyarakat nampak nyata hadir dalam kehidupan kota. cara paling mudah untuk mengenalinya dapat dilihat dari segi pemukiman. 3
BPS telah mencoba mengklasifikasi sektor informal kedalam : perdagangan ( menetap dan keliling), jasa-jasa (tukang cukur, pembantu rumah tangga, bidan, guru agama .calo, tukang reparasi, calo, dll), bangunan (buruh, tukang batu, mandor, dll ) angkutan ( supir, tukang becak, kernet, dll), industri pengolahan ( termasuk industri rumah tangga dan kerajinan kerakyatan).
Universitas Sumatera Utara
Pemukiman yang ditinggali oleh si kaya berbeda dengan pemukiman yang ditinggali oleh si miskin. Masyarakat kaya otomatis memiliki harta benda, sedangkan masyarakat miskin dikenali sebagai masyarakat yang tidak memiliki apa-apa. Namun pada kenyataannya tidak sedemikian adanya jika diperhatikan secara seksama, berhubung dengan keadaan kota yang begitu padat, jumlah penduduk yang banyak, terjadinya keterbatasan lahan, maka kasus tata ruang yang salah dan buruk menjadi satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi. Ujungnya masalah tata ruang menimbulkan masalah pemukiman. Pemukiman sebagai tempat hunian serta berkumpulnya rumah-rumah suatu masyarakat, tampak dari bentuk hunian serta lokasi pemukiman yang dapat dengan mudah terlihat di berbagai jalan-jalan dan sudut-sudut kota. Di kota bisa dijumpai dengan mudah hunian berkelas dengan pemukiman yang tergolong elit, jika di Kota Medan, pemukiman elite dapat dijumpai di Perumahan Debang Taman Sari Medan, Kawasan Tomang Elok, dan Kompleks Perumahan Setia Budi Medan. Selain pemukiman elit terdapat PERUMNAS yang sengaja dibangun pemerintah dan diperuntukkan bagi penduduk kelas menengah yang dapat dijumpai di Kota Medan seperti daerah Simalingkar, Helvetia, dan Mandala. Dari pemukiman elit sampai pada pemukiman yang biasa-biasa saja terdapat di kota, dari yang bagus sampai pada pemukiman kumuh 4 lengkap keberadaannya di kota. Orang yang berada pada dan tinggal di kawasan elit menandakan dirinya mampu
4
KUMUH dan KEKUMUHAN didefinisikan oleh program NUSSP adalah suatu lingkungan perumahan dan permukiman yang kotor, tidak teratur, dimana banyak terdapat rumah tinggal warga yang tidak layak huni yang disebabkan oleh ketidak mampuan warga akibat penghasilan rendah dan kepadatan penduduk, yang banyak terdapat di daerah perkotaan. (http://www.nussp.or.id/dialogdetil.asp?mid=127&catid=1&)
Universitas Sumatera Utara
dalam segi ekonomi dan jelas sekali rumah yang dia tempati dapat dikatakan sebagai aset dan menjadi bagian dari harta benda yang dimiliki. Lalu masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi dan kurang beruntung dalam menempati pemukiman yang layak sangat sulit untuk dikatakan tidak memiliki harta benda, karena tidak semua masyarakat yang susah secara ekonomi tidak memiliki harta, hal itu disebabkan setiap orang memiliki pandangan, pendapat serta ukuran yang berbeda terkait harta. Nilai suatu harta berbeda-beda, maka masyarakat kecil sekalipun memiliki harta yang walaupun bagi orang lain tidak berharga, namun bagi mereka berharga adanya. Harta benda menjadi tolak ukur dari tingkat ekonomi suatu masyarakat dan menjadi indikasi yang menandakan bentuk hunian dan pemukiman masyarakat. Meskipun terdapat penduduk di kota yang bermukim di lingkungan yang dikatakan kumuh namun pengetahuan serta pandangan mereka akan harta benda justru ada dan melekat dalam kehidupan mereka, bahkan menjadi sebuah nilai budaya. Nilai budaya yang terbentuk yang didasari oleh pengetahuan akan harta benda sesuai pandangan masing-masing penduduk yang bermukim pada pinggiran Sungai Babura Medan di Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah terjadi dibarengi dengan keadaan dan kondisi lingkungannya baik struktur masyarakat, historis / sejarah, kenyamanan, serta kebersamaan masyarakat yang terikat dalam sifat Gemeinschaft/paguyuban. Selain masalah harta benda yang dimiliki berdasarkan keberadaan pemukiman yang ditempati, hal lain yang cukup menarik di kota adalah akibat dari keterbatasan lahan tadi maka muncul trend berdiri dan berkembangnya
Universitas Sumatera Utara
bangunan-bangunan di sepanjang lahan pemerintah, padahal seharusnya lahan tersebut tidak diperuntukkan untuk umum, melainkan diperuntukkan untuk kawasan RTH (Ruang Terbuka Hijau) 5 namun disalah gunakan. Kemunculan pemukiman di pinggiran sungai akhirnya melahirkan kekumuhan, itulah yang dinamakan dengan Slum. Tidak selamanya kawasan seperti pinggiran sungai dihuni oleh rumahrumah kumuh malah sebaliknya terdapat bangunan-bangunan megah yang malah berdiri kokoh persis di pinggiran sungai. Untuk itu pemukiman di pinggiran sungai yang tadinya banyak dihuni oleh masyarakat kelas bawah atau masyarakat yang kurang sanggup untuk tinggal di tempat yang lebih baik dan membeli lahan yang berizin, lambat laun justru diisi oleh masyarakat yang bahkan mampu mendirikan rumah yang cukup bagus, seperti bangunannya yang permanen seakan-akan kontras dengan lingkungan dan keadaan sekitarnya yang masih bertetangga dengan rumah-rumah yang sangat sederhana, masih ada yang semi permanen dan non permanen, misalkan saja rumah-rumah seperti pada umumnya 5
Untuk kota yang sudah padat bangunannya, semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di wilayah tersebut dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya ke daerah pinggiran. Selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya perluasan pemukiman di daerah pinggiran kota sebagai dampaknya. Kawasan pinggiran juga berfungsi sebagai kawasan lindung untuk melindungi kawasan. Seperti sebagai kawasan resapan air dimana dapat bermanfaat bagi penyediaan air tanah maupun melindungi kawasan dari erosi dan juga banjir. Namun, pada kenyataannya wilayah yang pada awalnya diperuntukkan untuk ruang terbuka atau kawasan lindung kemudian beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan pemukiman. Dampak yang timbul adalah sarana untuk menetralisir polusi udara yang timbul semakin berkurang sehingga kondisi udara di kawasan perkotaan menjadi semakin sesak seiring dengan semakin sesaknya bangunan-bangunan yang telah berdiri kokoh. Fungsi sebagai kawasan lindung serta ruang terbuka hijau (RTH) yang melindungi daerah sekitar pada khususnya dan kota pada umumnya juga akan berkurang. Akibat yang dapat dilihat secara langsung adalah terjadinya banjir. Air hujan yang turun lebih banyak yang mengalami run-off dibandingkan dengan yang mengalami filtrasi. Dampak tersebut tentu saja pada akhirnya juga akan dirasakan oleh masyarakat perkotaan sendiri. (http://fauziasp.tumblr.com/)
Universitas Sumatera Utara
di pemukiman kumuh adalah rumahnya kecil, terbuat dari papan, tepas-tepas, untuk di pinggiran sungai rumah sengaja ditinggikan dengan menggunakan tiangtiang penyangga seperti kayu karena pinggiran sungai memang rendah dan sekaligus tiang penyangga dibuat untuk mensiasati rumah dari banjir maupun luapan sungai. Lingkungan sekitar pada pemukiman kumuh biasanya sempit, berdesakan, padat, hanya dibatasi oleh sekat dari gang-gang kecil, kurang bersih, dan dikarenakan masih areal pinggiran sungai maka biasanya banyak ditemukan sampah, hal ini jug tidak boleh dilepaskan dari kebiasaan penduduk kota yang masih membuang sampah ke sungai. Begitulah sekilas deskripsi awal tentang keadaan di lingkungan kumuh. Sekarang yang terjadi malah dinamika dari kehidupan daerah pemukiman kumuh cukup menarik karena berbagai lapisan orang tinggal dan jika dilihat sekilas ternyata rumah-rumah yang berada di pinggiran sungai yang masuk ke dalam daerah kumuh diisi oleh rumah-rumah yang sebagian sudah bagus dan layak jadi yang boleh dikatakan untuk penilaian awal bahwa orang yang mampu secara ekonomi kini mulai merambah dan ikut tinggal di pemukiman yang dikatakan kumuh serta masih liar/illegal (Slum dan Squatter). Padahal sesungguhnya alasan adanya masyarakat yang bertempat tinggal di pemukiman yang liar dan menggantungkan hidup di tempat kumuh semuanya karena faktor ekonomi maupun biaya. Ketidaksanggupan untuk tinggal ditempat yang baik, rumah yang bagus, lingkungan yang sehat serta tanah dan lahan yang sah menjadi milik pribadi tidak dapat diperoleh mereka. Pemukiman kumuh menandakan adanya kemiskinan yang terjadi di kota. Pemukiman kumuh
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan suatu kawasan hunian atau tempat tinggal, dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya. Pemukiman
kumuh yang
sering dijumpai di Indonesia biasanya berada di pinggiran rel kereta api maupun di pinggiran sungai. Masyarakat pemukiman yang tinggal di pemukiman kumuh biasanya berpenghasilan rendah. Itulah yang membuat mereka rendah menjadi semakin sulit untuk mendapatkan lahan dan rumah untuk memilih tinggal di tempat yang lebih baik. Mau tidak mau para pemukim kumuh tinggal seadanya dan memilih untuk membuat perumahan atau pemukiman di pinggiran sungai, pada dasarnya kendala yang dialami berujung pada pembangunan perumahan dan pemukiman yang sehat dan layak. Kondisi perumahan dan pemukiman yang kurang layak huni merupakan dampak langsung dari kemiskinan, disamping juga karena kekurang pahaman masyarakat akan pentingnya pemeliharaan lingkungan yang bersih bagi kesehatan mereka. Pada golongan masyarakat menengah kebawah ini, kemampuan ekonomi masih terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan sebagai kebutuhan pokok hidup (basic need). Begitu juga dengan masyarakat pemukiman kumuh yang pada dasarnya tidak terlalu memperhatikan tempat yang ditinggali, baik secara fisik maupun
Universitas Sumatera Utara
sosial, akan tetapi lebih fokus semata-mata hanya pada kebutuhan untuk makan saja sudah cukup, meskipun sesungguhnya keadaan yang seperti itu semakin lama semakin bergeser karena jika dilihat secara aktual, masyarakat pemukiman kumuh juga sudah banyak yang mampu memenuhi kebutuhan hidup yang lain diluar dari kebutuhan pokok saja. Dengan kata lain, meskipun tinggal di tempat kumuh namun pemenuhan akan kebutuhan sekunder dan tersier bahkan sudah sanggup dipenuhi. Bahkan trend yang ada saat ini, para pemukim kumuh berusaha memperbaiki rumahnya sedemikian rupa sehingga tidak kalah dengan rumahrumah biasa yang bukan berada di areal kumuh. Mereka memperbaiki rumahnya menjadi semi permanen ataupun sudah permanen, dengan alasan jika suatu saat digusur oleh pemerintah atau dibeli oleh suatu pihak maka ganti rugipun akan besar. Oleh karenanya hal itu juga dapat menjadi parameter bahwa tidak selamanya kehidupan para pemukim kumuh buruk, karena di sisi lain ada juga dari mereka yang telah mampu mendapatkan ekonomi yang baik dan telah mampu melengkapi kebutuhan hidupnya meskipun mereka tetap tinggal di pemukiman kumuh, itu saja yang membedakannya dengan masyarakat yang tidak tinggal di pemukiman kumuh. Salah satu harian situs online menyebutkan bahwa: Saat ini terdapat 145 titik pemukiman kumuh di Kota Medan. Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Medan, kawasan kumuh seperti terdapat di Kelurahan Tegal Sari Mandala I dan II, Kelurahan Binjai, Medan Denai; Kelurahan Bahari, Medan Belawan; Kelurahan Aur, Medan Maimun, Kampung Madras, serta Kecamatan Medan Petisah. Kepala Seksi Perumahan Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Medan Tondi Nasha Yusuf Nasution mengatakan, penanganan sebenarnya sudah dilakukan. Bahkan, di seluruh kawasan sudah dilakukan penataan. Hanya, hal itu tidak sepenuhnya dilakukan karena terbatasnya anggaran. Kawasan kumuh di Utara Medan merupakan perumahan nelayan yang terletak di bantaran sungai Deli. Sedangkan di pusat kota ada di pinggiran sungai dan pinggiran rel kereta api yang dimanfaatkan oleh para pembantu rumah tangga, gelandangan dan pengemis," kata dosen fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FSTP) Medan, Sanggam Sihombing ST MT. ( http://hariansib.com/?p=81423).
Universitas Sumatera Utara
Pemukiman kumuh yang berada di kawasan Sungai Babura melewati beberapa wilayah kota Medan seperti salah satunya melewati kawasan Petisah yakni kawasan Kelurahan Petisah Tengah. Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah yang berada di Jalan S.Parman jika berada pada posisi samping dari Gedung Apartemen Cambridge dan berada di Jalan Kejaksaan jika berada di belakang Cambridge, tepatnya akan terlihat deretan rumah-rumah yang kesannya kumuh persis di pinggiran sungai jika melihat dan melewati Jembatan di Jalan Kejaksaan. Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah tepatnya di Jalan,S.Parman dilewati oleh aliran Sungai Babura. Pinggiran sungai digunakan oleh masyarakat untuk bermukim disana dan mendirikan bangunan serta rumah tinggal. Lahan yang merupakan kawasan ruang terbuka hijau dan saluran drainase menjadi salah fungsi karena kehadiran sebuah pemukiman. Pemukiman liar yang ditinggali masyarakat lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah merupakan pemukiman kumuh karena ekonomi masyarakat berada pada lapisan bawah. Sebagai gambaran awal, masyarakat pemukim kumuh dipinggiran Sungai Babura Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah didominasi oleh suku bangsa Minangkabau, India Tamil, Jawa, Melayu dan Cina. Lingkungan fisik di sekitar pemukiman, jarak rumah sangat rapat dan padat, gang yang sempit dan berkelokkelok melalui tembok rumah warga, jorok karena tepat berada persis di pinggiran sungai, sehingga banyak sampah bertumpuk di beberapa sisi badan sungai. Bangunan rumah yang persis berada di bibir pinggir sungai diberi tiang penyangga seperti kayu untuk mempertinggi bangunan, hal ini sengaja dilakukan
Universitas Sumatera Utara
agar permukaannya tidak sama dengan sungai sehingga masalah seperti banjir dapat sedikit terminimalisasi. Untuk mata pencaharian sendiri, bahwa biasanya masyarakat yang berpenghasilan rendah dan memutuskan untuk tinggal di pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal. Kebanyakan masyarakat Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah bekerja sebagai pedagang, pembantu rumah tangga, buruh, ada juga yang tidak bekerja alias “nganggur”. Namun biasanya orientasi kerja berada di sekitar pemukiman mereka atau jarak rumah di pemukiman dekat dengan lokasi kerja. Maka dari itu banyak juga orang luar yang bukan berdomisili di pemukiman tersebut menyewa atau kost di rumah masyarakat karena tempat kerja mereka berada di sekitar Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah, seperti misalnya banyak yang bekerja di apartemen Cambridge yang menjadi salah satu ikon kota Medan dan berdiri megah dekat dengan kawasan pemukiman kumuh Lingkungan VII Keluahan Petisah Tengah dan juga Kampung Madras. Hal ini menjadi sangat kontras dalam menunjukkan perbedaan antara jurang si kaya dan si miskin dan untuk kota hal seperti itu sudah biasa. Menggambarkan kehidupan masyarakat pinggiran Sungai Babura dari segi sosial ekonomi serta mengungkapkan realita kehidupan mereka yang sebenarnya dan kebertahanan mereka di lingkungan slum dan squatter, kemudian pada akhirnya mengidentifikasi masyarakat yang tinggal dikawasan tersebut dengan berkaca pada keadaan lingkungan fisik, sosial, ekonomi, bahkan budaya mereka. Hal itulah yang melatar belakangi ketertarikan saya meneliti tentang kehidupan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat pemukiman kumuh yang berada di
pinggiran Sungai Babura
Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah. Masyarakat yang hidup
bergelimangan harta biasanya identik sebagai
masyarakat yang berada pada level atas alias kaya. Harta benda dapat menunjukkan kekayaan seseorang, apalagi jika suatu masyarakat hidup dan tinggal di kota, maka gaya hidup yang dibawa serta menjadi sesuatu yang paling dominan adalah bergantung dari adanya materi maupun uang. Namun spesifikasinya dengan melihat pada keadaan masyarakat melalui segi kepemilikan mereka mengenai suatu Harta. Dalam hal ini harta benda yang juga mereka miliki layaknya seperti kebanyakan masyarakat lain, sebab nilai, ukuran dan takaran harta bagi seseorang berbeda-beda. Maka dari itu saya akan melihat dan tertarik untuk menggambarkan aspek harta benda dari masyarakat yang bermukim di pinggiran sungai, terkhusus bagi mereka yang dikatakan menempati pemukiman dan rumah yang kumuh. Selain itu dinamika kehidupan yang berada dalam pemukiman pinggiran sungai juga berbeda-beda, sehingga itulah yang menarik saya untuk meneliti soal harta benda bagi para pemukim pinggiran sungai. Harta benda yang dimiliki oleh penduduk pemukiman pinggiran sungai Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah menjadi petunjuk dari pemukiman dan bentuk hunia yang mereka tinggali. Pemukiman yang mereka tinggali berada pada kondisi pinggiran sungai yang padat penduduk, dengan indikator kumuh dan liar, sementara pandangan mereka akan kumuh dan liarnya pemukiman yang mereka tinggali juga dibarengi dengan pandangan mereka akan harta benda yang juga mereka miliki.
Universitas Sumatera Utara
I. 2 Perumusan Masalah Dari latar belakang diatas maka ditarik rumusan masalah yang menjadi dasar kajian dalam penelitian ini terkait dengan kehidupan masyarakat pemukiman kumuh di Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah Medan yang ditinjau dari aspek antropologi. Untuk itu akan dilihat rumusan masalah dengan melihat kondisi ekonomi dalam hal ini adalah harta benda masyarakat pemukiman kumuh di pingggiran Sungai Babura di Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah. Untuk itu kemudian dijabarkan kedalam 4 point pertanyaan yakni:
1. Apa pandangan mereka tentang harta benda ? 2. Apa wujud harta benda yang dipunyai oleh para masyarakat pemukim pinggiran sungai Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah? 3. Apa wujud dari harta benda yang dimiliki baik berupa materi maupun non materi? 4. Bagaimana cara mendapatkan harta benda yang dimiliki? 5. Apa mata pencaharian atau pekerjaan yang dilakukan ? 6. Bagaimana menjaga serta mengatur harta benda yang dimiliki? Point- point pertanyaan diatas akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Point pertanyaan-pertanyaan tersebut mewakili perumusan masalah. Rumusan masalah memerlukan pembatasan masalah sehingga penelitian ini tidak rancu dan tetap fokus. Rumusan masalah dalam penelitian ini dibatasi dengan fokus akan beberapa point pertanyaan tersebut yang perlu dijabarkan melalui informasi dan data di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
I. 3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup penelitian di ambil dengan melihat pada hal-hal yang umum (yang banyak terjadi) menimpa para masyarakat kecil terutama bagi mereka yang bermukim di pinggiran sungai. Permasalahan yang dihadapi terdiri atas aspek fisik, sosial, ekonomi dan budaya, melalui representasi pandangan akan harta benda. Dengan melihat harta benda maka akan terjawab bagaimana sesungguhnya gambaran mengenai kehidupan ekonomi yang utama, serta khususnya sosial dan budaya. Maka ruang lingkup penelitian ini sebenarnya melihat aspek kehidupan sosekbud masyarakat pemukiman kumuh pada pinggiran Sungai Babura. Sejalan dengan hal tersebut diatas maka penelitian ini akan difokuskan untuk pengungkapan pandangan atau persepsi warga penduduk pemukiman pinggiran Sungai Babura di Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah tentang harta benda. Dengan daerah penelitian berada di Jln.S.Parman dan Jalan Kejaksaan, tepatnya berada di dekat Apartemen Cambridge.
1. 4 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Medan, Lingkungan VII Jln. S.Parman dan Jln. Kejaksaan Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Polonia tepatnya di seputaran Apartemen Cambridge.
Alasan memilih lokasi ini karena kawasan
Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah merupakan salah satu kawasan pemukiman pinggiran sungai yang padat penduduk dan strategis keberadaannya di tengah kota yang hiruk-pikuk dengan pusat-pusat pertokoan, perdagangan, akomodasi hotel dan apartemen mewah, perkantoran, serta pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
Pemukiman pinggiran sungai Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah menarik karena masyarakatnya begitu beragam dan hidup berdampingan serta berdempetan satu sama lain dengan pola hidup yang tidak terduga karena nyaris keadaan mereka yang sebenarnya sesungguhnya sama dengan kebanyakan masyarakat lainnya yang tinggal dan hidup hanya dari lokasi yang berbeda saja. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan mereka yang sebenarnya salah satunya adalah dengan mencari tahu mengenai Sesuatu yang barangkali sensitif untuk dikaji. Pendapat mereka akan harta benda bagi mereka yang tinggal di pinggiran sungai adalah Sesuatu yang akan diketahui untuk kemudian menjawab bagaimana sesungguhnya keberadaan hidup mereka dan tingkat hidup mereka yang sesungguhnya. Masyarakat yang bermukim di pinggiran Sungai Babura Medan, tepatnya Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah inilah yang akhirnya cocok dan pas untuk diteliti, karena keadaan yang tampak bukanlah berarti harus sama dengan yang berada di dalam, maka dari itu lokasi ini menjadi sumber yang berguna untuk menjawab dan menghasilkan kesimpulan yang baik dan berguna.
I. 5 Tujuan dan manfaat Penelitian Penelitian pasti memiliki sasaran untuk mencapai tujuan dan menghasilkan manfaat. Adapun tujuan dan manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
I. 5.1 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan kehidupan masyarakat pemukim di pinggiran sungai, melalui pengetahuan dan pandangan
Universitas Sumatera Utara
mereka akan harta benda. Penelitian ini akan menjadi bagian dari suatu karya tulis ilmiah yang mendeskripsikan suatu keadaan masyarakat yang dianggap kumuh dan sering sekali dianggap remeh oleh sebagian kalangan, namun di sisi lain terdapat hal lain yang masih banyak tidak diketahui oleh banyak orang, dan tulisan serta penelitian ini akan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan serta mengungkapkan kehidupan yang nyata dari para pemukim kumuh di kawasan tersebut. Terutama penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkategorisasikan harta benda dari masyarakat pinggiran dan akan terlihat pemaknaan dari apa yang dinamakan dengan “Harta Benda”. Diharapkan setelah penelitian ini masyarakat luas, pemerintah, serta berbagai pihak terutama mereka yang berdomisili di Medan sadar akan keadaan dan kondisi wilayah sekitarnya yang ditinggali, serta peka terhadap sesama tanpa memandang sebelah mata mereka yang berada di pemukiman pinggiran sungai.
I. 5.2 Manfaat Penelitian ini bermanfaat bagi sisi akademis yang berguna untuk mahasiswa, dosen, pelajar, serta pihak-pihak akademis lainnya dalam menambah wawasan serta menjadi referensi dalam khasanah ilmu pengetahuan khususnya Antropologi. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam mengungkapkan sisi lain dibalik kehidupan dari masyarakat yang bermukim di kawasan kumuh kota Medan dan hal ini
perlu diketahui oleh semua pihak sehingga dapat
menjadi keuntungan bagi Pemerintah Medan pada umumnya untuk mengetahui lebih dalam soal masyarakatnya dan menjadi kontribusi penting dalam
Universitas Sumatera Utara
penanganan soal pemukiman untuk kedepannya. Kemudian bagi masyarakat pemukiman kumuh di pinggiran Sungai Babura pada khususnya terutama bagi mereka warga lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah yang telah memperkenalkan kehidupan mereka, dan menjadi pencitraan yang positif bagi mereka dikemudian hari. Bagi saya sendiri sebagai penulis dan peneliti maka penelitian ini sangat bermanfaat demi pengaplikasian dari pengetahuan yang telah saya dapatkan selama proses perkuliahan.
I. 6 Tinjauan Pustaka Manusia dan alam lingkungan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berinteraksi yang akan mempengaruhi pada tingkah laku manusia (Eko. Budihardjo, 1998: 49) Sesungguhnya hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya tidaklah semata-mata terwujud sebagai suatu hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya. Akan tetapi terwujud sebagai suatu hubungan dimana manusia merubah dan mempengaruhi lingkungannya. Kata lainnya, manusia ikut turut menciptakan corak dan bentuk lingkungannya dan dalam lingkungan yang diciptakannya baik yang nyata dan maupun yang sebagaimana dilihat atau dibayangkannya itulah dia hidup dan tergantung serta mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Manusia dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup, tetapi dari segi yang lain, lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup adalah sebagian dari
Universitas Sumatera Utara
dirinya (Parsudi Suparlan (1983:1) dalam (ed) Bacaan Wajib Antropologi Perkotaan Masalah Pemukiman Liar). Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia tergantung pada lingkungannya adalah kebudayaannya (Parsudi Suparlan: Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya Perspektif Antropologi Budaya). Forde (1963:463) dalam Parsudi Suparlan menyatakan “hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia, dengan kebudayaan inilah manusia mengadaptasikan dengan lingkungannya, dan dalam proses adaptasi ini manusia mendaya-gunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginsterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan, tempat dimana manusia merubah dan mempengaruhi lingkungannya (James Spradley dalam Metode Etnografi) Lebih lanjut, kebudayaan merupakan seperangkat ciri-ciri yang dipercayai oleh para anggota masyarakat. Dalam masyarakat 6 manusia belajar mengenal dan mengembangkan kebudayaannya.
Pengetahuan
yang
diperolehnya
melalui
pengalaman-
pengalamannya dalam kehidupan sosial dan dalam berbagai petunjuk serta pengajaran yang diperolehnya melalui pendidikan yang resmi maupun berbagai
6
Secara sederhana, masyarakat dapat didefenisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas perananperanan dan kelompok-kelompok yang saling berkaitan dan saling pengaruh-mempengaruhi, yang dalam mana kelakuan dan tindakan-tindakan manusia diwujudkan.
Universitas Sumatera Utara
pendidikan lainnya yang tidak resmi. Kebudayaan manusia dapat terlihat salah satunya terutama dalam hal pembentukan pemukiman. Pemukiman sering disebut perumahan
atau sebaliknya. Pemukiman
berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungannya. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land settlement. Sedangkan pemukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitik beratkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22314/3/Chapter%20II.pdf ). Pemukiman liar dan gelandangan (studi di Jakarta dan Purwokerto), menurut Parsudi Suparlan (1986) merupakan konsekuensi logis yang muncul akibat gangguan dan pengembangan perkotaan. Timbulnya gelandangan di perkotaan terjadi karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan yang lebih baik di kota7. Dalam studi lebih lanjut yang dilakukan oleh Parsudi Suparlan, beliau membagi kondisi kehidupan dalam dua hal yaitu perumahan (sulitnya 7
Parsudi Suparlan, Gelandangan : Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan : Pandangan Ilmuan Sosial, LP3ES, Jakarta,1986.
Universitas Sumatera Utara
gelandangan mendapatkan perumahan, sehingga mereka memanfaatkan tanahtanah liar sebagai pemukiman dengan mendirikan gubuk-gubuk), serta mata pencaharian (aktivitas ekonomi dilakukan dengan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual kembali) 8. Ditinjau dari aspek fisik maka, kota adalah suatu pemukiman yang mempunyai bangunan-bangunan perumahan yang berjarak relatif rapat dan mempunyai sarana dan prasarana serta fasilitas yang relatif memadai guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduknya. Kota merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan kebudayaan (menurut ukuran letak dalam jaringan-jaringannya) (Parsudi Suparlan dalam (ed) Bacaan Wajib Antropologi Perkotaan Masalah Pemukiman Liar). Ciri-ciri kehidupan perkotaan menekankan pada kegiatan ekonomi dalam bidang-bidang pelayanan dan industri yang telah memungkinkan muncul dan berkembangnya berbagai spesialisasi kemampuan keahlian ilmu pengetahuan, teknologi, jasa dan keterampilan. Kehidupan perkotaan sangat kompleks, sehingga masalah ekonomi dalam hal ini seperti kemiskinan merupakan hal yang paling mencolok. Kemiskinan pada akhirnya menciptakan suatu keadaan bagi masyarakat yang kurang beruntung untuk menetap dan tinggal di tempat yang kurang layak atau bahkan tidak layak.
Kota pada akhirnya menjadi tempat
bersarangnya pemukiman-pemukiman yang kumuh dan liar (slum dan squatter). Pada dasarnya untuk mengidentifikasi sebuah pemukiman yang kumuh lebih mengacu pada yang namanya Slum dan Squatter. (Rosan dkk., 2005) 8
Parsudi Suparlan, Gelandangan : Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan : Pandangan Ilmuan Sosial, LP3ES, Jakarta,1986.
Universitas Sumatera Utara
dikatakan bahwa sekitar 30% penduduk perkotaan di Negara berkembang tidak mempunyai akses pada air bersih dan 50% tidak mempunyai sanitasi yang baik, terlihat pada pemukiman dalam bentuk slum dan squatter. Slum diartikan sebagai pemukiman yang kumuh; tidak mempunyai akses yang baik pada air bersih dan sanitasi, padat dan tidak teratur, walaupun sebagian besar penduduknya mampu menunjukkan legalitas kepemilikan lahan dan rumahnya. Squatter mengacu pada ilegalitas kepemilikan lahannya, di Negara berkembang, squatter identik dengan slum dalam arti kekumuhannya, sementara di Negara maju squatter tidak mesti pemukiman kumuh. Indikator yang diambil untuk mengenali pemukiman kumuh diambil menurut
Sri Soewasti (dalam Minarwaty Sinaga, 2010) pemukiman kumuh
(slum) pada umumnya mencakup tiga segi, pertama kondisi fisiknya, kedua kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di pemukiman tersebut, dan ketiga dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi fisik antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi yang rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik. Problema pemukiman
yang kumuh maupun liar menunjukkan adanya
kemiskinan. Kemiskinan berarti sebuah kondisi sosial yang kebutuhan dasarnya pun tidak mencukupi dari hari ke hari. Pangan yang sulit dicapai; gizi yang tidak memadai; air yang tidak sesuai dengan syarat kualitas kesehatan; sulitnya perumahan; rendahnya tingkat pendidikan; pengangguran; pelayanan-pelayanan sosial yang jauh tidak memadai; transportasi yang tidak lancar; dan lain-lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Lahirnya kawasan kumuh maupun liar juga tidak terlepas dari adanya urbanisasi 9. Kedatangan penduduk dari desa yang hijrah ke kota merupakan salah satu faktor urbanisasi. Tingginya laju pertumbuhan penduduk perkotaan tentunya merupakan tantangan besar bagi pembangunan perkotaan di Indonesia. Urbanisasi mengakibatkan akses pekerjaan semakin sulit karena persaingan yang begitu besar kemudian berdampak pada meningkatnya tingkat pengangguran atau pekerjaan sektor informal bermunculan begitu banyak hal ini karena ketidakmampuan dalam bersaing di dunia kerja atau bahkan ketiadaan lowongan kerja. Tingginya laju urbanisasi juga menyebabkan tingginya permintaan terhadap lahan untuk menampung kegiatan perkotaan termasuk perkantoran, jasa, perdagangan, hotel dan perumahan, sehingga keterbatasan lahan pada akhirnya berdampak pada kepadatan penduduk, kepadatan pemukiman, dan tata ruang yang tidak baik. Akhrnya muncullah pemukiman kumuh maupun pemukiman liar yang berdampingan dengan gedung-gedung serta bangunan mewah. Membicarakan urbanisasi juga berbicara tentang faktor penarik (pull factor) dan faktor pendorong (Push factor) ( Masri Singarimbun dalam Parsudi Suparlan (ed) Bacaan Wajib Antropologi Perkotaan Masalah Pemukiman Liar) Daya tarik kota berupa: kemegahan, gedung-gedung yang mempesona, gemerlap lampu, keragaman gaya hidup. Sebaliknya daya dorong desa berupa: kekurangan atau ketiadaan lahan pertanian dan menipisnya lapangan pekerjaan di luar sector pertanian. Hal ini mengakibatkan meningkatnya para pendatang yang tidak mempunyai
pekerjaan
yang
menyebabkan
besarnya
jumlah
masyarakat
9
Urbanisasi adalah suatu proses pembengkakan atau penggelembungan kota yang disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk.
Universitas Sumatera Utara
berpenghasilan rendah. Pengadaan rumah di Negara-negara berkembang berjalan sangat lambat, jumlah kekurangan rumah di daerah perkotaan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah semakin bertambah besar. Meskipun pada kenyataannya perumahan yang diperlukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan golongan-golongan lain, sangat sederhana dan biayanya sangat murah, memerlukan pemikiran dan penanganan secara khusus karena jumlahnya cukup banyak. Menurut Turner (Bambang Panudju; 2009; hal 9) yang merujuk pada teori Maslow, terdapat kaitan antara kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas kebutuhan perumahan. Dalam menentukan prioritas tentang rumah, seseorang atau sebuah keluarga yang berpendapatan sangat rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan sehari-hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas rumah prioritas yang terakhir. Dari semua yang terpenting adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya. Rumah dan pemukiman tidak akan pernah berhenti sebagai sumber sejarah dalam kehidupan manusia. Sejak jaman manusia purba hidup di gua-gua, kurang lebih sebelas ribu tahun yang lalu, sampai jaman orang masa kini hidup di udara, dalam kapsul gedung pencakar langit atau rumah-rumah susun, masalah pemukiman selalu muncul. Bahkan cenderung semakin rumit dan kompleks.
Universitas Sumatera Utara
Kalau pada era manusia-gua mereka tidak begitu peduli tentang pemilikan (lahan maupun hunian), privacy, jati diri atau identitas hunian masing-masing, dewasa ini hal-hal tersebut semakin dirasakan sebagai tuntutan dasar manusia yang berbudaya. Bambang Panudju menyatakan bahwa Hak atas perumahan yang layak merupakan bagian dari HAM. Hak Perumahan merupakan konstruk terpenting dalam mengokohkan terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak atas perumahan menandakan upaya nyata bagi terjamin dan terpenuhinya hak hidup yang layak. Dengan kata lain, hak perumahan merupakan unsur esensial yang dapat memperkuat terpenuhinya hak-hak fundamental lainnya, seperti hak pangan, kesehatan, dan sebagainya. Akses untuk mendapatkan air minum dan fasilitas sanitasi yang layak merupakan kebutuhan dasar tambahan yang berhubungan langsung dengan perumahan. Sebagian masyarakat besar kota tergolong berpendapatan rendah dan mendiami rumah dengan lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan sehat dengan kepadatan tinggi. Kecuali itu sebagian dari mereka mendiami rumah bukan miliknya melainkan berdasarkan sewa atau kontrak berjangka pendek yang mengurangi ketentraman hidupnya (Eko Budihardjo dalam Sejumlah Masalah Pemukiman Kota). Selain masalah hunian atau rumah yang menjadi kebutuhan vital dalam kehidupan, pemenuhan kebutuhan akan hal lain seperti materi dan non materil juga penting. Dalam Pendahuluan (Pengantar Antropologi Ekonomi, 2002) tertuang ilustrasi sederhana dalam pendahuluan, dilihat bagaimana kebutuhan hidup
Universitas Sumatera Utara
manusia itu menyatu dengan nilai-nilai masyarakat pendukung kebudayaan itu. Selain pengaruh lingkungan hidup baik yang berwujud lingkungan alam, sosial dan linkungan buatan, menyatu kuat dalam keputusan-keputusan yang diambil manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Bambang, S.Mintargo (Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya, 2000) jika kita ingin memahami perilaku individu maka kita tidak dapat mengesampingkan faktor nilai. Peranan nilai sangat menentukan maksud dan tujuan dari tindakan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh nilai. Ketika memuji atau mencela, ini baik dan itu buruk, pada dasarnya itu semua merupakan ekspresi dari nilai-nilai yang kita pertahankan dalam pikiran kita. Setiap individu mempunyai konsepsi dan persepsi tentang nilai. Tak ada masyarakat tanpa sistem nilai yang berlaku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Harta adalah barang (uang dsb) yg menjadi kekayaan; barang milik seseorang; (2) kekayaan berwujud dan tidak berwujud yg bernilai dan yg menurut hukum dimiliki perusahaan (http://kamusbahasaindonesia.org/harta). Benda ; segala sesuatu yang ada di alam yang berwujud atau berjasad (bukan ruh) ; zat (misal air, minyak) (2) barang yang berharga (sebagai kekayaan).
I. 7 Metode Penelitian I. 7. 1 Tipe Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode ini digunakan untuk menghasilkan data-data etnografis serta deskriptif mengenai kehidupan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang bermukim di pinggiran Sungai Babura. Selain itu penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang tentu saja bersifat etnografis yang bermaksud menggambarkan secara terperinci mengenai keadaan hidup berupa ekonomi sosial serta budaya penduduk yang bermukim di Kawasan Pinggiran Sungai Babura tersebut yang diambil melalui pendangan mereka akan harta benda. Melihat serta mengetahui kehidupan ekonomi mereka melalui sudut pandang yang ada mengenai harta benda yang bisa jadi mereka sendiri memilikinya dikarenakan pandangan serta pemikiran setiap orang akan harta itu berbeda-beda. Tidak luput disertakan analisis pengalaman / riwayat hidup yang digunakan untuk mendukung serta memperdalam sumber data yang didapatkan dari para informan.
I. 7. 2 Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data, maka diperlukan beberapa metode pengumpulan data dan teknik analisis data dalam penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dapat diperoleh melalui buku-buku, literatur, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta bahan-bahan bacaan yang relevan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data saya rangkum dan bagi ke dalam, studi lapangan, studi kepustakaan, dan bahan visual.
Universitas Sumatera Utara
I. 7. 2.1 Studi Lapangan Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data lapangan ini adalah: 1. Observasi 10 Demi mendukung kelengkapan data yang dapat diperoleh dengan cara pengamatan maka observasi menjadi pilihan yang tepat dalam penelitian ini. Observasi digunakan juga untuk melakukan pendekatan awal dengan objek pengamatan, hal ini tentunya penting untuk memberikan kemudahan pada awal penelitian, sebelum kegiatan wawancara dilakukan dan tentu saja untuk menggambarkan kondisi awal penelitian di lapangan. Observasi berguna untuk menjaring informasi-informasi empiris yang detail dan aktual dari unit analisis penelitian (Bungin, 2007:230). Oleh sebab itu peneliti akan melakukan dan menjalankan observasi tanpa partisipasi terkait fokus penelitian
dengan mengamati dan melihat kondisi
pemukiman di kawasan Jalan S.Parman Medan. Sebelum memulai penelitian lebih mendalam, sebelumnya saya melakukan observasi pra penelitian, hal ini saya perlukan guna mengetahui lebih dalam dan lebih dekat lokasi / lapangan. Selain itu pra survei yang saya lakukan penting bagi saya untuk mulai menjaring dan mengenali orang-orang / penduduk di lokasi penelitian guna dijadikan informan untuk dikemudiannya. Setelah tema penelitian saya tertarik mengamati kehidupan para pemukim di pinggiran sungai, saya mulai mencari tulisan-tulisan terkait tentang kehidupan di pemukian kumuh dan liar. Kemudan saya mulai menulis rancangan penelitian 10
Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115)
Universitas Sumatera Utara
saya yakni proposal yang diperlukan untuk ujian seminar proposal. Sebelumnya Dosen Pembimbing menyuruh saya untuk melakukan pengamatan di lapangan. Tanpa mengurus surat izin penelitian lapangan, saya dan bantuan teman yang bernama Indriani yang juga teman kuliah di Antropologi yang pada saat itu samasama sedang berjuang menghadapi proposal. Kami berdua pun terjun ke lokasi tepatnya di Kampung Keling Jalan Erlangga dan Kampung
Kubur. Melewati
Jalan Kejaksaan dari gang kecil yang menurun di bawah Jembatan atau “Titi Rumbia” penduduk sekitar menyebutnya, saya dan Indri mnyusuri Jalan Erlangga sampai tembus ke kampung kubur. Sebelumnya kami sudah pernah melakukan PKL II di lokasi tersebut, hanya saja keadaannya kini berbeda, kalau dulu lebih dari 2 orang atau beramairamai melakukan observasinya, sekarang kami hanya berdua, kami hanya bermodal nekat sekedar melihat-lihat dan mengamati. Kami sempat terpikir dengan adanya rumor yang menyebutkan bahwa ada salah satu kawasan di lokasi tersebut yang rawan, hanya saja modal nekat telah memberanikan kami, walaupun ada rasa was-was. Melewati gang-gang kecil yang lurus dan bercabang serta berkelok, kami mampir ke pinggir sungai yang sedikit curam, sekedar mengamati betapa mirisnya melihat rumah-rumah yang tidak permanen, ada yang dari kayu, tepas, seng berkarat, berdiri di pinggir sungai dengan tiang-tiang penyangga dari kayu dan beton yang membuat rumah terlihat kokoh. Tapi pastinya itu bagian belakang dari rumah yang adanya di seberang tepatnya di Jalan S.Parman yang bagiannya sudah lain dari Kampung Keling.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu sampah berbau pun bertebaran di pinggir sungai, kebetulan kami berdiri tepat di pembuangan sampah-sampah yang celahnya agak besar sehingga terbuka pemandangan dari pinggir sungai. Selebihnya rumah-rumah penduduk sudah berderet dan padat. Kami tidak luput menyusuri setiap gang-gang kecil ketika berada di sana, bahkan nyasar pada gang yang buntu, akhirnya kami berputar dan balik lagi. Orang-orang yang berada di sana sepertinya ada yang keheranan melihat kami bolak-balik bagai anak ayam yang kecarian Induk. Ada juga yang bertanya “mau cari siapa?’ atau ada juga yang menanyakan “mau cari apa dek?”. Kebetulan ada Ibu-ibu yang lagi duduk-duduk bertanya, setelah kami jawab kalau kami hanya numpang lewat saja, Ibu-ibu tadi pun langsung mengatakan bahwa mereka mengira kalau kami sedang mencari kost-kost an, sales, atau orang yang survei. Kebetulan dari PKL II yang lalu saya mendapati informasi dari informan bahwa terkadang lokasi tersebut sering didatangin oleh mahasiswa, anak sekolah, atau instansi apapun untuk melakukan survei, termasuk mahasiswa Kesehatan dan Kedokteran yang survei di pemukiman pinggiran sungai. Setelah berlalu dari hadapan para Ibu tersebut saya dan Indri hanya tersenyum, kami menyesalkan juga bahwa semestinya harus jujur kalau kami sebenarnya mahasiswa, namun karena kami sambil berjalan dan masih linglung oleh keadaan kami hanya berlalu dan menjawab seadanya saja. Padahal terbuka kesempatan yang besar untuk berbincang dengan para Ibu tadi. Menyusuri Kampung Kubur yang gang nya begitu kecil dan berkelok ke sana kemari, sepertinya saya dan Indri kesasar, terlebih di gang ini lebih
Universitas Sumatera Utara
menegangkan lagi, banyak pria dewasa dan bapak-bapak yang sepertinya heran dengan kami yang asing dengan muka kami yang barangkali juga terlihat bingung, tapi saya dan Indri tetap mencoba berusaha biasa saja dan tidak takut walaupun dari beberapa pria tersebut ada yang sangar, berbadan besar, rambut gondrong, bertelanjang dada, bertato, berkaca mata hitam. Terlebih beretnik Tamil,
bagi mereka yang
menambah bayangan saya mengarah pada mafia atau
semacamnya. Hanya saja saya segera menepis hal itu dan tetap positive thinking. Hingga akhirnya seorang pria etnik Tamil menanyakan kami mau kemana, akhirnya saya dan Indri dengan polosnya bertanya dimana jalan keluar dari gang menuju jalan besar. Dia pun dengan baik hati menjunjukkan arahnya. Akhirnya kami bisa keluar dari gang tersebut, setelah itu saya dan Indri tertawa dan geleng-geleng kepala kalau kami cukup PD dan berani juga melewati gang-gang tersebut. Ketika kami datang dengan niat yang baik dan berpikir positif orang-orang disana juga memandang kami dengan baik, begitu sebaliknya sekalipun kami tidak mengenal mereka, mereka adalah orang-orang yang baik yang tahu bahwa kami ini sedang mencari jalan. Kampung Keling sudah di amati, saya tidak cukup sampai disitu saja. Saya sendiri tanpa ditemani siapapun pergi ke seberang lokasi survei pertama saya di Jalan Erlangga dan Kampung Kubur yakni tepatnya di Jalan S.Parman dan Jalan Kejaksaan. Seperti yang saya lakukan saat menuju Erlangga dan Kampung Kubur saya juga menuju pemukiman pinggiran sungai di Jalan S.parman melalui Jalan Kejaksaan tepatnya melewati gang kecil yang terdapat di sela-sela rumah
Universitas Sumatera Utara
penduduk. Terdapat 2 gang yang terdapat di lokasi ini yakni Gang Soor dari Jalan S.Parman dan Gang Rumbia dari Jalan Kejaksaan. Lokasi ini masuk ke dalam wilayah administratif Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah. Sekedar mengamati saya sambil berjalan pelan, melewati pinggiran sungai melihat banyaknya anak-anak yang sedang bermain dan mandi di sungai, ada Ibu yang mencuci pakaian, ada juga orang yang mengapung dengan ban di sungai sedang mengumpulkan botot. Sepertinya lokasi ini lebih menarik perhatian saya. Untuk selanjutnya terlebih setelah saya menyelesaikan ujian seminar proposal, saya lebih sering berkunjung dan datang ke lokasi ini. Setelah berjumpa dengan Kepling yang bernama Pak Sugiman, beliau berbincang-bincang sebentar dengan saya sambil berkenalan. Pak Sugiman pun meminta saya untuk membuat surat izin penelitian. Pengurusan surat izin penelitian saya melalui Fakultas kemudian ke BALITBANG dan Kantor Kelurahan Petisah Tengah. Sambutan yang baik dari staf kantor Kelurahan Petisah Tengah pun saya terima kala saya memberi surat izin penelitian, dan memberitahu kira-kira apa yang ingin saya teliti. Mereka pun langsung member izin dan menyerahkannya kepada Kepling Pak Sugiman. Hari berikutnya saya pergi ke kantor Kelurahan, pada sat itu saya sedikit kecewa, berhubung saya membutuhkan sedikit data komposisi Kelurahan yang berguna untuk saya lebih lanjut dalam penyusunan skripsi, terlebih data Kelurahan saya perlukan sebagai pelengkap skripsi saya di Bab II, maka saya meminta data-data atau setidaknya arsip, tulisan atau apapun mengenai data kelurahan. Hanya saja mereka mengatakan tidak ada. Tidak mau memberi, atau memang tidak ada dengan alasan tidak ada data yang baru dan data
Universitas Sumatera Utara
yang lama pun tidak ada karena kepengurusan kelurahan telah diurus oleh Lurah dan orang-orang yang baru. Hari berikutnya saya datang lagi ke kantor tersebut, salah satu staf langsung memberikan saya sedikit data yang berupa hardcopy data kependudukan kelurahan yang berjumlah 5 lembar, itupun data penduduk pada tahun 2010. Saya pun bersyukur mendapatkannya walupun saya sempat kecewa sebelumnya. Berikutnya di lapangan, setelah saya sering datang berkunjung kesana dan mencoba pendekatan dengan beberapa orang disana akhirnya saya berhasil menemukan orang-orang dan keluarga-keluarga yang menjadi informan saya.
2. Wawancara Wawancara atau Interview merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2007:107). Pertanyaanpertanyaan awal hingga informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan kondisi objektif sangat efektif dengan metode ini. Lebih lanjutnya metode ini dapat lebih mendekatkan diri secara emosional dengan informan, selain itu data-data yang otentik dari sudut pandang masyarakat (emic view) juga dapat dimulai dengan wawancara. Metode wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik wawancara yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan melalui tanya jawab secara langsung dan terbuka dengan informan yang dibantu dengan pedoman wawancara (interview guide). Tidak ada pembatasan jumlah informan, sepanjang data yang dibutuhkan sudah menjawab tujuan dari penelitian ini. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan pangkal, informan biasa dan informan kunci. Informan pangkal adalah informan pertama yang dijumpai di lapangan (Moleong,1994). Dari observasi awal saya di lapangan maka saya sudah menemukan informan saya meskipun untuk tahap awal saya masih melakukan wawancara sambil lalu.
Informan pangkal saya adalah Pak Sugiman yang merupakan
Kepling dari lingkungan VII S.Parman sebelum akhirnya saya mengurus surat izin penelitian dari Fakultas dan BALITBANG, ketika saya masih sekedar survei dan mengamati lokasi begitu-begitu saja, saya sudah bertemu dengan Pak Kepling. Kebetulan ada penduduk yang memberitahu, maka saya pun bergegas menemui Pak Kepling di rumahnya. Kala itu saya hanya memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud untuk mengadakan penelitian untuk skripsi di lingkungan yang Dia pimpin. Responnya
begitu
baik
dan
mempersilahkan
saya
meneliti
di
lingkungannya, dia pun menawarkan diri jika perlu ditemani dia akan turut serta mendampingi dengan syarat saya harus segera membuat surat pengantar dari Kampus bahwa saya benar mahasiswa yang sedang membuat skripsi. Untuk lebih memudahkan hubungan saya dengan Kepling tersebut maka saya diberikan nomor kontak (nomor handphone) nya. Pada saat di kantor Kelurahan Petisah Tengah untuk menyampaikan surat izin penelitian, saya bertemu dengan Pak Kepling
Universitas Sumatera Utara
kembali. Selanjutnya dia menyuruh saya untuk turun saja langsung, dan tidak usah menunggu dirinya. Dalam hati saya berpikir, saya sendiri juga bisa melakukan pendekatan dan mendapatkan data dari para penduduknya, tidak perlu didampingi olehnya. Kemudian saya pun menjelaskan hal itu kepada Pak Kepling bahwa saya sendiri saja mampu menjalankan tugas saya, berhubung ini hanyalah penelitian mahasiswa sebatas pada pembuatan skripsi, bukannya kegiatan penelitian besarbesaran, ataupun kegiatan survei dari sekelompok pihak atau mahasiswa dengan jumlah yang banyak, dan hal seperti itu dirinya turut ambil andil mendampingi, hal ini diutarakannya pada saya kalau lingkungannya sering kebagian survei dan penelitian dari banyak instansi dan mahasiswa dari beberapa universitas. Pada hari-hari berikutnya saya bermaksud untuk bertemu dengan Pak Kepling sekedar mendapatkan data darinya terkait komposisi penduduk di lingkungannya. Saya pun menghubungi Kepling itu melalui HP, berulang kali saya mencoba menghubungi, nada menunjukkan sambungannya masuk, tetapi tidak di angkat atau di jawab, barangkali Pak Kepling sedang sibuk, akhirnya saya memutuskan untuk tidak mencoba esok. Keesokan harinya ketika saya sedang berada di perpustakaan universitas, saya menghubungi Pak Kepling kembali, panggilan pertama dan kedua tidak di jawab, akhirnya saya lega karena panggilan ketiga saya dijawab. Saya pun mengatakan kalau saya ingin bertemu dengannya untuk wawancara dan mendapatkan data darinya. Saya pun menjelaskan kalau ada data tertulis mengenai lingkungan yang dia tangani, terlebih menyangkut soal komposisi penduduk, maka saya sangat memerlukan hal yang seperti itu karena
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya pada pertemuan awal saya dengannya, saya sudah pernah menerangkan hal itu, dia pun mengerti dan mengiyakan. Hanya saja semuanya seakan berubah, saya terkejut dan takut, ketika Pak Kepling tiba-tiba dengan perkataan yang kurang enak mengatakan kalau dia tidak ada waktu untuk saya karena sedang sibuk mengurus banyak tugas-tugasnya yang lain. Saya cukup tertegun dan dengan suara yang bergetar saya menutup pembicaraan. Mengalami hal seperti cukup membuat saya down, dan patah semangat. Sejak saya mengakhiri pembicaraan lewat hp perasaan danpikiran saya bercampur aduk, dan hari berikutnya saya masih terbayang-bayang dengan perkataan Pak Kepling tersebut, dan timbul niat dalam hati saya untuk mengganti lokasi penelitian. Saya pun menceritakan hal ini pada beberapa teman, dan mulai bertukar pikiran dengan mereka. Mereka menyarankan pada saya untuk jangan berhenti sampai disitu dan terus berpikiran positif. Seiring berjalannya hari perlahan-lahan saya sudah mulai melupakan hal yang kurang mengenakkan itu. Saya berpikir kalau hal kecil seperti itu saja bisa membuat saya jatuh hingga harus merugikan diri saya sendiri, dan skripsi saya terbengkalai, akhirnya saya harus bangkit dan mengnggap hal tersebut tidak jadi masalah. Pikiran positif mulai saya bangun di kepala, soal perkataan Kepling tidak saya ingat lagi, saya hanya berpikir bahwa kemungkinan pada hari saya menghubunginya, pada saat itu saya apes dan sial, bisa saja Pak Kepling sedang banyak tugas dan hal lain yang lebih penting makanya dia menolak untuk bertemu.
Universitas Sumatera Utara
Saya kemudian mencoba menghubungi, seperti mendapat angin segar, saya disuruh datang ke rumahnya. Saya bergegas ke rumahnya, dia dan istrinya menyambut saya dengan baik,
kami pun mulai berbincang-bincang, dia pun
memberikan saya data seadanya mengenai komposisi penduduk di lingkungannya. Hari itu begitu menyenangkan bagi saya, saya pulang ke rumah dengan semangat dan semakin termotivasi mengerjakan skripsi. Kepling tersebut adalah Informan pangkal saya yang merupakan aparat birokrat setempat karena jelas orang-orang seperti mereka memiliki data serta informasi mengenai warganya, paling tidak saya mendapatkan data sekunder atau data kependudukan dari adanya hubungan dengan aparat yang berwenang di lingkungan setempat. Informan saya yang kedua saya ambil melalui sejumlah masyarakat yang persisnya bermukim di pinggiran sungai. Beberapa keluarga yang hidup dan memiliki kedaan yang dapat dikatakan memenuhi kriteria kumuh akan saya jadikan informan karena merekalah informan kunci. Salah satu informan kunci saya adalah Keluarga Kak Manjula serta Keluarga Ibu Mila yang sudah tinggal dan menetap di pinggiran Sungai Babura kurang lebih selama 20 tahun. Informan kunci inilah yang menjadi sumber utama dari penelitian ini. Bertemu dengan Kak Manjula pada observasi awal saya menjadi suatu berkat tersendiri bagi saya, pasalnya awal pertama kali kami saling mengenal karena ketika saya hendak memasuki gang, kami berjalan berbarengan, saya senyum, dia pun senyum, dia menyapa saya dengan lembut, menanyakan saya mau kemana, ternyata muka saya cukup asing sehingga ketahuan kalau saya bukanlah orang setempat. Kesempatan cukup bagus datang menghampiri, saya
Universitas Sumatera Utara
mulai memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangan saya ke lingkungan pemukiman pinggiran sungai yang ia tinggali. Bagai dayung bersambut, saya diajak ke rumahnya. Rumah Kak Manjula yang sangat sederhana menjadi rumah pertama penduduk yang saya singgahi. Cerita berlanjut antara saya dan dia, dia mulai bercerita tentang pekerjaannya yang hanya seorang pembantu rumah tangga. Sedikit bercerita tentang kehidupan pribadinya dan lingkungan tempat tinggalnya yang pada saat itu masih baru saja terkena banjir. Kak Manjula juga kembali menanyakan maksud kedatangan saya ke lingkungan tempat tinggalnya. Sepertinya Kak Manjula tidak menyimak kelau saya sebelumnya telah memberi tahu alasan saya datang adalah untuk observasi terkait tugas saya sebagai mahasiswa yang sedang membuat skripsi. Saya mengulanginya kembali, dia pun menanggapi kalau orang-orang seperti saya ini juga banyak yang berdatangan untuk survei dan memberikan bantuan, seperti sembako, obat-obatan, dll, terlebih saat-saat pasca banjir. Dalam hal ini saya sempat khawatir juga, kalau-kalau Kak Manjula berpikir saya datang disamakan dengan seperti mereka yang datang untuk memberi bantuan. Tetapi untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya saya perlahan-lahan menegaskan bahwa saya ini hanyalah mahasiswa yang datang sendiri untuk mengerjakan skripsi, tidak ada hal yang lebih dari itu, semakin dekatnya saya dengan dia, anak-anaknya dan keluarganya, saya juga mulai membicarakan sedikit dari kehidupan pribadi saya yang hanyalah mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua. Hal ini saya gunakan sebagai strategi agar mereka memandang saya bukan dalam artian yang lain,
Universitas Sumatera Utara
tetapi juga bukan memandang rendah saya. Apa adanya saya ceritakan agar mereka mengenali saya dengan baik, dan saya bisa menjalin raport dengan mereka. Informan Kunci yang berikutnya yang pada observasi awal lterjalin komunikasi yang baik dengannya adalah Ibu Mila. Ibu Mila yang sedang duduk santai sambil menggendong anaknya saya samperin dan mulai berkenalan. Ada respon yang baik dari nya saat saya meminta izin agar dia menjadi salah satu informan saya yang penting untuk pembuatan skripsi saya. Dia pun sempat mengatakan pada saya kalau saya itu kelihatan seperti capek sekali. Saya pun tertawa ringan dan mengiyakan bahwa memang benar saya capek dan lelah. Sebuah pengorbanan yang wajar dalam pembuatan skripsi. Jalinan hubungan yang baik antara saya dengan Ibu Mila membuat kami saling mengerti satu sama lain. Untuk dua kali pertemuan saya saja dengannya,kelihatannya dia cukup mengerti dengan seorang mahasiswa. Dia pun mengatakan kalau dia punya saudara-saudara yang sedang sibuk dengan tugastugas akhirnya, jadi dia maklum dengan saya. Malah dia menyarankan agar jeli dalam melihat dan memilih orang-orang yang saya tanyaidan jadikan informan, gunanya agar tidak terjadi pemikian yang lain-lain. Betul sekali, seperti yang dia ceritakan, kebiasaan dari beberapa orang yang sering menerima sesuatu menjadi terbawa-bawa. Sehingga bagi orang-orang seperti itu dibutuhkan sesuatu yang pamrih. Padahal sebagai orang yang masih berstatus mahasiswa dan belumlah apa-apa, saya mencari data dan mebutuhkan
Universitas Sumatera Utara
data, ibarat peneliti pemula yang harus cakap dan lihai untuk mendapatkan informan yang ikhlas tanpa pamrih. Informan yang ketiga adalah informan biasa, mereka yang tergolong kedalam informan biasa adalah masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut, baik kaum pedagang serta masyarakat lainnya yang tinggal di kawasan Lingkungan VII S.Parman, meskipun mereka bukanlah masyarakat yang persisnya bermukim di pinggiran sungai. Dari infoman biasa inilah saya akan meminta dan mendapatkan informasi tentang kawasan kumuh di pinggiran sungai karena paling tidak mereka mengetahui secara garis besar mengenai kehidupan masyarakat di tempat tersebut. Dalam proses saya mencari, dan mendapatkan informan, dari beberapa diantara mereka ada yang memiliki respon yang baik, tetapi jika da yang baik,pasti ada yang kurang bahkan tidak baik. Bagi saya memasuki pemukiman pinggiran sungai seperti Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah ini menjadi pengalaman bernilai bagi saya untuk menghadapi orang-orang yang berbeda-beda pemandangan tentang siapa saya dan apa yang sedang saya lakukan. Saya bersyukur bertemu dengan informan seperti Kak Fitri, Kak Ana dan Pak Me’eng yang memiliki respon baik,saya tanyai mereka tidak bosan menjawab. Tetapi ada juga yang tidak mau untuk diajak ngobrol sekalipun, ada respon seperti membunag muka, menutup pintu, cuek, dan alasan masih lagi sibuk jika kita sudah mulai mendatangi mereka dan bertanya, padahal yang memiriskan hati saya, apabila sebelumnya sudah ada janji.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi saya berbesar hati dan maklum untuk hal yang seperti itu, semakin menguatkan saya dan menjadi pelajaran berharga bagi saya. Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah ini menjadi tempat bermain kedua bagi saya, setelah rumah saya, informan-informan saya menjadi keluarga dan teman dekat bagi saya. Tetapi saya akan tetap mawas diri dan tidak larut bahwa saya juga punya batasanbatasan sebagai orang luar yang masih terhitung baru mengenal mereka. Untuk selanjutnya saya konsentrasi dan focus pada tujuan saya mencari data dan menyelesaikan skripsi dengan baik.
I. 7. 2.2 Studi Kepustakaan Literatur dipakai
dalam studi kepustakaan. Literatur digunakan untuk
melengkapi data yang berhubungan dengan penelitian ini. Penelusuran literatur (studi pustaka) yang berhubungan dengan data-data tentang Pemukiman Kumuh di Lingkungan VII S.Parman, Kelurahan Petisah Tengah, baik dalam hal sejarah, kehidupan masyarakat, informasi pemukiman, administratif kependudukan, teoriteori yang menjelaskan tentang antropologi perkotaaan, masalah-masalah yang berkaitan dengan pemukiman dan literatur mengenai metode penelitian sosial yang akan menghasilkan keterangan yang dapat membantu mempertajam analisis dan melengkapi data. Jenis literatur dapat berupa buku-buku teori, laporan penelitian; skripsi, tesis, disertasi, artikel, opini dari surat kabar atau majalah. Perkembangan teknologi yang begitu pesat juga membantu dalam pencarian informasi melalui media online 11 seperti internet.
11
Lihat Bungin (2007:115)
Universitas Sumatera Utara
I. 7. 2.3 Bahan Visual Tidak luput juga untuk menggunakan dokumentasi visual untuk lebih menguatkan data yang telah didapat baik dari hasil observasi maupun wawancara. Bahan atau peralatan yang digunakan untuk mendukung dokumen visual ini disajikan dalam bentuk foto. Bahan fotografi bentuknya seperti; foto, grafis, film, video, kartun, mikrofilm, slide, dan sebagainya sehingga semuanya disebut sebagai bahan visual (Bungin, 2007;123).
I. 7. 3 Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa secara kualitatif. Data yang terkumpul akan dianalisa, dikategorisasikan, dibandingkan, dan dihubungkan (dicari hubungan-hubungan yang saling terkait satu dengan yang lainnya), untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan masalah penelitian. Melalui cara penganalisaan data tersebut diharapkan dapat ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis untuk mendeskripsikan secara objektif keberadaan kehidupan masyarakat pemukiman kumuh Lingkungan VII S.Parman yang tinggal di pinggiran Sungai Babura terkhusus mengenai perspektif mereka mengenai harta. Pendeskripsian yang objektif menunjuk pada hasil yang betul-betul ada dan terjadi di lapangan sesuai dengan apa adanya dan benar-benar real, sekalipun dengan pendekatan yang subjektif pada para informan. Subjektif menunjuk guna terjalinnya hubungan yang baik (raport) dengan para informan karena informanlah yang menjadi guru bagi sumber data dari skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara