BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan kewarganegaraan memiliki misi untuk mengembangkan warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam konteks kehidupan yang berjiwakan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan konsep PKn menurut Somantri (2001:229) yang merumuskan bahwa: “Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.
Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global”. Dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, maka penguasaan konsep dan keterampilan berpikir khususnya berpikir kritis siwa mutlak diperlukan. Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai dengan kemampuan berpikir kritis terkadang sulit mengkomunikasikan ilmunya kepada orang lain dan mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan seharihari (Lie:2002). Apalagi jika melihat realita pembelajaran PKn saat ini di
1
2
Indonesia yang menurut pengamatan Kerr (1999:5-7) menunjukkan kategori minimal yang hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan yang bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah diukur. Hal tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Winataputra dan Budimansyah
(2007:121)
yang
mengemukakan
tiga
sumber
kegagalan
pengembangang civic education, yaitu 1) penggunaan alokasi waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum pendidikan dijabarkan secara kaku dan konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka di kelas yang sangat dominan, sehingga guru tidak bisa berimprovisasi secara kreatif untuk melakukan aktivitas lainnya selain pembelajaran rutin tatap muka yang terjadwal dengan ketat; 2) pelaksanaan pembelajaran PKn yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkalai, disamping keterbatasan media pembelajaran; 3) pembelajaran yang terlalu menekankan pada dimensi kognitif berimplikasi pada penilaian yang juga menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja, sehingga mengakibatkan guru harus selalu mengejar target pencapaian materi. Selain itu, persoalan lain yang muncul dalam proses pembelajaran PKn di sekolah, yakni adanya asumsi siswa yang menganggap bahwa pelajaran ini membosankan, tidak menantang karena hanya berupa hapalan dan belajar hanya dipersiapkan untuk menjawab soal-soal ujian semata. Hal ini diperkuat oleh cara guru dalam menyuguhkan materi pelajaran yang sebagian besar menggunakan
3
metode konvensional seperti ceramah yang sesekali diselingi dengan tanya jawab dan pembelajaran lebih berpusat pada guru sehingga siswa cenderung pasif dan semakin tidak memiliki gairah untuk belajar. Kondisi tersebut diperkuat oleh pendapat Wahab (2001:21) yang menyatakan bahwa “selama ini siswa beranggapan pelajaran PKn itu tidak menarik dan membosankan”. Kesan ini timbul dikarenakan secara substansif pelajaran PKn kurang menyentuh kebutuhan siswa atau cara penyajiannya tidak membangkitkan minat belajara siswa. Siswa kurang diarahkan mengenai bagaimana hubungan antara konsep yang dipelajari dengan peristiwa sehari-hari. Selain itu, guru kurang memunculkan permasalahan aktual yang dihadapi siswa sebagai masyarakat muda dan mengarahkan siswa untuk bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya agar bisa mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Padahal kalau dicermati lebih mendalam, objek kajian Pendidikan Kewarganegaraan adalah masyarakat dengan segala dinamikanya yang seharusnya menarik dan menantang untuk dipelajari. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka proses pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk dapat berpikir kritis dalam pemecahan masalah atau “critical thinking oriented and problem solving oriented modes” (CCE:1992-2000). Sebab, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran di persekolahan yang mempunyai kontribusi penting dalam membentuk dan mewujudkan karakter bangsa yang dicita-citakan yaitu smart and good citizenship, seperti ditegaskan dalam Standar Isi (Permen No.22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulusan (Permen No.23 Tahun 2006) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
4
mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang Cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut, sejalan dengan visi Pendidikan Nasional menurut UU No.20 tahun 2003 dijelaskan bahwa aspek kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman. Sejalan dengan visi Pendidikan Nasional, Depdiknas berhasrat pada tahun 2025 dapat menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif maksudnya meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetik. Cerdas spiritual, yakni mampu mengaktualisasikan diri melalui olah hati untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerdas emosional, yakni mampu beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya serta kompetensi
untuk
mengekspresikannya.
Cerdas
sosial,
yakni
mampu
beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokratis, empatik dan simpatik, menjungjung tinggi hak asasi manusia, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan, dan lain-lain. Cerdas intelektual, yakni mampu beraktualisasi melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aktualisasi insan yang kritis, kreatif dan imajinatif. Cerdas kinestetik, yakni
5
mampu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insane yang sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil dan trengginas (Budimansyah & Suryadi, 2008:21). Lebih khusus, Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapai isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Semua kemampuan tersebut harus dimiliki oleh setiap warganegara abad 21, seperti yang dikemukakan oleh Cogan & Derricott (1998:116), bahwa karakteristik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut: 1) kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global; 2) kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat; 3) kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; 4) kemampuan berpikir kritis dan sistematis; 5) kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; 6) kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungannya; 7) memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia seperti hak kaum wanita,
6
minoritas, dan lain-lain; 8) kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintah local, national, dan internasional. Berkaitan dengan hal tersebut di atas dan mengingat Indonesia sebagai negara demokratis, Remy (Wahab&Sapriya, 2008: 19) mengemukakan bahwa terdapat beberapa kompetensi dasar warganegara yang harus dimiliki setiap warganegara dalam memelihara, mengembangkan dan mempraktekkan dasardasar demokrasi sebagai warga negara dari sebuah negara demokratis sebagai berikut: 1) Acquiring and using information; 2). Assessing involvement; 3) Making decision; 4) Making judgements; 5) Cooperating; 6) Communicating; 7) Promoting interests. Untuk mewujudkan berbagai tujuan tersebut di atas, salah satu jalan yang bisa ditempuh yakni melalui pendidikan, sebab pendidikan merupakan salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 dijelaskan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mnegembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yng beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Berbicara mengenai pendidikan secara otomatis akan berkaitan dengan proses pembelajaran di persekolahan. Sekolah sebagai komponen utama pendidikan perlu memperhatikan kegiatan pembelajaran yang berlangsung, apakah sesuai atau tidak dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
7
Menurut Fajar, (2004:15), kegiatan pembelajaran diselenggarakan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan siswa, sehingga perlu memberdayakan semua potensi siswa untuk menguasai dan memiliki kompetensi serta pencapaian perilaku khusus agar setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Tujuan lain dari pembelajaran yakni untuk mengetahui, memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan dan mengaktualisasikan diri. Dengan demikian, menurut Fajar (2004:15) kegiatan pembelajaran perlu: (1) berpusat
pada siswa; (2)
mengembangkan kreativitas siswa; (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai, etika, estetika, dan kinestetika; (4) menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Saat ini, secara adaptif di Indonesia dikembangkan model praktik belajar kewarganegaraan kami bangsa Indonesia atau biasa disebut Project Citizen yang di dalamnya terdapat portofolio hasil belajar siswa. Model ini bisa dijadikan salah satu alternative solusi dalam pembelajaran PKn supaya siswa lebih tertantang untuk belajar dan pengetahuan yang dimiliki siswa lebih bermakna (powerfull). Project citizen merupakan satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis
yang
memungkinkan
dan
mendorong
keikutsertaan
dalam
pemerintahan dan masyarakat sipil. Tujuan Project citizen adalah untuk memotivasi dan memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak dan tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitian yang
8
intensif mengenai masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat mereka berinteraksi (Budimansyah, 2009:1-2). Dasar pemikiran Project Citizen menurut Branson (1999:1-6) terletak pada satu kerangka yang dilandasi oleh lima bagian tentang gagasan pendidikan dan politik. Pertama, demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan dan berpengetahuan warganegara dalam kehidupan bernegara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang keterlibatan warganegara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebiajakan publik. Kedua, para siswa harus belajar bagaimana menjai terlibat dalam kehidupan berwarganegara
dengan
terlibat
didalamnya,
yaitu
dengan
menyandang
kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan efektif. Siswa yang dilibatkan dalam pembelajaran praktis, eksperimental akan lebih antusias dan bersemangat dibanding dengan yang tidak ikut serta dalam jenis kegiatan ini. Ketiga, karena para siswa menggali masalah-masalah yang ada dikomunitas mereka sendiri, maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempertimbangkan tentang hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti hal-hal yang meliputi hak individu dan kepentingan bersama, peraturan yang disepakati kelompok mayoritas dan hak kaum minoritas, kebebasaan serta persamaan. Keempat, project citizen dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh siswa sekolah menengah atau usiausia remaja pradini (sekitar 10-15 tahun); tetapi program tersebut juga digunakan oleh oldest adolescents) anak remaja yang menginjak dewasa di beberapa sekolah. Sebab anak remaja pradini mulai bergeser dari pemikiran konkrit menuju pemikiran abstrak dan sering berhadapan dengan masalah baik dan buruk, sah
9
atau tidaknya hak untuk bertindak dan jawaban-jawaban alternatif atas situasi yang menyulitkan. Kelima, Project citizen menganggap kaum muda sebagai sumber kewarganegaraan, sebagai anggota yang berharga dari komunitasnya yang bernilai yang gagasan dan tenaganya dapat secara nyata dicurahkan
pada
masalah-masalah kebijakan publik. Keikutsertaan siswa sebagai warganegara muda tidak hanya merupakan wahana yang lebih baik untuk meningkatkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokrasi, tetapi juga makin baik bagi masyarakat karena siswa tersebut mempermudah organisasi pemerintahan dan masyarakat bekerja melewati masalah-masalah penting di masyarakat. Beberapa pemikiran di atas sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO (Budimansyah, 2002:40) yakni 1) learning to do (peserta didik mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya);
2)
learning
to
know
(belajar
untuk
mengetahui
sendiri
pengetahuannya); 3) learning to be (belajar untuk membangun pengetahuan dan kepercayaan diri); 4) learning to live together (belajar untuk memahami kemajmukan
dan
melahirkan
sikap-sikap
positif
dan
toleran
terhadap
keanekaragaman dan perbedaan hidup. Selain itu, project citizen dilandasi juga oleh pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa semua peserta didik mulai dari usia kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan tentang lingkungannya dan peristiwa/gejala lingkungan di sekitarnya meskipun seringkali naïf dan miskonsepsi. Tetapi pada intinya dalam kegiatan pendidikan harus memulai pelajaran dari apa yang diketahui oleh peserta
10
didik. Hal lain yang bisa dicermati, bahwa Project citizen
mengembangkan
democratic teaching, maksudnya bahwa proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Budimansyah (2002 : 5–7) mengatakan bahwa pembelajaran demokratis (democratic teaching) adalah suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan kehidupan demokrasi melalui proses pembelajran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching adalah proses pembelajran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman perserta didik. Dalam prakteknya para pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insan yang harus dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk
mengembangkan
potensinya. Untuk itu diperlukan suasana terbuka, akrab, dan saling menghargai, dan sebaliknya perlu dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan ketegangan, dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan. Sebab, sikap demokratis yang ditampilkan guru di kelas dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pengembangan sikap demokratis seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, gelombang demokratisasi yang terjadi di Indonesia menuntut semua pihak mewujudkan kehidupan demokrasi di segala bidang. Dalam upaya meningkatkan kultur dan nilai-nilai demokratis, aspek sekolah dan program pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap demokratis. Pengembangan kultur hidup yang demokratis tergantung pada sistem
11
pendidikan demokratis yang diterapkan di lingkungan pendidikannya. Sekarang masalahnya adalah bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan sekolah yang demokratis, agar nilai-nilai demokrasi tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan warganegara. Konsep demokrasi secara etimologis memiliki arti yang cukup sederhana yang berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Azra, 2008:39), tetapi dibalik kesederhanaannya, demokrasi memiliki makna yang sangat luas. Demokrasi erat kaitannya tidak hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga dalam dunia pendidikan. John Dewey (1916) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara pendidikan dengan demokrasi.
Ketika berbicara mengenai demokrasi maka tidak akan terlepas
dengan pendidikan. Dengan demikian demokrasi harus senantiasa diajarkan dan dipraktekkan untuk merangsang kegiatan berpikir kritis siswa, karena demokrasi tidak langsung datang dari langit dan tidak didapat melalui pewarisan tetapi merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran dan penghayatan (Azra, 2008:41). Sebuah adogium mengatakan “demokrasi dalam suatu negara akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warganegara yang memiliki kehidupan demokratis” (Budimansyah, 2002: 5). Dalam hal ini, Project citizen memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berdemokrasi ambil bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktekkan berpikir kritis, dialog,
12
debat, negosiasi, kerjasama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action), yakni melaksanakan kewajiban sebagai warganegara untuk kepentingan bersama (CCE, 1999). Pada dasarnya Prozect Citizen dikembangkan dari model pendekatan berpikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh John Dewey (1900) dengan paradigm “how we think” atau model reflective inquiry yang dikemukakan oleh Barr, dkk (1978) dalam Budimansyah, (2009:10). Oleh karena itu, guru harus memahami konsep democratic teaching seperti yang telah disinggung di atas, maksudnya bahwa proses pembelajaran di sekolah harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung tinggi keadilan, menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik (Budimansyah, 2002:7). Dengan kata lain, untuk bisa merangsang siswa untuk berpikir kritis, guru harus bisa memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi siswa dalam mengeksplorasi pengetahuan yang harus dimilikinya. Jadi, dalam hal ini guru tidak mendominasi dan hanya bertugas sebagai fasilitator dan pembimbing dalam proses pembelajaran. Mengacu pada berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, dan berdasarkan berbagai penemuan pada penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa project citizen merupakan salah satu alternative yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran PKn melalui proses belajar konstruktif (siswa
membangun
pengetahuannya
sendiri)
yang
dapat
meningkatkan
keterampilan berpikir dan membentuk warganegara yang demokratis, smart and good citizen.
13
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis berminat untuk mengkaji lebih mendalam mengenai model Project Citizen ini. Secara umum masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar model Project Citizen dalam Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep demokrasi?”. Dari rumusan umum tersebut, selanjutnya penulis identifikasi beberapa permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam mengidentifikasi masalahmasalah demokrasi terhadap peningkatatan keterampilan berpikir kritis siswa? 2. Seberapa besar pengaruh aktivitas siswa dalam kegiatan memilih masalah tentang demokrasi untuk kajian kelas terhadap keterampilan berpikir kritis siswa? 3. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siwa dalam mengumpulkan informasi tentang masalah-masalah demokrasi yang akan dikaji terhadap keterampilan berpikir kritis siswa? 4. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam mengembangkan portofolio kelas terhadap keterampilan berpikir kritis siswa? 5. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio kelas tentang masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa? 6. Seberapa besar pengaruh keterlibatan siswa dalam merefleksikan pengalaman belajarnya terhadap keterampilan berpikir kritis siswa?
14
7. Apakah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa yang mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang mendapatkan model pembelajaran konvensional?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui pengaruh model Project Citizen dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep demokrasi. Sedangkan secara rinci tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengidentifikasi masalah-masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa . 2. Untuk mengetahui pengaruh aktivitas siswa dalam memilih masalah tentang demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 3. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengumpulkan informasi tentang masalah-masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 4. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam mengembangkan portofolio kelas terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 5. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio kelas mengenai masalah demokrasi terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 6. Untuk mengetahui pengaruh merefleksikan pengalaman belajar terhadap keterampilan berpikir kritis siswa.
15
7. Untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang mendapatkan model pembelajaran konvensional.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat penulis sumbangkan dari hasil penelitian yakni secara teoritis untuk pengembangan strategi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa melalui penggunaan Project Citizen. Selain itu, manfaat praktis yang bisa diberikan, sebagai berikut: 1. Berguna bagi Universitas Pendidikan Indonesia, khususnya jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai
institusi
Pembina
prosfesi
guru
yang
mempersiapkan profesionalisasi calon guru Pendidikan Kewarganegaraan agar lebih peka dan terbuka dalam mengembangkan inovasi pembelajaran sebagai uapaya meningkatkan kualitas pendidikan dan merespon tantangan di era gobalisasi. 2. Bagi guru, diharapkan Project Citizen dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam pembelajaran PKn sehingga dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa. 3. Bagi siswa, diharapkan dengan menggunakan Project Citizen dapat menjadi motivasi sehingga siswa tertantang dan lebih bergairah untuk belajar. 4. Bagi penulis, dapat menambah wawasan penelitian dalam memahami Project Citizen dan menjadikan masukan dalam perbaikan profesionalitas mengajar.
16
E. Asumsi Penelitian Asumsi yang digunakan sebagai dasar dalam mengajukan hipotesis penelitian adalah hasil kajian teori seperti dikemukakan Cogan & Derriccot (1998:116) dalam Budimansyah & Suryadi (2008:39)
bahwa “salah satu
karakteristik yang harus dimiliki warganegara adalah “…kemampuan untuk berpikir
kritis
dan
sistematis…”.
Oleh
karena
itu,
peran
pendidikan
kewarganeagraan sangat penting dalam mencetak warganegara yang mampu berpikir secara kritis, analitis dan sistematis supaya dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran PKn seharusnya guru
sebagai pembimbing dapat
memberdayakan siswa supaya dapat merangsang kegiatan berpikir kritis siswa. Selain itu, penelitian ini juga berdasarkan pada asumsi bahwa: 1) Model Project Citizen dapat memfasilitasi terjadinya proses latihan berpikir untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. 2) Tahap-tahap pelaksanaan model Project citizen dapat memicu keterlibatan siswa secara aktif sehingga keterampilan berpikir kritisnya dapat diberdayakan dan dapat mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. 3) Project citizen dapat melatih keterampilan sosial seperti bekerja secara ilmiah, mengajukan dan menjawab pertanyaan, bekerjasama, dan berkomunikasi antara sesama siswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan sumbersumber data baik di sekolah maupun di luar sekolah.
17
F. Hipotesis Penelitian Atas dasar asumsi penelitian yang dikemukakan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah “Implementasi model project citizen dalam Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep demokrasi”. Sedangkan secara rinci hipotesis penelitian ini yaitu: 1) Keterlibatan siswa terlibat dalam mengidentifikasi masalah-masalah demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 2) Keterlibatan siswa dalam kegiatan memilih masalah tentang demokrasi untuk kajian kelas, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 3) Keterlibatan siswa dalam mengumpulkan informasi tentang masalahmasalah demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis. 4) Keterlibatan siswa dalam mengembangkan portofolio kelas, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 5) Keterlibatan siswa dalam menyajikan portofolio kelas tentang masalah demokrasi, berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 6) Keterlibatan
siswa
dalam
merefleksikan
pengalaman
belajarnya,
berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 7) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa yang mendapatkan model pembelajaran Project Citizen dengan siswa yang mendapatkan model pembelajaran konvensional
18
G. Definisi Operasional Untuk memperjelas konsep dan variabel yang diteliti supaya tidak mengundang tafsir yang berbeda, maka dirumuskan definisi operasional atas variabel penelitian sebagai berikut: 1.
Pengaruh Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995), pengaruh diartikan sebagai
daya yang ditimbulkan dari sesuatu yang ikut membentuk watak, kepercayaan, dan perbuatan seseorang. Jadi yang dimaksud pengaruh dalam penelitian ini adalah pengaruh dari model project citizen terhadap keterampilan berpikir kritis siswa setelah pembelajaran berlangsung.
2.
Implementasi Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995), implementasi merupakan kata
serapan dari bahasa Inggris implementation yang artinya penerapan atau pelaksanaan. Pelaksanaan yang dimaksud adalah pelaksanaan model project citizen dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
3.
Model Model menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya pola atau contoh, acuan
dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan atau gaya suatu pola yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam ensiklopedi Indonesia (Jilid 4), dijelaskan bahwa model merupakan kata pengecil dari “modo” yang artinya sifat, cara dan representasi kecil dari suatu benda atau keadaan untuk mengembnagkan,
19
menjelaskan atau menemukan sifat-sifat bentuk aslinya. Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Dahlan, M. D:1990) mengartikan model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang ditetapkan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberikan setting lainnya. 4.
Model Project Citizen Model Project citizen merupakan salah satu instructional treatment yang
berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (Budimansyah, 2009:1). Dimensidimensi
yang
terdapat
dalam pembelajaran
konsep
demokrasi dengan
menggunakan project citizen yaitu identifikasi dan analisis masalah tentang konsep demokrasi, memilih masalah sebagai bahan kajian kelas yang berkaitan dengan konsep demokrasi, mengumpulkan informasi untuk memecahkan masalah-masalah seputar maslah-masalah demokrasi, mengembangkan portofolio kelas mengenai permasalahan demokrasi, menyajikan portofolio kelas tentang demokrasi, merefleksikan pengalaman belajar seputar demokrasi.
5.
Pendidikan Kewarganegaraan “Civic education” menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4),
didefinisikan sebagai berikut: “Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.”
20
Berdasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawab sebagai warganegara. Secara khusus pendidikan kewarganegaraan memiliki peran pendidikan termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara. Cogan (1999:4) mendefinisikan civic education sebagai “…the foundation course work inschool designed to prepare young citizen for an activerole in the their communities in their adult lives”. Artinya bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu mata pelajaran di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Kemudian menurut Branson (1999: 4), bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan demokrasi untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah otonom (self govermnet), yakni pemerintahan otonom yang demokratis dimana warganegaranya aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri. Pendapat lain dikemukakan oleh Djahiri (2006: 173), bahwa “PKn merupakan pendidikan social yang terintegrasi yang diharapkan dapat melahirkan warga negara yang cerdas, kritis bertanggung jawab, terampil dan partisipasif dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global”. Hal ini sejalan dengan pengertian Pendidikan kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan
mata
pelajaran
yang
memfokuskan
pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak
21
dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
6.
Keterampilan Berpikir Kritis Robert Ennis (Hassoubah, 2004:87) memberikan definisi berpikir kritis
adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, lebih lanjut Ennis mengatakan bahwa “untuk dapat menguasai proses berpikir kritis ada baiknya terlebih dahulu mengenal kecenderungan dan kemampuan untuk menentukan apa yang mesti dipercayai atau dillakukan”. Menurut R.H Ennis (dalam Hassoubah, 2004:91) bentuk kecenderungan ini terdiri atas tiga belas komponen yaitu: (1) mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan, (2) mencari atau menganalisis argumen, (3) berusaha mengetahui informasi dengan baik, (4) memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya, (5) memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan yang berkaian dengan observasi dan menilai laporan hasil observasi, (6) berusaha tetap relevan dengan ide utama, (7) mengingat kepentingan yang asli dan mendasar, (8) mencari alternatif, (9) bersikap dan berpikir terbuka, (10) mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu, (11) mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan, (12) bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalaha, (13) peka terhadap tingkat keilmuan dan keahlian orang lain. Sedangkan aspek kemampuan menurut Ennis
22
(dalam Hassoubah, 2004:92) adalah keterampilan untuk: (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikais bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
7.
Konsep demokrasi Konsep demokrasi secara etimologis memiliki arti yang cukup sederhana
yang berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Azra, 2008:39). Menurut Sidney Hook (dalam Azra, 2008:39) demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat. Pendapat Hook sejalan dengan pemikiran Henry B. Mayo (1980:166) yang mengemukakan bahwa demokrasi merupakan suatu system yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
23
H. Kerangka Pemikiran Untuk lebih memperjelas penelitian yang dilakukan, dibawah ini dapat dilihat kerangka berpikir penelitian, sebagai berikut: Tantangan warganegara abad 21
Warganegara muda (young citizenship) yang berpatisipasi aktif dalam pengambilan keputusan (kebijakan public) di lingkungan masayarakat, bangsa dan negara
Warganegara yang memiliki karakteristik yang salah satunya adalah mampu berpikir kritis dan sistematis. (Cogan:1999)
Peran dan tanggung jawab Pendidikan Kewarganegaraan
Upaya Guru PKn dalam memberdayakan keterampilan berpikir kritis siswa
Model Project Citizen: Model Multi materi, multi metoda, multimedia dan multi sumber baik buku maupun masyarakat. Dengan prinsip belajar siswa aktif, Kelompok belajar kooperatif, Pembelajaan partisipatorik dan Reactive teaching
Temuan Penelitian
Kesimpulan dan Rekomondasi
Siswa memiliki keterampilan berpikir kritis dan mampu berpartisipasi aktif sebagai warganegara muda
Bagan 1.1 Kerangka Berpikir Penelitian