BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi ini bermaksud mengkaji tentang fenomena presidential party di Indonesia dimana presidential party merupakan istilah yang peneliti pakai untuk mengkaji gejala pembentukan partai-partai politik baru yang dirikan oleh elit poilitik sebagai sarana untuk mencalonkan diri sebagai kepala pemerintahan atau presiden. Karena hingga saat ini belum ada ilmuan atau akademisi yang mengkaji serta merumuskan pengertian presidential party secara teoritis. Seperti diketahui jauh sebelum republik ini lahir, partai politik di Indonesia hadir dan pernah menjadi alat perjuangan untuk membentuk negeri ini. Pada setiap era yang dilaluinya, partai politik di Indonesia hadir dengan berbagai latar belakang yang beragam maksud dan tujuan pula mengingat banyak kepentingan politik didalamnya. Pada dasarnya kehadiran partai politik selama ini adalah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang berbeda pada setiap zaman yang dilalui, meskipun pada titik tertentu seringkali partai politik kehilangan akan relevansinya. Pemilihan umum Era Reformasi untuk memilih partai politik dilaksanakan pertama kali pada tahun 1999 pada masa pemerintahan BJ Habibie, mirip pada peristiwa yang pernah terjadi pada pemilu tahun 1955, setidaknya hal itu dibuktikan dengan banyaknya partai politik baru yang
1
terbentuk dan mengikuti proses pemilihan umum tersebut. Fenomena ini dianggap sebuah perjalanan sejarah yang wajar, setelah tiga puluh dua tahun dikungkung dalam rezim tirani yang otoriter bernama Orde Baru. Ketika tirani tersebut berhasil dilumpuhkan dan tumbang, rakyat Indonesia meresponnya dengan beragam cara pula. Salah satunya adalah banyaknya elit politik berlomba-lomba mendirikan partai politik baru untuk memperoleh kekuasaan baik di legislatif maupun di eksekutif. Drama politik ini menjadi bagian dari sejarah bagi partai-partai politik baru dengan berbagai kepentingan politiknya. Partai politik mempunyai peran penting baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional di Indonesia dalam hal ini pemilihan seorang kandidat presiden. Proses ini secara langsung melibatkan keaktifan organisasi pekerja partai atau mesin politik partai untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam agenda pemenangan seorang kandidat Presiden. Selain itu, partai politik juga dapat memobilisasi konstituennya untuk terlibat langsung dalam kampanye serta dapat berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses demokratisasi di negara yang sedang berkembang dan belajar berdemokrasi ini di tengah-tengah tantangan global yang kian kompetitif. Sistem persaingan politik dan kontrol media masa dewasa ini membuat partai politik perlu bertransformasi mengikuti dinamika politik yang terus bergerak. Cara-cara klasik seperti manipulasi, tekanan, dan eksploitasi sudah seyogyanya segera di tinggalkan, karena masyarakat kita saat ini mulai kritis
2
melihat fenomena politik yang disajikan elit politik negeri ini. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa memenangkan sebuah persaingan politik tidak dapat dicapai dengan cara-cara instan, terlebih lagi untuk membangun sebuah kepercayaan publik agar partai politik dapat berlangsung lama (sustainable). Ketentuan tentang sistem rekruitmen, seleksi, kaderisasi, pemilihan ketua partai dan pemilihan kader-kader partai harus sesuai dengan prinsip kaidahkaidah yang telah disepakati bersama. Selain dari ketokohan seorang kandidat yang diusung, partai politik merupakan instrumen perjuangan nilai atau ideologi. Partai politik sebagai sebuah alat perjuangan atas sebuah nilai yang mengikat kolektivitas dalam sebuah organisasi politik. Nilai atau ideologi itu diyakini kebenarannya oleh kolektivitas individu yang tergabung dalam organisasi bernama partai politik. Pada kerangka itu, nilai atau ideologi memiliki beberapa fungsi politik juga mempunyai peran penting dalam pemenangan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam sebuah pemilihan kepemimpinan nasional di Indonesia. Proses ini secara langsung melibatkan keaktifan organisasi pekerja partai untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam agenda pemenangan seorang kandidat presiden melalui proses demokratisasi di tanah air (pemilu). Menyadari adanya persoalan tersebut, peran partai politik sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan secara konstitusional baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemilihan umum presiden perlu untuk dikaji, karena dalam memasuki era multipartai di era reformasi muncul berbagai
3
partai politik baru yang berbasis pada pembentukan elit partai. Dimana elit politik tersebut menggunakan partai politik sebagai electoral machine untuk memenangkan pemilihan umum presiden. Sejak era reformasi bergulir, muncul fenomena baru ketika banyak kalangan elit yang secara berjamaah mendirikan partai politik sebagai electoral machine. Bukti bahwa elit mendirikan partai untuk electoral machine di tandai dengan adanya fenomena pembentukan partai-partai politik baru di era Orde Reformasi saat ini diantaranya; Partai Demokrat (PD), partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKPI dan Partai Nasional Demokrat (NasDem). Menyadari persoalan fenomena baru tersebut, maka studi ini perlu dilakukan mengkaji lebih jauh terkait fenomena pembentukan partai-partai politik baru yang dibentuk untuk pencalonan kandidat presiden dan wakil presiden. Partai-partai politik baru muncul sebagai salah satu respons terhadap berbagai masalah dalam sistem kepartaian yang selama ini dirasa kurang relevan. Secara komparatif fenomena-fenomena ini juga muncul di berbagai negara lain seperti yang terjadi di Amerika Latin Argentina, Brazil, Meksiko, Filiphina dan lain-lain. Secara teoritik teori tentang tipologi kepartaian selama ini belum mengakomodir jenis tipologi presidential party. Penelitian ini dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mengkaji
bagaimana
muncul
dan
berkembangnya partai Gerindra sebagai presidential party di Indonesia, dengan mengambil fokus dalam penelitian partai Gerakan Indonesia Raya
4
(Gerindra) karena partai ini merupakan salah satu partai politik baru yang lahir pada Era Reformasi yang sejak awal berdiri telah mengusung figur Prabowo sebagai satu-satu calon presiden tunggal. B. Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Rumusan Masalah Berawal dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana muncul dan berkembangnya partai Gerindra sebagai presidential party di Indonesia? 2. Tujuan dan Manfaat Penelitian:
a. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana proses terbentuknya partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). b. Untuk menganalisis partai Gerindra sebagai presidential party di Indonesia. c. Secara akademik studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi wawasan dalam kajian tentang presidential party di Indonesia serta dapat memberi warna baru tentang kajian tipologi kepartaian di Indonesia. d. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi para politisi tanah air serta sebagai bahan masukan bahwa perjalan karir politik di tanah air ini memerlukan proses yang tidak mudah.
5
C. Literatur Review Allen Hicken and Heather Stoll1 dalam “Electoral Rules and the Size of the Prize: How Political Institutions Shape Presidential Party “mengungkapkan bagaimana
lembaga-lembaga politik
membentuk
peraturan pemilihan presiden dan membentuk sistem kepartaian. Fokusnya terkait dengan “peran presiden” sebagai otoritas yang terkonsentrasi secara langsung dengan legislatif (sentralisasi horisontal) di tingkat nasional dari pemerintah yang sama seperti ditingkat level subnasional (sentralisasi vertikal). Mereka menemukan hubungan non linier antara horisontal sentralisasi pada otoritas lembaga kepresidenan yang dioperasioanalkan dengan baik oleh kandidat presiden dalam sistem kepartaian. Untuk mendapatkan legitimasi sebagai presiden saat berkuasa, secara khusus kandidat presiden baik yang lemah maupun yang sangat kuat dengan cara meningkatkan kekuatan presidensial (eksekutif) yang dimiliki sehingga menghasilkan kekuatan yang lebih besar pula bagi kandidat. Selanjutnya di temukan bahwa substantif dari efek horisontal sentralisasi pada umumnya lebih besar dari efek pemilu hingga saat ini. Comparing Presidential Party Leadership Transfers: Two Cases2 yang ditulis oleh Harold F. Bass Jr mengungkapkan studinya menunjukkan kerangka komparatif untuk menganalisis satu tahap khususnya kepemimpinan partai presiden. Kerangka kerja ini terdiri dari 1
Allen Hicken and Heather Stoll. 2008. Electoral Rules and the Size of the Prize: How Political Institutions Shape Presidential Party Systems. The Journal of Politics, Vol. 70, No. 4 (Oct., 2008), pp. 1109-1127 2 Harold F. Bass Jr. 1993. Comparing Presidential Party Leadership Transfers: Two Cases. Presidential Studies Quarterly, Vol. 23, No. 1, Democracy in Transition (Winter, 1993), pp. 115-128
6
tahapan dalam siklus pemilihan presiden yang dilewati dalam hubungannya dengan partai. Fokusnya di sini adalah pada tahap keberangkatan / aksesi, dimana partai secara resmi menunjuk calon baru dan pemimpin sementara yang berkuasa tetap di tingkat pemerintahan atau eksekutif. Misalnya dari Eisenhower ke Nixon (1960) dan Reagan ke Bush (1988) mendapat perhatian dan mempengaruhi nominasi serta mengendalikan konvensi, keterlibatan kampanye presiden dan hasil pemilu. Hal ini menjadi pertimbangan atas keterlibatan kampanye calon presiden, pengambilalihan kedudukan partai dan electoral outcome dimana ke depan terus menerapkan kerangka kerja ini untuk menguraikan perbandingan yang sama terkait kepemimpinan partai presiden. Penelitian ini berupaya untuk mengembangkan kerangka kerja untuk membandingkan presiden sebagai pemimpin partai. Bahwa penelitian ini difokuskan pada tahap yang berbeda dari kepemimpinan partai presiden yang telah mempertimbangkan dua kasus modern di atas. Selanjutnya Harold F. Bass Jr berusaha untuk menerapkan kerangka kerja ini untuk penelitian modern lainnya dan untuk menguraikan
kerangka
pemikiran
komparatif
yang
sama
untuk
menganalisis kepemimpinan pada partai presiden. Pada tahun 1992 kerugian yang melekat pada jabatan seorang presiden terjadi pada tubuh Partai Republik yang kemudian berkembang menjadi sebuah kasus. Selain itu dia mengikuti dengan seksama kepemimpinan Presiden Clinton dari Partai Demokrat di Amerika Serikat yang sempat menghebohkan.
7
Disisi lain menurut pandangan Scott Mainwaring, presidensialisme tidak otomatis menghambat kinerja dan stabilitas demokrasi di suatu negara. Presidensialisme menjadi masalah apabila terkombinasi dengan sistem multi partai. Dari hasil observasi terhadap 31 negara yang telah stabil demokrasinya, yaitu negara-negara yang mampu mempertahankan demokrasinya sejak 1967 hingga 1992, Mainwaring menemukan bahwa semua
negara
yang
menganut
presidensialisme
dan
berhasil
mempertahankan demokrasi ternyata menganut sistem dwipartai.3 Kolumbia, Kostarika, Venezuela dan Amerika Serikat menganut sistem presidensiil. Dua puluh empat negara menganut sistem parlementer, dua negara menganut semi presidensiil (Finlandia, Prancis) dan Switzerland menggunakan gabungan keduanya (hibrid). Menurut Scott Mainwaring terkait Presidensialisme di Amerika Latin menyebutkan bahwa kelemahan sistem presidensialisme karena kegagalan dalam membedakan dengan tugas antara faktor negara yang otoriter dengan negara-negara demokrasi. Beberapa negara seperti Chili, Costa Rica dan Uruguay merupakan contoh dari negara-negara yang menerapkan sistem presidensial akan tetapi terlihat dalam prakteknya bahwa kekuasaan kongres yang lemah dan sebaliknya kekuasaan presiden yang kuat.4 Hal ini menjadi permasalahan yang cukup berdampak kepada
3
4
Scott Mainwaring. 1993. Presidentialism, Multipartism, and Democrazy: The difficult combination, Comparative Political Studies, Vol.26,No2. hl:204 Scott Mainwaring, “Presidensialisme di Amerika Latin”, dalam, Arend Lijphart, op.cit., h. 117
8
kestabilan politik di negara-negara tersebut dan perlu mendapat perhatian lebih. Persoalan pokok dalam implementasi konsep presidensialisme di negara-negara ini adalah faktor kecenderungan kekuasaan yang otoriter dan demokratis. Negara seperti Chili, Costa Rica, dan Uruguay sekalipun negara-negara yang cukup demokratis, namun pada kenyataannya mereka cukup mengalami kesulitan dalam merancang program pembangunan negaranya. Sekalipun peranan presiden cukup besar untuk menyusun pembangunan, akan tetapi tidak dapat dihindari bahwa mereka ternyata tidak
mendapatkan
dukungan
untuk
menjalankan
kebijaksanaan
pembangunan negaranya.5 Menurut Mainwaring, jika menggunakan pendekatan teoritis bahwa kekuasaan eksekutif yang lebih kuat dari pada parlemen dalam sistem presidensial, ternyata fenomena yang terjadi amat berbeda. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sistem presidensiil bergantung pada keseimbangan
dan
pemisahan
kekuasaan
pemerintahan,
tetapi
keseimbangan ini seringkali menimbulkan imobilisime atau kemandegan. Oleh karenanya perlu sebuah rancangan sebuah sistem politik demokrasi yang mampu menghasilkan pemerintahan presidensial yang efektif secara nasional, sehingga stabilitas nasional dapat terjaga. Dibalik itu semua beberapa persoalan pokok yang mendorong terciptanya instabilitas tidak saja semata-mata keinginan rakyat yang 5
Ibid., h. 118
9
cukup kuat untuk mendistribusikan kekuasaan ke lembaga-lembaga yang variatif, tetapi sistem politik yang dianut oleh negara-negara tersebut amat menentukan terhadap keseimbangan pemerintahan di negara tersebut. Seperti faktor banyak partai ternyata ikut menentukan terciptanya ketidakeimbangan dalam sistem presidensial. Untuk mempertahankan kekuasaannya agar tidak di veto oleh parlemen, sering eksekutif melakukan terobosan-terobosan politik melalui kebijakan “pembesaran” kekuasaan, seperti membentuk lembaga-lembaga baru dan bahkan kadang-kadang melampaui kewenangannya atas nama konstitusi. Persoalannya akan menjadi berbeda ketika dikembalikan ke sistem pemerintahan Indonesia. Dalam konstitusi cukup jelas ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem presidensial. Artinya, kekuasaan kepala negara, model parlemen, dan cabang-cabang kekuasaan eksekutif secara penuh di tangan eksekutif (presiden) hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem presidensial. Namun, tidak dapat dipungkiri, bahwa ketika Presiden sebelumnya diangkat oleh parlemen, maka apa yang dimaksud dengan model presidensial tersebut menjadi tidak tepat6, hal ini juga berlangsung sampai dengan perubahan UUD 1945, di mana Presiden apabila melanggar konstitusi atau haluan negara serta melakukan hal-hal yang melanggar hukum, maka DPR dapat mengajukan kepada MPR untuk memberhentikan Presiden.
6
Kondisi ini berlangsung sebelum amandemen terhadap UUD 1945
10
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh teori kedaulatan rakyat, bahwa presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Teori presidensial sendiri meniscayakan adanya pemberhentian presiden di tengah jalan, memperlihatkan
kekaburan
pengertian
presidensial
dalam
sistem
ketatanegaraan Indonesia. Beragamnya pandangan ahli ketatanegaraan terhadap sistem yang dianut Indonesia, apakah sistem parlementer, presidensial atau quasi-presidensial, atau ada yang menyebut dengan istilah model MPR, jelas merupakan suatu persoalan konseptual yang perlu dielaborasi untuk mendapatkan kepastian seperti apa sebenarnya sistem pemerintahan Indonesia tersebut dalam konstitusinya. Di Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan
Koichi
Kawamura (2013)7 dalam Presidentialism and political parties in Indonesia: Why are all parties not presidentialized. Presidensialisme dan partai politik di Indonesia, tidak semua partai itu terpresidensial. Dari pemaparanya menganalisa proses “presidensialisasi” partai politik di Indonesia baru-baru ini, sebagaimana diungkapkan Samuels dan Shugart (2010). Di Indonesia tidak semua partai menjadi terpresidensial. Partaipartai akan menjadi presidensial ketika mereka mempunyai struktur organisasi yang solid dan mempunyai potensi untuk memenangkan pemilu presiden. Partai-partai yang didirikan oleh kandidat atau calon presiden tidak harus sejalan dengan lembaga legislatif maupun eksekutif, karena pimpinan partai bukanlah sebuah agen akan tetapi ketua partai. 7
Kawamura, Koichi. 2013. Presidentialism and political parties in Indonesia: Why are all parties not presidentialized Ide discussion paper No 409. h1: 27
11
Di sisi lain, partai-partai kecil dan menengah yang hanya mempunyai sedikit prospek untuk memenangkan pemilu presiden serta tidak aktif terlibat di dalam proses pemilihan umum oleh karena itu organisasi partai bukan menjadi terpresidensial. Proses “presidensialisasi” partai-partai politik dimulai sejak 2005 sebagaimana di level lokal ketika kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Disisi lain, partai politik di Indonesia mempunyai disiplin organisasi
yang
cukup
kuat
dibawah
negara
penganut
sistem
pemerintahan presidensiil. Kekuatan ini dapat dilihat dari sistem pemilihan, dengan sistem representasi yang proporsional di Indonesia, dimana pemilih dihitung berdasarkan pada sebuah basis partai, anggotaanggota parlemen cenderung tergantung kepada partai mereka sendiri, selain itu calon-calon wakil rakyat harus mematuhi kebijakan partai karena jajaran elit partai/pemimpin-pemimpin partai mempunyai otoritas untuk membuat kebijakan para kandidat partai (caleg) telah ada sejak pemilu parlemen di 2004. Di kalangan eksekutif partai masih memegang kekuasaan yang kuat dalam menentukan para kandidat yang mewakili partainya. Lebih jauh anggota-anggota parlemen sulit untuk melawan kebijakan eksekutif partai, karena bisa saja dikeluarkan atau kursi parlemen apabila mereka melawan peraturan/kebijakan partai. Sistem kepartaian dan calon Presiden dipilih secara langsung di Indonesia yang diawali dengan pemilihan presiden pertama pada tahun 2004. Tipikal sistem kepartaian di Indonesia bersifat pluralis yang
12
terpolarisasi (melebar), yang terbentuk sebagai akibat dari sistem perwakilan
proporsional
yang
secara
sengaja
diadopsi
untuk
mencerminkan kemajemukan bangsa, agama, suku bangsa di Indonesia. Pluralisme sebagai akibat dari berkembangya partai-partai baru yang mencari dukungan dari pemilih-pemilih ’’sayap’’partai. Sejak dimulainya proses demokratisasi para pemilih di Indonesia telah kehilangan identitas partai mereka sehingga menyebabkan perilaku pemilih mudah untuk berubah. Total jumlah angka perubahan perilaku pemilih yang berubahubah di Indonesia yaitu 23 % di pemilu 2004 dan 28,7 di tahun 2009. Diskusi diatas melihat sitem kepartaian yang terjadi sejak pengenalan pemilu presiden secara langsung di 2004 di Indonesia. Artikel dari Koichi Kawamura (2013) ini menganalisis bagaimana pengenalan pilpres secara langsung, setelah demokratisasi memberikan efek terhadap partai-partai politik di indonesia. Sistem presidensial di Indonesia tidak secara
langsung
menyebabkan
partai
politik
terpresidensialisasi.
Sementara itu sebuah partai yang berbasis organisasi seperti Golkar dapat dijelaskan sebagai presidensial, sementara partai-partai manengah dan kecil
tidaklah
presidensial
karena
mereka
hanya
mencari
dan
memaksimalkan jumlah pemilih yang mereka dapatkan di pemilu parlemen dari pada pemilu presiden dan mereka tetap berpartisipasi dalam pemerintahan koalisi sebagai salah satu partai yang berkuasa dimana partai-partai personal pribadi didirikan oleh politikus yang kuat, logikanya tidak dapat menjadi presiden karena pemimpin partai itu adalah ketua.
13
Studi kasus di indonesia dari partai-partai politik dan presidensialisme di indonesia menunjukkan pada kita bahwa efek dari institusi eksekutif dalam organisasi partai akan berkurang karena kelemahan dari sistem partai dan organisasi partai dalam negara demokrasi yang baru, disaat yang sama studi ini menunjukkan bahwa pemisahan kekuasaan di sistem politik cenderung terlihat mempengaruhi organisai partai yang lebih kuat di level lokal dari pada di level nasional. Ketika kita menganalisa hubungan antara institusi eksekutif dan organisasi partai khususnya di negara-negara demokrasi yang baru, perlu mempertimbangkan waktu dari konsolidasi institusi. Kita harus mempertimbangkan ketidakstabilan pada sistem partai partai politik, baik yang akan mempengarungi hubungan antara eksekutif maupun partai politik. Pada negara-negara demokrasi gelombang ketiga, kemampuan partai untuk merekrut pemimpin partai dari kader-kader partai ditentukan oleh institusi eksekutif. Apa yang telah dijelaskan dalam studi Koichi Kawamura (2013) hanya menjelaskan proses presidensialisasi partai-partai besar di Indonesia yang mempunyai struktur organisasi yang kuat dan solid saja, sedangkan apa yang terjadi di Indonesia saat ini banyak partai-partai kecil dan menengah mengusung calonnya masing-masing menjadi kandidat presiden. Partai-partai menengah dan kecil tidak hanya memburu dan memaksimalkan jumlah pemilihnya akan tetapi juga tengah mencari dukungan untuk calon presiden yang tengah di usung, seperti halnya apa
14
yang terjadi pada partai Gerakan Indonesia Raya. Dalam kajiannya Kawamura tidak mejelaskan dan mengakomodir jenis tipologi kepartaian yang baru muncul di Indonesia. Setelah Era Reformasi bergulir dimana muncul fenomena jenis tipologi partai baru presidential party yang tidak dijelaskan oleh Kawamura. Fenomena kemunculan partai-partai politik baru tentu membawa dampak bagi perpolitikan di tanah air yang terus mengalami perubahan, oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut terkait fenomena tersebut. D. Kerangka Teoritis Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem di negara demokrasi. Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara prosesposes pemerintahan dan warga negara.8 Partai politik juga merupakan satu bentuk wadah yang mengakomodasi hak kebebasan berserikat dan berkumpul. Berdasarkan sejarahnya, partai politik pertama lahir di negaranegara Eropa Barat.9 Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis, sebagai konsekuensi dari sistem perwakilan atau demokrasi. Akan tetapi, sekali partai politik muncul maka segera membangun sendi-sendi yang mampu memperkuat kelangsungan demokrasi dan pemerintahan konstitusional.
8
9
Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pergumulan peran pemerintah dan parlemen dalam sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarat: UI Press. hlm:52 Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm:397
15
Menurut Carl J Friedrich partai politik merupakan sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materiil (a political party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the cntrol of a government, with the further of objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages).10 Senada
dengan
pengertian
di
atas,
Miriam
Budiarjo
mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.11 Sedangkan definisi paling operasional menurut Riswandha Imawan adalah definisi yang diberikan Giovanni Sartori dalam Parties dan Party System (1976) yang mendefinisikan partai politik sebagai”any political group identified by an official label that presents at elections, and is capable of placing through elections candidates for public
10
11
Friedrich, 1967, Constitutional Government and Democracy: Theorie and Practice in Europe and America, edisi ke 5, Weltham Mass; Blasidell Publishing Company, hl. 149. Sebagaimana dikutip miriam Budiardjo, ibid, hl. 404 Ibid.hal:398
16
offices”12. Artinya partai politik merupakan kelompok politik apapun yang dikenali lewat label resmi yang ada saat pemilihan umum dan mampu menempatkan wakil-wakilnya pada jabatan publik melalui pemilihan umum. Dalam
kajian
akademis
mengenai
partai
politik
telah
menghasilkan beragam cara dalam melakukan klarifikasi terkait tipologi partai politik. Metode pertama dan paling sederhana adalah mencoba mengembangkan satu kerangka teori analis sederhana yang membantu menganalisis tipe-tipe partai politik dan merinci karakter masing-masing hal substansi dari partai politik. Klasifikasi Katz dan Mair dalam Pamungkas yang membedakan partai politik ke dalam empat tipologi, yaitu elit, massa, catch-all, dan kartel.13 Berdasarkan ciri-ciri khusus dan kemiripan fokus, Krouwel telah mengelompokkan beragam tpe partai politik ke dalam lima jenis dasar, yaitu; 1) partai elit, caucus dan kader; 2) partai massa; 3) partai catch-all, Elektoralis; 4) partai kartel; dan 5) partai firma bisnis.14 Perkembangan partai politik juga menunjukkan adanya partai politik yang tidak semata-mata bertujuan memenangi pemilihan umum. Terdapat pula partai politik yang tujuan utamanya adalah untuk memperjuangkan kebijakan tertentu atau mendudukkan tokoh/kadernya dalam jabatan tertentu. Dari keseluruhan tipologi partai politik yang selama ini 12
Imawan, Riswanda. 2001. Pemilu Sebagai Sarana Demokratisasi Politik di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hl:3 13 Pamungkas,Sigit. 2011. Partai Politik teori dan praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism. hal:24 14 Ibid
17
diperbincangkan oleh mereka yang mendalami studi tentang kepartaian hanya terfokus pada beberapa tipologi partai yang telah ada selama ini dan tidak memperhatikan munculnya presdiential party, oleh karena itu studi ini mencoba memperkenalkan satu elemen kontekstual dalam membahas jenis tipologi partai politik baru yang bernama presidential party yang selama ini terabaikan. Sistem
pemerintahan
presidensial
merupakan
sistem
pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen atau sejajar. Kepala pemerintahan presidensial (presiden) dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau melalui badan pemilihan, adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:15 Eksekutif tidak bertanggung jawab secara politik kepada legislatif. Pemisahan kekuasaan adalah kondisi klasik inti dari presidensialisme, yang menjamin bahwa eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif. Sebaliknya, presiden bertanggung jawab hanya untuk pemilih yang memberinya mandat untuk memerintah. Mengingat bahwa presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif merupakan hal logis, apalagi untuk masa jabatan dalam jangka waktu tertentu. Seperti halnya dalam kasus Amerika, seorang presiden dapat dikenakan impeachment oleh legislatif karena alasan ketidakpantasan
15
Poguntke, Thomas and Paul Webb.
2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:2-3
18
nyata atau perbuatan tercela. Doktrin pemisahan kekuasaan bekerja dua arah, sehingga presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Rezim Presiden terpilih adalah kepala pemerintahan. Dalam sistem politik ini, untuk mendapat label presiden dalam arti formal, presiden harus menjadi kepala pemerintahan yang benar dan yang paling umum dimana status tersebut dapat diberikan dalam demokrasi adalah presiden terpilih secara populer, baik secara langsung oleh rakyat atau melalui electoral college yang erat mencerminkan preferensi populer dari pemilih (Lijphart 1992:3). Sebagai aturan, seperti mandat rakyat merupakan prasyarat penting dari legitimasi demokratis presiden dan oleh karena itu, otoritas pribadinya untuk memerintah. Rezim Presiden ditandai dengan tanggung jawab eksekutif unipersonal. Dalam presidensialisme, presiden hanya diberi mandat oleh rakyat untuk memerintah, karena itu dia hanya bertanggung jawab secara politik. Ini tidak berarti bahwa eksekutif benar-benar terdiri dari satu individu, Presiden AS misalnya, menunjuk anggota kabinetnya, yang mengambil alih kebijakan di departemen pemerintah yang berbeda, tetapi mereka tidak secara individu bertanggung jawab kepada para pemilih (atau legislatif, mengingat pemisahan kekuasaan yang beroperasi). Hanya presiden sendiri memiliki mandat demokratis pribadi, yang berarti bahwa ia memiliki wewenang penuh untuk membentuk dan melantik anggota
19
kabinetnya, dan mereka bertanggung jawab langsung kepadanya lalu kemudian membawa tanggung jawab atas seluruh rakyat. Kita tahu bahwa tiga fitur dari seorang pemimpin eksekutif yang dipilih oleh rakyat, pemisahan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif tanggung jawab secara unipersonal merupakan kondisi formal yang perlu dan tampaknya cukup menentukan dalam arti hukum konstitusional. Sementara otonomi aktual dan kekuatan seorang presiden mungkin sangat jauh dalam parameter konstitusional sesuai dengan faktor kontinjensi dan institusional, namun rezim presiden tetap formal. Sebelumnya menunjukkan bahwa sistem presidensial telah menawarkan sumber daya yang jauh lebih besar kepada eksekutif sementara eksekutif disisi lain memberinya otonomi yang cukup kepada partai-partai politik di parlemen (dan sebaliknya). Pada dasarnya, logika fungsional yang melekat pada rezim presidensialisme memiliki tiga efek: 1. Sumber daya kepemimpinan: Logika presidensialisme memberikan kekuasaan kepala pemerintahan dengan sumber daya kekuasaan eksekutif yang superior. Hal ini langsung dari fakta bahwa dia tidak bertanggung jawab kepada parlemen, biasanya langsung disahkan dan memiliki kekuatan untuk membentuk kabinet tanpa gangguan berarti dari lembaga lain. Singkatnya, sehubungan dengan cabang eksekutif pemerintah, kepala pemerintahan eksekutif dapat memerintah tanpa banyak gangguan dari luar.
20
2. Kepemimpinan yang otonom: ini merupakan dampak langsung akibat dari pemisahan kekuasaan. Ini bekerja dua arah, namun parlemen yang terbentuk tidak dapat dibatasi baik untuk mendukung pemerintah atau untuk menampilkan diri sebagai oposisi yang layak. Dengan kata lain, otonomi kepemimpinan hanya dapat membuat kekuatan kepemimpinan ditingkatkan dalam memimpin, tetapi bergantung pada keberhasilan pemilu dan tidak didasarkan pada pengendalian organisasi partai politik. Singkatnya, kepemimpinan yang otonom dapat menemukan ekspresi dalam dua zona yang berbeda dari tindakan organisasi partai itu sendiri serta mengatur eksekutif. 3. Personalisasi proses pemilihan: Ini mengikuti langsung dari fokus alami tertinggi dan menyiratkan bahwa semua aspek dari proses pemilu yang tegas dibentuk oleh kepribadian dari kandidat terkemuka.16 Berbeda
dengan
prinsip
presidensialisme
diatas
”presidensialisasi” secara de facto politik dapat dipahami sebagai proses pengembangan untuk meningkatkan sumber daya kepemimpinan dalam bingkai kekuasaan yang masing-masing memiliki otonomi dalam partai politik dan eksekutif politik serta bagian dari proses pemilihan kepemimpinan yang semakin berpusat. Dasarnya adalah masing-masing dari tiga arena pusat pemerintahan demokratis dipengaruhi oleh 16
Poguntke, Thomas and Paul Webb.
2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:5
21
perubahan
ini
yang
kita
sebut
sebagai
tiga
wajah
sistem
’’presidensialisasi”, yaitu wajah eksekutif (presiden), wajah partai, dan wajah pemilu. Sehingga ”presidensialisasi” merupakan proses dari ketiga wajah tersebut yang diperkuat oleh faktor-faktor lain yang mengalir dari struktur konstitusional formal yang ada.17 ”Presidensialisasi” dalam konteks ini berbeda dengan sistem presidensial yang selama ini dikenal, sebagaimana yang terjadi pada partai Gerakan Indonesia Raya yang selama ini memfokuskan diri kepada figur kandidat yang diusung oleh partai tersebut, baik melalui kampanye, pengelolaan organisasi, perjuangan partai maupun terkait pendanaan partai yang banyak dipengaruhi oleh figur Prabowo Subianto. Terjadinya proses pergeseran di awal menjadi presidential party justru terjadi setelah pemilu pertama yang semakin menguat menjadi partai politik yang semakin “terpresidensialisasi”, sehingga dapat kita ukur dari pertama; peran Prabowo Subianto yang begitu dominan di partai tersebut dengan kekuasaan sentral yang dimiliki di partai sebagai ketua dewan pembina partai (veto player). Kedua, setelah dua kali mengikuti pemilu legislatif tahun 2009 dan 2014 melalui proses rekrutmen, pelembagaan partai, sosialisasi, maupun kampanye selama ini masih konsisten dalam mengusung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon tunggal sebagai 17
Poguntke, Thomas and Paul Webb.
2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:5
22
calon presiden dari partai Gerindra. Ketiga, pengaruh ketua dewan pembina partai yang sangat mendominasi dan memiliki kekuasaan penuh dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan partai Gerindra baik internal maupun eksternal berdasarkan amanat dari Prabowo Subianto. Bahkan menurut ketua umum partai Gerindra dalam setiap Munas maupun Rapimnas di kalangan internal partai telah sepakat satu suara dalam mengusung kandidat presiden yang diajukan sejak partai ini. Dinamika Presidensialisasi Presidensialisasi Mayoritas System bipolar persaingan)
(struktur
Zona besar otonomi Kekuasaan bergantung pada toleransi partai mayoritas
Kekuatan lebih cepat; kekuatan perlu dipertahankan dengan membela kontrol atas zona otonomi terhadap pihak mayoritas
Sistem konsensual (pemerintah minoritas, koalisi yang luas)
Zona kecil otonomi Kekuasaan bergantung pada kemampuan pemimpin sampai pemain veto
Kekuasaan diperoleh melalui zona memperluas otonomi dengan mendominasi veto
Sumber: The presidentialization of Politics in Democratic Societies18 Dalam dinamika proses ’’presidensialisasi” diatas terdapat dua zona kecil dan zona besar otonomi, dimana masing-masing zona memiliki kekuatan dan pengaruhnya sendiri. Dari pemaparan diatas maka dapat ditarik 18
Poguntke, Thomas and Paul Webb.
2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:12
23
kesimpulan mengenai ciri-ciri konsep”presidensialisasi” adalah sebagai berikut: a) Kepemimpinan dalam bingkai kekuasaan memiliki otonomi khusus pada partai politik yang semakin terpusat kepada pimpinan tertinggi partai dalam memonopoli setiap kebijakan organisasi. b) ”Presidensialisasi” memiliki ciri tiga wajah demokrasi yaitu eksekutif, partai politik dan pemilu. c) Kekuasaan bergantung (terpusat) kepada kemampuan pemimpin tertinggi partai politik serta memiliki hak veto terhadap setiap kebijakan partai politik yang menjadi mesin politiknya. d) Adanya sentralisasi kekuasan eksekutif partai dalam setiap kebijakannya untuk menentukan langkah strategis setiap kebijakan yang diambil. Disisi lain dalam konteks sistem presidensial di Indonesia, fungsifungsi seremonial terkombinasikan dalam kekuasaan politik dan administrator serta tanggung jawab presiden bersifat menyeluruh. Karena itu, presiden mempunyai fungsi ganda, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Pemusatan kekuasaan ini pulalah yang kemudian menjadi kritik tajam kalangan pendukung kabinet parlementer, di mana penggabungan kekuasaan yang memusat tersebut membuat presiden memiliki kharisma yang luar biasa, dan akibatnya, rasa penghormatan, kekecewaan dan rasa tidak puas sulit untuk dikembangkan dalam model-model yang demokratis. Menurut Jimly, tidak mungkin dalam satu wujud kekuasaan yang mutlak tersebut rakyat akan
24
mudah
untuk
menentukan
sikap
suka
atau
tidaknya
terhadap
presiden.19 Dalam kerangka yang sama, Juan J. Linz mengatakan bahwa sistem presidensial tidak cukup mampu bersikap inklusif dalam proses politik, yang tentu berbeda dengan sistem parlementerisme yang lebih fleksibel dalam mengembangkan proses politik dan pemerintahannya.20 Konsep presidential party Model seminal Kramer mengandung dua asumsi yang kuat. Pertama, ia menganggap bahwa partai yang memerintah suatu negara merupakan pihak yang mengontrol presiden. Kedua, ia menganggap bahwa semua calon dari partai dihakimi sama oleh pemilih ketika menetapkan tanggung jawab fluktuasinya. Dengan sedikit pengecualian, asumsi-asumsi ini bekerja di seluruh literatur empiris yang mengikuti Kramer.21 Ada dua cara untuk melihat potensi masalah yang melekat dalam pendekatan ini. Cara pertama adalah dengan mempertimbangkan bahwa penantang “presidential party” tidak ada hubungannya dengan kebijakan apa pun yang diberlakukan. Cara kedua untuk melihat masalah ini dengan menyadari bahwa “presidential party” juga mempunyai kewajiban terhadap partai non presiden. Di sisi lain, golongan perilaku pemilih benar-benar akan menciptakan insentif yang buruk bagi partai non presiden yang benar-benar memiliki pengaruh atas kebijakan pemerintah yang berkuasa. Mengingat 19 20
21
Ibid., h. 82
Juan J. LInz, “ Resiko dari Presindensialisme“, dalam, Arend Lijphar, op.cit., h. 128
Kevin B. Grier and Joseph P. McGarrity,2002. Presidential Party, Incumbency, and the Effects of Economic Fluctuations on House Elections, Public Choice, Vol. 110, No. 1/2, pp. 143-162
25
pemilih mempunyai keinginan untuk meningkatkan keadaan ekonominya, hal itu tidak masuk akal bagi mereka yang menggunakan aturan mengurangi insentif bagi partai untuk bekerja meningkatkan perekonomian. Sementara hasil studi Kramer menjelaskan bahwa kondisi ekonomi memiliki efek yang kuat terhadap calon partai presiden (presidential party) di pemilu bukannya tidak mendapat tantangan (Stigler, 1973), namun metodologi nya hampir secara universal diadopsi. Ada beberapa hal yang di bahas dalam melihat jabatan legislatif (presiden) daripada perolehan suara partai, akan tetapi hampir semua kajian terbaru mengabaikan jabatan tersebut. Penelitian Kramer sebelumnya telah menunjukkan bahwa, dengan memperlakukan semua kandidat dari presidential party yang sama merupakan kesalahan, karena jabatan merupakan faktor penentu yang penting bagi kondisi ekonomi yang berpengaruh terhadap suara partai tersebut. Dalam kajian diatas Kramer belum menjelaskan tentang konsep presidential party yang merupakan istilah baru dimana peneliti pakai dalam mengkaji dan mengungkap fenomena pembentukan partai-partai politik baru di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya pada saat menjelang pemilu presiden dan wakil presiden, partai-partai politik berlomba mempersiapkan kandidat calon presiden yang diusung untuk maju sebagai kandidat dari partainya. Salah satu agenda yang dilakukan partai politik tersebut dengan adanya pembentukan partai-partai politik baru yang muncul sebagai bagian dari upaya untuk menduduki jabatan di eksekutif (pemerintahan). Kemudian 26
dalam perjalanannya muncul tentang konsep presidential party sebagai bagian dari perubahan arus reformasi yang sedang bergulir di tanah air. Konsep presidential party ini muncul sebagai bagian dari fenomena baru ketika banyak kalangan elit beramai-ramai mendirikan partai politik sebagai electoral machine untuk pencalonan kandidat presiden. Skenario ini merupakan bagian dari upaya elit partai untuk menempatkan diri menjadi bagian dari kompetitor calon presiden melalui jalur konstitusional yakni partai politik sebagai kendaraan politik. Bukti bahwa elit mendirikan partai untuk electoral machine di tandai dengan adanya fenomena pembentukan partai-partai politik baru. Sehingga dapat dipahami bahwa konsep ”presidential party” merupakan sebuah upaya yang sistematis dari elit politik dalam membentuk sebuah partai politik baru sebagai sarana untuk merebut/menduduki jabatan kekuasaan di eksekutif (presiden) yang sah secara konstitusional berdasarkan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, partai politik menyandang peran penting dan strategis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional yang dalam konteks hal ini adalah pemilihan seorang kandidat presiden. Proses politik ini secara langsung melibatkan keaktifan organisasi pekerja partai atau mesin politik partai untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam agenda pemenangan seorang kandidat Presiden yang tengah di usung serta kandidat lain yang akan duduk di parlemen. Selain itu, partai politik dapat memobilisasi konstituennya untuk terlibat langsung
27
dalam setiap kampanye serta dapat berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses demokratisasi secara konstitusional. Dari
penjelasan-penjelasan
diatas
maka
dapat
ditarik
kesimpulan karakteristik dari konsep “presidential party” dapat dirangkum diantaranya adalah sebagai berikut: a) Mulcul dan berkembangnya partai-partai politik baru disertai tokoh sentral di dalamnya yang menjadi daya tarik tersendiri dari partai politik tersebut. b) Dalam dinamika perkembangan partai politik selanjutnya terjadi penggiringan opini publik terkait kandidat yang di usung sebagai calon presiden. c) Sejak partai terbentuk bahkan sebelum partai politik berdiri aroma wacana untuk pencapresan kandidat tertentu telah mengemuka ke publik. d) Kekuasaan bergantung (terpusat) kepada kemampuan pemimpin tertinggi partai politik yang memiliki hak veto terhadap setiap kebijakan partai politik tersebut. E. Metode Penelitian 1. Jenis, Lokasi, dan Definisi Konseptual a. Jenis Penelitian Penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
deskriptif kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan. Metode tersebut digunakan sebagai suatu proses dan prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan
28
mencari jawaban. Pengertian kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, tindakan dengan cara deskripsi berupa teks, gambar, kata-kata dan bahasa yang diungkap dan ditemukan dalam penelitian ini. Data tersebut dapat berasal dari wawancara, catatan, video, maupun dokumentasi penting lain yang dianggap perlu. Metode digunakan untuk memperoleh data dan informasi sesuai dengan prosedur teknis dalam melakukan penelitian serta kebutuhan penelitian yang dilakukan di lapangan. b.Lokasi Penelitian Lokasi yang penulis pilih dalam penelitian ini adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra di Jakarta, DPD partai Gerindra yang ada di daerah yang di masih relevan dengan fokus penelitian dan beberapa tempat terkait dengan obyek penelitian, karena terdapat fenomena menarik berkaitan dengan kebijakan partai banyak diambil di DPP maupun di DPD yang terdapat di daerah. Selain itu beberapa tempat lain dimana dapat dijadikan obyek penelitian apabila memenuhi kebutuhan yang akan di teliti, sehingga menyesuaikan kebutuhan penelitian di lapangan. 2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui wawancara langsung dari informan/narasumber yang telah dipilih dan memahami terkait partai Gerindra sebagai salah satu partai politik di
29
indonesia. Data yang diperoleh dari narasumber kunci terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan partai Gerindra. Pemilihan narasumber kunci ini disesuaikan dengan kebutuhan data yang dibutuhkan dalam mengeksplorasi tema yang sedang diteliti. Sementara itu, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari arsip maupun dokumentasi yang terkait dengan masalah penelitian yang sedang di teliti sesuai dengan tema dan fokus penelitian. Dalam penelitian ini kemudian data-data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode sebagai berikut: a. Observasi Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Pengamatan ini diperlukan untuk memahami secara garis besar bagaimana situasi dan kondisi di lingkungan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra maupun tempat lain yang relevan. Observasi ini digunakan sebagai bahan pemeriksaan data hasil wawancara dengan situasi yang sebenarnya dilingkungan DPP. Pengamatan bersifat sistemis yang bersifat fisik maupun non fisik dengan menggunakan indera atau nalar, terutama dalam mendalami dan menafsirkan gejala-gejala yang akan berhubungan dengan obyek penelitian b. Wawancara Mendalam Data yang diperoleh melalui wawancara langsung secara mendalam (in depth interview) dengan bertatap muka secara langsung antara penulis dengan nara sumber (informan). Wawancara dilakukan
30
dengan kerangka pertanyaan yang telah disiapkan, tetapi penyajiannya tidak terikat oleh kerangka yang telah disiapkan tersebut. Hal ini berarti peneliti dapat memperdalam suatu informasi spesifik yang muncul dari narasumber tetapi tidak ada dalam pedoman wawancara. Wawancara mendalam terhadap narasumber terkait dilakukan untuk menjawab fokus permasalahan yang tengah diteliti yaitu menjelaskan bagaimana proses Kemunculan partai Gerindra serta proses partai yang terpresidensialisasi di Indonesia dalam konteks partai Gerindra. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak terkait, yang berkaitan langsung dengan topik penelitian seperti : Ketua Umum Partai Gerindra, Dewan Pembina Partai, jajaran DPP partai Gerindra, DPD partai Gerindra dan beberapa pihak lain yang terkait dengan topik penelitian ini. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan jawabanjawaban atas semua yang menjadi tema pertanyaan dengan jawaban yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan c. Dokumentasi Dokumentasi dalam penelitian ini terkait dengan data-data sekunder berupa buku-buku, dokumen, koran, majalah, serta literaturliteratur yang relevan serta arsip-arsip lain yang terkait dengan topik penelitian yang sedang diteliti. Dalam melakukan dokumentasi diperlukan sumber yang memiliki data yang relevan serta dapat dijadikan rujukan untuk memperoleh informasi sesuai dengan topik
31
penelitian yang sedang diteliti sehingga penelitian tersebut sesuai dengan yang diharapkan. 3. Teknik Analisis Data Berdasarkan jenis yang digunakan, maka data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknis analis data yaitu analisis
deskriptif
kualitatif.
Hal
tersebut
bertujuan
untuk
mendiskripsikan keadaan realitas dan fakta sosial dilapangan sesuai dengan topik penelitian. Kemudian mengumpulkan data dari informan dengan menyusun pertanyaan umum sesuai topik penelitian untuk mendapatkan informasi yang diperlukan melalui teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi. Peneliti selanjutnya memasuki lokasi penelitian dan mengumpulkan data dari informan dengan merekam hasil wawancara, membuat catatan dari wawancara, mengumpulkan data hasil dokumentasi. Triangulasi untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen. Verifikasi
diklarifikasikan
sesuai
rumusan
masalah,
diinterpretasikan atau penafsiran data untuk menggambarkan pandangan peneliti terhadap pemikiran secara cermat terhadap data yang paling relevan dan dibutuhkan, kemudian analisis data secara secara deskualitatif untuk mendeskripsikan keadaan realitas dan fakta sosial lapangan sesuai dengan topik penelitiann ini, kemudian menyampaikan
32
laporan laporan atau hasil penelitian berdasarkan pengumpulan data dan pernyataan baru dan kesimpulan dari hasil penelitian tersebut. Analisis data dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) kegiatan yang terjadi sejak awal, bersamaan dengan pengumpulan data, yaitu reduksi data, penyajian data dan penampilan kesimpulan.
33