BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sistem lambang baik berupa lisan maupun tulisan yang dimiliki oleh manusia, berfungsi sebagai sarana menyampaikan pesan secara utuh atau informasi satu sama lain sebagai makhluk sosial (Kooij, 1994:5). Dalam pandangan linguistik, satuan bahasa yang dapat dijadikan sarana penyampaian pesan secara utuh ini disebut kalimat. Untuk pembagian peran secara lebih spesifik dalam linguistik, maka muncullah sintaksis sebagai sub-bidang linguistik yang bertugas menganalisis kalimat ini sebagai bidang kajiannya (Parera, 2009 : 5). Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan ataupun tulisan, tersusun dari kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap dan utuh (Chaer, 2003: 240). Dalam sintaksis kemudian muncul analisis bahasa atau kalimat yang dikenal dengan struktur sintaksis. Struktur sintaksis mengkaji kalimat dari segi fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis, yang dibicarakan dan dianalisis (Chaer, 2003: 207). Dari aspek struktur sintaksis ini kemudian setidaknya muncul susunan atau rumusan fungsi : subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K). Istilah-istilah tersebut dikenal dengan fungsi sintaksis, yang masing-masing diisi oleh satuan bahasa berupa kata atau frase, sebagai konstituen, yang berbeda-beda sesuai dengan bagiannya masing-masing. Subjek misalnya, diisi oleh kategori nomina (isim), predikat diisi oleh verba (fi’il) atau
1
kata sifat, objek diisi oleh nomina dan keterangan biasanya di dahului oleh kata depan (Verhaar, 1981: 70-71). Misalnya kalimat : (1) Ari(S) mempelajari (P) bahasa Arab (O) di KTT-UGM (K). Formulasi kalimat semacam ini (S-P-O-K) dalam sintaksis dikenal dengan kalimat tunggal (simple sentence), yaitu kalimat yang hanya terdiri dari satu klausa (Putrayasa, 2009: 1), atau kalimat yang hanya memiliki satu subjek dan satu predikat (Arifin dan Junaiyah, 2008: 56). Konsepsi kalimat ini kemudian dipakai untuk menganalisis realitas kebahasaan terutama dalam penggunaan kalimat, atau juga dipakai sebagai kerangka struktural untuk penyusunan kalimat. Dalam bahasa Arab, misalnya : (2) ﻛﺘﺐ ﻣﺤﻤﺪ رﺳﺎﻟﺔ ﻓﻲ اﻟﻔﺼﻞ Kataba muchammadun risālah fi Menulis Muhamad surat di dalam V.perf.P N.nom.S N.ak.O prep P (fi’il) S (fā’il) O (maf’ūl bih) Ket. ‘Muhamad menulis surat di dalam kelas’
al-fashli kelas N.def.gen
Kalimat (2) di atas juga merupakan kalimat tunggal, terdiri dari satu klausa atau terdiri dari satu unsur predikasi. Namun kenyataannya, manusia sebagai pengguna dan pemilik bahasa tidak selalu merasa cukup dalam menyampaikan pesannya hanya dengan sarana kalimat tunggal atau satu klausa dengan unsurunsur pengisinya sebagaimana tersebut Struktur kalimat tunggal kemudian tidak selalu cukup mewakili semua pesan-pesan yang ingin disampaikan yang menuntut dengan cara lebih dari satu klausa. Pada aspek lain, rumusan kalimat tunggal ini belum cukup untuk dipakai sebagai alat pandang guna melihat realitas kebahasaan, yaitu pemakaian kalimat yang komponennya atau polanya melebihi
2
susunan satu klausa (kalimat tunggal). Maka, dalam Sintaksis, muncul lah konsep bentuk kalimat yang lebih kompleks dari sekedar kalimat tunggal yaitu dikenal dengan kalimat majemuk. Menurut Markhamah (2009: 56) kalimat majemuk meupakan kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih. Dalam bahasa Arab pun, sebagai sebuah realitas kebahasaan universal yang pasti ada di semua bahasa, konsepsi dan sistematisasi kalimat majemuk dengan sendirinya juga harus ada. Adanya entitas kalimat majemuk dalam bahasa Arab tidak dapat dipungkiri. Contoh : (3) ﻋﺮﻓﺖ اﻟﺰوﺟﺔ أﯾﻦ ﻛﺎن زوﺟﮭﺎ ﯾﻘﯿﻢ ‘Arafat
az-zaujah aina
kāna zauju
Mengetahui
istri
di mana
V.III.fem.P
N.def.nom.S N.inf
P (fi’il)
S (fā’il)
hā yuqīmu (RJLAM : 261)
suami
nya
tinggal
V.inc N.nom.S Pron.gen V.III.mask.P O (maf’ūl bih)
‘Istri itu mengetahui di mana suaminya tinggal’. Kalimat (3) di atas, terdiri dari dua klausa, yaitu (1) ‘Arafat mengetahui’ dan (2) aina kāna
az-zaujah ‘istri
zaujuhā yuqīmu ‘di mana suaminya tinggal’.
(4) أﻟﻢ ﺗﺮ ﻛﯿﻒ ﻓﻌﻞ رﺑﻚ ﺑﺄﺻﺤﺎب اﻟﻔﯿﻞ Alam
tara
kaifa
Apakah tidak
memperhatikan bagaimana bertindak
part.int.part.neg V.imp.II.tg.P
fa’ala
N.int
ashchābi
O (maf’ūl bih)
al-fīli
terhadap teman-teman gajah prep.
N.gen
tuhan kamu
V.perf.tg.P N.def.nom.S.pron .gen.
P (fi’il) bi
rabbuka
N.gen 3
‘Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana tuhanmu bertindak terhadap tentara bergajah?’(QS: Al-Fil [105]: 1) Kalimat (4) di atas, terdiri dari dua klausa, yaitu (1) alam tara ‘apakah kamu tidak memperhatikan’ dan (2) kaifa fa’ala rabbuka biashchābi al-fīli ‘bagaimana tuhanmu bertindak terhadap tentara bergajah?’ Dalam linguistik, kedua kalimat majemuk tersebut dikenal dengan kalimat majemuk bertingkat atau kalimat majemuk subordinatif, yaitu kalimat majemuk yang antar klausanya dihubungkan secara fungsional, berarti klausa yang satu yaitu klausa bawahan (klausa subordinatif) merupakan bagian fungsional bagi klausa yang lainnya, yaitu klausa atasannya (klausa supraordinatif) (Kridalaksana, 2008: 105). Pada kalimat (3) di atas diketahui bahwa klausa (2) aina kāna zaujuhā yuqīmu ‘di mana suaminya tinggal’ sebagai klausa subordinatif, mengisi fungsi objek (maf’ūl bih) bagi klausa (1), sebagai klausa supraordinatifnya. Demikian juga, pada kalimat (4) di atas terlihat bahwa klausa (2) kaifa fa’ala rabbuka biashchābi al-fīli ‘bagaimana tuhanmu bertindak terhadap tentara bergajah?’ sebagai klausa subordinatif menduduki fungsi sintaksis sebagai objek atau dalam bahasa Arab dikenal maf’ūl bih bagi klausa (1) sebagai klausa supraordinatif. Dengan demikian, kalimat majemuk subordinatif ini mengisyaratkan bahwa fungsi-fungsi sintaksis tidak hanya diisi oleh kata atau frase, tetapi juga bisa jadi diisi oleh klausa. Konsekuensinya, sebagai pengsisi suatu fungsi, suatu klausa yaitu klausa subordinatif akan berhubungan erat dengan kategori klausa tersebut untuk bisa mengisi fungsi-fungsi sintaksis, sebagaimana kata atau frase
4
yang terdiri dari kategori tertentu untuk mengisi fungsi tertentu, sebagaimana dikonsepsikan oleh Verhar di atas. Selain itu, satu klausa dengan klausa yang lainnya dalam kalimat majemuk subordinatif dihubungkan oleh konjungsi (penyambung) yang dikenal dengan konjungsi subordinatif, yang menurut Kridalaksana (2008: 131), merupakan konjungsi yang dipakai untuk mengawali klausa terikat (klausa subordinatif) untuk menyambungkannya dengan klausa utamanya (klasua supraordianatif). Hanya saja, pada kalimat (3) di atas tidak nampak konjungsi (formal) subordinatif yang menyambungkan antara klausa bawahan dengan klausa atasan. Kasus seperti kalimat (3) kalau dalam konsepsi Al-Aziz (2003: 257) antar klausanya yaitu klausa (1) dan klausa (2) dihubungkan secara konteks kalimat (siyāqu al-kalām), yaitu bahwa klausa (1) sebagai klausa yang mengandung verba ﺗﺮ/tarā ‘mengetahui/memperhatikan’ butuh pada objek, bisa jadi objeknya adalah berupa klausa, dan keduanya dihubungkan dengan tanpa konjungtor formal melainkan hanya dengan konteks kalimat. Ini menjadi menarik, di saat Kridalaksana (2008: 131), mendefinisikan konjungsi sebagai ‘partikel’ yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf. Dengan kata lain, konjungsi yang menghungkan atar klausa dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab tidak hanya berupa ‘partikel’. Melihat fenomena-fenomena di atas, penulis memandang perlu untuk mengkaji kalimat majemuk dalam bahasa Arab. Hanya saja, karena cakupan kalimat majemuk cukup luas, maka penulis akan fokus pada kalimat majemuk
5
subordinatif, yaitu hubungan antar klausa dalam kalimat majemuk subordinatif dengan memakai tinjauan Sintaksis. Dalam Sintaksis Arab, penulis belum menemukan istilah kalimat majemuk subordinatif yang baku, sehingga dalam penulisan tesis ini hanya digunakan istilah kalimat majemuk subordinatif, sebagaimana digunakan dalam istilah linguistik. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini berkisar pada kajian kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab, yaitu analisis tentang hubungan antar klausa pembentuknya. Di dalam kalimat majemuk subordinatif tersebut terdapat klausa subordinatif yang diasumsikan akan mengisi fungsi-fungsi sintaksis, dengan kategori klausa tertentu, serta dihubungkan dengan klausa utamanya oleh suatu konjungsi subordinatif yang memiliki perilaku sintaksis, dan antara klausa subordinatif dengan klausa utamanya akan terdapat pola urutan tertentu dalam susunan kalimat majemuk subordinaatif . Untuk
mengarahkan
pada
pembahasan,
penulis
dapat
rumuskan
permasalahan-permasalahan penelitian sebagaimana berikut : 1. Apa saja fungsi sintaksis yang diduduki oleh klausa subordinatif dalam
kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab ? 2. Apa saja kategori klausa dari pada klausa subordinatif bahasa Arab yang
mengisi fungsi sintaksis tersebut?
6
3. Apa saja konjungsi subordinatif yang menghubungkan klausa subordinatif
dengan klausa utamanya dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab? 4. Bagaimana perilaku sintaksis konjungsi subordinatif tersebut? 5. Bagaimana pola urutan klausa subordinatif dengan klausa utamanya dalam
susunan kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah dapat menjawab permasalah-permasalahan sebagaimana pada rumusan masalah. Dengan demikian rincian dari tujuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Memetakan fungsi sintaksis yang diduduki oleh klausa subordinatif dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab. 2. Memahami kategori klausa dari pada klausa subordinatif bahasa Arab yang mengisi fungsi sintaksis tersebut. 3. Mengungkap konjungsi subordinatif yang menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa utamanya dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab 4. Memahami perilaku sintaksis konjungsi subordinatif tersebut 5. Mengklasifikasi pola urutan klausa subordinatif dengan klausa utamanya dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menghadirkan, secara garis besar, dua manfaat yaitu manfaat teoritis-konseptual dan praktis-operasional. Secara teoritis,
7
penelitian ini diharapkan menambah khazanah keilmuan dalam bidang Sintaksis khususnya tentang kalimat majemuk dalam bahasa Arab. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat, khususnya bagi non-Arab, yaitu : 1) menghadirkan sistematisasi baru dalam memahami kalimat-kalimat dalam bahasa Arab khususnya kalimat majemuk, khususnya kalimat majemuk subordinatif, 2) memberikan informasi dan pemahaman baru dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Arab khusunya dalam aspek kalimat majemuk bahasa Arab, dan 3) Menjadi sumber inspirasi bagi peneliti yang lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang kalimat majemuk dalam bahasa Arab. 1.5 Kajian Pustaka Kajian tentang kalimat majemuk pernah dibahas oleh Sarifuddin (2009) dalam tesisnya “ Konstruksi Penggabungan Klausa dalam kalimat pengandaian bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia”. Ia membandingkan kedua konstruksi kalimat tersebut. Dalam kesimpulannya kemudian ditemukan lima persamaan dan dua perbedaan, yang ditinjau dari sudut sintaksis kedua bahasa tersebut. Lima persamaan tersebut adalah : 1) dalam kedua bahasa tersebut samasama menggunakan kata hubung atau konjungsi dalam menggabungkan klausa utama dengan klausa kondisional, 2) klausa kalimat pengandaian dalam kedua bahasa tersebut pada proses pemisahannya sama-sama menggunakan tanda koma (,) sebagai pemisah antar klausa meskipun ada klausa yang tidak menggunakan tanda koma, 3) kata penghubung atau konjungsinya sama-sama bisa diletakkan di awal dan di tengah kalimat, 4) kalimat pada keduanya sama-sama dimungkinkan 8
memiliki beberapa klausa bawahan, dan 5) keduanya sama-sama mempunyai konjungsi kondisional yang bervariasi. Kedua perbedaanya adalah : 1) dalam bahasa Inggris, konjungsi kalimat yang biasa dipakai bisa dihilangkan, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak mungkin dihilangkan karena akan menjadi rancu, dan 2) kalimat pengndaian dalam bahasa Inggris mempunyai tipe yang lebih banyak dari pada bahasa Indonesia. Sedangkan kalimat majemuk dalam bahasa Arab sebenarnya sudah pernah dibahas oleh beberapa linguis Arab ketika mereka membicarakan tentang pembahasan-pembahasan sintaksis bahasa Arab (nahw), namun pada umunya, menurut hemat penulis, pembicaraan mereka tentang kalimat majemuk masih global. Di antara mereka misalnya Ibādah (2007: 134-145), dalam bukunya Aljumlah Al-‘Arabiyah, Mukawwinātuhā- Anwā’uhā-Tachlīluhā, ia membagi kalimat menjadi enam, yaitu 1) jumlah basīthah (kalimat tunggal), 2) jumlah mumtaddah (kalimat tunggal), 3) jumlah muzdawijah (kalimat majemuk), 4) jumlah murakkabah (kalimat majemuk), 5) jumlah mutadākhilah (kalimat majemuk), dan 6) jumla mutasyābikah (kalimat majemuk). Kalimat majemuk juga disinggung oleh Chasan (tt.a: 16) dalam An-Nahwu Al-Wāfi ketika membagi kalimat menjadi jumlah ashliyyah (kalimat tunggal), jumlah kubrā (kalimat majemuk), dan jumlah shughrā (anak kalimat). Ia mengistilahkan kalimat yang memiliki klausa lebih dari satu (kalimat majemuk) dengan jumlah kubrā.
9
Holes (1995: 216-243) dalam bukunya Modern Arabic; Structure Function and Varieties, mulai membagi kalimat majemuk dalam bahasa Arab mirip dengan pembagian kalimat majemuk dalam linguistik umum. Ia membagi kalimat bahasa Arab yang memiliki lebih dari satu klausa menjadi coordinat sentense (kalimat majemuk setara) dan complex sentense (kalimat majemuk bertingkat). Uraiannya masih sederhana, bahkan contoh-contohnya sangat sedikit. Qabāwah (1989 : 26) dalam bukunya I’rab al-Jumal wa Asybah al-Jumal juga menyinggung tentang kalimat majemuk. Ia membagi kalimat dalam bahasa Arab menjadi jumla sughra (kalimat sederhana) dan jumla kubra (kalimat majemuk). Penyematan istilah terhadap kalimat majemuk oleh Qabawah ini sama dengan Chasan, namun jumla kubra yang dimaksud oleh Qabawah lebih luas dari pada konsepsi Chasan. Dekripsi yang lebih terperinci dilakukan oleh Al-Aziz dalam bukunya ArRabthu baina al-Jumal. Ia mulai menyinggung konjungsi-konjungsi yang dipakai untuk menghubungkan klausa-klausa dalam bahasa Arab. Ia mulai membagi konjungsi yang menghubungkan antar klausa dalam kalimat majemuk yang setara dan yang tidak setara. Hanya saja deskrepsi tentang fungsi-fungsi mungkin diisi oleh klausa subordinatif masih belum tuntas, sehingga keterkaitan antara fungsifungsi tertentu yang diisi oleh klausa subordinatif dengan jenis klausa serta jenis konjungsinya, menurut hemat penulis, belum menggambarkan klasifikasi yang lengkap. Kemudian, tesis yang ditulis oleh Muhamad Ridwan (2011) dengan judul ‘Bentuk konjungsi penghubung waktu’. Namun ia hanya fokus pada konjungsi
10
waktu. Pembahasannya meliputi : subkategori konjungsi penghubung waktu, pola urutan klausa berkonjungsi penghubung makna waktu , klausa penyusun konjungsi penghubung makna waktu, dan variasi makna waktu dan ketergantian konjungsi yang memiliki kesamaan makna. Secara garis besar kajian-kajian tersebut sudah menyinggung dan membahas kalimat majemuk subordinatif, namun menurut hemat penulis belum begitu rinci membahas pada fungsi-fungsi yang mungkin diisi oleh klausa subordinatif,
kategori
klausa
subordinatifnya,
dan
konjungsi
yang
menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatifnya, perilaku konjungsi-konjungsi tersebut, serta pola urutan antara klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif dalam menyusun konstruksi kalimat majemuk. Namun demikian, kajian-kajian tersebut memberikan gambaran kepada penulis untuk menelaah kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab dan menjadi fokus dalam kajian tesis ini, yaitu bagaimana fungsi-fungsi yang mungkin diisi oleh klausa subordinatif, kategori klausa subordinatifnya, dan konjungsi yang menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatifnya, perilaku konjungsi-konjungsi tersebut, serta pola urutan antara klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif dalam menyusun konstruksi kalimat majemuk. 1.6 Landasan Teori Teori yang digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir untuk memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini ialah teori-teori sintaksis sebagaimana berikut.
11
1.6.1 Kalimat dan Klausa Kalimat dikonsepsikan oleh Bloomfield (1995: 165) sebagai sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal dan bebas yang tidak merupakan bagian dari sebuah konstrkusi kebahasaan yang lebih besar dalam konstruksi gramatikal. Mengenai unsur-unsur pembentuk kalimat, Parera (2004: 90) mengklasifikasikan dengan menjelaskan bahwa kalimat merupakan satu satuan bahasa dalam runtunan satuan bahasa, bermula dari fonem, morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat, memuat makna yang lengkap. Bagi Robins (1992: 224), kalimat adalah struktur terpanjang yang di dalamnya bisa diadakan analisis gramatikal. Dari konsepsi di atas jelas bahwa kalimat merupakan klausa yang bermakna. Dengan kata lain klausa merupakan unsur dari kalimat. Kalimat dibangun dengan klausa. Ini sesuai dengan konsep Parera (2009: 48) bahwa kalusa merupakan pembentuk kalimat yang paling tinggi dalam tata tingkat unit bahasa. Untuk lebih rinci, Chaer (2003: 231-232) mengurai bahwa klausa merupakan satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat (P), menurutnya yang harus ada dalam konstruksi klausa adalah fungsi subjek (S), sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib. Kalau kita bandingkan konstruksi kamar mandi dan adik mandi, maka dapat dikatakan konstruksi kamar mandi bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen kamar dan komponen mandi tidaklah bersifat predikatif.
12
1.6.2 Kalimat Majemuk Subordinatif Kategori kalimat dilihat dari jumlah klausa pengisinya, menurut Lyons (1995: 175), dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu klausa atau memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat majemuk merupakan kalimat yang terdiri dari lebih dari satu klausa, atau terdiri dari dua atau lebih susunan predikatif yang dihubungkan dan digabungkan sebagai konstituen-konstituen kalimat. Parera (2004: 45) mempertegas bahwa kalimat dapat dibangun oleh beberapa klausa. Ini sesuai dengan konsep Arifin dan Junaiyah (2008: 24) bahwa kalimat bisa terdiri dari hubungan antara klausa dengan klausa yang lain. Hubungan sintaksis antar klausa dalam suatu kalimat menurut Chaer (2003: 243-244) dapat bersifat setara (koordinatif) dan tidak setara (subordinatif). Kalimat majemuk yang hubungan antar klausanya bersifat setara kemudian dikenal dengan kalimat majemuk koordinatif, sedangkan kalimat majemuk yang hubungan antar klausanya tidak setara dikenal dengan kalimat majemuk subordinatif. Klausa yang satu dengan yang lain dapat dikatakan memiliki hubungan yang setara apabila klausa yang satu tidak merupakan bagian dari klausa yang lain. Artinya, dalam hubungan antar klausa yang setara tidak ada klausa yang menduduki sebuah fungsi sintaksis. Lihat contoh berikut :
(5) واﷲ أﻧﺰل ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء ﻣﺎء ﻓﺄﺣﯿﺎ ﺑﮫ اﻷرض ﺑﻌﺪ ﻣﻮﺗﮭﺎ Wallāhu anzala mina as-samā`i Allah menurunkan dari langit N.nom.S V.perf.III.tg.P prep. N.gen. S (mubtada) P (khabar)
mā`an air N.ak.O
Fa
ba’da
achyā
bihi
al-ardha 13
mautihā
dan menghidupkan dengannya bumi setelah matinya konj. V.perf.III.tg.P prep.pron.III.tg. N.ak.O adv.time N.gen.pron.gen. P (khabar) ‘Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan), dan dengan air itu ia hidupkan bumi setelah matinya’ (QS: An-nahl[16]: 65)’. Kalimat (5) terdiri dari dua klausa yang sejajar, yaitu klausa Wallāhu anzala mina as-samā`i mā`an ‘Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan)’ dan klausa achyā bihi al-ardha ba’da mautihā ‘dengan air itu ia hidupkan bumi setelah matinya’. Kedua klausa itu dihubungkan oleh konjungsi koordinatif fa ‘dan’. Klausa yang satu memiliki hubungan tidak setara dengan klausa yang lain apabila kalusa yang satu merupakan bagian dari klausa yang lain. Artinya, dalam hubungan yang tidak setara terdapat klausa yang menduduki fungsi sintaksis bagi klausa lainnya. Klausa yang menduduki sintaksis bagi klausa yang lainnya disebut dengan klausa bawahan (klausa subordinatif), sedangkan klausa diatasnya disebut klausa utama. Klausa subordinatif dan klausa atasan inilah yang menjadi konstituen kalimat majemuk subordinatif. Perhatikan contoh berikut :
(6) واﺗﻘﻮا ﯾﻮﻣﺎ ﺗﺮﺟﻌﻮن ﻓﯿﮫ إﻟﻰ اﷲ Wattaqū
yauman
turja’ūna
fīhi
Peliharalah hari dikembalikan padanya V.II.pl.P N.ak.O. V.imp.pas.II.pl. prep.pron.III.tg. P (fi’il) O (maf’ūl bih) Ket. Sifat Ila Allāhi kepada Allah prep. N.gen. ‘Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah’ (QS: Al-Baqarah [2]: 281).
14
Kalimat (6) terdiri dari dua klausa, yaitu (1) Wattaqū yauman ‘Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari’ dan (2) turja’ūna fīhi ilallāhi ‘dikembalikan pada waktu itu kepada Allah’. Klausa (1) merupakan klausa atasan (klausa supraordinatif). Ia terdiri dari jumlah fi’liyyah. Predikat (verba/fi’il)-nya terdiri dari verba imperatif (fi’lu al-amr) yaitu ittaqū ‘peliharalah dirimu’, di dalamnya terdapat pronomina yang tersimpan (dhamīr mustatīr) yang perkiraannya adalah أﻧﺘﻢ/antum ‘kamu’(plural-maskulin), ia berfungsi sebagai subjek (fā’il)-nya. Dilanjutkan oleh objek (maf’ūl bih)-nya yaitu nomina yauman ‘hari’. Klausa (2) merupakan klausa bawahan (klausa subordinatif). Ia terdiri dari jumlahfi’liyyah. Predikat (verba/fi’il)-nya terdiri dari verba pasif (fi’il bina majhūl) yaitu turja’ūna dikembalikan’, di dalamnya terdapat pronomina yang tersimpan (dhamīr mustatīr) yang perkiraannya adalah أﻧﺘﻢ/antum ‘kamu’(pluralmaskulin), ia berfungsi sebagai subjek (nāibu al-fā’il/pro-agent). Dilanjutkan oleh keterangan fīhi ilallāhi ‘pada waktu, kepada Allah’. Sebagai klausa bawahan, klasua (2) berfungsi sebagai keterangan yang menyatakan sifat (na’at) bagi klausa utama sebelumnya. 1.6.3 Konjungsi Sebagaimana
dijelaskan
bahwa
klausa
bawahan
(subordinatif)
berhubungan secara tidak setara dengan klausa utamanya dalam kalimat majemuk subordinatif. Klausa utama dan klausa subordiatif dihubungkan oleh konjungsi subordinatif. Menurut Chaer (2009:82), konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua buah konstituen, dalam konteks ini adalah klausa, yang kedudukannya tidak sederajat.
15
Menurut Al-Azis (2003: 111) konjungsi yang menghubungkan klausa utama dan klausa subordiatif dalam kalimat bahasa Arab terdapat tiga jenis, yatu : 1) partikel (ādāh), pronomina (dhamīr), dan konteks kalimat (as-siyāq). Partikel (ādāh), Menurut Chasān (1994: 123), sebagai konjungsi tidak hanya terdiri dari partikel asli (ādāh ashliyyah), tapi juga bisa berupa partikel transformatif (ādāh muchāwwalah), yaitu non partikel seperti nomina yang berfungsi sebagaimana partikel. Pronomina (dhamīr) dalam kalimat, menurut Chasan (tt: 219), bisa dalam dua bentuk yaitu : 1) tampak (zhāhir), memiliki bentuk yang nyata dalam kalimat baik tulisan maupun ucapan dan 2) tersimpan (mustatīr), tidak memiliki bentuk yang nyata dalam kalimat baik tulisan maupun ucapan namun hanya diperkirakan. Seperti pada kalimat (5) di atas, pada klasusa subordinatif (klausa bawahan) terdapat pronomina yang tersimpan (dhamīr mustatīr) أﻧﺘﻢ/antum ‘kamu’ yang merujuk pada orang kedua (plural-maskulin) sebagi lawan bicaranya, sebagaimana pada klausa utamanya. Konteks kalimat (as-siyāq), menurut Al-Azis (2003: 125) terlihat sebagai konjungsi ketika klausa subordinatif membutuhkan suatu unsur pada klausa utama, dengan tanpa perantaraan konjungtor formal, yang berwujud. 1.6.4 Fungsi dan Kategori Klausa Fungsi-fungsi dalam kalimat menurut kerangka teori Verhaar (2006: 170175) harus diisi oleh pengisi, satuan unsur-unsur kalimat yang bersifat kategorial. Secara fungsional kemungkinan unsur-unsur itu adalah berfungsi sebagai subjek (S) , predikat (P), objek (O), atau keterangan (K). fungsi-fungsi akan diisi oleh kategori-kategori tertentu. Konsep semacam ini dalam istilah Khalīl (2010: 195-
16
197) adalah اﻟﻨﻈﺮﯾﺔ اﻟﺘﻮزﯾﻌﯿﺔ/an-nazhariyyah at-tauzī’iyyah atau distribution theory. Ia menegaskan bahwa tiap satuan bahasa akan berdistribusi pada tempat yang menjadi fungsinya sendiri-sendiri dalam kalimat sehingga membentuk suatu kalimat yang berterima. Dengan demikian, klausa-klausa subordinatif yang kategorinya berbedabeda dalam bahasa Arab tentu akan berdistribusi pada fungsi-fungsi yang bisa jadi tidak sama antara satu jenis klausa dengan klausa yang lainnya. Fungsi-fungsi dalam kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab akan diisi oleh klausa yang kategorinya bervariasi. Juga, dalam konteks distribusi klausa dalam kalimat, klausa subordinatif yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis tersebut akan menempati tempat-tempat yang berterima dalam kalimat, apakah di awal ataukah di belakang klausa supraordinatifnya. Terkait dengan jenis klausa (jumlah) dalam bahasa Arab, banyak kategorisasi yang coba diklasikasikan oleh gramatikalis Arab. Namun secara umum, klasifikasi tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek struktur (tarkībiy) dan aspek fungsi atau makna (wazhīfiy). Dari aspek struktur (tarkībiy), sebagaimana klasifikasi Ar-Rājichī, 1999: 85), pada intinya klausa bahasa Arab dapat dibagi menjadi jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah. Disebut jumlah ismiyyah ketika klausa itu diawali oleh nomina (isim) atau berupa struktur mubtada (subjek) dan khabar (predikat). Disebut jumlah fi’liyyah ketika ia diawali oleh verba (fi’il) atau terdiri dari struktur fi’il (predikat) dan fā’il (atau nāibu al-fā’il) (subjek). Qabawah, (1989 : 19) memasukkan jumlah syarthiyyah,
17
klausa yang diawali oleh partikel syarat, termasuk bagian dari jenis klausa secara bentuk. Mengenai fungsi dalam kalimat yang terdiri dari subjek (S), predikat (P), objek (O) dan Keterangan (Ket), terdapat kekhasan tersendiri dalam bahasa Arab pada fungsi subjek (S) dan predikat (P). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa secara struktur bahasa Arab mengenal dua jenis klausa atau kalimat (karena fungsi-fungsi yang ada pada klausa dan kalimat sama), yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah. Disebut jumlah ismiyyah ketika kalimat itu diawali oleh nomina (isim) atau berupa struktur mubtada (subjek) dan khabar (predikat). Disebut jumlah fi’liyyah ketika ia diawali oleh verba (fi’il) atau terdiri dari struktur fi’il (predikat) dan fā’il (atau nāibu al-fā’il) (subjek). Dengan demikian, fungsi subjek (S) dalam bahasa Arab dapat berupa mubtada yang ada pada struktur jumlah ismiyyah dan fā’il atau nāibu al-fā’il yang ada pada jumlah fi’liyyah. Fungsi predikat (P) juga ada dua jenis, yaitu khabar yang ada pada struktur jumlah ismiyyah dan fi’il yang ada pada jumlah fi’liyyah. Objek (O) dalam bahasa Arab disebut dengan maf’ul bih, sebagaimana diutarakan juga oleh Asrori (2004: 74). Keterangan (K) merupakan bagian dari kalimat yang berfungsi memberikan informasi tambahan dalam kalimat, selain daripada mubtada, fā’il atau nāibu al-fā’il, khabar, fi’il tersebut. 1.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian bahasa adalah metode penelitian bahasa, yaitu cara kerja yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena objek ilmu bahasa, atau cara mendekati, mengamati, menganalisa dan
18
menjelaskan masalah dalam objek ilmu bahasa (Kridalaksana, 2001: 106). Karena sifat metode yang abstrak maka dibutuhkan teknik dan prosedur untuk mengetahuinya. Teknik berkaitan dengan penjabaran metode yang sesuai dengan alat beserta sifat alat yang dipakai, sedangkan prosedur berkaitan dengan tahapan atau urutan penggunaan teknik (Kesuma, 2007: 2) Penelitian ini menjadikan kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab dalam tinjauan Sintaksis sebagai kajian utamanya, secara sinkronis. Dalam penelitian ini terdapat tiga tahap pelaksanaan penelitian, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Setiap tahapan tersebut memiliki metode dan teknik tersendiri yang berbeda satu sama lain, (Mahsun, 2006: 84). 1.7.1 Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data ini merupakan tahapan awal dan menjadi dasar bagi pelaksanaan tahapan analisis data. Tahapan analisis data hanya dimungkinkan untuk dilakukan jika data yang akan dianalisis sudah tersedia (Mahsun, 2006: 84-85). Dengan demikian peneliti mengumpulkan dan menyediakan data-data yang berhubungan dengan kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab, dengan metode dan teknik berikut. Penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Menurut Mahsun (2006: 90-91), istilah menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa yang tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar yang dipakai dalam penelitian ini yaitu teknik sadap. Dengan teknik ini, peneliti menyadap data-data yang bersumber dari bahasa tulisan, berupa teks deskriptif dari buku-buku dan ayat-ayat Al-Qur’an.
19
Sebagai lanjutan dari teknik sadap, peneliti kemudian menggunakan teknik catat yang dimaksudkan untuk mencatat data-data kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab serta klausa dan konjungsi yang membangunnya yang sudah dikumpulkan dengan metode sadap. Data dalam penelitian ini diambil dari sumber berupa buku-buku yang membahas seputar kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab antara lain: 1. Ar-Rabthu Baina al-Jumal Fī al-Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu’āshirah (Al-‘Azīz, 2003). 2. An-Nachwu Al-‘Arabiy (Barakāt, 2007i, ii, iii, iv, dan v). 3. Jāmi’u ad-Durūsi Al-`Arabiyyah (al-Ghulāyaini, 2008). 4. Al-Jumlah Al-‘Arabiyyah; Dirāsah fī Mafhūmihā wa Taqsīmātihā alNachwiyyah (As-Syaikh : t.t.). 5. Al-jumlah Al-‘Arabiyah, Mukawwinātuhā-Anwā’uhā-Tachlīluhā (‘Ibādah : 2007). 6. At-Tathbīqu an-Nachwī (Ar-Rājichī : 1999). 7. Al-Nachwu al-Wāfī (Hasan : t.t.). 8. Modern Arabic, Structure, Functions And Varieties (Holes : 1995) 9. I’rābu al-Jumal wa Asybāhu al-Jumal (Qabawah, 1989). 10. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
1.7.2. Analisis Data Setelah data tersedia tahap selanjutnya yang peniliti lakukan adalah analisis data. Analisis ini dilakukan untuk menjawab masalah-masalah penelitian
20
(Chaer, 2007: 46). Metode yang dipakai dalam analisis ini adalah metode distribusional (Djajasudarma, 1993: 60) atau agih, sebagaimana yang diistilahkan oleh Sudaryanto (1993: 15), yaitu metode yang menjadikan unsur bahasa yang bersangkutan sebagai penentunya. Dalam penelitian ini satuan kebahasaan yang diteliti adalah satuan kebahasaan dalam bahasa Arab maka yang menjadi unsur penentu dalam analisa adalah unsur-unsur dalam bahasa Arab khusunya unsurunsur dalam kalimat majemuk. Selajutnya, sesuai dengan konsepsi Sudaryanto (1993: 31-35), ada beberapa teknik analisis yang digunakan untuk memverifikasi kebenaran data-data yang kemudian akan disajikan. Teknik-teknik itu diantaranya adalah teknik bagi unsur langsung (selanjutnya disebut BUL), teknik pemarkahan, baca markah, teknik lesap, teknik ganti, dan teknik perluas. Teknik BUL adalah teknik analisis data dengan cara membagi suatu konstruksi menjadi beberapa bagian atau unsur, dan bagian-bagian atau unsurunsur itu dipandang sebagai bagian atau unsur yang langsung membentuk konstruksi yang dimaksud dengan fungsi menentukan bagian-bagian fungsional Sudaryanto (1993: 31) dan (Kesuma, 2007 : 55-56). Cara yang dilakukan dalam BUL pada awal analisis adalah membagi kalimat yang teridentifikasi sebagai kalimat majemuk menjadi dua bagian sehingga dapat diketahui klausa-klausa yang membentuknya. Unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai unsur-unsur fungsional dalam relasi sintaksis yang langsung membentuk konstruksi kalimat majemuk subordiatif bahasa Arab. Dengan teknik ini juga, fungsi dari klausa subordinatif dalam kalimat dapat
21
terdeteksi. Sebagaimana pada contoh kalimat (5) di atas, klausa (2) turja’ūna fīhi ilallāhi ‘kamu semua dikembalikan pada waktu itu kepada Allah’ berfungsi sebagai keterangan sifat (na’at) bagi (1) Wattaqū yauman ‘Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari’, dan keduanya membentuk kalimat majemuk (5) tersebut, yaitu kalimat majemuk subordinatif. Perhatikan juga contoh berikut :
(7) أﻧﺰﻟﻨﺎ ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء ﻣﺎء ﻃﮭﻮرا ﻟﻨﺤﯿﻲ ﺑﮫ ﺑﻠﺪة ﻣﯿﺘﺎ Anzal
nā mina as-smā`i Menurunkan kami dari langit V.perf.I.pl.P. pron.I.pl.S prep. N.def.gen P (fi’il) S (fā’il) Ket.
mā`an thahūran air suci N.tg.ak.O N.ak. O (maf’ūl bih) Ket.
linuchyiya bihī baldah maitan agar menghidupkan dengannya negeri mati konj. V.imp.I.pl.P. prep.pron.III.tg.gen. N.ak.O. N.ak. Ket. Tujuan ‘kami turunkan dari langit air yang sangat bersih agar kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati’ (Q.S: al-Furqan [25]: 48-49) Kalimat (7) terdiri dari dua klausa’ yaitu (1) anzalnā mina s-smā`i mā`an thahūran ‘kami turunkan dari langit air yang sangat bersih ‘dan (2) linuchyiya bihī baldah maitan ‘agar kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati’. Klausa (2), sebagai klausa bawahan berfungsi sebagai keterangan tujuan bagi klausa (1), dan keduanya membentuk kalimat (4) tersebut, yang barupa kalimat majemuk subordinatif. Teknik pemarkahan digunakan untuk memberikan simbol, tanda, atau singkatan dalam transliterasi linear pada setiap contoh. Teknik
baca
markah
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatikan adanya konjungsi subordinatif antar klausa dalam kalimat majemuk digunakan untuk mengidentifikasi batas klausa yang satu dengan klausa 22
yang lain, dan sekaligus mengidentifikasikan bentuk dan makna yang terkandung pada suatu konjungsi, misalnya kita perhatikan kalimat (6) di atas, terdapat konjungsi berupa ﻟـ/li ‘agar’ sebagai konjungsi subordinatif yang menghubungkan klausa (1) dan (2). Ia menyatakan tujuan, shingga darinya diketahui bahwa klausa tersbut berfungsi sbagai keterangan yang menyatakan tujuan. Teknik lesap dalam analisis data dilakukan dengan cara melesapkan satuan kebahasaan yang dianalisis. Teknik lesap ini berguna untuk menentukan kadar keintian satuan kebahasaan dalam suatu konstruksi. Dengan teknik ini, dapat ditentukan apakah satuan kebahasaan merupakan satuan kebahasaan inti ataukah satuan kebahasaan bukan inti. Disebut satuan kebahasaan inti jika pelesapannya mengakibatkan konstruksi bagian sisanya tidak berterima. Sebaliknya, jika konstruksi bagian sisanya tetap gramatikal maka satuan kebahasaan tersebut merupakan satuan kebahasaan bukan inti (Kesuma, 2007: 57). Teknik ganti adalah teknik analisis data dengan cara mengganti satuan kebahasaan tertentu di dalam suatu konstruksi dengan satuan kebahasaan yang lain di luar konstruksi yang bersangkutan (Kesuma, 2007: 58). Kemudian, teknik perluas dilakukan dengan cara memperluas satuan kebahasaan yang dianalisis dengan menggunakan satuan kebahasaan tertentu. Teknik perluas ini dapat digunakan untuk membuktikan hubungan antarklausa yang tidak berkonjungsi secara nampak (konjungsi formal) dalam kalimat majemuk subordinatif (Kesuma, 2007: 59). 1.7.3. Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data akan disusun menjadi laporan tertulis berupa deskripsi mengenai temuan seputar kalimat majemuk Subordinatif (jumla
23
murakkaba) dalam bahasa Arab sebagai jawaban dari rumusan masalah. Penyajiannya menggunakan metode informal dan formal (Sudaryanto, 1993: 145). Pada
metode
informal,
penyajian
dilakukan
dengan
perumusan
dan
pendeskripsian melalui kata-kata biasa dan terminologi yang teknis sifatnya. Pada metode formal, penyajian dengan tanda dan lambang-lambang. Pada dasarnya penyajian hasil analisis data di sini diusahakan dapat memenuhi prinsip-prinsip penyajian data yang meliputi tiga aspek (Hadi, 2003: 76), yaitu: descriptive adequacy (kepadaan deskripsi) yang berupa upaya deskripsi dan gambaran semua rincian permasalahan penelitian, explanatory adequacy (kepadaan penjelasan) sebagai bentuk bukti bahwasannya penelitian dapat menjelaskan semua permasalahan, exhaustic adequacy (kepadaan ketuntasan) yang menunjukkan analisis data yang komprehensif dalam mengkaji dan menyajikan data dengan teliti. 1.8. Sistematika Penyajian Penulisan penelitian tentang kalimat majemuk subordinatif dalam bahasa Arab ini disajikan dalam lima bab. Kelima bab tersebut dikembangkan melalui beberapa sub bab yang jumlahnya disesuaikan dengan luasnya tema pada setiap pokok bahasan. Bab III dan bab IV serta sub-subnya sebagai pembahasan yang menjawab dan menganalisa bagi lima rumusan masalah di atas. Bab I Pendahuluan, berisi : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian (pengumpulan data, analisis data, penyajiaan hasil analisis data), dan sistematika penulisan. 24
Bab II tentang konsep kalimat majemuk subordinatif, bicara mengenai : definisi kalimat majemuk, relasi sintaksis antar klausa dalam kalimat majemuk, kalimat majemuk setara (koordinatif), kalimat majemuk bertingkat (subordinatif), konjungsi dalam kalimat majemuk bertingkat (subordinatif), kalimat majemuk campuran (kompleks), kalimat majemuk subordinatif bahasa Arab, dan jenis-jenis klausa pembentuk kalimat majemuk bahasa Arab. Bab III tentang hubungan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif bahasa Arab ; klausa subordinatif berfungsi subjek, predikat, dan objek, membahas : fungsi subjek, predikat, dan objek yang ditempati klausa subordinatif bagi klausa supraordinatifnya, macam-macam klausa subordinatif yang mengisi masing-masing fungsi tersebut, konjungsi subordinatif yang menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif, perilaku sintaksis masingmasing konjungsi, serta pola urutan pada susunan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif dalam kalimat. Bab IV tentang hubungan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif bahasa Arab ; klausa subordinatif berfungsi keterangn atau adverbia (al-fudhlah), membahas : fungsi keterangan-keterangan yang ditempati klausa subordinatif bagi klausa supraordinatifnya, macam-macam klausa subordinatif yang mengisi masing-masing fungsi tersebut, konjungsi subordinatif yang menghubungkan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif, perilaku sintaksis masingmasing konjungsi, serta pola urutan pada susunan klausa subordinatif dengan klausa supraordinatif dalam kalimat. Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan saran. 25