1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis adalah zoonosis yang disebabkan oleh bakteri patogenik dari genus Leptospira. Penyakit ini termasuk sebagai penyakit terabaikan (neglected disease). Wabah leptopsirosis akibat banjir El Niño di India, Asia Tenggara, Amerika Tengah dan Selatan, serta Amerika Serikat, menyebabkan leptospirosis mendapat perhatian, terutama pada penegakan diagnosis, pengobatan dan pencegahan penularan leptospirosis, baik dari World Health Organization (WHO), maupun lembaga kesehatan di negara maju dan berkembang (WHO, 2003). Leptospirosis tersebar luas di dunia, baik di negara beriklim dingin, subtropis maupun tropis. Di daerah beriklim subtropis, lebih dari 500.000 kasus leptospirosis berat dilaporkan setiap tahun. Insidence Rate (IR) atau angka insidensi leptospirosis per tahun berkisar antara 0,1-1 per 100.000 penduduk, dan di daerah beriklim tropis 10-100 per 100.000 penduduk. Angka insidensi leptospirosis di negara beriklim tropis lebih tinggi daripada di negara beriklim subtropis dan daerah beriklim dingin (Rocha, 2004). Menurut Fraga (2010), case fatality rate (CFR) atau
angka kematian leptospirosis di dunia
melebihi 10% per tahun. Wabah atau kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis telah dilaporkan dari wilayah Asia Tenggara, misalnya di Indonesia pada tahun 2002 (Widarso dkk., 2008), Mumbai, India pada tahun 2005 (Vijayachari, 2007), dan Sri Lanka pada tahun 2008 (Singh dan Vijayachari, 2012), sedangkan wabah leptospirosis musiman (setiap musim hujan)
1
2 dilaporkan dari Thailand bagian Utara dan Gujarat, India (Victoriano dkk., 2009; Villanueva dkk., 2010). Di Indonesia, jumlah kasus leptospirosis paling banyak dilaporkan pada tahun 2007 daripada tahun-tahun lainnya yaitu, 618 (93%) dari 667 tersangka kasus leptospirosis dan angka kematian 8%. Kasus leptospirosis tersebut telah dikonfirmasi secara laboratorium, baik dengan menggunakan metode rapid diagnosis test (RDT) maupun Microscopic Agglutinasion Test (MAT). Pada tahun 2010, dilaporkan 410 kasus leptospirosis, dan 46 orang meninggal dunia (Case Fatality Rate/CFR 11,2%). Kasuskasus tersebut ditemukan di 8 (delapan) provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2011 telah terjadi wabah leptospirosis di D.I.Yogyakarta dengan 264 kasus dan angka kematian 11,4% (Kusriastuti, 2012). Di Propinsi Jawa Tengah, jumlah kasus dan kematian karena leptospirosis setiap tahunnya semakin meluas dan meningkat. Tahun 2002-2004, sebaran kasus leptospirosis relatif terbatas ditemukan di Kota Semarang. Tahun 2005-2006, kasus leptospirosis dilaporkan dari Kabupaten Demak dan Klaten. Tahun 2007, kasus leptospirosis menyebar di Kabupaten Purworejo. Tahun 2007-2012, kasus leptospirosis telah dilaporkan dari Kabupaten Boyolali, Banyumas, Cilacap, dan Magelang (Ristiyanto, dkk. 2014). Kota Semarang merupakan daerah paling sering ditemukan kasus leptospirosis berat, disertai dengan kematian dibandingkan kabupaten/kota lain. Saat ini penyebaran dan peningkatan kasus leptospirosis di Kota Semarang sulit diprediksi dan dikendalikan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012).
3 Di Kota Semarang, sejak tahun 2002 sampai saat ini, kasus leptospirosis cenderung meningkat. Tahun 2002 dilaporkan tiga kasus dan satu kasus meninggal dunia. Berdasarkan data kasus leptospirosis dari rumah sakit di Kota Semarang, Jawa Tengah diperkirakan per tahun angka kesakitan 4,14% dan angka kematian 16,92%. Pada tahun 2009 dilaporkan 235 kasus dan 9 kasus meninggal dunia. Kejadian luar biasa (KLB) sering terjadi, bahkan 4 tahun terakhir kasus leptospirosis cenderung tersebar luas secara acak hampir di seluruh kecamatan (Kasie P2M Din. Kes. Kota Semarang, 2013). Hasil penyelidikan epidemiologi Dinas Kesehatan Kota Semarang (2013) menunjukkan bahwa kasus leptospirosis sering ditemukan pada para pekerja kasar (buruh, tukang sampah, dan lain-lain) dan pengangguran/tidak bekerja, berjenis kelamin laki-laki dan berumur produktif (15 – 50 tahun). Selain itu, ditemukan pula kasus leptospirosis pada pemelihara anjing. Hasil penelitian Gasem dkk. (2002), menemukan bakteri Leptospira interrogans serovar Canicola pada pasien leptospirosis dan anjing peliharaannya. Penanggulangan leptospirosis telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang meliputi pemantauan leptospirosis di rumah sakit, penyelidikan epidemiologi (PE) di sekitar tempat tinggal penderita, ceramah klinik leptospirosis bagi dokter Puskesmas dan Rumah Sakit, pertemuan pencegahan penularan leptospirosis bagi petugas Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) dan petugas Surveilans Puskesmas, penyediaan/pelatihan rapid diagnostic test (RDT) bagi tenaga Puskesmas, penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang leptospirosis, penapisan leptospirosis di area pembuangan sampah dan di daerah rawan banjir, serta rapat koordinasi di lokasi KLB leptospirosis bagi Puskesmas. Walaupun telah dilakukan penanggulangan leptospirosis
4 tersebut di atas, namun kasus leptospirosis masih sering ditemukan dan menimbulkan kematian (Kasie P2M Din. Kes. Kota Semarang, 2013).. Menurut Disease Control Priority Project 2 (DCP2) (2008) untuk mendeteksi dini terjadinya KLB dan perubahan mendadak insidensi penyakit perlu dilakukan surveilans kesehatan masyarakat. Surveilans kesehatan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus berupa pengumpulan data secara sistematik, analisis dan interpretasi data mengenai suatu peristiwa yang terkait dengan kesehatan untuk digunakan dalam tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya mengurangi angka kesakitan dan kematian, dan meningkatkan status kesehatan (German, 2001; Timmreck, 2005). Saat ini, Dinas Kesehatan Kota Semarang melakukan pemantauan leptospirosis di rumah sakit, tetapi belum melaksanakan surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas, karena keterbatasan alat diagnosis dan belum ditetapkan cara dan variabel sebagai indikator kegiatan surveilans leptospirosis (Kasie P2M, DKK Semarang, 2012). Pemantauan leptospirosis di rumah sakit oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang dilakukan secara intermiten (tidak teratur) atau episodik (rentang waktu tertentu), yaitu menunggu laporan dari rumah sakit yang waktunya tidak pasti atau melakukan pemantauan pada musim tertentu. Cara tersebut sering menyebabkan keterlambatan dalam pencegahan penularan leptospirosis dan kematian penderita leptospirosis (Vijayachari, 2007). Selain itu, kasus leptospirosis di rumah sakit berasal dari berbagai tempat yang tidak mudah untuk dilacak, sehingga sulit untuk memrediksi sumber penular leptospirosis (Last, 2001). Menurut Setiawati (2012) belum ada alat ukur keberhasilan surveilans di rumah sakit, sedangkan hasil penelitian Wardani dan Bambang (2005), menunjukkan bahwa perawat kurang patuh dalam melaksanakan surveilans di rumah sakit dan pengisian
5 form bundle prevention. Berdasarkan informasi tersebut di atas maka salah satu penanggulangan leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah diperlukan surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan seperti Puskesmas (Kasie P2M Din. Kes. Kota Semarang, 2013). Dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1501/Menkes/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, menyebutkan penyakit menular seperti zoonoisis, khususnya leptospirosis termasuk salah satu penyakit dapat menimbulkan wabah, yang perlu diwaspadai, sehingga surveilans perlu dilakukan (Kemenkes RI, 2010). Pada surveilans leptospirosis diperlukan sumber informasi epidemiologi
tentang
identifikasi kasus berdasarkan kriteria klinis dikonfirmasi dengan diagnosis laboratorium (Widarso, dkk. 2008). Menurut WHO (1999), surveilans leptospirosis memerlukan diskripsi klinis dan kriteria diagnosis laboratorium. Diskripsi klinis leptospirosis digunakan kriteria Faine yang telah dimodifikasi (Shivakumar, 2013), sedangkan kriteria diagnosis laboratorium
menggunakan pemeriksaan serologi
seperti
microscopic
agglutinations test (MAT), dan uji serologi seperti, menggunakan rapid diagnosistests (RDT) misalnya leptoteks (WHO 1999) dan pemeriksaan langsung secara biologi molekular (Singh dan Vijayachari, 2012). Menurut Lau (2009), surveilans leptospirosis sebaiknya bukan hanya dilakukan terhadap manusia saja, tetapi juga pada inang reservoir dan lingkungan, sehingga diperoleh informasi faktor risiko leptospirosis yang tepat dan akurat, terutama sumber penularan leptospirosis. Surveilans pada hewan domestik dan peridomestik meliputi kepadatan hewan, prevalensi, perawatan dan pengambilan sampel darah hewan, sedangkan
6 surveilans lingkungan meliputi, sanitasi, faktor abiotik (pH dan suhu) dan cuaca (Jena dkk, 2004). Oleh karena itu untuk melaksanakan surveilans leptospirosis yang melibatkan berbagai faktor, baik faktor biologi, perilaku maupun lingkungan perlu memperhitungkan segi ekonomis dan luas lokasi pengamatan (Amiruddin, 2013). Di dalam epidemiologi penyakit menular, apabila percobaan, pengamatan dan pemantauan di lapangan dianggap tidak efisien, kurang praktis atau sulit untuk dilakukan, maka pemodelan matematika merupakan metode yang bermanfaat dalam menyelidiki dan memrediksi kejadian suatu penyakit (Syaripuddin, 2009). Kendala yang dihadapi dalam membuat pemodelan matematis biasanya berkenaan dengan ketepatan model matematis, waktu dan biaya. Selain itu ketepatan suatu model matematis juga sangat tergantung pada validitas dan realibilitas data yang digunakan untuk merancang model tersebut (Soesilo dan Karuniasa, 2014). Dengan meminimalisir kendala-kendala tersebut di atas akan dapat diciptakan model matematis yang mempunyai pola mirip dengan pola masalah sebenarnya.
Model matematis tersebut dikenal dengan nama model simulasi
(Syaripuddin, 2009). Model simulasi dibuat untuk meramalkan pola kejadian penyakit dan mengetahui peristiwa yang akan terjadi jika diterapkan beberapa tindakan strategi pengendalian alternatif. Model yang akurat dapat digunakan sebagai panduan untuk pemilihan teknik penanggulangan penyakit yang efisien dan efektif, dan atau untuk meningkatkan pemahaman tentang siklus hidup penyebab penyakit atau agen infeksi (Syah, dkk.,2011). Di bidang kesehatan, model analog sering digunakan untuk memrediksi kejadian suatu penyakit, karena rancangan model ini mewakili dinamika situasi, yaitu keadaan yang berubah terhadap waktu dan terdapat sistem boundary yang membatasi faktor-foktor
7 risiko kejadian leptospirosis. Model yang menunjukkan perubahan setiap saat akibat adanya aktivitas sering disebut sebagai model dinamika sistem (Simatupang, 1995). Pemodelan dinamika sistem adalah metodologi berfikir untuk mengabstraksikan suatu fenomena di dunia sebenarnya ke model yang lebih eksplisit. Pemodelan ini dikembangkan di Massachussetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1960-an sebagai suatu alat yang digunakan oleh para manager menganalisis permasalahan yang kompleks. Model dinamika sistem mampu menciptakan suatu learning environment yaitu, suatu laboratorium yang berperan seperti miniatur dari sistem (Mukti, 2010). Model dinamika sistem memiliki dua fenomena, yaitu struktur dan perilaku. Struktur adalah unsur pembentuk fenomena dan pola keterkaitan antar unsur tersebut, yang dipengaruhi oleh: (1) feedback (causal loop); (2) stock (level) dan flow (rate); (3) delay; dan (4) nonlinearity. Sedangkan perilaku (behaviour) adalah perubahan suatu besaran/variabel dalam suatu kurun waktu tertentu, baik kuantitatif maupun kualitatif atau catatan tentang magnitude (besar, nilai, angka) sesuatu dalam suatu kurun waktu tertentu (pertumbuhan, penurunan, osilasi, stagnan, atau kombinasinya). Pemahaman hubungan struktur dan perilaku sangat diperlukan dalam mengenali suatu fenomena (Soesilo dan Karuniasa, 2007). Aplikasi pemodelan dinamika sistem untuk memperoleh penanggulangan leptospirosis pada manusia dan pengendalian inang reservoir leptospirosis pernah dilakukan oleh Ma dan Li (2009). Pada proses pemodelan tersebut, digunakan sifat mikroskopik untuk memrediksikan sifat makroskopik penularan leptospirosis dalam suatu populasi. Pongsumpun dkk. (2008) mengembangkan model dinamika sistem untuk memelajari dinamika penularan leptospirosis. Model tersebut menggabungkan beberapa
8 faktor risiko leptospirosis dan menggunakan teori kontrol optimal untuk mensimulasi proporsi manusia dan populasi tikus terinfeksi. Zaman (2013) meneliti tentang model dinamika sistem interaksi antara inang reservoir (tikus), bakteri Leptospira patogenik dengan populasi manusia. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, maka apabila diketahui faktor risiko utama kejadian leptospirosis dapatlah dikembangkan metode/cara surveilans leptospirosis di masyarakat yang dilakukan oleh petugas Puskesmas. Oleh karenanya penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol yang memberikan keluaran berupa pengembangan baru metode surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas. Selanjutnya berdasarkan faktor risiko yang diperoleh dalam penelitian ini dibuat suatu pemodelan dinamika sistem yang menyimulasikan hubungan faktor-faktor risiko kejadian leptospirosis. B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan uraian tersebut di atas maka rumusan penelitian ini adalah; 1. Bagaimanakah sebaran leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah? 2. Faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di Kota Semarang dan faktor apa yang merupakan faktor utama? 3. Apakah dari faktor-faktor risiko tersebut dapat sebagai variabel suatu pengembangan metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas yang efisien dan efektif untuk memrediksi penanggulangan leptospirosis ? 4. Apakah model simulasi dapat dibuat untuk mengilustrasikan pengaruh faktor risiko terhadap kejadian leptospirosis?
9 C. Tujuan 1. Tujuan umum Menyusun pengembangan metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas yang dapat memrediksi insidensi leptospirosis dan mencegah terjadinya peningkatan kasus atau KLB leptospirosis. Selanjutnya membuat suatu model sistem dinamis berupa simulasi yang mampu memberikan ilustrasi hubungan faktor risiko terhadap kejadian leptospirosis dan alternatif pencegahannya. 2. Tujuan khusus; a. Mengetahui sebaran leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah. b. Mengidentifikasi dan menganalisis semua faktor risiko utama yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis, baik dari segi pejamu (host), agen (agent) maupun lingkungan (environment). c. Membuat pengembangan metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas dan mampu memrediksi kemungkinan seseorang terinfeksi leptospirosis d. Membangun suatu model simulasi sistem dinamis yang mampu menggambarkan hubungan faktor-faktor risiko dengan kejadian leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah. D. Keaslian Penelitian Saat ini metode surveilans leptospirosis di Kota Semarang belum dilaksanakan, tetapi pemantauan secara tidak teratur dan pada rentang waktu tertentu di rumah sakit telah dilakukan. Pemantauan leptospirosis tersebut bersifat pasif pada leptospirosis berat, sehingga sistem kewaspadaan dini dan pencegahan KLB leptospirosis, serta sebaran penularan leptospirosis sulit diprediksi. Oleh karena itu akan diteliti tentang
10 pengembangan metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas dan pemodelan dinamika sistem yang mampu menggambarkan hubungan faktor-faktor risiko dengan kejadian leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pengembangan metode baru surveilans leptospirosis dan pemodelan simulasi dinamis leptospiorosis di Indonesia belum pernah dilakukan. Sloan dkk. (2006) melakukan penelitian tentang surveilans sindromik untuk penyakit infeksi di Kauai Hawaii, dengan menggunakan variabel gejala klinis, faktor lingkungan, penampungan air hujan, pemotongan kulit dan kontak dengan hewan ternak terhadap kejadian leptospirosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diagnosis awal leptospirosis adalah demam, sakit kepala, mialgia, dan mual/muntah. Faktor Lingkungan berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis adalah genangan air hujan (p=0,003), tempat pemotongan hewan/penyamakan kulit (p= 0,008) dan kontak dengan hewan ternak (p=0,05). Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan gejala klinis dan faktor lingkungan. Sedangkan perbedaannya adalah penegakan diagnosis gejala awal leptospirosis dengan Kriteria Faine termodifikasi, pemeriksaan laboratorium dengan RDT, PCR dan MAT, dan analisis faktor risiko meliputi lingkungan abiotik (suhu, pH dan curah hujan), biotik (tikus, hewan ternak dan piaraan), perilaku (kebiasaan sehari-hari kasus leptospirosis dan kontrol), terhadap kejadian leptospirosis dan survei rodensia, pengukuran lingkungan dan survei hewan ternak untuk menentukan indikator surveilans leptospirosis. Pada penelitian ini dilengkapi pula distribusi kasus leptospirosis dan modeling dinamika sistem leptospirosis. Palaniappan dkk. (2007) melakukan penelitian tentang diagnosis, imunitas dan patogenesitas Leptospira di
Rumah Sakit Loei Bangkok, Thailand. Variabel yang
11 digunakan adalah serovar bakteri Leptospira pada manusia, dan faktor risiko lingkungan (banjir). Hasil penelitian yang menggunakan rancangan pontong lintang ini menunjukkan bahwa kasus leptospirosis meningkat setelah banjir. Selain itu juga menunjukkan bahwa 98% dari 100 pasien leptospirosis rawat jalan positif leptospirosis secara kultivasi Leptospira. Hasil uji MAT memperlihatkan bahwa 78% dari 63 pasien leptospirosis dirawat di rumah sakit telah berhasil dideteksi beberapa serovar Leptospira interrogans, yaitu Bratislava (57%), Autumnalis (48%), Baru (38%), Australis (37%) dan Bangkok (29%). Hasil MAT, 67% dari 15 pasien rawat jalan dideteksi serovar Bratislava (47%), Baru (20%), Bangkok (7%), Ranarum (7%) dan Australis (7%). Strategi pencegahan terhadap wabah leptospirosis setelah banjir di Thailand harus dilakukan, termasuk pengobatan yang tepat. Persamaan dengan penelitian disertasi ini adalah pemeriksaan laboratorium dengan MAT dan faktor lingkungan terutama paska banjir. Perbedaan antara penelitian disertasi dan penelitian dilakukan oleh Palaniappan dkk. (2007) adalah pada penelitian disertasi ini pemeriksaan laboratorium dengan RDT, PCR dan MAT dan faktor risiko yang dilihat mencakup faktor lingkungan, faktor perilaku, pengukuran indikator lingkungan, survei rodensia,dan ternak. Johson dkk. (2004) meneliti tentang faktor risiko lingkungan biotik terhadap kejadian leptospirosis di Lima, Peru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 26% dari 179 ekor hewan (tikus hitam, anjing, domba, kerbau, sapi, keledai, musang, dan kucing) terdeteksi positif bakteri Leptospira dengan mengunakan metode PCR, dan 7% dari 179 ekor hewan tersebut dideteksi dengan metode MAT, ditemukan serovar L. interrogans yaiut, Grippotyphosa, Pyrogenes, dan Icterohaemorrhagiae, serta serovar L. borpetersenii yaiut Polonica. Serovar Polonica diisolasi untuk pertama kalinya di Mesir dari tiga tikus.
12 Titer MAT ≥ 1:800 ditemukan pada 11% tikus dan 12% anjing. L. interrogans serovar Grippotyphosa terdeteksi juga pada satu ekor kucing. Domba dan keledai negatif terhadap bakteri Leptospira baik dengan menggunakan metode MAT maupun PCR. Kerbau (20%) dan sapi (44%) seropositif terhadap antibodi leptospirosis. Data tersebut menunjukkan bahwa, beberapa serovar Leptospra patogenik tersebut ditemukan pada hewan dan manusia. Studi ini mempunyai persamaan dengan penelitian disertasi yaitu, menggunakan variabel inang reservoir khususnya tikus, hewan piaraan (anjing) dan hewan ternak (sapi, domba, dan kucing). Sedangkan perbedaannya adalah pada studi tersebut menggunakan rancangan potong lintang, sampel hewan, sedang penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol, sampel manusia, hewan dan lingkungan. Jena dkk. (2004) meneliti tentang wabah leptospirosis di Orissa, India dengan menggunakan rancangan kasus kontrol untuk mengetahui faktor risiko KLB leptospirosis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemantauan leptospirosis menggunakan gejala klinis dan faktor-faktor epidemiologis dapat mendeteksi akan terjadinya wabah leptospirosis dalam waktu 40 hari, pemantauan dilakukan selama 24 jam, dan membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk menentukan penyebab leptospirosis. Pada penelitian tersebut ditemukan 143 kasus leptospirosis, terdiri atas 33 kasus leptospirosis terdeteksi melalui antibodi IgM, pemeriksaan menggunakan RDT dan 6 kasus leptospirosis dinyatakan positif dengan pemeriksaan PCR. Pemeriksaan dengan metode MAT terhadap 143 kasus leptospirosis ditemukan bakteri Leptospira interrogans serovar Canicola, Pomona dan Hebdomadis. Angka kesakitan 5,95 % dan angka kematian 7,69%. Faktor risiko utama kejadian leptospirosis adalah air dari saluran pipa terkontaminasi bakteri Leptospira. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah surveilans dengan diagnosis
13 cepat dan tepat dapat mendeteksi secara dini terjadinya wabah/KLB, sehingga respon cepat membantu penanggulangan sebaran dan menekan angka kematian. Persamaan dengan penelitian disertasi yang dilakukan adalah studi kasus kontrol untuk surveilans leptospirosis menggunakan gejala klinis, dan faktor risko epidemiologi leptospirosis. Pemeriksaan laboratorium menggunakan metode RDT, PCR dan MAT. Sedangkan perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Jena dkk. (2004) dan penelitian disertasi ini adalah survei rodentia, hewan ternak dan lingkungan, serta penentuan metode surveilans yang diaplikasikan dan pemodelan leptospirosis. Hal tersebut tidak dilakukan pada penelitian Jena dkk. (2004). Zaman dkk. (2013) melakukan penelitian tentang pemodelan dinamika sistem faktor risiko leptospirosis di Thailand. Variabel yang digunakan adalah populasi tikus dan kasus leptospirosis. Metode penelitian dengan dinamika sistem non-linear dari populasi.manusia dan tikus. Hasill penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi leptospirosis asimtomatik dipengaruhi fluktuasi populasi tikus terinfeksi bakteri Leptospira. Persamaan antara penelitian Zaman dkk. (2013) dan penelitian disertasi ini adalah pemodelan leptospirosis menggunakan metode dinamika sistem. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian disertasi ini mengaplikasikan berbagai variabel kejadian leptospirosis dan berbagai metode pengendalian alternatif untuk digunakan sebagai model dinamika sistem dalam memrediksi kejadian leptospirosis. Pongsumpun dkk. (2012) melakukan penelitian tentang model dinamika sistem dalam memrediksi penularan leptospirosis pada manusia dewasa dan anak-anak dari tikus di Thailand. Variabel penelitian adalah umur kasus leptospirosis dan tikus. Rancangan penelitian menggunakan potong lintang. Metode penelitian menggunakan pemodelan
14 dinamika sistem. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemodelan dinamika sistem dapat memrediksi peningkatan kasus leptospirosis pada berbagai umur apabila terjadi peningkatan jumlah tikus terinfeksi bakteri leptospirosis. penelitian Pongsumpun dkk. (2012)
Persamaan antara
dan penelitian disertasi ini adalah pemodelan
dinamika sistem pada leptospirosis. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian Pongsumpun dkk (2012) menggunakan variabel umur kasus leptospirosis dan tikus, sedangkan pada penelitian disertasi ini variabel yang digunakan adalah lingkungan abiotik, biotik, perilaku dan survei tikus, hewan ternak/piaraan, serta pengukuran lingkungan. Penelitian disertasi ini bertujuan mengetahui variabel berperan dalam kejadian leptospirosis yang akan digunakan sebagai indikator surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan, dilanjutkan dengan pemodelan leptospirosis menggunakan metode dinamika sistem untuk memrediksi fluktuasi kejadian leptospirosis apabila diterapkan alternatif metode penanggulangannya. Chan dkk. (2009) meneliti tentang sistem skoring dan pemodelan dinamika sistem demam berdarah dengue di Taiwan. Disain penelitian adalah studi retrospektif kasus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem penilaian dengan skoring untuk demam berdarah dengue memberikan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dan pemodelan dinamika sistem dapat memrediksi fluktuasi kasus demam berdarah terhadap sistem skoring infeksi virus dengue pada penderita DBD secara laboratorium. Persamaan penelitian Chan dkk. (2009) dengan penelitian ini adalah penggunaan model dinamika sistem. Perbedaan penelitian Chan dkk. (2009) dengan penelitian ini adalah pemodelan dinamika sistem yang diaplikasikan pada kejadian demam berdarah dengue, pada
15 penelitian disertasi ini pemodelan dinamika sistem diaplikasikan pada kejadian leptospirosis. Pisane dkk. (2009), meneliti tentang pemodelan dinamika sistem untuk sistem skoring prognosis dini sesudah neonatal di rumah sakit di Nicu, Pama.. Disain penelitian adalah kohort studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem skoring dapat memrediksi kelainan neurologis pada neonatal dengan gejala kejang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Persamaan penelitian Pisane dkk. (2009) dengan penelitian ini adalah penggunaan model dinamika sistem untuk memrediksi kejadian penyakit menular terhadap keterpaparan faktor risiko. Perbedaan penelitian Pisane dkk. (2009) dengan penelitian disertasi ini adalah pemodelan dinamika sistem yang diaplikasikan pada kejadian neonatal di rumah sakit. Sedangkan pada penelitian ini menentukan variabel surveilans leptospirosis dan pemodelan dinamika sistem leptospirosis Mishra dkk. (2007), meneliti tentang pemodelan dinamika sistem untuk memrediksi kejadian malaria Plasmodium falciparum dan sistem skoring status berat badan di Orissa, India. Disain penelitian adalah kasus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemodelan dinamika sistem dalam sistem skoring berat badan dapat memrediksi kejadian malaria pada orang dewasa. Persamaan penelitian Mishra dkk. (2007) dengan penelitian ini adalah penggunaan model dinamika sistem. Perbedaan penelitian Mishra dkk. (2007) dengan penelitian disertasi ini adalah pemodelan dinamika sistem yang diaplikasikan pada kejadian malaria. Sedangkan pada penelitian disertasi ini bertujuan mengetahui variabel utama kejadian leptospirosis yang akan digunakan sebagai indikator surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan, dilanjutkan dengan pemodelan dinamika sistem untuk memrediksi fluktuasi kejadian leptospirosis.
16 Richardson dan Pugh (2008) meneliti tentang pemodelan dinamika sistem fluktuasi populasi nyamuk Aedes aegypti terhadap kejadian demam berdarah dengue di Amerika Serikat.Variabel yang digunakan adalah kasus demam berdarah, suhu dan nyamuk. Rancangan penelitian potong lintang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi populasi nyamuk vektor demam berdarah. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Richardson dan Pugh (2008) dengan penelitian ini adalah penggunaan model dinamika sistem. Sedangkan perbedaannya, pada penelitian Richardson dan Pugh (2008), pemodelan dinamika sistem diaplikasikan untuk memrediksi fluktuasi populasi nyamuk Ae. aegypti
terhadap suhu dan kasus demam berdarah. Pada penelitian ini,
pemodelan dinamika sistem untuk memrediksi keterpaparan kasus leptospirosis terhadap faktor risiko lingkungan, perilaku dan biologi. Penelitian ini difokuskan pada pengembangan metode baru surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas) meliputi penemuan kasus leptospirosis dilakukan secara pasif (Puskesmas dan Rumah Sakit) dan aktif di wilayah kerja Puskesmas. Penegakan diagnosis leptospirosis dilakukan dengan deteksi gejala klinis berdasarkan Kriteria Faine, dan pemeriksaan laboratorium. Penerapan faktor risiko kejadian leptospirosis sebagai variabel surveilans leptospirosis. Selanjutnya faktor risiko yang mempengaruhi kejadian leptospirosis dibuat suatu pemodelan dinamika sistem untuk menyimulasikan fuktuasi kejadian leptospirosis tanpa intervensi dan intervensi alternatif, sehingga diharapkan penanggulangan leptospirosis dapat dilakukan secara efektif dan efisien di Kota Semarang, Jawa Tengah.
17 E. Manfaat 1. Manfaat bagi pengembangan ilmu Pengembangan metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas dan pemodelan dinamika sistem memberi informasi yang berguna bagi pengembangan ilmu kesehatan dan instrumen praktis untuk memrediksi kejadian leptospirosis dan menanggulangi leptospirosis. 2. Manfaat Aplikatif Metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas diharapkan dapat digunakan untuk penilaian status endemisitas leptospirosis, deteksi dini, KLB, sistem kewaspadaan dini, dan perencanaan program penanggulangan leptospirosis Pemodelan dinamika sistem faktor-faktor risiko kejadian leptospirosis diharapkan memberikan informasi mengenai alternatif tindakan pencegahan penularan leptospirosis pada situasi dan waktu berbeda, sehingga memudahkan untuk mengeliminasi leptospirosis di masa depan. F. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini yaitu, penelitian epidemiologi analitik, khususnya menentukan faktor risiko kejadian leptospirosis untuk pengembangan metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas dan pemodelan dinamika sistem faktor-faktor risiko dengan kejadian leptospirosis dan alternatif pencegahannya. Keluaran penelitian ini adalah metode baru surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas dan model dinamika sistem faktor risiko terhadap kejadian leptospirosis, serta simulasi pengaruh intervensi alternatif terhadap fluktuasi kasus leptospirosis.