1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit tubercolusis atau yang sering disebut TBC adalah infeksi menular
yang disebabkan oleh bakteri
mycobacterium
tubercolusis
(Danusantoso, 2002). Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengobatinya, disamping rasa bosan karena harus minum obat dalam waktu yang lama seseorang penderita kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum massa pengobatan belum selesai hal ini dikarenakan penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditentukan, serta pengetahuan yang kurang tentang penyakit sehingga akan mempengaruhi kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Berhasil atau tidaknya pengobatan tubercolosis tergantung pada pengetahuan pasien, keadaan sosial ekonomi serta dukungan dari keluarga. Tidak ada upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang kurang memberikan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat (Enjang, 2002). Apabila ini dibiarkan dampak yang akan muncul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman tubercolusis yang resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar pengendalian obat
1
2
tubercolusis akan semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka kematian terus bertambah akibat penyakit tubercolusis. Tujuan pengobatan pada penderita tubercolusis bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan pengetahuan tentang penyakit ini untuk itu hendaknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar pengetauan mereka mengetahui resiko-resiko dan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Dalam program DOTS ini diupayakan agar penderita yang telah menerima obat atau resep untuk selanjutnya tetap membeli atau mengambil obat, minum obat secara teratur, kembali control untuk menilai hasil pengobatan. Tubercolusis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan China dalam hal jumlah penderita TB paru sekitar 583 ribu orang dan diperkirakan sekitar 140 ribu orang meningal dunia tiap tahun akibat TBC. Sedangkan di Jawa Tengah sendiri menempati urutan ke 2 setelah Jawa Barat dengan kasus sekitar 37 ribu penderita (Depkes RI, 2007). Berdasarkan survey di Jawa Tengah, angka penemuan kasus TBC cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yakni 21% (2002), 22% (2003), 29 % (2004), 38%(2005), dan 54% pada 2004. Selain itu angka
3
kejadian TBC aktif juga menurun dari 130 per 100 ribu penduduk pada 2000 menjadi 107 per 100 ribu penduduk pada 2004 (Aditama, 2006). Dalam tiga tahun terakhir lebih dari setengah juta penderita TBC telah terobati dan 85% diantaranya telah sembuh. Di Semarang angka kejadiannya juga tak jauh beda, yaitu sekitar 56/100 ribu penduduk pada tahun 2005. Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah / menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC. Masyarakat kurang mendapatkan informasi bahwa pengobatan TBC itu gratis, mereka beranggapan biaya berobat itu mahal (Dwik, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan TBC menurut Amira (2005) yang pertama adalah faktor sarana yaitu tersedianya obat yang kontinyu, edukasi petugas pelayanan kesehatan yang baik, pemberian regimen OAT yang adekuat. Yang kedua faktor penderita yang meliputi pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup istirahat, hidup teratur, dan tidak minum alkohol atau merokok, menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut
4
dengan sapu tangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari, tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar, kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh dan yang ketiga faktor keluarga, dukungan keluarga sangat menentukan keberhasilan seseorang dengan selalu mengingatkan penderita agar minum obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat. Jumlah penderita TBC paru BTA positif di wilayah Puskesmas Nusawungu dari tahun ke tahun belum mengalami penurunan yang berarti, tahun 2008 jumlah penderita TB BTA positif 37 orang, tahun 2009 jumlah penderita TB BTA positif 35 orang, tahun 2010 jumlah penderita TB BTA positif 30 orang dan pada tahun 2011 jumlah penderita TB BTA positif sebanyak 34 orang, rata-rata CDR (Case Detection Rate) tiap tahun di atas 80% sedangkan target CDR Nasional 70%. Karena penularannya yang sangat mudah dan berdasarkan data di Desa Nusawungu setiap tahunya selalu ada pasien baru yang menderita TBC, untuk 2008 jumlah penderita TBC BTA positif sebanyak 7 orang, tahun 2009 jumlah penderita TBC BTA positif sebanyak 6 orang, tahun 2010 jumlah penderita TB baru dengan BTA positif sebanyak 7 orang dan pada tahun 2011 jumlah penderita TB baru dengan BTA positif di Desa Nusawungu sebanyak 8 orang dengan jumlah penduduk 4.338 jiwa.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penatalaksanaan Pengobatan Pasien TBC di Puskesmas Nusawungu I Kecamatan Nusawungu Tahun 2012”.
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Penatalaksanaan Pengobatan pasien TBC di Puskesmas Nusawungu I Kecamatan Nusawungu tahun 2012.
2.
Tujuan Khusus a.
Menganalisis faktor sarana kesehatan terhadap Penatalaksanaan Pengobatan
TBC
di
Puskesmas
Nusawungu
I
Kecamatan
penderita
terhadap
Nusawungu tahun 2012. b.
Menganalisis
faktor
pengetahuan
Penatalaksanaan Pengobatan TBC di Puskesmas Nusawungu I Kecamatan Nusawungu tahun 2012. c.
Menganalisis faktor dukungan keluarga terhadap Penatalaksanaan Pengobatan
TBC
di
Nusawungu tahun 2012.
Puskesmas
Nusawungu
I
Kecamatan
6
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan Meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat khususnya penderita tubercolusis, sehingga akan meningkatkan kualitas asuahan keperawatan dan kualitas hidup penderita serta memberi masukan kepada petugas kesehatan tentang pentingnya penyuluhan penyakit tubercolusis kepada masyarakat khususnya penderita tubercolusis.
2.
Bagi Pasien Memberikan
pengetahuan
tentang
penyakit
tubercolusis
dalam
meningkatkan kepatuhan berobat pasien tubercolusis di Puskesmas Nusawungu I Kabupaten Cilacap. 3.
Bagi Ilmu Keperawatan Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tentang asuhan keperawatan tentang tubercolusis paru.
4.
Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai masukan data dan sumbangan pemikiran perkembangan pengetahuan untuk peneliti selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian Pratama (2011) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan tentang Tuberculosis Paru dengan Keteraturan Minum Obat Anti Tuberculosis (OAT) pada Penderita Tuberculosis Paru di Poli Paru di RSUP H. Adam Malik Medan”. Penelitian
7
tersebut menggunakan survey dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi penelitian yaitu seluruh pasien TB Paru di Poli Paru RSUP H. Adam Malik Medan sebanyak 520 orang dan sampel menggunakan purposive sampling sebanyak 250 orang. Dari hasil penelitian diperoleh hasil yaitu ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan dengan keteraturan minum obat pada pasien TB Paru di Poli Paru RSUP H. Adam Malik Medan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama meneliti tentang Penatalaksanaan dalam Pengobatan pada pasien TBC. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan sekarang yaitu variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan Penatalaksanaan dalam Pengobatan TBC yang meliputi faktor sarana, penderita dan faktor keluarga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan rumus analisis chi square.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1.
Tuberculosis (TBC) a.
Definisi Tubercolusis Paru Tubercolusis paru adalah penyakit akibat infeksi kuman mycobakterium tubercolosis sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak diparu yang biasanya merupakan infeksi primer. Tubercolusis merupakan bakteri kronik dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan hipersensivitas yang diperantarai sel (Cell Madiated Hipersensivity) (Mansjoer, 2000).
b.
Gejala Tubercolusis Paru 1) Demam Dimulai dengan demam subfebris seperti influenza. Terkadang panas mencapai 40 – 41 oC. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tubercolusis yang masuk (Soeparman, 1990). 2) Batuk Darah Batuk darah terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian
8
9
setelah terjadi peradangan menjadi produktif hal ini berlangsung 3 minggu atau lebih. Keadaan lanjut adalah terjadinya batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Yang merupakan tanda adanya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Kematian dapat terjadi karena penyumbatan bekuan darah pada saluran nafas (Soeparman, 1990). 3) Sesak Nafas Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana ilfiltrasinya sudah setengah bagian paru (Depkes RI, 2002). 4) Nyeri Dada Terjadi bila ilfiltrasinya radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis (Depkes RI, 2002). 5) Malaise (Badan lemah) Penyakit tubercolusis paru adalah penyakit radang yang bersifat menahan nyer otot dan keringat dimalam hari. Gejala-gejala tersebut makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Soeparman, 1990). c.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tubercolusis 1) Harus ada sumber infeksi Sumber infeksi dapat berasal dari penderita tubercolusis dengan BTA positif yang ditularkan melalui droplet. Baik itu melalui
10
penggunaan alat makan secara bergantian tanpa dicuci terlebih dahulu ataupun pada waktu penderita batuk atau bersin. 2) Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus cukup Semakin banyak jumlah basil yang terhirup, maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengidap penyakit tubercolusis. 3) Virulensi yang tinggi dari basil tubercolusis Apabila tingkat keaktifan kuman tinggi maka akan semakin cepat berkembang biak didalam tubuh. Selain itu akan semakin cepat pula massa inkubasinya. 4) Daya tahan tubuh yang menurun Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit tubercolusis baru. d.
Pemeriksaan Diagnostik 1) Kultur sputum Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukanya kuman BTA, diagnosa tubercolusis paru sudah dapat dipastikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila ditemukanya sekurangkurangya 3 batang kuman BTA pada satu sediaan dan sedikitnya dua dari tiga kali pemeriksaan specimen BTA hasilnya nyatakan positif (Soeparman, 1990).
11
2) Foto thorak Menunjukan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan. Adanya perluasan kuman tubercolusis paru ditunjukan dengan adanya rongga atau area fibrosa (Doenges, 2002). 3) Tes tuberkulin (Mantoux) Reaksi positif area durasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradermal antigen menunjukan massa lalu dan adanya antibodi, tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa infeksi disebabkan oleh mikrobakterium yang berbeda (Doenges, 2002). 4) Pemeriksaan darah Pada waktu kuman tubercolusis mulai aktif jumlah leukosit sedikit meninggi dan jumlah limfotsit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila sakit mulai sembuh jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tetap tinggi. Laju endap darah mulai turun kearah normal lagi (Soeparman, 1990). 5) Pemeriksaan fungsi paru Terjadi penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total. Saturasi oksigen terjadi penurunan sekunder terhadap infiltrasi parenkim
12
paru, kehilangan jaringan paru ketika tubercolusis paru kronis sudah meluas (Doenges, 2002). e.
Cara Penularan 1) Percikan ludah (droplet infection) Pada saat penderita tubercolusis batuk akan mengeluarkan droplet dengan ukuran mikroskopis yang bervariatif. Ketika pertikel tersebut berada di udara, air akan menguap dari permukaannya sehingga menurunkan volume dan menaikan konsetrasi kumannya. Partikel inilah yang disebut dengan droplet (Crofton, 2002). 2) Inhalasi debu yang mengandung basil tubercolusa (air bone infection) Seseorang yang melakukan kontak erat dalam waktu yang lama dengan penderita tubercolusis paru akan mudah tertular karena menginhalasi
udara
yang
telah
terkontaminasi
kuman
tubercolusis (Depkes RI, 2002). 2.
Penatalaksanaan TBC a.
Pengertian Pengobatan adalah suatu proses ilmiah (scientific process) dimana pengambilan-pengambilan setiap keputusan terapi selalu dibutuhkan pengetahuan, keahlian dan banyak pertimbangan professional secara cermat untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal atau maksimal dengan resiko sekecil mungkin untuk
13
penderita/pasien. Pengobatan tuberkulosis adalah eradikasi cepat M. tuberculosis,
mencegah
resistensi,
dan
mencegah
terjadinya
komplikasi (Smeltzer & Bare, 2001). b.
Aktivitas obat 1) Aktivitas bakteresid Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakteresid biasanya diukur dari kecepatan membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan permulaan pengobatan). 2) Aktivitas sterilisasi Disini
obat
bersifat
pertumbuhannya
lambat
membunuh
kuman-kuman
(metabolismenya
kurang
yang aktif).
Aktivitas sterilisasi diundur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan (Soeparman dan Sarwono, 1999). c.
Jenis Obat Pengobatan
dengan
strategi
DOTS
(Direct
Obseved
Treadment Short Course) dipermudah dengan pengadaan obat yang telah dipadukan sesuai dengan kategori tersendiri : 1) Obat primer (obat anti tubercolusis tingkat satu) a) Isoniasid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakteresid, dapat membunuh 90% populasi dalam beberapa hari pertama pengobatan.
14
Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolisme
aktif,
yaitu
pada
saat
kuman
sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan adalah 5 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3kali seminggu dengan dosis 10 mg\kg BB. b) Rifampisin (R) Bersifat bakteresid, dapat membubuh kuman yang persisten (dortmant) yang tidak dapat dibunuh oleh Isonasid. Dosis 10 mg\kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. c) Pirazinamid (Z) Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang berada didalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg\kg BB. d) Streptomisin (S) Bersifat bakteresid, dengan dosis harian yang dianjurkan 15 mg\kg BB, sedangkan pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr\hari, sedangkan untuk umur sampai 60 tahun lebih dosisnya 0,50 gr\hari.
15
e) Ethambutol (E) Bersifat
sebagai
bakteriostatik.
Dosis
harian
yang
dianjurkan 15 mg\kg Bbsedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg\kg BB. 2) Obat sekunder (Anti tubercolusis acid) a) Kanamisin b) PAS (Para Amina Salictylic Acid) c) Tiasetason d) Etionamid e) Protionamid f)
Sikloserin
g) Viomisin h) Kapreomisin i)
Amikosin
j)
Oflokasin
k) Siproflokasin l)
Norfloksasin
m) Klofazimn (Soeparman dan Sarwono, 1990). 3) Efek Samping Obat a) Efek samping berat Yaitu efek samping yang dapat menyebabkan sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan
16
dan penderita harus dirujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) spesialistik. b) Efek samping ringan Yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obatobat simtomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan. 4) Tahap Pengobatan Tahap intensif (initial phase), selama 1-3 bulan dengan memberikan 4-5 macam obat anti tubercolusis per hari dengan tujuan : a) Mencegah keluhan dan mencegah efek samping lebih lanjut. b) Mencegah timbulnya resistensi obat. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin salama 2 bulan. Bila pengobatan tahap intensif ini diberikan secara tepat, biasanya penderita menular jadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tubercolusis paru BTA positif menjadi negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
17
Pengawasan ketat pada tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Tahap lanjutan (continuation phase), selama 4-6 bulan dengan hanya memberikan 2 macam obat, 3 kali seminggu dengan tujuan : a) Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi) b) Mencegah kekambuhan (relaps) Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu selama 4-6 bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten untuk mencegah terjadinya kekambuhan. 5) Evaluasi Pengobatan Klinis biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai
akhir pengobatan.
Secara klinis
hendaknya terdapat perbaikan keluhan pasien seperti batukbatuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah dan berat badan bertambah. a) Bakteriologis Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negative. Pemeriksaan kontrol sputum dilakukan sekali sebulan. Bagi pasien BTA positif setelah tahap intensif akan mendapatkan pengobatan ulang. Bila
18
sudah negative, sputum diperiksa tiga kali berturut-turut dan harus di kontrol agar tidak terjadi “silent bacterial shedding” yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tubercolusis yang relevan pada kasuskasus 3 kali pemeriksaan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh. b) Radiologis Evaluasi radiologi juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Dengan pemeriksaan radiologi dapat dilihat keadaan tubercolusis parunya atau adanya penyakit lain
yang menyertainya.
Karena
perubahan
gambar
radiologi tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali. Pemantauan kemajuan pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS), pemeriksaan bisa dikatakan negative jika hasil kedua specimen negative, sedangkan bisa dikatakan positif bila salah satu atau kedua specimen positif. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan pada akhir tahap intensif, sebulan sebelum akhir pengobatan dan 1 minggu sebelum akhir pengobatan (bulan ke 6).
19
6) Hasil Pengobatan a) Sembuh Penderita
dikatakan
sembuh
bila
telah
menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan dahak 2 kali selama pengobatan negative. b) Pengobatan lengkap Adalah
penderita
yang
telah
menyelesaikan
pengobatan lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan dahak negative. c) Meninggal Adanya penderita yang dalam massa penggobatan diketahui meninggal karena sebab apapun. d) Pindah Adanya penderita yang pindah berobat ke daerah atau kabupaten/kota lain. e) Default Penderita
yang
tidak
kontrol
atau
terlambat
mengambil obat 2 minggu berturut-turut atau lebih sebelum massa pengobatanya selesai. f)
Gagal Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan.
20
d. Pembedahan Dilakukan jika pengobatan tidak berhasil, yaitu dengan mengangkat jaringan paru yang rusak, tindakan ortopedi untuk memperbaiki kelainan tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulomatosa tuberkulosis atau untuk reseksi bagian paru yang rusak. e. Pencegahan Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberkulosis, mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi adekuat, minum susu yang telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis virulen. 3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penatalaksanaan TBC Faktor-faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan TBC menurut Amira (2005) adalah sebagai berikut : a.
Faktor Sarana 1) Tersedianya obat yang kontinyu Ketersediaan obat adalah tersedianya obat yang cukup ketika
responden
menyebabkan
membutuhkan
tertundanya
obat,
pengobatan
pengobatan sebelum periode berobat habis.
sehingga atau
tidak
terputusnya
21
2) Dedikasi petugas pelayanan kesehatan yang baik Dedikasi
petugas
adalah
kesiapan
petugas
dalam
mengorbankan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan pengobatan penderita TB paru. 3) Pemberian regimen OAT yang adekuat Pemberian regimen OAT yang adekuat adalah obat yang diberikan kepada penderita TB paru dengan BTA positif adalah OAT (obat anti tuberculosis) yang telah diprogramkan dalam pelaksanaan pengobatan dan dilengkapi panduan OAT yang dikemas dalam bentuk blister kemasan harian kombipak (paket kombinasi), dari kombipak I, kombipak II untuk fase awal dan kombipak III untuk fase lanjutan. b.
Faktor Pengetahuan Penderita 1) Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat. 2) Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup istirahat, hidup teratur, dan tidak minum alkohol atau merokok. 3) Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan sapu tangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari.
22
4) Tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar. 5) Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh. c.
Faktor Dukungan Keluarga Berdasarkan peraturan pemerintah No. 21 Tahun 1994 fungsi keluarga dibagi menjadi delapan jenis, yaitu fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Apabila fungsi keluarga terlaksana dengan baik, maka dapat diharapkan terwujudnya keluarga yang sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kehidupan spiritual, dan materiil yang layak. 1) Arti dan Kedudukan Keluarga dalam Kesehatan Keluarga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesehatan. Adapun arti dan kedudukan keluarga dalam kesehatan adalah sebaga berikut : a) Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dan melibatkan mayoritas penduduk, bila masalah kesehatan setiap keluarga dapat diatasi maka masalah kesehatan masyarakat terselesaikan.
secara
keseluruhan
akan
dapat
turut
23
b) Keluarga sebagai suatu kelompok yang mempunyai peranan mengembangkan, mencegah, mengadaptasi, dan atau memperbaiki masalah kesehatan yang diperlukan dalam keluarga, maka pemahaman keluarga akan membantu memperbaiki masalah kesehatan masyarakat. c) Masalah kesehatan lainnya, misalnya ada salah satu anggota keluarga yang sakit akan mempengaruhi pelaksanaan fungsi-fungsi yang dapat dilakukan oleh keluarga tersbut yang akan mempengaruhi terhadap pelaksanaan fungsifungsi masyarakat secara keseluruhan. d) Keluarga adalah pusat pengambilan keputusan kesehatan yang penting, yang akan mempengaruhi keberhasilan layanan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. e) Keluarga sebagai wadah dan ataupun saluran yang efektif untuk melaksanakan
berbagai
upaya
dan
atau
menyampaikan pesan-pesan kesehatan. 2) Prinsip Intervensi Keluarga dengan TBC Langkah-langkah dalam pengembangan rencana kedokteran keluarga menurut Mubarak (2006), yaitu : a) Bantu keluarga mengenal tentang TBC dengan cara : jelaskan pengertianTBC, jelaskan penyebab TBC, jelaskan tanda dan gejala TBC.
24
b) Bantu keluarga mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TBC, dengan cara : jelaskan komplikasi dari TBC, motivasi keluarga dalam mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TBC. c) Bantu keluarga agar mampu merawat anggota keluarga dengan TBC, dengan cara : jelaskan cara mencegah TBC, jelaskan cara perawatan anggota keluarga di rumah dengan TBC, ajarkan cara membuang sputum dengan sputum pot, ajarkan klien tentang diet tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP). d) Bantu keluarga memodifikasi lingkungan dengan cara : ajarkan klien untuk jemur kasur bekas penderita secara teratur 1 minggu 1x, Buka jendela lebar-lebar agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, ajarkan klien tentang perilaku hidup bersih dan sehat. e) Bantu klien untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan dengan cara : jelaskan manfaat dari pelayanan kesehatan, motivasi keluarga
untuk
memanfaatkan pelayanan
kesehatan
terdekat. Upaya pencegahan dan pengobatan penderita TB Paru selain bertujuan
mengobati
juga
mencegah
kematian,
mencegah
kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Untuk mendukung keberhasilan pengobatan
25
diperlukan
peran
anggota
keluarga
untuk
mengawasi
dan
memastikan penderita TBC minum obat dengan teratur dan benar, strategi ini dikenal dengan (Directly Observed Treatments) DOTS (Nova, 2005). Menurut Ganster, dkk (1991) sumber-sumber dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, serta orang dekat disekitarnya. Apabila penderita TB tidak memperoleh dukungan sosial, maka ia akan mengalami kebingungan, merasa tidak mempunyai sandaran untuk mengatasi permasalahannya. Keadaaan yang demikian tentu akan berdampak negatif pada penderita dan akan tercermin pada ketidak patuhan penderita terhadap program pengobatan.
B. Kerangka Teori Tuberculosis (TBC) 1. Definisi 2. Gejala 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TBC 4. Pemeriksaan diagnostik 5. Cara penularan 6. Konsep pengobatan
Pasien TBC Faktor-faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan pasien TBC 1. Faktor Sarana 2. Faktor Pengetahuan Penderita 3. Faktor Dukungan Keluarga
Bagan 2.1. Keranga Teori
26
C. Kerangka Konsep Variabel Bebas
Variabel Terikat
Faktor Sarana (Tersedianya Obat)
Faktor Penderita (Pengetahuan)
Penatalaksanaan dalam Pengobatan Pasien TBC
Faktor Keluarga (Dukungan)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TBC : 1. Sumber infeksi 2. Jumlah basil penyebab infeksi harus cukup 3. Virulensi yang tinggi 4. Daya tahan tubuh menurun
Bagan 2.2. Keranga Konsep Keterangan : : Variabel yang diukur : Variabel yang tidak diukur
D. Hipotesa Penelitian Ha 1
: Ada hubungan antara faktor sarana dengan penatalaksanaan pengobatan penyakit TBC di Puskesmas Nusawungu I.
Ha 2
: Ada hubungan antara faktor penderita dengan penatalaksaaan dalam pengobatan penyakit TBC di Puskesmas Nusawungu I.
Ha 3
: Ada hubungan antara faktor keluarga dengan penatalaksanaan dalam pengobatan penyakit TBC di Puskesmas Nusawungu I.
27
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif korelasi dengan pendekatan kuantitatif, yang meneliti suatu kejadian yang sedang berlangsung untuk melihat keterkaitan antara faktor sarana, faktor penderita dan faktor keluarga dengan Penatalaksanaan dalam Pengobatan penyakit TBC.
Metode
deskriptif
korelatif
yaitu
metode
yang
berusaha
menggambarkan kondisi yang sudah terjadi. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambarkan kondisi sekarang dalam konteks kuantitatif yang direfleksikan dalam variabel (Nazir, 2003). Rancangan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan
cross
sectional
yaitu
penelitian
yang
diarahkan
untuk
mendeskripsikan atau menguraikan keadaan tertentu dalam suatu populasi (Notoatmodjo, 2005).
B. Populasi dan Sampel Penelitian 1.
Populasi Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini populasinya adalah semua pasien TBC di Puskesmas Nusawungu I sebanyak 34 orang.
27
28
2.
Sampel a.
Prosedur Pemilihan Sampel Prosedur pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah metode total sampling. Total sampling adalah suatu cara pengambilan sampel dimana seluruh populasi diambil menjadi sampel (Notoatmodjo, 2005). Kriteria pemilihan sampel dalam penelitian ini meliputi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu : 1) Kriteria Inklusi a) Pasien TBC di Puskesmas Nusawungu I b) Bisa membaca dan menulis c) Bersedia menjadi responden 2) Kriteria Eksklusi a) Pasien TBC yang tidak berobat di Puskesmas Nusawungu I
b.
Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah elemen-elemen populasi yang dipilih atas dasar kemampuan mewakilinya (Sugiyono, 2007). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 34 orang.
29
C. Tempat dan Waktu Penelitian 1.
Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Nusawungu I.
2.
Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni s.d. Juli tahun 2012.
D. Variabel Penelitian Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau pengukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2005). a.
Variabel Independen (Variabel Bebas) Adalah variabel yang mempengruhi variabel terikat, variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor sarana, faktor pengetahuan penderita dan faktor dukungan keluarga.
b.
Variabel Dependen (Variabel Terikat) Adalah variabel yang dipengaruhi variabel bebas, variabel terikat dalam penelitian ini adalah Penatalaksanaan dalam Pengobatan penyakit TBC di Puskesmas Nusawungu I.
30
E. Definisi Operasional Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel berdasarkan karakteristik yang diamati ketika melakukan pengukuran sacara cermat terhadap suatu objek atau fenomena dengan menggunakan parameter yang jelas (Hidayat, 2007). Tabel 2. Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional
Alat ukur
Faktor Sarana
Tersedianya obat, dedikasi petugas kesehatan dan pemberian regiman OAT yang adekuat
Kuesioner
Faktor Pengetahuan Penderita
Pengetahuan penderita tentang penyakit, menjaga kesehatan, menjaga kebersihan, berpikir positif , kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh Dukungan keluarga dalam proses penyembuhan penyakit TBC
Kuesioner
Suatu proses ilmiah dimana pengambilanpengambilan setiap keputusan terapi selalu dibutuhkan pengetahuan, keahlian dan banyak pertimbangan professional secara cermat untuk mencapai hasil
Jadwal Pengobatan
Faktor Dukungan Keluarga
Penatalaksanaan pengobatan pasien TBC
Kuesioner
Penilaian
Skala
1. Baik 76 – 100% 2. Cukup Baik 56 – 75% 3. Kurang Baik 40 – 55% 4. Tidak Baik < 40% 1. Baik 76 – 100% 2. Cukup Baik 56 – 75% 3. Kurang Baik 40 – 55% 4. Tidak Baik < 40% 1. Mendukung 76 – 100% 2. Cukup mendukung 56 – 75% 3. Kurang mendukung 40 – 55% 4. Tidak mendukung < 40% 1. Sesuai Tahap intensif (initial phase), selama 1-3 bulan dengan memberikan 4-5 macam obat anti tubercolusis per hari. Tahap lanjutan (continuation phase), selama 46 bulan dengan
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Nominal
31
Variabel
Definisi Operasional pengobatan yang optimal atau maksimal dengan resiko sekecil mungkin untuk penderita/pasien
Alat ukur
Penilaian
Skala
hanya memberikan 2 macam obat, 3 kali seminggu. 2. Tidak Sesuai Tidak melaksanakan pengobatan pada tahap intensif dan tahap lanjutan secara lengkap.
F. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode kuesioner. Metode kuesioner yaitu suatu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir (Setiadi, 2007). Data berdasarkan cara memperolehnya dibagi menjadi 2, yaitu : 1.
Data Primer Data primer yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang diambil langsung dari responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2005). Data primer pada penelitian ini meliputi faktor penderita, faktor sarana dan faktor keluarga dalam Penatalaksanaan dalam Pengobatan penyakit TBC.
2.
Data Sekunder Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang berupa sumber informasi yang bukan dari tangan pertama dan bukan yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap
32
informasi / data tersebut (Notoatmodjo, 2005). Data sekunder dalam penelitian ini yaitu jumlah pasien TBC yang dirawat di Puskesmas Nusawungu I pada bulan Januari s.d Maret 2012. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara peneliti membagi kuesioner
kepada pasien TBC. Sebelum mengisi kuesioner,
responden diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat penelitian ini dan kesediaan calon responden untuk menjadi responden. Setelah responden menyatakan setuju, yang ditunjukan dengan pengisian informed consent (persetujuan menjadi responden), kemudian responden diberi pengarahan tentang cara pengisian kuesioner. Responden diminta untuk mengisi kuesioner sendiri tanpa mewakilkan atau meminta pendapat orang lain. 1. Uji Validitas Alat penelitian yang digunakan sebelumnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat tingkat kevalidan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid berarti memiliki validitas tinggi (Arikunto, 2002). Rumus yang digunakan dalam uji validitas dalam penelitian ini adalah korelasi product moment dari Karl Pearson. Adapun rumus product moment dapat ditunjukan sebagai berikut : r=
{
∑
(∑
) (∑
(∑ ) } {
∑ )
∑
(∑ ) }
Keterangan : R : Koefisien validitas item yang dicari N : jumlah responden X : Jumlah skor tiap butir Y : Jumlah skor tiap butir
33
Ketentuan soal dikatakan valid, jika nilai r hitung > r tebel pada taraf signifikansi 5%, dan nilai p < 0,05 (Syarifudin, 2002). Dari hasil uji validitas yang telah dilakukan di Puskesmas Nusawungu II didapatkan r hitung faktor sarana adalah 0,504 – 0,938 > 0,361, r hitung faktor pengetahuan 0,472 – 0,921 > 0,361, r hitung faktor dukungan keluarga 0,577 – 0,933 > 0,361 dan r hitung penatalaksanaan 0,508 – 0,858 > 0,361. Karena r hitung pada masing-masing variabel lebih dari r tabel maka kuesioner ini dinyatakan valid untuk dijadikan sebagai instrumen penelitian. 2. Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2005). Keputusan uji : Bila r hitung lebih dari r tabel maka variabel valid sedangkan bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka variabel tidak valid. Setelah semua pertanyaan dinyatakan valid kemudian dilakukan uji realiabilitas yaitu untuk melihat tingkat konsistensi suatu instrumen. Salah satu metode pengujian realibilitas adalah dengan metode Alpha - Cronbach. Standar yang digunakan dalam menentukan reliabel dan tidaknya suatu instrumen penelitian adalah perbandingan antara nilai r hitung dengan r tabel pada taraf kepercayaan 95% atau tingkat signifikansi 5%. Apabila r hitung lebih besar dari pada r tabel dan Alpha hitung bernilai positif, maka suatu instrumen dapat disebut reliabel.
34
Hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan di Puskesmas Nusawungu II didapatkan hasil untuk reliabilitas faktor sarana adalah 0,941, faktor pengetahuan 0,944, faktor dukungan keluarga 0,926 dan penatalaksanaan 0,839, maka dapat disimpulkan bahwa semua variabel dalam kuesioner ini telah reliabel untuk dijadikan alat penelitian karena nilai alpha cronbach’s adalah positif.
G. Teknik Analisis Data 1.
Teknik Pengolahan Data Pada penelitian ini pengolahan data menggunakan langkahlangkah sebagai berikut: a.
Editing Dilakukan proses pemeriksaan penelitian data di lapangan sehingga dapat menghasilkan data yang akurat. Dengan melakukan pemeriksaan data yang telah masuk, apakah ada kekeliruan dalam pengisian, penulisan tidak lengkap, palsu, tidak sesuai dan sebagainya.
b.
Coding Melakukan pengkodean data untuk memudahkan dalam penafsiran serta menarik kesimpulan dari data yang ada. Dengan memberikan tanda atau kode bagi tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama.
35
c.
Scoring Memberikan nilai pada setiap pertanyaan yang diajukan untuk menganalisa data. Setelah data diperoleh dan dilakukan pengkodean selanjutnya yang dilakukan adalah pensekoran tiap item soal, dengan memberikan nilai pada setiap jawaban.
d.
Tabulating Mengelompokkan data ke dalam suatu data tertentu menurut sifat-sifat yang dimiliki sesuai tujuan penelitian. Dilakukan dengan mengelompokkan jawaban-jawaban yang serupa dengan cara teliti dan teratur kemudian dihitung dan dijumlahkan berapa banyak peristiwa atau gejala atau item yang termasuk dalam satu kategori.
2.
Analisis Data a.
Analisa Univariat Analisa univariat adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi dari populasi masing-masing variabel (Arikunto, 2002). Analisis univariat dari penelitian ini adalah setiap responden diukur pengetahuan tentang faktor penderita, faktor sarana dan faktor keluarga dengan kuesioner dibuat prosentase dengan rumus. Perhitungan prosentase menurut Arikunto (2002), dengan menggunakan rumus : P
X x 100% N
36
Keterangan: P X N b.
= Prosentase = Jumlah sampel dengan kriteria tertentu = Jumlah sampel
Analisa Bivariat Untuk menguji hipotesis menggunakan teknik analisa statistik dengan rumus Chi-square. Peneliti akan menggunakan analisa ini untuk faktor-faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan dalam pengobatan penyakit TBC. Hasil yang diperoleh tabel kontingensi diterapkan dengan menggunakan perhitungan secara manual dalam rumus Chi-square, yaitu : =
∑( − )
Keterangan: x2 : Chi-square O : Frekuensi observasi E : Frekuensi harapan Hipotesa penelitian : x2 hitung < x2 tabel
: Tidak ada pengaruh antara faktor penderita, faktor sarana dan faktor keluarga terhadap Penatalaksanaan dalam Pengobatan penyakit TBC di Puskesmas Nusawungu I.
x2 hitung > x2 tabel
: Ada pengaruh antara faktor penderita, faktor sarana
dan
faktor
keluarga
terhadap
Penatalaksanaan dalam Pengobatan penyakit TBC di Puskesmas Nusawungu I.
37
H. ETIKA PENELITIAN Penelitian akan di lakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari institusi pendidikan kemudin mengajukan permohonan ijin kepada tempat penelitian dengan menekankan masalah prinsip dan etik yang meliputi: 1.
Prinsip Manfaat a.
Bebas dari penderitaan, atrinya dalam penelitian ini tidak menggunakan tindakan yang dapat menyakiti atau membuat responden menderita.
b.
Bebas dari eksploitasi, atrinya data yang diperoleh tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan responden.
2.
Prinsip menghargai hak a.
Inform Consent Sebelum dilakukan pengambilan dan penelitian, calon responden diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka calon responden harus menandatangi lembar persetujuan tersebut, dan jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya.
b.
Anonyimity Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam pengolahan data penelitian. Peneliti akan menggunakan nomor atau kode responden.
38
c.
Confidientiality Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.