BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan Leptospirosis adalah directzoonosis yang disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral dinamakan Leptospira (Levett, 2001; Bharti et al., 2003; McBrideet al., 2005). Penyakit ini dikenal dengan berbagai sebutan seperti autumnal fever, field fever, infectious jaundice, mud fever, slime fever (Shlamn fieber), swamp fever. Disebut pula sebagai penyakit "Weil's disease", sebagai penghargaan kepada penemu pertama Leptospira yaitu Adolf Weil di Heidelberg pada tahun 1870 (Levett, 2001; Bharti et al., 2003; Matthias et al., 2008). Leptospirosis terjadi di seluruh dunia dengan lebih dari 500.000 kasus pada manusia tertular setiap tahunnya dengan angka kematian 23% (Organization, 2003), sebagian besar terjadi di daerah tropik dan subtropik dengan curah hujan yang tinggi (Faineet al., 1999; Slacket al., 2006). Penularan penyakit ini dapat melalui kontak langsung dengan air kencing dan cairan tubuh hewan yang terinfeksi, atau melalui kontak tidak langsung dengan lingkungan air dan tanah yang terkontaminasi Leptospira (Levett, 2001; McBride et al., 2005; Matthias et al., 2008). Michna(1970) dan Faine, et al.(1999), mengungkapkan bahwa urin hewan yang terinfeksi Leptospiraatau karier sehat dapat mencemari lingkungan air, tanah, rumput, air minum dan pakan. Leptospira yang hidup dalam ginjal dan urin merupakan sumber infeksi apabila reservoir mengeluarkan urin di lingkungan air
atau tanah (Chappel et al., 1998; Geisen et al., 2007; Zakeri et al., 2010). Leptospira juga dapat hidup sampai beberapa bulan di air dan berperan penting sebagai sumber penularan leptospirosis. Lingkungan optimal untuk Leptospira hidup dan berkembangbiak pada suasana lembab, suhu sekitar 25°C, serta pH mendekati netral (±7). Kondisi udara yang kering, sinar matahari yang kuat, serta pH di luar kisaran 6.2–8.0 merupakan suasana yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan pertumbuhan Leptospira (Faine, 1982; Levett, 2001; Widarso, 2003). Reservoir yang berperan penting bagi infeksi Leptospira ke manusia adalah hewan pengerat terutama tikus. Meskipun anjing, babi, sapi, kuda, kucing, kelinci, kelelawar, tupai, musang juga dapat berperan sebagai reservoir (Widarso et al., 2005). Hal senada diungkapkan oleh Lestariningsih (2002). Potensi reservoir lain dalam menularkan leptospirosis ke manusia tidak sebesar tikus. Lebih jauh Barcellos et al. (2001) melaporkan bahwa sebaran kasus leptospirosis terkonsentrasi pada daerah yang terdapat tikus, serta daerah dengan pengelolaan tempat sampah kurang baik dan kondisi sanitasi buruk. Tikus merupakan reservoir liar. Keberadaan di habitatnya dipengaruhi oleh keanekaragaman vegetasai, makanan dan sampah (Gambiro & Wahyuni, 2005). Sudarmajiet al. (2007) menerangkan, bahwa vegetasi dapat memengaruhi keberadaan tikus sebagai habitat, tempat persembunyian, atau tempat mencari makan. Kelahiran tikus sawah banyak terjadi pada musim tanam ubi jalar, kacang tanah, bengkuang, ubi kayu, kedelai, jagung serta adanya sisa makan di sampah. Tikus merupakan reservoir dengan leptospirosis kronik. Infeksi ini ditularkan dari tikus ke tikus lain melalui kontak langsung saat umur muda ataupun dewasa.
Menurut Rejeki (2005), Leptospira khususnya spesies Icterohaemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Bandicota indica) dan tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan Ballum menyerang tikus kecil (Mus musculus). Tikus yang diduga memunyai peranan penting pada kejadian leptospirosis adalah R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus dan R.exulans. Lebih lanjut Gambiro & Wahyuni (2005) menyebutkan, hasil Microscopic Agglutination Test (MAT) dari sampel tikus rumah (Rattus tanezumi) dan tikus got (Rattus norvegicus) diperoleh L.intterogans serovar Autumnalis dan L. intterogans serovar Icterohaemorrhagiae yang patogenik. Genus Leptospira termasuk dalam Ordo Spirochaetales dan family Leptospiraceae. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, Leptospira dapat dikelompokan kedalam Leptospira patogenik dan Leptospira saprofit (Levett, 2001; Matthias et al., 2008). Kositanont et al. (2007) telah mengembangkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk deteksi awal dan membedakan Leptospira patogenik dan saprofit dengan sensitivitas (98,6%), spesifisitas (100%), dan lebih baik dibandingkan metode PCR yang telah dilakukan Murgia et al. (1997) dan Woo et al. (1997). Lebih jauh Levett et al. (2005) telah menggunakan real-time PCR (RT-PCR) untuk deteksi Leptospira patogenik berdasarkan enam serovar. Pemeriksaan laboratorium dengan MAT dan uji serologi lain memiliki kelemahan dibandingkan PCR (Faineet al., 1999; Levett et al., 2005). Mikroskop medan gelap tidak dianjurkan untuk melihat Leptospira langsung, karena membutuhkan lebih dari 104 sel/ml (Vijayachari et al., 2001) dan memerlukan teknisi yang terampil
(Levett, 2001). Isolasi Leptospira menggunakan hewan uji masih sulit, memakan waktu, dan berpotensi tertular (Faine, 1982). Identifikasi Gen 16S rRNA dapat digunakan untuk membedakan Leptospira patogenik dan non patogenik. Identifikasi Leptospira berdasarkan gen 16S rRNA pernah dilakukan oleh Smythe et al. (2002); Morey et al. (2006); Thaipadungpanit et al. (2011); Rettinger et al. (2012); dan Boonsilp et al. (2013). Gen 16S rRNA merupakan bagian urutan basa nukleotida yang ada dalam organisme, dan bersifat ubikuitus yang untuknya dapat dirancang suatu primer universal sebagai penanda molekuler. Gen 16S rRNA memiliki daerah urutan basa yang relatif conserved (lestari) dan urutan basa variatif. Urutan basa yang relatif conserved dapat digunakan untuk mengkonstruksi pohon kekerabatan dan dapat menunjukkan hubungan kekerabatan. Urutan basa variatif dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Gen ini dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik (WHO, 2003; Collins et al., 2006;). Data leptospirosis di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul, Daerah Isitimewa Yogyakarta (DIY) selama periode 2009 – Juni 2013 menunjukkan kejadian di 62 dari 75 desa yang ada. Tahun 2009 terdapat sepuluh kejadian di dua desa, tahun 2010 ada 116 kejadian di 34 desa, kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi 154 kejadian di 51 desa, tahun 2012 ada 48 kejadian di 27 desa, serta data terakhir sampai Juni 2013 ada 51 kejadian di 24 desa (Dinkes, 2013). Leptospirosis banyak menginfeksi para petani, buruh tani dan pencari belut yang beraktivitas di sawah atau ladang (Murtiningsih, 2003; Agustini, 2011). Faktor
lingkungan yang berperan dalam penularan Leptospira seperti genangan air, sawah dan semak-semak atau rumput basah serta hewan reservoir khususnya tikus yang terinfeksi infeksi (Tunissea, 2008; Anieset al., 2009). Hasil penyelidikan kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis di Kabupaten Bantul Tahun 2010 yang dilakukan Syamsumin et al. (2010), diketahui bahwa KLB terjadi karena terpapar air saluran irigasi/sungai/kolam, adanya tikus di lingkungan kerja, pekerjaan sebagai petani/buruh tani, membersihkan kotoran dan hewan ternak di rumah. Hal ini didukung oleh kondisi geografi Kabupaten Bantul yang sebagian besar lahannya (57,4%) merupakan lahan pertanian seperti persawahan, perkebunan dan tegalan, serta terdapat kolam, empang dan rawa, dengan curah hujan rata-rata 11 hari setiap bulan. Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia maupun hewan yang disebabkan kuman Leptospira. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembaban tinggi, khususnya di negara berkembang, karena kesehatan lingkungan kurang diperhatikan terutama pembuangan sampah. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insidensi leptospirosis tinggi dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas (WHO, 1999; Bharti et al., 2003; Adler et al., 2010). Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit, selaput lendir mata dan hidung. Kemudian menuju aliran darah dan menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Leptospira cepat hilang dari darah karena adanya aglutinasi, setelah fase leptospiremia selama 4-7 hari. Leptospira hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal selama 1-4 minggu (WHO, 2003). Menurut Levett (2001), mekanisme yang terlibat dalam patogenesis leptospirosis seperti invasi bakteri langsung dan saat kuman masuk ke ginjal. Leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada berbagai organ. Leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus renal dan lumen tubular. Migrasi Leptospira menyebabkan nefritis interstisial dan nekrosis tubular. Gagal ginjal terjadi akibat kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul berkerjasama dengan Puskesmas dan Rumah Sakit melalui sistem surveilans telah melakukan penjaringan kasus dan pengobatan pada penderita leptospirosis. Pencegahan dan pengendalian melalui pemasangan perangkap untuk menangkap tikus serta pemberian lysol di lingkungan juga sudah dilakukan, namun belum menunjukkan hasil optimal. Begitu juga dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan pengendalian reservoir khususnya tikus belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam pengendalian leptospirosis (Dinkes, 2012). Peta sebaran Leptospira berdasarkan deteksi dan variasi genetik Leptospira pada tikus, air dan tanah di Kabupaten Bantul DIY belum banyak diketahui. Kajiankajian yang dilakukan selama ini masih banyak terkait pada faktor risiko lingkungan, aktivitas manusia. Kajian belum berfokus pada kuman Leptospira sebagai sumber infeksi. Selama ini, prediksi hubungan antara tikus positif Leptospira dengan kondisi lingkungan belum dilaporkan. Beberapa penelitian yang terkait dengan kuman Leptospira sebagai sumber infeksi antara lain, penelitian yang dilakukan Li et al.
(2013), diketahui bahwa Leptospira khususnya serovar Icterohaemorrhagiae menyerang pada beberapa jenis tikus wirok dan tikus rumah, Sedangkan Ballum menyerang tikus kecil (Mus musculus). Menurut Levett & Haake (1998); Barocchi et al. (2001); dan Aviat et al. (2009), kejadian leptospirosis pada tikus bervariasi antara 16.00% sampai 34,78%, dan pada mencit (Mus musculus) terinfeksi Leptospira sebesar 28,2%. Tikus terinfeksi Leptospira yang ada di dalam atau sekitar rumah merupakan sumber infeksi leptospirosis, dan dapat mengkontaminasi lingkungan air dan tanah (Barcellos & Sabroza, 2001; Urmimala, 2002; Morgan et al., 2002; Murtiningsih, 2003; Rejeki, 2005; Suratman, 2006; Handayani & Ristiyanto, 2008). Leptospira dalam ginjal merupakan sumber infeksi apabila reservoir mengeluarkan urin ke lingkungan air atau tanah (Chappel et al., 1998; Geisen et al., 2007; Zakeri et al., 2010). Menurut Michna (1970) dan Faine, et al. (1999), urin hewan yang terinfeksi Leptospira atau karier sehat dapat mencemari lingkungan air, tanah, rumput, air minum dan pakan. Keberadaan tikus sebagai sumber Leptospira di lingkungan didukung faktor vegetasi, sampah, genangan air, suhu dan kelembaban (Christovam Barcellos & Sabroza, 2001; Rejeki, 2005; Priyanto et al., 2008). Tikus, air dan tanah yang terkontaminasi Leptospira merupakan sumber infeksi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap penegakan diagnosis dan usaha pengendalian leptospirosis. Sebaran Leptospira berhubungan dengan aspek epidemiologi dan geografi suatu wilayah. Analisis aspek epidemiologi apabila dikombinasikan dengan aspek geografi di suatu wilayah dapat digunakan untuk mengetahui distribusi spasial sebaran Leptospira (Melani, 2010). Teknologi Sistem
Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan dalam menganalisis spasial pola sebaran Leptospira, dan hasil analisis menggunakan SIG dapat digunakan untuk menentukan cara pengendalian kejadian leptospirosis secara optimal (Prahasta, 2005; Lai et al., 2009). Penelitian kejadian leptospirosis terkait dengan epidemiologi dan geografi telah banyak dilakukan diantaranya Tassinari et al. (2008) dan Melani (2010), bahwa sepanjang tahun sebaran kasus leptospirosis cenderung mengikuti pola aliran sungai, dan dengan curah hujan yang tinggi terjadi perpindahan sebaran kasus leptospirosis ke daerah banjir dengan sarana higiene santasi yang kurang baik. Menurut Sunaryo (2009) cluster sebaran kasus leptospirosis terjadi berdasarkan kondisi lingkungan yang kumuh dan tempat pembuangan sampah dengan jarak sebaran terdekat (point distance) antar kasus 9 m (0,009 km). Tunissea (2008) menunjukkan, bahwa badan air, suhu udara, intensitas cahaya, pH air dan tanah, vegetasi dan keberadaan tikus berhubungan dengan sebaran leptospirosis. Menurut Fuadi (2012), terdapat interaksi antara keberadaan tikus di rumah dengan kejadian leptospirosis pada sapi dan kejadian leptospirosis pada peternak, tetapi kejadian leptospirosis pada sapi tidak berhubungan secara bermakna terhadap kejadian leptospirosis pada ternak di Kabupaten Bantul. Kelompok seropositif Leptospira pada anjing cenderung memiliki cluster yang spesifik (Gautamet al., 2010).
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belang tersebut di atas, diketahui bahwa kejadian leptospirosis di Kabupaten Bantul, DIY dari tahun 2009 sampai tahun 2013 menunjukkan peningkatan jumlah penderita maupun luas wilayah, dengan Case
Fatality Rate (CFR) 7.8%. Orang dengan pekerjaan atau kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan berair, kontak dengan tikus ataupun hewan yang terinfeksi Leptospira berpotensi besar terinfeksi atau menderita leptospirosis. Terdapat beberapa indikator pendukung lingkungan sebagai sumber Leptospira, antara lain adanya tikus, vegetasi, genangan air dan tempat pengumpulan sampah yang kurang baik. Keberadaan Leptospira di tikus, air dan tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain adanya kontaminasi bakteri Leptospira oleh urin tikus, ada habitat tikus ditempat pemukiman, lingkungan kumuh, fasilitas tempat pembuangan sampah yang kurang terjaga, lingkungan dengan vegetasi yang mendukung keberadaan tikus, dan daerah persawahan atau rawa yang digenangi air dengan suhu, kelembaban, pH yang mendukung kehidupan Leptospira. Menurut Chappel et al. (1998); Geisen et al. (2007); dan Zakeri et al. (2010), Leptospira dalam ginjal dan urin merupakan sumber infeksi apabila reservoir tersebut mengeluarkan urin di air atau tanah. Lebih jauh Barcellos & Sabroza (2001) melaporkan bahwa sebaran kejadian leptospirosis terkonsentrasi pada daerah yang terdapat tikus, serta daerah dengan pengelolaan tempat sampah kurang baik dan kondisi sanitasi buruk. Mencegah leptospirosis dengan jalan pengendalian dan pemberantasan sumber infeksi pada tikus, air dan tanah bukanlah hal yang mudah. Jumlah populasi tikus yang terinfeksi Leptospira, sebaran Leptospira dilingkungan air dan tanah belum banyak diketahui. Pengendalian kejadian leptospirosis secara epidemiologi telah dilakukan di Kabupaten Bantul. Usaha pengendalian tersebut masih
berpedoman pada hasil analisis, kajian faktor risiko lingkungan, dan perilaku manusia. Namun belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Kejadian leptospirosis yang selalu ada dari tahun ketahun dan upaya pencegahan yang belum optimal, menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui ada tidaknya Leptospira di tikus, air dan tanah, 2) mengidentifikasi variasi gen 16S rRNA Leptospira di tikus, air dan tanah, 3) menganalisis hubungan keberadaan tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira dengan faktor vegetasi, sampah, kandang, genangan air, suhu, kelembaban dan pH, dan 4) menganalisis sebaran, clustering dan prediksi sebaran tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira di Kabupaten Bantul, DIY. Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ada Leptospira di tikus, air dan tanah di Kecamatan Bantul, Sedayu dan Sewon Kabupaten Bantul DIY? 2. Bagaimana variasi genetik 16S rRNA Leptospira di tikus, air dan tanah di Kecamatan Bantul, Sedayu dan Sewon Kabupaten Bantul DIY? 3. Bagaimana hubungan keberadaan tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira dengan faktor vegetasi, sampah, kandang, genangan air, suhu, kelembaban dan pH di Kecamatan Bantul, Sedayu dan Sewon Kabupaten Bantul DIY? 4. Bagaimana clustering dan prediksi sebaran sumber leptospira pada tikus, air dan tanah di Kecamatan Bantul, Sedayu dan Sewon Kabupaten Bantul DIY.
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui ada tidaknya Leptospira di tikus, air dan tanah. 2. Mengidentifikasi variasi genetik 16S rRNA Leptospira di tikus, air dan tanah 3. Menganalisis hubungan keberadaan tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira dengan faktor lingkungan 4. Menganalisis sebaran, clustering dan prediksi sebaran sumber Leptospira pada tikus, air dan tanah.
Keaslian dan Kedalaman Penelitian yang terkait dengan deteksi variasi gen 16S rRNA Leptospira, pada tikus, air dan tanah yang pernah dilakukan diantaranya seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Keaslian dan Kedalaman Penelitian Nama (1) Christovum Barcellos, Paulo Chagastelles Sabrosa (2001)
Berty Murtiningsih (2003)
Sitthisak Moukomla (2007)
Judul (2) The placebehind the case of leptospirosis risk &associated enviromental conditions in flood related outbreak in Rio de Janeiro Faktor risiko kejadian leptospirosis di Provinsi DIY dan sekitarnya
Use of GIS to Find the Risk Area of Leptospirosis, Nakornratchasri -ma, Thailand
Variabel yang diteliti (3) Kondisi pembuangan sampah Keberadaan populasi tikus Riwayat banjir
Desain (4) Kasus kontrol
Tempat Hasil (5) (6) Rio de Kejadian leptospirosis Janeiro, terjadi di perkotaan Brazilia dengan populasi penduduk padat, daerah banjir, pengelolaan sampah yang buruk, terdapat reservoir dan kondisi sanitasi yang buruk. Pekerjaan, memelihara Kasus DIY Faktor risiko yang hewan, keberadaan control berhubungan dengan tikus, kebiasaan mandi kejadian leptospirosis dan cuci di sungai, di Provinsi DIY adalah memancing, berenang, petani, kebiasaan pergi rekreasi air, kebiasaan ke sawah, mencari mencari belut dan belut/katak di sawah kebiasaan kesawah dan adanya tikus di rumah. Daerah Cross Thailand berdasarkananalisis terkenaleptospirosis sectional peta tematik, daerah dan potensial risiko Area risiko di leptospirosis lingkungan sekitarnya. dikelompokkan menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, sedikit, rendah.
Reis et al. (2008)
Impact of environment and social gradient on Leptospira infection in urban slums
Aglutinasi antibodi, bakteri/darah Epidemiologi SIG Sosial Ekonomi Kesehatan Urban
Survai
Salvador Berdasrkan survei Brasil SIG, Antibodi Leptospira pd penderita berhubungan dgn atribut lingkungan, status sosial ekonomi. Risko tertular Leptospira terkait dengan faktor-faktor lingkungan seperti rumah tangga, tinggal di daerah dengan selokan terbuka,adanya sampah, tikus dan ayam. Tunissea Analisis Spasial lingkungan abiotik cross Semaran Lingkungan biotik A.(2008) Faktor Risiko (Indeks Curah Hujan, sectional g Jawa berkorelasi terhadap Lingkungan Suhu, Kelembaban Tengah kejadian leptospirosis. pada Kejadian udara, Intensitas Badan air dan intensitas Leptospirosis di cahaya, pH air/ tanah, cahaya memberi kota Semarang. Badan air alami, kontribusi 99 % Riwayat banjir/ rob). terhadap kejadian Lingkungan biotik Leptospirosis. (Vegetasi,keberhasilan Keberadaan vegetasi, penangkapan tikus, prevalensi Leptospira dan prevalensi leptopada tikus berkorelasi spirosis).Keberadaan terhadap kejadian hewan piaraan sbagai Leptospirosis hospes perantara. Sunaryo (2009) Sistem Informasi Pemukiman area Cross Semarang Sebaran kasus Geografis untuk luasan banjir sectional leptospirosis Pemetaan dan ketinggian tempat didominasi anak-anak Penentuan Zona curah hujan tekstur dan remaja laki-laki. Kerawanan tanah indeks kerapatan Puncak fluktu-asi Leptospirosis di vegetasi temperature sebaran saat kemarau Kota Semarang kelembaban menjelang musim Peng-hujan. Zona kerawanan leptospirosis terkonsen-trasi pada rawan tinggi dan rendah Gautam et Spatial & spatio- Ruangdanwaktukelom Studi Amerika Seropositif Leptospira al.(2010) temporal cluster pokseroreactivitas kasus pada anjing cenderung of overall and serovarian Leptospira memiliki khas cluster serovar-specific anjing menggunakan dalam ruang & waktu. Leptospira MAT pemeriksaan MAT. Sebagai interaksi dari seropositivity kompleks insidental among dogs in the host, lingkungan dan United States reservoirbertanggung from 2000 jawab atas terjadinya through 2007 cluster serovar
Melani S.(2010)
Analisis Spasiotemporal kasus leptospirosis di kota Semarang
kondisi geografi yang rawan bencana banjir atau genangan air, curah hujan demografis
cross Semarang Leptospirosis sectional Jawa cenderung Tengah mengelompok di daerah dengan kepadatan penduduk yg tinggi dan mengikuti pola aliran sungai. Pada bulan curah hujan tinggi terjadi perpindahan pola sebaran ke daerah banjir.
Maria Agustini Lingkungan (2011) daerah endemis leptospirosis Desa Sumbersari, Kecamatan Moyudan Ka upaten Sleman Provinsi DIY
Lingkungan biotik dan cross DIY abiotik, social (prilaku) sectional
Tidak ditemukan Leptospira dari sampel lingkungan. pH air dan tanah 6,47–7,29. Suhu udara 25°C–27°C. Kelembaban 78% 85%. Curah hujan 115525mm Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis: 1. Sering beraktivitas di sungai/ sawah, 2. Tidak membersihkan diri dengan sabun setelah membersihkan sampah/got/empang/ke rja di sawah, 3. Sanitasi lingkungan kurang baik.
Lau et al., 2012 Leptospirosis in American Samoa estimating and mapping risk using environmental data.
Cross Samoa seropositifdan faktorrisiko tingkat sectional American individu(demografi, dan eksposurdi rumah, tempat kerja, dan selamarekreasi)
Faktor risiko lingkungan diantaranya: 1) hidup di bawah ketinggian rataratadalamsebuah desa, 2) hidup dilahan pertanian,3) hidup pada tanah lempung liat, dan Tiga faktor risiko yang diidentifikasi: 1) jenis kelamin, 2) risiko pekerjaan out- door dan pembersih ikan, 3) pengetahuan ttg leptospirosis yg kurang.
Maftuhah Nurbeti (2012)
Kasus-kasus leptospirosis perbatasan Kabupaten
Jarak rumah dengan Cross DIY di sawah, sungai dan sectional jalan, titik koordinat penderita leptospirosis,
Leptospirosis diperbatasan tidak menyebar melalui aliran sungai, tapi
Bantul, Sleman, curah hujan dan Kuloprogo, musim tanam. Analisis Spasial
pola
berhubungan dengan adanya aliran sungai. 1) Kasus tersebar pada wilayah distribusi lahan sawah, aliran sungai, dan curah hujan sedang. 2) Ada pengelompokan jarak rumahkasus dgn sawah, sungai, dan jalan. 3) Clusterterjadi di daerah yg dialiri sungai. 4) Tren kasus terjadi sesuai pola musim tanam dan musim hujan.
Hasil penelitian yang di publikasi tersebut masih menekankan faktor-faktor risiko lingkungan dan perilaku manusia terhadap kejadian leptospirosis. Variabel penelitian ini yang hampir sama dengan penelitian terdahulu diantaranya adalah Gautam et al. (2010) mengkhususkan seropositif Leptospira pada anjing dan penelitian dari Agustini (2011) mengidentifikasi Leptospira dari lingkungan melalui kultur. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada deteksi variasi gen 16S rRNA Leptospira dari sampel tikus, air dan tanah, dan menganalisis clustering dan prediksi sebaran tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira di Kabupaten Bantul, DIY. Sepanjang penelusuran literatur penelitian yang terkait dengan hal tersebut belum pernah dilakukan di wilayah DIY kususnya Kabupaten Bantul. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya ditampilkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya No
1.
Item Permasalahan
Deskripsi
Leptospirosis terjadi secara sporadis dan banyak menyerang petani, buruh serta pekerja yang kontak dengan tikus, air atau tanah yang terkontaminasi Leptospira. Leptospira di tikus, air dan tanah merupakan sumber infeksi yang selama ini belum banyak dikaji. Begitu juga dengan variasi gen dan prediksi sebaran Leptospira. Leptospira dapat dideteksi menggunakan PCR, sequencing digunakan untuk mengetahui variasi genetik, dan analisis pilogenetik untuk mengetahui hubungan kekerabatan. Faktor-faktor lingkungan apa saja yang berhubungan dengan sumber Leptospira pada tikus, air dan tanah. Penentuan titik koordinat lokasi sumber Leptospira di lingkungan dapat mengetahui clustering dan prediksi sebaran Leptospira.
2.
Tujuan Penelitian
a) Mendeteksi adanya Leptospira di tikus, air dan tanah. b) Mengidentifikasi variasi genetik 16S rRNA Leptospira di tikus, air dan tanah c) Menganalisis hubungan keberadaan tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira dengan faktor Lingkungan d) Menganalisis sebaran, clustering dan prediksi sebaran sumber Leptospira pada tikus, air dan tanah.
3.
Variabel yang diteliti Lokasi
Keberadaan tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira, Faktor-faktor lingkungan; vegetasi, sampah, kandang, genangan air, suhu, kelembaban, pH, dan geografi Kecamatan Bantul, Kecamatan Sedayu dan Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul DIY.
Kelebihan penelitian
Dapat mengidentifikasi Leptospira secara langsung menggunakan PCR. Mengetahui variasi genetik Leptospira dari tikus, air dan tanah. Mengetahui hubungan keberadaan tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira dengan faktor vegetasi, sampah, kandang, genangan air, suhu, kelembaban dan pH. Mengetahui clustering dan prediksi sebaran Leptospira di Kabupaten Bantul DIY.
4.
5
Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dan manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini; 1. Manfaat teoritis, dari penelitian ini akan terdeteksi dan diketahui variasi gen 16S rRNA Leptospira dari sampel tikus, air dan tanah di Kecamatan Bantul, Kecamatan Sedayu dan Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul DIY. Menjelaskan hubungan keberadaan tikus, air dan tanah sebagai sumber Leptospira dengan faktor vegetasi, sampah, kandang, genangan air, suhu, kelembaban dan pH. Serta menjelaskan clustering dan prediksi sebaran Leptospira di Kabupaten Bantul DIY. 2. Manfaat praktis, Leptospira yang terdeteksi pada tikus, air dan tanah di Kecamatan Bantul, Kecamatan Sedayu dan Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Yogyakarta akan memudahkan menentukan arah pengendalian. Peta sebaran, clustering dan prediksi sebaran Leptospira yang dihasilkan, diharapkan dapat digunakan sebagai acuan kebijakan yang tepat bagi instansi atau lembaga yang terkait. Sehingga usaha pencegahan dan pengendalian, untuk memutuskan rantai penularan Leptospira lebih optimal.