BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : “Food include all substances, whether in a
natural state or in a manufactured or preparedform, which are part of human diet.” Artinya adalah “Makanan termasuk semua zat, apakah dalam keadaan alami atau diproduksi atau disiapkan dari, yang merupakan bagian dari makanan manusia”. Batasan makanan tersebut tidak termasuk air, obat-obatan dan substansi-substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan (Christa, 2007). Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terpenting dan juga merupakan faktor yang sangat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Tetapi betapapun menariknya penampilan, lezat rasanya dan tinggi nilai gizinya, apabila tidak aman dikonsumsi, maka makanan tersebut tidak ada nilainya sama sekali (Winarno dan Rahayu, 1994). Keamanan makanan diartikan sebagai terbebasnya makanan dari zat – zat atau bahan – bahan yang dapat membahayakan kesehatan tubuh tanpa membedakan apakah zat itu secara alami terdapat dalam bahan makanan yang digunakan atau tercampur secara sengaja atau tidak sengaja ke dalam bahan makanan atau makanan jadi (Moehyi, 1992). Di Indonesia, peraturan mengenai bahan tambahan pangan yang diizinkan dan dilarang diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 (Cahyadi, 2009). Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan Tambahan Makanan (BTM) itu bisa
Universitas Sumatera Utara
memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Keberadaan BTM bertujuan membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, dengan rasa dan tekstur lebih sempurna. BTM bisa berfungsi sebagai pengawet, pewarna, penyedap maupun aroma pada berbagai jenis makanan dan minuman. Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional, termasuk penggunaan bahan tambahan pangan (Yuliarti, 2007). Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cita rasa, tekstur dan nilai gizinya juga sifat mikrobiologis. Cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera pencium dan indera pengecap. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Cahyadi, 2009 dan Moehyi, 1992). Zat warna alami mengandung pigmen yang secara umum berasal dari tumbuhtumbuhan, tetapi beberapa zat warna alami tidak menguntungkan, tidak stabil selama proses dan penyimpanan. Kestabilan zat warna alami tergantung pada beberapa faktor antara lain cahaya, oksigen, logam berat, oksidasi, temperatur, keadaan air dan pH. Zat warna alami sudah lama sering digunakan misalnya kunyit untuk warna kuning dan daun
Universitas Sumatera Utara
suji untuk warna hijau. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi kini banyak ditemukan berbagai
jenis pewarna sintetis. Pewarna sintetis memiliki keunggulan
dibandingkan pewarna alami antara lain harganya lebih murah, lebih mudah digunakan, lebih stabil, lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan, daya mewarnainya lebih kuat dan memiliki rentang warna yang lebih luas. Oleh karena itu banyak pedagang yang memakai pewarna sintetis untuk jualannya agar dapat menarik perhatian pembeli dan meraup untung yang banyak (Cahyadi, 2009). Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 28 tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999, rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produk-produk pangan. Rhodamin B dalam jangka pendek dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, serta keracunan. Dalam jangka panjang rhodamin B dapat menyebabkan gangguan hati dan kanker. Zat warna rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaanya ternyata masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat warna rhodamin B untuk produknya (Cahyadi, 2009 dan Yuliarti, 2007). Disamping warna, keawetan juga ikut menentukan mutu makanan. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Selain itu, suatu pengawet ditambahkan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan cita rasa, memperbaiki warna,
Universitas Sumatera Utara
tekstur, sebagai bahan penstabil, pencegah lengket maupun memperkaya vitamin serta mineral (Cahyadi, 2009 dan Yuliarti, 2007). Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda – beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan makanan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya; baik secara langsung, misalnya keracunan; maupun secara tidak langsung atau akumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2009). Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10 – 40% dari formaldehid. Penggunaan formalin yang sebenarnya bukan untuk makanan, melainkan sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet non makanan. Tetapi banyak produsen makanan yang menyalahgunakan penggunaan formalin. Selain harganya yang sangat murah dan mudah didapatkan, produsen sering kali tidak tahu kalau penggunaan formalin sebagai pengawet makanan tidaklah tepat karena bisa menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumen yang memakannya. Gangguan kesehatan yang ditimbulkan sebagai dampak penggunaan formalin pada manusia dalam jangka pendek seperti iritasi, alergi, mual, muntah, sakit perut, diare dan pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan kematian. Dalam jangka panjang dan berulang akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh seperti hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat dan bersifat karsinogenik (Yuliarti, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Denpasar tahun 2012, ditemukan jajanan kolak yang mengandung rhodamin B. Setelah diteliti lebih lanjut ternyata pewarna tersebut ditemukan pada gula merah aren yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kolak. Zat warna rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaannya ternyata masih ada pedagang yang sengaja menambahkan zat warna rhodamin B untuk produk gula merah sebagai penambah warna dengan alasan harga murah, warnanya bagus, dan mudah untuk didapat. Sebagai contoh gula merah aren. Dikarenakan harga aren yang relatif mahal banyak produsen yang dalam pembuatannya mencampurnya dengan nira tebu. Warna yang didapat akibat pencampuran tersebut tidak akan sama dengan warna yang didapat apabila hanya menggunakan nira aren. Untuk itu ada kemungkinan diberikan penambah warna agar warna yang didapat lebih mirip dengan gula merah aren yang asli. Penggunaan formalin pada gula merah juga sering menjadi isu di kalangan pedagang maupun pembeli gula merah. Penambahan formalin pada gula merah kemungkinan dilakukan karena memang tekstur gula merah yang lembek dan daya tahannya tidak lama. Untuk menambah masa tahan gula merah tersebut ada kemungkinan produsen menambahkan pengawet formalin (Anonimous, 2012). Penambahan rhodamin B dan formalin pada gula merah kemungkinan dilakukan pada saat gula merah tersebut dimasak. Karena proses pencampuran akan lebih mudah dilakukan pada saat gula belum dimasukkan ke dalam cetakan. Sehingga zat – zat tersebut dapat tercampur dengan rata .
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya pewarna rhodamin B dan pengawet formalin dilarang ditambahkan ke makanan karena memang berbahaya apabila dikonsumsi. Kecamatan Medan Baru memiliki 2 (dua) pasar tradisional yaitu Pasar Padang Bulan dan Pasar Pringgan. Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada hari Sabtu, 15 Desember 2012, di Pasar Padang Bulan terdapat 3 (tiga) pedagang gula merah dan di Pasar Pringgan terdapat 9 (sembilan) pedagang gula merah. Gula merah memiliki rasa yang manis dan aroma yang enak. Penggunaanya bisa pada masakan, kue, jajanan, serta minuman. Sehingga banyak peminatnya bukan hanya dari kalangan ibu rumah tangga, melainkan para penjual kue, penjual jajanan dan penjual minuman yang menggunakan gula merah sebagai bahan baku pembuatannya. 1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, gula merah yang dijual di pasar tradisional
Kecamatan Medan Baru kemungkinan mengandung zat pewarna rhodamin B dan zat pengawet formalin yang berbahaya bagi kesehatan sehingga perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai keberadaan zat pewarna rhodamin B dan zat pengawet formalin tersebut. Penggunaan rhodamin B dan formalin pada makanan dilarang karena memang berbahaya jika dikonsumsi. Kegunaan sebenarnya dari kedua zat tersebut bukan untuk makanan. Rhodamin B biasa digunakan sebagai pewarna tekstil. Sedangkan formalin biasa digunakan sebagai pengawet non makanan dan desinfektan. Apabila terbukti gula merah tersebut mengandung rhodamin B maupun formalin maka akan sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen gula merah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap gula merah tersebut untuk lebih memastikan ada atau tidaknya zat pewarna rhodamin B dan formalin pada gula merah yang dijual di pasar tradisonal kecamatan Medan Baru.
Universitas Sumatera Utara
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan zat pewarna rhodamin B dan zat pengawet formalin pada gula merah yang dijual di pasar tradisional Kecamatan Medan Baru. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik (jenis kelamin, umur dan lama bekerja) pedagang. 2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pedagang gula merah tentang bahan tambahan pangan, zat pewarna, zat pengawet, rhodamin B dan formalin. 3. Untuk mengetahui sikap pedagang terhadap penggunaan bahan tambahan pangan, zat pewarna, zat pengawet, rhodamin B dan formalin. 4. Untuk mengetahui ada tidaknya zat pewarna rhodamin B pada gula merah yang dijual di pasar tradisional Kecamatan Medan Baru. 5. Untuk mengetahui ada tidaknya zat pengawet formalin pada gula merah yang dijual di pasar tradisional Kecamatan Medan Baru. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dan menambah pengetahuan bagi penulis. 2. Memberikan informasi dalam upaya peningkatan pengetahuan konsumen dalam memilih gula merah yang dijual di pasar tradisional. 3. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan untuk lebih memperhatikan penggunaan zat pewarna dan zat pengawet yang tidak diizinkan untuk makanan seperti zat pewarna rhodamin B dan zat pengawet formalin pada gula merah. 4. Sebagai informasi bagi peneliti lain untuk studi yang lebih mendalam.
Universitas Sumatera Utara