BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Manusia saat ini telah memasuki jaman modern dimana kebutuhan yang harus dipenuhi semakin banyak dan semakin kompleks. Tiga kebutuhan dasar manusia seperti pangan, sandang, dan papan dirasa sudah tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasar yang juga dipengaruhi oleh tuntutan jaman. Seiring berjalannya waktu, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan baru yang terus berkembang. Awal dekade 90-an, telepon seluler masih dianggap sebagai kebutuhan tersier. Disamping harganya yang masih relatif mahal, keberadaan telepon seluler juga masih dirasa belum signifikan fungsinya dalam aktivitas seharihari. Namun dalam perkembangannya, kita tahu sendiri bahwa saat ini telepon seluler sudah beranjak dari kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer. Bahkan berdasarkan data survei International Telecommunication Union (ITU), 86 dari 100 orang di dunia sudah memiliki telepon seluler. Globalisasi yang terjadi sekarang juga ikut andil dalam porsi yang cukup besar terhadap peningkatan kompleksitas kehidupan. Manusia dipaksa untuk hidup dalam “standar” jaman yang bahkan seringkali manusia tidak tahu siapa sebenarnya yang telah menciptakan standar tersebut. Tidak hanya produk yang berwujud fisik saja yang dengan cepat masuk, namun juga produk budaya dari masyarakat luar. Proses penyerapan sebuah produk budaya ini secara lambat laun akan menghasilkan sebuah gaya hidup. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial. Lambang-lambang atau simbol-simbol inilah yang dapat dengan mudah dilihat secara kasat mata. Salah satu simbol yang biasa digunakan adalah tas fashion. Kaum perempuan seringkali menunjukkan gaya hidupnya dengan tas yang dikenakannya. Beragam produk tas dengan brand luar negeri pun membanjiri industri tas di Indonesia saat ini. Pengertian brand menurut Philip Kotler (1997:13) adalah sebagai berikut:
1
“A brand is a name, term, sign, symbol or design or combination of them, intended to identify thegood or services of one seller of group of sellers and differentiate them from those of competitors.” Saat ini keberadaan brand pun tidak hanya sekedar nama atas sebuah produk. Konsumen seringkali mengasosiasikan brand dengan variabel-variabel tertentu. Keterkaitan pada suatu brand
akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak
pengalaman atau penampakan untuk mengomunikasikannya. Berbagai asosiasi dari sebuah brand dapat dirangkai sehingga membentuk brand image di dalam benak konsumen. Secara sederhana, brand image adalah sekumpulan asosiasi brand yang terbentuk dalam benak konsumen (Rangkuti, 2010:95). Sedangkan dalam kaitannya dengan diferensiasi, bagian yang sangat nyata untuk membedakan antara satu brand dengan brand lainnya adalah atribut brand. Menurut Tjiptono (2001:103), atribut brand adalah unsur-unsur brand yang dipandang penting oleh pelanggan dan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Atribut berguna sebagai “jargon” untuk mengomunikasikan sebuah brand tertentu. Selain itu, atribut brand merupakan representasi dari karakter serta kepribadian brand itu sendiri. Atribut dikembangkan melalui gambar, tindakan, atau praduga. Atribut brand juga membantu dalam menciptakan identitas sebua produk. Tahap berikutnya setelah konsumen mengenal atribut-atribut sebagai suatu kesatuan identitas, akhirnya atribut-atribut tersebut mampu membentuk sebuah brand personality. Menurut Aaker (2000), brand personality adalah serangkaian karakteristik manusiawi yang diasosiasikan dengan brand tertentu. Brand personality ini tentu saja banyak dipengaruhi oleh atribut produk. Dari atribut brand tersebut lah, konsumen dapat secara langsung melihat bagaimana karakter yang dimiliki oleh sebuah brand. Setelah itu konsumen dapat memberikan evaluasi maupun penilaian terhadap brand tersebut. Evaluasi dan penilaian inilah yang nantinya membentuk sikap dari konsumen. Bentuk dari sikap konsumen ini pun bermacam-macam. Ada sebuah fenomena menarik di negeri ini, dimana masyarakat kita, khususnya konsumen perempuan, lebih suka untuk
2
membeli tas dengan brand luar negeri, meskipun tas yang dibelinya palsu. Sebab karakter dari konsumen perempuan Indonesia adalah membeli gengsi dari sebuah label produk. Kondisi seperti ini bisa dilihat dari menjamurnya penjualan tas palsu di sejumlah pusat perbelanjaan Indonesia. Namun demikian di tengah maraknya peredaran tas palsu berlabel brand luar negeri, masih ada produsen lokal yang tetap berjuang untuk menghasilkan produk tas dengan label sendiri. Brand yang diberikan bagi tas hasil produksinya sendiri adalah WeBe. Nilai utama yang ingin dijual oleh Webe adalah eksklusif, berbahan natural, dan handmade. Satu model tas Webe hanya diproduksi sebanyak satu buah saja. Selain itu, sesuai dengan konsep lainnya yaitu berbahan natural; Webe menggunakan eceng gondok sebagai bahan utama dari pembuatan tasnya. Untuk memunculkan aksen mewah, bagian pegangan tas Webe menggunakan bahan kulit. Tas Webe pun selalu memberikan gantungan logo Webe di setiap produknya. Keunikan lain dari Webe adalah tidak digunakannya media iklan dalam menawarkan produknya kepada konsumen, namun demikian nama Webe itu sendiri cukup terkenal di kalangan pencinta tas fashion di dalam negeri. Melalui atributatribut yang melekat seperti bentuk, warna, bahan, ukuran, dan label; Webe mencoba membentuk karakter dari sebuah tas fashion. Akan tetapi, Webe tidak meninggalkan konsep awalnya yaitu mengunakan bahan natural dan dikerjakan secara handmade. Atribut-atribut ini secara lebih lanjut juga dapat membentuk sebuah brand personality yang dapat mewakili karakter konsumen perempuan di Indonesia. Sesuatu yang menarik dari Webe ini adalah walaupun harga yang diberikan terbilang cukup mahal, namun tidak sedikit orang yang rela menghabiskan uangnya untuk membeli tas fashion lokal ini. Hanya dengan motif andalannya yaitu anyaman dan warna-warna atraktif, Webe mampu menarik cukup banyak konsumen. Oleh sebab itulah peneliti ingin melihat bagaimana sikap konsumen perempuan terhadap atribut-atribut brand yang dimiliki oleh tas Webe.
3
1.2. Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh atribut-atribut brand tas Webe terhadap sikap konsumen di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 1.3. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui korelasi antara sikap konsumen perempuan dengan atribut-atribut yang dimiliki brand tas Webe.
2.
Untuk mengetahui atribut-atribut brand tas Webe yang dapat mempengaruhi sikap konsumen perempuan.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Bagi akademisi
Meningkatkan pengetahuan mengenai perencanaan komunikasi pemasaran
beserta
implementasi
sebuah
produk
kepada
konsumen. 2.
Bagi perusahaan
Memberikan gambaran tentang karakter konsumen perempuan terhadap tas fashion.
Memberikan bahan pertimbangan dan masukan yang bermanfaat bagi pihak Marketing PT. Webe dalam menyusun komunikasi pemasaran yang sesuai ketika menawarkan produk kepada konsumen.
1.5. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah sikap konsumen perempuan terhadap atribut brand tas Webe. Penelitian ini akan melihat bagaimana penilaian konsumen terhadap atribut-atribut seperti bentuk, warna, bahan, ukuran, dan label yang melekat serta dikomunikasikan tas Webe.
4
1.6. Kerangka Teori 1.6.1 Brand Kotler dan Amstrong (1999:244) berpendapat bahwa brand adalah nama, istilah, tanda, simbol, desain atau kombinasi keseluruhannya, yang ditujukan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan sekaligus sebagai diferensiasi produk. Sementara Keegan (1995:318) berpendapat bahwa brand adalah sejumlah citra dan pengalaman dalam benak konsumen yang mengomunkasikan manfaat yang dijanjikan produk yang diproduksi oleh perusahaan tertentu. Brand adalah produk atau jasa yang dimensinya mendiferensiasikan brand tersebut dengan beberapa cara dari produk atau jasa lainnya yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan yang sama (Kotler, :258). Perbedaan ini bisa fungsional, rasional, atau nyata; berhubungan dengan kinerja produk dari brand. Perbedaan ini bisa juga simbolis, emosional, atau tidak nyata; berhubungan dengan apa yang direpresentasikan brand. Dalam kaitannya dengan diferensiasi, bagian yang sangat nyata untuk membedakan antara satu brand dengan brand lainnya adalah atribut brand. Menurut Tjiptono (2001:103), atribut brand adalah unsur-unsur brand yang dipandang penting oleh pelanggan dan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Atribut berguna sebagai “jargon” untuk mengomunikasikan sebuah brand tertentu. Selain itu, atribut brand merupakan representasi dari karakter serta kepribadian brand itu sendiri. Atribut dikembangkan melalui gambar, tindakan, atau praduga. Atribut brand juga membantu dalam menciptakan identitas merek. Tahap berikutnya setelah konsumen mengenal atribut-atribut sebagai suatu
kesatuan
identitas,
akhirnya
atribut-atribut
tersebut
mampu
membentuk sebuah brand personality. Menurut Aaker (2000), brand personality adalah serangkaian karakteristik manusiawi yang diasosiasikan dengan brand tertentu. Brand personality ini tentu saja banyak dipengaruhi oleh atribut produk. Tas Webe dikenal dengan atribut terbuat dari bahan natural dan handmade. Bagi perempuan pencinta suatu produk yang berbahan alami tentu saja akan tertarik kepada tas Webe, karena tas Webe
5
mampu mengasosiasikan produknya dengan konsep diri perempuan tersebut. Akan tetapi, komunikasi antara sebuah brand dengan konsumen tidak berjalan satu arah. Sesuai dengan prinsip dasar komunikasi bahwa proses antara komunikator (brand) dengan komunikan (konsumen) selalu berjalan dua arah. Sebuah brand belum bisa langsung dinyatakan berhasil setelah mampu mengasosiasikan produknya dengan konsep diri tertentu. Konsumen yang melihat konsep diri yang dinyatakan oleh brand tertentu tentu saja akan melakukan sebuah evaluasi terhadap brand tersebut. Evaluasi konsumen secara menyeluruh terhadap brand dan membentuk dasar yang digunakan konsumen dalam keputusan dan perilakunya disebut dengan brand attitude (Ferrinadewi: 2008:160). Objek yang dievaluasi oleh konsumen adalah pada persepsi konsumen akan kemampuan brand untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Rossiter & Percy, 1998). Hasil dari evaluasi ini pun tentunya akan berbeda antara satu orang dan orang lain. Perbedaan ini juga tidak lepas bahwa dalam proses pengevaluasian, para konsumen masih terikat dengan konsep dirinya yang berkaitan dengan brand personality.
Konsep Diri Brand Attitude
Intensi
Sikap Konsumen
Brand Personality
Gambar 1.1 Proses terbentuknya Sikap Konsumen
Low dan Lamb (2000) berpendapat bahwa sikap terhadap brand ini terbentuk setelah konsumen menginterpretasi, melakukan evaluasi, dan mengintegrasikan berbagai informasi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sikap yang muncul terhadap suatu brand berkaitan dengan tingkat kepuasan konsumen atas konsumsi brand tersebut. Brand attitude sangat
6
penting karena sikap terhadap brand akan mengarah pada sebuah intensi, dan intensi akan menentukan sikap konsumen yang aktual (Fishbein & Ajzen, 1975 dalam Hegelson & Supphelen, 2004).
1.6.2. Sikap Konsumen Menurut Hawkins (1989:434) sikap adalah proses pengorganisasian motivasi, emosi, persepsi, dan kognitif yang bersifat jangka panjang dan berkaitan dengan aspek lingkungan di sekitarnya. Demikian dapat dikatakan bahwa sikap bersifat menetap karena sikap memiliki kecenderungan berproses dalam kurun waktu yang panjang hasil dari pembelajaran. Dapat dikatakan pula bahwa sikap merupakan respon yang konsisten baik itu respon positif maupun negatif terhadap suatu objek hasil dari proses belajar (Schiffman & Kanuk, 2000). Sikap berasal dari hasil belajar dan ini berarti bahwa manusia tidak dilahiran dengan membawa suatu sikap tertentu. Seorang anak tidak akan tiba-tiba tidak menyukai rasa buah apel sebelum dia mencobanya terlebih dahulu. Hasil dari mencoba yang merupakan proses belajar akan membentuk sebuah sikap terhadap objek tertentu. Jadi sikap merupakan suatu kecenderungan untuk berperilaku dan dapat dipengaruhi oleh situasi. Apabila dikaitkan dengan kata konsumen, sikap konsumen dapat diartikan menjadi sebuah proses dalam pembuatan keputusan untuk membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa (Lamb, dalam Rangkuti, 2009:21). Definisi dari Lamb ini diperkuat oleh definisi tentang sikap konsumen yang dikemukakan oleh Hawkins & Coney (2004) bahwa sikap konsumen adalah
proses-proses yang dilakukan dalam memilih,
menentukan, mendapatkan, dan menggunakan produk dan jasa. Jadi konsumen tidak hanya dipahami sebagai pengguna dari barang atau jasa, namun proses yang mendahuluinya seperti mencari tahu, menilai, serta mempertimbangkan termasuk di dalam pemahaman sebagai seorang konsumen. Dalam penelitian ini, konsep dari konsumen yang digunakan adalah konsep yang dikemukakan oleh Lamb, Hawkins & Coney. Sebab yang
7
menjadi objek dalam penelitian ini adalah brand, bukan sebuah produk. Sebagai contoh adalah brand Nike. Konsumen dari Nike bisa saja pengguna sepatu pesaingnya, yaitu Adidas. Namun tidak semata-mata semua konsumen Adidas dapat dikategorikan sebagai konsumen Nike. Yang dapat dikategorikan sebagai konsumen Nike adalah mereka yang tahu dan sadar akan keberadaan sepatu Nike, sekaligus mereka yang memiliki potensi untuk membeli sepatu Nike. Bagi sebagian orang, sikap terhadap objek tertentu dihasilkan ketika seseorang memiliki pengalaman langsung dalam menggunakan suatu produk. Suatu sikap yang khas timbul setelah pengalaman penggunaan produk. Dengan kata lain, pengalaman penggunaan aktual lebih bersifat informatif dan meyakinkan dibandingkan hanya dengan mempelajari brandbrand dari iklan-iklan yang ditampilkan. Sebagai contoh, “mana yang lebih anda percayai, iklan mengenai brand makanan tertentu yang dikatakan enak atau umpan balik dari lidah anda sendiri yang langsung merasakan makanan tersebut?” Tentu saja pengalaman merasakan secara langsung melalui indera akan lebih dipercaya dibandingkan iklan. Sikap merupakan hasil respon yang dilakukan oleh panca indera kita. Sebagai sebuah proses, sikap itu sendiri merupakan respon atas pesan yang disampaikan oleh komunikator. Demikian halnya bila dikaitkan dengan sikap konsumen itu sendiri. Tas Webe, sebagai sebuah objek, melalui atribut-atribut yang dimilikinya menyampaikan sebuah pesan kepada konsumen. Konsumen yang melihat atribut-atribut tersebut akan membentuk suatu sikap tertentu atas tas Webe. Jadi sikap tidak mungkin terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya sebuah stimulus. Solomon (2002:237) mengemukakan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen yaitu affect, behavior, and cognition. Tiga komponen ini biasa disebut dengan ABC model of attitudes. Affect merujuk pada apa yang dirasakan oleh seseorang terhadap sebuah objek. Behavior menunjukkan maksud yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu dengan atau tanpa
memperhatikan
objek
itu
sendiri.
Sedangkan
cognition
8
memperlihatkan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap sebuah objek. Model ABC ini menekankan pada hubungan timbal balik antara pengetahuan, perasaan, dan sikap. Sikap konsumen terhadap sebuah produk tidak dapat ditentukan hanya dengan identifikasi sederhana atas kepercayaan mereka terhadap sebuah produk. Ketiga komponen ini sangat penting, namun
kepentingan
relatif
masing-masing
orang
dapat
sangat
mempengaruhi sikap seseorang terhadap objek. Solomon (2002:198) mengemukakan beberapa fungsi dari sikap yaitu sebagai berikut: a. Utilitarian Function Fungsi ini merujuk pada prinsip dasar dari reward dan punishment. Kita membangun sikap terhadap produk berdasarkan pada stimulus yang diberikan oleh produk tersebut. Jika seseorang menyukai sebuah produk, maka dia akan membangun sikap positif terhadap produk tersebut. b. Value-expressive Function Seseorang membentuk sikap terhadap sebuah produk bukan karena keuntungan yang diperoleh dari produk tersebut, tetapi karena apa yang disampaikan oleh produk tersebut jika dianalogikan sebagai manusia. Sebagai contoh adalah iklan WRP diet yang mengasosiasikan produknya sebagai perempuan bertubuh langsing. c. Ego-defensive Function Sikap kita terbentuk untuk melindungi diri kita dari ancaman eksternal atapun dari perasaan internal. Produk rokok yang menjanjikan akan memberikan efek macho bagi para laki-laki, justru menimbulkan perasaan gelisah akan maskulinitas itu sendiri. d. Knowledge Function Sikap terbentuk karena kebutuhan akan perintah, struktur, atau makna. Kebutuhan ini seringkali membantu konsumen saat berada dalam situasi kebingungan terhadap produk baru.
9
1.6.3. Konsumen Perempuan Meskipun berada dalam sebuah peran yang sama, yaitu sebagai konsumen, perempuan tidak serta merta bisa disamakan dengan laki-laki. Perempuan memiliki kebutuhan khusus yang harus dapat dipahami bahwa mereka adalah makhluk yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan memiliki kemampuan yang didasarkan pada struktur otak, prioritas, pandangan terhadap dunia, pola demografi yang memberikan mereka kesempatan untuk berkompetisi dengan para laki-laki. Dalam sebuah buku berjudul “Why She Buys” yang ditulis oleh Brennan (2009:5), dinyatakan bahwa perempuan dianggap sebagai mesin pendorong ekonomi global karena perempuan merupakan konsumen yang jauh lebih potensial daripada laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai makhluk yang menciptakan produk, sedangkan perempuan dianggap sebagai pengguna produk. Brennan (2009) mengemukakan bahwa gender adalah faktor penentu yang dominan mengenai bagaimana seseorang memandang dunia dan segalanya. Perempuan dan laki-laki secara tidak sadar menggunakan peran gender untuk menyaring informasi dalam membuat keputusan apa yang diyakini terhadap pemilihan produk, pesan merek atau lingkungan penjualan. Perempuan dan laki-laki menekankan nilai yang berbeda berdasarkan pengalaman masing-masing. Meskipun perempuan dan lakilaki tinggal dalam lingkungan yang sama, perempuan tinggal dalam budaya yang sama karena memiliki standar perilaku, bahasa, prioritas dan sistem nilai yang belum tentu dimengerti oleh kaum laki-laki. Lebih lanjut menurut Brennan, ada sejumlah pengaruh global dalam perilaku konsumen perempuan pada abad ini yaitu: 1. Munculnya tren perempuan bekerja sehingga perempuan memiliki daya beli yang lebih besar daripada sebelumnya. 2. Kecenderungan wanita untuk menunda pernikahan menyebabkan pengeluaran tidak ditunjukkan untuk kebutuhan keluarga, namun lebih ditujukan untuk pengeluaran pribadi.
10
3. Rendahnya tingkat kelahiran secara global menyebabkan jumlah anak semakin sedikit, tetapi jumlah kebutuhan untuk setiap anak menjadi meningkat. 4. Perceraian keluarga. Perceraian menyebabkan tambahan pengeluaran dalam keluarga. Masing-masing individu mengeluarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perceraian ini didukung sebenarnya semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan sehingga memiliki daya tawar sendiri. 5. Ada
sejumlah
perempuan
yang
sudah
lanjut
usia,
memiliki
kecenderungan untuk mampu melakukan pembelian secara potensial. Perempuan merasa memiliki jiwa muda yaitu youthful. Keunikan lain yang dimliki oleh perempuan adalah memiliki kemampuan untuk memperhatikan pada setiap aspek produk jauh lebih rinci daripada laki-laki. Kemampuan perempuan untuk bisa menuntut aspek produk yang lebih detail juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang dimiliki. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk menganggap perempuan sebagai “alpha consumer” karena perempuan merupakan penentu dalam memutuskan pembelian. Landon (1986) menemukan bahwa laki-laki, intensi membeli mereka sangat dipengaruhi oleh actual self image daripada ideal self image. Sementara untuk perempuan lebih banyak dipengaruhi oleh ideal self image. Penelitian Landon membuktikan bahwa gender sangat menentukan konsep diri mana yang paling berpengaruh dalam intensi pembelian. Perbedaan gender appeal menjadikan strategi pemasaran yang berkaitan kuat dengan budaya dengan seks tertentu. Pesan dan citra produk akan berbeda dalam bentuk pemilihan tema, gaya komunikasi, motivasi. Begitu juga dengan sex appeal, pilihan kata, imajinasi, akan menunjukkan perbedaan.
Perempuan
akan
memfokuskan
pada
pilihan
untuk
mengembangkan hubungan dengan orang lain melalui pola harmonis sedangkan laki-laki memikirkan hubungan seks atau hal-hal yang berhubungan sportif.
11
Iklan Master Card memberikan contoh nyata yang menunjukkan gender appeal. Priceless Campaign merupakan contoh nyata di mana perempuan memiliki peran untuk membuat keputusan dalam pembelian produk. Master Card memahami psikologi perempuan khususnya bagaimana perempuan membelanjakan uangnya. Perilaku perempuan dalam melakukan pembelian bersifat snowballing. Ketika sedang berbelanja, sering perempuan tertarik untuk membeli produk lain tanpa membuat perencanaan sebelumnya apakah produk tersebut dibutuhkan. Kampanye iklan Master Card memfokuskan aspek emosional dan menyentuh. Brennan (2009) memiliki pandangan bahwa beberapa tahun ke depan merupakan era “female economy”. Female economy ditunjukkan dengan beberapa indikator pembelian produk-produk yang dulunya didominasi oleh laki-laki, sekarang sudah didominasi oleh perempuan. Produk-produk itu antara lain apparel, otomotif, produk elektronik, kesehatan, travel, asuransi, investasi, rumah. Sejalan dengan buku “New Wave Marketing”, Hermawan Kertajaya juga menyebutkan ada tiga sub-culture yang perlu digarap dalam dunia pemasaran saat ini, yakni, youth, woman, dan netizen; dimana perempuan berperan sebagai pengatur utama. Menurut Barletta (2003) setidaknya ada enam poin
sikap yang
membedakan sikap perempuan dari laki-laki: a. Extrasensory Perception Perempuan melihat dan memahami lingkungan sekitarnya secara keseluruhan, lebih mendalam, serta memiliki tingkat ketajaman lebih tinggi daripada laki-laki. b. Emotional Access Ada tiga kunci untuk memahami sifat dasar perempuan, yang pertama adalah pengalaman. Perempuan selalu berusaha merasakan segala sesuatu lebih mendalam. Yang kedua ekspresi. Perempuan lebih dapat mengekspresikan emosinya daripada laki-laki. Yang ketiga artikulasi. Perempuan lebih dapat menerjemahkan secara verbal mengenai apa yang dirasakannya.
12
c. Attention and Focus Perempuan lebih memperhatikan sebuah detil. Selain itu perempuan lebih peka terhadap emosi interpersonal seperti nada berbicara, ekspresi wajah, dan kemiripan suatu benda. Dr. Judith Hall menemukan sebuah fakta bahwa lebih dari delapan puluh persen lebih baik dalam hal persepsi sosial dibandingkan laki-laki. d. Contextual thinking Para peneliti melaporkan bahwa perempuan lebih berpikir secara kontekstual dan holistik, mereka menempatkan beberapa elemen yang mereka lihat kemudian menyatukannya sebagai sebuah kesatuan. Sedangkan laki-laki melihat elemen-elemen yang ada secara terpisah, bukan sebagai satu kesatuan. e. People powered Perempuan merupakan seseorang yang lebih berorientasi pada manusia, sedangkan laki-laki berorientasi pada apa yang datang dan pergi. f. Verbally inclined Saat ini perempuan cenderung lebih menyukai komunikasi verbal dibandingkan dengan laki-laki. Barletta (2003:58) mengatakan bahwa perempuan lebih menyukai sebuah kedekatan dengan memulai sebuah pembicaraan, sedangkan laki-laki memulai kedekatan dengan melakukan sesuatu hal bersama terhadap benda tertentu. Atas dasar inilah kemudian beragam produk khusus perempuan diciptakan. Generasi perempuan sekarang ini memiliki gaya hidup sedentary, artinya mereka memiliki kecenderungan untuk tidak banyak mengeluarkan
energi
sehingga
ini
mempengaruhi
kesehatan
diri.
Kecenderungan perempuan saat ini memperhatikan pada kecantikan tubuh yang berupa rambut, cat kuku, make-up, tanpa memperhatikan ukuran badan. Perhatian terhadap kecantikan ini membuka peluang bagi industri kecantikan untuk mempromosikan produk-produk misalnya produk pewarna rambut, cat kuku, nail extension, hair extension, make-up.
13
Namun demikian, makin lama makin banyak produk yang memang didesain
untuk
memenuhi
kebutuhan
dan
melalui
pertimbangan-
pertimbangan sikap serta karakter perempuan. Salah satu produk yang dikhususkan bagi perempuan adalah tas fashion. Tas ini memiliki beragam atribut yang dapat mewakili kepribadian tertentu seorang perempuan. Di Indonesia sendiri, ada salah satu brand tas lokal yang cukup diminati oleh kaum hawa yaitu Webe. Oleh karena perempuan lebih memperhatikan detil dan karakter yang kuat, Webe mampu menjawab tantangan tersebut dengan menghasilkan produk handmade berbahan natural. Atribut-atribut yang dimiliki Webe mampu menarik perhatian para konsumen perempuan. Pengerjaan secara manual menggunakan tangan manusia tentu dapat menghasilkan detil produk yang baik. Bahan baku pembuatannya pun bersifat natural, berbeda dengan kebanyakan tas fashion lain yang beredar di pasar.
1.6.4. Teori Stimulus-Organism-Respon (S-O-R) Teori S-O-R menunjukkan komunikasi sebagai proses dari “aksireaksi” yang sangat sederhana. Teori S-O-R merupakan pengembangan dari teori stimulus-response (S-R) yang mulai dikenal pada tahun 1920-an. Menurut Aubrey Fisher (1986:194), Stimulus (S) atau rangsangan dapat didefinisikan sebagai penangkapan objek lingkungan oleh alat indera yang diubah menjadi sensasi, yakni ragam atau pola tertentu yang memiliki sifat visual, pendengaran, rabaan atau rasa. Organism (O) yang merupakan komunikan berfungsi sebagai pihak yang menerima pernyataan (pesan) dalam proses komunikasi. Response (R) sebagai efek yang muncul merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan (stimulus) dan reaksi komunikan. Respon tersebut dapat berupa perubahan sikap, tingkah laku, maupun cara pandang terhadap suatu hal. Teori S-O-R digunakan dalam penelitian ini karena titik berat pembahasannya meliputi sikap opini, perilaku, kognisi afeksi dan konasi yang dimiliki oleh manusia. Teori ini menunjukkan bahwa komunikasi
14
merupakan proses aksi reaksi. Artinya bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan menstimuli orang lain memberikan respon dengan cara tertentu. Model inilah yang kemudian mempengaruhi suatu teori klasik komunikasi yaitu “Hypodermic Needle” atau “teori Jarum Suntik”. Asumsi dari teori ini pun tidak jauh berbeda dengan model S-O-R, yakni bahwa media secara langsung dan cepat memiliki efek yang kuat terhadap komunikan. Artinya media diibaratkan sebagai jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai perangsang (S) dan menghasilkan tanggapan (R) yang kuat pula. Namun demikian proses komunikasi yang ditekankan dalam teori ini bukan hanya “dengan siapa kita berkomunikasi”, tetapi lebih kepada “bagaimana cara mengubah sikap”. Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah jika stimulus yang diberikan adalah tepat dan dilakukan secara terus menerus. Prof.Dr.mar’at dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya”, mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelley yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variabel penting, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan. Teori ini mengusung gagasan bahwa manusia memiliki peran yang sangat penting dalam hal penerimaan stimulus dan pembentukan respon. Dalam teori ini terdapat tiga elemen penting, yaitu: a. Pesan (Stimuli, S), yaitu adalah pengaruh eksternal yang dapat memberikan rangsangan pada
individu
yang berperan sebagai
komunikan, sehingga pada akhirnya komunikan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. b. Penerima (Organisme, O), yaitu pihak yang dikenai stimulus, yang kemudian akan menginterpretasikan pesan tersebut sesuai dengan pengalaman (field of experience), sehingga pada akhirnya komunikan tersebut akan memberikan reaksi sebagai respon dari stimulus yang diterimanya. Dalam proses pembentukan reaksi atau respon yang berupa perubahan sikap, terdapat tiga variabel penting yang menunjang proses tersebut, yaitu perhatian, pengertian, dan penerimaan (Hovland dalam Sendjaja, 2004: 5.15). Ketiga variabel ini berperan penting dalam proses
15
decoding stimulus yang berupa pesan, sehingga pada akhirnya komunikan dapat memahami stimulus tersebut dan dapat memberikan respon. c. Efek (Respon, R), yaitu reaksi khusus yang muncul akibat dari stimulus. Hosland, et al (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari: a. Stimulus yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak, berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif. b. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dilanjutkan kepada proses berikutnya. c. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap). d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku). Teori S-O-R ini lebih lanjut mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting. Selanjutnya, teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme.
16
1.7. Kerangka Konsep Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sikap konsumen terhadap atributatribut brand tas Webe. Berdasarkan teori S-O-R, sebuah perspektif tentunya timbul sebagai respon atas stimulus yang diberikan. Stimulus yang dimaksud disini adalah atribut-atribut yang melekat dari objek tas Webe. Atribut-atribut tersebut meliputi warna, bahan, bentuk, ukuran, label, yang melekat pada fisik tas Webe. Kombinasi yang berbeda akan memberikan kepuasan yang tersendiri. Kotler (1992:72) menyatakan bahwa atribut brand adalah suatu komponen yang merupakan sifat-sifat dari brand yang menjamin agar brand tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan yang diharapkan oleh pembeli. Atribut-atribut brand tersebut kemudian diterima oleh konsumen perempuan yang berlaku sebagai organisme terhadap sebuah stimulus. Organisme dalam penelitian ini merupakan faktor X yang sedikit banyak dapat mempengaruhi respon dari konsumen. Dimensi dalam organisme tersebut adalah perhatian, pengertian, dan penerimaan. Kemudian, respon dipahami sebagai sikap konsumen terhadap terhadap atribut-atribut yang melekat pada brand tas Webe sebagai alat komunikasi. Dimensi dalam sikap konsumen ini adalah brand attitude. Selain itu sikap disini juga merupakan indikator untuk mengevaluasi objek.
•Sustainable •Credibility •Uniqueness
Stimulus (Brand Attributes)
Organisme (Konsumen Perempuan)
• Brand Attitude
• Perhatian • Pengertian • Penerimaan
Respon (Sikap Konsumen)
Gambar 1.2 Kerangka Konsep
17
Bagan di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini terdapat tiga jenis variabel. Variabel pertama adalah atribut-atribut yang melekat pada brand tas Webe, yang berperan sebagai variabel bebas (independen). Variabel bebas merupakan stimulus awal yang berupa atribut-atribut brand yang siap dikomunikasikan terhadap variabel dependen. Di dalam atribut-atribut brand ini terdapat dimensi turunan, yaitu sustainable, credibility, dan uniqueness. Ketiga dimensi tersebut digunakan untuk mengukur ragam, konsistensi, dan orisinalitas yang dimiliki oleh atribut-atrbut brand tas Webe. Variabel kedua adalah konsumen perempuan yang berperan sebagai variabel antara (anteseden). Dimensi dalam variabel ini adalah perhatian, pengertian, dan penerimaan. Variabel ketiga adalah sikap konsumen yang berperan sebagai variabel terikat (dependen). Dimensi dalam variabel dependen ini adalah brand attitude. Dimensi ini digunakan untuk melihat bagaimana sikap konsumen terhadap atributatribut brand tas Webe. Penelitian ini akan berhenti pada proses pembentukan sikap setelah konsumen memperoleh stimulus yang berupa atribut-atribut yang melekat pada tas Webe. Untuk lebih jelas mengetahui variabel-variabel dari bagan kerangka konsep diatas akan dijelaskan dalam tabel operasionalisasi konsep berikut ini:
18
Tabel 1.1 Operasionalisasi Konsep
No
1.
Konsep
Stimulus
Variabel
Brand Attributes
Dimensi
Indikator
Sustainable
Inovasi
Credibility
Kepercayaan
Uniqueness
Orisinalitas
Skala
Likert
Attention and Focus Perhatian 2.
Organisme
Verbally Inclined
Konsumen Perempuan
People Powered
Pengertian Penerimaan
Contextual Thinking
Likert
Extrasensory Perception Emotional Access Cognition
3.
Respon
Sikap Konsumen
Brand Attitude
Emotion
Likert
Intention
19
1.8. DEFINISI OPERASIONAL Definisi operasional merupakan cara untuk menyatakan seperangkat petunjuk atau kriteria yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris (Silalahi, 2010:120). Melalui definisi operasional dari konsep sebagai definisi variabel penelitian akan mengurangi kesalahan pengukuran dan pengamatan. Selain itu juga dapat membantu peneliti dalam memperjelas data yang dicari dan membantu orang lain mengerti maksud konsep yang akan peneliti pakai dalam penelitian. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yang masingmasing berperan sebagai variabel bebas (independen), variabel antara (anteseden), dan variabel terikat (dependen). Korelasi ketiganya apabila digambarkan menjadi seperti demikian.
X1
X2
Y
Gambar 1.3 Korelasi Variabel Penelitian
Apabila dilihat dalam diagram diatas, variabel X 2 yang berperan sebagai variabel independen dapat mempengaruhi secara langsung variabel Y atau variabel dependen atau melalui variabel X1 yang berperan sebagai variabel anteseden terlebih dahulu.
1.8.1 Variabel Brand Attributes Brand attributes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala jensi atribut yang melekat pada brand Webe sebagai sebuah produk tas. Atribut brand berperan sebagai variabel independen (X2), yaitu variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab terjadinya
20
perubahan pada variabel dependen. Variabel ini diturunkan ke dalam beberapa dimensi, yaitu: a. Dimensi Sustainable (X2.1) Sebuah produk yang memiliki proses yang berkelanjutan tentu akan mendapatkan perhatian dari audiens yang lebih baik. Indikator dalam dimensi ini adalah: Ragam bentuk tas Webe. Ragam warna tas Webe. b. Dimensi Credibility (X2.2) Sebuah brand yang baik, tentu saja harus memiliki kredibilitas yang baik di mata konsumen. Indikator dalam dimensi ini adalah: Kuantitas pembelian tas Webe. Tas
Webe
menjadi
preferensi
utama
dalam
keputusan
pembelian. c. Dimensi Uniqueness (X2.3) Keunikan harus dimiliki oleh setiap brand untuk membentuk identitasnya serta membedakannya dengan brand yang lain. Indikator dalam dimensi ini adalah: Orisinalitas yang dimiliki dalam setiap produk tas Webe.
1.8.2
Variabel Konsumen Perempuan Konsumen perempuan berperan sebagai variabel anteseden (X1). Variabel anteseden biasa disebut juga variabel intervening (memediasi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen) atau menjadi variabel moderating (memoderasi sehingga hubungan antara variabel independen dan variabel dependen semakin kuat). Variabel ini diturunkan ke dalam dimensi perhatian, dimensi pengertian, dan dimensi penerimaan.
21
a. Dimensi Perhatian (X1.1) Dimensi ini menggambarkan tentang perhatian responden terhadap brand attributes tas Webe. Indikator dari dimensi ini adalah: Attention and Focus People Power Verbally Inclined b. Dimensi Pengertian (X1.2) Dimensi ini menggambarkan tentang proses responden dalam memahami pesan stimulus yang diberikan, dalam hal ini adalah brand attributes tas Webe. Indikator dari dimensi ini adalah: Contextual Thinking c. Dimensi Penerimaan (X1.3) Dimensi ini menggambarkan tentang penerimaan audiens terhadap stimulus, yaitu brand attributes tas Webe. Tahap ini merupakan tahap pemberian kesimpulan atas stimulus yang diberikan. Indikator dari dimensi ini adalah: - Extrasensory Perception - Emotional Access
1.8.3
Variabel Sikap Konsumen Sikap konsumen berperan sebagai variabel dependen (Y), yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel ini diturunkan ke dalam dimensi brand attitude. a. Brand Attitude (Y) Mengacu pada sikap kosumen sebagai respon terhadap sebuah brand, secara spesifik atribut brand yang dimiliki tas Webe. Indikator dalam dimensi ini adalah cognition, emotion, dan intention
22
1.9. Metodologi Penelitian 1.9.1. Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap konsumen terhadap atribut-atribut tas Webe. Oleh karena itu penelitian ini harus dapat menjangkau seluruh target konsumen dari brand tas Webe. Hal ini dilakukan supaya data-data yang luas dan akurat dapat digeneralisasi berdasarkan segmentasi target konsumen. Dalam proses generalisasi serta untuk memahami kondisi nyata, peneliti akan akan melakukan penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, sebuah metode yang merupakan penyelidikan untuk memperoleh fakta-fakta mengenai fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat dan mencari keterangan yang lebih faktual dan sistematis (Singarimbun dan Efendi, 1995:25). Metode penelitian survei menghasilkan informasi kuantitatif tentang opini publik, karakter atau sikap, maupun fenomena sosial (Ruslan, 2008:22). Metode ini digunakan sebagai teknik untuk menggambarkan karakteristik atas dasar variabelvariabel tertentu dari berbagai kasus. Dengan survei, peneliti akan menggambarkan karakteristik tertentu dari suatu populasi, baik berkenaan dengan sikap, tingkah laku maupun aspek sosial dan ditelaah dengan karakteristik yang menjadi fokus perhatian dari penelitian. Tipe penelitian survei yang digunakan adalah penelitian eksplanatori. Penelitian eksplanatori adalah suatu jenis penelitian yang digunakan untuk menjelaskan suatu hubungan sebab-akibat (hubungan kausal) dengan cara mengadakan suatu pengujian terhadap hipotesis awal (Singarimbun, 2011:5). Penelitian ini menggunakan explanatory survey karena peneliti ingin menjelaskan mengenai hubungan antara
23
atribut-atribut yang melekat pada brand tas Webe dengan sikap konsumen. 1.9.2.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: - H0: atribut-atribut brand tidak berpengaruh terhadap sikap konsumen atas tas Webe. - Ha: atribut-atribut brand berpengaruh terhadap sikap konsumen atas tas Webe.
1.9.3. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, populasi dibatasi khusus di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada alasan bahwa di ibukota Jawa Tengah, yakni Kota Semarang, merupakan tempat produksi tas Webe. Selain pabrik tempat pembuatan tas, di Kota Semarang juga terdapat outlet resmi penjualan tas Webe. Rata-rata penjualan tas Webe di Jawa Tengah dalam satu bulan adalah 150 unit tas. Sedangkan
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
dipilih
berdasarkan distribusi tas Webe yang cukup banyak di Yogyakarta. Strategi yang digunakan oleh Webe ketika menjual produknya adalah dengan mengadakan pameran. Rata-rata penjualan dalam satu periode pameran adalah 50 unit tas. Selain karena distribusi produknya, cukup banyak konsumen yang mengetahui keberadaan tas Webe ini. Sehingga peneliti dapat lebih mudah menemukan target-target konsumen dari tas Webe serta dapat menghasilkan penelitian yang mampu menggambarkan secara umum sikap konsumen terhadap atribut-atribut brand tas Webe.
24
1.9.4. Populasi dan Sampel Populasi adalah suatu kelompok dari elemen penelitian, dimana elemen adalah unit terkecil yang merupakan sumber dari data yang diperlukan (Kuncoro, 2003:108 dalam Yusi dan Umiyati 2009:59). Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan adalah konsumen tas fashion yang tahu atau memiliki tas Webe. Rentang usia yang dipilih adalah 30 - 45 tahun. Usia ini dipilih karena dianggap sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk menentukan serta membeli brand tas yang sesuai dengan keinginan maupun kebutuhannya. Selain itu, rentang usia ini juga merupakan target market dari brand tas Webe. Berikut ini adalah tabel yang memuat jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Tabel 1.2 Penduduk Menurut Kelompok Umur Jenis Kelamin Perempuan Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Sensus Penduduk 2010
Usia
Jenis Kelamin
30 - 45
Perempuan
Kota
Jumlah Penduduk
Jateng
3.999.071
D.I.Y
424.500
Sumber: http://sp2010.bps.go.id/ Tabel diatas merupakan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010. Dalam tabel juga hanya ditampilkan penduduk berjenis kelamin perempuan, sebab penelitian ini hanya akan menggunakan populasi yang berjenis kelamin perempuan. Menurut Rahayu (2008:72), sampel adalah sebagian anggota populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga
25
diharapkan dapat mewakili populasinya. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini berdasarkan rumus Slovin sebagai berikut:
N n= 1 + N (e)2
4.423.571 n= 1 + 4.423.571 (0,05) 2
4.423.571 n= 11.060 n = 399,96
Keterangan: n
=
Ukuran Sampel
N
=
Ukuran Populasi
E
=
Presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan (batas kesalahan) pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan. Dalam penelitian ini batas kesalahan adalah 5%. Berdasarkan perhitungan di atas didapatkan sampel sebanyak
399,96 yang dibulatkan menjadi 400 orang untuk memperoleh angka genap. Maka dapat disimpulkan bahwa sampel dari penelitian ini adalah 400 orang perempuan usia 30 – 45 tahun di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
26
1.9.5. Metode dan Teknik Pengambilan Sampel Peneliti akan menggunakan metode pengambilan sampel non probability sampling. Dengan metode ini¸ setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Sedangkan teknik pengambilan sampel yang akan digunakan adalah snowball sampling. Kriteria dari sampel adalah konsumen yang mengetahui dan menyadari keberadaan dari tas Webe. Teknik ini dipilih karena peneliti mencari sampel selanjutnya berdasarkan informasi dari sampel awal. Sehingga informasi yang diperoleh dari sampel diharapkan dapat memenuhi kebutuhan peneliti. 1.9.6. Teknik Pengumpulan Data Dalam melihat sikap konsumen terhadap atribut tas Webe, ada beberapa teknik pengambilan data yang digunakan: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian. Untuk mendapatkan data primer, penelitian ini menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada sampel yang telah ditentukan. Isi dari kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang terformat dan berhubungan dengan penelitian yang diadakan. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang menunjang penelitian berupa teori-teori yang berada dalam kajian komunikasi, periklanan, dan psikologi yang diambil dari teks dalam buku. Selain itu, data sekunder juga menyertakan pendapat para ahli dalam bidangnya yang diambil dari buku teks, jurnal, artikel, maupun literatur yang ada dan tentu saja berhubungan dengan penelitian ini yang diambil dari berbagai sumber, baik cetak ataupun digital.
27
1.9.7. Uji Validitas dan Uji Realibilitas Pada penelitian ini, metode uji validitas dilakukan terhadap 30 kuesioner awal yang terkumpul (pilot test) dengan menggunakan Pearson test, yaitu membandingkan nilai angka rhitung dengan nilai korelasi tabel (rtabel), dimana derajat kebebasan = n - 2. Dengan sampel 30 responden, maka didapatkan nilai derajat kebebasan (dk) = 28. Selang kepercayaan (α) ditentukan sebesar 5% maka didapatkan nilai dari rtabel adalah 0.239. Apabila angka rhitung > 0.239, maka item kuesioner valid. Namun, bila angka rhitung ≤ 0.239, maka item kuesioner dinyatakan tidak valid. Hasil uji validitas akan ditampilkan pada Bab IV. Uji reliabilitas juga dilakukan terhadap 30 kuesioner awal yang terkumpul.
Reliabilitas
adalah
kemampuan
suatu
instrumen
menunjukkan kestabilan dan konsistensi dalam mengukur konsep. Pengujian ini didasarkan pada nilai Cronbach Alpha, dimana item kuesioner dinyatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha > 0.6. Hasil uji reliabilitas akan ditampilkan pada Bab IV.
1.9.8. Teknik Analisis Data Setelah mengetahui metode penelitian, populasi dan sampling dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan pada saat penelitian, dibutuhkan pula teknik dalam menganalisis data agar dapat dalam memproses data lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan interpretasikan. Penelitian ini akan menggunakan dua teknik analisis data yaitu analisis korelasional dan analisis deskriptif.
Analisis Deskriptif (Statistika Deskriptif) Statistika deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Statistika deskriptif hanya memberikan informasi mengenai data yang dipunyai dan sama
28
sekali tidak menarik kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar (Kuswanto, 2012:27). Pada analisis deskriptif akan dilakukan analisis mean dan cross tabulation.
Analisis Regresi Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi
sederhana. Analisis regresi
sederhana adalah analisis untuk mengetahui hubungan linier antara variabel independen (X2), variabel anteseden (X1) dan variabel dependen (Y). Formula persamaan linier adalah sebagai berikut: Y = a0 + b1X1 + b2 X2 + b3 X1.X2 Keterangan: Y = Variabel dependen X1 = Variabel anteseden X2 = Variabel independen a = Konstanta (nilai Y apabila X=0) b1 = Koefisien regresi untuk X1 b2 = Koefisien regresi untuk X2 b3 = Koefisien regresi untuk X3 31
Analisis Korelasi (Pearson Correlation Test) Tujuan penelitian korelasional menurut Gay dalam Emzir (2007:38);
Tujuan
penelitian
korelasional
adalah
untuk
menentukan hubungan antara variabel, atau untuk menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi. Sedangkan menurut Suryabrata (1994:24) adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi. Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi
29
berkisar antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel penulis memberikan kriteria sebagai berikut: 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel >0 – 0,25: Korelasi sangat lemah >0,25 – 0,5: Korelasi cukup >0,5 – 0,75: Korelasi kuat >0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat 1: Korelasi sempurna
30