BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun 2000 Radio Republik Indonesia beralih status menjadi perusahaan jawatan (PERJAN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000 Tentang Pendirian Perusahaan Jawatan Radio Republik Indonesia, di dalam peraturan pemerintah ini Radio Republik Indonesia berada di dalam ruang lingkup Departemen Keuangan. Perusahaan jawatan memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi yaitu, pelayanan publik dan tidak semata-mata mencari keuntungan, modal perusahaan tidak dipisahkan artinya modal semua dimiliki oleh pemerintah dan tidak terbagi atas saham-saham. Status sebagai perusahaan jawatan membuat Radio Republik Indonesia melakukan perubahan mendasar dalam visi dan misinya yang tercantum dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000 yang berbunyi “Maksud dan tujuan PERJAN adalah menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio sesuai dengan prinsip-prinsip radio publik yang independen, netral, madiri dan program siarannya senantiasa berorentasi kepada kepentigan masyarakat, serta tidak semata-mata mencari keuntungan”. Radio Republik Indonesia Banjarmasin merupakan salah satu stasiun penyiaran publik yang berada di daerah, tepatnya di kota Banjarmasin provinsi Kalimantan Selatan dan berdiri sejak tahun 1950. Radio Republik Indonesia Banjarmasin merupakan salah satu radio publik berjaringan dengan induk atau Radio Republik Indonesia pusat di Jakarta dan stasiun-stasiun penyiaran di daerahdaerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta perwakilan Radio Republik Indonesia di luar negeri atau koresponden. Radio Republik Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebut sebagai lembaga penyiaran publik, hal ini termaktub dalam pasal 14 ayat (2) yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara
1
Republik Indonesia”. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran hanya mengatur kelembagaan radio publik secara garis besar atau general, sehingga diperlukan aturan di bawah undang-undang untuk menjabarkan secara lebih rinci tentang kelembagaan Radio Republik Indonesia dalam bentuk aturan yang lebih rendah yakni peraturan pemerintah. Pada tahun 2005, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, hingga sekarang masih ada beberapa isi dalam kedua kebijakan tersebut yang belum dilaksanakan secara optimal seperti aspek kelembagaan, dan program di Radio Republik Indonesia Banjarmasin, di mana kedua aspek tersebut sangat penting dalam melihat perkembangan Radio Republik Indonesia Banjarmasin sebagai lembaga penyiaran publik. Dari aspek kelembagaan, dalam undang-undang penyiaran pasal 14 ayat (5) yang berbunyi “Dewan pengawas ditetapkan oleh presiden bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga Penyiaran Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah dan/atau masyarakat”. Isi pasal tersebut bertentang dengan pasal 13 ayat (2) yang berbunyi “Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh : a. Lembaga Penyiaran Publik; b. Lembaga Penyiaran Swasta; c. Lembaga Penyiaran Komunitas; dan d. Lembaga Penyiaran Berlangganan”. Hal ini menjadi ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan, ketika dalam satu peraturan memuat lembaga baru (lembaga penyiaran publik lokal) yang tidak ada di dalam pasal sebelumnya dalam undang-undang penyiaran. Definisi lembaga penyiaran publik lokal tidak terdefinisikan dalam undang-undang tersebut dan di dalam penjelasan undang. Sebagai lec spesialis bidang penyiaran, undang-undang penyiaran harus menjadi acuan bagi peraturan lain di bidang penyiaran.
2
Pengawasan lembaga penyiaran publik dalam amanah undang-undang penyiaran dilakukan oleh DPR dan DPRD seperti bunyi pasal 14 ayat (9) “Lembaga penyiaran publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. ayat dalam pasal ini bersifat ambigu, sebagai lembaga penyiaran publik RRI seharusnya bebas dari tekanan pemerintah dan politik. Dengan pasal ini pemerintah memberikan hak pengawasan ke ranah politik (DPR), sedangakan dalam undang-undang penyiaran lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia memilik dewan pengawas yang dipilih oleh DPR untuk tingkat pusat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan aturan lebih teknis dari undang-undang penyiaran, tidak ada disebutkan tentang lembaga penyiaran publik lokal dan pengawasan lembaga penyiaran publik lokal oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Definsi tentang lembaga penyiaran lokal ini menjadi ambigu, apa setiap stasiun penyiaran RRI di daerah disebut LPP lokal ataukah lembaga penyiaran yang didirikan oleh pemerintah daerah. Apabila yang dimaksud pasal 14 ayat (3), (5), (6), dan ayat (9) adalah lembaga penyiaran yang didirikan pemerintah daerah, padahal lembaga penyiaran publik lokal dapat didirikan di daerah yang tidak mendapatkan atau tidak terjangkau siaran lembaga penyiaran publik. Sumber daya berkaitan dengan anggaran, di mana Radio Republik Indonesia Banjarmasin menurut undang-undang penyiaran pasal 15 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 pasal 34 ayat (1) point b sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), APBD melalui dana hibah pemerintah provinsi Kalimantan Selatan. Dana hibah ini, setiap tahunnya berbeda-beda besaran nominalnya tergantung dari pemerintah provinsi Kalimantan Selatan. Dengan sumber pendanaan ini seharusnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin dapat berkembang menjadi lembaga penyiaran publik yang sesuai dengan amanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, akan tetapi hal ini membuat Radio Republik Indonesia Banjarmasin tidak dapat menjalankan amanah dalam pasal 38
3
yang berbunyi “Dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran, Radio Republik Indonesia wajib memberikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diumumkan melalui media massa”. Hal tersebut merupakan bentuk tanggungjawab Radio Republik Indonesia Banjarmasin kepada publik karena dana APBN dan APBD yang digunakan dalam kegiatan penyiaran di Radio Republik Indonesia Banjarmasin adalah dana publik sehingga penggunaan dana tersebut harus dipublikasikan secara transparan. Dari aspek program, Radio Republik Indonesia Banjarmasin dituntut untuk dapat netral, independen, tidak komersial dan berorentasi publik, di mana hal ini diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio, bersifat independen, netral, tidak komersil, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat”. Independen yang dimaksud adalah tidak bergantung pada dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain. Independen merupakan hal yang penting, karena tanpa sifat tersebut Radio Republik Indonesia akan rentan ditunggangi kepentingan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Sejarah pernah membuktikan ketika Radio Republik Indonesia berada di bawah Departemen Penerangan, Radio Republik Indonesia dijadikan alat propaganda pembangunan bagi pemerintah saat itu. Oleh Karena itu, Radio Republik Indonesia Banjarmasin yang telah berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik harus dapat menyajikan siaran yang mengakomodasi kepentingan publik. Netral artinya tidak memihak kepada kepentingan salah satu pihak yang berbeda pendapat. Dalam program acaranya Radio Republik Indonesia Banjarmasin tidak boleh bersifat pilih kasih atau mendukung terhadap golongan tertentu akan tetapi bersifat netral. Yang dimaksud dengan sifat tidak komersil adalah tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga lebih mengutamakan peningkatan layanan masyarakat. Walupun dalam pasal 34 ayat (1) point d, Radio Republik Indonesia memiliki sumber pendanaan yang berasal dari siaran iklan salah satunya tetapi dibatasi agar Radio Republik Indonesia Banjarmasin tidak semata-
4
mata mengejar keuntungan tetapi dapat lebih optimal sebagai radio publik yang mengakomodir dan melayani kepentingan publik bukan kepentingan penguasa atau pemerintah dan pengusaha. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, serta dengan mencermati perkembangan
Radio
Republik
Indonesia
Banjarmasin
dalam
mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, dengan segala permasalahan yang dihadapinya, maka penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan dan menganalisis keberhasilan dan hambatan Radio Republik Indonesia Banjarmasin dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. Hal ini penting dilakukan karena Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia telah delapan tahun disahkan sehingga sudah bisa dinilai ataupun dianalisis pelaksanaannya. Selain itu, hasilnya nanti dapat melihat faktor pendukung dan penghambat dari salah satu produk kebijakan komunikasi tersebut. 1.2. Rumusan Masalah Bagaimana Radio Republik Indonesia Banjarmasin mengimplementasikan kebijakan komunikasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di tahun 2013 ? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan dan menganalisis pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin di tahun 2013. Menjelaskan faktor-faktor penghambat dan pendukung implementasi kebijakan tersebut di Radio Republik Indonesia Banjarmasin di tahun 2013. Memberi rekomendasi kepada Radio Republik Indonesia Banjarmasin dalam mengatasi kendala dan masalah yang dihadapi Radio Republik Indonesia Banjarmasin sebagai lembaga penyiaran publik.
5
1.3.2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian untuk memberikan masukan ke pemerintah berkaitan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik Indonesia Banjarmasin. 1.4. Kerangka Pemikiran 1.4.1. Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2005 sebagai Kebijakan Komunikasi Menurut
UNESCO
ilmu
komunikasi
memandang
kebijakan
komunikasi sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi (dalam Abrar, 2008; 3). Untuk menjamin kelancaran sistem komunikasi maka peraturan tentang semua proses komunikasi harus dibuat. Bagaimanapun semua proses itu berbeda satu sama lain. Maka, idealnya kebijakan komunikasi itu cukup banyak (Abrar, 2008; 15). Sehingga kebijakan terhadap media cetak dan elektronik akan berbeda dan setiap kebijakan komunikasi menjadi lec spesialis dan tidak tumpang tindih dalam isi nya. Karena kebijakan komunikasi merupakan studi tentang keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan persoalan komunikasi (Abrar, 2008; 12). Jadi dapat dipahami bahwa kebijakan komunikasi meliputi undang-undang, peraturan pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah yang berkaitan dengan bidang komunikasi. Menurut Abrar (2008; 13) Sebagai kebijakan publik, kebijakan komunikasi memiliki paling tidak lima kriteria, yaitu: Memilik tujuan tertentu; Berisi tindakan pejabat pemerintah; Memperlihatkan apa yang akan dilakukan pemerintah; Bisa bersifat positif atau negatif; dan Bersifat memaksa (otoritatif). Oleh karena itu kebijakan komunikasi sebagai kebijakan publik yang mempengaruhi masyarakat secara umum harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut.
6
Dalam bahasa Paula Chakravartty dan Katharine Sarikakis (2006; 7), kebijakan komunikasi selalu memilik konteks, domain dan paradigma (dalam Abrar, 2008; 4). Maka dengan ketiga ciri tersebut, akan diketahui arah kebijakan dari suatu produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Sedangkan Masduki (2007; 44) menyebutkan ciri-ciri konseptual dari kebijakan komunikasi : a.
Kebijakan komunikasi merupakan perangkat norma sosial yang dibentuk untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.
b.
Kebijakan komunikasi biasanya dirumuskan oleh para pemimpin politik yang benar-benar dilaksanakan melalui pembatasanpembatasan legal dan institusional untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.
c.
Kebijakan komunikasi nasional meliputi keputusan-keputusan mengenai institusional media komunikasi dan fungsi-fungsinya.
d.
Kebijakan tersebut juga mengharuskan diterapkannya kontrol guna menjamin operasi institusi-institusi tersebut terbawa ke arah kemaslahatan umum
Menurut Wahyuni (2000; 15) sebuah kebijakan komunikasi, biasanya dilandasi oleh proposisi-proposisi sebagai berikut: Pertama, bila media massa jatuh ke tangan yang salah, dapat disalahgunakan untuk merusak keserasian sosial dan stabilitas politik masyarakat. Kedua, media massa dengan arahan yang tepat, dapat memainkan peranan yang konstruktif dalam pembinaan bangsa, terutama di negara-negara sedang berkembang, oleh sebab itu operasi media massa harus dikontrol secara tepat oleh pemerintah. Dari sisi politik, kebijakan komunikasi, memiliki tujuan untuk melanggengkan kekuasaan para aktor perumus kebijakan. Hal ini terbukti banyak pasal-pasal tidak jelas yang pada akhirnya dapat diputarbalikan sesuai dengan keinginan para pembuat kebijakan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembuatan suatu kebijakan komunikasi seringkali disusupi berbagai muatan politis yang pada akhirnya kebijakan komunikasi
7
tersebut tidak mencerminkan kepentingan masyarakat, akan tetapi lebih mengakomodasi kepentingan penguasa. Salah satunya tercermin dari benturan-benturan yang terjadi antara Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dengan UndangUndang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam hal penentuan siapa yang menjadi pemegang otoritas izin penyiaran. Dalam undang-undang penyiaran menyatakan otoritas izin penyiaran berada pada pemeritah. Sedangkan undang-undang otonomi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 menyatakan pemerintah daerah berhak mengatur frekuensi di daerahnya (Sudibyo, 2004; 52). Ketidaksingkronan kebijakan tersebut tersebut menandakan ketidakteraturan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia sehingga ketika undang-undang tersebut diturunkan kedalam bentuk peraturan pemerintah ataupun peraturan daerah, kebanyakan hasilnya jadi ambigu. Setelah dibubarkannya Departemen Penerangan, Radio Republik Indonesia mengalami kegamangan dalam bentuk badan hukumnya. Di tahun 2002 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di dalam pasal 14 membahas tentang lembaga penyiaran publik. Untuk mengatur lembaga penyiaran publik lebih kompleks perlu dibuat aturan di bawah undang-undang tersebut berkaitan dengan lembaga penyiaran publik. Pada tahun 2005, pemerintah membuat dan mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. Undang-Undang No 32 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2005 merupakan salah satu bentuk kebijakan komunikasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 di pasal 6 ayat (1) disebutkan organisasi Radio Republik Indonesia terdiri dari Dewan pengawas; Dewan direksi; Stasiun penyiaran; Satuan pengawasan intern; dan Pusat dan perwakilan dari struktur organisasi Radio Republik Indonesia diatas, Radio Republik Indonesia Banjarmasin menempati posisi stasiun penyiaran. Maka sebagai stasiun penyiaran, Radio Republik Indonesia
8
Banjarmasin harus tundak dan patuh pada ketentuan yang dibuat oleh Radio Republik Indonesia pusat. Sehingga penyiaran di Radio Republik Indonesia Banjarmasin tidak berbeda jauh dengan Radio Republik Indonesia pusat. Seharusnnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin bisa mengeksplorasi hal-hal yang tidak tercover oleh Radio Republik Indonesia pusat. Pada pasal 4 bahwa tugas Radio Republik Indonesia adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran radio yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disinilah Radio Republik Indonesia Banjarmasin harus menguatkan perannya sebagai lembaga penyiaran publik di daerah. Dalam pasal 1 ayat (3) lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia adalah lembaga penyiaran publik yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Dari faktor komunikasi keempat point itu harus di transmisikan secara jelas agar dapat diterima oleh para pegawai Radio Republik Indonesia Banjarmasin. Transmisi tersebut berkaitan dengan petunjuk-petunjuk umum dan khusus yang harus dipatuhi oleh para agen pelaksana kebijakan. Karena kesalahan menyampaikan petunjuk atau memberikan arahan akan berimplikasi pada terhambatnya implementasi kebijakan. Hambatan itu dapat berupa lambatnya proses perubahan yang terjadi di dalam sebuah lembaga atau organisasi. Di lihat dari faktor Sumber daya, maka dapat dikatakan bahwa fasilitas yang ada di Radio Republik Indonesia Banjarmasin belum sepenuhnya optimal menunjang kegiatan penyiaran publik karena infrastruktur yang dimiliki Radio Republik Indonesia Banjarmasin memilik kesulitan dalam pemeliharan peralatan pemancar dan studio. Faktor sumberdaya manusianya juga masih jauh dari harapan karena kepegawaian Radio Republik Indonesia terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS), pegawai
9
bukan pegawai negeri sipil (PBPNS), dan kontrak atau honor serta kurangnya rekruitmen pegawai tetap untuk regenerasi kepegawaian di Radio Republik Indonesia Banjarmasin. Disamping itu tumpang tindih aturan mengenai lembaga penyiaran publik mengakibatkan susahnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 di implementasikan karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kebijakan Penyiaran Publik, idealnya menurut undang-undang penyiaran hanya ada empat peraturan pemerintah yang dibuat pemerintah yaitu Lembaga penyiaran publik, Lembaga penyiaran swasta, Lembaga penyiaran komunitas, dan Lembaga penyiaran berlangganan sesuai pasal 13 ayat 2 Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Faktor struktur birokrasi juga memiliki peranan penting. Karena aspek tersebut menyangkut pada standar operasional prosedur (SOP) dan juga fragmentasi yang berkaitan dengan koordinasi. Dengan berubahnya status Radio Republik Indonesia dari perusahaan jawatan (PERJAN) ke lembaga penyiaran publik maka standar operasional prosedurnya juga berubah. Hal ini tentu disesuaikan dengan visi dan misi organisasi yang baru. Selain perubahan pada SOP, koordinasinya juga berubah. Sehingga dapat dinyatakan, bahwa posisi Radio Republik Indonesia Banjarmasin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 belum signifikan. Hal ini dikarenakan sistem kerja yang ada di Radio Republik Indonesia Banjarmasin masih terpusat pada Radio Republik Indonesia pusat sehingga sedikit peluang Radio Republik Indonesia Banjarmasin untuk menentukan
kebijakan
penyiaran
versi
Radio
Republik
Indonesia
Banjarmasin. Masalah sumber daya berkaitan dengan dana menjadi masalah pokok karena dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penyiaran dan masalah sumber daya manusia.
10
1.4.2. Anatomi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia Kebijakan komunikasi merupakan bagian dari kebijakan publik. Salah satu produk kebijakan komunikasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. Peraturan tersebut mengatur tentang Radio Republik Indonesia sebagai lembaga penyiaran publik, peraturan pemerintah tersebut merupakan aturan turunan dari undang-undang penyiaran yang mengatur lembaga penyiaran publik secara garis besar saja. Lembaga penyiaran meminjam frekuensi yang jumlahnya terbatas dari pemerintah, karena frekuensi merupakan milik publik. Sehingga diperlukan aturan yang ketat untuk pemanfataannya. Untuk mengatur pemanfaatan frekuensi untuk penyiaran publik pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, yang terdiri dari 11 bab dan 47 pasal. Dalam bab I memuat ketentuan umum terdiri dari satu (1) pasal; Bab II menjelaskan mengenai bentuk, kedudukan, tugas dan fungsi terdiri dari empat (4) pasal; Bab III mengatur tentang struktur organisasi terdiri dari dua belas (12) pasal; Bab IV memuat tentang kepangkatan, pengangkatan, dan pemberhentian terdiri dari delapan (8) pasal; Bab V berisi tentang tata kerja terdiri dari tujuh (7) pasal; Bab VI menjelaskan tentang kekayaan dan pendanaan terdiri dari empat (4) pasal; Bab VII menjelaskan tentang rencana kerja dan anggaran terdiri dari dua (2) pasal; Bab VIII berisi tentang pertanggungjawaban terdiri dari dua (2) pasal; Bab IX mengatur tentang kepegawaian terdiri dari tiga (3) pasal; Bab X memuat mengenai ketentuan peralihan terdiri dari dua (2) pasal; Sedangkan Bab XI memuat tentang ketentuan penutup terdiri dari dua (2) pasal. Untuk mengetahui konsep dari Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, maka penulis harus mengetahui sifat dari Peraturan Pemerintah tersebut. Adapun sifat dari lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia tercantum dalam pasal 3 ayat (1) ketiga sifat tersebut juga menggambarkan karakteristik penyiaran publik di Indonesia. Selain itu, sifat
11
tersebut sejalan dengan definisi mengenai lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia yang terdapat dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia adalah Lembaga Penyiaran Publik yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat”. Adapun tugas dari lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia sesuai dalam pasal 4 adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan prekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran radio yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan fungsi Radio Republik Indonesia yang terdapat dalam pasal 5 adalah berkaitan dengan perumusan kebijakan umum dan pengawasan di bidang penyelenggaraan penyiaran radio publik, Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan penyelenggaran penyiaran radio publik, Pembinaan dan pelaksanaan administrasi serta sumber daya Radio Republik Indonesia. Untuk melaksanakan kegiatan operasional dan administrasi maka diperlukan sumber daya yang handal dan menguasai bidang pekerjaannya. Sumber daya tersebut terbagi dalam susunan organisasi yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Susunan organisasi tersebut terdapat dalam pasal 6 ayat (1) terdiri atas: Dewan pengawas, Dewan direksi, Stasiun penyiaran, Satuan pengawasan intern, dan Pusat dan perwakilan. Adapun tugas dari dewan pengawas yang sesuai dengan pasal 7 adalah Menetapkan kebijakan umum, rencana induk, kebijakan penyiaran, rencana kerja dan anggaran tahunan, kebijakan pengembangan kelembagaan dan sumber daya, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut sesuai dengan arah dan tujuan penyiaran; Mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran serta independensi dan netralitas siaran; Melakukan uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka terhadap calon anggota dewan direksi; mengangkat dan memberhentikan dewan direksi; Menetapkan salah seorang
12
anggota dewan direksi sebagai direktur utama; Menetapkan pembagian tugas setiap direktur; Melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sedangkan tugas dari dewan direksi terdapat pada pasal 11 adalah Melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh dewan pengawas yang meliputi kebijakan umum, rencana induk, kebijakan penyiaran, rencana kerja dan anggaran tahunan, serta kebijakan pengembangan kelembagaan dan sumber daya; Memimpin dan mengelolah Radio Republik Indonesia sesuai dengan tujuan dan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil guna; Menetapkan ketentuan teknis pelaksanaan operasional lembaga dan operasional penyiaran; Mengadakan dan memelihara pembukuan serta administrasi sesuai dengan peraturan yang berlaku; Menyiapkan laporan tahunan dan laporan berkala; Membuat laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; mewakili lembaga di dalam dan di luar pengadilan; Menjalin kerjasama dengan lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri. Selanjutnya, dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa stasiun penyiaran adalah penyelenggara kegiatan penyiaran Radio Republik Indonesia yang berlokasi di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota sedangkan satuan pengawasan intern yang dimaksud sesuai pasal 1 ayat (7) pengawasan intern adalah pengawasan administrasi, keuangan dan operasional di dalam lembaga penyiaran publik yang memiliki tugas yang termaktub dalam pasal 15 ayat (1) bertugas melakukan pengawasan intern keuangan dan operasional lainnya serta melaporkan temuannya kepada dewan direksi. Untuk melaksanakan kegiatan di Radio Republik Indonesia maka sumber daya saja tidak cukup. Hal ini harus didukung dengan anggaran dana yang memadai. Dalam pasal 34 ayat (1) sumber pendanaan Radio Republik Indonesia berasal dari : Iuaran penyiaran; Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD); Sumbangan masyarakat; Siaran iklan; Usaha lain yang sah yang terkait
13
dengan penyelenggaraan penyiaran. tetapi hingga saat ini pengelolaan dana yang ada di Radio Republik Indonesia belum sepenuhnya transparan karena publik belum sepenuhnya aktif terlibat. Dalam pasal 38 dalam waktu paling lambat tiga (3) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran, Radio Republik Indonesia wajib memberikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diumukan melalui media massa. Sesuai dengan peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 seharusnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin dapat memiliki karakteristik berikut : Pertama, bersifat independen adalah tidak bergantung pada dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain; Kedua, Netral adalah tidak memihak kepada kepentingan salah satu pihak yang berbeda pendapat; Ketiga, tidak komersial adalah tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga lebih mengutamakan peningkatan layanan masyarakat dan memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Sebagai produk hukum Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tidak memiliki sanksi yang akan dikenakan jika Radio Republik Indonesia Banjarmasin tidak melaksanakan hal-hal apa saja yang telah diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. 1.4.3. Implementasi Kebijakan Publik Menurut Nugroho (2012; 173), pembagian pertama kebijakan publik dijabarkan dalam makna kebijakan publik, yaitu pertama hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian jenis kebijakan publik yang kedua adalah bentuknya. Kebijakan publik dalam arti luas dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan dalam bentuk peraturanperaturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan dan peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun disepakati, yang disebut konvensi-konvensi. Peraturan tertulis mudah diamati dan dipahami. Kebijakan publik merupakan kontrak sosial dari pemerintah kepada rakyat atau warga negaranya.
14
Menurut Nugroho (2012; 176), Kebijakan publik yang tertinggi dibuat oleh legislatif berupa konstitusi dan ketetapan MPR. Kebijakan publik yang hanya dibuat oleh eksekutif. Lembaga eksekutif dapat membuat kebijakan publik berupa turunan dari kebijakan publik di atasnya. Kebijakan publik yang dibuat eksekutif berupa peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan presiden, keputusan menteri, hingga keputusan kepala daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 merupakan salah satu contoh peraturan pemerintah yang tertulis yang dibuat oleh pihak eksekutif atau pemerintah untuk mengatasi permasalahan di bidang penyiaran publik dan merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dan kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjsama antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kebijakan publik yang tertulis perlu di implementasikan. Menurut Nugroho (2012; 674), impelementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan publik dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Implementasi kebijakan merupakan tahapan dari proses kebijakan, di mana kebijakan yang telah ditetapkan akan di implementasikan, kebijakan tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan daerah. Menurut Lester dan Stewart (2000), implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses politik. Kalimat tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa implementasi lebih bermakna non politik, yaitu administratif (dalam Kusumanegara, 2010; 97). Implementasi sebagai kegiatan administrasi memiliki konsekuensi dalam pelaksanaannya dan memiliki dampak terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut.
15
Hal ini sejalan dengan kamus webster, dalam Wahab (2012; 135), secara
lexicografis
merumuskan
bahwa
istilah
to
implement
(mengimplementasikan) itu berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Hal ini berarti implementasi kebijakan merupakan proses melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Kebijakan yang telah ditetapkan harus dilaksanakan atau kebijakan itu akan sekedar menjadi mimpi dari pembuat kebijakan bila tidak dilaksanakan seperti diungkapkan oleh pakar kebijakan asal Afrika, Udoji (1981; 32) dalam wahab (2008; 59), dengan tegas pernah mengatakan bahwa “the execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams or blue print in file jakets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Kebijakan yang dibuat memiliki tujuan tertentu dan harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Akan tetapi tidak semua kebijakan yang dibuat dapat dilaksanakan dan mencapai tujuannya, karena setiap kebijakan memiliki resiko untuk gagal. Seperti yang dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn (1986) dalam Wahab (2012; 129)., kegagalan kebijakan (policy failure) ini dalam dua kategori besar, yaitu : a. Non-implementation (tidak terimplementasikan) Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau mungkin permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaan, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.
16
b. Unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil) Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi ketika suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan-semisal tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan (coup de’ tat), bencana alam, dan lain sebagainya, kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya, kebijakan yang memiliki risiko untuk gagal itu disebabkan oleh faktor berikut: pelaksanaannya
jelek (bad execution),
kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck).
Kegagalan atau berhasilnya kebijakan tergantung dari tindakantindakan dari aktor pelaksananya, seperti yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Hom (1975), merumuskan proses implementasi sebagai “those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objective set fort in prior policy decision” (tindakan-tindakan yang di lakukan baik oleh individual/pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan) (dalam wahab, 2012; 135). Untuk mengkaji keberhasilan kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan salah satu model implementasi yang dikemukakan oleh Goerge C. Edwards III. Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edwards III, dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan buah pertanyaan, yakni: prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil, dan hambatanhambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan membiacarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor tersebut adalah (Winarno, 2008; 174-208) :
17
1. Komunikasi Berkaitan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik dan sikap serta tanggapan dari pihak yang terlibat (Nugroho, 2012; 693). a. Transmisi Merupakan
faktor
pertama
yang
berpengaruh
terhadap
komunikasi kebijakan adalah transmisi. Transmisi memprioritaskan pada penguatan pendapat diantara aktor pelaksana kebijakan, agar tidak terjadi hambatan dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut. Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini aka n menimbulkan hambatan-hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. b. Kejelasan Instruksi-instruksi yang diberikan
kepada para pelaksana
kebijakan harus jelas sehingga tidak mengaburkan pesan awal dari kebijakan
tersebut.
Selain
itu
kurangnya
kejelasaan
dapat
menimbulkan perubahan kebijakan yang tidak diharapkan (Winarno, 2008; 177). Dalam mengimplementasikan kebijakan, setiap instruksi yang diberikan harus di informasikan dengan jelas. c. Konsistensi Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas (Winarno, 2008; 177). Ketidakkonsistenan dapat menyebabkan tujuan dari kebijakan tersebut tidak akan tercapai.
2. Sumber daya Sumber daya berkaitan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif (Nugroho, 2012; 693). Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Sumberdaya
18
meliputi sumber daya manusia (staf) yang memadai serta keahliankeahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas (Winarno, 2008; 181). a. Staf Staf merupakan sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan. Ada satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan, tetapi profesionalitas dan kompetensi merupakan faktor yang mendukung efektifitas proses pelaksanaan kebijakan. b. Informasi Informasi merupakan sumber penting yang kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk, yaitu informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturanperaturan pemerintah (Winarno, 2008; 183-185). Informasi mengenai kebijakan baru perlu disosialisasikan kepada pelaksana kebijakan untuk dipahami dan dilaksanakan sesuai peraturan, agar tidak terjadi kesalahan komunikasi diantara pelaksana kebijakan. c. Wewenang Wewenang dalam satu organisasi akan berbeda dengan organisasi lain dalam melaksanakan suatu program kebijakan. Wewenang pada umumnya bersifat formal, agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. d. Fasilitas Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-sumber penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa fasilitas yang memadai pelaksanaan kebijakan akan terganggu.
19
3. Disposisi (Kecenderungan-kecenderungan) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitment, kejujuran, sifat demokratis (Subarsono, 2011; 91). Dengan kata lain, disposisi merupakan kesedian dari pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. a. Dampak dari disposisi (kecenderunga-kecenderungan) Jika pelaksana kebijakan mendukung dan berkomitmen terhadap kebijakan tersebut, maka implementasi kebijakan akan berjalan dengan lancar, tetapi apabila pelaksana kebijakan tidak berkomitmen terhadap kebijakan tersebut maka akan terjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan. b. Beberapa Insentif Menurut Edrwads, salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif-insentif oleh para pembentuk kebijakan tingkat tinggi besar kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi faktor pendorong yang membuat para implementor melaksanakan perintah dengan baik (Winarno, 2008; 198). Pemberian insentif ini berdasarkan kriteria tertentu agar hasilnya tidak menyimpang. 4.
Struktur birokrasi Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup
20
keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi dalam pelaksanaannya mungkin mereka masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi, seperti dijelaskan di bawah ini. a. Standar Operasional Prosedur (SOP) Salah satu dari aspek-aspek struktual paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya Standard Operating Procedures (SOP). Dengan menggunakan
SOP, para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleksitas dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Organisasi-organisasi dengan Standard Operating Procedures (SOP) yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggungjawab yang baru ketimbang birokrasi-birokrasi tanpa menpunyai Standard Operating Procedures (SOP). b. Fragmentasi Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam melaksanakan
kebijakan
adalah
fragmentasi
organisasi.
Tanggungjawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan juga akan mempunyai pengaruh dalam mendorong fragmentasi. Sifat multi dimensi dari banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi.
21
Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasanalasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mengadopsi model yang dikemukakan oleh George C. Edwards III dalam dalam mengkaji keberhasilan dan hambatan implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik Indonesia Banjarmasin tahun 2013 dengan menggunakan indikator komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi yang dilihat dari aspek kelembagaan, anggaran, dan program. Dimana keempat indikator tersebut dapat dilihat pada skema di bawah ini : Gambar 1. Proses Implementasi Kebijakan Model Edwards III Komunikasi
Sumber Daya implementasi
Disposisi
Struktur Birokrasi
22
1.4.4. Lembaga Penyiaran Publik Lembaga penyiaran publik sejalan dengan pemikiran Habermas pada abad ke-17 di Eropa tentang ruang publik (public sphere) yang terletak antara komunitas ekonomi dan negara, di mana publik melakukan diskusi yang rasional, membentuk opini mereka, serta menjalankan pengawasan terhadap pemerintah (Habermas, 1993; 43). Ruang publik menurut Habermas adalah wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Mereka sebetulnya adalah orang-orang privat, bukan dengan kepentingan bisnis atau professional, tetapi dalam percakapan mereka membentuk suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi yang dipercakapkan melainkan kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam hal seperti ini orang privat menjadi publik. Lebih lanjut Habermas menekankan bahwa lembaga penyiaran publik adalah akar dari pencerahan bangsa. Prinsip-prinsip penyiaran publik menurut UNESCO meliputi empat hal, yaitu : a.
Universality Tujuan dari penyiaran publik adalah egalitier dan demokratis dengan menepatkan semua warga negara pada pijakan yang sama. Penyiaran publik harus dapat diakses oleh setiap warga negara di seluruh negeri. Dengan membuat program yang dapat diakses oleh seluruh penduduk.
b.
Diversity (Keragaman) Penyiaran publik harus memiliki keragaman setidaknya dalam tiga cara yaitu : gaya atau aliran program yang ditawarkan, target pendengar dan subyek yang dibahas. Penyiaran publik harus mencerminkan
keragaman
kepentingan
umum
dengan
menawarkan berbagai jenis program. c.
Independence (Independen) Penyiaran publik harus lepas atau bebas dari tekanan komersial dan pengaruh politik.
23
d.
Distinctiveness (Kekhasan) Penyiaran publik harus memiliki kekhasan atau berbeda dengan lembaga penyiaran yang lain. Program penyiaran publik harus mampu mengidentifikasikan apa yang menjadikan mereka memiliki ke khasan atau membedakan mereka dari layanan lembaga penyiaran lainnya.
Pembiayaan lembaga penyiaran publik harus independen dari tekanan komersial dan politik. Pembiayaan lembaga penyiaran publik bisa dibiayai negara melalui pajak ijin penyiaran atau pendapat negara yang tidak terkait dengan kondisi pemerintahan dan fluktuasi ekonomi. Sedangkan menurut Eric Barendt (dalam Mendel, 2000; 33), Lembaga penyiaran publik menurut harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : a.
General geographical availability (Siaran harus menjangkau seluruh wilayah geografi yang ada),
b.
Concern for national identity and culture (Menaruh perhatian pada identitas nasional dan budaya),
c.
Indepedence from both the state and commercial interest (Netral terhadap kekuasaan negara dan kepentingan komersial),
d.
Impartiality of programmes (Seimbang dalam program siaran),
e.
Range and variety of programmes (Program siarannya bervariasi dan memenuhi seluruh lapisan masyarakat),dan
f.
Substantials financing by general charge on users (Keuangan yang kuat dimana dibiayai oleh publik).
Terinspirasi oleh Lasswell (1946), Sendjaja (2001; 1) dalam Mufid (2010; 79) menguraikan fungsi sosial media penyiaran publik yang cukup signifikan, yaitu sebagai berikut : a.
Pengawas sosial (social surveillance), yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
24
b.
Korelasi sosial (social correlation), merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus.
c.
Sosialisasi (socialization), merujuk pada upaya pewarisan nilainilai dari satu generasi kegenerasi lainnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Menurut McQuail, Senjaja (2001; 3) dalam Mufid (2010; 80), menguraikan urgensi media penyiaran publik adalah untuk menjunjung nilainilai yang banyak ditinggalkan oleh media komersial, seperti independensi, solidaritas, keanekaragaman (opinin dan akses), objektivitas, dan kualitas informasi. Lembaga
penyiaran
publik
dalam
menjalankan
fungsinya
mewujudkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar (right to know) dan hak masyarakat untuk mengekspresikan diri (right to expression). Lembaga penyiaran publik menyelenggarakan siaran sesuai dengan apa yang menjadi perhatian publik dan meningkatkan kualitas dengan memberdayakan individu dan kelompok sosial untuk berpartisipasi secara penuh dan wajar untuk bangsa. Penyelenggaraan siaran ditujukan memantapkan identitas nasional dan masyarakat serta untuk menggerakan masyarakat dan merubahnya dengan akses yang universal tetapi tetap memberikan perhatian pada kaum minoritas. Dana diperoleh dari publik dan negara dan penyelenggara siaran tetap menjaga jarak dengan kelompok kepentingan tertentu. 1.5. Konsep Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan kerangka pemikiran yang telah disampaikan sebelumnya, peneliti membuat konsep aspek kelembagaan dengan mengadaptasi model implementasi kebijakan George C. Edward III yakni, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi, dan konsep
25
aspek program menggunakan prinsip-prinsip penyiaran publik sebagai kajian subtansi dari implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di lembaga penyiaran publik RRI Banjarmasin. Konsep tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Tabel 1. Konsep Penelitian
No
Konsep
1.
Aspek kelembagaan penyiaran publik di lihat dari :
a. Komunikasi
Makna
Indikator
Bagaimana kebijakan Pelaksana kebijakan dikomunikasikan mengetahui isi kepada organisasi dan kebijakan tersebut. sikap serta tanggapan dari pihak yang terlibat. Terlaksananya koordinasi dalam unit dan antar unit dalam organisasi LPP RRI Banjarmasin.
b. Sumber daya
Ketersedian sumber daya pendukung dan sumber daya manusia yang berkompeten di bidangnya untuk melaksanakan kebijakan tersebut
26
Tercukupinya kebutuhan sumber daya manusia, anggaran, dan sarana prasarana dalam mendukung pelaksanaan PP No.12 Tahun 2005 di RRI Banjarmasin
c. Disposisi
Komitmen para pejabat terhadap implementasi PP No 12 Tahun 2005 meliputi sikap dan pemahaman para pejabat
Adanya Komitmen pimpinan terhadap pelaksanaan PP No 12 Tahun 2005.
d. Struktur Birokrasi
Bagaimana struktur birokrasi, normanorma, dan pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi di dalam mengimplementasikan PP No 12 Tahun 2005
Adanya SOP dalam pembagian tugas dan kegiatan. Pendelegasian wewenang dalam LPP RRI Banjarmasin Adanya koordinasi yang baik dalam penyelenggaran siaran publik
2.
Aspek program siaran dilihat dari : Prinsip-prinsip penyiaran publik
Sebagai media yang menjaga integritas nasional dan nilai-nilai lokal masyarakatnya serta untuk mewujudkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar (right to know), dan mengekspresikan diri (right to expression).
27
Universality, Keragaman dan akses publik, Independensi, Kekhasan, Obyektifitas, dan Jangkauan siaran
1.6. Metodologi Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini jenis deskriptif kualitatif. Karena jenis deskriptif kualitatif memang diarahkan untuk mengetahui kondisi suatu objek pada masa kini. Jenis penelitian ini cocok digunakan untuk mendeskripsikan dan menilai Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 di Radio Republik Indonesia Banjarmasin Tahun 2013 beserta aspek-aspek terkait. 1.6.2. Metode Penelitian Creswell (1998) dalam Herdiansyah (2010; 76) menyatakan bahwa studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu bounded system pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Salah satu ciri khas dari studi kasus adalah adanya bounded system. Yang dimaksud dengan bounded system adalah adanya batasan dalam hal waktu dan tempat serta batasan batasan dalam hal kasus yang diangkat. Ciri lainnya dari studi kasus adalah keunikan dan kekhasan dari kasus yang diangkat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, sesuai dengan 7 Tipe penelitian dalam kebijakan komunikasi yaitu melihat daya guna suatu kebijakan. Selain itu, studi kasus juga dapat digunakan untuk memahami fenomena dalam implementasi kebijakan. Penggunaan metode ini tentu sesuai dengan kebutuhan penulis yang ingin mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah diajukan. 1.6.3. Fokus Penelitian Fokus penelitiannya pada analisis keberhasilan dan hambatan pelaksanaan kebijakan komunikasi (Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik Indonesia Banjarmasin Tahun 2013).
28
1.6.4. Objek Penelitian Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pegawai Radio Republik Indonesia Banjarmasin terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. 1.6.5. Lokasi Penelitian Di stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin di kota Banjarmasin JL. Jend. A. Yani KM 3,5 No. 7
Banjarmasin 70234,
Kalimantan Selatan. 1.6.6. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara Pengamatan langsung atau observasi, wawancara mendalam dan analisis data sekunder. 1.6.6.a. Observasi penulis melakukan observasi di lapangan sesuai dengan lokasi penelitian yang di tentukan. Observasi di lakukan terhadap kegiatan dan proses kegiatan implemetasi penyiaran publik di LPP RRI Banjarmasin. Data yang dikumpulkan dan dicatat berupa perilaku pelayanan, kondisi bangunan, dukungan sarana dan prasarana serta jaringan infrastruktur yang digunakan dalam implementasi penyiaran LPP RRI Banjarmasin. 1.6.6.b. Wawancara Mendalam Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam terhadap informan guna mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam tentang berbagai hal yang diperlukan dalam hubungannya dengan implementasi LPP di RRI Banjarmasin. Sedangkan teknik wawancara bersifat terbuka dengan tujuan agar responden dapat memberikan
jawaban
dan
pandangan
seluas-luasnya.
Agar
wawancara tetap berada dalam konteks penelitian maka wawancara disertai pedoman wawancara yang dapat berkembang sesuai dengan
29
kebutuhan penulisan tesis ini. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah : a. H. La Sirama, S.Sos, MM sebagai Kepala Stasiun Radio Republik Indonesia Banjarmasin, b. Nauval Sahupala, S.Sos, MM sebagai Kepala Bidang Layanan dan Pengembangan Usaha Radio Republik Indonesia Banjarmasin, c. Bahriansyah, S.Sos sebagai Kepala Bidang Teknologi Media Baru Republik Indonesia Banjarmasin, d. Dra.Sjahbanah Bahdar, M.Si sebagai Kepala Bidang Pemberita Radio Republik Indonesia Banjarmasin, e. Drs. Said Abdillah Sebagai Kepala Bidang Program Siaran Republik Indonesia Banjarmasin, dan f. Drs. Abu Bakar, M.AP Kepala Bagian Tata Usaha Radio Republik Indonesia Banjarmasin. g. Noorsyarifah, SH Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi Program Radio Republik Indonesia Banjarmasin h. Hj.Gt.Rasyidah, S.AB Kasub. Bag Keuangan Radio Republik Indonesia Banjarmasin i. Rusdiah, Staf seksi SDM Radio Republik Indonesia Banjarmasin j. Fakhri Wardhani, S.Sos Wakil Ketua KPID Kalimantan Selatan k. Fachrian Noor, Pengurus Forum Pemerhati Radio Republik Indonesia Banjarmasin Dipilihnya pejabat-pejabat tersebut dengan asumsi pejabatpejabat ini sangat relevan dengan maksud dan tujuan penelitian ini dilakukan. 1.6.6.c. Analisis Data Sekunder Analisis data sekunder dilakukan dengan meninjau dokumen-dokumen yang mencakup kebijakan lembaga penyiaran publik di Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin dan dokumen lain berupa laporan-laporan atau literatur kepustakaan yang relevan dengan tujuan penelitian.
30
1.6.7. Teknik Analisis Data 1.6.7.a. Penyajian Data Alur yang digunakan dalam penyajian data, menurut Matthew dan Michael dalam Miles dan Huberman (1992; 20) dibagi tiga, yakni: a.
Reduksi data. Reduksi data dalam penelitian ini diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data dari hasil penelitian di lapangan. Pada tahap ini reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, memilah data yang diperlukan dan yang tidak, mengorganisasi data dengan cara yang spesifik hingga dapat menarik kesimpulan dan memverifikasi kesimpulan tersebut.
b.
Penyajian data. Penyajian data kualitatif yang dimaksud adalah sekumpulan
informasi
yang
disusun
untuk
memberi
kemungkinan ada penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c.
Kesimpulan dan verifikasi. Bagian terakhir dalam penyajian data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan berupa deduksi suatu konfigurasi. Pembuktian kembali atau verifikasi dilakukan untuk mencari pembenaran dan persetujuan sehingga validitas dapat tercapai
1.6.7.b. Analisis Data Data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi serta data sekunder yang sudah diolah dan disajikan kemudian akan dianalisis dengan kerangka konsep yang sudah digambarkan dalam penelitian ini (tabel 1). Selanjutnya akan dianalisis dan dimaknai dengan menggunakan perspektif kebijakan komunikasi, khususnya tentang lembaga penyiaran publik di Indonesia.
31
1.6.8. Batasan Penelitian Deskripsi tentang implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik Indonesia Banjarmasin Tahun 2013 dilihat dari aspek kelembagaan penyiaran publik meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan aspek program siaran berdasarkan prinsip penyiaran publik. 1.6.9. Perspektif Penelitian Agar data dalam penelitian memilik sebuah makna, maka diperlukan perspektif untuk memaknainya. Sehingga dalam penelitian ini, akan digunakan beberapa perspektif yang salah satunya adalah perspektif administrasi publik yang dirumuskan oleh Charles Edward III tentang Implementation problems approach yang meliputi faktor pendukung dan penghambat suatu kebijakan publik. 1.6.10. Sistematika Tesis Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, konsep penelitian, metodologi penelitian, teknik analisis data, batasan penelitian, perspektif penelitian dan sistematika tesis. Bab II : Tinjauan Umum Objek Penelitian berisi tentang Profil RRI Banjarmasin dan uraian tata kerja LPP RRI Banjarmasin Bab III : Hasil Penelitian, berisi tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 (aspek kelembagaan penyiaran publik meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan aspek program siaran berdasarkan prinsip penyiaran publik), Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, dan Faktor pendukung dan penghambat. Bab IV : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
32