BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Paradigma sehat yaitu dasar pandang baru dalam pembangunan kesehatan yang merupakan upaya untuk meningkatkan kesehatan bangsa yang bersifat proaktif. Usaha tersebut merupakan model upaya kesehatan yang dalam jangka panjang mampu mendorong masyarakat untuk bersikap mandiri dalam menjaga kesehatan mereka sendiri, melalui kesadaran yang lebih tinggi pada pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif dan menggambarkan keadaan masyarakat indonesia di masa depan yang ingin di capai sebagai indonesia sehat 2010. Usaha yang dilakukan ebih mengutamakan upaya-upaya preventif dan promotif yang proaktif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabiitatif (IFI, 2001). Menurut UU Kes No.36 Tahun 2009, Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani) dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menyikapi tentang hal ini pemerintah membuat program yang bertujuan meningkatkan pelayanan prima guna menyonsong indonesia sehat 2010. Untuk menindak lanjuti hal tersebut perlu adanya perhatian serius mengenai empat aspek dalalm meningkatkan kesehatan yaitu : promotif, preventif, kuratif dan rehabilatif. Ke empat aspek tersebut tanggung jawab dan tugas dari para pelayanan kesehatan yang salah satunya adalah fisioterapis. Bell’s palsy adalah suatu gangguan neurologi yang di sebabkan oleh kerusakan syaraf cranial ke VII atau di sebut juga sebagai syaraf facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralisis pada satu sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan distorsi wajah serta menggangu fungsi normal, Seperti ganguan menutup mata, gangguan makan, ganguan bicara dan tersenyum. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan facialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervus farcial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak di ketahui (idiopatik) di luar sistem syaraf pusat tanpa di sertai adanya penyakit neurologis lainnya (Juky, 2010). Nama penyakit ini diambil dari nama Sir Charles Bell, dokter ahli bedah dari Skotlandia yang
1
2
pertama menemukan dan mempresentasikan di Royal Society of London pada tahun 1829. Ia menghubungkan kasus tersebut dengan kelainan pada syaraf wajah. Meski namanya unik, penyakit ini akan mengganggu secara estetika ataupun fungsi wajah. Jika tidak ditangani maka akan terjadi kecacatan dengan muka miring atau penyok. Kejadian bell’s palsy biasanya mendadak banyak orang setelah bangun pagi menemukan bahwa salah satu sisi wajah mencong. Pasien sering merasa takut kalau mereka terkena stroke, namun Bell’s palsy tidak berhubungan sama sekali dengan stroke. Gejala awal yang ringan seperti kesemutan di sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi parah dalam waktu 48 jam atau kurang. Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan di sebabkan oleh kerusakan syaraf fasialis yang di sebabkan oleh radang penekanan atau pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan pasti, namun para ahli meyakini infeksi virus herpes simpleks sebagai penyebabnya. Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan syaraf. Pada kasus yang ringan kerusakan yang terjadi hanya pada selubung syaraf saja sehingga proses penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi jeratan pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabut syaraf (Juky, 2010). Bell’s palsy banyak mengenai orang dewasa muda terutama orang jepang yang memiliki insidens tinggi terhadap kondisi ini. Infeksi virus seperti herpes dan HIV, serta infeksi bakteri seperti penyakit Lympe atau tuberkulosis dapat menyebabkan inflamasi dan pembengkakan pada syaraf facialis hinga mengakibatkan terjadinya Bells’s palsy. Fraktur tengkorak, tumor, atau kondisi neurologi yang di sebabkan oleh penyakit kronis seperti diabetes dan sindroma guillain Barre dapat juga menyebabkan Bell’s palsy. Kondisi yang menekan sistem imun seperti HIV meningkatkan resiko terjadinya Bell’s palsy, stress, kehamilan dan diabetes juga merupakan faktor resiko. Orang yang mengidap diabetes memiliki kecendrungan 4x lebih besar untuk (Holland, 2008).
menjadi bell’s palsy di banding para orang normal
3
Di indonesia insiden Bells’palsy secara pasti sulit di tentukan. Data yang di kumpulkan dari 4 buah rumah sakit di indonesia di dapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Tidak di dapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita di dapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan (Juky, 2010). Di sumatera barat di instalasi fisioterapi salah satu rumah sakit yaitu di rumah sakit stroke nasional bukittinggi tahun 2010 sekitar 40% pasien mengeluh kelumpuhan pada wajah se sisi. Hal ini menurut keterangan rekam medis rumah sakit stroke karena udara dingin. (Rekam medik rumah sakit stroke nasional bukit tinggi tahun 2010). Permasalahan yang di timbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, di antaranya masalah fungsional kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita permasalahan kapasitas fisik ( impairment ) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan. Sedangkan
permasalahan
fungsional
(fungsional
limitation)
berupa
gangguan fungsi yaitu rasa baal/kebas di wajah, di wajah air mata tidak dapat di kontrol dan sudut mata turun. Selain itu tanda lainnya adalah kehilangan refleks konjungtiva sehingga tidak dapat menutup mata, rasa sakit pada telinga terutama di bawah telinga, tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena, sudut mulut turun, sulit untuk berbicara air menetes saat minum atatu setelah membersihkan gigi dan kehilangan rasa di bagian lidah serta participation restricton yang berupa kurang percaya diri (Holland j, 2008). Bell’s palsy penyebabnya tidak di ketahui secara pasti dan dapat terjadi secara mendadak. Di sini penulis dalam pembuatan skripsi akan membahas karena udara dingin dengan gangguan kemampuan fungsional. Oeh karena itu peneliti mengambil judul yaitu perbedaan intervensi pemberian arus galvanik dan massage untuk meningkatkan kekuatan otot wajah pada kondisi bell’s palsy. Dengan adanya proses cuaca dingin
4
tersebut maka dapat menyebabkan nervus facialis sehingga terjadi penekanan atau terjepitnya nervus facialisdii foramen stylomastoideus. Akibatnya impuls motorik se sisi akan mengalami kelumpuhan facialis LMN. Pada kondisi ini masih di golongkan pada paresis ringan dan sebagian mengalami kelumpuhan komplit. Hal ini di sebabkan oleh adanya blok kondusif syaraf yang reversible, ini di sebut dengan neuropraksia dan terjadi akibat adanya kompresi akut oleh cairan oedema di sekitarnya (Johan, 2000). Proses patologi pada kasus Bell’s palsy yang sesuai dengan tingkat kerusakan dari syaraf perifer adalah (1) neuropraksia, yaitu suatu paralysis di mana syaraf hanya tertekan sehingga terjadi hambatan aliran impuls tanpa kerusakan atau degenerasi pada akson dan selubung myelin sehingga apabila tekanan ini hilang maka fungsi syaraf akan kembali sempurna dengan cepat. Keadaan ini sering di sebut dengan blockade aksonal fisologik. Di sini ketiga unsur serabut syaraf (akson, selubung myelin dan neurilema)
tidak mengalami kerusakan, (2) aksonotmesis, yaitu suatu
paralysis di mana syaraf mengalami penekanan yang cukup kuat sehingga akson di sebelah distal lesi akan mengalami kematian atau degenerasi, pada kondisi ini yang mengalami kerusakan hanya akson saja sedangkan selubung myelinnya masih utuh, (3) neuronotmesis yaitu suatu paralysis dimana seluruh batang syaraf terputus pada kondisi ini seluruh unsur serabut syaraf di distal lesi mengalami kerusakan. Dari problematik di atas masyarakat belum menyadari, bahwa kelemahan otot wajah yaitu nervus facialis pada keadaan ini apabila di biarkan terlalu lama akan menyebabkan kekauan atau kontraktur otot wajah sehingga menjadi permanen. Maka dari itu perlu penangganan yang serius yaitu dengan medika mentosa dan diiringi dengan penanganan fisioterapi.
5
B.
Identifikasi Masalah Sehubungan dengan dengan latar belakang tersebut di atas, maka pokok permasalahannya yaitu, bagaimana upaya dalam memperbaiki kekuatan otot-otot wajah yang mengalami kelemahan yang disebabkan oleh lesi nervus facialis, dan mengurangi problematik pasien pada kondisi bell’s palsy dengan menggunakan arus galvanik dan massage. Adapun problematik yang di alami oleh pasien antara lain : 1) Tidak dapat mengangkat alis. 2) Dahi tidak dapat di kerutkan. 3) Kelopak mata tidak dapat menutup dengan rapat. 4) Tidak dapat mengembungkan pipi. 5) Tidak dapat bersiul. 6) Sudut mulut tertarik kesisi yang sehat. 7) Bola mata bergerak ke atas bila memejamkan mata. 8) Tidak dapat mengembang kempiskan cuping hidung. Hal tersebut diatas disebabkan kerena adanya kelemahan otot-otot wajah, dan kelemahan otot-otot wajah biasa dikenal dengan kondisi bell’s palsy yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti trauma. Untuk menangani masalah yang timbul akibat bell’s palsy telah banyak yang dilakukan oleh fisioterapi namun demikian perlu dilakukan suatu teknik yang aman dan efektif didahului dengan pemeriksaan yang cukup. Karena dengan alasan kepraktisan dan keterbatasan waktu maka penelitian ini dibatasi hanya pada perbedaan pengaruh arus galvanik dan massage
terhadap peningkatan kekuatan otot-otot wajah yang mengalami
kelemahan pada kondisi bell’s palsy. Sehingga problematik-problematik yang mempengaruhi kondisi bell’s palsy dapat dikurangi atau hilangkan. C.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas berbagai pertimbangan maka penulis merumuskan masalah dan peneliti ingin mengetahui : 1.
Apakah pemberian arus galvanik dapat meningkatkan kekuatan otototot wajah pada kondisi bell’s palsy?
6
2.
Apakah pemberian massage dapat meningkatkan kekuatan otot-otot wajah pada kondisi bell’s pasy?
3.
Apakah ada perbedaan pemberian arus galvanik dan massage dalam peningkatkan kekuatan otot wajah pada kondisi bell’s palsy?
D.
Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian arus galvanik dan massage terhadap peningkatan kekuatan otot-otot wajah pada kondisi bell’s palsy. 2. Tujuan khusus a) Untuk mengetahui
pengaruh pemberian arus galvanik terhadap
peningkatan kekuatan otot-otot wajah pada kondisi bells palsy. b) Untuk
mengetahui
pengaruh
pemberian
massage
terhadap
peningkatan kekuatan otot-otot wajah pada kondisi bells palsy. c) Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian arus galvanik dan massage terhadap peningkatan kekuatan otot-otot wajah pada kasus bells palsy. E.
Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis Penulis ingin supaya dapat lebih mengetahui manfaat pemberian arus galvanik dan massage dalam mengurangi problematik-problematik pada kondisi bell’s palsy. 2. Bagi sejawat fisioterapi Sebagai bahan tambahan dan masukan bagi fisioterapis lain, tentang pengaruh pemberian arus galvanik dan massage pada kondisi bell’s palsy. 3. Bagi institusi pendidikan Dapat bermanfaat bagi dunia pendidik untuk lebih mengembangkan ilmu pengetahuan dan pengalaman, menyebar luaskan mengenai kasus bell’s palsy.
7
4. Manfaat bagi Masyarakat Diharapkan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat tentang bell’s palsy sehingga masyarakat dapat melakukan upaya dalam pencegahan serta mengetahui peranan fisioterapi pada kondisi tersebut.