BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Change.org merupakan platform petisi online yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk menyalurkan aspirasi mereka. Platform petisi online ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan perubahan. Masyarakat dapat mengajukan petisi untuk suatu perubahan dengan menggalang dukungan melalui penandatanganan petisi secara virtual. Setiap tanda tangan pendukung secara otomatis mengirimkan email yang berisi petisi kepada target yang dituju yaitu pembuat kebijakan. Melalui email yang dikirimkan secara otomatis ini, masyarakat menjadi lebih terhubung dengan lembaga pemerintah dan korporasi swasta sebagai pembuat kebijakan. Platform petisi online Change.org menjadi saluran penghubung antara masyarakat dengan pembuat kebijakan. Melalui saluran ini, masyarakat dapat menyampaikan protes dan kritik terhadap kinerja pemerintah dan korporasi. Selain itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam urusan publik. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam urusan publik ditunjukkan dengan inisiatif mereka untuk memulai dan mendukung petisi online atas isu tertentu. Keterlibatan masyarakat dalam permasalahan publik lebih difasilitasi dengan adanya platform petisi online. Platform petisi online menyederhanakan bentuk petisi tradisional, sehingga masyarakat semakin mudah mengajukan petisi untuk menggalang dukungan tanpa perlu menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya. Platform petisi online membuat masyarakat semakin terhubung, sehingga kepedulian mereka atas isu tertentu menjadi lebih mudah dan lebih cepat tersebar, serta dukungan atas kepedulian tersebut menjadi lebih mudah diperoleh. Pada dasarnya petisi online merupakan bentuk partisipasi politik yang menghubungkan masyarakat dengan pemerintah. Namun, bentuk partisipasi politik ini juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Petisi online menjadi media yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk menyampaikan kepedulian mereka terhadap isu-isu sosial seperti isu hak asasi manusia, isu lingkungan, dan isu kesejahteraan binatang. Kepedulian masyarakat terhadap isu-isu sosial ini 1
2
disebarkan melalui petisi online dan ditujukan untuk mencapai tindakan kebijakan tertentu atas isu sosial tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa petisi online bisa dimanfaatkan sebagai alat advokasi kebijakan. Platform petisi online Change.org telah berkontribusi terhadap perubahan baik dalam skala global maupun dalam skala lokal yaitu di Indonesia. Perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa platform petisi online Change.org Indonesia telah berperan dalam mendukung keberhasilan advokasi kebijakan. Sejumlah petisi telah berhasil membawa perubahan dalam masyarakat. Salah satu petisi yang berhasil adalah petisi yang dimulai oleh Hasna Pradityas terkait perbaikan Jalan Raya Muncul di wilayah Tangerang Selatan. Petisi lain yang juga berhasil antara lain petisi oleh Melanie Subono yang menuntut Komisi III DPR untuk tidak meloloskan M. Daming Sanusi sebagai hakim agung, petisi oleh Nong Mahmada terkait pemberhentian Bupati Garut Aceng Fikri, dan petisi oleh Anita Wahid terkait pelemahan KPK. Keberhasilan petisi tidak hanya ditunjukkan oleh petisi yang ditujukan kepada aktor politik atau pemerintahan, tetapi juga ditunjukkan oleh petisi yang ditujukan kepada aktor bisnis. Seorang konsumen Garuda Indonesia, Cucu Saidah, memulai petisi yang ditujukan kepada Emirsyah Satar selaku Presiden Direktur PT Garuda Indonesia untuk menghapus surat pernyataan bagi penyandang disabilitas. Petisi ini memperoleh kemenangan. Beberapa contoh petisi online yang berhasil tersebut menunjukkan bahwa petisi online Change.org Indonesia memiliki kekuatan untuk membawa perubahan khususnya terkait kebijakan sebagai tujuan advokasi kebijakan. Ada petisi yang berhasil ada juga petisi yang belum berhasil. Petisi-petisi ini belum memperoleh kemenangan walaupun di antara petisi-petisi yang belum mencapai keberhasilan ini ada beberapa petisi yang telah memperoleh pendukung dalam jumlah besar. Misalnya, petisi Tiza Mafira terkait pemberian kantong plastik secara gratis oleh supermarket yang telah mencapai lebih dari 8.600 pendukung dan petisi Fahira Idris terkait penjualan minuman keras oleh minimarket dengan lebih dari 6.700 pendukung. Petisi Angela Sutandar yang ditujukan kepada Gubernur Yogyakarta agar membantu menghentikan kekejaman
3
perdagangan anjing untuk konsumsi juga belum mencapai keberhasilan walaupun petisi ini telah memperoleh lebih dari 18.500 pendukung. Petisi lain tentang perlindungan satwa yang juga masih belum mencapai kemenangan adalah petisi stop sirkus keliling lumba-lumba. Petisi yang dimulai oleh Coki Netral ini meminta beberapa perusahaan untuk tidak lagi memberikan dukungan terhadap pertunjukan sirkus keliling lumba-lumba karena pengelola sirkus tidak memperlakukan lumba-lumba dengan baik. Petisi ini telah mencapai lebih dari 97.500 pendukung dan telah berhasil membawa beberapa perubahan. Perubahan tersebut antara lain perusahaan-perusahaan swasta yang menjadi target petisi berhenti memberikan dukungan terhadap sirkus keliling lumba-lumba. Selain itu, protes terhadap eksploitasi lumba-lumba melalui petisi online ini juga memperoleh respon positif dari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Zulkifli Hasan dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan mengeluarkan pernyataan pelarangan terhadap sirkus keliling lumbalumba dan menegaskan bahwa sirkus keliling lumba-lumba adalah ilegal. Walaupun petisi ini telah berhasil membawa perubahan, tetapi faktanya pertunjukkan sirkus keliling lumba-lumba masih terus berlangsung. Fakta ini menunjukkan bahwa petisi online sebagai alat advokasi kebijakan untuk menghentikan eksploitasi lumba-lumba belum sepenuhnya berhasil. Kepedulian terhadap satwa di Indonesia juga ditunjukkan dari petisi Dian Paramita dan Melanie Subono terkait penyelamatan satwa Kebun Binatang Surabaya yang telah memperoleh lebih dari 75.300 pendukung. Beberapa kasus terkait eksploitasi satwa dan penyiksaan terhadap hewan mendorong Dian Paramita untuk membuat petisi online. Dian Paramita mempetisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Komisi III DPR RI untuk membentuk Komisi Nasional Perlindungan Hewan. Petisi tersebut telah memperoleh lebih dari 12.800 pendukung. Namun, petisi-petisi ini belum mencapai keberhasilan. Tidak semua petisi yang telah memperoleh tanda tangan pendukung dalam jumlah besar bisa menuai kemenangan. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah pendukung tidak menjamin kemenangan atau keberhasilan suatu petisi. Padahal petisi online hadir sebagai platform bagi masyarakat untuk
4
menggalang dukungan dalam membuat suatu perubahan. Namun, pada faktanya aktivitas menggalang dukungan saja tidak cukup untuk membuat suatu perubahan. Sejumlah petisi belum dinyatakan menang walaupun telah mendapat respon dari target petisi karena tujuan advokasi kebijakan belum terlaksana dengan baik. Selain itu, petisi online tidak bisa berdiri sendiri untuk mencapai keberhasilan advokasi kebijakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini mencoba untuk menganalisis efektivitas petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana efektivitas petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan periode tahun 2012-2013? 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menilai efektivitas petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan periode tahun 2012-2013. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: a. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kajian studi Ilmu Komunikasi terkait efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan bentuk komunikasi yang efektif melalui petisi online sebagai alat advokasi kebijakan.
5
1.5.
Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah petisi online dalam situs Change.org
Indonesia dan serangkaian aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan oleh penggagas petisi bersama Change.org Indonesia. Aktivitas advokasi kebijakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan pengaruh petisi online dan mendukung kemenangan petisi. Penelitian ini diarahkan kepada pengelola platform petisi online Change.org Indonesia, pembuat atau penggagas petisi, dan komunitas yang ikut mendukung aktivitas advokasi kebijakan. 1.6.
Kerangka Pemikiran a. Advokasi Kebijakan Prakash dan Gugerty (2010:1) menjelaskan konsep advokasi sebagai
upaya sistematis oleh aktor tertentu untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu. Upaya untuk mencapai tujuan kebijakan ini mengacu pada aktivitas advokasi. Berdasarkan definisi advokasi dari The Merriam Webster Dictionary, Almog-Bar dan Schmid (2014:13) membatasi aktivitas advokasi pada upaya untuk mengubah hukum, kebijakan, praktik, dan perilaku dengan cara mendukung dan mempromosikan persoalan atau usulan tertentu. Aktivitas advokasi yang bertujuan untuk memengaruhi atau mengubah kebijakan disebut dengan advokasi kebijakan. Jenkins dalam Mosley (2006:18) mendefinisikan advokasi kebijakan sebagai upaya untuk memengaruhi keputusan elit institusional dalam kepentingan kolektif atau bersama. Keputusan elit institusional ini merujuk pada tindakan kebijakan terkait kepentingan publik oleh pembuat kebijakan. Istilah elit institusional menunjukkan bahwa fokus advokasi kebijakan tidak selalu ditargetkan kepada pemerintah tetapi pihak lain yang berpengaruh dalam sistem kebijakan juga bisa menjadi target advokasi kebijakan (Mosley, 2006:19). Pihak lain yang juga berperan dalam kebijakan dan berpengaruh terhadap kepentingan publik adalah institusi swasta. Advokasi tidak hanya dilakukan untuk memengaruhi pemerintah dan sektor publik, tetapi dapat juga dilakukan untuk mendorong perubahan di sektor swasta (Casey, 2011). Advokasi kebijakan dimaknai sebagai setiap upaya untuk memengaruhi dan tidak dibatasi
6
pada serangkaian strategi tertentu (Mosley, 2006:19). Advokasi kebijakan mengacu pada setiap upaya atau aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan tindakan kebijakan dan tidak terpaku pada strategi tertentu. Advokasi kebijakan dibatasi pada upaya yang dilakukan atas nama kepentingan kolektif atau bersama (Mosley, 2006:19). Advokasi kebijakan dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas seperti mengadakan atau berpartisipasi dalam demonstrasi, mengorganisasi anggota komunitas untuk mengambil tindakan terkait isu kebijakan, melobi (mengadakan pertemuan dengan pejabat publik, memberikan testimoni publik), atau menulis surat kepada editor, merilis laporan kebijakan, berpartisipasi dalam koalisi yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan publik, dan mengedukasi publik tentang isu-isu kebijakan (Mosley, 2006:20). Berbagai aktivitas tersebut ditujukan kepada pembuat kebijakan secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas yang ditujukan kepada pembuat kebijakan secara langsung misalnya melobi atau mengadakan pertemuan langsung dengan pembuat kebijakan, sedangkan aktivitas secara tidak langsung dapat dilakukan dengan menulis surat kepada editor untuk menarik perhatian pembuat kebijakan. Aktivitas advokasi kebijakan dikelompokkan ke dalam taktik insider dan outsider dimana taktik insider dimaksudkan untuk mengubah kebijakan melalui bekerja langsung dengan pembuat kebijakan dan elit institusional lainnya yang menekankan bekerja di dalam sistem, sedangkan taktik outsider atau taktik tidak langsung mengacu pada taktik ekstra institusional yang menekankan bekerja di luar sistem, seperti edukasi publik, media massa, protes, boikot, dan demonstrasi (Almog-Bar dan Schmid, 2014:21). Taktik advokasi dengan fokus insider dilakukan melalui aktivitas seperti melobi atau bersaksi di hadapan legislatif, sedangkan taktik advokasi dengan orientasi outsider dilakukan melalui aktivitas dalam bentuk petisi, mobilisasi akar rumput, dan protes (Barakso, 2010:156-157). Petisi termasuk dalam taktik outsider dimana aktivitas tersebut dilakukan di luar sistem dengan menggalang dukungan atas isu sosial atau isu kebijakan tertentu. Advokasi mencakup upaya meningkatkan kesadaran melalui media, pengorganisasian, kampanye (edukasi dan mobilisasi), lobi, riset dan analisis
7
kebijakan, event, dan penggunaan sistem legal dan litigasi (Casey, 2011; Cohen dkk, 2010; Mayoux, 2003). Upaya meningkatkan kesadaran melalui media bisa dilakukan dengan cara bermitra dengan perusahaan media massa atau dengan menarik perhatian media massa agar memberitakan isu atau permasalahan yang dimaksud. Misalnya, menulis surat kepada editor atau menulis artikel opini dan mengadakan konferensi pers. Upaya pengorganisasian mengacu pada aktivitas membangun hubungan atau koalisi dengan kelompok atau komunitas terkait isu. Kampanye meliputi upaya edukasi dan mobilisasi yang ditujukan untuk memperoleh dukungan dari publik atas isu, sehingga memengaruhi pembuat kebijakan. Lobi dilakukan melalui pertemuan atau diskusi secara langsung dengan pembuat kebijakan. Riset dan analisis kebijakan bisa dilakukan dengan cara mengevaluasi efektivitas dan outcomes program yang ada (Casey, 2011). Event bisa dilakukan dengan cara mempertemukan berbagai stakeholder dan pembuat keputusan untuk menyoroti penyebab dan mengidentifikasi solusi atas permasalahan, dengan tindak lanjut yang mencakup tindakan nyata dan segera (Cohen dkk, 2010:7). Upaya penggunaan sistem legal dan litigasi berkaitan dengan upaya melalui sistem hukum. Berdasarkan kategori aktivitas advokasi tersebut, petisi merupakan salah satu bentuk strategi kampanye yang meliputi upaya edukasi dan mobilisasi. Edukasi publik dan mobilisasi cenderung mengarah pada bentuk yang menunjukkan dukungan masyarakat atas isu atau persoalan tertentu seperti petisi (Start dan Hovland, 2004:42). Pernyataan ini juga didukung oleh Casey (2011) yang menyebutkan bahwa mengorganisasi atau mempromosikan petisi merupakan salah satu contoh aktivitas dalam kategori edukasi dan mobilisasi. Upaya atau aktivitas advokasi kebijakan dilakukan untuk menghasilkan tindakan kebijakan sebagai tujuan utama. Pencapaian tujuan utama ini didukung oleh outcomes yang dihasilkan oleh aktivitas advokasi kebijakan. Outcomes yang mendukung pencapaian tindakan dan implementasi kebijakan tersebut antara lain koverasi media, kesadaran publik, dukungan publik atau public will, dan dukungan pembuat kebijakan atau political will (Coffman, 2003; Cohen dkk,
8
2010). Koverasi media menunjukkan pemberitaan terkait isu atau permasalahan sosial oleh media massa cetak, elektronik, dan online. Kesadaran publik mengacu pada kemampuan publik untuk mengetahui bahwa ada isu atau permasalahan sosial dan usulan kebijakan atas isu tersebut. Dukungan publik atau public will merujuk pada kesediaan publik untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan kebijakan (Cohen dkk, 2010:64). Dukungan publik ini dapat dilihat dari aktivitas mereka terkait isu atau permasalahan. Dukungan pembuat kebijakan atau political will didefinisikan sebagai kesediaan pembuat kebijakan untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan kebijakan (Cohen dkk, 2010:64). Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memberikan dampak terhadap taktik advokasi kebijakan dengan menghadirkan advokasi online (eadvocacy). Advokasi online ini digunakan oleh aktor advokasi kebijakan seperti organisasi nonprofit untuk melakukan aktivitas advokasi karena sebagian besar organisasi tersebut tidak mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mempromosikan aktivitas mereka (Almog-Bar dan Schmid, 2014:22). Advokasi online mendukung aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan. Pemanfaatan advokasi online bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam hal biaya dan manfaat karena dapat menjadi solusi permasalahan terkait jarak, sehingga berpeluang untuk memobilisasi kelompok dan pendukung baru (McNutt dalam Almog-Bar dan Schmid, 2014:22). Advokasi online memperluas pengaruh aktivitas advokasi. Menurut beberapa peneliti, alat yang paling umum dalam memperluas aktivitas advokasi adalah petisi online, blog, dan situs media sosial (Almog-Bar dan Schmid, 2014:22). Petisi online, blog, dan media sosial membantu penyebaran pesan advokasi kebijakan dengan lebih cepat dan lebih luas, sehingga upaya dalam memperoleh dukungan dari khalayak luas semakin mudah dilakukan. Aktivitas advokasi online melalui petisi online, blog, dan situs media sosial serta alat komunikasi massa lainnya mengurangi keperluan aktivis turun ke jalan untuk menyebarkan pesan mereka (Casey, 2011). Advokasi kebijakan dan advokasi terhadap isu-isu saat ini disebarkan dan diyakinkan kepada masyarakat dengan media yang lebih sederhana, efisien, dan
9
efektif (Prajarto dalam Nurjaman, 2013:28). Misalnya, melalui petisi online. Advokasi kebijakan melalui petisi online didukung dengan aktivitas advokasi kebijakan lainnya sebagai upaya memengaruhi pembuat kebijakan secara tidak langsung. Misalnya, dengan membentuk opini publik melalui koverasi media sebagai outcomes dari aktivitas advokasi kebijakan. Advokasi digunakan untuk mengubah pemikiran, memobilisasi public will, dan memengaruhi pemerintah (Casey, 2011). Advokasi kebijakan melalui petisi online ditujukan untuk memengaruhi pemikiran masyarakat dan memobilisasi public will sehingga pemerintah sebagai pembuat kebijakan mengambil tindakan kebijakan. Advokasi kebijakan melalui petisi online juga dapat ditujukan untuk memastikan penerapan kebijakan. Oleh karena itu, petisi online menjadi salah satu media yang berperan penting dalam advokasi kebijakan. b. Petisi Online Lindner dan Riehm (2011:3) mendefinisikan petisi sebagai permintaan kepada otoritas publik, biasanya institusi pemerintahan atau parlemen. Petisi memiliki tujuan antara lain untuk mengubah kebijakan publik atau mendorong tindakan tertentu oleh institusi publik (Lindner dan Riehm, 2011:3). Petisi memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka terkait kebijakan tertentu. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menghasilkan petisi online sebagai bentuk baru dari petisi tradisional. Kehadiran petisi online ini tidak mengubah fungsi petisi tradisional, tetapi menawarkan jangkauan akses yang lebih luas dalam periode waktu yang lebih singkat. Petisi online dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai e-petitions atau electronic petitions. Petisi online atau e-petitions dikategorikan menjadi tipe formal dan informal (Mosca dan Santucci dalam Lindner dan Riehm, 2009:3). Petisi online formal mengacu pada sistem petisi yang dioperasikan oleh lembaga publik, sedangkan petisi online informal mengacu pada sistem petisi yang dibuat dan diatur oleh organisasi nonpemerintah atau swasta (Lindner dan Riehm, 2009:3). Petisi online informal biasanya disampaikan kepada lembaga publik oleh
10
pengelola setelah mengumpulkan sejumlah tanda tangan dan petisi online informal dapat dibedakan menjadi petisi online yang diinisiasi oleh LSM sebagai bagian dari kampanye politik dan petisi online yang dioperasikan oleh organisasi swasta baik komersial maupun nonprofit yang menyediakan infrastruktur berbasis internet untuk memulai petisi online dan mengumpulkan tanda tangan online (Lindner dan Riehm, 2009:3). Berdasarkan kategori tersebut, Change.org Indonesia merupakan platform petisi online informal yang dikelola oleh organisasi swasta berbentuk social enterprise atau kewirausahaan sosial. Petisi online merupakan aktivitas online yang menarik volume partisipasi warga negara (Chadwick dalam Panagiotopoulos dan Al-Debei, 2010:3). Partisipasi warga negara ini bisa berupa partisipasi sosial dan politik. Petisi biasanya mencakup isu yang luas, mulai dari pengaduan individu hingga permintaan untuk mengubah kebijakan publik (Lindner dan Riehm, 2011:4). Petisi online meningkatkan proses demokrasi, menghubungkan warga negara dengan pemerintah, dan memfasilitasi keterlibatan warga negara (Panagiotopoulos dan Al-Debei, 2010:3). Kemampuan petisi online untuk memfasilitasi permintaan perubahan kebijakan publik dan menghubungkan masyarakat dengan pembuat kebijakan menunjukkan bahwa petisi online bisa dimanfaatkan sebagai alat advokasi kebijakan. Petisi online adalah salah satu bentuk aksi kolektif yang muncul dari pengguna internet melalui mailing lists atau website dan secara teknis website petisi online memuat ruang digital dimana pengguna dapat memulai atau menandatangani petisi serta melacak perkembangan petisi yang sudah ada (Panagiotopoulos dan Al-Debei, 2010:5). Adanya ruang digital membuat petisi online memiliki beberapa kelebihan dibandingkan petisi tradisional. Kelebihan tersebut antara lain masyarakat dapat memperoleh latar belakang informasi, membuat komentar tentang isu, menandatangani online, dan menerima feedback tentang perkembangan petisi (Macintosh, Malina, dan Farrel, 2002:8). Petisi online menunjukkan adanya partisipasi dan keterlibatan publik dalam proses pembuatan kebijakan melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi.
11
Lindner dan Riehm (2011:5-6) menjelaskan fungsi umum petisi dalam negara demokrasi dengan membaginya ke dalam tiga level yaitu a. Fungsi level individu Fungsi ini terkait dengan tujuan pribadi seperti kasus pengaduan atau keluhan individu. Fungsi level individu juga bertujuan untuk mengubah kebijakan publik. Dalam hal ini, petisi berperan membantu memasukkan isu yang dipetisikan ke dalam agenda target petisi (pembuat kebijakan). Fungsi level individu juga mencakup memobilisasi pendukung dan LSM serta membantu kelompok kepentingan untuk menghidupkan pendukung dan menangkap perhatian media. b. Fungsi level intermediate Fungsi ini dilihat dari perspektif target petisi. Fungsi level intermediate antara lain mendukung parlemen mengontrol eksekutif, mengirim informasi dan menjadi indikator politik, berpotensi memberikan kontribusi kepada parlemen, serta berperan dalam proses penguatan parlemen dalam sistem politik. c. Fungsi level sistem Fungsi ini dilihat dari perspektif komprehensif sistem politik. Petisi berpotensi memberikan kontribusi pada fungsi sistem integrasi dan legitimasi. Petisi memfasilitasi integrasi warga negara dalam sistem politik karena dengan adanya petisi warga negara memiliki saluran formal untuk mengirimkan permintaan mereka. Jika target petisi memutuskan untuk menggunakan petisi sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan politik, maka memungkinkan untuk mencapai legitimasi sistem politik. Berdasarkan fungsi umum tersebut, Change.org Indonesia sebagai platform petisi online melaksanakan beberapa fungsi antara lain fungsi level individu. Pelaksanaan fungsi level individu petisi online Change.org Indonesia meliputi memfasilitasi pengaduan atau keluhan masyarakat kepada pemerintah atau korporasi, membantu mengupayakan pembuatan atau perubahan kebijakan tertentu, membantu memasukkan isu yang dipetisikan ke dalam agenda target petisi (pembuat kebijakan), memobilisasi pendukung dan LSM terkait isu tertentu,
12
serta membantu kelompok kepentingan (komunitas) untuk menghidupkan pendukung dan menarik perhatian media massa. Kelompok menggunakan petisi untuk memperoleh perhatian pemerintah, dan mereka sering berhasil karena petisi sering kali memperoleh perhatian media (Macmanus, 1996:118). Schmidt dalam Macmanus (1996:118) menyarankan pemimpin gerakan petisi untuk mengadakan konferensi berita, mengirim press release, menyelenggarakan event media untuk menangkap perhatian dan mengejar atau memburu editorial surat kabar, stasiun televisi, dan radio. Petisi online menjalankan fungsi dasar petisi tradisional dan dalam menjalankan fungsinya tersebut petisi online didukung oleh media sosial. Change.org Indonesia memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube untuk mendukung fungsi petisi. Panagiotopoulos dkk (2010:2) menjelaskan bagaimana kelompok jejaring sosial muncul untuk mendukung proses pengajuan petisi online. Saebo dkk (2009) mengamati peran jejaring sosial dan peningkatan potensi partisipasi online dimana jejaring sosial memungkinkan penyebaran ide dan isu serta mencoba memengaruhi agenda setting politik (Panagiotopoulos dkk, 2010:4). c. Kerangka Evaluatif Efektivitas Petisi Online Martin dan Kracher (2008:305) menawarkan kerangka konsep untuk mengevaluasi efektivitas taktik protes bisnis online dengan menggunakan dua konsep yaitu ultimate dan intermediate effectiveness. Penelitian ini mengadaptasi kerangka konsep tersebut untuk mengukur dan mengevaluasi efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Adaptasi kerangka konsep tersebut dilakukan karena petisi online merupakan salah satu bentuk dari taktik protes bisnis online dan juga karena petisi online bisa dikatakan sebagai salah satu alat dalam advokasi kebijakan yang setara dengan aktivitas protes. Penelitian ini memaknai kerangka evaluatif tersebut tidak hanya bisa digunakan untuk menganalisis taktik protes online terhadap bisnis saja. Namun, juga bisa digunakan untuk menganalisis efektivitas taktik protes online terhadap pemerintah.
13
Kerangka evaluatif untuk mengukur efektivitas taktik protes bisnis online terdiri dari dua tingkat yaitu ultimate dan intermediate effectiveness. Ultimate effectiveness menjelaskan bahwa taktik protes bisnis online dapat disebut efektif jika mencapai tujuan akhir yaitu mendorong perubahan dalam kebijakan atau praktik bisnis, sedangkan intermediate effectiveness menjelaskan bahwa walaupun taktik protes bisnis online tidak mengubah praktik bisnis, taktik protes bisnis online dapat disebut efektif jika mencapai tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pemimpin bisnis (Martin dan Kracher, 2008:305). Jadi ketika aktivitas protes terhadap bisnis secara online belum mampu menghasilkan perubahan kebijakan, aktivitas protes online ini tetap bisa dikatakan efektif jika mampu menangkap perhatian pembuat keputusan atau pemimpin bisnis. Misalnya, melalui koverasi media yang bisa menarik perhatian pemimpin bisnis. Perhatian pemimpin bisnis ini merupakan langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir dan dapat mendorong dukungan lebih lanjut terhadap persoalan (Vegh dalam Martin dan Kracher, 2008:305). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan intermediate juga menjadi salah satu faktor yang menentukan tujuan akhir dari taktik protes bisnis online. Kerangka konsep evaluatif untuk mengukur efektivitas taktik protes bisnis online juga dapat diaplikasikan untuk taktik protes bisnis offline yang dimobilisasi oleh kelompok kepentingan warga (Martin dan Kracher, 2008:305). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kerangka konsep tersebut tidak hanya dapat digunakan untuk menilai efektivitas dari aktivitas secara online, namun juga dapat digunakan untuk menilai efektivitas dari aktivitas secara offline. Oleh karena itu, efektivitas petisi online yang juga mencakup aktivitas offline untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi kebijakan dapat dianalisis dengan menggunakan ultimate dan intermediate effectiveness. Martin dan Kracher (2008:305) menyebutkan kriteria utama untuk menentukan intermediate dan ultimate effectiveness dari taktik protes bisnis online antara lain support, public impact, dan disruption. Support merujuk pada dukungan masyarakat terhadap isu. Public impact dikonseptualisasikan dengan
14
tingkat dan jumlah orang yang memperoleh informasi tentang penyebab protes bisnis, juga bisa mencakup kesadaran komunitas atau konstituen bisnis, atau mencakup perubahan sebenarnya yang dipengaruhi oleh protes tersebut (Martin dan Kracher, 2008:305-306). Public impact menunjukkan perubahan pada publik sebagai dampak dari aktivitas protes secara online dan offline. Kriteria ketiga yaitu disruption to the business mengacu pada tingkat permasalahan dan gangguan normal dalam aktivitas bisnis sehari-hari (Martin dan Kracher, 2008:306). Tiga kriteria utama tersebut bisa digunakan untuk menilai intermediate dan ultimate effectiveness dari aktivitas yang dilakukan secara online dan offline untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Penelitian ini menganalisis efektivitas petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan dengan menggunakan konsep ultimate dan intermediate effectiveness. Efektivitas petisi online yang dimaksud dalam penelitian ini adalah efektivitas dari aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan secara online dan offline untuk mendukung petisi online. Ultimate effectiveness dalam penelitian ini menjelaskan bahwa petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan online dan offline dapat disebut efektif jika mencapai tujuan akhir yaitu mendorong perubahan dalam kebijakan atau praktik bisnis dan pemerintah, sedangkan intermediate effectiveness menjelaskan bahwa walaupun petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan online dan offline tidak mengubah kebijakan atau praktik bisnis dan pemerintah, petisi online dan aktivitas tersebut dapat disebut efektif jika mencapai tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat kebijakan baik dari institusi bisnis maupun pemerintah. d. Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dipahami bahwa advokasi kebijakan didefinisikan sebagai upaya atau aktivitas untuk mencapai tindakan kebijakan terkait kepentingan kolektif. Konteks advokasi kebijakan dalam penelitian ini adalah aktivitas Change.org Indonesia yang dilakukan secara online dan offline untuk memperjuangkan kepentingan publik yang dipetisikan guna membantu mencapai keberhasilan atau kemenangan petisi online. Aktivitas ini dilakukan untuk mendukung dan menguatkan fungsi
15
petisi online sebagai media perubahan sehingga lebih berpengaruh. Petisi online didefinisikan sebagai bentuk online dari petisi yang memfasilitasi permintaan publik kepada pembuat kebijakan dengan menggalang dukungan melalui tanda tangan secara virtual. Petisi online dapat dimanfaatkan sebagai alat advokasi kebijakan untuk menggalang dukungan publik dan memengaruhi tindakan kebijakan. Change.org Indonesia menggerakkan aktivitas advokasi kebijakan lainnya untuk mendukung petisi online. Aktivitas advokasi kebijakan lainnya yang digerakkan oleh Change.org Indonesia antara lain upaya meningkatkan kesadaran melalui media, pengorganisasian, lobi, serta event advokasi. Aktivitas tersebut dilakukan untuk menguatkan fungsi petisi online sebagai alat advokasi kebijakan guna mendukung pencapaian outcomes advokasi kebijakan. Outcomes yang dihasilkan menunjukkan pengaruh dan perubahan sebagai dampak dari aktivitas advokasi kebijakan. Outcomes berbeda dengan output. Outcomes menunjukkan measures of effect terkait perubahan yang terjadi dalam target populasi atau komunitas sebagai hasil dari advokasi kebijakan, sedangkan output menunjukkan measures of effort terkait apa dan berapa banyak yang dicapai, distribusi, jangkauan advokasi dan output tidak bercerita banyak tentang efek (Coffman, 2002:20-21). Outcomes dalam penelitian ini mulai dari variabel kognitif hingga variabel yang menyusun konteks sosial terkait isu (Coffman, 2002:21). Penelitian ini menggunakan dua konsep untuk menilai dan menganalisis efektivitas petisi online Change.org Indonesia sebagai alat advokasi kebijakan. Konsep pertama adalah ultimate effectiveness dimana petisi online Change.org Indonesia dan aktivitas yang dilakukan secara online dan offline untuk mendukung petisi online dalam advokasi kebijakan, disebut efektif jika mencapai tujuan akhir yaitu mendorong tindakan kebijakan. Tindakan kebijakan bisa berupa pembuatan atau perubahan kebijakan dan tujuan akhir dari aktivitas advokasi kebijakan juga mencakup implementasi kebijakan baik dalam praktik bisnis maupun pemerintah.
16
Perubahan kebijakan tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang mendukung petisi online. Ada banyak faktor lain yang memengaruhi perubahan kebijakan. Namun, penelitian ini fokus mengkaji dan menyoroti perubahan kebijakan yang dinilai berhasil dicapai dari aktivitas petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang mendukung petisi online. Konsep kedua adalah intermediate effectiveness dimana walaupun petisi online Change.org Indonesia dan aktivitas yang dilakukan secara online dan offline untuk mendukung petisi online dalam advokasi kebijakan, belum berhasil mencapai tujuan akhir, aktivitas petisi online Change.org Indonesia bisa disebut efektif jika mencapai tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat kebijakan. Intermediate effectiveness dianalisis dengan menggunakan tiga kriteria antara lain support, public impact, dan disruption. Penelitian ini hanya menggunakan dua kriteria yaitu support dan public impact. Hal ini dikarenakan dua kriteria tersebut mengacu pada outcomes advokasi kebijakan yang mencakup kesadaran publik, dukungan publik atau public will, dan dukungan pembuat kebijakan atau political will, sedangkan kriteria disruption bukan merupakan outcomes dalam advokasi kebijakan. Kriteria support dan public impact menjadi indikator dari pencapaian tujuan intermediate yaitu menangkap perhatian pembuat kebijakan. Tujuan intermediate ini dapat dicapai melalui koverasi media yang juga merupakan outcomes dari aktivitas advokasi kebijakan. Koverasi media ini bisa diperoleh melalui aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan secara online dan offline untuk mendukung petisi online. Indikator atau parameter yang digunakan untuk menganalisis efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan diuraikan dalam Tabel 2. Indikator yang dipilih dinilai telah cukup mewakili konsep untuk menjelaskan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Tabel 1. Konsep Efektivitas Petisi Online sebagai Alat Advokasi Kebijakan Konsep Ultimate effectiveness
Makna Konsep Penilaian efektivitas berdasarkan pencapaian tujuan akhir yaitu
Indikator 1. Perubahan kebijakan terkait permasalahan sosial yang dipetisikan
17
perubahan kebijakan
2. Implementasi atau pelaksanaan kebijakan Intermediate Penilaian efektivitas 1. Koverasi media massa cetak, effectiveness berdasarkan pencapaian elektronik, dan online terkait tujuan intermediate yaitu permasalahan sosial yang menangkap perhatian dipetisikan pembuat kebijakan 2. Kesadaran publik atas permasalahan sosial yang dipetisikan 3. Dukungan publik atau public will terhadap permasalahan sosial yang dipetisikan 4. Dukungan pembuat kebijakan atau political will terkait permasalahan sosial yang dipetisikan Sumber: Diadaptasi dari Martin dan Kracher (2008:305-306) dan Coffman (2003) 1.7.
Metodologi Penelitian a. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Studi kasus dilakukan ketika peneliti perlu memahami atau menjelaskan fenomena (Wimmer dan Dominick, 2011:141). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka peneliti memilih metode studi kasus karena peneliti ingin menggambarkan fenomena petisi online Change.org Indonesia khususnya efektivitasnya sebagai alat advokasi kebijakan. Penelitian ini menggunakan berbagai sumber bukti untuk menceritakan fenomena kontemporer terkait petisi online Change.org Indonesia. Penelitian ini juga memaparkan aktivitas lain secara online dan offline yang dilakukan oleh pengelola dan pengguna petisi online Change.org Indonesia. Aktivitas tersebut merupakan taktik untuk mendukung petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Penelitian ini menggunakan studi kasus instrumental karena kasus tidak menjadi minat utama tetapi kasus memainkan peranan suportif yang memudahkan pemahaman atas sesuatu yang lain (Stake, 2009:301). Studi kasus instrumental digunakan dalam penelitian untuk membantu mencapai tujuan tertentu, sehingga
18
metode studi kasus dalam penelitian bertindak sebagai sebuah instrumen atau alat (Thomas, 2011:98). Metode studi kasus dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang kasus petisi online Change.org Indonesia dimana kasus tersebut berfungsi sebagai instrumen untuk menilai efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Studi kasus instrumental digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji sebuah perspektif tentang isu dimana kasus dilihat secara mendalam dan konteksnya dikaji secara menyeluruh (Stake, 2009:301). Kasus petisi online Change.org Indonesia dianalisis melalui sejumlah isu yang dipetisikan untuk menemukan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Efektivitas tersebut akan dilihat berdasarkan aktivitas-aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan untuk mendukung petisi online. b. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menganalisis petisi yang berhasil dan petisi yang belum berhasil dalam situs petisi online Change.org Indonesia mulai dari Change.org Indonesia berdiri yaitu pada bulan Juni tahun 2012 hingga bulan Desember tahun 2013. Petisi yang dianalisis dipilih berdasarkan beberapa kriteria antara lain petisi berhasil menangkap perhatian media atau memperoleh koverasi media, petisi melibatkan komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, dan petisi berhasil menggerakkan aktivitas lainnya yang mendukung outcomes advokasi kebijakan. Berikut ini adalah petisi-petisi yang dipilih untuk dianalisis. Tabel 2. Sample Petisi yang Berhasil Kategori Petisi Berdasarkan Isu yang Dipetisikan Antikorupsi Kesejahteraan satwa
Petisi dan Penggagas Hentikan Pelemahan KPK oleh Anita Wahid Hentikan Promosi, Konsumsi, dan Penjualan Produk Hiu oleh WWF Indonesia Usut Kejadian Gajah Mati tanpa Gading oleh Aulia Ferizal
Komunitas yang Terlibat Komunitas Semut Rangrang WWF Indonesia
Kelompok pecinta satwa
19
Lingkungan
Hak asasi manusia/difabel
Sumber:
Batalkan IMB PT EGI atas Hutan Kota Babakan Siliwangi oleh Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi Hapuskan Surat Pernyataan bagi Penyandang Disabilitas oleh Cucu Saidah (Target Direktur Utama Garuda Indonesia)
Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi
General Election Network for Disability Access, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Komunitas Difabel
Ubah Kebijakan Diskriminatif yang Menolak Tuna Netra untuk Menabung oleh Trian Airlangga (Target Presiden Direktur BCA) Diadaptasi dari Change.org Indonesia (2013) diunduh dari http://www.change.org/id dan House of Infographics (2013) diunduh dari houseofinfographics.com/infografis-change-orgindonesia-di-tahun-2013/ pada tanggal 1 Januari 2014 pukul 18.42 WIB.
Tabel 3. Sample Petisi yang Belum Berhasil Kategori Petisi Berdasarkan Isu yang Dipetisikan Lingkungan
Petisi dan Penggagas Tolak Tambang di Pulau Kecil Selamatkan Pulau Bangka oleh Kaka Slank
Batalkan Izin Penebangan Hutan Kepulauan Aru oleh Glenn Fredly Kesejahteraan satwa
Stop Supporting Travelling Dolphin Circuses oleh Coki Netral
Komunitas yang Terlibat Greenpeace, WALHI, Friends of the Earth Indonesia, Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Sulawesi Utara, dan Tunas Hijau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Komnas HAM Maluku, dan Maluku Bloggers Animal Friends Jogja, Jakarta Animal Aid Network, dan Welfarian Indonesia
20
Human trafficking/buruh migran Sumber:
Selamatkan Satwa Kebun Binatang Surabaya oleh Dian Paramita dan Melanie Subono
Animal Friends Jogja dan Jakarta Animal Aid Network
Segera Bentuk Komnas Perlindungan Hewan oleh Dian Paramita Bebaskan Wilfrida dari Hukuman Mati oleh Anis Hidayah
Aktivis pecinta satwa dan lingkungan
Aktivis HAM, Migrant Care, dan Forum Komunikasi Pemerhati Perjuangan Hak-hak Perempuan NTT Diadaptasi dari Change.org Indonesia (2013) diunduh dari http://www.change.org/id pada tanggal 24 November 2013 pukul 10.56 WIB.
Empat sumber data yang dapat digunakan dalam studi kasus yaitu dokumen, wawancara, observasi/partisipasi, dan artefak fisik (Wimmer dan Dominick, 2011:143). Berdasarkan keempat sumber data tersebut, penelitian ini menggunakan tiga sumber data atau teknik pengumpulan data yaitu dokumen, wawancara, dan observasi. Dokumen yang dikumpulkan dan dianalisis berupa data teks, gambar atau foto, audio, dan video terkait petisi online dari situs Change.org Indonesia, media sosial (Facebook, Twitter, dan Youtube), dan situs berita online. Data terkait isu yang dipetisikan juga diperoleh dari Change.org Indonesia berupa dokumentasi pemberitaan media massa cetak dan elektronik. Wawancara semi terstruktur dilakukan kepada sejumlah informan antara lain pengelola Change.org Indonesia yaitu Arief Aziz selaku Direktur Komunikasi dan Dhenok Pratiwi selaku Communication Officer, perwakilan penggagas petisi, dan komunitas atau kelompok masyarakat terkait isu yang dipetisikan. c. Teknik Analisis Data Stake (1995) dalam (Thomes, 2012:41-42) menyebutkan empat bentuk analisis data yaitu categorical aggregation, direct interpretation, patterns, dan naturalistic generalizations. Thomes (2012:41-42) menjelaskan empat bentuk analisis data tersebut sebagai berikut.
21
1. Categorical aggregation merujuk pada pengumpulan data terkait tema oleh peneliti atau pengelompokkan data yang diperoleh dari berbagai sumber terkait tema untuk membuat valid data dari sumber individu (coding). 2. Direct interpretation merujuk pada proses penarikkan data dan penyusunan kembali dalam cara yang lebih bermakna. 3. Patterns merupakan penjelasan tema data berdasarkan kesamaan dan dikelompokkan dalam tema yang lebih besar. 4. Naturalistic generalizations merupakan cara agar orang lain dapat belajar dari data dan menggeneralisasikannya dalam kasus mereka sendiri. Penelitian ini menggunakan tiga bentuk analisis data tersebut yaitu categorical aggregation atau coding untuk mengkategorikan data berdasarkan tema-tema tertentu, patterns atau membuat pola untuk menemukan hubungan antarkategori, dan naturalistic generalizations untuk membuat hasil penelitian lebih mudah dipahami dan memberikan manfaat bagi pembaca. d. Reliabilitas dan Validitas Data Maykut dan Morehouse dalam Wimmer dan Dominick (2011:123) meringkas empat faktor yang membantu membangun kredibilitas yaitu pengumpulan data dengan menggunakan beragam metode, audit trail, member checks, dan tim riset sebagai bentuk verifikasi data (reliabilitas dan validitas data). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data yang beragam yaitu dokumen, wawancara, dan observasi untuk membantu membangun kredibilitas. Metode wawancara juga dilakukan untuk mencapai validitas data yang diperoleh dari metode dokumen dan observasi. e. Limitasi Penelitian Penelitian ini mendeskripsikan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan. Penelitian ini fokus pada pemanfaatan petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan yang digerakkan oleh Change.org Indonesia bersama penggagas petisi. Efektivitas petisi online dalam penelitian ini mengacu pada efektivitas dari aktivitas advokasi kebijakan yang dilakukan oleh Change.org Indonesia dan penggagas petisi untuk mendukung outcomes petisi online sebagai
22
alat advokasi kebijakan. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menganalisis koverasi media sebagai outcomes advokasi kebijakan. Analisis terhadap koverasi media tidak dilakukan secara mendalam karena analisis tersebut digunakan untuk memperoleh data pendukung. Penelitian ini juga tidak membahas petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan secara teknis. f. Sistematika Penulisan Peneliti memaparkan efektivitas petisi online sebagai alat advokasi kebijakan dengan membagi penulisan dalam lima bab. Pada bab I, peneliti mendeskripsikan pendahuluan dan desain penelitian yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, objek penelitian, kerangka pemikiran, dan metodologi penelitian. Pada bab II, peneliti menjelaskan konteks penelitian yang dekat dengan data yang diperlukan yaitu platform petisi online Change.org Indonesia, internet dan platform petisi online Change.org Indonesia dalam advokasi kebijakan, dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang dilakukan untuk mendukung petisi online. Peneliti menceritakan temuan di lapangan dan hasil analisis data dengan membaginya dalam dua bab yaitu bab III dan bab IV. Pada bab III, peneliti menganalisis pemanfaatan petisi online Change.org Indonesia untuk advokasi kebijakan. Peneliti juga mendeskripsikan petisi online Change.org Indonesia dan aktivitas advokasi kebijakan. Pada bab IV, peneliti membahas efektivitas petisi online dan aktivitas advokasi kebijakan lain yang dilakukan guna menguatkan pengaruh petisi online. Peneliti juga menambahkan rekomendasi pemanfaatan petisi online untuk advokasi kebijakan. Pada bab V, peneliti membuat kesimpulan akhir dari penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.