BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Perkembangan pariwisata di Bali yang sangat pesat membawa dampak
yang positif yaitu berkembangnya industri makanan sehingga menciptakan lapangan kerja.1 Di sisi lain lingkungan kerja dapat menimbulkan masalah baru yaitu penyakit akibat kerja.1,2 Sebagian besar industri makanan terutama roti pada proses produksinya menggunakan tepung gandum, yang dapat menimbulkan dampak dari debu tepung gandum.1 Debu merupakan partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatan alami atau proses pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan, dan lain-lain. Sifat partikel berbeda dengan material aslinya dan menempati sebagian besar ruang di udara.3,4 Menurut Heederick dan Houba, nilai ambang batas paparan inhalasi debu gandum yang menyebabkan terjadinya sensitisasi saluran napas adalah 0,5-1 mg/m3.5 Dari observasi pendahuluan dan pengukuran kadar debu di ruangan pengolahan tepung di PT R pada tahun 2011 didapatkan kadar debu respirabel sebesar 1,667 mg/m3, debu total 7,738 mg/m3 dan ruang non pengolahan dengan kadar debu respirabel sebesar 0,48 mg/m3. Masalah kesehatan timbul jika pekerja terpajan tepung gandum yang melebihi nilai ambang batas (NAB) serta terjadi pajanan yang terus menerus selama beberapa tahun. Debu tepung gandum yang mencemari tempat kerja merupakan penyebab gangguan kesehatan pada pekerja terutama penyakit pada saluran napas yaitu Rinitis Akibat Kerja (RAK). 1,6 Rinitis Akibat Kerja menurut EAACI Task Force on Occupational Rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Gejala yang ditimbulkan oleh RAK akan memberikan dampak pada kualitas hidup pekerja seperti gangguan tidur yang menyebabkan kelelahan, penurunan konsentrasi di tempat kerja, serta mengantuk saat bekerja. Keluhan tersebut dapat mempengaruhi keadaan fisik, emosi, fungsi sosial dan dapat 1
menimbulkan stress sehingga merugikan kinerja perusahaan dan kesehatan pekerja.7 Para pekerja pembuat roti berisiko terhadap dampak yang ditimbulkan oleh debu tepung gandum. Houba R, dkk8 melaporkan prevalensi RAK pada pembuat roti di Netherlands cukup tinggi yaitu sebesar 21%. Penelitian yang dilakukan oleh Fahrudin I9 pada pekerja yang terpapar debu gandum di bagian pengepakan PT R di Jakarta tahun 2005 menunjukkan prevalensi RAK sebesar 38,1%. Berdasarkan data laporan pola penyakit pekerja PT R di balai pengobatan rujukan PT R di Ubung, Denpasar Utara pada tahun 2010 didapatkan penyakit yang banyak ditemukan adalah penyakit pada saluran napas atas, yaitu bulan Juli 40 kasus (32%), Agustus 52 kasus (46%), September 60 kasus (48%), Oktober 55 kasus (44%), November 59 kasus (47,2%), dan Desember 63 kasus (50,4%). Akan tetapi di antara para pekerja pembuat roti dengan gangguan saluran napas tersebut belum diketahui seberapa banyak yang merupakan RAK. Dari pengamatan pendahuluan, didapatkan 30% pekerja perusahaan pembuat roti PT R di bagian pengolahan dengan keluhan gangguan pada hidung selama bekerja yang berkurang setelah bekerja atau pada saat libur. Berdasarkan data diatas serta belum pernah dilakukannya penelitian tentang RAK pada pekerja pembuat roti di Bali sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat hubungan antara faktor-faktor yang terkait seperti riwayat atopi, merokok, usia, masa kerja, paparan debu gandum dan pemakaian alat pelindung diri (APD) dengan rinitis akibat kerja?
1.3.
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: mengetahui faktor terkait dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R 2. Tujuan Khusus: -
Mengetahui prevalensi rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R di bagian pengolahan dan non pengolahan
2
-
Mengetahui pengaruh paparan debu gandum dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R
-
Mengetahui pengaruh riwayat atopi dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R
-
Mengetahui pengaruh merokok dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R
-
Mengetahui pengaruh usia dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R
-
Mengetahui pengaruh masa kerja dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R
-
Mengetahui pengaruh pemakaian alat pelindung diri dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R
1.4.
Manfaat Penelitian 1. Dalam bidang akademik dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang diagnosis rinitis akibat kerja serta pengaruh paparan debu tepung gandum terhadap timbulnya rinitis akibat kerja. 2. Bagi pemilik perusahaan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang hubungan pajanan debu tepung gandum dengan kejadian rinitis akibat kerja serta merupakan masukan bagi perusahaan untuk melakukan pencegahan terhadap gangguan kesehatan akibat pajanan debu tepung gandum.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil sepanjang tulang piramid hidung. Hidung bagian dalam terdiri dari kerangka tulang yang dilapisi mukosa respiratorius. Septum nasi membagi kavitas nasi menjadi dua sisi yang tersusun atas kartilago dan tulang yang dilapisi mukosa dan sebagian kecil terbungkus kulit. Secara aerodinamik hidung dibagi menjadi: vestibulum yang dilapisi epitel skuamus bertatah, regio ismus tempat resistensi sekitar 50% aliran pernapasan, kavitas nasi dengan konka inferior, medius dan superior yang dilapisi epitel torak berlapis semu bersilia.10
Gambar 1. Rongga hidung (dikutip dari Atlas Anatomi Manusia Sobotta 21 ed, 2000)11 Adanya konka nasalis menyebabkan peningkatan permukaan mukosa kavitas nasi sekitar 150 sampai 200 cm2 yang mengatur kelembaban, regulasi suhu dan filtrasi udara inspirasi. Aliran udara hidung berubah dari laminar ke turbulen tergantung kecepatan inspirasi dan situasi anatomi. Mukosa olfaktorius berada di atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum yang
4
mengandung sel reseptor penciuman. Pada dinding lateral hidung terdapat konka inferior, media dan superior. Celah diantara konka dan dinding lateral hidung dinamakan meatus, terdiri dari meatus superior, meatus medius dan meatus inferior. Meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada meatus medius terdapat kompleks osteomeatal tempat bermuaranya sinus maksilaris, sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis, sedangkan sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis mengalir melalui meatus superior.10 Mukosa dilapisi oleh epitel toraks bertingkat bersilia, sel goblet, sel basal serta kelenjar submukosa. Sel goblet dan kelenjar submukosa menghasilkan palut lendir, imunoglobulin A, laktoferin dan lisozim yang berfungsi menyaring partikel yang terhirup, pembersihan hidung dan sebagai pertahanan terhadap infeksi. Pada epitel toraks terjadi proses metabolisme aktif yang dilengkapi mitokondria dengan konsentrasi tinggi serta beberapa enzim yang dapat mencerna mediator endogen ataupun partikel terinhalasi yang bersifat toksik.10 Transpor mukosilia tergantung konsistensi dari mukus dan efektifitas gerakan silia dengan gerakan sekitar 1000 kali per menit yang menggerakkan lapisan gel superfisial dan debris yang terperangkap dengan kecepatan 3 hingga 25 mm per menit. Infeksi bakteri atau virus seperti juga inflamasi akibat alergi akan menurunkan bersihan mukosilia. Partikel alergen di udara akan terhirup melalui hidung. Mayoritas partikel berukuran lebih besar dari 5 mm akan terdeposit pada permukaan mukosa hidung dan kemudian ditranspor dari hidung ke faring selama 15-30 menit. Selama proses tersebut, partikel dengan ukuran yang besar tidak terjadi penetrasi langsung ke mukosa hidung tetapi substansi antigen yang larut dalam air akan terurai dan terserap secara cepat melalui mukosa hidung.10 Rongga hidung dipersarafi oleh dua struktur utama yaitu nervus olfaktorius atau CN.І yang berfungsi untuk penghidu dan nervus trigeminus atau CN.V yang berfungsi sebagai reseptor sensasi iritasi. Selain itu, nervus glossofaringeus dan nervus vagus berfungsi sebagai reseptor sensasi iritasi di hipofaring dan laring. Dalam hal mengenali makanan yang melibatkan kombinasi sensasi rasa dan bau, pengenalan berbagai zat inhalan juga melibatkan rangsangan
5
nervus olfaktorius dan nervus trigeminus. Nervus trigeminus dapat memberikan sensasi berupa rasa segar atau dingin misalnya respons terhadap mentol sampai rasa terbakar atau menyengat misalnya amonia dan klorin. Cabang terminal nervus trigeminus termasuk ion channel neuron nosiseptif diameter kecil yaitu serabut C dan A yang mengandung beberapa jenis ion channel. Serabut C juga mengeluarkan neuropeptida vasoaktif yang selanjutnya dapat dilepaskan sebagai bagian dari refleks nosiseptif. 12-14
2.2.
Definisi Rinitis Akibat Kerja Rinitis menurut International Consensus Report on the Diagnosis and
Management of Rhinitis tahun 1994 seperti yang dikutip oleh Bachert C13 merupakan suatu proses inflamasi mukosa hidung yang ditandai dengan dua atau lebih gejala yaitu hidung tersumbat, rinore, bersin- bersin, gatal di hidung dan gangguan penghidu selama lebih dari 1 jam per hari. Rinitis diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu rinitis alergi, rinitis infeksi yang bersifat akut atau kronik dan kelompok “lain-lain” yang terdiri dari rinitis idiopatik, sindrom rinitis non alergi eosinofilik atau NARES, rinitis akibat kerja, rinitis hormonal, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi dan rinitis yang disebabkan faktor rangsangan makanan atau emosional.15 Rinitis akibat kerja selanjutnya disingkat RAK adalah episode serangan bersin-bersin, hidung beringus, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung yang berhubungan dengan pekerjaan. Biasanya RAK disebabkan oleh zat di tempat kerja dengan berat molekul tinggi, berat molekul rendah dan zat-zat iritan yang melalui mekanisme imunologi atau nonimunologi.7,16-18 EAACI Task Force on Occupational Rhinitis 2009 mengajukan definisi RAK yang disesuaikan dengan definisi asma akibat kerja yaitu inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan/atau gangguan aliran udara hidung dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.7
6
2.3.
Klasifikasi EAACI Task Force on Occupational Rhinitis 2009 mengajukan pembagian
rinitis di lingkungan kerja yang hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat kerja atau occupational asthma yang telah dianut sebelumnya. Pembagian ini bertujuan untuk kepentingan klinis dan penelitian epidemiologi. Rinitis di lingkungan kerja dibagi menjadi (i) rinitis akibat kerja: disebabkan oleh zat alergen atau iritan di lingkungan kerja pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala rinitis, (ii) eksaserbasi rinitis oleh pajanan lingkungan kerja: didefinisikan sebagai rinitis baik alergi maupun nonalergi yang terjadi pada pekerja yang sebelumnya sudah memiliki gejala rinitis dan bertambah berat setelah terpajan zat alergen atau iritan di lingkungan pekerjaan.7 RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik klinis berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang muncul setelah periode laten. Reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap suatu zat. Interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun. 7,16-19 RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahan-bahan dengan berat molekul tinggi atau high molecular weight/HMW yang berasal dari hewan atau tanaman seperti urin tikus percobaan laboratorium, wol, serangga dan tungau, debu, tepung gandum, lateks, alergen tumbuh-tumbuhan, misalnya daun tembakau, kopi, merica, enzim biologis yang digunakan pada industri pembuatan detergen, obat- obatan, protein ikan dan makanan laut.7,16-19 RAK tanpa perantara IgE diinduksi oleh bahan-bahan dengan berat molekul rendah atau low molecular weight/LMW seperti diisosianat pada cat, anhidrides pada plastik dan cat, bahan dari debu kayu, metal, colophony yang terdapat pada pabrik elektronik, obat-obat, bahan kimia seperti tinta, katun, serat sintetik, garam persulfat yang dapat menginduksi pengeluaran IgE spesifik dengan
7
cara berikatan dengan protein untuk membentuk ikatan hapten-protein.7,16-19
Rinitis yang berhubungan dengan kerja Rinitis yang disebabkan oleh kerja =
Rinitis yang tereksaserbasi oleh kerja=
Rinitis Akibat Kerja (RAK)
Rinitis Eksaserbasi Kerja
o
RAK alergi (dengan periode laten) * diperantarai oleh IgE * tidak diperantarai IgE
o
RAK non alergi (tanpa periode laten) * terpapar tunggal: RUDS * terpapar multipel:RAK yang diinduksi bahan iritan * rinitis korosif
RUDS: Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome
Bagan 1. Klasifikasi rinitis akibat kerja (Dikutip dari Moscato G)7 RAK
nonalergi
dengan
Reactive
Upper
Airways
Dysfunction
Syndrome/RUDS merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi.7,17 RAK terinduksi iritan juga dapat dipergunakan untuk gejala rinitis yang disebabkan berbagai pajanan iritan berulang tanpa harus disertai adanya pajanan yang jelas terhadap iritan dalam konsentrasi tinggi seperti gas, kabut, uap, uap air dan debu termasuk asap rokok, nitrogen oksida, sulfur oksida, ozon, PAN atau peroxyacetyl nitrite, hypochlorite, ammonia, chloramines, gas chlorine, formaldehyde, glycol ethers.7,16-19 Rinitis korosif merupakan RAK terinduksi iritan yang terparah ditandai dengan inflamasi persisten mukosa hidung berupa atropi, ulserasi atau perforasi mukosa hidung dan epistaksis. 7
8
Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, bau parfum, dan lain-lain. Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki.7
2.4.
Epidemiologi Houba R, Heederik D, Doekes G8 melakukan studi potong lintang pada
393 pekerja dari 21 pabrik roti dengan menggunakan pengukuran immunoassay, mendapatkan suatu asosiasi positif dan kuat antara pajanan alergen tepung terigu dan sensitisasi tepung terigu. Pada pajanan tinggi dan sedang alergen tepung diperoleh odds ratio atau OR 5,2 (1,6-16,2) dan 2,7 (0,5-14,5) untuk pekerja atopi dan 2,5 (2,8-7,5) dan 1,4 (0,3-6,4) untuk non atopi, dibandingkan dengan pekerja dengan pajanan rendah alergen tepung. Pada pekerja yang tersensitisasi dan dengan kenaikan pajanan alergen lebih sering mendapat gejala yang berhubungan dengan kerja dengan OR untuk pajanan tinggi dan sedang alergen tepung yaitu 3,5 (1,6-7,5) dan 2,6 (0,9-7,8) dibandingkan dengan pekerja dengan pajanan rendah alergen tepung. Smith TA dan Smith PW20 melaporkan prevalensi uji tusuk kulit positif pada tepung gandum pada pekerja pembuat roti sebesar 6% dan 3% pada pekerja pembuat kue dengan populasi yang terdiri dari 394 pekerja pembuat roti dan 77 pekerja pembuat kue di Inggris. Studi kasus kontrol yang dilaporkan Fahrudin I9 pada suatu PT produsen tepung gandum yang mempelajari hubungan antara faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan rinitis akibat kerja mendapatkan riwayat atopi dan pemakaian alat pelindung diri yang kurang baik berhubungan dengan terjadinya rinitis akibat kerja yaitu masing-masing dengan OR 4,24; p 0,00; 95%CI 2,357,66 dan OR 2,06; p 0,014; 95%CI 1,16-3,65. Studi yang dilakukan oleh Walusiak J, Hanke W, Gorski P, dan Palczynski C pada pekerja pembuat roti, seperti yang dikutip oleh Walusiak J21 mendapatkan
9
insiden rinitis akibat kerja yang meningkat yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja.
2.5.
Patofisiologi Inflamasi mukosa hidung pada RAK dapat disebabkan oleh dua
mekanisme, yaitu: (1) mekanisme imunologi melalui sensitisasi oleh zat dengan berat molekul tinggi dengan jalur yang diperantarai IgE atau konjugasi haptenprotein oleh zat dengan berat molekul rendah, baik episodik maupun persisten, (2) mekanisme nonimunologi oleh karena inflamasi iritasi.16,17
2.5.1. Mekanisme imunologi atau alergi Menurut pembagian Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma tahun 2008 rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu intermiten bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu dan persisten bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu dan dalam kurun waktu lebih dari 4 minggu.22 Rinitis alergi akibat kerja merupakan reaksi alergi hipersensitifitas tipe I yang merupakan respons yang diperantarai IgE yang terdiri dari tiga fase: sensitisasi, fase cepat dan fase lambat. Selama fase sensitisasi alergen yang berasal dari lingkungan sekitar mengalami kontak dan melekat dengan mukosa epitelium dari membran hidung dan mengawali terjadinya presentasi antigen terhadap sel imun. Antigen presenting cells seperti makrofag dan sel dendrit mencerna dan memecahkan alergen menjadi peptida kecil yang kemudian mempresentasikan kepada sel limfosit Th0. Limfosit Th0 mengenali peptida antigen dan mengawali diferensiasinya menjadi Th1 dan Th2 serta melepaskan produk-produk inflamasi. Rinitis alergi biasanya melibatkan sel limfosit Th2. Limfosit Th2 mengeluarkan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10 dan IL13. IL4, IL10 dan IL13 mempromosikan proliferasi limfosit B yang menghasilkan antibodi IgE. Antigen peptida dan antibodi IgE memegang peranan penting pada alergi fase cepat. IgE yang berada di sirkulasi darah melekat pada reseptor sel mastosit dan basofil yang memiliki afinitas yang tinggi, sehingga menyebabkan
10
degranulasi. Degranulasi sel mastosit merupakan saat yang penting dalam mengawali fase cepat dan proses pelepasan histamin, prostaglandin, triptase, leukotrien dan faktor kemotaktik lainnya yang merangsang pengeluaran sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil.16,23
Gambar 2. Mekanisme imunologi pada rinitis alergi (dikutip dari Diseases of the Immune System. Pathologic basis of Disease. 8th, 2010)25
11
Mediator yang dilepaskan sel mastosit akan memberikan efek terhadap pembuluh
darah
seperti
vasodilatasi,
penebalan
mukosa,
peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore. Efek pada ujung saraf vidianus akan menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin selain itu kelenjar mukosa dan sel goblet juga akan mengalami hipersekresi. Jika pajanan dihentikan, reaksi akan hilang dalam beberapa jam. Jika pajanan terjadi terus menerus, akan terjadi reaksi fase lambat yang ditandai dengan edema mukosa serta sumbatan hidung yang lebih berat. Reaksi ini dimulai 4 sampai 12 jam setelah pajanan awal dan dihubungkan dengan terbentuknya sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil yang mengikuti reaksi fase akut. Reaksi fase lambat akan berakhir setelah 72 jam pajanan dihentikan. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi perbaikan gejala pada pekerja pada saat libur akhir pekan, sehingga dapat membingungkan dalam menegakkan diagnosis rinitis akibat kerja. Cuti dengan jangka waktu yang lebih lama mungkin diperlukan agar kecurigaan adanya penyebab di tempat kerja dapat diyakini. Pada pekerja dengan alergi, biasanya bereaksi terhadap beberapa alergen di rumah, di luar rumah serta di tempat kerja. Hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya menegakkan RAK.16,24 Eosinofil melepaskan mediator yang menyebabkan disfungsi epitel hidung sehingga menyebabkan sumbatan hidung, pernapasan yang berat serta gangguan tidur dan mendengkur. Inflamasi lokal akan bertambah dengan pengaruh sekresi yang terus-menerus dari sitokin yang berbeda yaitu faktor nekrosis tumor alfa atau TNF , yang dihasilkan oleh sel mastosit, makrofag, eosinofil dan limfosit yang merangsang serabut sensoris di mukosa hidung. Perangsangan saraf ini akan menyebabkan hipereaktif dan hipersensitif dari mukosa hidung meskipun terpajan dengan rangsangan nonalergi seperti udara dingin dan asap rokok. Hal ini juga menjelaskan mengapa pekerja yang menderita rinitis akibat kerja, gejala akan muncul di luar lingkungan kerja ketika mereka terpajan dengan zat iritan.16
2.5.2. Mekanisme nonimunologi atau inflamasi iritasi Berbeda dengan mekanisme alergi yang merupakan respons imun spesifik, mekanisme inflamasi iritasi merupakan mekanisme respons imun natural yang
12
melibatkan membran mukosa yaitu epitel dan mukus, komplemen, fagosit, mediator atau efek langsung pada saat zat iritan kontak dengan mukosa hidung, walaupun masih banyak yang menyatakan patofisiologinya masih belum jelas. Pada mekanisme kontak langsung, zat iritan menyebabkan rangsangan pada mukosa yang hipereaktif sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, sensitivitas serabut sensoris dari percabangan N.V sehingga terjadi rinitis.13,14 Proses pengaktifan reseptor iritan pada saluran napas dapat menimbulkan bermacam-macam keluhan yaitu bersin, rinore, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, epistaksis, gangguan penghidu, batuk, asma, nyeri dada, bronkospasme, disfungsi laring, dan lain-lain. Bersamaan dengan udara dingin dan kering, bahan kimia yang bersifat iritan dapat mencetuskan gejala saluran napas atas yang memiliki gambaran yang hampir sama dengan rinitis alergi, sehingga kadangkadang sulit untuk menegakkan diagnosis rinitis iritan.13,14,19,26
Gambar 3. Mekanisme inflamasi hidung karena zat iritan (Dikutip dari Sarin S)14 Rinitis yang disebabkan oleh iritasi cenderung hilang segera setelah pajanan dihentikan. Gambaran klinis ditandai dengan rasa terbakar pada hidung atau gatal, rinore serta hidung tersumbat. Rasa terbakar ini disebabkan oleh iritasi
13
sensoris pada serabut C dan A dari percabangan N.V pada saat terpajan debu, gas larut air dan uap zat kimia. Untuk mengetahuinya biasanya dengan cara mengidentifikasi zat penyebab atau dengan melakukan swab sekret hidung, kerokan mukosa hidung atau biopsi.12-14
2.6. Debu Tepung Gandum Debu merupakan partikel-partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatankekuatan alami atau mekanisme seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan dan lain-lain, baik dari bahan organik maupun non-organik. Debu organik yaitu debu yang berasal dari tumbuhan, binatang dan mikrobial.3,4 Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat pajanan debu. Debu tepung gandum termasuk debu organik yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada penderita alergi. Ukuran debu sangat bervariasi, umumnya debu yang berukuran lebih dari 10 μm akan diendapkan di saluran napas bagian atas dan debu yang berukuran lebih kecil akan masuk ke saluran napas bagian bawah. Debu respirable yaitu debu dengan diameter antara 1-10 μm dan dapat masuk ke saluran napas atas sampai alveoli.2,4 Dahulu beberapa debu dianggap tidak berbahaya atau debu inert karena debu yang berukuran 5-10 μm yang masuk ke dalam saluran napas akan dikeluarkan seluruhnya. Hal ini terjadi jika jumlah debu yang masuk kurang dari 10 partikel. Jika jumlah debu yang masuk lebih dari 1000 partikel maka sekitar 10% akan tertimbun dalam saluran napas. Jika jumlahnya mencapai lebih dari 100.000 partikel maka persentase penimbunannya akan bertambah besar lagi.2,4 Berdasarkan fibrogenitasnya terhadap jaringan dibedakan debu fibrogenik dan nonfibrogenik. Debu fibrogenik yaitu debu yang menimbulkan fibrosis jaringan, misalnya debu batubara, debu silica dan debu asbes. Sedangkan debu nonfibrogenik yaitu debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan. Pada awalnya debu golongan ini dianggap tidak berbahaya bagi kesehatan, tetapi kemudian diketahui kadar debu yang tinggi akan menyebabkan reaksi saluran napas seperti
14
hipertrofi dan hipersekresi saluran napas. Tingkat pajanan ditentukan oleh lamanya waktu pajanan dan kadar debu rata-rata di udara lingkungan kerja.2,4 Pada industri pembuatan roti, pajanan debu tepung gandum umumnya terjadi pada saat proses pengolahan. Debu tepung gandum menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia, mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung maupun peradangan pada sinus paranasalis. Berbagai penelitian efek debu tepung gandum terhadap saluran napas atas terbukti menimbulkan rinitis alergi.9
2.7. Faktor-Faktor Predisposisi Rinitis Akibat Kerja 2.7.1. Genetik Faktor genetik pada penderita atopi akan mengakibatkan peningkatan ekspresi, sintesa dan pengeluaran promediator inflamasi spesifik dari sel mukosa berupa IL-8, GM-CSF dan TNFα dalam jumlah yang lebih banyak daripada nonatopi. Seseorang yang mempunyai riwayat atopi dan bekerja di tempat dengan kadar debu tepung gandum tinggi, mempunyai risiko lebih besar untuk menderita rinitis akibat kerja.17,27
2.7.2. Usia Penelitian Harianto dan Sumarman tahun 1999 didapatkan prevalensi tertinggi antara usia 10-30 tahun sebesar 45%.28 Sedangkan Nathan dkk, 1997 prevalensi rinitis alergi pada usia 18-34 tahun sebesar 18,4% dan 35-49 tahun sebesar 17,6%.29 Kadar Ig E tergantung pada usia, kadar puncak terjadi pada dekade pertama atau kedua dalam kehidupan, akan menurun pada usia sekitar 40 tahun.27 Sel-sel inflamasi diproduksi pada sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran darah dan baru setelah itu memasuki jaringan mukosa atau kulit. Pada orang tua terjadi penurunan fungsi sumsum tulang sehingga produksi sel-sel inflamasi juga turun. Akumulasi sel-sel inflamasi dipengaruhi oleh molekul adhesi. Proses akumulasi meliputi gerakan berputar atau rolling, gerakan menepi atau margination, diapedesis dan kemotaksis. Pada orang tua kemungkinan telah
15
terjadi aterosklerosis sehingga proses diapedesis sel-sel inflamasi terganggu yang menyebabkan sel-sel inflamasi ke jaringan rendah. Selain itu pada orang tua kemungkinan telah terjadi neuropati saraf vidianus sehingga terjadi penurunan respon mukosa hidung terhadap histamin.27,28
2.7.3. Masa kerja Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat pajanan debu. Masa kerja berhubungan dengan seringnya pekerja terpajan debu tepung gandum yang merupakan alergen, dimana pajanan yang terus menerus menyebabkan akumulasi sel-sel inflamasi seperti sel-sel APC, limfosit yaitu Th0, Th1, Th2, limfosit B, sel mastosit, basofil dan eosinofil yang menginfiltrasi mukosa hidung. Pengaruh debu terhadap timbulnya rinitis akibat kerja tergantung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah dosis pajanan. Masa kerja akan berpengaruh terhadap dosis pajanan yang diterima oleh pekerja. Seorang yang mempunyai masa kerja lama, tentu dosis pajanan yang telah diterima tinggi, yang akhirnya akan menimbulkan penyakit rinitis akibat kerja.27,30,31 Walusiak J21 mendapatkan insiden rinitis akibat kerja cukup tinggi yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja.
2.7.4. Riwayat merokok Merokok merupakan salah satu faktor predisposisi untuk terjadinya rinitis akibat kerja. Seseorang dianggap perokok apabila mempunyai kebiasaan merokok secara teratur minimal satu batang setiap hari.30 Asap rokok menyebabkan rinitis melalui mekanisme penurunan aktivitas mukosilia, meningkatkan kerusakan epitel, meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi IL-2, 4, 5, 6, 8, 10, 13 yang meningkatkan produksi IgE oleh sel B dan molekul adhesi. Dengan demikian seseorang yang merokok akan berisiko lebih besar untuk menderita rinitis.17,27,32
16
2.7.5. Faktor alat pelindung diri (APD) Alat pelindung diri yang dipakai dengan baik akan dapat melindungi pekerja dan menurunkan tingkat pajanan debu tepung gandum yang merupakan alergen dan iritan pada kadar yang tinggi yang dapat menyebabkan rinitis. Pekerja yang tidak memakai alat pelindung diri dengan baik akan berisiko lebih besar untuk menderita rinitis.3,4
2.7.6. Faktor geografi Sinar matahari menyebabkan peningkatan komponen oksidan fotokimia dimana puncak pajanan terjadi pada siang hari, sehingga terjadi peningkatan keluhan saat musim panas. 31 Udara yang lembab baikyang bersuhu panas maupun dingin dapat menjadi pencetus kambuhnya gejala alergi.27,31,32
2.8.
Diagnosis Kriteria dalam menegakkan diagnosis RAK adalah riwayat penyakit yang
muncul atau bertambah berat di tempat kerja. Pada pemeriksaan klinis menunjukkan gambaran yang positif. Pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap zat alergen spesifik di tempat kerja, IgE spesifik, uji provokasi hidung, pemeriksaan rinomanometri atau peak nasal inspiratory flow meter dan pemeriksaan olesan atau kerokan mukosa hidung menunjukkan hasil yang positif.12,16
2.8.1. Anamnesis Anamnesis secara rinci riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terusmenerus, gejala akan menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat atau RAFL. Riwayat menderita penyakit saluran napas pada usia anakanak dan kemungkinan adanya atopi perlu ditanyakan. Kebiasaan individu seperti
17
merokok, alkohol, hobi serta akivitas di waktu luang lainnya juga perlu ditelusuri.12,16,19
2.8.2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pekerja yang menderita rinitis akibat kerja memiliki sekret hidung encer dan bening serta edema konka. Mukosa hidung biasanya terlihat pucat, berwarna merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau endoskopi serat optik perlu untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Sekresi pus dari muara sinus, hiperplasi limfoid, neoplasma, perubahan pita suara perlu dilihat untuk membedakannya dengan RAK. Stigmata lain seperti rinokonjungtivitis alergi, kemosis atau allergic shiner perlu diperiksa.12,16,19
2.8.3. Pemeriksaan penunjang 2.8.3.1. Uji tusuk kulit Salah satu metode pemeriksaan alergi yang paling sering digunakan adalah uji tusuk kulit atau skin prick test. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Uji tusuk kulit banyak dipakai karena sederhana, mudah, cepat dan cukup aman sehingga sering dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Kelebihan cara ini ialah pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa jenis alergen pada waktu yang bersamaan dan hasil pemeriksaan didapatkan dalam 15-20 menit.33 Kekurangan teknik ini untuk mendiagnosis RAK adalah kadang-kadang sulit mendapatkan ekstrak alergen spesifik yang dicurigai dari tempat kerja, sehingga perlu dilanjutkan dengan uji provokasi hidung dengan menggunakan alergen yang diambil langsung dari lingkungan kerja dan tidak memerlukan ekstrak yang khusus.17-19
2.8.3.2. Uji provokasi hidung Uji provokasi hidung adalah menginduksi gejala rinitis seperti bersin, hidung tersumbat, sekresi hidung dan gejala rinitis lainnya dengan cara
18
menempatkan alergen definitif atau iritan yang dicurigai sebagai penyebab rinitis pada mukosa hidung dan reaksi yang timbul dimonitor. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan metode uji provokasi hidung dan metode ini dianggap merupakan standar baku emas dalam menegakkan RAK. Akan tetapi kesulitan yang dihadapi adalah tidak semua zat di tempat kerja dapat digunakan pada uji provokasi, terutama zat-zat iritan. Metode uji provokasi juga berisiko untuk terjadinya reaksi yang hebat pada saluran napas atas dan bawah, karena dipajankan langsung dengan bahan yang diperkirakan sebagai penyebab penyakitnya.34
2.8.3.3. Rinomanometri Rinomanometri merupakan metode yang sangat objektif dan akurat dalam menilai perubahan nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah uji provokasi dengan alergen yang dicurigai. Rinomanometri yang dianggap paling fisiologis adalah rinomanometri anterior aktif, karena mengukur secara bersamaan aliran udara pada satu hidung dengan pneumotachometer dan tekanan nasofaring pada hidung kontralateral dengan manometer yang dihubungkan dengan cuping hidung kontralateral. Pemeriksaan dikatakan positif jika setelah uji provokasi dilakukan, aliran udara menurun lebih dari 40% dan jika tahanan hidung meningkat lebih dari 60%. Interpretasi dilakukan dengan membandingkan gejala yang muncul setelah pemeriksaan serta mengukur kualitas serta beratnya sekresi cairan hidung sebelum, selama tes dan sesudahnya. Rinomanometri akustik merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis RAK karena sederhana, mudah dilakukan, tidak invasif dibandingkan dengan rinomanometri anterior dan posterior.35,36
2.8.3.4. Peak Nasal Inspiratory Flow Meter Peak Nasal Inspiratory Flow atau PNIF meter merupakan alat untuk mengukur derajat sumbatan hidung dengan mengukur kecepatan aliran udara melalui hidung pada saat inspirasi maksimal. Alat ini cukup sederhana, berukuran kecil dan ringan, mudah digunakan, interpretasi hasilnya cukup mudah. Selain itu
19
juga mudah untuk dibawa dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis alergi dimanapun penderita berada. Alat ini juga memberikan informasi yang akurat terhadap sumbatan hidung dan respon terhadap pengobatan. Keterbatasan alat ini yaitu hanya dapat mengukur kecepatan aliran udara sedangkan tekanan transnasal tergantung usaha pasien pada saat inspirasi maksimal. Nilai normal pada orang Eropa yang ditetapkan dengan alat ini adalah 100–300 liter per menit, dengan keakuratan 10%.37 Pengukuran aliran udara hidung maksimum dengan PNIF meter dilakukan sebelum, selama dan sesudah pergantian kerja.17 PNIF meter pada uji provokasi dikatakan positif bila didapatkan sedikitnya dua gejala yaitu bersin-bersin, rinore, hidung buntu dan penurunan PNIF lebih dari 20%.34,38
2.8.3.5. Pemeriksaan sitologi mukosa hidung Respons lain yang dapat diukur adalah penilaian jumlah eosinofil, basofil, neutrofil dan sel lainnya serta mengukur mediator-mediator lokal yang dilepaskan oleh sel mastosit yang berdegranulasi. Bahan pemeriksaan diperoleh dari usapan, kerokan, bilasan atau biopsi. Pemeriksaan sitologi ini dilakukan untuk melihat adanya eosinofil sebagai parameter rinitis alergi atau neutrofil sebagai parameter rinitis iritan. Dari penelitian sebelumnya polymononuclear neutrophils atau PMNs telah terbukti berhubungan dengan iritasi inflamasi, sedangkan eosinofil berhubungan dengan respons alergi.39
2.8.3.6. Pemeriksaan IgE dan bersihan mukosilia Pemeriksaan IgE total jarang digunakan untuk skrining pada rinitis alergi, karena nilai prediksinya yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan sebagai alat diagnostik. Berbeda dengan IgE total, pemeriksaan IgE spesifik sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Adanya antibodi IgE spesifik tergantung pada tersedianya ekstrak alergen yang berhubungan untuk dilakukan uji imunologi.15 Pemeriksaan bersihan mukosilia dapat dilakukan karena rinitis mengurangi aktivitas mukosilia yang sangat berpengaruh terhadap pertahanan terhadap bakteri.9
20
2.8.4. Algoritme Diagnosis Algoritme diagnosis RAK telah ditetapkan oleh EAACI Task Force on Occupational Rhinitis pada tahun 2009. Riwayat pekerjaan dan klinis Pemeriksaan hidung
Tes imunologi (tes cukit kulit atau antibodi Ig E spesifik)
Tidak tersedia
Tersedia
Negatif
Positif
Berdasarkan riwayat klinik
Tes provokasi hidung di laboratorium
Positif
Tidak dapat dikerjakan
Negatif
Kemungkinan Rinitis Akibat Kerja
Berdasarkan riwayat klinik
Workplase assessment dari: Gejala-gejala klinik Patensi hidung Inflamasi hidung Hiperresponsif nonspesifik
Rinitis Akibat Kerja
Positif
Negatif
Bukan Rinitis Akibat Kerja
Bagan 2. Algoritme diagnosis rinitis akibat kerja (Dikutip dari Moscato G)7
21
Langkah pertama adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan hidung. Bila tersedia ekstrak dilanjutkan dengan tes imunologi berupa tes tusuk atau Ig E spesifik untuk zat dengan berat melekul tinggi dan berat melekul rendah. Diagnosis RAK dapat ditegakkan bila terdapat gejala klinik diikuti dengan hasil tes imunologik positif. Bila hasil tes imunologik negatif, tetapi secara klinis positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan uji provokasi hidung di laboratorium. Bila hasilnya positif, maka diagnosis RAK dapat ditegakkan. Bila hasilnya negatif atau uji provokasi hidung tidak dapat dilakukan, tetapi gejala klinik menunjang, penelusuran di tempat kerja seperti gejala klinik, pemeriksaan sumbatan hidung, sitologi hidung, nasal challenge test dengan histamin, metakolin, udara dingin dapat dilakukan.7
22
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1.
Kerangka Konsep Merokok
Iritasi mukosa hidung
Masa kerja
Pakai APD
Suhu dan kelembaban
Kadar debu tepung gandum
Rinitis Akibat Kerja Respon Ig E
Paparan debu
Riwayat atopi
Usia
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
3.2.
Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan antara faktor-faktor terkait seperti atopi, usia,
merokok, masa kerja , paparan debu gandum dan pemakaian alat pelindung diri dengan rinitis akibat kerja.
23
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1.
Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mengetahui prevalensi rinitis akibat kerja pada para pekerja perusahaan pembuat roti di PT R yang bertugas di bagian pengolahan dan non pengolahan serta menyajikan secara analitik hubungan antara faktor-faktor yang terkait dengan rinitis akibat kerja.
4.2.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 17-26 Januari 2013 di perusahaan pembuat roti PT X untuk pemeriksaan fisik dan PINF meter serta poliklinik rujukan PT R di Denpasar untuk pemeriksaan uji tusuk kulit.
4.3.
Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah semua pekerja perusahaan pembuat roti di PT R, yang berjumlah 125 orang. 4.3.2. Sampel penelitian Populasi yang bersedia ikut serta dalam penelitian dan memenuhi kriteria penelitian, dipilih secara consecutive sampling yaitu setiap responden yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian. 4.4.
Kriteria Seleksi Sampel
4.4.1. Kriteria inklusi 1. Pekerja perusahaan pembuat roti di PT R yang secara tertulis bersedia mengikuti penelitian ini secara penuh yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan PNIF meter dan uji tusuk kulit dengan menandatangani surat persetujuan. 4.4.2. Kriteria eksklusi 1. Pekerja pembuat roti yang sedang dalam pengobatan dengan antihsitamin dalam waktul 72 jam dan atau steroid sistemik 2 minggu. 2. Adanya infeksi akut yang ditandai dengan suhu badan lebih dari 37°C dan dalam pengaruh obat antipiretik. 24
3. Adanya sekret purulen atau mukopurulen, deviasi septum, konka bulosa, hipertrofi konka, polip atau tumor di kavum nasi dari hasil pemeriksaan rinoskopi anterior. 4.4.3. Kriteria drop out 1. Mengundurkan diri atau menolak mengikuti penelitian. 4.5.
Besar Sampel Besar sampel dihitung dengan rumus : n = Z2 x p (1-p) L2 Keterangan : n
: besar sampel minimal.
Zα : tingkat kemaknaan pada nilai α = 5%, maka nilai Z = 1,96. P
: proporsi rinitis akibat kerja pada pekerja pembuat roti, diambil 30%. (berdasarkan pengamatan pendahuluan)
L : presisi peneliti, diambil 10%. n = 1,96 2 x 0,3(1-0,3) 0,12 n = 80,67 dibulatkan menjadi 81 sampel
4.6.
Hubungan Antar Variabel Variabel bebas
Variabel tergantung
Usia Riwayat atopi Merokok Masa kerja Paparan debu tepung gandum APD
Rinitis akibat kerja
25
- Variabel tergantung : Rinitis akibat kerja. - Variabel bebas
: - Usia. - Riwayat atopi. - Merokok. - Paparan debu tepung gandum - Masa Kerja. - APD
4.7.
Definisi Operasional
4.7.1. Pekerja perusahaan pembuat roti: pekerja perusahaan pembuat roti di PT R yang dalam 1 tahun terakhir secara terus menerus bertugas di bagian pengolahan dan non pengolahan selama 8 jam per hari. 4.7.2. Rinitis akibat kerja: Episode serangan bersin-bersin, hidung beringus, hidung tersumbat dan ingus belakang hidung yang berhubungan dengan pekerjaan. Gejala timbul atau memberat pada saat bekerja dan hilang atau berkurang pada saat pulang kerja atau pada saat libur. RAK ditetapkan bila terdapat gejala rinitis dari anamnesis dan terdapat penurunan aliran udara >20% dengan pemeriksaan PNIF meter pada awal dan akhir berdinas. 4.7.3. Paparan debu tepung gandum : Ada tidaknya paparan debu tepung gandum ditentukan berdasarkan lokasi tempat bekerja di perusahaan. Terdapat paparan debu gandum positif bila bekerja di bagian pengolahan dan tidak terpapar debu gandum bila bekerja di bagian non pengolahan. 4.7.4. Riwayat atopi: riwayat adanya satu atau lebih penyakit seperti asma bronkiale, eksim, rinitis alergi, konjungtivitis, alergi makanan atau obat dan urtikaria pada orang, orang tua atau saudara kandung orang. 4.7.5. Atopi: orang yang positif RAK disertai kecenderungan untuk memproduksi IgE yang ditandai dengan hasil uji tusuk kulit positif terhadap 1 alergen atau lebih. 4.7.6. Kebiasaan merokok: kebiasaan merokok seseorang yang dinilai berdasarkan Indeks Brinkman atau IB yaitu hasil perkalian lama merokok dalam tahun dengan jumlah batang rokok yang dihisap setiap harinya,
26
yang didapat dari kuisioner. Penggolongannya yaitu bukan perokok (IB= 0) dan perokok (IB ≥1). 4.7.7. Masa kerja: lama masa kerja seorang pekerja pembuat roti dalam tahun sejak awal bertugas sebagai pembuat roti sampai saat penelitian yang didapat dari data personalia, kelebihan bulan dibulatkan ke atas. 4.7.8. Usia: usia responden sejak lahir dalam tahun yang didapat dari kuisioner, kelebihan bulan dibulatkan ke atas. 4.7.9. Kebiasaan pakai APD: kebiasaan menggunakan APD berupa masker penutup
hidung
dan
mulut
yang
disediakan
oleh
perusahaan.
Penggolongannya yaitu memakai bila hampir selalu digunakan dan tidak memakai bila digunakan kadang-kadang atau hampir tidak pernah digunakan. 4.8.
Cara Kerja
4.8.1. Bahan dan alat penelitian - Formulir penelitian. - Formulir persetujuan penelitian atau informed consent. - Lampu kepala, spekulum hidung. - PNIF meter merek In Check buatan Clement Clark Ltd. - Uji tusuk kulit: alergen “Indrayana”, kapas, alkohol 70%, penggaris, blood lancet. 4.8.2. Proses pengumpulan data Pekerja perusahaan pembuat roti yang bersedia diikutsertakan dalam penelitian diminta mengisi formulir persetujuan penelitian dan formulir penelitian. Dilakukan pemeriksaan status umum dan pemeriksaan THT. Orang yang termasuk kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan pengukuran sumbatan hidung dengan PNIF meter pada awal dan setelah 8 jam bekerja. Orang yang termasuk RAK dilakukan uji tusuk kulit. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar pengumpulan data kemudian dilakukan tabulasi dan analisis data.
27
4.8.3. Pengukuran sumbatan hidung 4.8.3.1.Persiapan alat: 1. PNIF meter merek In Check buatan Clement Clarke International ltd., 2. Sungkup hidung yang telah didesinfeksi dengan alkohol 70%
Gambar 4. PNIF meter 4.8.3.2.Prosedur kerja: 1) Orang dalam posisi duduk tenang, 2) Kursor PINF ditempatkan pada posisi start, 3) Orang diminta untuk ekspirasi maksimal, 4) Sungkup hidung dari PNIF diletakkan menutupi hidung dan mulut dengan rapat dan tidak boleh ada celah, agar udara tidak bocor keluar, 5) Orang diminta untuk menutup mulut dengan rapat dan melakukan inspirasi maksimal melalui hidung selama 1 detik, 6) Hasil dicatat dengan melihat posisi kursor yang berwarna merah di skala, 7) Pemeriksaan diulang sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dipilih yang paling tinggi. 4.8.3.3.Interpretasi: hasil dikatakan positif jika terdapat penurunan aliran udara sebesar >20% dari nilai baseline yang diambil sebelum orang masuk kerja. 4.8.4. Uji tusuk kulit 4.8.4.1.Persiapan bahan : 1) Kontrol negatif dari buffer fosfat, kontrol positif dari histamin, debu rumah, human dander, mite culture, kecoa, bulu kucing, anjing, ayam, gandum, 2) Blood lancet, 3) Kapas alkohol 70%, 4) Penggaris dengan skala millimeter, 5) Sediakan semprit 1 cc dan epineprin ampul.
28
4.8.4.2.Persiapan pasien : 1) Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya, 2) Sampel tidak sedang mengkonsumsi obat
yang
mempunyai efek
antialergi, yaitu antihsitamin minimal 3 kali periode washout atau 72 jam, steroid sistemik 2 minggu, 3) Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-waktu terjadi Pastikan tidak mengalami serangan alergi
reaksi sistemik, 4)
berat 24 jam sebelumnya,
seperti asma bronkhial, 5) Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan sampai yang berat selama tes alergi, 6) Tanda tangan informed consent, 7) Desinfeksi daerah lokasi tes kulit yaitu bagian volar lengan bawah. 4.8.4.3.Prosedur tes kulit 1) Teteskan larutan kontrol positif atau histamin dan kontrol negatif atau bufer fosfat, 2) Histamin sebelah radial dan bufer sisi ulnar dengan jarak minimal 2 jari, 3) Tusuk dengan blood lanset sedalam lapisan epikutan, dicukit tepat ditempat tetesan dan tidak sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama 5-10 menit.
Jika
sudah terbentuk bentol
merah
minimal
diameter 3 mm pada tempat histamin dan tidak terbentuk pada bufer atau maksimal diameter bentol 1 mm maka dilanjutkan dengan penetesan alergen yang akan diperiksa. Mulai dari proksimal sisi radial ke distal dengan jarak kurang lebih 1 jari, kemudian naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit dibaca 10-15 menit. 4.8.4.3.Interpretasi: Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing penderita. Positip (+++) : jika bentol diameternya minimal 3 mm atau sama dengan reaksi histamin, positip (++) : lebih kecil dari histamin, positip (+) : diameter bentol kurang lebih 1 mm. Hasil tes kulit dianggap positip jika terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama dengan bentol dari reaksi histamin. 4.8.4.4.Hasil Ukur: RAK atopi/ RAK nonatopi.
29
4.9. Alur Penelitian
Pekerja perusahaan pembuat roti bertugas di lapangan Informed consent Anamnesis Pemeriksaan umum dan THT
Inklusi Pemeriksaan umum dan THT Eksklusi
PNIF awal
Bekerja selama 8 jam kerja
PNIF akhir
Tidak terdapat penurunan aliran udara>20% dari pengukuran sebelumnya
Terdapat penurunan aliran udara>20% dari pengukuran sebelumnya
Normal
RAK
RAK atopi
4.10.
RAK nonatopi
Manajemen dan Analisis Data Pada penelitian ini karakteristik orang dianalisis secara deskriptif yang
meliputi usia, riwayat atopi, merokok, masa kerja, paparan debu gandum dan APD
30
disajikan dalam bentuk tabel frekuensi distribusi. Menghitung prevalensi RAK pada kelompok terpapar dan tidak terpapar dengan rumus P= jumlah sampel yang positif RAK dibagi jumlah sampel yang diperiksa dikali 100%. Analisis hubungan usia, riwayat atopi, merokok, masa kerja, paparan debu gandum dan APD terhadap kejadian RAK dianalisis secara bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dan multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik.
31
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1.
Karakteristik Subyek Penelitian Pada penelitian ini didapatkan 82 orang yang memenuhi kriteria
penerimaan sampel dengan karakteristik sebagai berikut:
Tabel 5.1. Distribusi berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat atopi, status merokok, tempat kerja, dan pemakaian alat pelindung diri Karakteristik
Frekuensi
Persentase (%)
< 40 tahun
40
48,8
≥ 40 tahun
42
51,2
Laki-laki
57
69,5
Perempuan
25
30,5
≤ 18 tahun
42
51,2
>18 tahun
40
48,8
Tidak ada
54
65,9
Ada
28
34,1
Tidak
57
69,5
Ya
25
30,5
Tidak terpapar/ bag.non pengolahan
50
61,0
Terpapar/bag. Pengolahan
32
39,0
Tidak memakai
68
82,9
Memakai
14
17,1
Usia
Jenis kelamin
Masa kerja
Riwayat atopi
Merokok
Paparan debu tepung gandum
APD
32
5.2.
Prevalensi RAK Dari 82 orang yang diperiksa didapatkan 23 orang dengan RAK dengan
prevalensi sebesar 28%.
Tabel 5.2. Prevalensi RAK Karakteristik
N
%
Tanpa RAK
59
71,9
RAK
23
28,1
Total
82
100,0
5.3.
Uji Tusuk Kulit
Tabel 5.3. Distribusi RAK berdasarkan hasil uji tusuk kulit Uji tusuk kulit
N
%
Uji tusuk kulit + (RAK atopi)
15
65,2
Uji tusuk kulit – (RAK non atopi)
8
34,8
Total
23
100,0
Hasil uji tusuk kulit dilakukan terhadap 23 kejadian RAK tersebut, didapatkan RAK atopi pada 15 kasus atau 65,2% dan RAK non atopi pada 8 kasus atau 34,8%.
5.4.
Hubungan Usia dengan RAK
Tabel 5.4. Hubungan faktor usia dengan RAK Usia
RAK
Tanpa RAK
Total (%)
n
%
n
%
< 40 tahun
9
22,5 %
31
77,5 %
40 (100,0%)
≥ 40 tahun
14
33,3 %
28
66,7 %
42 (100,0%)
Berdasarkan analisis bivariat, tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara faktor usia dengan RAK (X2=1,2 OR=0,6 IK95%=0,2-1,5 p=0,28). 33
5.5.
Hubungan Masa Kerja dengan RAK
Tabel 5.5. Hubungan masa kerja dengan RAK Masa kerja
RAK
Tanpa RAK
Total (%)
N
%
N
%
≤ 18 tahun
7
16,7 %
35
83,3 %
42 (100,0%)
>18 tahun
16
40,0 %
24
60,0%
40 (100,0%)
Berdasarkan analisis bivariat dengan mengabaikan faktor lainnya didapatkan masa kerja lebih dari 18 tahun secara bermakna meningkatkan risiko RAK 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan masa kerja kurang dari 18 tahun (X2=5,5 OR=3,3 IK95%=1,2-9,3 p=0,02).
5.6.
Hubungan Riwayat Atopi dengan RAK
Tabel 5.6. Hubungan riwayat atopi dengan RAK RAK
Riwayat atopi
Tanpa RAK
Total (%)
N
%
N
%
Tidak ada
10
18,5%
44
81,5%
54 (100,0%)
Ada
13
46,4%
15
53,6%
28 (100,0%)
Berdasarkan analisis bivariat dengan mengabaikan faktor lainnya didapatkan riwayat atopi secara bermakna meningkatkan risiko RAK 3,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja tanpa riwayat atopi (X2=7,1 OR=3,8 IK95%=1,4-10,5 p= 0,01).
5.7.
Hubungan Merokok dengan RAK
Tabel 5.7. Hubungan merokok dengan RAK Merokok
RAK
Tanpa RAK
Total
n
%
N
%
Tidak
17
29,8%
40
70,2%
57 (100,0%)
Ya
6
24,0%
19
76,0%
25 (100,0%)
34
Hasil analisis bivariat pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian RAK (X2=0,3 OR=0,7 IK95%=0,3-2,2 p=0,59).
5.8.
Hubungan Paparan Debu Tepung Gandum dengan RAK Dijumpai kejadian RAK lebih tinggi pada orang yang terpapar debu
tepung gandum dibandingkan dengan yang tidak terpapar debu gandum yang disajikan pada tabel 5.8.
Tabel 5.8. Hubungan paparan debu tepung gandum dengan RAK RAK
Paparan debu tepung gandum Tidak terpapar/bag. non
Tanpa RAK
Total (%)
n
%
N
%
4
8,0%
46
92,0%
50 (100,0%)
19
59,4%
13
40,6%
32 (100,0%)
pengolahan Terpapar/bag. Pengolahan
Perbedaan kejadian tersebut secara analisis bivariat didapatkan paparan debu tepung gandum secara bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK 16,8 kali lebih tinggi daripada kelompok yang tidak terpapar debu tepung gandum (X2=25,5 OR=16,8 IK95%=4,9-58,2 p= 0,00).
5.9.
Hubungan pemakaian APD dengan RAK
Tabel 5.9. Hubungan APD dengan RAK RAK
APD
Tanpa RAK
Total (100%)
n
%
N
%
Tidak memakai
19
27,9%
49
72,1%
68 (100,0%)
Memakai
4
28,6%
10
71,4%
14 (100,0%)
Pada penelitian ini, dari analisis bivariat tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara pemakaian APD dengan kejadian RAK (X2=0,002 OR=0,9 IK95%=0,3-3,5 p= 0,96).
35
5.10.
Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel independen
yang merupakan faktor determinan terjadinya RAK atau yang paling berpengaruh terhadap kejadian RAK. Analisis multivariat dilakukan dengan analisis regresi logistik. Variabel yang diikutsertakan pada analisis multivariat ini didasarkan pada nilai p yang didapatkan pada analisis multivariat.
Tabel 5.10. Tabel hasil analisis korelasi logistik faktor risiko RAK Faktor risiko Paparan debu gandum
Koef.
Statistik
regresi B
wald
Nilai p
OR
IK95% Batas bawah
Batas atas
2.584
13.428
.000
13.274
3.326
52.759
Riwayat atopi
.576
.860
.354
1.778
.527
6.005
Masa kerja
.143
.046
.831
1.154
.3
4.275
-3.978
9.840
.002
.019
Constant
Pada analisis bivariat terdapat 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya RAK yaitu: masa kerja, riwayat atopi, dan paparan debu gandum. Dari ketiga faktor tersebut bila dilakukan analisis multivariat, yang paling berpengaruh terhadap terjadinya RAK adalah paparan debu gandum atau pekerja di bagian pengolahan yang mempunyai hubungan bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK (IK95% 3,3-52,8 OR=13,3 p<0,05).
36
BAB VI PEMBAHASAN
Hidung merupakan target potensial pajanan debu tepung gandum yang menyebabkan terjadinya inflamasi mukosa hidung melalui mekanisme imunologi dan non imunologi atau inflamasi iritasi serta menyebabkan perubahan resistensi aliran udara. PNIF buatan Clement Clark ltd merupakan alat untuk mengukur derajat aliran udara hidung dengan menghitung besarnya kecepatan aliran udara dalam satuan liter per menit. Sampai saat ini belum ada kriteria yang baku mengenai persentase derajat penurunan aliran udara pada obstruksi hidung.37 Eire MA pada penelitiannya menggunakan kriteria RAK dengan penurunan PNIF sebesar 20% dari nilai baseline yang diukur setelah 8 jam bekerja dibandingkan dengan nilai PNIF sebelum bekerja.38 Pada penelitian ini didapatkan prevalensi rinitis akibat kerja pada pekerja pembuat roti sebesar 28%. Pada kelompok yang terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian pengolahan kejadiannya sebesar 59,4% sedangkan pada kelompok yang tidak terpapar atau bagian non pengolahan sebesar 8%. Hal ini karena reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap suatu zat, tetapi interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun.
7,16-19
Fahrudin I mendapatkan
prevalensi RAK pada pekerja yang terpajan debu gandum pada bagian pengepakan PT X sebesar 38,1%.9 Terdapat 6 faktor risiko yang diteliti hubungannya dengan kejadian RAK meliputi usia, masa kerja, riwayat atopi, merokok, paparan debu gandum, dan pemakaian APD. Dari 82 sampel, didapatkan yang berusia kurang dari 40 tahun sebanyak 9 orang atau 22,5% dengan RAK dan tanpa RAK 31 orang atau 77,5%, sedangkan usia 40 tahun atau lebih kejadian dengan RAK didapatkan sebanyak 14 orang atau 33,3% dan 28 orang atau 66,7% tanpa RAK. Walaupun kejadian RAK lebih banyak pada usia 40 tahun atau lebih, tetapi secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna (p>0,05), serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fahrudin I.9 Hal ini disebabkan karena debu tepung gadum selain merupakan alergen juga merupakan bahan iritan yang menyebabkan sensitifitas pada serabut
37
saraf sensoris tipe C yang merupakan percabangan n.V, sehingga reaksi yang terjadi tidak tergantung pada kadar IgE yang akan mengalami penurunan setelah usia 40 tahun.13,14,27 Dijumpai kejadian RAK lebih tinggi pada kelompok masa kerja lebih dari 18 tahun yaitu sebesar 40% dibandingkan dengan kelompok masa kerja kurang dari 18 tahun. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan masa kerja lebih dari 18 tahun meningkatkan risiko kejadian RAK 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan masa kerja kurang dari 18 tahun, tetapi pada hasil analisis multivariat setelah dimasukkan faktor lainnya seperti paparan debu gandum, masa kerja lebih dari 18 tahun tidak terbukti sebagai faktor risiko yang meningkatkan kejadian RAK. Dalam hal ini, masa kerja lebih dari 18 tahun mempunyai peranan terhadap kejadian RAK, tetapi tidak dominan. Pekerja yang telah bekerja lebih dari 18 tahun pada bagian yang tidak terpapar debu gandum atau non pengolahan akan memiliki risiko lebih kecil untuk terjadinya RAK bila dibandingkan mereka yang bekerja di bagian pengolahan atau yang terpapar debu tepung gandum. Sarin S menyatakan, adanya pajanan kronis terhadap zat iritan akan meningkatkan prevalensi alergi dan hiperesponsif mukosa hidung baik terhadap alergen atau zat iritan.14 Dari 23 kasus RAK didapatkan 13 orang atau 46,4% dengan riwayat atopi positif dan 10 orang atau 18,5% dengan riwayat atopi negatif. Pada kelompok tanpa RAK didapatkan riwayat atopi positif sebanyak 15 orang atau 53,6% dan 44 orang atau 81,5% dengan riwayat atopi negatif. Dari analisis bivariat didapatkan riwayat atopi secara bermakna meningkatkan risiko RAK 3,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja tanpa riwayat atopi (tabel 5.6), tetapi setelah dimasukkan faktor lain seperti paparan debu gandum pada analisis multivariat didapatkan hasil tidak bermakna. Hal ini berarti riwayat atopi mempunyai peranan pada kejadian RAK tetapi tidak dominan. Adanya faktor eksternal seperti paparan debu gandum mempunyai peranan lebih dominan. Baratawidjaja menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai riwayat atopi akan terjadi akumulasi sel-sel eosinofil, mastosit, basofil, limfosit dan juga melekul-melekul mediator dan sitokin produk inflamasi tersebut pada mukosa hidung, sehingga mukosa hidung
38
lebih responsif terhadap rangsangan non spesifik seperti asap rokok, bau yang merangsang dan kadar debu yang tinggi.17 Pada 23 orang dengan RAK didapatkan 17 orang atau 29,8% yang tidak merokok dan 6 orang atau 24,0% yang merokok, sedangkan pada kelompok tanpa RAK didapatkan 40 orang atau 70,2% yang tidak merokok dan 19 orang atau 76,0% yang merokok. Dari hasil analisis statistik didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian RAK dengan nilai p>0,05 (tabel 5.7). Hal ini kemungkinan faktor debu tepung gandum lebih besar pengaruhnya terhadap RAK dibandingkan dengan faktor merokok. Studi yang dilakukan oleh Fahrudin I juga mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dan RAK (p>0,05).9 Kejadian RAK dijumpai lebih tinggi pada kelompok pekerja yang terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian pengolahan yaitu sebanyak 19 orang atau 59,4% dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian non pengolahan yaitu 4 orang atau 8,0%. Orang tanpa RAK pada kelompok terpapar debu tepung gandum sebanyak 13 orang atau 40,6% dan kelompok tidak terpapar sebanyak 46 orang atau 92,0%. Dari hasil analisis statistik didapatkan risiko pekerja yang terpapar debu gandum atau yang bekerja di bagian pengolahan 16,8 kali lebih tinggi untuk menderita RAK dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian non pengolahan (tabel 5.8). Pada analisis regresi logistik, paparan debu gandum juga terbukti determinan meningkatkan risiko kejadian RAK (p<0,05). Hal ini karena debu tepung gandum termasuk debu organik yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada penderita alergi. Kadar debu yang tinggi akan menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas, mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung dan menyebabkan timbulnya RAK.9 Pada tabel 5.9 terlihat bahwa dari 23 orang dengan RAK terdapat 19 orang atau 27,9% tidak memakai APD dan 4 orang atau 28,6% memakai APD. Orang tanpa RAK sebanyak 49 orang atau 72,1% tidak memakai APD dan 10 orang atau 71,4% memakai APD. Dari hasil analisis statistik pada tabel 5.9 tidak ditemukan
39
hubungan yang bermakna antara pemakaian APD dengan kejadian RAK (p>0,05). Hasil pada penelitian ini serupa dengan penelitian Fahrudin I.9 Tidak ada perbedaaan RAK antara kelompok dengan atau tanpa APD, dimana kejadian RAK pada pekerja yang memakai APD sebesar 28,6% sedangkan yang tidak memakai APD yaitu sebesar 27,9%, sehingga tidak bisa dibedakan antara yang memakai APD ataupun tidak terhadap ada tidaknya paparan debu gandum. Dengan analisis bivariat terhadap 6 faktor risiko terjadinya RAK yaitu usia, masa kerja, merokok, riwayat atopi, paparan debu gandum, dan pemakaian APD didapatkan 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya RAK yaitu masa kerja, riwayat atopi, dan paparan debu gandum. Dari ketiga faktor tersebut bila dilakukan analisis multivariat atau regresi logistik , hanya 1 faktor yang terbukti mempunyai hubungan bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK pada pekerja pembuat roti di PT R, yaitu adanya paparan debu gandum (p<0,05), sedangkan faktor yang lain tidak terbukti (tabel 5.10). Beberapa keterbatasan pada penelitian ini antara lain: 1) pengukuran tingkat pajanan debu gandum tidak dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan klinik, tetapi dengan melakukan pemeriksaan sebelum dan sesudah 8 jam bekerja kemungkinan tingkat pajanan sudah diatas NAB, 2) Idealnya pemeriksaan sumbatan hidung dilakukan dengan rinomanometri aktif anterior yang saat ini merupakan standar baku emas sebagai alat pemeriksaan sumbatan hidung. Akan tetapi karena ketiadaan alat, digunakan alat PNIF meter yang lebih sederhana, lebih mudah dan lebih memungkinkan untuk dibawa dan digunakan.
40
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pekerja pembuat roti di PT R
di Sempidi, Badung, Bali pada tahun 2013 didapatkan prevalensi RAK sebesar 28%. RAK pada kelompok yang terpapar debu gandum atau bekerja di bagian pengolahan sebesar 59,4% sedangkan bagian non pengolahan sebesar 8,0%. Dari 6 faktor yang diteliti seperti usia, masa kerja, riwayat atopi, merokok, paparan debu gandum, dan pemakaian APD, hanya paparan debu gandum yang terbukti secara bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK pada pekerja pembuat roti sedangkan yang lainnya tidak terbukti.
7.2.
Saran Beberapa hal yang dapat disarankan antara lain: 1) satu-satunya faktor
yang terbukti meningkatkan risiko kejadian RAK adalah paparan debu gandum. Didapatkan pekerja yang bekerja di bagian pengolahan lebih dari setengahnya menderita RAK, dengan tingkat penggunaan masker sangat rendah serta cara penggunaan yang tidak benar. Sehingga untuk menekan risiko kejadian RAK, disarankan untuk menggunakan APD atau masker yang benar dan secara continue bagi pekerja, sedangkan bagi perusahaan agar menyediakan masker standar dan mengawasi penggunaan masker oleh para pekerja, 2) Perlu dilakukan tindakan pengendalian dan pengelolaan lingkungan ruang pengolahan oleh perusahaan seperti menambah exhouser atau penyedot debu agar kadar debu tepung gandum tidak melebihi NAB sehingga dapat menurunkan angka prevalensi RAK, 3) Pada pemeriksaan pra kerja, riwayat atopi dan tes cukit kulit sebaiknya dilakukan khususnya untuk tapisan calon pekerja yang akan bekerja di bagian yang berhubungan dengan debu tepung gandum yaitu bagian pengolahan, 4) Pada kelompok pekerja yang menggunakan APD yang baik ternyata terdapat kejadian RAK positif, sehingga diperlukan penelitian untuk mengembangkan APD atau masker yang lebih aman dan nyaman untuk dipakai, dan berkualitas.
41
DAFTAR PUSTAKA 1. Eddy. Hubungan antara pajanan tepung dengan faal paru pada tenaga kerja pabrik tepung terigu PT. ISM BSFM [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2002. 2. Yunus F. Dampak debu industri pada paru pekerja dan pengendaliannya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Pulmunologi FKUI/Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta.[diakses 8 Agustus 2006]. Diunduh dari: URL:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/file/14DampakDebuIndustripadaParuP ekerja115.pdf 3. Undang-Undang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) No. 1 tahun 1970. [diakses
27
Januari
2011].
Diunduh
dari:
URL:
http://www.scribd.com/doc/12966864/Peraturan-PerundangUndangan-K3 4. Cayanto, Wardani RS dan Nurullita U. Hubungan masa kerja dan pemakaian alat pelindung diri (masker) dengan gangguan fungsi paru (FEV 1.0 dan FVC) pada penyapu jalan raya di kelurahan Mugassari dan Pleburan kota Semarang [tesis]. Semarang: Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah; 2007. 5. Heederik D and Houba R. An Exploratory quantitative risk assessment for high
molecular
weight
sensitizer:
wheat
flour.
Ann.Occup.Hyg
2001;45(3):175-85. 6. Aviandari G, Budiningsih S dan Ikhsan M. Prevalensi gangguan obstruksi paru dan faktor-faktor yang berhubungan pada pekerja dermaga dan silo gandum di PT R [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2008. 7.
Moscato G, Vandenplas O, Wijk RGV, Malo JL, Perfetti L, Quirce S et al. EAACI Position Paper on Occupational Rhinitis. Respiratory Research 2009;10:20-1.
8.
Houba R, Heederik D, Doekes G. Wheat Sensitization and Work-related Symptoms in the Baking Industry Are Preventabel. An Epidemioloical Study. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:1499-1503.
42
9.
Fahrudin I. Rinitis akibat kerja dan faktor-faktor yang berhubungan. Studi pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum di bagian pengepakan PT X tahun 2005 [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2006.
10. Ballenger JJ. Clinical anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam: Ballenger JJ, Snow JB, penyunting. Otolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-15. Baltimore: William & Wilkins, 1996; h.3-18. 11. Putz, R., dan Pabst, R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Dalam: Suyono, J.Y. penyunting bahasa Indonesia. Edisi ke-21. Jakarta: EGC. 2000; h.90-1. 12. Shusterman D. Toxicology of nasal irritants. Current Allergy and Asthma Reports 2003; 3:258–65. 13. Meggs WJ. Neurogenic inflammation and sensitivity to environmental chemical. Environmental Health Perspectives 1993; 101:234-8. 14. Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2006;118:999-1014. 15. Bachert C. Persistent rhinitis – allergic or nonallergic? Allergy 2006; 5(76):11-5. 16. Arandelovic M, Stankovic I, Jovanovic J, Borisov S, Stankovic S. Allergic rhinitis-possible occupational disease-criteria cuggestion. Acta Fac. Med. Naiss 2004; 21(2):65-71. 17. Baratawidjaya KG dan Rengganis I. Rinitis Alergi. Dalam: Baratawidjaya KG dan Rengganis I, penyunting. Alergi dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publising, 2009; h.233-63. 18. Gautrin D, Desrosiers M, Castano R. Occupational rhinitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2006; 6(2):77-84. 19. Drake-Lee A, Ruckley R, Parker A. Occupational rhinitis: A poorly diagnosed condition. J Laryngol & Otol 2002; 116(8):580-5. 20. Smith TA and Smith PW. Respiratory symptoms and sensitization in bread and cake bakers. Occup Med 1998;48:321-8. 21. Walusiak J. Occupational upper airway disease. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2006;6:167-72.
43
22. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J,Fokkens WJ, Togias A et al. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). Allergy 2008;63(68):8160. 23. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmona N. Rinitis alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; h. 128-133. 24. DeBenardo R. Occupational Rhinitis. Occupational Airways 2001;7:1-4. 25. Kumar, V., Abbas A.K., et al. Diseases of the Immune System. Dalam: Schmitt W, Gruliow R, penyunting. Pathologic basis of Disease. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2010; h.254-62. 26. Shusterman D. Review of The Upper Airway, Including Olfaction, as Mediator of Symptoms. Environ Health Perspect 2002;10(4):649-53. 27. World Health Organization. Principles and methods for assessing allergic hypersensitization associated with exposure to chemicals. Environ Health Criteria,1999; h. 117-65. 28. Harianto dan Sumarman I. Prevalensi rinitis alergi perenial pada penduduk usia 10 tahun keatas di kodya dan kabupaten Bandung. Konggres Nasional XII Perhati-KL, Semarang, 28-30 Oktober, 1999. 29. Nathan RA, Meltzer EO, Selner JC and Storms W. Prevalence of Allergic Rhinitis in The United States. J Allergy Clin Immunol 1997;99:808-14. 30. Amin M. Peranan Defisiensi Alfa-1-Antitripsin, rokok dan polusi udara (debu) sebagai faktor predisposisi penyakit paru obstruktif menahun. Dalam: Amin M., penyunting. Penyakit paru obstruktif menahun: polusi udara, rokok dan alfa-1-antitripsin. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga University Press, 1996; h. 61-132. 31. D’Amato G, Liccardi G, D’Amato M and Cazzola M. Outdoor air pollution, climatic changes and allergic bronchial asthma. Eur Respir J 2002;20:763-76. 32. Gilmour IM, Jaakkola MS, London SJ, Nel AE, Rogers CA. How exposure to environment tobacco smoke, outdoor air pollutans, and increased pollen burden influences the incidence of asthma. Environ Health Perspect. 2006;
44
114(4):627-33. [diakses 10 Agustus 2010]. Diunduh dari: URL: http://www. medscape.com./viewarticle/530466. 33. Irawati N. Tes cukit: persiapan, metode dan interpretasinya. Kongres Nasional XIII Perhati-KL, Bali, 14-16 Oktober, 2003. 34. Rajakulasingam K. Nasal provocation testing. Dalam: Adkinson JR, Busse WW, Bochner BS, Holgate ST, Simons ER, dan Lemaske RF, penyunting. Middleton’s Allergy: Principle and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Inc.,2003; h.1281-94. 35. Nathan RA, Eccles R, Howarth PH, Steinsva SK, Alkis Togias A. Objective monitoring of nasal patency and nasal physiology in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 115:442-59. 36. Hytonen ML, Sala EL, Malmberg HO, Nordman H. Acoustic rhinometry in the diagnosis of occupational rhinitis. Am J Rhinol 1996; 10:393-7. 37. Starling RS, Peake HL, Salome CM, Toelle BG, Marks GB, dan Lean L. Repeatability of peak nasal inspiratory flow measurements and utility for assessing the severity of rhinitis. Allergy 2005;60:795-800. 38. Eire MA, Pineda F, Losada S V, Cuesta CG, Villalva MM. Occupational rhinitis and asthma due to cedroarana (cedrelinga catenaeformis ducke) wood dust allergy. J Investig Allergol Clin Immunol 2006;16(6): 385-7. 39. Howarth PH, Persson CGA, Meltzer EO. Objective monitoring of nasal airway inflammation in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 159:414-41.
45
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PEMBUAT ROTI
Untuk Memperoleh Gelar Spesialis di Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher
Oleh : Ni Putu Setiawathi
Pembimbing : dr. Made Sudipta, Sp THT–KL dr. AA Sagung Puteri, Sp THT–KL
PPDS-1 ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKBEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2013
46
47