BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Perikanan merupakan salah satu dari sembilan sektor ekonomi utama yang ada
di Indonesia. Salah satu yang melatarbelakangi hal ini adalah posisi strategis yang dimiliki Indonesia sebagai salah satu negara dengan penguasaan laut yang paling besar di dunia. Maka kemudian bukanlah hal yang apriori jika kemudian Indonesia menjadi negara yang memiliki penguasaan sumberdaya perairan laut yang luar biasa. Sejarah mencatat perkembangan penguasaan maritim di Indonesia yang terkenal dengan epik keperkasaan baik dalam cerita, dongeng yang kemudian melegenda. Maka tak asing pula jika kemudian di negara yang memiliki jumlah gugus kepulauan tak kurang dari 17.000 pulau ini (sumber yang lain mengatakan hanya 13.000) memiliki banyak deretan kampung nelayan yang berkembang linear di sepanjang pantai strategis di Indonesia. Sebagai negara yang maritim, Indonesia memiliki panjang garis pantai tak kurang dari 81.000 KM. Selain itu, penguasaan laut yang Indonesia miliki bahkan termasuk di dalamnya adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah sekitar 5,8 Juta KM2 (Dahuri, 2001). Di dalam laut dan pesisir tersebut terkandung sumberdaya alam yang begitu kaya dan melimpah seperti ikan, udang, kepiting, tiram, rumput laut, serta berbagai kekayaan alam lainnya. Secara teoritik seharusnya kehidupan nelayan Indonesia akan sangat sejahtera. Namun pada kenyatannya tidaklah demikian. Hanya sebagian saja diantara mereka yang sejahtera, sedangkan sisanya berada di bawah garis kemiskinan, ataupun paling tidak berada tepat dan terkatung-katung di garis kemiskinan, bahkan lebih dari itu, beberapa diantaranya bahkan dapat didefiniskan sebagai orang-orang yang terbelakang (Haryono, 2005).
1
Berbagai kajian mengenai nelayan umumnya merupakan kajian yang bertemakan kemiskinan, atau bahkan keterbelakangan yang utamanya disebabkan karena kesulitan ekonomi yang dihadapi dirinya dan keluargaan. Keterbelakangan yang dialami oleh kaum nelayan memang bukan berwujud berupa keterasingan, melainkan ketidakmampuan masyarakat nelayan untuk mengambil peran dalam proses perekonomian pasar yang menguntungkan yang ditandai dengan lemahnya kemampuan mereka untuk membangun organisasi ke luar selain dari kalangan kerabat atau komunitas lokalnya. Kondisi yang terbelakang tersebut sebenarnya bukan saja disebabkan oleh fluktuasi musim ikan yang sering dihadapi oleh masyarakat nelayan. Melainkan juga karena rendahnya mutu sumberdaya manusia, kurangnya akses dan jaringan penjualan ikan yang banyak tidak menguntungkan kaum nelayan. Namun, hal yang paling utama menyebabkan keterbelakangan tersebut adalah pendeknya musim melaut yang memungkinkan nelayan untuk melaut. Oleh sebab itu, sejumlah nelayan melakukan upaya-upaya untuk tetap mampu bertahan hidup khususnya dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan hidup pasca musim melaut. Studi yang telah dilakukan di Filipina, tepatnya di pemukiman nelayan di Desa Barangay Rizal, ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat pesisir yang berkerja sebagai nelayan melakukan berbagai cara sebagai bentuk upaya untuk bertahan hidup selama musim tangkap ikan sepi. Umumnya upaya yang dilakukan oleh penduduk setempat adalah menjadi penjual hewan ternak seperti ayam, kambing, babi, atau menjadi penjual pakaian, buruh, tukang becak, tukang meubel, pedagang makanan keliling, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat laki-laki. Sedangkan kaum wanita umumnya ikut membantu mencari penghidupan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lebih ringan seperti menjadi penjaga toko, guru paruh waktu, atau pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya (Asong et.al, 2000). Perbedaan karakteristik wilayah sangat menentukan strategi penghidupan apa yang mampu dilakukan oleh masyarakat nelayan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Akan tetapi satu yang menjadi pola utama
2
dan menjadi ciri khas adalah pekerjaan apapun yang mereka lakukan selama penantian musim melaut tidak membuat strata ekonomi mereka mengalami eskalasi. Bahkan kecenderungan yang terjadi adalah terjadinya stagnansi ekonomi atau mungkin yang lebih buruk dari itu. Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki nilai yang sangat penting. Selain bertujuan untuk mendeskripsikan strategi penghidupan apa saja yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menghadapi musim sepi ikan, juga bertujuan untuk melihat pola strategi penghidupan yang dilakukan. Hal ini tentunya akan sangat bermanfaat nantinya sebagai acuan dalam proses penentuan kebijakan yang bersifat menstimulan agar perkembangan ekonomi masyarakat nelayan di Desa Dadap yang selama ini mengalami stagnansi dalam mengalami perbaikan dan maju. 1.2.
Perumusan Masalah Salah satu permasalahan utama yang terjadi di kalangan masyarakat nelayan
adalah adanya pergantian musim yang sangat mempengaruhi volume tangkapan ikan yang diperoleh. Pergantian musim ini menjadikan tidak tetapnya besaran penghasilan yang diperoleh oleh kalangan masyarakat nelayan, khususnya masyarakat nelayan di desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu dalam satu tahun. Secara periodik, musim tangkap ikan yang paling produktif hanyalah terjadi pada bulan Februari hingga bulan Juli. Sedangkan sisanya adalah musim sepi ikan dan musim transisi. Adanya perubahan musim ini secara tidak langsung mempengaruhi pola penghidupan yang dilakukan oleh masayarakat di Desa Dadap. Jika pada musim melaut, pemenuhan kebutuhan ekonomi dapat ditopang secara penuh dari hasil melaut, maka masalah kemudian muncul ketika musim melaut telah berlalu. Sebagaimana yang diketahui bahwa kehidupan ekonomi nelayan sangat berbeda dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Penghasilan nelayan umumnya bersifat harian dan habis pakai untuk kebutuhan yang bersifat harian atau paling 3
lama adalah mingguan. Akibatnya, masyarakat nelayan umumnya tidak memiliki kesempatan untuk menabung. Hal ini menciptakan masalah tersendiri ketika kemudian masa musim melaut telah habis di mana perolehan ikan sangat minim yang berdampak pula pada rendahnya pendapatan. Oleh sebab itu, permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah tentang pola penggunaan aset selama setahun, serta strategi penghidupan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Indaramayu dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi selama masa pasca musim tangkap ikan. 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini memeliki dua tujuan yaitu 1. Mengetahui pola penggunaan aset nelayan yang terdapat di Desa Dadap selama setahun 2. Mengetahui strategi penghidupan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Desa Dadap dalam menghadapi musim paceklik ikan.
1.4.
Sasaran Penelitian Sasaran penelitian adalah masyarakat nelayan yang ada di Desa Dadap,
Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu yang dalam hal ini bersifat secara umum. Artinya sasaran penelitian yang dikaji dalam hal ini adalah seluruh kelompok nelayan dengan mengelompokkan nelayan menjadi buruh nelayan, nelayan kecil dan nelayan juragan. Buruh nelayan yang terdapat di Desa Dadap adalah nelayan yang tidak memiliki modal baik modal finansial ataupun modal fisik yang dapat digunakan untuk aktivitas penangkapan ikan di laut. Buruh nelayan cenderung sangat bergantung pada nelayan kelas lain seperti nelayan kecil, ataupun nelaan kelas juragan. Dalam hal ini, nelayan kecil dipekerjakan oleh dua kelas nelayan yang lain. Nelayan kecil adalah nelayan yang sudah memiliki modal yang diperlukan untuk aktivitas kenelayanan, baik berupa modal finansial seperti uang, ataupun
4
modal fisik seperti kapal, ataupun peralatan penangkapan ikan lainnya seperti jaring. Akan tetapi, modal yang dimiliki oleh nelayan kecil cenderung terbatas. Misalnya jumlah modal finansial yang tidak terlalu besar seperti halnya nelayan juragan, serta kapal yang meskipun merupakan milik pribadi, namun berukuran relative kecil. Nelayan juragan adalah nelayan yang menempati klasifikasi teratas dengan besarnya topangan modal fisik dan modal finansial. Hal ini dicirikan dengan besarnya kapal yang digunakan, serta dilengkapi modal finansial yang besar serta teknologi penangkapan ikan yang cukup maju.
1.5.
Kegunaan Penelitian Diantara kegunaan penelitian ini adalah a. Pemerintah setempat dapat melakukan pemetaan masalah perekonomian yang terjadi di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu. b. Pemerintah dapat menyusun skala prioritas dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah, khususnya pada Desa Dadap c. Sebagai bahan penelitian dan pengembangan selanjutnya khususnya dalam kajian yang berkaitan dengan livelihood of fisheries community.
1.6.
Tinjauan Pustaka Terdapat banyak sekali penelitian yang berkonsentrasi pada wilayah
pesisir, khususnya pada ruang lingkup kenelayanan. Hal ini secara umum dikarenakan terdapat suatu fenomena menarik yang menjadi suatu ciri khas yang banyak terjadi di hampir seluruh pemukiman nelayan yang ada di Indonesia, yakni “kemiskinan”. Menurut Kusnadi (2003), setidaknya terdapat dua hal yang menjadi faktor penyebab kemiskinan nelayan, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor internal diantaranya adalah mencakup masalah kualitas sumberdaya, teknologi, buruknya hubungan kerja nelayan buruh dan juragan, sulitnya melakukan diversifikasi, hingga termasuk gaya hidup boros yang mulai menjangkiti keluarga
5
nelayan. Selain itu, faktor eksternal diantaranya adalah kebijakan pembangunan perikanan yang parsial, sistem pemasaran yang tidak berpihak kepada nelayan, kerusakan ekosistem laut, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkap, kondisi alam yang fluktuatif khususnya musim melaut yang terbatas, serta kondisi geografis desa nelayan yang terkadang terisolasi. Kemudian menurut Mulyadi (2007) setidaknya ada dua faktor utama yang terkandung dalam kemiskinan, yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan. Dengan adanya sifat kerentanan pada kondisi kemiskinan seseorang atau suatu keluarga, umumnya mereka akan kesulitan dalam menghadapi situasi-situasi darurat yang tidak menguntungkan. Hal inilah yang umum terjadi di masyarakat nelayan, di mana seringkali terjadi situasi-situasi yang meskipun tidak darurat, namun memberikan posisi yang tidak menguntungkan untuk mereka. Terutama yang paling sering adalah fluktuasi musim tangkap ikan yang tidak selalu menentu. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui strategi penghidupan masyarakat nelayan khususnya dalam menghadapi kondisi semacam ini. Dalam studi yang dilakukan oleh Haryono (2005) yang meneliti desa nelayan di Desa Randu Putih, Kecamatan Dringu Probolinggo, ditemukan bahwa masyarakat setempat cenderung melakukan diversifikasi pekerjaan sebagai upaya untuk mempertahakan kelangsungan kehidupan ekonominya. Hal ini utamanya disebabkan karena desa nelayan Randu Putih berada relatif dekat dengan ibukota Probolinggo yakni hanya sekitar 5 km. Begitupula hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh Asong (2000) di Barangay Rizal, Guimaraz, Filiphina, di mana strategi
diverisifikasi
pekerjaan
masih
menjadi
alternatif
utama
untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup. Akan tetapi perbedaan strategi ini jika dibandingkan dengan apa yang terdapat di Desa Randu Putih terletak pada kecenderungan masyarakat untuk memaksimalkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang kemudian berdampak pada masyarakat nelayan yang lebih resilience, khususnya dalam menghadapi perubahan musim tangkap ikan.
6
Sebenarnya hampir tidak ada masyarakat nelayan yang mampu bertahan sepenuhnya dari sumberdaya perikanan tanpa melakukan adaptasi terhadap kondisi khususnya iklim, yang terus berubah. Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat nelayan ini tentunya sangat berkaitan dengan kondisi fisik dan sosial setempat yang tentunya memiliki keunikan yang berbeda-beda antar suatu kawasan pesisir yang satu dengan kawasan pesisir lainnya. Masyarakat nelayan memiliki
karakteristik
sosial
tersendiri
yang tentunya berbeda
dengan
karakteristik masyarakat lainnya semisla pertanian. Masyarakat nelayan umumnya cenderung memiliki etos kerja yang tinggi, solidaritas antar masyarakat yang kuat, serta terbuka dengan perubahan-perubahan dan interaksi sosial (Kusnadi, 2009). Akan tetapi kondisi ini tidak kemudian menyebabkan masyarakat nelayan mampu meningkatkan kualitas kehidupannya dengan terlepas dari jeratan kemiskinan dan kerentanan. Namun meskipun begitu, beberapa kampung nelayan terbukti mampu bertahan hingga kini denganberbagai macam strategi penghidupan yang dilakukan. Penelitian terhadap strategi peghidupan masyarakat nelayan di desa Dadap kecamatan Juntinyuat, Indramayu ini dilakukan dengan pendekatan livelihood yang bertujuan untuk melihat bagaimana strategi penghidupan masyarakat nelayan yang dilakukan utamanya dalam menghadapi musim sepi ikan. Penelitian ini mengedepankan pada bagaimana masyarakat nelayan menggunakan aset yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama masa sepi ikan.
1.7.
Landasan Teori Sebagai upaya untuk terus mempertahankan hidupnya, manusia terus
melakukan upaya dan inovasi-inovasi tertentu agar mampu menyesuaikaan dengan segala perkembangan yang terjadi pada lingkungannya, baik yang merupaan lingkungan fisik ataupun lingkungan sosial. Besarnya upaya manusia untuk bertahan hidup terhadap lingkungannya sebanding dengan kualitas hidup dan ketahanan diri yang didapatkan. Artinya semakin besar upaya adaptasi yang
7
dilakukan, maka akan berdampak pada semakin berkualitas pula keberlangsungan hidupnya (Haryono, 2005). Dalam konteks sosial, adaptasi manusia terhadap lingkungannya sebagai upaya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan biasa sangat erat kaitannya dengan penghidupan (livelihood). Penghidupan (livelihood) jika dilihat dari sudut pandang ilmu ekonomi dapat didefinisikan sebagai pekerjaan, atau hal lainnya yang sejenis dengan itu yang dapat menghasilkan pendapatan atau pemasukan untuk memenuhi kebtuhan hidup (Asong, et al 2000). Hal ini agak sedikit berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Robert Chambers (1992) a livelihood comprises the capabilities, asets and activities required for a means of living Namun menurut Dharmawan (2006), livelihood lebih dari sekedar alat untuk mendapatkan income yang kemudian dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehar-hari. Menurutnya, livelihood dalam pengertian di atas bermakna lebih sempit yakni hanya berbatas pada pemanfaatan aset untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang erat pula kaitannya dengan strategi penghidupan. Selanjutnya menurut Chambers dan Conway (1992), penghidupan berkelanjutan atau sustainable livelihood diartikan sebagai suatu kondisi di mana sekelompok masyarakat mampu mengatasi masalah baik yang diakibatkan oleh faktor-faktor seperti shocks seperti bencana alam, atau trend (kecenderungan), maupun seasonality
(guncangan
yang bersifat
musiman), pun mampu
menyediakan penghidupan yang bersifat berkelanjutan untuk generasi yang akan datang (dalam Solesbury, 2003). Untuk menunjukkan kondisi livelihood suatu unit analisi, biasanya digunakan sebuah tools atau alat yang disebut dengan pentagon aset yakni sebuah grafik yang terdiri atas 5 sisi yang masing-masing terdiri atas aset manusia (human capital), aset sosial (social capital), aset fisik (physical capital), aset alami (natural capital) dan terakhir adalah aset finansial (financial capital).
8
Gambar 1.1 Contoh Pentagon Asset Keterangan 1. P : Physical Capital, S : Social Capital, F : Financial Capital, N : Natural Capital, H : Human Capital 2. Garis merah menunjukkan kondisi existing asset atau modal. Semakin mendekati ujung axis, maka nilai modal semakin besar
Berikut adalah pengertian dari masing-asing asset menurut Solesbury (DFID, 2003) Aset manusia atau human capital merupakan keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk tenaga kerja dan kesehatan yang baik yang bersama-sama memungkinkan orang untuk mengejar strategi penghidupan yang berbeda dan mencapai tujuan mata pencaharian mereka. Pada tingkat rumah tangga modal manusia adalah faktor jumlah dan kualitas tenaga kerja yang tersedia; ini bervariasi sesuai dengan ukuran rumah tangga, tingkat keterampilan, potensi kepemimpinan, status kesehatan, dan lain-lain.
Aset sosial atau social capital dalam kontek penghidupan yang berkelanjutan diartikan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang dikembangkan dari jaringan dan keterhubungan, baik vertikal (patron/klien) atau horizontal (antara individu dengan kepentingan bersama), keanggotaan kelompok yang lebih formal, serta hubungan kepercayaan antar anggota masyaraka.
Aset alami atau natural capital adalah istilah yang digunakan untuk sumber daya alam yang berguna untuk kehidupan manusia. Ada banyak
9
variasi yang dalam sumber daya yang membentuk modal alam, mulai dari sesuatu yang tidak berwujud seperti udara, ataupun hal-hal yang berwujud seperti misalnya keanekaragaman hayati. Namun stau hal yang pasti dalam modal alam adalah kepemilikannya dirasakan sama oleh seluruh manusia.
Aset fisik atau physical capital adalah segala hal yang barang-barang atau benda-benda yang sifatnya bermanfaat untuk mendukung penghidupan seseorang. Misalnya kendaraan, rumah, alat-alat tugas atau pekerjaan dan semacamny.
Aset finansial atau financial capital menunjukkan sumber daya keuangan yang digunakan orang untuk mencapai tujuan mata pencaharian mereka . Tujuan mata pencaharian yang dimaksud di sini adalah misalnya seperti kebutuhan konsumsi, tempat tinggal, pendidikan, dan berbagai kebutuhan lainnya. Bentuk dari aset finansial ini misalnya adalah penghasilan, tabungan, piutang, alat-alat perhiasan dan sebagainya. Konsep pendekatan sustainable livelihood umumnya sudah relatif dikenal
di Indonesia seperti dengan istilah kearifan lokal misalnya tradisi sasi yang terjadi di perkampungan nelayan di Pulau Haruku, Maluku di mana masyarakat membuat sebuah sistem pemanenan tangkapan laut sehingga pendapatan bisa berlangsung dalam kurun waktu yang lebih lama (Salampessy, 2008). Akan tetapi, di sebagian wilayah Indonesia, konsep ini belum bisa terlaksana dengan baik. Kampung nelayan umumnya merupakan kawasan yang relatif miskin dan cenderung berada pada level paling bawah yang tertinggal baik secara ekonomi maupun secara sosial jika dibandingkan dengan masyarakat dengan pekerjaan dominan lainnya, misal saja sektor pertanian. Apalagi jika melihat besarnya nilai kerentanan yang diakibatkan oleh pola penghidupan yang sangat bergantung pada hasil tangkapan yang fluktuatif bersesuaian dengan musim (Pattiasina, et al 2011). Musim penagkapan ikan selalu berubah dan cenderung bergeser setiap tahunnya. Akan tetapi secara umum, musim penangkapan ikan terbagi menjadi 3 fase yaitu musim awal, musim panen, dan musim paceklik. Musim awal terjadi
10
pada bulan April hingga Mei. Musim panen berlangsung dari bulan Mei hingga bulan Oktober. Sedangkan pada bulan November, musim panen segera berakhir dan berganti dengan musim paceklik. Perubahan ini sejalan dengan perubahan musim penghujan dan kemarau yang diakibatkan oleh perbahan angin moonson. Atau dengan kata lain, secara umum masa tangkap ikan terjadi pada bulan-bulan di musim kemarau (Haryono, 2005). Keadaan ini menuntut sebagian besar masyarakat nelayan harus memiliki strategi penghidupan tertentu yang dilakukan sebagai upaya adaptasi untuk terus mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Sustainable
livelihood
merupakan
elemen
utama
yang
dalam
pembangunan, khususnya dalam pembangunan ekonomi masyarakat (Scoone, 1998). Dalam hal ini, terdapat keterkaitan yang erat antara konteks kebijakan, politik, sosial budaya dengan livelihood resources atau kepemilikan aset dalam membentuk strategi penghidupan (livelihood strategies). Dalam konteks masyarakat nelayan seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat nelayan berada dalam banyak faktor yang tidak terlalu menguntungkan seperti penghidupan yang terlalu bergantung pada fluktuasi musim, ketergantungan yang sangat tinggi pada pedagang karena hasil panen yang mudah rusak, serta kepemilikan modal yang kecil menciptakan sebuah pola strategi penghidupan yang unik pada masing-masing kampung nelayan. Studi yang dilakukan oleh Haryono (2005) menemukan bahwa pola utama yang dilakukan oleh masyarakat di Pantai Dringu cenderung berupa diversifikasi pekerjaan yang bersifat musiman. Hal ini berbeda pula halnya dengan studi yang dilakukan oleh Belda (2012) di Kecamatan Sasak Ranah Pasisie dan Kecamatan Sungai Bremas Sumatera Barat, di mana kecenderungan pola strategi penghidupan masyarakat nelayan terfragmentasi dalam sejumlah kelompok yang bergantung pada strata nelayan itu sendiri. Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa nelayan buruh masih berkutat pada strategi survival, sedangkan nelayan sumberdaya menggunakan strategi konsolidasi, dan nelayan juragan menggunakan strategi akumulasi.
11
1.8.
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana pola penggunaan aset yang terjadi di kalangan masyarakat nelayan Desa Dadap selama setahun ? 2. Bagaimana strategi penghidupan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Desa Dadap pasca musim tangkap ikan ?
12