BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76) sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, sebagai pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara garis besar telah mengatur mengenai tugas dan kewajiban aparat penegak hukum serta hak-hak bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) diatur mengenai tahapan penanganan perkara yang dibagi dalam tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Persidangan, Upaya Hukum dan tahap Eksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang dibagi secara tegas dalam KUHAP, antara lain Penyidik diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, Jaksa/Penuntut Umum diberi wewenang untuk melakukan pra penuntutan dan penuntutan, melaksanakan penetapan serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim diberi wewenang untuk mengadili/ memeriksa dan memutus perkara, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang melakukan pembinaan terhadap para nara pidana. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara tahun 2003 Nomor 49), selain adanya aparat penegak hukum seperti tersebut dalam KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 “Avokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan … “ sehinga lembaga penegak hukum bertambah satu lagi yaitu Advokat/Penasehat Hukum yang mempunyai tugas dan wewenang memberi bantuan hukum terhadap tersangka/terdakwa.
1
Tujuan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial menjadi sistem peradilan yang berjiwa dan bersumber kepada sendi-sendi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengkodifikasi hukum acara pidana yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Bahwa hukum acara pidana yang berlaku sebelum disahkanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 adalah hukum acara pidana
peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda
Indlandsch Reglement
(HIR)
yang diadopsi
yaitu Herzien
berdasarkan asas konkordansi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 19451, kemudian ditetapkan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946. Dalam hukum acara pidana peninggalan pemerintah kolonial tersebut walaupun telah dilakukan perubahan-perubahan secara parsial, namun pengaturan hakhak tersangka/ tertuduh belum mendapat tempat yang layak, karena prinsip dari HIR adalah menempatkan tertuduh sebagai obyek pemeriksaan dan mengejar pengakuan atas kejahatan yang dituduhkan, sehingga aparat penyidik dapat berlaku dengan sewenang-wenang untuk mendapat pengakuan atas kesalahan yang dilakukan oleh tertuduh sehingga upaya paksa, seperti penyiksaan, penekan fisik maupun fisikis seolaholah adalah tindakan yang legal untuk memperoleh pengakuan tertuduh. Dalam HIR pengakuan dan perlindungan tehadap-hak-hak tertuduh
terutama dalam tahap
pemeriksaan permulaan hampir tidak ada. Penanggulangan tindak pidana (kejahatan) dengan Sistem Peradilan Pidana yang bertumpu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). sebagai pengganti HIR yang telah membagi tugas dan wewenang aparatur penegak hukum secara tegas, namun dalam menjalankan fungsi tugasnya masing-masing aparat pengak hukum tetap melakukan koordinasi (kerja sama) yang berkelanjutan,
sebagai satu
kesatuan sistem peradilan . Adapun tujuan utama penanggulangan kejahatan dengan Sistem Peradilan Pidana adalah : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
1
Dimyati, Khudzaifah, 2004,, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadyah University Pers, Surakarta, hal. 4
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan 2. Dilihat dari tata cara (hukum formil) penanganan pekara tindak pidana
dalam
praktek dibedakan atas : 1. Perkara Tindak Pidana umum, yaitu jenis perkara tindak pidana yang proses pemeriksaanya semata-mata berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2. Perkara Tindak Pidana Khusus, yaitu jenis perkara tindak pidana yang dalam perundang-undangannya didsamping mengatur ketentuan hukum materiil juga mengatur hukum acara pidana
secara khusus disamping juga secara umum tetap
berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti penanganan perkara tindak pidana korupsi, penanganan perkara tindak pidana HAM berat, tindak pidana perikanan dan lain-lain. Pelaksanaan penanggulangan kejahatan yang berlandaskan kepada Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak boleh mengabaikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur mengenai perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 74 KUHAP. yang pada pokoknya menentukan : hak-hak tersangka seperti hak segera diperiksa (diambil keterangan) oleh penyidik, hak mengetahui atas tindak pidana yang disangkakan kepada dirinya, hak memberikan keterangan secara bebas, hak mendapat bantuan hukum, hak mendapat bantuan juru bahasa,hak
menghubungi penasehat hukum, menerima
kunjungan dokter, hak menerima kunjungan keluarga, hak mengirim dan menerima surat dari penasehat hukum dan keluarga, hak menerima kunjungan rohaniwan, hak mengajukan saksi – ahli yang menguntungkan, hak menuntut ganti rugi, hak dihubungi oleh penasehat hukum dan pendampingan ,
hak mendapat turunan berita acara
pemeriksaan . Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya besar Bangsa Indonesia yang merupakan pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana 2
secara teori maupun praktek ternyata masih banyak terdapat kekurangan dan Ibid, hal 74-75
kelemahan, baik karena rumusan pasal yang kurang jelas, terjadinya tumpang tindih ketentuan maupun
adanya kekosongan norma, sehingga memerlukan berbagai
penafsiran dalam pelaksanaanya baik oleh kaum praktisi, akademisi serta kalangan penegak hukum. Keadaan yang demikian itu memberi peluang kepada aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat bertindak sewenang-wenang, dan masyarakat mulai merasa tidak puas atas jalannya penegakan hukum di negeri kita yang dipandang tidak memberi kepastian hukum, rasa keadilan,
serta manfaat yang
optimal. Mhd.Shiddiq Tgk Armia menyatakan “ memang akhir-akhir ini banyak komentar dari pakar, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan juga para birokrat, bertalian dengan kondisi bagian-bagian dari sistem peradilan pidana. bahkan juga semakin gencar dan tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada titik terendah”3. Pernyataan pesimistis masyarakat pada dasarnya menghendaki segera dilakukannya perbaikan / penyempurnaan dari pada sistem peradilan pidana termasuk substansi hukumnya disamping juga masalah struktur hukumnya4. perkembangan
kehidupan
masyarakat
yang
moder
dan
Sejalan dengan
komplek,
mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mutakhir dan tuntutan akan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia dalam bidang hukum, sosial maupun ekonomi, sangat mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan yang disebabkan ketidaksempurnaan dari hukum acara pidana dan sikap mental dari aparatur penegak hukum itu sendiri. Aparatur penegakan hukum dalam praktek sampai saat ini masih menunjukan sikap arogansi dan fragmentaris atas kewenangan yang dimiliki masing-masing, dalam tahap penyidikan perkara sering terjadi tarik menarik antara kewenangan penyidik Polri dengan penyidik PPNS yang pada ujungnya menjadi korban adalah masyarakat pencari keadilan termasuk di dalamnya tersangka. Keadaan prilaku aparat penegak hukum tersebut disoroti oleh Ronald D. Dworkin, yang menyatakan: …ada sejumlah besar fenomena, maka hati kecil kita, apakah itu hati kecil penyidik, hati kecil jaksa atau hati kecil pengacara, sulit mengakui bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini yang namanya proses penegakan hukum telah 3
Armia, Mhd. Sidiq Tgk., Op.Cit, hal. 85
4
Sujata, Antonoius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hal.39.
kehilangan fondasinya yaitu prinsip moral, sehingga sah kiranya, apabila disimpulkan bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini profesi hukum dan proses penegakan hukum dilanda demoralisasi. Dalam proses demoralisasi itu, maka tidak heran bilamana pepatah kuno China yang berbunyi “It’s better to enter the mounth of tiger then a court of law” kian lama kian dirasakan kebenaranya5 Penyidikan suatu perkara dihitung sejak mulai penyidik memberitahukan tindakan penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum banyak yang belum/tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap pertama dalam waktu lebih dari 6 (enam) bulan bahkan 1(satu) tahun, penyelesaian perkara tidak berdasarkan urutan masuknya laporan /pengaduan atau kejadian, marak terjadi mafia peradilan.
Atas tindakan penyidik
tersebut masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja penyidik melakukan upayaupaya seperti membuat laporan/pengaduan kepada atasan penyidik, kepada Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas) mengenai kinerja penyidik dalam penanganan perkara. Keadaan tersebut juga bisa memicu masyarakat ingin menyelesaikan kasus dengan cara-cara diluar hukum (main hakim sendiri) bila menjadi korban atau menemui suatu tindak pidana, karena ketidak percayaanya tehadap kinerja aparat penyidik. Diwilayah hukum Kejaksaan Tinggi Bali ditemukan permasalahan penanganan perkara pada tahap penyidikan yang berlarut-larut dan berakibat tidak memberikan kepastian hukum, rasa keadilan sehingga pihak-pihak terkait dalam perkara tersebut merasa tidak puas atas kinerja penyidik, seperti : 1. SURYATIN LIJAYA, SH selaku kuasa dari H MADRAIS dkk berdasarkan surat pengaduan Nomor 04/SL/XI/2013 tanggal 25 Nopember 2013 telah melaporkan kinerja aparat penegak hukum dalam penangan perkara dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk.
bahwa
laporan tentang dugaan tindak pidana penipuan tersebut sudah dilaporkan sejak tahun 2012 ke penyidik Polda Bali, namun sampai tahun 2014 penyidikan perkara tersebut belum selesai. (SPDP) Nomor :B/41/II/2012/Dit. Reskrimum tangal 21 Pebruari 2012
atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. diterima di Kejati Bali
tanggal 30 Oktober 2012 2. JACOB ANTOLIS, SH. MH.MM adalah kuasa dari RITA KISHORE KUMAR PRIDHANI, melaporkan mengenai penanganan perkara pada tahap penyidikan yaitu 5
D.Dworkin, Ronald, dalam Buletin KHN, 2002, Demokrrasi dan Rekruitmen serta Pembinaan Profesi Hukum, Edisi Juni, Jakarta, hal. 14
klien pelapor telah melaporkan permasalah hukum tersebut ke pihak Kepolisian Polda Bali sejak tanggal 25 Juni 2011 yang diterima di Polda Bali tanggal 25 Juni 2011
sesuai
Bukti
Surat
Laporan
Polisi
Nomor
:
Pol.
LP/233/VI/2011/Bali/Dit.Reskrim tanggal 25 Juni 2011, namun sampai tahun 2014 belum ada tindak lanjut penyelesaian kasusnya. SPDP perkara tersebut telah dikirim oleh Penyidik Polda Bali sesuai surat Nomor B/242/XII/2011/Dit.Reskrimum tanggal 15 Desember 2011. H.R.Abdussalam (mantan penyidik) menyajikan data penyelesaian penanganan beberapa perkara sebagai berikut : a. Perkara pencurian kendaraan bermotor penyelesaian melalui proses hukum sampai memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mencapai 5(lima) persen, sedangkan selebihnya banyak yang dilaporkan oleh masyarakat namun penyelesaianya tidak ada kepastian. b. Kasus tindak pidana penggelapan penyelesaian perkara dalam proses hukum hanya mencapai 30% (tiga puluh) persen sedangkan sisanya ada yang dihentikan dan ada juga yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum6. Penanganan penyidikan perkara tindak pidana umum diawal tahun 2015 kembali memperlihatkan ketidak pastianya, antara lain dalam penyidikan perkara: 1. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka B.W. .(Wakil Ketua KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 KUHP, BW telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik sejak bulan Januari 2015, setelah proses penyidikan berlangsung kurang lebih 2 bulan, pihak penyidik menyatakan penyidikan kasus tersebut ditunda penanganannya sampai waktu yang tidak ditentukan. 2. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka A.S.(Ketua KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP, A.S. ditetapkan sebagai tersangka sejak bulan Pebruari 2015 setelah penyidikan berlangsung kurang lebih satu bulan penyidik menyatakan penyidikan perkara tersebut ditunda sampai bataas waktu yang tidak ditentukan Bahwa penundaan proses penyidikan perkara atas nama tersangka B.W. maupun tersangka A.S.
tidak ditentukan batas waktunya oleh penyidik dan tidak pernah
disampaikan alasan penundaan perkara tersebut apakah kurang alat bukti atau karena sebab lain. 6
Ibid. hal 684-685
Penetapan B.W. maupun A.S. sebagai tersangka oleh penyidik telah menimbulkan perampasan sejumlah hak dari tersangka, diantaranya menduduki jabatan tertentu (mencari pekerjaan). Selanjutnya dengan dilakukan penundaan proses penyidikan yang tidak dibatasi waktu tersebut sudah dipastikan juga merampas sejumlah hak-hak tersangka seperti, hak untuk segera diajukan ke penuntut umum, untuk selanjutnya oleh penuntut umum segera diajukan ke persidangan, hak melakukan pembelaan. Dengan status tersangka yang disandang oleh B.W. maupun A.S. maka hak yang bersangkutan untuk maju ke panggung politik juga terampas. Terjadinya penanganan perkara pidana (umum) yang berlarut-larut khususnya pada tahap penyidikan disebabkan karena dalam ketentuan hukum acara pidana ( KUHAP) terjadi kekosongan hukum ( vacuum of law) yaitu tidak adanya ketentuan batas waktu berapa lama proses penyidikan perkara tindak pidana (umum) harus diselesaikan dan oleh karena itu KUHAP harus segera direvisi atau diperbaharui dan dalam hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) diatur secara tegas mengenai batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum serta lebih memperhatikan masalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi tersangka, saksi korban maupun saksi-saksi pada umumnya. Memperhatikan
berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam proses
penanganan perkara tindak pidana pada tahap penyidikan, cukup menarik perhatian penulis untuk mengangkat judul PENYIDIKAN TINDAK CONSTITUTUM
TERKAIT
tesis, “ KETENTUAN BATAS WAKTU
PIDANA DENGAN
UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS PERLINDUNGAN
HAK
ASASI
TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS CONSTITUENDUM) ” 1.2. Rumusan masalah
Dari
uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas penulis dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?
b. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam setiap penulisan tesis diperlukan adanya suatu ketegasan tentang materi yang diuraikan, hal ini dimaksudkan untuk membatasi agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: Dalam hubungannya dengan permasalahan pertama, dibahas mengenai batas waktu penyidikan
pengaturan
tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi
tersangka dalam KUHAP; Sedangkan dalam permasalahan kedua, membahas mengenai bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum (het doel van onderhoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma “ science as a process”
ilmu
sebagai proses. Adapun tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP maupun dalam pembaharuan hukum acara pidana . Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk meneliti dan menganalisa
ketentuan waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam KUHAP serta kaitannya dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi tersangka, serta bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang .
1.5. Manfaat Penelitian
Bahwa dalam setiap penelitian ilmiah sudah pasti ada hal-hal yang bermanfaat yang ingin dicapai baik oleh peneliti sendiri maupun bagi masyarakat umum, khususnya yang bersinggungan dengan hal-hal yang diteliti, adapun manfaat penelitian meliputi :
1.5.1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum penyempurnaan
perundang-undangan
hukum
pidana
pidana, berkaitan dengan formil
sehingga
lebih
mencerminkan kepasian hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi tersangka termasuk saksi (korban).
1.5.2. Manfaat praktis.
Manfaat praktis dari tulisan ini adalah dalam rangka memberi masukan kepada pihak-pihak terkait
(lembaga legislatif) dalam rangka penyempurnaan ketentuan
undang-undang hukum acara pidana yang berlaku saat ini, karena dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum ada ketentuan yang membatasi waktu penyidikan sehingga penanganan perkara pada tahap penyidikan banyak berlarut-larut sehingga tidak mencerminkan asas penanganan perkara secara cepat sederhana dan biaya ringan.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Keasilian
tulisan sebagai salah satu persyaratan dalam
tulisan ilmiah ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjiplakan (plagiatism) karya tulis orang lain, karena setiap karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis yakin bahwa
tulisan ini benar-benar asli/original, karena penulis telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis ilmiah khususnya tesis
dan ternyata tidak ada karya tulis ilmiah
(tesis) yang membahas mengenai “kekosongan hukum (norma) dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ” khususnya masalah tidak adanya batas waktu penyidikan tindak pidana (umum). Setelah penulis melakukan perbandingan dengan karya tulis lain, penulis tidak menemukan adanya karya tulis ilmiah (tesis) yang mirip dengan karya tulis ini yang memadai untuk dijadikan perbandingan. Dengan demikian maka tulisan ini dapat disebutkan sebagai tulisan asli /orisinal
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Teori hukum senantiasa tidak dapat dilepaskan dari kontek zamanya karena sarat dengan penjelasan-penjelasan hukum secara dialektis, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Teori hukum juga sering dijadikan sebagai landasan teori untuk mencari suatu jawaban
terhadap permasalahan hukum yang dominan pada suatu jaman. Dalam
landasan teoritis diuraikan mengenai segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka “theorema “ atau ajaran7. Dalam landasan teoritis diuraikan secara singkat mengenai asas hukum, konsep hukum, dan teori-teori hukum . Landasan hukum pembangunan nasional dibidang hukum adalah Pancasila yang memberikan landasan filosopi, landasan sosiologi, sedangkan landasan konstitusional adalah Undang-Undang Dsasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 beserta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206) telah merumuskan visi dan misi pembangunan
bidang hukum yang berbunyi “Terwujudnya sistem hukum
nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia
7
Soerjono Soekanto , Sri Mamudji, 2003,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
berlandaskan keadilan dan kebenaran”8.
Berlandaskan pada misi tersebut,
pembangunan bidang hukum dan hak asasi manusia mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan segera dilakukan perubahan/ revisi baik yang bersifat menyeluruh maupun bersifat parsial, agar ketentuan hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan nilai filosifis Pancasila, kaedah-kaedah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1.7.1. Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan Penyidikan Dalam Tindak Pidana
Menurut C.W. Paton, dalam bukunya A Textbook of Jurisprudence ; A principles is the broad reason, wich lies at the base of a rule of law, diterjemahkan menjadi “ asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum9. Asas hukum yang dianut dalam suatu undang-undang ada yang bersifat universal serta ada asas yang bersifat nasional . Bellefroid menyatakan bahwa “asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum posistif dan yang oleh hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum 10“ Roeslan Saleh menyatakan “ asas hukum adalah aturan hukum tertinggi yang berfungsi sebagai ratio legis dari aturan perundang-undangan yang ada
11
”, bliau juga
menyatakan bahwa terdapat tiga ciri asas-asas hukum, yakni : 1. Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum, oleh karena itu dia adalah pikiran-pikiran dasar dari sistem-sistem hukum; 8
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Kebijakan Reformasi Hukum (suatu Rekomendasi), Partnership Government Reform in Indoensia, Jakarta, hal.2. 9
Arrasjid, Chainur, 2000, Op. Cit. hal. 36.
10
Ali Zaidan., M, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 49 11
Ibid, hal. 53
2. Asas-asas hukum bersifat lebih umum dari pada ketentuan undang-undang dan keputusan-keputusan hukum oleh karena ketentuan undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran asas-asas hukum; 3. Akhirnya difinisi ini menunjukan bahwa beberapa asas hukum berada sebagai dasar dari sistem hukum; beberapa lagi dibelakangnya, jadi di luar sistem hukum itu sendiri, sungguhpun demikian mempunyai pengaruh terhadap sistem hukum tersebut12 Asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, merupakan kelengkapan vital dalam legislasi, asas hukum merupakan bagian integral dari suatu undang-undang dan sistem hukum keseluruhan. Setiap undang-undang yang dibentuk dalam suatu negara selalu memiliki asas-asas hukum yang kuat sehingga undang-undang tersebut dapat bertahan dalam waktu yang lama, demikian halnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan hukum positif dalam bidang penegakan hukum pidana, menganut asas-asas hukum antara lain : 1. Asas legalitas, memberi pedoman bahwa tidak seorangpun dapat dihukum atas suatu kejahatan jika tidak ada peraturan yang mengatur mengenai kejahatan tersebut sebelum kejahatan dilakukan ” tidak ada perbuatan yang boleh dihukum selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelum perbuatan itu terjadi “, Pasal 1 KUHP (SV) Nederland berbunyi “ Strafvordering helf alleen plaats op de wijze bij de wett voozien” ( acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur oleh undang-undang) 13 . Proses penyidikan tidak akan dilakukan jika penyidik tidak/belum menemukan peraturan perundang-undangan yang diduga dilanggar oleh terlapor. 2. Prinsip /Asas keseimbangan antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat14. 3. Prinsip /Asas praduga tidak bersalah, bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap sebagai orang yang tidak bersalah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang 12
13
Loc. Cit Sunarso Siswanto H., 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
hal. 131 14
Harahap, M. Yahya, 2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi 2, Cetakan ke-6, Sinar Grafika Jakarta, hal. 38
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Diharapkan semua pihak mengesampingkan asas praduga bersalah (presumtion of guil), karena dalam proses pembuktian tidak menutup kemungkinan hakim akan memutus bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum baik putusan bebas (vrijspraak) maupun pelepasan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) 15. 4. Prinsip /Asas Akusator, dimana dalam setiap perkara tersangka harus diajukan ke muka pengadilan dengan tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh haknya secara penuh untuk mengajukan pembelaan . 5. Prinsip / deferensiasi fungsional, yaitu setiap badan atau sub sistem telah ditetapkan fungsi dan wewenangnya masing-masing tetapi saling ketergantungan antara subsistem penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga pemasyarakatan, serta advokat/penasehat hukum. 6. Prinsip /Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak; dimana dengan adanya batas waktu yang pasti pada setiap tahap penangan perkara tidak ada lagi orang-orang (tersangka/terdakwa) menyandang status tersangka dalam waktu yang lama/ berlarut-larut tanpa adanya kepastian hukum. Proses penanganan perkara tidak ribet dalam arti tidak lagi terjadi proses pra penuntutan yang memakan waktu lama karena petunjuk penuntut umum (peneliti) tidak bisa dipenuhi oleh penyidik, atau penyidik sengaja berlama-lama tidak mengirimkan kembali berkas perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan). Tidak ada lagi laporan masyarakat dalam waktu yang lama tidak ada kejelasanya. Tidak ada lagi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam waktu lama tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap I (pertama). Tidak ada lagi berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum tidak ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap
kedua / penyerahan
tanggung jawab tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum.
15
Hamzah Andi, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta hal. 126
Tidak ada lagi penanganan perkara pada tahap penuntutan dan upaya hukum yang memakan waktu cukup lama, bertahun-tahun (upaya hukum). Bagi warga negara yang tersangkut suatu tindak pidana tidak lagi mengeluarkan biaya yang banyak untuk keperluan mengurus perkara, tidak ada mafia hukum yang menguras uang para pesakitan dan mereka cukup mengeluarkan biaya untuk membayar ongkos/biaya perkara . Tindakan penyidik yang tidak kunjung mengirimkan berkas perkara kepada penuntut umum dan/atau hasil penyidikan yang sering kali penuntut umum
dikembalikan oleh
kepada penyidik untuk dilengkapi akan berpengaruh
kepada
kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik16 . 7. Prinsip /Asas perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa. Aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum (law inforcement) baik disengaja maupun tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka / terdakwa baik mendapat
pemeriksaan
hak didampingi penasehat hukum, hak diam, hak yang
cepat,
hak
mengajukan
saksi/ahli
yang
menguntungkan, hak mendapat bentuan juru bahasa dan lain sebagainya. Memberikan perlindungan terhadap para saksi / korban. Memberikan penghargaan bagi warga yang berjasa mengungkap suatu peristiwa pidana. 8. Prinsip /Asas pemeriksan dipersidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang
1.7.2. Teori Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang didasarkan kepada Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sebagai landasan bertindak bagi aparat
penegak hukum, merupakan satu kesatuan sistem, karena pelaksanaan pidana tersebut tidak terlepas dari sub-subsistem yang saling mendukung antara subsistem struktur hukum, subsistem substansi hukum maupun subsistem kultur hukum. Adapun ciri pendekatan sistem dalam hukum acara pidana menurut Romli Atmasasmita adalah :
16
Yahya Harahap, M. Op.Cit. hal 357
a.
Titik berat pada kondisi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan). b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan “The administration of justice”17 Pendekaan dalam sistem peradilan pidana indonesia adalah pendekatan yang menggunakan segenap unsur (struktur hukum) yang terlibat didalamnya sebagai satu kesatuan dan saling berhubungan, saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan18. Dalam
sistem
peradilan pidana dikenal ada dua model pendekatan dikotomi, yaitu pendekatan Crime Control Model (CCM) dan pendekatan Due Process Model (DPM);19, pendekatan Crime Control Model
mengutamakan pemberantasan kejahatan dengan tindakan
represif terhadap suatu kriminal dan efisiensi dengan penekanan efektivitas kecepatan dan kepastian. Sedangkan
pendekatan Due Process Model menekankan proses
peradilan yang mengutamakan prosedur formal yang sudah ditetapkan dalam undangundang, setiap prosedur adalah penting dan harus dilaksanakan secara ketat Sistem Peradilan Pidana secara umum bertujuan untuk melaksanakan proses hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (due process model), dalam proses hukum yang baik memiliki persyaratan antara lain: adanya ketentuan hukum yang jelas, tiap-tiap komponen penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang jelas, memiliki koordinasi dan kerjasama secara berkelanjutan, dan adanya pengawasan internal maupun eksternal dalam pelaksanaan tugas masing-masing. Konsep due process model sangat menjunjung tinggi adanya supremasi hukum. Penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan
17
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana Persefektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Cetakan 2, Putra Abardin, Bandung, hal. 9-10 18
Fachmi,2011, Kepastian hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Perddilan Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hal.123 19
Packer,Herbert L.. 1968, The Limits of The Criminal Santion, West Publishing, New York London, hal.24.
persyaratan konstitusionil dan harus mentaati hukum, serta menghormati hal sebagai berikut : a. The right of self incrimination, tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. b. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta benda tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara. c. Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan”. d. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan. e. Hak memperoleh pemeriksaan yang cepat. f. Hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum. g. Hak mendapat bantuan penasehat hukum20 . Sistem Peradilan Pidana dapat diuraikan pengertianya kata demi kata sebagai berikut: sistem berarti suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem, hubungan antara beberapa unsur yang satu tergantung pada unsur yang lain. Peradilan merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah ataupun keseimbangan dan secara keseluruhan, peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses, yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan dan kata Pidana yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan ataupun penderitaan yang diberikan yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun fsikis dari orang yang terkena pidana itu21. Sistem Peradilan Pidana Indonesia menggunakan pendekatan Due Process Model yaitu melaksanakan proses peradilan pidana sesuai prosedur hukum yang telah diatur dan ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang prosesnya dimulai dari tahap penyidikan, pra penuntutan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan dipersidangan termasuk upaya hukum dan
berakhir pada pelaksanaan
putusan pengadilan. Pemahaman mengenai sistem peradilan pidana di Indonesia diperkenalkan oleh ahli hukum Mardjono Reksodiputro, yang memberikan batasan tentang Sistem Perailan Pidana adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada
20
Harahap, M. Yahya, Op.Cit. hal 95-96
21
Fachmi. Op.Cit. hal 49-50
dalam batas toleransi masyarakat22”. Disadari atau tidak bahwa kejahatan itu ada seiring dengan berkembangnya peradaban hidup manusia, oleh karena itu adanya kejahatan harus ditekan seminimal mungkin. Pendapat ahli hukum Remington dan Ohlin mengenai
Sistem Peradilan Pidana
adalah sebagai berikut : Sistem Peradilan Pidana (Criminal justice system) dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya 23 Melalui Sistem Peradilan Pidana ini akan diperoleh cara penyelesaian perkara atau penanggulangan kejahatan yang baik dan adil (doe process of law) . Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan kerja (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana24. Reformasi dibidang hukum
idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem
hukum25. Pendekatan sistem yang dimaksud adalah adanya hubungan kerjasama/ koordinasi antara unsur-unsur aparat hukum yang terkait satu dengan yang lain. Sudikno Mertokusumo mengartikan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut26 . Tujuan yang ingin dicapai dalam sistem hukum adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat, adanya kepastian hukum dalam rangka kesejahteraan masyarakat .
22
Reksodiputro, Mardjono, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peranan penegak Hukum Melawan Kejahatan, FHUI, Jakarta, hal. 84-85 23
Susanto, Anton F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,PT. Refika Aditama, Bandung, hal.74 24
Ibid, hal 76.
25
Basrief Arief, 2013, Menata Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kumpulan Makalah Jaksa Agung Republik Indonesia Tahun 2012, Gaung Persada Press, Jakarta, hal 2. 26
Lok.Cit.
Proses penanggulangan kejahatan, diimplementasikan
dalam hukum acara pidana Indonesia
dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal
Justice System). Keterpaduan sistem peradilan pidana tersebut memiliki ciri tersendiri dibanding dengan sistem pradilan pidana di negara lain, dimana tiap-tiap aparat penegak hukum memiliki wadah/lembaga tersendiri namun dalam pelaksanaan tugas mereka tetap melakukan kerja sama dan saling membantu demi kelancaran penanganan perkara. Pengertian dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) menurut Muladi dinyatakan : Sinkronisasi/keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan, pertama Sinkronisasi Struktural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum, kedua Sinkronisasi Substansial yaitu keserempakan dalam keselarasan yang sifatnya fertikal dan hirisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, dan ketiga Sinkronisasi Kultural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikapsikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana27 Antara aparat penyidik dengan penuntut umum senantiasa ada koordinasi dalam tahap prapenuntutan, penyidik penuntut umum dengan pengadilan terjadi koordinasi dalam pertanggung jawaban hasil penyidikan, penuntut umum dengan Pemasyarakatan terjadi koordinasi dalam hal penitipan penahanan serta pelaksanaan putusan pengadilan dan lain sebagainya . Tujuan akhir dari sistem peradilan pidana dalam jangka panjang, yakni mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial, dalam jangka pendek yakni mengurangi
terjadinya kejahatan dan residivisme28, pada
prinsipnya sistem peradilan pidana merupakan sarana untuk mencegah sekaligus menanggulangi kejahatan .
1.7.3. Teori Pembentukan Hukum (Perundang- undangan).
27
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
28
Ali Zaidan.,M. 2015, Op. Cit, hal .116
hal.4
Sebagai Negara hukum yang mengedepankan asas legalitas formal, maka hukum yang diberlakukan cenderung dalam bentuknya yang tertulis, namun masih tetap memberi peluang berlakunya hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum dalam bentuk tertulis perwujudannya berupa peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pejabat/lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan)
tidak bisa terlepas dari asas
hukum, teori hukum maupun doktrin hukum. Salah satu teori hukum yang dikenal dengan teori penjenjangan yang dikebangkan oleh Hans Nawiasky
menerangkan
bahwa “suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni mulai dari norma yang paling bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan seterusnya sampai pada norma tertinggi yang disebut norma dasar
29”
yang
merupakan pengembangan teori penjenjangan dari Hans Kelsen. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, disamping harus memperhatikan penjenjangan hukum, maka menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) harus juga berpedoman pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
Kejelasan tujuan Kelembagaan atau pembentuk yang tepat Kesesuain atara jenis, hirarki dan materi muatan Dapat dilaksanakan Kedayagunaan dan kehasilgunaan Kejelasan rumusan, dan keterbukaan
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 menyatakan materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. b. c. d. e. f. 29
pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika,
Rais Rozali, 2013 Teori Pembenttukan perundang-Undangan, birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html diunggah tanggal 23 September 2013
g. h. i. j.
keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan , ketertiban dan kepastian hukum, dan /atau, keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Dan ayat (2) memberi peluang dalam penerapan asas-asas lain sesuai kebutuhan perundang-undangan yang bersangkutan . Reformasi menghendaki terjadinya perubahan hukum kearah yang lebih baik, mewujudkan tujuan hukum
seperti keadilan, kepastian hukum, ketentraman dan
kesejahteraan masyarakat, masyarakat membutuhkan ketertiban serta keteraturan sehingga membutuhkan hukum, hukum sudah ada di negeri ini sehingga cara-cara untuk “mengadilkan, membenarkan, meluruskan serta membumikan” hukum menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawar-tawar30 untuk segera dilakukan, perubahan maupun pembentukan peraturan perundang-undangan baru saat ini mengarah kepada tipe hukum responsif. Mochtar Kusumaatmadja, mengajarkan konsep pembangunan bidang hukum Indonesia yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sebagai sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum31 , hukum dipandang sebagai sarana pembangunan sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Salah satu konsep dasar yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang memandang hukum sebagai “alat pembaharuan masyarakat”, yang diilhami oleh pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan bahwa “ law as a tool of social engineering”32, hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik, maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,
30
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Prograsip sebuah sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Materam , hal.123. 31
Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan pertama, Muhamadyah University Press, Surakarta, hal 29 32
Ibid, hal. 175- 176.
pembuatan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan secara serta merta mengadopsi hukum-hukum yang berkembang dari negara lain. Proses pembaharuan hukum acara pidana yang saat ini masih dalam proses pembahasan tingkat legislatif bersama eksekutif terhadap Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) secara konseptual telah mengikuti tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam teori pembentukan hukum, sehingga bila RUU-KUHAP tersebut nantinya disahkan menjadi undang-undang mudah diterapkan, ditaati oleh masyarakat serta mampu bertahan untuk waktu yang lama.
1.7.4. Teori Penemuan Hukum .
Reformasi pembangunan bidang hukum, meliputi reformasi struktur hukum, substansi hukum serta kultur hukum, reformasi struktur hukum
dilakukan dengan
memperbaiki dan mengontrol sistem penegakan hukum (law enforcement) perbaikan serta kontrol tersebut dilakukan baik secara internal maupun eksternal yang ditandai dengan dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Yudiasial, Komisi Kejaksaan, Komisi Ombusman, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain sebagainya, dibentuknya berbagai komisi tersebut dilatar belakangi kurang efektifnya kinerja serta pengawasan internal lembaga-lembaga penegak hukum. Sedangkan reformasi substansi hukum dilakukan dengan penciptaan/pembuatan peraturan perundang-undangan (hukum) baru serta
perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang
dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara dinamis. Reformasi budaya hukum dilakukan dengan cara menanamkan nilai-nilai moral serta ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku serta memberi teladan yang baik dan benar kepada masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengawasi kinerja aparatur penegak hukum. Reformasi bidang hukum menghendaki terjadinya perubahan perilaku aparat penegak hukum serta perilaku masyarakat
yang semakin sadar dan taat hukum,
mewujudkan kepastian hukum, keadilan, ketentraman dan keteraturan. Hukum sudah ada di negeri ini tinggal bagaimana cara-cara untuk “mengadilkan, membenarkan,
meluruskan serta membumikan” hukum menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawartawar33 untuk segera dilakukan, perubahan maupun pembentukan peraturan perundangundangan yang baru mengarah kepada tipe hukum responsif. Tipe hukum responsif dipandang cocok untuk dikembangkan saat ini dengan pertimbangan: Pertama, proses pembuatannya bersifat “ partisipatif”, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Kedua, dilihat dari fungsinga maka, hukum yang bersifat responsif lebih “aspiratif”. Ketiga , dilihat dari segi ‘penafsiran’ maka hukum yang berkarakter responsif biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan, dan peluang yang sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis34. Konsep dasar penciptaan / penemuan hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja salah satunya memandang hukum sebagai “alat pembaharuan masyarakat”, yang diilhami oleh pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan bahwa “ law as a tool of social engineering”35, hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Upaya penemuan hukum oleh hakim dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Rumusan pasal ini diilhami oleh asas “ hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya “, setiap perkara yang masuk ke lembaga pengadilan wajib diperiksa, diadili dan diputus. Jika suatu perkara yang diterima hakim belum/tidak ada undang-undang yang mengaturnya maka hakim diwajibkan menggali hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena hukum yang demikian akan lebih mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat
33
Satjipto Rahardjo, Hukum Prograsip Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Mataram 2009, hal.123. 34
Khudzaifah Dimyati,Op Cit hal 107
35
Ibid hal. 175- 176.
setempat, untuk selanjutnya dapat diikuti dan ditaati oleh masyarakat, tindakan seperti inilah yang disebut penemuan hukum . Pandapat ahli (doktrin) hukum mengenai difinis dari penemuan hukum (rechtvinding), diantaranya diungkapkan oleh Paul Scholten
yang menyatakan
“penemuan hukum adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya36”. Penemuan hukum semacam ini dilakukan oleh hakim, dalam penanganan suatu perkara. D.H.M. Meuwissen
mengatakan “penemuan hukum adalah proses kegiatan
pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya)37, Meuwissen melihat hukum sebagai suatu kenyataan aktivitas yang menimbulkan akibat hukum . Secara garis besar dikenal ada dua metode penemuan hukum, yakni : (1) Metode interpretasi, yaitu penemuan yang dilakukan dengan cara melakukan penafsiran terhadap teks undang-undang yang sudah ada, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu, sistematis,
teleologis,
metode interprestasi ini terdiri dari gramatikal, historis, komparatif,
futuristic,
restriktif,
ekstensif,
autentik,
interdisipliner. (2) Metode konstruksi, dalam metode ini hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, Hakim dalam melakukan penemuan hukum tidak lagi berpegang pada bunyi teks peraturan perundangundangan, tapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Jenis metode ini terdiri dari : analogi (Argumentum Per Analogiam), Argumentum a Contrario, Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning), Fiksi hukum . Di Indonesia penemuan hukum banyak dilakukan oleh hakim pada Mahkamah Konstitusi (MK) seperti diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUUXII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menetapkan bahwa “penetapan sebagai tersangka 36
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009, halaman 37. 37
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, halaman
106-107
dan … adalah merupakan obyek dari Gugatan Pra peradilan” padahal dalam Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditetapkan yang menjai obyek praperadilan adalah
mengenai
“ sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dst. ..”
namun oleh Hakim
Mahkamah Konstitusi tindakan “penetapan sebagai tersangka “telah ditetapkan untuk dijadikan obyek gugatan Pra peradilan dan hal tersebut telah diterapkan oleh beberapa hakim pengadilan negeri di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketentuan batas waktu penyidikan dapat dijadikan temuan hakim dalam rangka mengissi kekosongan hukum ( judge made law) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pengisian kekosongan hukum juga dapat dilakukan lembaga legislatif bersamasama lembaga eksekutif atau lembaga eksekutif sendiri, sesuai kewenangan yang dimiliki masing-masing, sebagaimana diatur alam konstitusi Negara R.I. UUDNRI 1945 ) Pasal 5 dan Pasal 20, 21 dan 22 . Bentuk pengisian kekosongan hukum dapat berupa perubahan atau penambahan pasal atau ayat baru dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, atau penemuan peraturan yang baru.
1.7.5. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Hukum
Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi manusia di Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 beserta perubahan (amandemen) baik hak asasi bidang sosial, politik, hukum maupun budaya, kemudian
secara substansial juga telah diatur
dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang bersifat organik. Namun demikian awal mula pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara formil oleh negara pada mulanya berkembang di negara-negara eropah, salah satu contoh dalam sistem hukum eropah yang mengatur mengenai perlindugan terhadap hak-hak asasi pelaku kejahatan dapat dilihat dalam ketentuan European Convention on Human Rights (ECHR), dimana pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut menyatakan “Everyone charge with a criminal offence [….] “has the rights to free assistance of an interpreter if he cannot understand or speak the language used court, terjemahan bebasnya Setiap
orang yang dituduh melakukan kejahatan [……] punya hak mendapatkan bantuan dalam bentuk penerjemah gratis jika orang itu tidak bisa mengerti atau tidak bisa bahasa yang digunakan di pengadilan.38”, (ECHR) berkembang jauh sebelum lahirnya Decleration of Human Rights, hal ini menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka telah diatur dalam konvensi (Convention) di Eropah. C de Rover memberi pengertian hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Sedangkan John Locke menyatakan hak asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948 mulai mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan dideklarasikannya Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan deklarasi hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966, deklarasi tersebut mewajibkan tiap-tiap negara anggota Perserikatan BangsaBangsa untuk memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik dalam keadaan apapun. Ciri-cii khusus dari hak asasi manusia antara lain : ham tidak dpat dilaksanakan secara mutlah karena dapat merugikannhak orang lain; tidak dapat dicabut artinya tidak dapat dihilangkan atau diserahkan kepada pihak lain; dan tidak dapqt dibagi aartinya semua orang berhak mendaptkan semua haknya. Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan domestik, HAM dapat dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing negara untuk menerapkan konsepsi humanisasi dan sivilisasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana39 Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi negara R.I. dapat di temukan dalam rumusan Pasal 27 UUDNRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, 38
sedangkan dalam
Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights, The Protection of SocioEconomic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden.Boston, Page 7 Capter 1. 39
Ali Zaidan.M. Op. Cit.hal 123
Pasal 28
D ayat (1) menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum“. Konsep perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang terlibat masalah hukum (tersangka), adalah setiap orang harus diperlakukan sama dan sederajat dihadapan hukum, mereka memiliki hak-hak sipil maupun politik. Upaya
pemerintah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain
dalam
pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi warga negara (bidang sipil dan politik) dilakukan dengan turut meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tahun 1966 (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)) melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119), dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 point 3. Pokok-pokok isi kovenan internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, antara lain menyebutkan: Pasal 1, bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas Pemerintahan Wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut . dst. Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 pada pokoknya menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungan oleh hukum, dan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang , tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib, tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenangwenang, tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidak mampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya. Orang yang didudukan sebagai tersangka memiliki hak Previleges
berupa
perlindungan dari stigmatisasi praduga bersalah artinya setiap orang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana tidak boleh divonis atau dicap atau dilabelisasi sebagai pelakunya, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menerapkan asas “ praduga tidak bersalah “, maka sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa benar terdakwa tersebut sebagai pelaku tindak
pidana dan putusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka
tersangka harus tetap dianggap sebagai orang yang tidak bersalah . Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan perlindungan, pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia dinyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “. Perwujudan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia dibidang hukum pidana dapat dilihat dalam KUHAP yang telah mengatur sejumlah hakhak tersangka dan pemenuhannya bersifat wajib. Menurut Sofyan Lubis, dalam sistem peradilan pidana di negara kita, terutama yang ada di dalam KUHAP, pada prakteknya terjadi sangat banyak pelanggaran terhadap hak-hak tersangka terutama ditingkat penyidikan, dan setiap pelanggaran terhadap KUHAP ternyata tidak ada aturan yang dengan jelas memberikan sanksi bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran tersebut40, sehingga aparat secara leluasa dapat menyalahgunakan kewenangan yang berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka .
1.7.6. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) . Kata Policy (kebijakan) dalam “Blacks Law Dictionary” disebut, “The general principles by which a gounernment is guided in the managemen of public affairs”. Sedangkan menurut G. Pringgodigdo kata “kebijakan” bukanlah terjemahan dari Policy, tetapi terjemahan dari “ wisdom”. Policy diartikan dengan kebijaksanaan, sedangkan “wisdom” diartikan sebagai “kebijakan” 41.
40
41
Sofyan Lubis, Op. Cit, hal. 10
Nuraeny,Henny 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijaksan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hal 43-44
G. Peter Hoefnagels memberikan beberapa rumusan politik kriminal sebagai : The science of responses", the science of crime prevention", "a policy of detignating human behavior as crime " dan " a rational total of the respond to crime42. Menurut Marc Ancel, poltitik hukum pidana (penal policy) adalah suatu seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, yang tidak saja kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada aparat pelaksana undang-undang43. Politik hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan yang luas, yang meliputi bidang hukum pidana yang tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan hukum pidana . Politik Hukum Pidana berintikan tiga tahap, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap perumusan undang-undang yang diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dan penjelasanya. Tahap aplikasi dan eksekusi adalah tahap penerapan suatu undang-undang, yang berkaitan erat dengan proses peradilan44 Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut : 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan45 . Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan, bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu46(dinamis). Dengan pesatnya perkembangan peradaban hidup manusia
diikuti dengan perkembangan dunia politik, ilmu
pengetahuan dan teknogi, maka sifat
dinamis yang dimiliki hukum mengharuskan ia
42
Hoefnagels,G. Peter. 1986. The Other Side of Criminology, Holland : Kluwer-Deventer Holland, halaman 57.
43
Nawawi Arief, Jakarta, hal. 1
Barda, 1992,Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
44
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi ( P3DI) Sekretarriat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat Repub lik Indonesia, 2012, Op.Cit. hal.82. 45
Sudarto, dan Hamdan,M. 1997, Hukum dan Hukum Pidana, sebagaimana dikutip dalam Politik Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 161. 46
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, hal. 213
senantiasa mengikuti perubahan dan perkembangan tersebut. menyatakan bahwa perkembangan hukum
Ada adigium yang
selalu terbelakang dibanding dengan
perkembangan pemikiran manusia terutama yang mengarah kepada kejahatan, baik dalam bidang hukum pidana, perdata, hukum tata negara dan lain sebagainya . Barda Nawawi Arief,
menyatakan politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik47. Sementara itu menurut beliau pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai nilai yang ada, beliau menyatakan bahwa : Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 48. Barda Nawawi Arief dalam sebuah seminar di Semarang, menyatakan kebijakan pengembangan/ peningkatan kualitas peradilan tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas peradilan / penegakan hukum, berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual (SDM), kualitas institusional / kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/menajemen, kualitas sarana dan prasarana, kualitas substansi hukum/ perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat)49, penomena hukum yang terjadi dewasa ini adalah penanganan perkara pidana berlangsung lama, berbelit-belit,
dan tidak
sederhana. Keadaan semacam ini yang menimbulkan krisis kepercayaan terhadap hukum, masyarakat menjadi skeptis dan pesimis untuk memperoleh rasa keadilan dan kepastian hukum . Berbagai permasalah yang terjadi dalam proses penegakan/penerapan hukum tidak terlepas dari permasalah substansi hukum yang sudah usang, baik ketentuan hukum materiil maupun ketentuan hukum formilnya. Kurangnya pembinaan mental, integritas 47
Ali Zaidan.,M. Op.Cit. hal 63 Nawawi Arief, Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal .28 48
49
Susanto,Antonius F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol Dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 5
dan profesionalisme aparat pelaksana hukum, rendahnya sumber daya manusia serta kurangnya dukungan sarana dan prasarana di bidang masing-masing juga merupakan faktor yang utama penyebab kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum . Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan substansi hukum adalah dengan membuat agenda perubahan hukum
baik materiil maupun formil.
Perubahan dalam arti luas yaitu melakukan revisi/penyempurnaan undang-undang yang sudah ada maupum membuat ketentuan perundang-undangan yang baru.
Mengingat
bahwa hukum acara pidana yang berlaku saat ini usianya sudah cukup tua serta dalam rumusan undang-undang terdapat banyak kelemahan-kelemahan, maka pemerintah berniat melakukan perubahan terhadap hukum acara pidana (formil) yang berlaku saat ini, hal tersebut diwujudkan dengan pengajuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kepada lembaga legislatif untuk dilakukan pembahasan, RUU KUHAP pembahasanya sudah berlangsung sejak beberapa tahun, namun sampai saat ini belum berhasil ditetapkan menjadi undang-undang. Pada intinya pembaharuan hukum pidana (formil mapun materiil) harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga memiliki ciri tersendiri diantara hukum pidana negara-negara lain.
1.7.7. Teori Kepastian Hukum .
Tujuan dari pada hukum adalah menciptakan kepastian hukum dan keadilan, yaitu ketegasan penerapan hukum itu sendiri dimana hukum tersebut berlaku terhadap semua orang tanpa pandang bulu. Kepastian hukum merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya supremasi hukum di dalam suatu negara hukum50, Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan51. Yang dimaksud kepastian
50
51
Fachmi, Op.Cit. hal 33 Sudikno, Mertokusumo, Op.Cit hal. 160.
hukum disini adalah pelaksanaan peraturan sesuai dengan apa yang tersurat dalam peraturan perundang-undangan/ putusan pengadilan, tidak disimpangi . Mewujudkan
kehidupan
masyarakat yang
tertib dan teratur dibutuhkan
ketertiban dan kepastian pelaksanaan penegakan hukum, prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equality befor the law) harus benar-benar diterapkan. Teori positif
mengajarkan
bahwa
hukum
positif
hukum
adalah hukum yang berlaku
pada suatu negara pada saat itu, teori hukum positif mengedepankan hukum sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis. Peraturan perundang-undangan sebagai ketentuan hukum tertulis senantiasa mengandung perintah, larangan serta sanksi yang pasti,
karena bentuknya yang
sedemikian itu maka ketentuan hukum positif dianggap memiliki nilai kepastian yang jauh lebih permanen dari pada ketentuan hukum kebiasaan yang tidak tertulis, karena ketentuan hukum yang tidak tertulis sewaktu-waktu dapat berubah mengikuti perkembangan situasi dan kondisi setempat . Bagir Manan menyatakan pengertian kepastian hukum tidak hanya terbatas pada keberadaan kaidah hukum atau peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum mencakup juga kepastian proses dan kepastian penerapan atau pelaksanaan, atau eksekusi52, Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan oleh Jan M. Otto, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan: 1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara; 2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; 3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; 4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan 5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. 53
52
Manan, Bagir, 2000, Bundel makalah II Tertib Peraturan Perundang-Undangan Menurut Ketetapan MPR RI. Nomor III/MPR/2000, tanpa penerbit, Jakarta, hal 3. 53
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, hal. 85
Kepastian hukum sebagai doktrin dalam sistem hukum (legal system) mengajarkan kepada setiap aparat penegak/pelaksana hukum untuk mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama. Doktrin kaum positivis yang dikenal pula sebagai doktrin the supreme state of (national) law yang mengajarkan dan meyakini adanya status hukum yang mengatasi kekuasaan dan otoritas lain, semisal otoritas politik kaum positivis inilah yang
54.
Ajaran
menerapkan asas equality befor the law yaitu yang
mengedepankan persamaan perlakuan hukum, hukum diterapkan baik terhadap masyarakat maupun aparatur pemerintah termasuk didalamnya aparat penegak hukum, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penerapan peraturan perundangundangan . Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi tugas untuk itu harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat
55.
Ketidak pastian penegakan hukum akan menimbulkan
kekacauan dan ketidak harmonisan dalam kehidupan masyarakat, pelaku kejahatan akan sesuka hati melakukan tindakan yang merugikan orang lain sementara masyarakat sebagai korban terus merasakan ketidak adilan . Kepastian hukum menghendaki adanya konsistensi dalam perumusan peraturan perundang-undangan, baik antara peraturan satu dengan yang lain maupun antara pasal satu dengan yang lain, tidak terjadi tumpang tindih yang dapat menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya (konflik norma), tidak mudah menimbulkan pemahanan yang gamang sehingga mudah ditafsirkan berbeda sesuai kebutuhan pihak tertentu (norma kabur) serta tidak ada tindakan atau peristiwa hukum yang tidak diatur dalam suatu perundang-undangan (kekosongan norma ) . Hakekat Kepastian hukum nenurut Daniel S. Lev dalam Soerjono Soekanto adalah : suatu kepastian tentang bagaimana setiap warga negara atau golongan-golongan masyarakat menyelesaikan masalah masalah hukum, kemudian bagaimana peranan dan kegunaan lembaga-lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hakWignyosoebroto, Soetandyo, 2006, Sebuah Risalah Ringkas, rujukan untuk ceramah dan diskusi “ Kreteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis “ dalam Seminas Nasional bertema “ Problema Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia “ diselenggarakan oleh Komisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU, Jakarta, hal .1 54
55
Yahya Harahap, Op Cit. hal 76
hak dan kewajiban-kewajiban bagi para warga masyarakat dan seterusnya. Jadi kepastian hukum buklanlah berarti bahwa wujudnya semata-mata didalam peraturan tertulis belaka56. Demi kepastian hukum setiap perubahan hukum dimungkinkan untuk memenuhi harapan masyarakat untuk menghadapi apa yang dinamakan ketidak berdayaan hukum dalam penerapannya dalam penyerasian nilai-nilai yang ada . Terhadap ketidak sempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
(KUHAP) Roeslan Saleh menyatakan bahwa “tidak dapat undang-undang merevolusi dirinya sendiri57 “, namun kewajiban mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetap menjadi tanggung jawab penegak hukum
1.7.8. Kerangka Berpikir : KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA UMUM
DALAM
PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA
DALAM
PEMBAHARUAN
HUKUM
ACARA
PIDANA
(IUS
CONSTITUENDUM)
56 S.Lev. Daniel dalam Soekanto Soerjono, 1970, Judicial Sistem and Culture in Indonesia, CV.Rajawali, Jakarta, hal. 32-33 57
Saleh Roeslan, Op.Cit. hal. 24
Latar Belakang Masalah: Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum akhir-akhir ini mengalami kemerosotan . Hal tersebut disebab banyak terjadi penanganan perkara yang tidak memberi kepastian hukum, rasa keadilan serta penghormatan terhadap hak asasi tersangka. Bantyak terjadi laporan /pengaduan disampaikan oleh masyarakat bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang diterima oleh penyidik dalam waktu yang lama tidak ada ujung penyelesaiannya Masyarakat / pelapor berpra sangka ada pihak-pihak yang telah bermain dengan aparat sehingga perkara tidak kunjung selesai, perkara di peties-kan, ada mapia peradilan dan lain sebagainya. Penyelesaian perkara yang demikian telah menimbulkan terabaikan banyak hak asasi tersangka. Keadaan tersebut disebabkan adanya kekosongan norma hukum dalam KUHAP yang tidak mengatur mengenai batas waktu tindakan penyidikan suatu perkara pidana (umum), serta tiak ada sanksi bagi penyidik atas ketidak jelasan penyelesaian suatu perkara .
Rumusan Masalah : 1. Bagaimana pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana ? 2. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang ?
Metode Penelitian 1. Jenis penelitian yuridis normatif 2. Sumber Bahan hukum Primer , Sekunder dan tersier (peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, laporan, internet )
Landasan Teoritis : 1. Asas-asas hukum, konsep hukum 2.Teori yang digunakan :, Teori Sistem Peradilan Pidana,Teori Pembentukan hukum, Teori Penemuan Hukum, Teori Kebijakan Hukum Pidana, Teori HAM, Teori Kepastian Hukun, .
Tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis urgensi batas waktu penyidikan tindak pidana umum dengan perlindungan hak asasi tersangka. Tujuan khususnya adalah untuk meneliti dan menganalisa ketentuan waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam KUHAP serta kaitannya dengan perlindungan dan penegakan hak asasi tersangka, serta bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan perkaa tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang
Jenis Pendekatan adalah : Pendekatan PerundangUndangan, Pendekatan Konsep, dan Pendekatan Sejarah
Hasil yang ingin dicapai adalah segera dilakukan perubahan terhadap KUHAP, dan dalam hukum acara pidana yang baru memuat ketentuan batas waktu penyidikan secara tegas.
1.8. Metode Penelitian
Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data maupun informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis ilmiah mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten. Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan penelitian hukum sosiologis atau non doktrinal bersifat kuantitatif (bentuk angka)58. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif 59, bahan dasar penelitian adalah dokumen meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, bukubuku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah
60
.
Metode penelitian empiris/sosiologis atau non doktrinal adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
materiil berdasarkan penelitian
lapangan atas suatu permasalahan pada lembaga atau masyarakat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif atau doktrinal.
1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam Penelitian ini
penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif,
dimana permasalahan yang ditemukan
yaitu adanya kekosongan hukum dalam
perundang-undangan hukum acara pidana, kemudian dikaji dengan melakukan penenelitian dampak yuridis
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini terkait dengan tindakan aparat penegak hukum khususnya dalam rangka penyidikan tindak pidana . Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum yang di negara-negara barat biasa disebut dogmatik hukum (Rechtsdogmatiek) 61.
58
Supranoto J.,2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Cetakan Pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta,hal.2. 59
Ibrahim Johny, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Bayumedia Publishing, Surabaya, hal.57. 60
Soekanto, Suryono & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 24 61
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2001, Editor Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasa Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 142
1.8.2. Jenis Pendekatan (Approach)
Penggunaan pendekatan (approach) dalam suatu penelitian hukun yuridis normatif akan sangat menentukan hasil dari penelitian yang dilakukan, dalam hukum
penelitian
yuridis normatif dikenal beberapa cara pendekatan yang lazim digunakan
antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan konsep (conceptual approach) Pendekaan analitis (analitical approach) Pendekatan perbandingan (comparative approach) Pendekatan Historis ( histirical approach) Pendekatan Filsafat (philosophical approach) Pendekaan Kasus (case approach) 62.
Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian dengan mengggunakan pendekatan : a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); cara ini digunakan karena dalam penelitian yuridis normatif sudah dipastikan yang dijadikan bahan hukum utama adalah peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan obyek penelitian . b. Pendekatan Konsep (conceptual approach); Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. c. Pendekatan Sejarah (historical approach) ; dengan pendekatan sejarah hukum diharapkan peneliti dapat memahami hukum (perundang-undangan) secara lebih mendalam tentang suatu sistem hukum, sejarah sistem penyidikan sejak awal hingga berlakunya saat ini. d. Sedangkan pendekatan Perbandingan (comparative approach) yaitu untuk melakukan studi perbandingan mengenai sistem penyidikan yang ada di dalam KUHAP dengan yang ada di dalam Konsep KUHAP (Baru) dan juga perbandingan Sistem penyidikan negara lain.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
62
Ibrahim Johnny, 2005,Op.Cit., hal . 300
Dalam metode penelitian hukum dikenal ada beberapa jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Dalam tulisan ini penulis melakukan penelitian secara normatif, sehingga bahan yang dibutuhkan adalah data sekunder, yaitu penelitian perpustakaan (Library Research). Data hukum sekunder berdasarkan kekuatan pengikatnya, dapat dibedakan: 1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan antara lain UUD NRI 1945, UU No. 8 tahun 1981 tenang KUHAP, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU. No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian R.I. UU No. 14 tahun 1970, jo UU No. 4 tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat; UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R I.; UU No. 16 tahun 2011 tenang bantuan Hukum; UU No, 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi IICPR; PP No. 27 tahun 1983 jo pp No. 58 tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP, dan lain-lain . 2. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang ilmu hukum yang berkaitan dengan penulisan tesis ini, karya-karya ilmiah, Rancangan UndangUndang, dan juga hasil dari suatu penelitian. 3. Bahan hukum tersier, misalnya artikel-artikel, majalah-majalah, surat kabar, internet, kamus, dan ensiklopedia 63.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Teknik Studi Dokumentasi (teknik kartu).
Teknik Studi
Dokumentasi dilakukan atas bahan-bahan hukum, laporan-laporan yang relevan dengan permasalahan penelitian.
1.8.5. Tehnik Analisis
63
Supranoto J., Op. Cit hal 2.
Pengolahan dan Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan Analisis Kualitatif dimana bahan hukum
yang diperoleh tersebut diolah menjadi
rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus tidak disusun kedalam struktur klasifikasi sehingga sampel lebih kepada non probabilitas. Bahan hukum primer dan skunder disusun secara sistematis, bahan-bahan tersebut selanjutnya dianalisis dengan tehnik-tehnik : a. Deskriptif, yaitu uraian-uaian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum. b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa yang akan datang. c. Evaluatif, melakukan penilaian terhadap sesuatu pandangan, pernyataan rumusan norma dalam bahan hukum primair maupun sekunder. d. Argumentatif,
yaitu penilaian yang didasari pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Sehingga menghasilkan sebuah penelitian yang akurat sesuai kebutusan untuk mendukung karya tulis/tulisan ilmiah .