BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Preeklamsia merupakan salah satu kontributor utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Etiopatogenesis pasti sampai saat ini belum jelas dan masih dalam tahap penelitian. Preeklamsia mempunyai gambaran klinis bervariasi dan komplikasinya sangat berbahaya pada saat kehamilan, persalinan dan masa nifas (Pribadi Adhi et al, 2015). Preeklamsia terjadi pada 3% - 8% dari seluruh kehamilan, komplikasi preeklamsia menyebabkan sekitar 50.000 kematian maternal tiap tahun. Di negara berkembang dimana keterbatasan akses untuk mendapatkan penanganan kesehatan maternal yang memadai, angka kematian maternal dapat mencapai 15% jika dibandingkan dengan negara maju yang sekitar 0%-1,8% (Staff et al, 2013). Hipertensi dalam kehamilan diperkirakan 16% penyebab kematian maternal di negara berkembang, dan sekitar 9% penyebab kematian maternal di Afrika dan Asia. Preeklamsia juga berkaitan dengan 10% penyebab kematian perinatal dan neonatal (Maynard and Karumanchi, 2011). Kasus preeklamsia di Indonesia 30%-40% menjadi penyebab kematian ibu hamil dan 30-50% menjadi penyebab kematian perinatal. Kematian maternal Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang disebabkan oleh preeklamsia yaitu 67,6% dari 37 kasus preeklamsia dari 1956 persalinan pada tahun 2008 (Sulistyowati et al, 2010). Preeklamsia merupakan suatu diagnosis klinis, yaitu hipertensi (tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau ≥ diastolik 90 mmHg) pada wanita dengan umur kehamilan ≥ 20 minggu dan proteinuria (kadar protein ≥300 mg/24 jam urin tampung atau ≥+1 pada pemeriksaan urinalisis tanpa adanya infeksi saluran kemih). Komplikasi maternal yang dapat ditimbulkan dari preeklamsia antara lain: eklamsia, Hemolytic-Elevated Liver enzim and Low Platelet (HELLP) syndrome, edema paru, solusio plasenta, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), hipertensi emergensi (hipertensi ensefalopati, cerebro-vascular attack/stroke, kebutaan daerah kortikal serebri), juga meningkatkan resiko persalinan preterm dan perdarahan. Sedangkan komplikasi janin yang dapat ditimbulkan dari preeklamsia antara lain:
intra uterine fetal death (IUFD), intra uterine growth restriction (IUGR), gawat janin, juga meningkatkan resiko respiratory distress dan berat badan lahir rendah terkait prematuritas. Hingga saat ini belum ditemukan pengobatan preeklamsia yang efektif sebagai pencegahan, pengakhiran kehamilan atau persalinan dianggap sebagai pilihan yang paling baik terutama pada kasus preeklamsia dengan komplikasi (Cunningham et al, 2014; Creasy et al, 2014). Preeklamsia dideskripsikan sebagai sindroma spesifik-kehamilan yang dapat mempengaruhi terhadap seluruh sistem organ. Beberapa teori etiologi dan patogenesis preeklamsia di antaranya abnormalitas invasi trofoblas, maladaptasi imunologi, maladaptasi kardiovaskular atau perubahan proses inflamasi, predisposisi faktor genetik, faktor nutrisi (Cunningham et al, 2014). Plasenta mempunyai peranan penting pada preeklamsia. Preeklamsia hanya ditemukan jika adanya jaringan plasenta, tidak adanya fetus misal pada kasus mola hidatidosa dapat berkembang menjadi preeklamsia dan hampir seluruh kasus membaik segera setelah plasenta dilahirkan. Pada kasus preeklamsia berat didapatkan gambaran patologis plasenta yang berhubungan dengan hipoperfusi dan iskemia plasenta antara lain aterosis akut, penebalan lapisan intima, nekrosis, aterosklerosis, kerusakan endotel, dan infark plasenta (Maynard and Karumanchi, 2011). Konsep bahwa kontributor utama penyebab preeklamsia adalah plasenta, hingga saat ini banyak diterima dan telah terbukti di sebagian penelitian. Para ahli berpendapat preeklamsia terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama bersifat asimtomatik dengan karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester pertama.
Perkembangan
abnormal
plasenta
terutama
proses
angiogenesis
mengakibatkan insufisiensi plasenta dan terlepasnya material plasenta memasuki sirkulasi maternal. Pada proses endotelialisasi terjadi gangguan sitotrofoblas serta invasi arteri spiralis pada miometrium yang tidak adekuat. Proses plasentasi yang jelek ini menyebabkan terjadinya iskemia dan hipoksia pada plasenta. Terlepasnya material plasenta memicu gambaran klinis tahap kedua yaitu tahap simtomatik. Pada tahap ini berkembang gejala hipertensi, gangguan ginjal dan proteinuria, dan kerusakan end organ lainnya. Sehingga adanya gangguan histologi, fungsi, dan
metabolisme plasenta diduga sangat besar peranannya pada patofisiologi preeklamsia. (Pribadi Adhi et al, 2015; Roberts J and Hubel, 2009) Bukti kuat ketidakseimbangan faktor angiogenik dan anti-angiogenik pada preeklamsia salah satunya dijelaskan oleh adanya soluble Fms-like tyrosine kinase (sFlt-1) yang meningkat pada preeklamsia. Ketidakseimbangan tersebut dapat terdeteksi sebelum diagnosis klinis preeklamsia. Saat ini pengukuran kadar serum sFlt-1 dan rasio sFlt-1/PlGF dapat digunakan sebagai prediktor untuk preeklamsia. Iskemia plasenta pada hewan coba menyebabkan penurunan tekanan perfusi uterus (RUPP/Reduced Uterine Perfusion Pressure) yang menghasilkan peningkatan sFlt-1 dan penurunan kadar VEGF bebas pada sirkulasi (Warrington et al, 2013). PlGF secara prinsip mempunyai pasangan ikatan reseptor membran yang dikenal sebagai vascular endothelial growth factor receptor-1 (VEGFR-1) yang dikenal juga sebagai Fms-like tyrosine kinase-1 (Flt-1), yang mempunyai bentuk terlarut (soluble) sVEGFR-1 atau sFlt-1. Sementara untuk VEGF mempunyai reseptor VEGFR-2, dan selain itu dapat pula berikatan dengan VEGFR-1 (Pribadi Adhi et al, 2015). Ketidakseimbangan antara faktor angiogenik seperti placental growth factor (PIGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) dengan faktor penghambat angiogenesis (anti angiogenik) seperti soluble Fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1) dan soluble Endoglin (sEng), diduga terlibat dalam patogenesis terjadinya preeklamsia. Keseimbangan antara PlGF dan VEGF sebagai faktor proangiogenik dengan sFlt-1 dan sEng sebagai faktor anti angiogenik penting dalam mempengaruhi proses angiogenenesis, vaskulogenesis, dan perkembangan plasenta selama kehamilan. Peningkatan sFlt-1 disebabkan oleh penurunan PlGF bebas pada serum preeklamsia akibat adanya disfungsi endotel (Levine et, 2006; Gu et al, 2008). Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi, seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatan kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklamsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi
lainnya seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklamsia (Sulistyowati et al, 2010) Beberapa penelitian pada hewan coba menjelaskan biomarker yang dapat digunakan sebagai prediktor preeklamsia sebelum timbulnya onset klinis dan juga memberikan pengobatan preeklamsia pada tahap sebelum timbul gejala klinis (subklinis) dengan menggunakan hewan coba model preeklamsia, salah satunya menggunakan mencit yang diberi perlakuan sehingga menyerupai sindroma preeklamsia. Pengobatan terhadap preeklamsia sejauh ini hanya terbatas pada pencegahan
terhadap
terjadinya
komplikasi.
Pemahaman
etiopatogenesis
preeklamsia diharapkan dapat menghasilkan strategi untuk mencegah dan memberikan terapi preeklamsia secara lebih tepat. Penelitian hewan coba berdasarkan pertimbangan bahwa mencit (Mus musculus) paling sering dipakai dalam penelitian biomedik, karena secara genetik mempunyai kemiripan dengan manusia serta mempunyai kemampuan beradaptasi hidup dalam lingkungan laboratorium (Sulistyowati et al, 2010; Suzuki et al, 2014). VEGF 121 rekombinan merupakan VEGF eksogen yang dapat digunakan dalam penelitian yaitu protein proangiogenik yang mempunyai peran terhadap proses vaskulogenesis dan angiogenesis yang mempunyai reseptor di dinding endotel yaitu VEGFR-1. Pemberian VEGF 121 rekombinan sebagai pengobatan preeklamsia pada hewan coba memiliki kemampuan menurunkan kadar sFlt-1 dalam sirkulasi darah, secara klinis menurunkan tekanan darah, secara histopatologis perbaikan fungsi endotel dan mengurangi hipoksia plasenta (Li et al, 2007; Mateus et al, 2011). 1. 2. Masalah Penelitian Adakah pengaruh pemberian VEGF 121 rekombinan terhadap ekspresi VCAM-1 di plasenta mencit model preeklamsia? 1. 3. Tujuan Penelitian 1. 3. 1. Tujuan Umum Menganalisis pengaruh pemberian VEGF 121 rekombinan terhadap ekspresi VCAM-1 di plasenta mencit normal dan mencit model preeklamsia.
1. 3. 2. Tujuan Khusus Menganalisis fungsi VEGF 121 rekombinan sebagai terapi preeklamsia, terutama ekspresi VCAM-1 di plasenta sebagai gambaran perbaikan disfungsi endotel paska preeklamsia. 1. 4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Keilmuan a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi tentang terapi VEGF 121 rekombinan pada kasus preeklamsia terutama pengaruh terhadap ekspresi VCAM-1 di plasenta b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan pertimbangan
dalam
pemeriksaan
laboratoris
biomolekuler
setelah
mengetahui efek pengobatan VEGF 121 rekombinan pada kasus preeklamsia guna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas baik maternal maupun perinatal.
2. Pelayanan Menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan kasus preeklamsia di lapangan dan pemeriksaan klinis terkait disfungsi endotel akibat preeklamsia. 3. Penelitian Memberikan sumbangan pengetahuan tentang efek VEGF 121 pada endotel plasenta hewan uji model preeklamsia sehingga dapat menjadi dasar penelitian berikutnya. 4. Kedokteran Keluarga Menjadi model acuan pada manusia sehingga bisa dikembangkan usaha-usaha preventif dan kuratif pada kasus preeklamsia secara lebih dini dengan
mengetahui adanya perbedaan ekspresi VCAM-1 di plasenta setelah pemberian VEGF 121 rekombinan pada mencit bunting model preeklamsia. .