BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Serbuan pesaing dan maraknya produk berbasis teknologi menghantam
bisnis PT Pos Indonesia yang masih berbasis physical delivery (Firdanianty dan Handayani, 2004). Demikianlah pemberitaan majalah SWA yang secara tidak langsung mengkritisi keadaan Posindo saat itu, penggunaan piranti mutakhir kini telah menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan oleh setiap manusia dalam memenuhi
kebutuhannya,
termasuk
juga
untuk
memenuhi
kebutuhan
berkomunikasi jarak jauh. Setelah telepon duduk maupun telepon seluler mempermudah setiap orang melakukan komunikasi jarak jauh, kini hadirnya internet kian membuat komunikasi tak lagi terhalangi oleh bentangan jarak dan waktu. Melalui internet orang bisa saling berkirim kabar dengan memanfaatkan e-mail (electronic mail). Keberadaan e-mail ini tidak dapat dipungkiri membuat pengiriman surat konvensional mulai ditinggalkan. Kondisi ini tentu saja berpengaruh terhadap kinerja PT Pos Indonesia sebagai penyedia jasa dengan bisnis inti jasa komunikasi pengiriman surat-menyurat (dalam Alinafiah, 2004) Marpaung (2010) mengemukakan fakta positif terkait eksistensi Posindo, bahwa saat ini ada sekitar 14 ribu perusahaan sejenis jasa titipan (Jastip) di bawah 8 asosiasi di Indonesia, seperti, Asperindo, Ali, Gafeksi, Organda, Gapeksu, Icac, Insa, dan Inaca. Namun, keberadaan competitor tersebut masih kalah jauh dalam hal asset Posindo dengan ditopang infrastruktur berupa 3.779 kantor pos, 1.811 mobile post, dan 3.396 agen pos dan outlet lainnya hingga seluruhnya berjumlah sekitar 24 ribu titik tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Luasnya jaringan Posindo tersebut dalam penyaluran berbagai dana sosial kepada masyarakat menjadi salah satu parameter yang dapat dilihat dalam pelaksanaan BLT (Bantuan Langsung Tunai), pengiriman kertas suara dalam Pemilu, pengiriman uang (remmitance) para tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Data tahun 2009, hampir 80 persen dana yang melalui layanan kiriman uang Western Union,
1
2
menduduki prosentase yang terbesar. Tak pelak lagi poin yang membuat Pos Indonesia ini tetap eksis dan masih dipercaya masyarakat dan pemerintah adalah perannya yang semakin penting. BUMN ini bergerak di tiga core business yakni mail, logistic, dan financial services. I Ketut Mardjana –Direktur Utama PT Pos Indonesia 2010– pada pertengahan tahun 2009 sebelum di lantik menjadi Dirut menyatakan bahwa, “Hanya dengan teknologi yang canggih, PT Pos akan bangkit dan menanggalkan pandangan orang dimana Pos terkesan dengan pengantar surat” (dalam Susanto & Darmawan, 2009). Bagaimanapun juga, kabar positif bagi kemajuan suatu organisasi atau perusahaan tidak lepas dari peran serta manusia, (Khotimah, 2007) karena manusia merupakan perencana, pelaku, dan penentu tercapainya tujuan organisasi. Tidak ada tujuan organisasi tanpa direncanakan terlebih dahulu oleh sumber daya manusia pada organisasi tersebut. Akan didapati hal yang menarik apabila perkembangan Posindo kedepan yang lambat laun bergeser fungsi layananya; dari bisnis surat konvensional ke bisnis pelayanan pembayaran, pengiriman surat tagihan/teguran dari instansi kemitraan (bank, Leasing atau financial service), menyampaikan uang pensiun yang diantar langsung ke tempat penerima pensiun (kerjasama dengan PT Taspen (persero)), mengantar surat teguran pajak, dll. Jasa kerja Petugas antaran Pos yang dahulu (ketika telepon, telepon seluler dan e-mail belum marak) adalah berfungsi melayani pelanggan dengan mengantarkan surat konvensional saja. Kini, mau tidak mau pandangan tersebut harus berubah atas gambaran kerja yang di yakini oleh petugas antaran pos yang bekerja selama ini dan harus menyesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Melihat kemungkinan adanya perubahan tugas/ fungsi kerja tersebut, berikut ini kutipan wawancara penulis dengan manajer SDM (Sumber Daya Manusia) Kantor Pos Besar Kediri yang menyebutkan; “Kalau dari kerja operasional yang terpenting di sini ada pada antaran pos, karena selain hasil kerja berupa target antaran pos yang harus di penuhi. Secara tak langsung, mereka memikul tanggung jawab untuk menjaga citra pelayanan Posindo umumnya dan terutama KPB-Kediri
3
sendiri terhadap masyarakat. Selain itu, ada hal lain yang belum kami sentuh dan coba kembangkan, yaitu; memerankan petugas antaran pos sebagai jembatan informasi, bisa saja berupa kritik dan saran dari masyarakat atau bahkan untuk membantu divisi pemasaran dalam pengumpulan data riset kebutuhan pelanggan dan masih banyak lagi terobosan dengan menggunakan peran petugas antaran ini. Tapi, tidak mudah bagi jajaran manajemen untuk mengeluarkan kebijakan tersebut agar cepat terealisasi. Karena, saat pihak SDM menawarkan tugas baru (misalnya, Surat Teguran Pajak), sebagian dari mereka merespon hal tersebut dengan banyak alasan meskipun tugas tersebut tetap di jalankan”. Menanggapi pemaparan diatas, Khotimah (2007) menambahkan bahwa suatu organisasi yang menggunakan peralatan mesin yang canggih tidak akan dapat mencapai keuntungan yang maksimal apabila faktor sumber daya manusianya tidak bekerja dengan sungguh-sungguh. Peran serta manusia yang penting tersebut, menuntut suatu organisasi atau perusahaan memiliki pekerjapekerja yang berkualitas dan produktif dengan memiliki semangat kerja yang tinggi. Seperti halnya kasus yang terjadi pada petugas antaran pos (pak pos); SW, yang mengabdi ± 28 tahun dan masih bekerja hingga kini, menyatakan “dulu gaji pak pos bisa 2 kali gaji guru, tapi sekarang sama saja, jadi ngapain kerjanya terlalu ngoyo”. Berikutnya, kasus pada petugas antaran pos; HR yang bekerja ± 20 tahun menyatakan “Ya, namanya juga pelayan, mas. Melayani itu sama dengan ngalah. Demi mencari makan untuk anak-istri”. Semangat kerja yang tinggi memungkinkan kinerja karyawan juga akan tinggi serta berpengaruh pula terhadap produktivitas kerjanya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Zainun (2004) bahwa moril atau semangat kerja jauh lebih besar peranan dan pengaruhnya terhadap produktivitas para pekerja, yang akan menguntungkan bagi perusahaan atau tercapainya tujuan organisasi. Penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Windiani (dalam Yuniarti, 2008) juga memperoleh hasil bahwa ada hubungan positif yang signifikan (r = 0,356; p = 0,000) orientasi nilai kerja terhadap motivasi kerja. Dengan kata lain, semakin tinggi orientasi nilai kerja akan diikuti oleh motivasi kerja yang kuat. Orientasi
4
nilai kerja memberikan kontribusi sebesar 12, 7 % menunjukkan sumbangan efektif (SE %) orientasi nilai kerja terhadap motivasi kerja, sedangkan sisanya sebesar 87, 3 % adalah faktor lain yang turut mempengaruhi motivasi kerja. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nitisemito (1996) bahwa terjadinya kegelisahan karyawan di mana-mana yang dapat terwujud dalam bentuk ketidaktenangan kerja, keluh kesah, serta hal-hal lain, tuntutan yang sering terjadi dan turunnya atau rendahnya produktivitas yang dapat terwujud dalam bentuk kemalasan, penundaan pekerjaan dan sebagainya merupakan salah satu dari indikasi kecenderungan menurunnya semangat dan kegairahan kerja. Penjelasan Nitisemito diatas dapat di katakan bahwa semangat kerja karyawan memiliki kaitan dengan etos kerja yang dimiliki oleh pekerja didalam kegiatan kerjanya. Menurut Bartens (2005), “ethos” adalah salah satu kata Yunani yang masuk ke dalam banyak bahasa. Kata itu menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok atau seseorang. Menurutnya, di Concise Oxford Dictionary (dalam Bartens, 2005), “etos” disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system: “suasana khas yang menandai suatu kelompok (bangsa), seseorang atau sistem”. Etos menunjuk kepada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi, dan perlu ditekankan bahwa, “suasana” dipahami dalam arti baik secara moral. Senada dengan pemaparan diatas, mengutip liputan majalah SWA yang di tulis oleh Firdanianty dan Handayani (2004) Alinafiah –Direktur Utama PT Pos Indonesia 2004– menyampaikan bahwa Posindo masih dihimpit banyak persoalan yang menurutnya mengganggu kinerja perusahaannya. Persepsi sebagai perusahaan negara, diakuinya, membuat SDM menjadi kurang berjiwa kompetitif dan kemapanan status sebagai pegawai BUMN dan pemain tunggal di bisnis jasa pengiriman surat dan logistik sangat kuat di benak karyawan. Citra demikian berdampak negatif terhadap etos kerja karyawan yang berjumlah hampir 26 ribu orang. Mengingat sikap karyawan dalam pekerjaannya memiliki etos kerja tinggi/ rendah tidak sama, sehingga ada karyawan yang tanpa disuruh atau diperingatkan langsung mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dan tanpa
5
bantuan dia aktif serta mempunyai inisiatif untuk menghasilkan ide-ide bagi perusahaan. Namun, ada pula karyawan yang setiap kali di beri tugas baru selalu berkelit
dan
terkesan
menunda
pekerjaan
untuk
menghindar
dari
tanggungjawabnya. Wiyata (2007), menjelaskan bahwa etos kerja berhubungan erat dengan nilai kerja karena etos kerja merupakan sikap, pandangan, pedoman atau tolok ukur yang di tentukan dari dalam diri sendiri seseorang atau sikap orang dalam berkegiatan. Dengan demikian, etos merupakan dorongan yang bersifat internal. Namun dorongan ini sudah melalui proses konstruksi dan proses rekonstruksi selama yang bersangkutan menjalani kehidupan sosial budaya mereka. Dorongan internal inilah yang di sebut Hofstede sebagai nilai (dalam Dananjaya, 1986) yaitu suatu kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau memilih keadaan-keadaan tertentu dibanding dengan yang lain. Nilai merupakan suatu perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak-tanduk perilaku anggota masyarakat. Tidaklah mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Bartens (2000) menyebutkan setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Selaras dengan pendapat tentang nilai dalam tesis dari Bunaiya (2006) menyatakan bahwa cara karyawan bekerja dan berperilaku serta bagaimana mereka melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mencapai misi organisasi sangat dipengaruhi kepercayaan, nilai-nilai yang dianggap penting, dan norma yang ada dalam organisasi sehingga mereka memahami cara mana yang benar, yang salah dan yang disukai. Lebih tandas lagi, Matsumoto (Dalam Dayakisni & Yuniardi, 2008) menyebutkan, orang menafsirkan diri dan eksistensi mereka dalam hubunganya dengan kerja secara berbeda sesuai dengan nilai masing-masing. Dengan demikian ada perbedaan identifikasi diri seseorang dan perusahaan atau orang di tempat kerja mereka ditinjau dari nilai kerja masing-masing individu.
6
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang “Nilai Kerja Petugas Antaran Pos”.
B.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Nilai Kerja
Petugas Antaran Pos?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Nilai Kerja
Petugas Antaran Pos.
D.
Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya pengetahuan tentang Nilai, yang nantinya akan berguna dalam menambah wacana dan diskursus ilmiah dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi.
2.
Manfaat Praktis Secara praktis hasil/ rekomendasi penelitian ini diharapkan berguna bagi para pembuat keputusan untuk dijadikan sumber rujukan melakukan pembenahan/ reformasi pelayanan jasa antaran pos dalam pengambilan kebijakan tentang tugas dan peran petugas antaran pos di masa yang akan datang.