BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan di masyarakat yang belum dapat diatasi secara tuntas dan menjadi penyebab utama penyakit di daerah tropis seperti Indonesia. Penyakit karena infeksi dapat disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, dan jamur (Jawetz et al., 2005). Salah satu penyakit yang disebabkan karena adanya aktivitas bakteri adalah jerawat. Jerawat diperkirakan dialami oleh 79% hingga 95% remaja, 40% hingga 54% usia di atas 25 tahun, serta 12% wanita dan 3% pria pada usia paruh baya (Cordain et al., 2002). Jerawat terjadi karena adanya peradangan pilosebasea disertai penimbunan bahan keratin (Wilkinson & Moore, 1982). Peradangan pada jerawat salah satunya dapat disebabkan oleh adanya aktivitas bakteri Propionibacterium acnes, S. epidermidis, dan S. aureus. Propionibacterium acnes berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi sebum menjadi massa padat, yang menyebabkan
terjadinya
penyumbatan
pada
saluran
kelenjar
sebasea
(Wasitaatmadja & Sribawa, 1997; Djuanda et al., 1999; Jawetz et al., 2005). Adanya penyumbatan pada saluran kelenjar sebasea menyebabkan timbulnya jerawat yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul dan nodul (McKoy,
1
2
2013). Infeksi sekunder dapat terjadi pada jerawat yang telah timbul. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri S. epidermidis dan S. aureus (Mitsui, 1997). Bakteri penyebab jerawat dapat dibunuh atau dihambat pertumbuhannya dengan suatu antibiotik seperti tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin (Wasitaatmadja, 2007). Namun, penggunaan antibiotik sebagai terapi lini pertama dalam penyembuhan jerawat perlu ditinjau kembali untuk membatasi kenaikan prevalensi resistensi antibiotik (Swanson, 2003). S. epidermidis yang diisolasi dari kulit pasien yang terinfeksi dilaporkan telah resisten terhadap antibiotik methicilin, nafcillin, penisilin, sefalotin, dan cefamandole (Archer & Tenenbaum, 1980). Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif senyawa antibakteri baru untuk mengatasi resistensi tersebut. Kemukus (Piper cubeba L.f.) merupakan salah satu biodiversitas Indonesia yang banyak ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Buah kemukus diketahui mengandung berbagai macam senyawa antara lain saponin, flavonoid, minyak atsiri (monoterpen dan seskuiterpen), senyawa lignan, damar 2,5-3,5%, asam kubebat 1%, piperin 0,1-0,4%, gom, pati, dan minyak lemak (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991; Prabhu & Mulchandani, 1985; Sudarsono et al., 1996). Adanya variasi daerah tumbuh mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi kualitas kandungan senyawa dalam tumbuhan (World Health Organization, 2003). Perbedaan kualitas kandungan senyawa tersebut dapat berpengaruh terhadap aktivitas yang dihasilkan oleh tumbuhan.
3
Penelitian mengenai aktivitas antibakteri buah kemukus telah banyak dilakukan. Ekstrak aseton, metanol, dan etanol buah kemukus diketahui efektif terhadap bakteri Gram positif dan fungi patogen di mulut yaitu S. aureus, S. mutans, C. albicans, dan S. cerevisiae (Aneja et al., 2010). Minyak atsiri buah kemukus diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif yang diwakili oleh S. aureus ATCC 25923 (Irianingsih, 2004). Dilaporkan pula bahwa komponen minyak atsiri dan senyawa lignan dalam ekstrak kloroform buah kemukus memberikan aktivitas terhadap S.aureus dan E. coli (Aini, 2001). Mempertimbangkan potensi buah kemukus sebagai antibakteri terhadap S. aureus, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui potensi antibakteri buah kemukus terhadap bakteri penyebab jerawat lainnya yaitu S. epidermidis. Pada penelitian digunakan sampel buah kemukus dari tiga daerah tumbuh yaitu Magelang, Purworejo, dan Tawangmangu untuk mengetahui daerah tumbuh yang memberikan aktivitas antibakteri paling besar. Selain itu, perlu diketahui pula profil kromatografi lapis tipis ekstrak kemukus dari daerah terpilih untuk mengetahui senyawa-senyawa yang diduga berperan sebagai antibakteri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan potensi buah kemukus sebagai antibakteri pada S. epidermidis, sehingga buah kemukus dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif terapi untuk pengobatan jerawat dan menjadi solusi dalam menekan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik. B. Rumusan Masalah 1.
Apakah ekstrak etanolik kemukus dari ketiga daerah tumbuh mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. epidermidis (ATCC 12228)?
4
2.
Berapakah Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik kemukus terpilih terhadap S. epidermidis (ATCC 12228)?
3.
Senyawa apa yang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap S. epidermidis (ATCC 12228) dalam uji bioautografi?
4.
Golongan senyawa apa saja yang terdeteksi pada profil KLT ekstrak etanolik kemukus dari daaerah terpilih? C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanolik kemukus dari ketiga daerah tumbuh terhadap S. epidermidis (ATCC 12228).
2.
Mengetahui Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik kemukus terpilih terhadap S. epidermidis (ATCC 12228).
3.
Mengetahui senyawa yang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap S. epidermidis (ATCC 12228) dalam uji bioautografi.
4.
Mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanolik kemukus melalui profil kromatografi lapis tipisnya. D. Pentingnya Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
potensi buah kemukus sebagai antibakteri terhadap S. epidermidis (ATCC 12228) dan senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanoliknya. Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan potensi buah kemukus sebagai
5
salah satu alternatif terapi dalam pengobatan jerawat sehingga dapat menekan resistensi terhadap antibiotik. E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Kemukus (Piper cubeba L.f.) a. Klasifikasi tanaman Tabel I. Taksonomi tanaman kemukus
Divisi Sub divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis
Spermatophyta Angiospermae Dicotyledonae Piperales Piperaceae Piper Piper cubeba L.f. (Anonim, 2001)
Gambar 1. Buah kemukus (Piper cubeba L.f.)
b. Nama daerah Sumatra : kemukus, temukus (Melayu), kemekuh (Simalur) Jawa
: rinu (Sunda), kemukus (Jawa), kamokos (Madura)
Sulawesi : pamakusu (Makasar) (Anonim, 1977)
6
c. Deskripsi tanaman Kemukus atau Piper cubeba L.f merupakan tanaman semak berkayu, memanjat, panjangnya mencapai 15 m. batang bulat, pemanjat dengan akar pelekat, gundul, buku tanaman membesar. Daun tunggal, letak berseling bertangkai, helaian bentuk bulat telur atau bulat telur memanjang, panjang 8-15 cm, lebar 2,5-9 cm, pangkal berbentuk jantung atau membulat, ujung meruncing pendek, seperti kulit, permukaan bawah gundul atau berambut jarang, permukaan bawah dengan kelenjar-kelenjar yang tampak jernih dan rapat, tangkai daun 0,5-2 cm, panjang untai 3-10 cm, daun pelindung permukaan atas berambut halus, berumah satu. Daun pelindung bulir jantan bulat memanjang atau bulat telur terbalik, panjang 1,5-2 cm., lebar 0,75-1 cm, benang sari 3. Daun pelindung bulir betina bulat memanjang, ukuran panjang 4-5 m, lebar 1-3 mm, bulir agak melengkung ke atas. Ibu tangkai bulir tidak berambut, kepala putik 3-5. Tipe buah batu, keras, ukuran 3-15 mm, berkerut dengan sekat yang jelas, pangkal membulat, berwarna jingga tua, diameter buah 6-8 mm. Buah bulat, berusuk, biji kecil, berwarna hitam. Berbunga dan berbuah sepanjang tahun (Backer & van den Brink, 1965) d. Persebaran dan ekologi Tanaman kemukus tumbuh liar di daerah-daerah pegunungan bersifat setengah hutan, atau di ladang dan tumbuh merambat pada pohon sekitarnya (Ketaren, 1985). Tanaman ini banyak tumbuh di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, dibudidayakan di Jawa, Sumatera, Sailon,
7
dan India Barat. Di pulau Jawa tanaman kemukus diusahakan sebagai tanaman sela diantara pohon-pohon kopi dan coklat. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah berhawa sejuk dengan ketinggian 100 s.d 1000 m di atas permukaan laut. Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman kemukus adalah 17o-27oC dengan curah hujan berkisar antara 200 hari/tahun. Selain itu dibutuhkan kondisi tanah yang cukup banyak mengandung humus serta agak miring dan tempat yang rimbun atau tertutup pohon sehingga tidak terkena sinar matahari secara langsung. Dengan persyaratan tersebut tanaman kemukus dapat tumbuh baik dan berproduksi sampai dengan umur 8-10 tahun (Ketaren, 1985). Musim panen buah kemukus berlangsung setahun sekali yang dilakukan selama 2-3 bulan (khususnya di pulau Jawa). Pemanenan dilakukan terhadap buah yang telah tua yaitu buah yang telah berwarna hijau atau kuning kemerahan (Ketaren, 1985). e. Kandungan kimia Buah dan bunga kemukus mengandung saponin, flavonoid, dan minyak atsiri (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). Buahnya mengandung minyak atsiri sebanyak 6-11% yang terdiri atas kadinen, sineol, d-4 karen, kadinol, d-sabinen, pinen, kamfor, azulen, terpineol, serta turunan seskuiterpen.
8
Secara kuantitatif komposisi kimia minyak atsiri buah kemukus adalah sebagai berikut : d-sabinen
33%
d-4-karen dan 1,4 sineol
12%
d-terpinen-4ol dan terpen alkohol lainnya
11%
1-kadinen dan seskuiterpen lainnya
14%
Seskuiterpen alkohol
17%
Komponen tidak teridentifikasi
13% (Rao et al., 1928).
Buah kemukus juga mengandung senyawa lignan dan neolignan. Senyawa lignan dalam buah kemukus terdiri dari kubebininolida (1), kubebinon (2), yatein (3), thujaplikatin trimetileter (4), kubebinin (5), klusin (6), 5-metoksiklusin (7), kubebin (8), hinokinin (9), isoyatein (10), 5'-metoksihinokinin
(11),
2-(3'',4''-metilendioksi-benzil)-3-(3',4'
dimetoksibenzil) butirolakton (12), askantin (13), sesamin (14), dihidrokubebin (17), hemiarensin (18), dihidroklusin (19), β-Oetilkubebin (20), α-O-etilkubebin (21), heterotropan (22), magnosalin (23), 4-hidroksikubebinon (24) (Elfahmi, 2006), sedangkan senyawa neolignan dalam buah kemukus antara lain kadsurin A (15), piperenon (16) (Elfahmi, 2006), magnosalin, dan heterotropan (Badheka et al., 1978). Selain itu, dalam buah kemukus juga terkandung damar 2,5-3,5%, asam kubebat 1%, piperin 0,1-0,4%, gom, pati, dan minyak lemak (Sudarsono et al., 1996).
9
Gambar 2. Struktur senyawa lignan dalam buah kemukus (Elfahmi, 2006)
10
f. Khasiat dan penggunaan Buah kemukus dikenal sebagai karminatif, diuretik, ekspektoran, stimulan, antiasma, irritan, sedatif, antidisentri, dan antiseptik (Lim, 2012). Buah kemukus digunakan untuk peluruh air liur dan antiemetik (Anonim, 1985). Buah kemukus juga dapat menstimulasi selaput lendir sehingga dapat digunakan dalam pengobatan bronkitis. Buah kemukus digunakan dalam bentuk serbuk sebagai campuran rokok untuk asma, minyaknya digunakan dalam pengobatan kencing nanah dan antiseptik (Claus, 1961; Sudarsono et al., 1996). Bahan ini juga sering digunakan sebagai obat sesak nafas, penghangat badan, dan penghilang bau mulut (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). Di India buah kemukus digunakan sebagai obat kumur dan buah keringnya digunkan untuk mengatasi penyakit gigi dan mulut serta sebagai obat disentri (Lim, 2012). Di Indocina, buah kemukus digunakan sebagai obat penambah nafsu makan, pencernaan, dan sekresi, sedangkan di Eropa digunakan sebagai obat gonorrhea (Aliadi, 1996). g. Penelitian terdahulu Minyak atsiri buah kemukus memiliki aktivitas antimikroba terhadap S. aureus (ATCC 25923), Shigella dysenteriae, dan Candida albicans yang ditunjukkan dengan harga KBM berturut-turut 0,156% v/v; 10% v/v; dan 10% v/v (Irianingsih, 2004). Ekstrak diklorometan dan ekstrak heksan buah kemukus mampu menghambat pertumbuhan Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, dan S. aureus. Sedangkan
11
ekstrak metanol kemukus hanya diketahui aktif terhadap B. cereus dan P. aeruginosa (Chitnis et al., 2007). Senyawa lignan kemukus yaitu kubebin dan derivat semi sintetisnya dilaporkan memiliki aktivitas pada beberapa bakteri patogen mulut yaitu Enterococcus faecalis (ATCC 4082), Streptococcus salivarius (ATCC 25975), Streptococcus mitis (ATCC 49456), Streptococcus mutans (ATCC 25275), Streptococcus sobrinus (ATCC 33478), Streptococcus sanguinis (ATCC 10556) and Candida albicans (ATCC 28366) (Silva, et al., 2007). Di sisi lain, kubebin, hinokinin, dan beberapa derivat semi sintetisnya juga telah diteliti efektif terhadap Mycobacterium tuberculosis (ATCC 27294), M. kansasii (ATCC 12478), dan M. avium (ATCC 15769) (Silva, et al., 2009). Penelitian Handayani (2001) mengemukakan bahwa fraksi etanol buah kemukus
memiliki
aktivitas
antibakteri
terhadap
Pseudomonas
aeruginosa dan Pseudomonas sp (non aeruginosa). Dilaporkan pula bahwa komponen minyak atsiri dan senyawa lignan dalam ekstrak kloroform buah kemukus memberikan aktivitas terhadap S.aureus dan E. coli (Aini, 2001). 2. Penyarian Penyarian merupakan peristiwa perpindahan masa aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari (Anonim, 1995).
12
Penyarian dipengaruhi oleh : a. Derajat kehalusan serbuk Semakin kasar serbuk simplisia, semakin panjang jarak yang harus ditembus oleh cairan penyari, sehingga konsentrasi zat aktif yang terlarut dan tertinggal dalam sel akan semakin banyak. Dengan demikian, serbuk simplisia harus dibuat sehalus mungkin dan dijaga jangan terlalu banyak sel yang pecah. b. Perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya, maupun pada perbedaan konsentrasi lapisan batas, sehingga suatu titik akan dicapai, oleh zat-zat yang tersari jika ada gaya dorong yang cukup untuk melanjutkan pemindahan massa. Semakin besar perbedaan konsentrasi, semakin besar gaya dorong tersebut, sehingga semakin cepat proses penyarian. (Anonim, 1986) Cairan penyari harus dapat mencapai seluruh serbuk dan secara terusmenerus mendesak larutan yang memiliki konsentrasi yang lebih tinggi untuk keluar. Pemilihan cairan penyari harus memperhatikan beberapa faktor, diantaranya : a. Murah dan mudah diperoleh b. Stabil secara fisika dan kimia c. Bereaksi netral d. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar e. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki.
13
f. Tidak mempengaruhi zat yang berkhasiat g. Diperbolehkan oleh peraturan. (Anonim, 1986) Etanol
merupakan
cairan
penyari
yang
banyak
digunakan.
Pertimbangan digunakannya etanol sebagai penyari karena : a. Lebih selektif Etanol dapat melarutkan alkaloida basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar, dan klorofil. Lemak, malam, tannin, dan saponin hanya sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang larut hanya terbatas.
b. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas c. Tidak beracun d. Netral e. Absorbansinya baik f. Etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan g. Panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Anonim, 1986) 3. Maserasi Maserasi dilakukan dengan cara merendam bahan simplisia, yang telah dihaluskan dalam cairan penyari (Voight, 1994). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang.
14
Keuntungan penyarian dengan cara maserasi adalah cara pelaksanaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah ditemukan. Kekurangan metode maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). Maserasi umumnya dilakukan dengan cara merendam 10 bagian simplisia dengan 75 bagian cairan penyari dalam sebuah bejana yang tertutup rapat dan terlindung dari cahaya, sambal berulang-ulang diaduk. (Anonim, 1986). Waktu yang diperlukan untuk maserasi berbeda-beda tergantung jenis bahan yang digunakan, umumnya 4-10 hari. Maserasi dinyatakan telah selesai apabila telah terjadi keseimbangan antara konsentrasi senyawa dalam sel tanaman dengan senyawa yang masuk dalam cairan penyari, dengan kata lain maserasi selesai dilakukan apabila proses difusi telah berakhir. Pada tahap akhir, rendaman diperas dan disaring hingga diperoleh maserat. Maserat yang diperoleh selanjutnya diatur hingga mencapai kadar dan jumlah yang diinginkan. Apabila maserat yang diperoleh belum mencukupi dapat dilakukan remaserasi dengan cara merendam ampas yang diperoleh dengan cairan penyari yang baru (Ansel, 1989; Voight, 1994). Pada penyarian dengan metode maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan dilakukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel tetap terjaga (Anonim, 1986).
15
4. Jerawat Jerawat disebut juga sebagai acne vulgaris adalah penyumbatan pada folikel rambut dan kelenjar sebacea. Empat patofisiologi yang menandai jerawat adalah hiperkeratinisasi, produksi sebum, proliferasi bakteri, dan inflamasi (Handa, 2011). Penyebab terjadinya jerawat diantaranya adalah: a. Perubahan jumlah dan konsistensi lemak kelenjar. 1) Hormonal Pembentukan hormon testoteron (androgen) yang berlebih dapat memacu sekresi kelenjar sebasea yang hiperaktif. Pengaruh hormon ini menimbulkan jerawat pada usia pubertas, dimana pada masa tersebut hormon androgen diproduksi dalam jumlah banyak. Pada wanita selain hormon androgen, produksi lipid dari kelenjar sebasea dipacu oleh hormon luteinizing yang meningkat saat menjelang menstruasi (Mitsui, 1997). 2) Infeksi bakteri Terakumulasinya sebum oleh adanya kelebihan sekresi dan hiperkeratosis pada infundibulum rambut, menjadi sumber nutrisi yang baik bagi pertumbuhan P. acnes. Enzim lipase yang dihasilkan dari bakteri tersebut menguraikan trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas, yang menyebabkan inflamasi dan akhirnya terbentuk jerawat, sedangkan S. epidermidis dan S. aureus dapat
16
menimbulkan infeksi sekunder pada jerawat. Bila jerawat sudah bernanah, infeksi akan bertambah parah (Mitsui, 1997). 3) Makanan Beberapa contoh makanan dapat memicu timbulnya jerawat, seperti
lemak,
karbohidrat
dan
makanan
berkalori
tinggi
(Wasitaatmadja, 2007). 4) Penggunaan obat Obat-obatan kortikosteroid, narkotika, stimulansia susunan saraf pusat dapat memicu timbulnya jerawat, karena obat-obatan ini dapat
memicu
sekresi
kelenjar
lemak
yang
berlebihan
(Wasitaatmadja, 2007). 5) Psikososial Stres psikis secara tidak langsung dapat memicu timbulnya jerawat
karena
peningkatan
stimulasi
kelenjar
sebasea
(Wasitaatmadja, 2007). b. Saluran keluar kelenjar sebasea tertutup oleh massa eksternal, baik dari kosmetik, bahan kimia, debu dan polusi (Wasitaatmadja, 2007). c. Saluran keluar kelenjar sebasea menyempit (hiperkeratosis) akibat radiasi sinar ultraviolet, sinar matahari, atau sinar radio aktif (Wasitaatmadja, 2007). d. Faktor lain yang dapat menyebabkan jerawat bertambah buruk, antara lain faktor genetik, rasial, kerja berlebih, dan cuaca (Mitsui, 1997; Wasitaatmadja, 2007).
17
Jerawat dapat diklasifikasikan menjadi jerawat ringan, jerawat sedang, dan jerawat berat. Jerawat ringan misalnya whitehead (komedo tertutup) dan blackhead (komedo terbuka). Whitehead terjadi karena adanya penumpukan sebum, yang biasanya berisi bakteri, di folikel dan tidak dapat keluar, sedangkan blackhead terjadi karena adanya sebum yang mengandung melanin teroksidasi akibat adanya folikel yang terbuka di permukaan kulit. Jerawat sedang misalnya papel, pustul, dan nodul. Pada jerawat tipe sedang, terjadi peradangan yang seringkali dilanjutkan dengan infeksi sekunder oleh bakteri S. epidermidis dan S. aureus. Adanya infeksi ini akan ditandai dengan munculnya nanah. Jenis jerawat berat misalnya abses dan sinus (acne conglobate) (Mitsui, 1997). Pengobatan jerawat dilakukan untuk mencegah timbulnya jaringan parut akibat jerawat, mengurangi proses peradangan kelenjar polisebasea dan frekuensi eksaserbasi jerawat, serta memperbaiki penampilan pasien. Menurut Price & Lorraine (2006), ada tiga hal yang penting dalam pengobatan jerawat yaitu mencegah timbulnya komedo, mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan, dan mempercepat resolusi lesi peradangan. Pengobatan jerawat dapat dilakukan secara topikal, sistemik, hingga bedah kulit. Pengobatan topikal ditujukan untuk jerawat ringan, dilakukan dengan memberikan bahan iritan dan antibakteri topikal, serta kortikosteroid topikal seperti sulfur, resorsinol, asam salisilat, benzoil peroksida asam azelat, tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin. Pengobatan sistemik ditujukan untuk jerawat sedang sampai berat yang dilakukan
18
dengan
pemberian
obat
sistemik,
misalnya
antibiotik
(tetrasiklin,
eritromisin, klindamisin) dan obat hormonal (etinil estradiol, antiandrogen siproteron asetat). Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut dengan melakukan bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, atau dermabrasi (bedah laser) (Wasitaatmadja, 2007). 5. Uraian Mikrobiologi a. Bakteri Bakteri merupakan organisme kecil bersel tunggal yang hidup bebas tanpa klorofil dan memiliki DNA maupun RNA. Bakteri mampu menunjukkan semua proses dasar kehidupan misalnya tumbuh, metabolisme, dan perkembangbiakan. Dinding sel bakteri kaku, dan mengandung asam muramat (Gupte, 1990). Bakteri dibedakan menjadi Gram positif dan Gram negatif berdasarkan pewarnaan Gram. Secara umum perbedaan bakteri Gram positif dan Gram negatif terlihat dalam Tabel II. Tabel II. Perbedaan bakteri Gram positif dan Gram negatif
Ketebalan Variasi asam amino Asam amino aromatik dan yang mengandung belerang Lipid Asam teikoat
Gram Positif 15-23 mm Sedikit
Gram Negatif 10-15 mm Beberapa
Tidak ada
Ada
Rendah (2-4%) Ada
Tinggi (15-20%) Tidak ada (Gupte, 1990)
Keberadaan peptidoglikan dan asam teikhoat pada dinding sel bakteri Gram positif memberikan sifat yang cenderung polar sehingga senyawa polar akan lebih mudah berinteraksi dengan dinding sel bakteri
19
Gram positif. Dinding sel bakteri Gram negatif tersusun atas struktur berlapis-lapis dan sangat kompleks, terdiri dari selaput sitoplasmik (dinamakan selaput dalam pada Gram negatif) dikelilingi oleh lapisan datar tunggal dari peptidoglikan, lipoprotein selaput luar, dan polisakarida yang tersusun dari lipid, lemak, dan substansi lipid dalam jumlah yang besar sehingga dinding sel bakteri ini bersifat non polar (Jawetz et al., 2005). Bakteri yang dibiakkan dalam media yang cocok akan mengalami pertumbuhan. Ada empat macam fase pertumbuhan bakteri yaitu fase lag, fase log (fase eksponensial), fase stasioner, dan fase kematian. 1) Fase lag Fase ini merupakan fase adaptasi, yaitu penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. 2) Fase log Fase log merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial. Hal yang dapat menghambat laju pertumbuhan adalah bila satu atau lebih nutrisi dalam kultur habis, sehingga hasil metabolisme yang bersifat racun akan tertimbun dan menghambat
20
pertumbuhan. Pada bakteri aerob, nutrisi yang membatasi pertumbuhan adalah oksigen. 3) Fase stasioner Pada fase ini, pertumbuhan mikroorganisme terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik. 4) Fase kematian Pada fase ini, jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik. (Pratiwi, 2008) b. Staphylococcus epidermidis S. epidermidis merupakan bakteri aerob Gram positif pembentuk spora yang banyak terdapat di udara, air, dan tanah. S. epidermidis memiliki sel berbentuk bola dengan diameter 1 μm yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, dan tampak sebagai kokus tunggal, berpasangan, tetrad dan berbentuk rantai dalam biakan cair. Koloni biasanya berwarna putih atau kuning dan bersifat anaerob fakultatif. S. epidermidis merupakan flora normal pada kulit manusia, saluran respirasi, dan gastrointestinal (Suharto, 1994). Sistematika S. epidermidis secara lengkap tertera dalam tabel III.
21
Tabel III. Sistematika bakteri S. epidermidis
Protophyta Schizomycetes Eubacteriales Micrococcaceae Staphylococcus Staphylococcus epidermidis (Warsa, 1994)
Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis
S.
epidermidis
umumnya
dapat
menimbulkan
penyakit
pembengkakan (abses) seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi saluran kemih, dan infeksi ginjal (Radji, 2011). Infeksi lokal oleh S. epidermidis dapat menyebabkan jerawat, infeksi folikel rambut atau abses, serta dapat menyebabkan inflamasi kuat dan terlokalisir (Jawetz & Levinson, 1996). Sebagai penyebab jerawat, aktivitas S. epidermidis adalah menginfeksi kulit terluar sampai unit sebasea (Burkhart et al., 1999). Enzim lipase yang dimiliki S. epidermidis telah diketahui dapat menghidrolisis trigliserida di unit sebasea menjadi asam oleat yang dapat menyebabkan terjadinya keratinisasi dan inflamasi. Inflamasi dan keratinisasi yang berlebihan inilah yang akan menimbulkan jerawat (Saising et al., 2008). c. Antibakteri Antibakteri adalah zat yang dapat menghambat atau membunuh bakteri. Aktivitas suatu zat dalam menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik, sedangkan aktivitas suatu zat dalam membunuh bakteri disebut bakterisida. Berdasarkan spektrum kerjanya, antibakteri dapat digolongkan sebagai berikut :
22
1) Antibakteri dengan spektrum luas, efektif untuk bakteri Gram positif maupun Gram negatif, contohnya tetrasiklin dan kloramfenikol. 2) Antibakteri dengan spektrum sempit, hanya efektif untuk bakteri Gram positif atau Gram negatif, contohnya penisilin untuk bakteri Gram positif. Sedangkan berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dapat digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu : 1) Antibakteri yang mengganggu metabolisme sel bakteri 2) Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel bakteri 3) Antibakteri yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri 4) Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel bakteri 5) Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri. (Ganiswara et al., 1995) d. Kloramfenikol Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik spektrum luas yang berasal dari beberapa jenis Streptomyces misalnya S. venezuelae, S. phaeochromogenes
var.
chloromyceticus,
dan
S.
omiyamensis
(Kurniawan, 2006). Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisida terhadap bakteri-bakteri tertentu (Ganiswara et al., 1995). Kloramfenikol memiliki ukuran yang relatif kecil sehingga mudah berdifusi ke dalam tubuh. Efek negatif kloramfenikol adalah dapat menekan pembentukan sel darah merah. Antibiotik ini memberikan efek dengan cara bereaksi pada
23
subunit 50S ribosom dan menghalangi aktivitas enzim peptidil transferase. Enzim ini berfungsi membentuk ikatan peptida antara asam amino baru yang baru melekat pada tRNA dengan asam amino yang masih berkembang. Akibatnya sintesis protein bakteri akan terhenti seketika (Pratiwi, 2008).
Gambar 3. Struktur kloramfenikol
6. Uji Aktivitas Antibakteri Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri yaitu : a. Metode Pengenceran Agar (Dilusi) Pada metode dilusi zat antibakteri dicampur dengan media yang kemudian diinokulasikan bakteri. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat tumbuh atau tidaknya mikroba (Pelczar & Chan, 1986). Metode ini dapat berupa dilusi cair dan dilusi padat. Dilusi cair dilakukan dengan pengenceran zat antibakteri secara serial di dalam tabung yang berisi media cair yang kemudian diinokulasikan bakteri uji. Dilusi padat dilakukan dengan pengenceran zat antibakteri secara serial pada media Agar yang belum memadat, kurang lebih pada suhu 40oC, setelah media memadat digoreskan bakteri uji pada permukaannya. Metode dilusi akan
24
dapat memberikan informasi nilai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). KHM adalah kadar terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan KBM adalah kadar terendah yang dapat membunuh bakteri (Lorian, 1980). Nilai KHM dan KBM suatu larutan uji dapat menggambarkan potensinya sebagai antibakteri. Menurut Kuete (2010) aktivitas antibakteri suatu ekstrak diklasifikasikan menjadi signifikan (KHM < 100 g/mL), sedang (100 < KHM ≤ 625 g/mL), dan lemah (KHM > 625 g/mL). Suatu antibakteri dikatakan bersifat bakterisidal apabila nilai KBM kurang dari sama dengan empat kali nilai KHM, sedangkan untuk antibakteri yang bersifat bakteriostatik nilai KBM biasanya berkali-kali lipat nilai KHM (Levinson, 2004). b. Metode Difusi Agar Pada metode ini zat yang akan ditentukan aktivitas antibakterinya berdifusi pada lempeng Agar yang telah ditanami bakteri yang akan diuji. Dasar pengamatannya adalah terbentuk atau tidaknya zona hambatan di sekeliling cakram atau silinder yang berisi zat antibakteri (Pelczar & Chan, 1986). Metode difusi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya : 1) Cara Kirby Bauer Diambil beberapa koloni bakteri yang telah ditumbuhkan selama 24 jam pada media Agar, kemudian disuspensikan ke dalam 0,5 mL media cair, diinkubasi pada suhu 37oC, kemudian
25
ditambahkan aquadest steril hingga memenuhi standar Brown III (108 CFU/mL). Dengan menggunakan kapas lidi steril, suspensi bakteri dioleskan pada permukaan Agar secara merata, kemudian diletakkan kertas samir yang berisi antibiotik dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Pengamatan dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling kertas samir (Lorian, 1980). 2) Cara Sumuran Pada media Agar yang telah ditanami bakteri dibuat lubang kemudian diisi dengan zat antibakteri. Modifikasi dari cara ini adalah dengan meletakkan silinder pada media Agar, kemudian diisi dengan zat antibakteri. Setelah diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan bakteri uji, dilakukan pengamatan berdasarkan ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling lubang atau silinder (Lorian, 1980). 3) Cara Pour plate Disc yang mengandung zat antibakteri diletakkan pada Agar yang mengandung bakteri, kemudian diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan jenis bakteri uji. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling kertas cakram (Lorian, 1980).
26
c. Metode Bioautografi Bioautografi merupakan metode yang spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, antibiotik, dan antiviral. Deteksi kimia dengan pereaksi warna spesifik digunakan sebagai pembanding hasil bioautografi (Stahl, 1969). Bioautografi dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu : 1) Bioautografi langsung Prinsip kerja metode ini adalah suspensi mikroorganisme uji yang peka dalam medium cair disemprotkan pada permukaan plat KLT yang telah dihilangkan sisa-sisa eluennya. Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. (Djide et al., 2005). 2) Bioautografi overlay Metode ini dilakukan dengan menuangkan media agar yang telah mengandung mikroorganisme di atas permukaan plat KLT, kemudian dilakukan inkubasi setelah media memadat. Penampakan zona hambat dilakukan dengan penyemprotan menggunakan larutan metil tiazolil tetrazolium klorida. Zat aktif yang memiliki aktivitas antimikroba ditandai dengan adanya zona jernih dengan latar belakang ungu (Djide et al., 2005).
27
3) Bioautografi kontak Suatu senyawa antimikroba dipindahkan dari lempeng KLT ke dalam media agar yang telah diinokulasikan bakteri uji secara merata. Senyawa antimikroba yang telah berdifusi dari lempeng kromatogram ke dalam media agar akan menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi dalam waktu dan suhu tertentu. Spot senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri akan membentuk zona jernih (Djide et al., 2005). 7. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia yang digunakan untuk memisahkan senyawa secara tepat dengan prosedur sederhana, mudah dideteksi walau tidak secara langsung, dan memerlukan jumlah cuplikan yang sedikit (Stahl, 1985). Media pemisahan dalam KLT adalah lapisan dengan ketebalan sekitar 0,1 sampai 0,3 mm zat padat adsorben pada lempeng kaca, plastik, atau aluminium. Zat padat yang umum digunakan adalah alumina, silika gel, dan selulosa. Sampel biasanya berupa campuran organik yang ditotolkan pada lempengan dan dicelupkan ke dalam fase gerak yang sesuai (Day & Underwood, 2002). Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut, yang bergerak di dalam fase diam karena ada daya kapiler (Stahl, 1985). Visualisasi kromatogram pada KLT yang berupa noda-noda terpisah, dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Visualisasi fisika dilakukan dengan menggunakan sinar ultraviolet. Noda akan tampak sebagai pemadaman
28
fluoresensi ketika adsorban yang berfluoresensi dengan radiasi UV telah dicampur dengan zat kimia yang berfluoresensi (Mulja, 1995). Pada visualisasi kimia dilakukan dengan penyemprotan plat KLT yang telah dielusi menggunakan pereaksi semprot yang sesuai. Dalam penyemprotan dengan pereaksi kimia diusahakan agar tidak sampai merusak lapisan adsorban pada plat. Hasil pembacaan setiap noda kromatogram KLT dikenal dengan istilah Rf yang dapat dihitung dengan persamaan 1. 𝑹𝒇 =
𝑱𝒂𝒓𝒂𝒌 𝒎𝒊𝒈𝒓𝒂𝒔𝒊 𝒌𝒐𝒎𝒑𝒐𝒏𝒆𝒏
……………………………………..(1)
𝑱𝒂𝒓𝒂𝒌 𝒎𝒊𝒈𝒓𝒂𝒔𝒊 𝒇𝒂𝒔𝒆 𝒎𝒐𝒃𝒊𝒍
Nilai Rf bervariasi dari 0 sampai 1. Meskipun biasanya digunakan Rf x 100 untuk menghindari penggunaan desimal. Harga ini sering disebut sebagai hRf (hundred retardation factor). Jarak elusi dari sampel diperkirakan dari pusat bercak, akan lebih mudah apabila sampel berbentuk lingkaran tetapi jika sampel berekor harus diperkirakan pada tengah-tengah area yang paling tinggi kerapatannya. Nilai Rf dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu fase diam dan fase gerak yang digunakan, jenuh atau tidaknya tangki pengembang, suhu, jarak pengembangan, dan masa sampel (Clarke, 1986). 8. Senyawa yang diduga Memiliki Aktivitas Antibakteri a.
Flavonoid Flavonoid adalah senyawa fenolat terhidroksilasi (Cowan, 1999) dan merupakan senyawa C6-C3-C6 dimana C6 diganti dengan cincin benzen dan C3 adalah rantai alifatik yang terdiri dari cincin piran (Bylka & Pilewski, 2004). Flavonoid disintesis oleh tanaman sebagai respon
29
terhadap infeksi mikroba, jadi secara in vitro flavonoid efektif sebagai substansi antimikroba yang membunuh banyak mikroorganisme. Kemungkinan
aktivitasnya
dikarenakan
kemampuan
flavonoid
membentuk ikatan dengan protein terlarut (Cowan, 1999), penghambatan sintesis asam nukleat, penghambatan fungsi membran sitoplasmik, dan metabolisme energi (Cushnie & Lamb, 2005). Golongan senyawa flavonoid dapat dideteksi dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan pereaksi penampak bercak sitroborat dan uap amonia. Bercak positif mengandung flavonoid apabila tampak warna kuning kehijauan (Markham, 1988). b. Terpenoid Terpenoid merupakan senyawa-senyawa yang mudah menguap yang terdiri dari 10 atom C dan penyusun minyak atsiri. Mekanisme terpenoid
sebagai
antibakteri
tidak
begitu
jelas,
kemungkinan
berhubungan dengan perusakan membran sel oleh senyawa lipofilik (Cowan, 1999). Golongan senyawa terpenoid dapat dideteksi dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan pereaksi penampak bercak anisaldehid-asam sulfat. Bercak positif menunjukkan terpenoid apabila tampak warna biru, hijau, merah, coklat pada sinar tampak setelah pemanasan. Beberapa senyawa juga berfluoresensi di UV366 (Wagner et al., 1984).
30
c. Alkaloid Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik (Handayani, 2001). Mekanisme alkaloid sebagai antibakteri berhubungan dengan tingginya senyawa aromatik kuartener dari alkaloid yang mempunyai kontribusi untuk membentuk interkhelat dengan DNA (Cowan, 1999). Golongan senyawa alkaloid dapat dideteksi dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan pereaksi penampak bercak Dragendorff. Bercak positif mengandung alkaloid apabila tampak warna merah-coklat pada sinar tampak (Wagner et al., 1984). d. Senyawa fenolat Senyawa fenol dapat menyebabkan denaturasi protein melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah, terbentuk kompleks protein-fenol dengan ikatan lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi, fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis, mengubah permeabilitas membran bakteri (Soekardjo & Siswandono, 2000). Senyawa fenol teroksidasi juga diketahui toksis terhadap mikroorganisme. Semakin tinggi fenol teroksidasi, maka semakin kuat dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Mekanisme yang
31
berhubungan adalah adanya penghambatan enzim oleh senyawa teroksidasi melalui reaksi dengan gugus sulfihidril atau dengan interaksi yang tidak spesifik oleh protein (Cowan, 1999). Senyawa fenolat dapat dideteksi dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan pereaksi penampak bercak FeCl3. Bercak positif menunjukkan adanya senyawa fenolat apabila tampak warna kuning kecoklatan atau kuning kehijauan pada sinar tampak (Wagner et al., 1984). e. Senyawa lignan Secara biosintesis senyawa lignan turunan asam amino protein aromatik, yaitu fenilalanin dan fenilpropanoid. Pada kasus tertentu, rantai samping alifatis dari 2 fenilpropanoid bergabung menjadi satu membentuk turunan bisfenilpropanoid yang disebut lignan atau neolignan. Lignan berupa zat padat hablur tanpa warna yang menyerupai senyawa aromatik sederhana lain dalam perilaku kimianya. Lignan tersebar luas di dunia tumbuhan, terdapat dalam jaringan berkayu, eksudat damar dan bagian tumbuhan yang lain. Kadang-kadang lignan dijumpai sebagai glikosida. Struktur neolignan terbentuk dari cincincincin karbon asimetrik pada rantai samping. Senyawa lignan mempunyai perbedaan yang spesifik pada tingkat oksidasi, derajat substitusi dan kompleks struktur. Lignan dan neolignan mempunyai peranan yang penting dalam sistem pertahanan tanaman sebagai
32
antimikroba, antifungi, antifeedant, anti tumor, dan anti virus (Robbers et al., 1996; Harbone & Baxter, 1985; Robinson, 1995). Aktivitas antibakteri senyawa lignan kemungkinan disebabkan karena kemampuannya bergabung dengan dinding sel bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Barbary, et al., 2010). Golongan senyawa lignan dapat dideteksi dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan pereaksi penampak bercak asam sulfat etanolik. Bercak positif menunjukkan adanya senyawa lignan apabila tampak warna merah-ungu atau biru ungu pada sinar tampak setelah pemanasan (Wagner et al., 1984). 9. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Senyawa Aktif Variasi daerah tumbuh mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi kualitas kandungan senyawa dalam tumbuhan (World Health Organization, 2003). Faktor lingkungan sangat berperan dalam regulasi biosintesis metabolit tumbuhan (Cseke et al., 2006). Pengaruh faktor-faktor lingkungan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. a. Ketinggian tempat tumbuh Ketinggian tempat tumbuh termasuk faktor fisiografis, yang merupakan pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan bentuk dan struktur dari permukaan tanah. Elevasi tanah berpengaruh terhadap keadaan lingkungan tempat tumbuh tanaman, terutama kelembaban,
33
kadar oksigen di udara, keadaan tanah (Daryono, 2002), dan berpengaruh pula terhadap iklim terutama curah hujan dan suhu udara. Curah hujan berkorelasi positif dengan ketinggian, sedangkan suhu udara berkorelasi negatif. Pegunungan memiliki curah hujan lebih tinggi dengan suhu udara lebih rendah sehingga kecepatan penguraian bahan organik dan pelapukan mineral berjalan lambat. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di dataran rendah, di daerah ini penguraian berlangsung lebih cepat. Oleh karena itu, daerah pengunungan tanahnya lebih subur dan kaya bahan organik dibandingkan tanah di dataran rendah (Djajadiningrat, 1990). Ketinggian tempat tumbuh sangat mempengaruhi suhu. Pengaruh suhu terhadap fotosintesis bergantung pada jenis keadaan lingkungan tempat tumbuh dan keadaan lingkungan saat pengukuran (Salisbury & Ross, 1985). Keadaaan lingkungan tempat tumbuh pada ketinggian yang berbeda memepengaruhi kandungan senyawa aktif dalam tumbuhan (World Health Organization, 2003). b. Intensitas cahaya Cahaya sangat penting dalam siklus hidup tumbuhan karena merupakan faktor kunci utama produksi senyawa yaitu sebagai pasokan energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya fotosintesis (Cseke et al., 2006). Proses fotosintesis akan menghasilkan metabolit primer yang digunakan untuk metabolisme tanaman sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan. Di samping itu, metabolit primer dipakai untuk menyusun metabolit sekunder yang mendukung proses adaptasi dan
34
proteksi tanaman (Purwanti, 2007). Aktivitas sintesis zat-zat makanan ini juga berbeda-beda tergantung pada banyaknya cahaya matahari yang mengenai tanaman. Hal ini mempengaruhi sifat hasil tanaman obat yang diperoleh.
Cahaya
juga
mempengaruhi
kerja
hormon-hormon
pertumbuhan (auksin) yang berperan pada pembesaran dan pemanjangan sel pada tanaman (Hopkins & Huner, 2009). Tumbuhan terdiri atas spesies yang mampu tumbuh terpapar cahaya dan dengan naungan (tempat teduh), tergantung pada kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap pancaran sinar matahari (Hopkins & Huner, 2009). Setiap tanaman memiliki toleransi (kemampuan menerima cahaya) yang berbeda-beda. Beberapa tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat terbuka sedangkan yang lainnya dapat tumbuh dengan baik di tempat teduh (bernaungan) hingga batas tertentu. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap intensitas cahaya yang harus diterima. Naungan dapat menyebabkan terjadinya perubahan terhadap radiasi matahari yang diterima tanaman, baik intensitas maupun kualitasnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap berbagai aktivitas tanaman (Suryawati et al., 2007). Meskipun cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis, terlalu banyak cahaya yang diterima dapat menghambat fotosintesis. Intensitas cahaya yang berlebihan ini disebut sudah mencapai titik jenuh cahaya (Hopkins & Huner, 2009). Tingginya intensitas cahaya harus pada kondisi optimum untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil metabolit
35
yang paling optimal. Tumbuhan tumbuh dan menghasilkan metabolit paling optimal pada tingkat cahaya yang sesuai dengan kebutuhan cahaya tumbuhan tersebut (Vickery, 1984). Pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis yang akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari
yang diterima.
Intensitas
cahaya
yang terlalu
tinggi
menyebabkan struktur kloroplas rusak. Di sisi lain, kondisi kekurangan cahaya mengakibatkan metabolisme terganggu, sehingga menyebabkan laju fotosintesis menurun (Sopandie et al., 2003). c. pH tanah Nilai pH tanah merupakan gambaran kepekatan ion hidrogen dalam partikel tanah. Semakin tinggi kadar H+, tanah tersebut dikatakan asam dan jika semakin rendah dikatakan basa. Keasaman tanah merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai indikator kualitas tanah. pH tanah termasuk faktor edafik, yang merupakan pengaruh lingkungan yang
berhubungan
dengan
keadaan
tanah.
Kondisi
keasaman
mempengaruhi bahan fisik tanah, ketersediaan mineral tertentu, serapan unsur hara, adanya unsur-unsur beracun, dan aktivitas biologi di dalam tanah
sehingga
berpengaruh
kuat
pada
pertumbuhan
tanaman.
Kebanyakan tanaman tumbuh baik pada tanah yang netral, agak asam, atau sedikit basa. Perubahan kondisi keasaman bisa menyebabkan perubahan dalam proses biokimia dan fisiologi pada semua tanaman (Gerendas & Raticliffe, 2000).
36
Nilai pH tanah penting untuk diketahui sebab pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tumbuhan (tumbuhan yang hidup di tanah dengan pH netral lebih mudah menyerap unsur hara), menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun, dan mempengaruhi perkembangan mikroorganisme tanah (Mustafa et al., 2012). Di Indonesia, tanah-tanah umumnya bereaksi asam dengan pH 4,05,5 sehingga tanah-tanah yang mempunyai pH 6,0-6,5 sering dikatakan cukup netral meskipun masih sedikit asam. Unsur hara pada tanaman lebih mudah diserap pada kisaran pH netral sebab pada kisaran pH tersebut kebanyakan unsur hara larut dalam air. Pada tanah asam dan alkali, unsur P tidak dapat diserap dengan baik oleh tanaman sehingga pertumbuhan tanaman dapat terhambat. Pada tanah asam, juga banyak ditemukan unsur Al yang menjadi racun bagi tanaman (Mustafa et al., 2012). d. Kelembaban tanah Kelembaban tanah terkait dengan kebutuhan air di dalam tanah. Tanah-tanah yang banyak mengandung bahan organik memerlukan air lebih banyak untuk disimpan sebagai persediaan sehingga kelembaban tanah terjaga lebih baik. Kelembaban tanah yang tinggi meningkatkan jasad mikro tanah sehingga struktur tanah menjadi gembur dan mudah diolah (Mustafa et al., 2012).
37
Kelembaban tanah dapat terjaga dengan baik apabila tanah banyak mengandung bahan organik dengan kandungan air yang lebih banyak. Sifat humus yang gembur dengan kelembaban tanah tinggi dan suhu tanah yang stabil merupakan kondisi tanah yang baik untuk media pertumbuhan tanaman (Mustafa et al., 2012). 10. Profil Daerah Tumbuh a. Kabupaten Magelang Wilayah Kebupaten Magelang secara umum memiliki morfologi berupa dataran tinggi yang berbentuk ‘basin’ (cekungan) dengan dikelilingi gunung-gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing) dan pegunungan Menoreh (Pemerintah Kabupaten Magelang, 2009). Ketinggian wilayah Kebupaten Magelang berkisar antara 1543.295 m di atas permukaan laut. Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa Kabupaten Magelang memiliki potensi untuk budidaya berbagai jenis tanaman dataran rendah maupun dataran tinggi. Tipe iklim di Kabupaten Magelang termasuk B1 (Oldeman) dengan curah hujan ratarata 2.186 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata 103 hari. Kelembaban udara antara 85-95% dengan suhu antara 16-26oC (Anonim, 2013). b. Kabupaten Purworejo Secara geografis, Kabupaten Purworejo merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah yang terletak pada posisi antara 109o 47’ 28” Bujur Timur – 110o 8’ 20” Bujur Barat dan 7o 32” – 7o 54” Lintang
38
Selatan. Luas daerah Kabupaten Purworejo adalah 1.034,82 km2 yang terdiri dari ± 2/5 daerah dataran dan 3/5 daerah pegunungan. Topografi daerah Kabupaten Purworejo secara umum dapat diuraikan sebagai berikut : 1). Bagian selatan merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 25 meter di atas permukaan air laut. 2). Bagian utara merupakan daerah berbukit-bukit dengan ketinggian antara 25 – 1050 meter di atas permukaan air laut. Kabupaten Purworejo mempunyai iklim tropis dengan dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Suhu rata-rata 20oC – 32oC. Sedangkan kelembaban rata-rata antara 70 – 90% dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember sebesar 9.291 mm, diikuti bulan Januari sebesar 7.849 mm (Bappeda Kabupaten Purworejo, 2010). Pada tingkat provinsi, Purworejo menjadi salah satu sentra penghasil rempah-rempah yang terdiri dari kapulaga, kemukus, temulawak, kencur, dan kunyit (Anonim, 2013). c. Kecamatan Tawangmangu Tawangmangu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Karangayar, Jawa Tengah, Indonesia. Tawangmangu berada pada daerah pegunungan yang subur dikelilingi oleh hutan dan perbukitan di lereng barat Gunung Lawu (Wikipedia, 2013). Wilayah tertinggi di Kabupaten Karanganyar berada di Kecamatan Tawangmangu yang mencapai 2000 m dpl (Kabupaten Karangayar, 2014). Di daerah
39
Tawangmangu, suhu rata-rata tahunan adalah 20,9°C. Curah hujan ratarata pada daerah Tawangmangu 3.329 mm/tahun. Bulan terkering adalah Agustus, dengan 59 mm hujan. Hampir semua presipitasi jatuh pada Januari, dengan rata-rata 550 mm. Oktober adalah bulan terhangat sepanjang tahun. Suhu pada bulan Oktober rata-rata 21.6°C. Pada bulan Juli suhu rata-rata adalah 20.1°C, ini adalah suhu rata-rata terendah sepanjang tahun (Anonim, 2014). F. Landasan Teori Peradangan pada jerawat salah satunya dapat disebabkan oleh infeksi bakteri Staphylococcus epidermidis. S. epidermidis merupakan bakteri Gram positif. Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang tersusun atas peptidoglikan. Lapisan peptidoglikan cenderung bersifat polar sehingga senyawa polar akan lebih mudah berinteraksi dengan dinding sel bakteri Gram positif (Jawetz et al., 2005). Buah kemukus diketahui mengandung berbagai macam senyawa dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Senyawa-senyawa dalam buah kemukus yang cenderung bersifat polar antara lain senyawa fenolik, saponin, dan asam kubebat, sedangkan senyawa-senyawa yang cenderung bersifat non-polar antara lain minyak atsiri (monoterpen dan seskuiterpen), flavonoid, senyawa lignan, dan alkaloid. Senyawa-senyawa tersebut diduga berperan sebagai antibakteri dengan mekanisme aksi yang berbeda-beda. Penelitian mengenai aktivitas antibakteri buah kemukus telah banyak dilakukan. Ekstrak aseton, metanol, dan etanol buah kemukus diketahui efektif
40
terhadap bakteri Gram positif dan fungi patogen di mulut yaitu S. aureus, S. mutans, C. albicans, dan S. cerevisiae (Aneja et al., 2010). Minyak atsiri buah kemukus diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif yang diwakili oleh S. aureus ATCC 25923 (Irianingsih, 2004). Dilaporkan pula bahwa komponen minyak atsiri dan senyawa lignan dalam ekstrak kloroform buah kemukus memberikan aktivitas terhadap S.aureus dan E. coli (Aini, 2001). Adanya variasi daerah tumbuh mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi kualitas kandungan senyawa dalam tanaman (World Health Organization, 2003). Faktor-faktor lingkungan yang ada pada daerah tumbuh dapat mempengaruhi aktivitas suatu tanaman. Faktor lingkungan sangat berperan dalam regulasi biosintesis metabolit pada tanaman. G. Keterangan Empiris 1.
Ekstrak etanolik buah kemukus dari ketiga daerah tumbuh memiliki aktivitas sebagai antibakteri yang dapat diuji dengan metode difusi padat
2.
Ekstrak
etanolik
buah
kemukus
terpilih
dapat
ditentukan
potensi
antibakterinya dengan melihat nilai KHM dan KBM menggunakan metode dilusi cair. 3.
Senyawa dalam ekstrak etanolik buah kemukus terpilih yang memiliki aktivitas antibakteri dapat diketahui dengan metode bioautografi.
4.
Kandungan senyawa lignan, fenolik, flavonoid, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri dalam ekstrak etanolik buah kemukus dapat diidentifikasi melalui profil kromatografi lapis tipis dengan menggunakan beberapa pereaksi penampak bercak.