BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dari hak-hak setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyedia penyelenggara pelayanan publik. Terkait dengan pelayanan publik yang dimaksud, UndangUndang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas penyelenggaraan suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik. Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya aparatur manusia yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media masa, terkait dengan prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, petugas yang tidak profesional, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah (Marsono, 2009). Saat ini banyak pelanggan yang sangat menuntut pelayanan prima di instansi pelayanan publik, baik milik swasta maupun pemerintah. Pelayanan pelanggan yang bermutu merupakan kunci sukses dan dasar untuk membangun keberhasilan dan kepercayaan pelanggan. Yang disayangkan, sebagian besar organisasi masa kini hanya berorientasi pada sisi teknis kinerja instansi dan hanya meluangkan waktu sangat minim bagi sisi manusiawi. Berinteraksi dengan pelanggan secara efektif membutuhkan berbagai prinsip, metode, serta keahlian yang perlu dikenali, dipelajari, dan diterapkan. Sikap dan keahlian akan menentukan bentuk pelayanan pelanggan yang bermutu (quality customer service). Motivasi untuk melakukan yang terbaik merupakan bekal paling penting bagi setiap pegawai dalam meningkatkan quality customer service (Oliver, 1997). 1
2
Penelitian tentang implikasi desentralisasi kesehatan yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa rumah sakit yang berstatus otonomi (swadana) tidak jauh berbeda dengan rumah sakit yang tidak swadana. Peningkatan pendapatan pada rumah sakit swadana tidak mengurangi ketergantungan pada subsidi pemerintah. Tidak ada bukti efisiensi meskipun ada beberapa indikasi bahwa insentif telah meningkatkan kehadiran dokter dan perbaikan manajemen. Bahkan dengan otonomi ada beberapa rumah sakit yang justru mengurangi akses masyarakat miskin pada layanan kesehatan. Hal ini bisa dilihat dari temuan penelitian yang justru meningkatkan tarif layanan, tidak ada subsidi silang bagi masyarakat miskin dan membatasi jumlah pasien kelas tiga. Kejadian tersebut banyak terjadi pada rumah sakit umum yang dikendalikan oleh pemerintah daripada rumah sakit swasta, disebabkan karena pendapatan pemerintah daerah yang masih tergantung pada pendapatan rumah sakit. Kejadian sama juga terjadi pada rumah sakit pusat daripada rumah sakit daerah provinsi atau kabupaten karena dengan desentralisasi pemerintah daerah lebih mengetahui akses kesehatan terutama untuk masyarakat miskin (Bossert et al.,1997). Puskesmas sebagai salah satu institusi pelayanan publik memegang peranan penting bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Puskesmas dituntut untuk dapat melayani masyarakat, dapat berkembang dan mandiri serta harus mampu memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat. Dengan semakin tingginya tuntutan bagi Puskesmas untuk meningkatkan pelayanannya, banyak permasalahan yang muncul terkait dengan terbatasnya anggaran yang tersedia bagi operasional Puskesmas, alur birokrasi yang terlalu panjang dalam proses pencairan dana, aturan pengelolaan keuangan yang menghambat kelancaran pelayanan dan sulitnya untuk mengukur kinerja. Puskemas sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berpeluang untuk dapat meningkatkan pelayanannya ke masyarakat. Puskesmas akan mengelola sendiri keuangannya, tanpa memiliki ketergantungan operasional ke Pemerintah Daerah (Pemda). Puskesmas dengan status BLUD seperti yang tertuang dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Dalam hal ini, layanan kesehatan
3
diberikan keleluasaan dalam konteks mengelola baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) hingga penganggaran. Demi memberikan pelayanan yang lebih maksimal terhadap masyarakat, maka perubahan Puskesmas menjadi BLUD bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Melalui konsep pola pengelolaan keuangan BLUD ini, Puskesmas diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme, mendorong enterpreneureship, transparansi, dan akuntabilitas dalam rangka pelayanan publik, sesuai dengan tiga pilar yang diharapkan dari pelaksanaan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) BLUD ini, yaitu mempromosikan peningkatan kinerja pelayanan publik, fleksibilitas pengelolaan keuangan dan tata kelola yang baik (Indrawati, 2007). Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan langkah awal untuk melaksanakan janji dalam memperbaiki kualitas dan kinerja pelayanan publik yang diamanatkan oleh PPK-BLUD. Setelah SPM tersusun, maka seluruh unit kerja yang bertanggung jawab untuk menyediakan jenis pelayanan yang telah dituangkan dalam SPM wajib mengupayakan agar SPM tersebut dapat dicapai dengan menyusun standar-standar teknis yang merupakan panduan untuk mencapai standar yang telah ditetapkan, dan mengembangkan kegiatan-kegiatan perbaikan mengikuti siklus Plan-Do-Check-Action (World Health Organization, 1993). Pemerintah sendiri telah melakukan reformasi keuangan negara yang mulai bergulir sejak akhir tahun 2003, dengan dikeluarkannya tiga paket peraturan keuangan negara yang baru, yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Dengan ketiga paket peraturan keuangan negara tersebut telah mengubah mindset atau pola pikir yang lebih efisien, profesionalitas, akuntabel, dan transparan dengan melakukan perubahan dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja yang membuka koridor bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah (Hag, 2009). Berdasarkan Undang-undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola
4
pengelolaan keuangan yang fleksibel, berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dalam rangka memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dengan tetap menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas melalui Badan Layanan Umum. Sesuai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), untuk menuju tercapainya universal coverage pelayanan kesehatan, maka pemerintah Kabupaten Kulon Progo telah meluncurkan Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Program Jamkesda merupakan salah satu bentuk sistem jaminan kesehatan dan merupakan salah satu program pembangunan kesehatan yaitu pengobatan gratis bagi penduduk di Kabupaten Kulon Progo. Menurut Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, dengan status sebagai BLUD puskesmas bisa memberikan pelayanan rawat inap yang optimal seperti halnya dengan rumah sakit umum. Selain itu dengan beralihnya status puskesmas menjadi BLUD dapat mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan yang lebih lengkap dan juga mengurangi beban pada RSUD. RSUD Wates sendiri sering kewalahan menghadapi meningkatnya jumlah pasien yang harus ditangani. Kesiapan puskesmas di Kabupaten Kulon Progo menuju penerapan BLUD Puskesmas mulai
dilaksanakan
dengan
tantangan
yang
semakin
berat,
dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimulai tanggal 1 Januari 2014 sebagai amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Puskesmas dapat dikonversikan menjadi BLUD sebelum pemberlakuan SJSN tersebut, atau paling lambat pada awal tahun 2014 puskesmas sudah menjadi BLUD untuk kelancaran pelaksanaan BPJS nantinya. Bidang layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dengan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD meliputi kegiatan pemerintah yang bersifat
operasional
dalam
menyelenggarakan
pelayanan
umum
yang
menghasilkan semi barang/jasa (quasi public goods). Contoh instansi yang
5
menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum adalah pelayanan bidang kesehatan seperti rumah sakit pusat atau daerah, puskesmas, penyelenggara pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengujian. Penggunaan langsung atas pendapatan BLUD diartikan secara bebas langsung digunakan sesuai dengan kebutuhan yang ada saat itu. Tak ada pembatasan jenis belanja, asalkan suatu pengeluaran benar-benar dibutuhkan secara urgent maka pada saat itu pula langsung digunakan. Di sisi lain, beberapa pengamat memandang perlu ada kehati-hatian dalam menentukan penggunaan langsung ini, dengan membatasi diri hanya untuk pengeluaran yang bersifat operasional layanan kesehatan. Sehingga untuk pengeluaran yang bersifat investasi (belanja modal) dicarikan dari sumber dana lain. Pemikiran terakhir ini disandarkan pada pemahaman bahwa pendapatan yang diperoleh berasal dari layanan kesehatan, sehingga sudah sewajarnya belanja yang dikeluarkan juga untuk belanja layanan. Tetapi karena penggunaan langsung itu sendiri terkait dengan pendapatan layanan, maka kita harus memiliki persepsi sama tentang ‘pendapatan’ yang dapat digunakan langsung. Acuannya tentu saja Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 Pasal 1 angka 10 yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan pendapatan adalah semua penerimaan dalam bentuk kas dan tagihan BLUD yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode anggaran bersangkutan yang tidak perlu dibayar kembali. Penggunaan langsung berbanding lurus dengan aktivitas produktivitas, efisiensi dan efektifitas. Produktif, karena BLUD paling memahami kebutuhan apa yang dihadapinya untuk meningkatkan kinerja layanan. Efisiensi, jelas karena penggunaan langsung memotong rantai birokrasi keuangan pemerintahan daerah. Efektif, tentu saja karena kecepatan penggunaan langsung akan meminimalkan kehilangan momentum bisnis (Sasmito, 2008). Namun perlu diingat bahwa semua usaha-usaha yang mengarah pada produktivitas, efisiensi dan efektivitas harus dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka pengendalian internal yang baik. Salah satu bentuk pengendalian tersebut adalah berupa penganggaran yang biasa kita kenal dengan RBA (Rencana Bisnis Anggaran). Pasal 62 Permendagri 61/2007 telah mengingatkan hal ini:
6
“Seluruh pendapatan BLUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 kecuali yang berasal dari hibah terikat, dapat dikelola langsung untuk membiayai pengeluaran BLUD sesuai RBA”. Permendagri No. 61 Tahun 2007 tidak membatasi jenis belanja yang bersumber dari pendapatan layanan ini. Yang penting semua belanja yang dimaksudkan bersumber dari dana layanan ini harus tercantum dalam RBA yang menjadi dasar usulan DPA nantinya. Karena Kementrian Dalam Negeri tidak menerbitkan secara khusus pedoman penyusunan RBA, maka kita dapat belajar pada daerah yang sudah menerapkannya. Meski bukan sebuah keharusan namun pedoman penyusunan RBA untuk BLUD yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dapat dijadikan patokan. Dalam Permenkeu Nomor 92/PMK.05/2011, tentang Rencana Bisnis Anggaran serta pelaksanaan anggaran Badan Layanan Umum disajikan lengkap mengenai jenis belanja yang boleh bersumber dari jasa layanan (Thabrani, 2005). Meningkatnya permintaan dari kualitas pelayanan puskesmas harus berbanding lurus dengan manajemen yang profesional. Manajemen puskesmas, baik dari aspek manajemen dan operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu eksternal dan internal lingkungan. Tuntutan eksternal antara lain berasal dari stakeholder bahwa puskesmas diminta untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, layanan pelanggan (customer service) sesuai standar, biaya pelayanan kesehatan yang terjangkau sehingga akan menyebabkan kepuasan pasien. Perlu digaris bawahi bahwa layanan pelanggan (customer service) memegang peranan yang sangat penting menyangkut keberlangsungan layanan jangka panjang (Gremler et al, 2000). Berkaitan dengan hal tersebut Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo saat ini tengah mengembangkan puskesmas menjadi BLUD. Sebanyak 21 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di wilayah Kulonprogo telah dipersiapkan. Dengan status BLUD memungkinkan Puskesmas untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, baik pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Hal ini dikarenakan Puskesmas dengan status BLUD dapat mengelola keuangannya tanpa terbentur alur birokrasi yang rumit.
7
Dinas Kesehatan Kulon Progo telah melakukan konsultasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Yogyakarta untuk review hasil penyusunan instrumen BLUD. Sebanyak 5 (lima) Puskesmas telah direview BPKP dan dilakukan penilaian oleh Tim Penilai BLUD. Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Sentolo I, Galur II, Wates, Temon I dan Girimulyo II pada tahun 2011. Pada tahun 2013 menyusul 16 Puskesmas lain di Kabupaten Kulon Progo telah mempersiapkan persyaratan menjadi Puskesmas BLUD. Sehingga pada akhir tahun 2013 seluruh Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo telah mempersiapkan persyaratan menjadi Puskesmas BLUD. Selanjutnya pada tahun 2014 diharapkan seluruh Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo sudah berstatus BLUD. Penelitian ini berdasarkan kenyataan, seluruh Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo telah melakukan kesiapan menjadi BLUD, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Pada penelitian ini dengan studi kasus pada Puskesmas Wates dan Girimulyo II. Kedua puskesmas ini memiliki keunikan dimana biaya operasional Puskesmas tidak lagi disubsidi oleh Pemda tetapi menggunakan pendapatan puskesmas sendiri dari setoran retribusi pendapatan puskesmas yang dikembalikan seratus persen. Bisa dikatakan kedua puskesmas ini sudah bisa mandiri tidak tergantung subsidi dari Pemda. Puskesmas Wates merupakan puskesmas yang ada di perkotaan (urban) dan Puskesmas Girimulyo II merupakan puskesmas yang ada di pedesaan (rural). Namun yang menarik berdasarkan data awal dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, Puskesmas Girimulyo II yang ada di pedesaan telah lolos penilaian sebagai BLUD bertahap terlebih dahulu di tahun 2012 dibandingkan dengan Puskesmas Wates yang ada di perkotaan baru pada tahun 2013 ini. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui lebih jauh dalam penelitian ini dan menurut peneliti merupakan keunikan dari terpilihnya kedua puskesmas ini menjadi studi kasus penelitian. Kebijakan penerapan BLUD di Puskesmas Kabupaten Kulon Progo, sesuai dengan visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011-2016, yaitu:
8
“Terwujudnya masyarakat Kulon Progo yang sehat, mandiri, berprestasi, adil, aman, dan sejahtera berdasarkan iman dan taqwa”, maka keberadaan Puskesmas BLUD sejalan dengan visi dan misi yang ada. Saat ini Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menurut Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan tengah mempersiapkan kebijakan menyangkut BLUD Puskesmas yang rencana diterapkan di tahun 2014. Dinas Kesehatan tengah menyusun regulasi Peraturan Bupati tentang pedoman pengelolaan keuangan, RBA, pedoman rekruitmen pegawai kontrak, remunerasi. Pembentukan PPK-BLUD berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/2750/SJ tanggal 10 September 2008 tentang Pedoman Penilaian Penerapan PPK-BLUD.
B.
Perumusan Masalah
Beberapa Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo sudah bisa mencukupi kebutuhan operasionalnya tanpa tergantung subsidi dari Pemda, namun untuk pencairan dananya sering kali tidak tepat waktu karena masih terkendala alur birokrasi. Alur birokrasi yang terlalu panjang dan tidak adanya fleksibilitas dalam penggunaan
dana
menghambat
kelancaran
pelayanan
pada
puskesmas.
Pelaksanaan BPJS nantinya diperlukan pengelolaan keuangan yang juga tidak boleh terkendala oleh aturan-aturan yang terlalu rumit, dibutuhkan aturan yang membuat Puskesmas bisa menggunakan langsung hasil pendapatan retribusinya tanpa terkendala alur birokrasi. Penerapan kebijakan BLUD Puskesmas merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Puskesmas dengan status BLUD, dana pendapatan puskesmas bisa digunakan langsung untuk operasional (fleksibilitas penggunaan dana) tanpa disetor ke pemda, sehingga bisa memotong rantai birokrasi pemda dan dengan demikian puskesmas dapat meningkatkan kinerja pelayanannya secara produktif, efektif, dan efisien dan siap
9
menyongsong diberlakukannya program BPJS tahun 2014. Bagaimana kesiapan penerapan kebijakan BLUD Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah untuk menganalisis dan mengetahui sejauh mana kesiapan penerapan kebijakan BLUD Puskesmas di Kabupaten Kulon Progo, sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan di puskesmas.
D.
Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam penerapan kebijakan BLUD di Puskesmas Kabupaten Kulon Progo. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan strategi bagi Dinas Kesehatan terkait dengan upaya menyiapkan puskesmas untuk menjadi BLUD, sehingga nantinya dapat menjadi suatu kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo. 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan Puskesmas daerah lain yang akan menjadi BLUD. 4. Hasil penelitian ini bagi peneliti dapat digunakan untuk menerapkan teori didapat ke dalam situasi sesungguhnya yang terdapat di lapangan.
E.
Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang membahas masalah kesiapan, pelaksanaan maupun evaluasi dari pengelolaan BLUD baik pukesmas maupun rumah sakit telah banyak diteliti. Namun penelitian yang mengambil sebagian subyek maupun obyek judul di atas pernah dilakukan oleh beberpa peneliti, antara lain:
10
1.
Peneliti
: Surianto (2011)
Judul
: Evaluasi Pelaksanaan Penerapan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Di RSUD Undata Provinsi Sulawesi Tengah.
Tujuan
: Mengevaluasi
pelaksanaan
Penerapan
Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) di RSUD Undata, Sulawesi Tengah. Persamaan
: Metode penelitian.
Hasil
: Kinerja RSUD Undata dinilai sudah baik.
Perbedaan
: Variabel dependen (Pelaksanaan BLUD) dan variabel independen (Evaluasi BLUD), tempat dan waktu penelitian.
2.
Peneliti Judul
: Meidyawati (2010) : Analisis Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLUD) Pada Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi.
Tujuan
: Mengetahui implementasi semua persyaratan administratif PPK-BLUD di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi.
Persamaan
: Metode penelitian.
Hasil
: Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi telah menyusun dan mengimplementasikan semua persyaratan
administratif
PPK-BLUD
yang
meliputi Pola Tata Kelola, Rencana Strategis Bisnis,
Rencana
Bisnis
Anggaran,
Standar
Pelayanan Minimal, dan Laporan Keuangan. Implementasi pola tata kelola diwujudkan dalam bentuk organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, serta transparansi. Perbedaan
: Variabel dependent (Implementasi) dan variabel
11
independent (persyaratan administarif BLUD), tempat dan waktu penelitian. 3.
Peneliti
: Ely Trianasari dan Muhammad Syafiie Idrus (2008)
Judul
: Evaluasi Strategi RSUD Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang Sebelum dan Sesudah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Tujuan
: Mengetahui evaluasi strategi RSUD Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang sebelum dan sesudah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Persamaan
: Metode penelitian.
Hasil
: Perubahan status menjadi BLUD telah mempengaruhi
kondisi
dan
kinerja
RSSA,
pengaruh baik maupun kurang baik. Sebagai BLUD masalah yang dihadapi RSSA antara lain keefektifan, keefisienan dan fleksibilitas masih terkendala, alur birokrasi/ administrasi yang lama belum tuntas teratasi; pelanggan mayoritas berasal dari golongan menengah ke bawah; keramahan belum diterapkan secara menyeluruh; evaluasi strategi dilakukan oleh bagian lain, bukan oleh bagian yang sama dengan yang melakukan perencanaan strategi; sarana dan prasarana serta kuantitas tenaga masih kurang memadai. Namun dengan segala keterbatasan dan tantangan yang harus dihadapi secara garis besar RSSA cukup siap dan dapat melaksanakan BLUD. Perbedaan
: Variabel
dependent
(Evaluasi) dan variabel
independent (Strategi BLUD), tempat dan waktu penelitian.