BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Keberadaan perapian diyakini sudah sejak lama ada pada peradaban
manusia, terbukti dengan ditemukannya situs-situs perapian yang digunakan oleh masyarakat nomaden (hunter-gatherers) yang sudah berumur ribuan tahun di Kutub Utara Bagian Timur Amerika Utara (Friesen, 2007). Jenis-jenis perapian dan penggunaannya terlihat pada situs prasejarah di permukiman Klithi dan Kastritsa di Yunani (Galanidou,1999). Ditemukan juga jejak-jejak perapian batu (hearthstones) maupun tungku yang dapat menunjukkan aktivitas permukiman masyarakat jaman prasejarah di Pegunungan selatan Assemblages (Backhouse and Johnson, 2007). Perapian sebagai model pusat aktivitas dengan perkemahanperkemahan yang umumnya berorientasi ke perapian ditemukan juga di permukiman !Kung San, permukiman yang terbentuk karena adanya perluasan keluarga ( extended family) yang berkembang dari local band, kemudian menjadi multi band camp (Richard and Pearson, 2005). Di Indonesia penggunaan perapian banyak ditemukan di beberapa daerah pegunungan. Di kawasan pegunungan Tengger perapian yang dinamakan tumang selalu melengkapi setiap rumah tinggal karena sangat penting peranannya dalam kehidupan masyarakat Tengger. Tumang di dalam rumah Tengger tidak semakin menghilang melainkan bertambah jumlahnya dan menunjukkan keragaman fungsi dan guna yang semakin luas (Dewi, 2011). Hasil penelitian tentang perapian di permukiman tradisional Sasak juga memperlihatkan adanya perubahan dalam pemanfaatan perapian yang awalnya untuk memasak dan tempat upacara ritual, pada jaman sekarang dapat membentuk ruang baru yang disebut dengan dapur (Dewi, 2005). Di rumah tradisional masyarakat desa Ciptagelar Sukabumi Jawa Barat, juga selalu terdapat perapian yang dinamakan Hawu (Kusdiwanggo, 2012).
1
Seperti di Pegunungan yang lain, di Pegunungan Dieng penggunaan perapian untuk memanaskan badan, memasak dan fungsi lainnya diyakini sudah berlangsung sejak lama sekali. Pegunungan Dieng berada pada ketinggian 1.6502.060 m.dpl, dengan temperatur rata-rata 18°C di siang hari dan antara 12°C 16°C pada malam dan pagi hari. Pada musim kemarau sekitar bulan Juli dan Agustus, suhu udara pagi mencapai -2°C sampai dengan - 4°C, sehingga sering terjadi bunga es atau frost (Tjugianto, 2007). Oleh masyarakat di Pegunungan Dieng, bunga es disebut mbun upas (embun racun), karena menyebabkan kerusakan atau hangusnya akar-akar pada tanaman pertanian. Dengan kondisi yang demikian maka kebutuhan untuk menghangatkan tubuh menjadi demikian penting. Tradisi berkumpul di bagenen atau tempat untuk genen dengan menggantung ceret di bawah tarangan yang disebut ceret geong, duduk di depan perapian di kursi yang disebut jengkok, minum teh pahit dengan cangkir kecil sambil makan gula jawa (ngemot gula), merupakan kebiasaan lama masyarakat di Pegunungan Dieng yang sudah mendarah daging jauh sebelum agama Hindu, dan Islam berkembang. Di Dataran Tinggi Dieng yang merupakan wilayah utama Pegunungan Dieng, terdapat banyak sekali peninggalan bersejarah yang bernilai tinggi serta tradisi yang unik. Penemuan gua-gua kuno yang kemungkinan pernah digunakan untuk aktivitas peribadatan, menunjukkan bahwa aktivitas peribadatan yang berorientasi pada gunung telah berlangsung lama sebelum masuknya pengaruh agama Hindu dan Budha (Rahardjo, 2002). Komplek Dieng Plateau merupakan candi tertua di Indonesia yang diperkirakan dibangun pada abad IX oleh raja Mataram Kuno Sanjaya (732-760), sejaman dengan masa Dinasti Tang yang ketika itu berkuasa di Cina (Purwadi, 2007). Penelitian Arkeologis antara UGM dan National University of Singapura Juni 2010 di Kawasan Candi Dieng menghasilkan temuan pecahan keramik yang berasal dari Dinasti Tang (618 M906 M) dan pecahan kaca warna biru dan hijau yang diperkirakan berasal dari Persia. Hasil penemuan tersebut memberikan data yang paling lengkap tentang luasnya jangkauan perdagangan Mataram Kuno. Data peninggalan arkeologi berupa candi dan bekas bangunan profan yang ditemukan di wilayah Dieng
2
menunjukkan
bahwa
di
Dieng
pernah
dijadikan
sebagai
permukiman
(Subroto,1984; dalam Pudjoarianto,1996). M. Prawirosoedirdja (1922), dalam bukunya yang berjudul “Tjarios Tanah Pareden Dijeng” menyatakan: “…Bisa jadi Dieng itu pada zaman kuno pasti merupakan kota yang sangat indah, hal ini berangkat dari satu kenyataan banyaknya situs-situs serta petilasan yang sudah diketemukan sangat lama atau baru saja di ketemukan…“(Sukatno Otto, 2003:246) Ditemukan pula adanya struktur bangunan dari bahan ringan ( kayu atau bambu) di Kawasan Candi Dieng yang disebut Dharmasala yang sekarang tinggal tersisa umpak-umpaknya. Bangunan ini mungkin adalah bekas komplek perumahan atau tempat kediaman bangsawan-bangsawan atau raja-raja ( Sukatno Otto, 2003). Diperkirakan perkembangan kehidupan di Dieng berlangsung dari abad ke-8 sampai dengan abad ke-13, tanpa adanya sebab yang jelas sampai dengan tahun 1800 Pegunungan Dieng ditinggalkan penduduknya (Subroto, 1984; dalam Pudjoarianto,1996). Penemuan situs di dusun Liyangan desa Purbasari Kabupaten Temanggung memperkuat dugaan adanya poros perkembangan permukiman pada abad ke 7 sampai ke 10 di jaman Mataram Kuno yang berada pada deretan pegunungan Merapi, Sindoro, Sumbing dan Dieng (Permanasari dan Kurniawan, 2010). Berkaitan dengan proses penyebaran Islam di Dieng, babad Kedhu menceritakan bahwa Islamisasi di wilayah Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya sudah dimulai ketika kerajaan Demak di bawah pemerintahan Raden Patah (14781513) (Mubin, 2010). Demikian pula dengan proses Islamisasi di wilayah
kabupaten Wonosobo dan sekitarnya diduga bermula dari Pegunungan Dieng (Muzan, 2011), hingga saat ini sebagian besar penduduk di wilayah Pegunungan Dieng beragama Islam. Di wilayah Pegunungan Dieng banyak sekali terdapat tradisi lokal yang merupakan hasil penghalusan dari budaya animisme, tradisi Jawa, dan Hindu ke dalam bentuk tradisi baru yang bernafaskan Islam. Adapun beberapa tradisi lokal yang pernah ada maupun masih tetap dipertahankan oleh sebagian masyarakat di Pegunungan Dieng saat ini adalah ; Merdi desa, Sadranan, Ariyoyo, Nylameti kali, Baritan, pemotongan rambut gembel, dan pengajian rutin. Tradisi pemotongan
3
rambut gembel selalu dikaitkan dengan mitos tentang Kyai Kaladite, tokoh lokal yang dianggap penyebar Agama Islam di Dieng yang sejaman dengan kyai Karim dan kyai Walik (Mubin, 2010), Kyai Kaladite oleh sebagian masyarakat Dieng juga diyakini sebagai penguasa atau danyang Dieng (Pontjosutirto, 1961). Tradisi lain adalah Merdi Desa yang berarti menghormati, memperingati dan memelihara desa. Tradisi ini selalu diikuti dengan pertunjukan wayang kulit atau lengger. Pada masa kini hanya beberapa desa atau dusun yang masih mengadakan perayaan tradisi Merdi desa, seperti desa Kreo, dan dusun Plemburan di desa Campursari. Tradisi merdi desa disebut pula kenduri komunal, karena biasanya kenduri kolektif ini dihadiri oleh seluruh wakil-wakil keluarga dengan membawa berkat atau tumpeng dengan segala asesorisnya. Acara tersebut biasanya dilaksanakan di lapangan atau ladang yang tidak ditanami (orang Dieng menyebutnya damen ) yang berdekatan dengan makam atau punden (AhimsaPutra, 2009). Adapun tradisi yang berasal dari ajaran Islam adalah pengajian umum perayaan khaul Syekh Abdullah Selomanik, yang dihadiri tidak kurang dari 10 ribu orang, dilaksanakan di dusun Kalilembu desa Dieng Wetan (Muzan, 2011). Pada hari ketika dilaksanakan khaul seluruh pawon dan bagenen masyarakat di dusun Kalilembu hidup semua, artinya setiap penduduk di dusun Kalilembu membuat dan menyediakan makanan untuk tamu yang berasal dari satu desa ataupun menjamu siapa saja yang berkenan mampir ke rumahnya. Acara ini selain bertujuan dakwah Islam, juga menjadi wadah untuk saling bersilaturahmi yang sangat luas jangkauannya. Selain pengajian khaul tersebut, terdapat pula tradisi pengajian Selapan yang dilaksanakan setiap 70 hari sekali, pengajian Selapanan diselenggarakan secara bergiliran di lima desa, yaitu desa Patakbanteng, desa Wadasputih, desa Parikesit, desa Jojogan, dan dusun Kalilembu. Pengajian selapanan tidak hanya dihadiri oleh masyarakat di lima desa tersebut, tetapi juga masyarakat dari desa lainnya. Antara tahun 1900 sampai tahun 1940 Pegunungan Dieng dan daerah sekelilingnya menjadi pusat penanaman tembakau di wilayah Kedu dan sekitarnya. Penanaman tembakau di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya
4
menunjukkan kontinuitas yang menakjubkan karena jarang terputus selama dua hingga tiga abad (Murray, 2002). Sampai dengan tahun 1970 masyarakat di Pegunungan Dieng masih menggantungkan kehidupannya pada tanaman tembakau. Desa Tieng pada waktu itu merupakan desa yang paling makmur di wilayah Pegunungan Dieng, bahkan di Kabupaten Wonosobo. Desa Tieng menjadi penghasil tembakau Swatingjan yang berkualitas tinggi dan harganya paling mahal. Pada saat itu kondisi ekonomi masyarakat desa-desa lainnya di Pegunungan Dieng belum semaju desa Tieng sehingga banyak sekali tenaga kerja yang berasal dari desa-desa sekitar desa Tieng menjadi buruh tani di desa Tieng. Sejak munculnya tanaman kentang pada tahun 1971, sebagian besar masyarakat di Pegunungan Dieng mengganti tanaman tembakau dengan kentang, karena secara ekonomi tanaman kentang lebih menjanjikan untuk peningkatan kesejahteraan dibandingkan dengan tanaman tembakau. Akibat perubahan tersebut, sedikit demi sedikit masyarakat di Pegunungan Dieng mulai mengenal kehidupan konsumtif yang lebih berorientasi pada pertumbuhan perekonomian, tanpa memperhitungkan aspek lainnya seperti kerusakan lingkungan. Sejak munculnya tanaman kentang maka desa-desa yang tadinya tertinggal secara ekonomi, kemudian meningkat dengan cepat, bahkan meninggalkan desa Tieng yang awalnya merupakan desa yang paling makmur. Sampai dengan tahun 2013 hanya tinggal beberapa desa atau dusun saja yang penduduknya masih menanam tembakau, seperti desa Tieng, dusun Plemburan desa Campursari, dusun Gunungalang di desa Buntu, dan desa Kreo. Perubahan sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi pada masyarakat Pegunungan Dieng ternyata tidak menghilangkan keberadaan fungsi bagenen. Sampai saat ini masyarakat yang tinggal di desa-desa yang berada di wilayah Pegunungan Dieng masih tetap menggunakan bagenen dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kehadiran bagenen di rumah di Dieng juga disebutkan pada laporan Etnografi daerah Wanasaba tahun 1961; Di daerah dingin, tempat yang paling disenangi adalah ruang dapur (pawon), di samping tungku untuk memasak di tengah ruang ada tempat yang disebut bagenen, yaitu tempat perapian.” (Pontjosutirto,1961:141).
5
Bagenen terdiri dari tungku atau tumang dengan beberapa buah jengkok, dan dingklik. Jengkok adalah kursi pendek tanpa sandaran yang terbuat dari kayu, sedangkan dingklik adalah meja panjang dengan kaki yang pendek. Di atas bagenen terdapat para, yaitu tempat untuk menyimpan dan mengeringkan kayu atau jagung. Peningkatan ekonomi dan pengetahuan masyarakat di Pegunungan Dieng mengakibatkan adanya perubahan design dan penggunaan material pada perabot bagenen. Dingklik yang tadinya menggunakan material kayu sekarang sudah menggunakan rangka allumunium, jengkok difinishing dengan menggunakan cat duco atau melamin, desain dan penggunaan material bagenen yang semakin bervariasi banyak ditemukan di desa Patakbanteng, desa Dieng Wetan, dan dusun Kalilembu. Kurang tersedianya atau mahalnya bahan bakar kayu untuk genen juga menyebabkan masyarakat di desa Tieng, desa Patakbanteng, desa Parikesit, desa Wadasputih, desa Jojogan, dusun Kalilembu, dan desa Dieng Wetan mengganti tungku dengan
angklo. Angklo menggunakan arang sebagai bahan bakar.
Penggunaan angklo tersebut justru semakin menambah fleksibilitas fungsi bagenen, karena bentuknya yang kecil, ringan, dan mudah dipindah-pindah, sehingga aktivitas memanaskan badan tidak hanya berlangsung di pawon saja, tetapi bisa di ruang tamu, garasi, bahkan di kamar tidur dan tempat lainnya sesuai dengan kebutuhan. Fenomena penggunaan bagenen untuk keamanan desa (jaga lek) terlihat ketika tanggal 28 Mei 2011 kawah Timbang meletus. Sehari setelah itu status gunung api Dieng dinaikkan menjadi Siaga level 3 oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Setelah dhuhur sampai subuh secara bergiliran masyarakat di dusun Simbar Desa Sumberejo Batur Dieng Banjarnegara, bapak-bapak dan pemuda membuat perapian secara berkelompok pada setiap perempatan jalan dusun, dengan membakar kayu utuh yang cukup besar, dan duduk-duduk dengan kursi tamu dan meja yang dipindahkan dari rumah, kebiasaan tersebut tidak pernah dilakukan sebelumnya.
6
Istilah genen wis dadi watek atau kebiasaan yang sudah ada sejak dahulu terlihat juga dari fenomena setelah terjadi bencana longsor tahun 2010 di desa Tieng. Pada tahun 2011 Pemerintah Wonosobo membangun perumahan untuk korban longsor di daerah perbatasan Tieng-Kejajar ( dusun Rowojali ) sejumlah 90 rumah. Dengan luas bangunan rumah dan jumlah ruang yang terbatas, tentunya tidak mungkin melakukan aktivitas genen di dalam rumah. Tetapi pada kenyataannya penghuni perumahan tetap melakukan kegiatan genen di bagenen setiap harinya di desa Tieng, yaitu pada pagi hari sebelum berangkat ke ladang. Di sejumlah rumah yang dihuni oleh orang yang umurnya sudah tua, juga ditemukan fenomena perubahan fungsi ruang. Ruang dapur dirubah menjadi bagenen, dengan cara meletakkan angklo, dingklik dan jengkok di tengah-tengah ruang dapur. Bagenen menjadi ruang utama atau ruang inti rumah-rumah di Pegunungan Dieng. Pada skala messo bagenen selalu terhubung oleh botolan. Fenomena di lapangan memperlihatkan bahwa botolan ternyata tidak hanya menghubungkan rumah yang masih memiliki hubungan keluarga, tetapi juga menghubungkan rumah yang tidak mempunyai hubungan keluarga. Sampai saat ini keberadaan botolan sebagai penghubung antara satu rumah dengan rumah yang lain masih jelas terlihat, bahkan ditemukan juga botolan dalam bentuk dan nama yang berbeda, seperti botolan jendela (jendela yang berfungsi sebagai botolan), botolan pagar (botolan yang terletak dipagar yang menghubungkan halaman dua rumah). Pada skala messo bagenen yang terhubung oleh botolan menjadi ruang yang sangat penting, yang dapat digunakan untuk mewadahi berbagai aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat di pegunungan Dieng Fenomena lain yang berkaitan dengan bagenen dan botolan pada skala desa adalah keberadaan latar ombo atau halaman rumah yang luas. Fungsi utama latar ombo adalah untuk menjemur tembakau, tetapi pada saat tertentu latar ombo digunakan juga untuk genen secara berkelompok. Di dalam satu desa biasanya terdapat lebih dari satu latar ombo. Yang menarik antara latar ombo yang satu dengan yang lainnya selalu terhubung oleh jalan tritian atau semacam jalan botolan. Keterhubungan antar latar ombo oleh jalan tritian tersebut menjadikan fungsi latar ombo menjadi semakin beragam, sehingga pada perkembangannya
7
fungsi latar ombo tidak hanya untuk menjemur tembakau, tetapi juga sebagai tempat bertemu dan berkumpul masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas sosial, budaya, olah raga dan pentas kesenian. Fenomena tersebut menimbulkan dugaan bahwa dalam skala desa latar ombo menjadi semacam bagenen dan botolan pada permukiman di pegunungan Dieng. Dugaan tersebut semakin dikuatkan oleh kehadiran lapangan desa yang selalu terhubung oleh jalan terabasan antar desa. Pada skala antar desa lapangan menjadi wadah untuk melakukan berbagai aktivitas sosial, budaya, dan keagamaan, seperti pengajian khaul, olah raga dan kesenian. Bagenen yang terhubung oleh botolan sepertinya menjadi ruang inti dan wadah utama berbagai aktivitas sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di pegunungan Dieng, sehingga patut diduga bahwa di dalam fenomena bagenen dan botolan terkandung konsep-konsep atau nilai yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat di pegunungan Dieng dan nilai-nilai tersebut mereka wujudkan pada permukimannya.
B.
Penetapan Fokus Penelitian Peneliti melakukan grandtour pada tahun 2010. Awalnya peneliti kesulitan
untuk menentukan fokus penelitian mengingat luasnya wilayah Pegunungan Dieng. Berbekal informasi awal dari salah seorang informan, peneliti kemudian mulai melakukan grand tour di dusun Plemburan desa Campursari dan desa Patakbanteng. Dalam pengamatan grandtour ditemukan elemen elemen yang selalu ada pada rumah-rumah di pegunungan Dieng, berupa tungku perapian, dingklik dan jengkok dan ruang di mana elemen tersebut berada disebut dengan bagenen. istilah bagenen peneliti dapatkan dari laporan ethnografi Daerah Wanasaba yang dibuat oleh Pontjosutirto (1961). Temuan grandtour juga memperlihatkan bahwa bentuk bagenen mengalami berbagai modifikasi, menyesuaikan dengan perkembangan jaman, demikian pula fungsinya juga semakin beragam. Peneliti kemudian melakukan penggalian informasi lebih lanjut tentang bagenen atau hal-hal lain yang berkaitan dengan bagenen pada lingkup yang lebih luas. Pada skala mikro dan messo hasil grandtour menemukan bahwa
8
bagenen rumah-rumah di pegunungan Dieng ternyata selalu terhubung oleh botolan, sehingga ada dugaan kuat bahwa di dalam bagenen dan botolan terkandung konsep atau nilai-nilai yang sangat berarti bagi masyarakat pegunungan Dieng. Terbentuknya permukiman di pegunungan Dieng juga tidaklah terlepas dari nilai-nilai atau konsep tersebut. Penulis kemudian menetapkan bagenen dan botolan sebagai fokus dalam penelitian ini.
C.
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang diajukan sebelum grand tour dilakukan adalah :
1.
Konsep apakah yang mendasari pembentukan permukiman di Pegunungan Dieng.
Pertanyaan penelitian berikutnya yang diajukan setelah mengadakan grand tour adalah : 2.
Bagaimanakah wujud kesadaran empiris konsep tersebut pada permukiman di pegunungan Dieng
3.
Konsep apakah yang kemudian menjadi kesadaran transendental pada pembentukan permukiman di pegunungan Dieng
D.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk menemukan konsep-konsep yang membentuk permukiman di Pegunungan Dieng.
2.
Untuk menemukan bentuk-bentuk kesadaran empiris konsep-konsep yang ditemukan pada skala mikro, messo, dan makro.
3.
Menemukan teori lokal tentang sejauh mana bagenen-botolan membentuk permukiman di Pegunungan Dieng pada skala mikro, messo, dan makro.
E.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1.
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan teori arsitektur tentang konsepkonsep dan nilai yang membentuk permukiman pegunungan.
9
2.
Membantu para penyusun dan pembuat kebijakan terkait dengan programprogram penataan, pemulihan lingkungan permukiman, dan rehabilitasi lahan di Pegunungan Dieng serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di Pegunungan Dieng.
F.
Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan lokus studi di Pegunungan
Dieng di antaranya adalah seperti pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. Penelitian yang pernah dilakukan dengan lokus Pegunungan Dieng No
Judul/Peneliti
Metode
Telaah
Analisis Perbandingan
1
Sejarah Flora dan Vegetasi di Dieng. Tesis UGM, Agus Pudjoarianto (1996).
Kuantitatif
Pendekatan Palinologis
Kesamaan penelitian hanya pada lokus, sedangkan subyek, metode dan bidang penelitian penulis berbeda.
2
Kajian Seting Kawasan Wisata Dieng Kaitannya Dengan Model Perencanaan dan Managemen : Studi Kasus Pada Kawasan Wisata di Wilayah Perbatasan Administrasi Daerah. Tesis UGM, Hadi Warsono (1997).
Metode Kualitatif DeskriptifEksploratif
Kajian spasial dan managemen kawasan
Kesamaan penelitian hanya pada sebagian lokus, sedangkan subyek, metode dan kajian berbeda.
3
Perubahan Pemanfaatan Lahan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng: Studi Kasus Difusi Spasial Usaha Tai Kentang (UTK) di Desa Batur dan Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Tesis UGM, Yulijanti (2005).
Deduktif kuantitatif bersifat ekplanatori
Kajian Spasial dan Pemanfaatan Lahan
Kesamaan penelitian hanya pada sebagian lokus, sedangkan subyek, metode, kajian berbeda, lokus penelitian disertasi ini lebih luas meliputi pegunungan Dieng
4
Pengelolaan Warisan Budaya di Dataran Tinggi Dieng,Kajian Lansekap, Sejarah Pengelolaan, dan Nilai Penting. Tesis, Jajang Agus Sonjaya (2005).
Kualitatif bersifat eksploratif
Kajian Konflik kepentingan dalam pemanfaan lahan
Kesamaan penelitian hanya pada sebagian lokus, sedangkan subyek, metode dan bidang berbeda, lokus penelitian juga lebih luas.
10
5
Strategi Pengelolaan Wilayah Hutan Pegunungan : Studi Kasus Pegunungan Dieng Jawa Tengah, Disertasi, Nur Sumedi (2010).
KualitatifDeskriptif Eksploratif
6
Konsep Ngaruheke Dalam Pelaksanaan Program Pengembangan Pariwisata di Desa Dieng. Tesis UGM, Susilo (2011).
Kualitatif bersifat deskriptif fenomenologi
Kajian strategi pemanfaatan peningkatan pengelolaan
Kesamaan penelitian hanya pada lokus, sedangkan subyek, metode dan bidang berbeda.
Kajian Kesamaan penelitian pada Partisipasi sebagian lokus, tetapi lokus masyarakat penelitian disertasi ini lebih dalam luas, demikian pula bidang pengembangan kajian juga berbeda. pariwisata ( Sumber : Pudjoarianto,1996;Hadi Warsono,1999;Yulijanti,2005;Jajang Agus Sonjaya,2005; Nur Sumedi ,2010; Susilo,2011).
Adapun penelitian arsitektur yang berkaitan dengan tema perapian, butulan dan permukiman pegunungan yang pernah dilakukan dengan lokus yang berbeda adalah seperti pada tabel 1.2. Tabel 1.2. Penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan perapian, butulan, dan permukiman pada lokus yang berbeda No
Judul/Peneliti
Metode
Telaah
Analisis Perbandingan
1
Tata Ruang Rumah Bangsawan Yogyakarta. Widayatsari, 2002.
Kualitatif
Arsitektur bangunan
Kesamaan penelitian hanya pada fokus skala mikro yaitu butulan. Kajian dan telaah penelitian disertasi ini berbeda, lebih luas yaitu dalam skala makro.
2
Fenomena Pintu Butulan di kampung Candi malang. Handajani, et.al. 2006.
Kualitatif/ naturalistik
Arsitektur bangunan dan kelompok bangunan
Kesamaan penelitian hanya pada fokus skala mikro/messo yaitu butulan. Sedangkan penelitian disertasi ini dengan kajian, telaah dan skala permukiman yang berbeda.
3
Perubahan Makna, Fungsi dan Bentuk Rumah Tradisional Jawa (studi kasus: Rumah tradisional Masyarakat kelas Atas Kota Gede Yogyakarta. Tesis.UI, Wijaya, 2009
Kualitatif
Perubahan sosial/Antropo logi.
Kesamaan penelitian hanya pada fokus skala mikro yaitu butulan. Sedangkan bidang kajian, metode yang dilakukan penelitian disertasi berbeda.
4
Peran Perapian dalam Rumah Tinggal
Gabungan Kualitatif dan
Arsitektur kelompok
Kesamaan penelitian hanya pada fokus dalam skala
11
Masyarakat Tenger, Studi Kasus di Desa Ngadisari Tengger. Disertasi ITS, Dewi,2011.
Kuantitatif
bangunan
mikro yaitu perapian. Pada penelitian disertasi di pegunungan Dieng berbeda dalam metode, kajian, dan dalam skala permukiman.
5
Butulan-Jepitan di Kampung Kauman. Tesis UGM, Nadrah, 2012.
Grounded theori
Arsitektur bangunan dan kelompok bangunan
Kesamaan penelitian hanya pada sebagian fokus, sedang metode berbeda dan skala yang penulis lakukan kajian lebih luas.
6
Tata Permukiman Berbasis Punden Desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro, Kabupaten Wonosobo Disertasi UGM,Rejeki, Sri, 2012.
Fenomenologi
Kajian arsitektur permukiman pegunungan
Kesamaan penelitian pada metode kajian. Perbedaan pada penelitian disertasi ini adalah pada lokus dan fokus.
7
The Use of Hearth, Returns and Vernacular Architecture in Settlement Studies : With Examples from North-East Hampshire, MeirionJones, Gwyn, 1971.
Eksploratif
Kajian arkeologi
Kesamaan penelitian hanya pada sebagian fokus. Sedangkan kajian, metode, lokus berbeda.
8
Regional settlement and intra-site spatial patterns in Upper Palaeolithic Epirus. Galanidou, Nena, 1999.
Eksploratif
Kajian arkeologi
Kesamaan penelitian hanya pada sebagian fokus. Sedangkan kajian, metode, lokus berbeda.
9
Hearth Rows, Hierarchies and Arctic HunterGatherers: The Construction of Equality in the Late Dorset Period. Friesen, T.Max, 2007
Eksploratif
Kajian arkeologi
Kesamaan penelitian hanya pada sebagian fokus. Sedangkan kajian, metode, lokus berbeda.
10
Understanding The Situation of Rural Settlements in the Montainous Region. Ismael and Ngah, 2011
Kualitatif
Kajian arsitektur permukiman pegunungan
Kesamaan penelitian hanya pada lokasi permukiman di pegunungan.
(Sumber; Widayatsari, 2002; Handajani, et.al. 2006 ; Wijaya, 2009; Dewi,2011; Nadrah, 2012; Rejeki, Sri, 2012; Meirion-Jones, Gwyn, 1971; Galanidou, Nena, 199; Friesen, T.Max, 2007; Ismael and Ngah, 2011).
12
G.
Batasan Penelitian Sebelum menentukan batasan penelitian, beberapa istilah yang perlu
disampaikan oleh penulis berkaitan dengan pegunungan Dieng adalah; Kawasan Wisata Dieng. Sesuai dengan keputusan bersama Bupati Wonosobo dan Banjarnegara nomor 04/1995 dan 20/1995 tanggal 20 Juli 1995, kawasan wisata Dieng mencakup 7 buah desa, 5 buah berada di Kabupaten Banjarnegara yaitu desa Bakal, Dieng Kulon, Karangtengah, Kepakisan, Pekasiran dan 2 buah desa berada di kabupaten Wonosobo yaitu Dieng Wetan dan Sembungan. Adapun yang dimaksud dengan Dieng adalah kawasan yang meliputi desa Dieng Wetan (Kabupaten Wonosobo) dan Dieng Kulon (kabupaten Banjarnegara). Sedangkan yang disebut dengan Dataran Tinggi Dieng adalah; Suatu area berupa dataran yang cukup luas di pegunungan Dieng yang dikelilingi oleh bukit dan gunung., daerah tersebut secara geologis merupakan bekas danau purba yang berupa dataran yang luas. Saat ini meliputi desa Dieng (Wetan dan Kulon), Sikunang, Siterus, dan Njojogan (Sumedi, 2010: 54) Sedangkan yang dimaksud dengan Pegunungan Dieng adalah; Suatu wilayah yang mencakup beberapa bagian dari kabupaten dengan Dataran Tinggi Dieng sebagai pusat wilayah dan dikelilingi oleh rumpun pegunungan Dieng yang memiliki keterkaitan, fisik, sosial, ekonomi dan budaya (Sumedi, 2010: 54). Pegunungan Dieng meliputi 6 kabupaten yaitu Kabupaten Wonosobo, Batang, Temanggung, Kendal, Banjarnegara dan Pekalongan. Mengingat luasnya wilayah penelitian, peneliti kemudian memakai kriteria dari Sumedi (2010) untuk membatasi wilayah penelitian yaitu; Bahwa secara administratif, geografis dan demografi Pegunungan Dieng dapat dipresentasikan oleh dua Kecamatan yakni kecamatan Kejajar yang masuk kabupaten Wonosobo dan kecamatan Batur yang masuk kabupaten Banjarnegara (Sumedi, 2010: 55) Dengan demikian batasan wilayah penelitian utama meliputi 15 desa yang semuanya masuk di wilayah Kecamatan Kejajar dan 2 desa yang masuk wilayah kabupaten Banjarnegara (lihat gambar 1.1). Adapun ke 15 desa tersebut adalah : Desa Kreo, desa Serang, desa Kejajar, desa Tieng, desa Patakbanteng, desa
13
Parikesit, desa Jojogan, desa Surengede, desa Igirmranak, desa Dieng Wetan, desa Sembungan, desa Sikunang, desa Campursari, desa Buntu, dan desa Tambi yang termasuk Kecamatan Kejajar, sedangkan desa-desa yang berada di Kabupaten Banjarnegara adalah desa Dieng Kulon, desa Sumberejo yang masuk Kecamatan Batur. Meskipun demikian, mengingat masih banyaknya jumlah desa dalam wilayah penelitian utama, di dalam proses penelitian peneliti bergerak dari satu desa ke desa lainnya secara snowball sesuai dengan informasi yang diterima oleh gatekeeper. Dari hasil minitour ada 4 desa yaitu desa Patakbanteng, desa Kreo, desa Serang, dan desa Tieng, yang di dalamnya paling banyak ditemukan informasi tentang bagenen dan botolan dan informasi yang berkaitan dengan keduanya, sehingga pada tahapan selanjutnya penggalian data secara intensif dan lebih mendalam banyak dilakukan di desa-desa tersebut.
14
Gambar 1.1 Wilayah Penelitian 15 desa di Kecamatan Kejajar dan 2 desa di Kecamatan Batur. Sumber : RTRW Kabupaten Wonosobo 2001
H.
Sistematika Pembahasan Adapun sistematika pembahasan Disertasi ini adalah sebagai berikut:
Bab satu, pendahuluan; menguraikan tentang latar belakang masalah, penentuan fokus penelitan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan penelitian dan sistematika pembahasan. Bab dua, kajian teori; berisikan teori-teori ataupun hasil hasil penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan fokus penelitian seperti tentang; Ruang dan Arsitektur, Permukiman sebagai wujud kebudayaan, Permukiman di Jawa, Permukiman di Pegunungan, dan Kisi-kisi teoritik.
15
Bab tiga, cara penelitian; berisikan tentang paradigma fenomenologi, jalannya penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan cara pengolahan data dengan paradigma fenomenologi. Bab empat, gambaran wilayah penelitian, berisikan tentang letak geografis dan kondisi alam Pegunungan Dieng, kemudian tradisi Masyarakat di Pegunungan Dieng antara lain; Merdi desa, bebersih, nyelameti kali, baritan, riyoyo, pemotongan rambut gembel, serta tradisi pengajian rutin seperti; Khaul Syekh Abdullah Selomanik, Muludan, dan pengajian Sabtu pahing. Selanjutnya adalah tentang kebiasaan masyarakat di Pegunungan Dieng seperti; genen, kebiasaan berkumpul di rumah orang tua, karing. Solidaritas Masyarakat di Pegunungan Dieng. Islam di Pegunungan Dieng, dan yang terakhir tentang pertanian di Pegunungan Dieng. Bab lima, elemen-elemen permukiman di Pegunungan Dieng; berisikan tentang hasil temuan empiris elemen-elemen permukiman yang meliputi; Rumah di Pegunungan Dieng, Bagenen, Latar ombo, Lapangan, Botolan, Jalan latar dan jalan tritian, dan jalan terabasan. Bab tujuh, konsep-konsep yang membentuk permukiman di Pegunungan Dieng; berisikan konsep yang ditemukan yang membentuk permukiman di Pegunungan Dieng yaitu; konsep terhubung, konsep nyepetno lakon, dan konsep brayan. Bab delapan, “Tunggal bagenen-botolan sebagai kesadaran transendental pada pembentukan permukiman di Pegunungan Dieng, berisikan pembahasan proses pembentukan teori yang meliputi; “ Tunggal bagenen-botolan” sebagai dasar pembentuk permukiman di Pegunungan Dieng, Wujud “ Tunggal bagenenbotolan” pada skala makro, Wujud “ Tunggal bagenen-botolan” pada skala meso, I dan Wujud “ Tunggal bagenen-botolan” pada skala mikro, serta “ Tunggal bagenen-botolan” sebagai wujud kesadaran intensional dan transendental pada pembentukan permukiman di Pegunungan Dieng. Bab sembilan, dialog teoritis; berisikan dialog kasus dan dialog teori. Dialog kasus dengan Permukiman tradisional desa Ellak daya Kabupaten Sumenep dan Permukiman masyarakat Tengger. Dialog dengan temuan-temuan penelitian tentang perapian, temuan penelitian tentang butulan, temuan penelitian tentang
16
halaman bersama, lapangan pada permukiman Jawa kuno, dan konsep brayan dalam tradisi Jawa dan Islam. Dan dialog dengan teori Doxiadis (1971) dan linkage theory (Trancik, 1989). Bab sepuluh, kesimpulan; berisikan kesimpulan dari penelitian disertasi, yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan dan saran-saran bagi pembangunan permukiman di Pegunungan Dieng.
17