BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota budaya dan kota pendidikan merupakan julukan yang terkenal bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut Jogja saja). Kota ini tidak pernah sepi dari kehadiran pendatang dari luar kota yang akan belajar maupun berwisata. Sebagai kota budaya, kota ini selalu terjaga keaslian dan keindahan seni dan budayanya, yang sampai sekarang masih terdapat di dalam lingkungan istana raja dan daerah-daerah sekitarnya, sehingga Jogja merupakan salah satu pusat sumber kebudayaan Jawa. Menurut Dinas Pariwisata DIY (2010:11) bahwa peninggalan seni dan budaya masih dapat disaksikan terpahat di monumenmonumen peninggalan sejarah seperti candi-candi, Keraton Kesultanan dan tempat lainnya yang sampai sekarang masih dipertahan dan dilestarikan keberadaannya. Peninggalan itu semua sebagai hasil karya leluhur yang memperkuat kesan Jogja sebagai daerah yang memiliki nilai-nilai budaya dan tradisi yang menarik. Wisata adalah kegiatan yang tidak terlepas dari kehidupan manusia. Setiap orang butuh berwisata dengan tujuan bersenang-senang dan mendapatkan pengalaman baru. Kegiatan wisata merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak faktor, baik penyedia pariwisata, wisatawan, maupun hal-hal yang mendukung kegiatan wisata seperti ketersediaan atraksi, amenitas dan
aksesibilitas wisata. Semua itu merupakan rangkaian yang saling menunjang satu sama lain dengan harapan dapat menghasilkan pelayanan wisata yang baik. Pelayanan wisata merupakan usaha yang dilakukan dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan wisatawan, baik kebutuhan akan atraksi budaya, berinteraksi dengan penduduk lokal dan lain sebagainya. Jogja menawarkan banyak atraksi budaya dan keunikan yang membedakannya dengan daerah lain. Bagi yang pernah berkunjung ke Jogja, tidak asing lagi dengan salah satu transportasi yang bernama becak. Di kota gudeg ini becak dikenal sebagai alat transportasi ramah lingkungan dimana wisatawan dapat berkeliling menikmati wisata budaya, wisata pendidikan, wisata sejarah, wisata kuliner dan wisata belanja. Becak memang memberikan daya tarik bagi para wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Angkutan umum yang dinilai tradisional ini merupakan salah satu pelengkap unsur budaya Jogja. Di Indonesia becak makin susah ditemui di beberapa kota besar, lain halnya dengan keberadaan becak di kota Jogja. Sejarah keberadaan becak di Kota Jogja ini pada awalnya merupakan alat transportasi nomor dua setelah Andong. Kini, meskipun dominasinya sudah tergusur oleh “pesaing dari Jepang”, becak masih menyisakan jumlah yang cukup besar. Menurut Kabare (2008), data Dinas Perhubungan Kota Jogja 2008 menunjukkan ada 142 Paguyuban Becak di wilayah Kota Jogja. Sedangkan jumlah becak yang beroperasi di seluruh wilayah kota sendiri mencapai 8.000 unit dimana jumlah ini masih belum berubah hingga tahun 2013. Jarot (2013)
melaporkan bahwa maksimal jumlah becak yang ada dikota Jogja adalah sekitar 8.000 unit. Dari keseluruhan jumlah becak ini baru 7.500 unit yang terdaftar di Dinas Perhubungan Kota Jogja dengan melakukan registrasi surat ijin operasional kendaraan tidak bermotor hingga akhir tahun 2012. Jumlah becak terbanyak berada di Malioboro. Di ruas jalan ini, nyaris di semua titik bisa ditemukan sekumpulan becak ngetem menunggu penumpang. Tercatat 142 paguyuban becak di wilayah Kota Jogja (Kabare, 2008), ada sekitar 45 paguyuban becak yang terdapat di sepanjang 1,5 km Jalan Malioboro (Wicaksono, 2012). Total kesemua paguyuban ini beranggota sebanyak 1.080 pengemudi becak. Mereka beroperasi bergantian dengan mengatur waktu siang dan malam. Keberadaan becak dianggap telah menjadi bagian dari identitas budaya Jogja. Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bahwa becak dapat dijadikan ciri penanda budaya Jawa, sehingga harus selalu dijaga kelangsungan hidupnya (Regolidjo, 2012). Keberadaan becak Jogja telah mengakar menjadi bagian dari sistem transportasi kota, sekaligus menjadi bagian dari kepariwisataan. Becak menjadi multifungsi, selain sebagai alat transportasi masyarakat umum juga menjadi sarana angkutan wisata bagi wisatawan untuk berkeliling kota. Angkutan ini memang tidak dilengkapi dengan argometer seperti angkutan umum taksi pada umumnya, sehingga proses tawar menawar pun menjadi penting agar mendapat kejelasan harga serta kepuasan dalam membayar jasa. Penumpang pada dasarnya berharap ongkos yang sesuai dengan willingness to pay atau
keinginan penumpang menetapkan harga sesuai kemampuannya, tawar menawar yang cukup jelas serta sikap kritis dari calon penumpang sehubungan dengan tujuan objek wisata yang ingin dilihat. Kejelasan tujuan kemungkinan menjadi dasar ukur dalam tawar menawar ongkos jasa. Menurut Kepala Bidang Pembinaan Penggembangan Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Jogja, Tri Mulatsih (Wijayanti, 2012), sejumlah wisatawan masih mengeluhkan pelayanan becak. Ia mencontohkan ada penarik becak yang meninggalkan penumpang dengan berbagai alasan. Sebagian pengemudi becak lupa ataupun tidah tahu akan arti sebuah layanan jasa, dan lebih mengutamakan kepentingan dan keuntungan pribadi saja. Ada wisatawan yang mengatakan pengemudi becak di Jogja ramah dan baik hati dengan biaya jasa murah, namun tidak sedikit wisatawan yang mengatakan bahwa pengemudi becak di Jogja itu brengsek, tidak sopan bahkan memaksa-maksa penumpang (Harry, 2011). Akhirnya citra becak dan pengemudi becak di kota Jogja mulai buruk, sehingga semakin banyak wisatawan yang enggan menggunakan jasa transportasi becak pada waktu berkunjung ke kota Jogja (Kabid Pariwisata dan Budaya Tri Mulatsih dalam Jarot, 2012) Beberapa contoh buruknya pelayanan becak seperti dipaparkan oleh beberapa wisatawan yang pernah mengunakan layanan becak wisata ini. Kisah perjalanan Warta yang ditulis di dalam blognya (Warta, 2010). Warta merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan pengemudi becak. Caci maki dari pengemudi becak terpaksa dia terima saat menggunakan sarana angkutan ini.
Selain itu Hanri (2009) merasa dibohongi pengemudi becak karena berharap minta di antarkan balik ke hotelnya yang berlokasi agak jauh dari kawasan Malioboro, namun malah diajak berputar-putar ke Keraton dan ujung-ujungnya diturunkan di dekat Malioboro serta diminta membayar ongkos lebih. Sementara Mita (2012) yang merupakan pengalaman pertama berkunjung ke Jogja, merasa ditipu pengemudi becak dengan ongkos yang tidak sesuai dengan jarak tempuh ke tujuan. Perjalanan 500 meter harus dibayar sebesar 25.000 rupiah. Fridica (2011) merupakan seorang wisatawan lokal yang pernah diturunkan paksa oleh pengemudi becak serta dimaki-maki oleh pengemudi becak tersebut. Demikian pula dengan Relly (2009), memaparkan bahwa kasus-kasus pengunjung dimarahi pengemudi becak karena setelah diajak keliling dengan harga murah, namun tidak belanja apa-apa ataupun kasus penumpang ditinggal pengemudi becak di tempat asing karena tidak berbelanja. Relly juga menambahkan, banyak pula pengemudi becak yang berprilaku seperti preman yang suka mabuk-mabukan dan lain-lain yang menyebabkan tega melakukan itu. Mengutip perkataan Tri Mulatsih dalam (Jarot, 2012), menekankan bahwa jangan sampai pengemudi becak ini justru membuat takut wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Ketakutan merupakan salah satu dampak dari ketidakpusan yang diterima oleh konsumen. Becak dengan segala daya tarik wisatanya menuai sejumlah persepsi tingkat kepuasan. Keberhasilan kegiatan wisata salah satunya ditentukan oleh kualitas pelayanan yang diberikan kepada para wisatawan, karena kualitas pelayanan dipercaya berbanding lurus dengan
kepuasan wisatawan, dan jika kepuasan wisatawan terpenuhi tentunya peluang usaha untuk lebih maju terbuka luas (Yoeti, 2003) Seiring berjalannya waktu konsep pelayanan yang berkualitas menjadi tuntutan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa. Konsumen menilai kualitas umumnya setelah mereka menerima jasa atau pelayanan. Penilaian atas jasa tersebut setelah membandingkan antara harapan dan kinerja aktual (Parasuraman et. al, 1985). Evaluasi terhadap pelayanan menghasilkan kepuasan atau ketidak puasan. Kepuasan menunjukkan bahwa performa produk sesuai dengan harapan pengguna jasa (Oliver, 1980). Ketidak puasan merupakan hasil dari kinerja yang tidak sesuai dengan harapan konsumen. Pandangan lain menyebutkan bahwa kepuasan dan ketidak puasan dibandingkan antara pengalaman dan harapan (Cadotte, 1987). Banyak metode yang dapat dilakukan dalam mengukur atau mengetahui tingkat kepuasan konsumen setelah menggunakan jasa layanan. Parasuraman & Zeithaml (1988) dan Zeithaml dan Bitner (2006) menjelaskan lima dimensi pokok kualitas jasa, yaitu kompetensi, kesopanan, kredibilitas, dan keamanan disatukan menjadi jaminan (assurance). Sedangkan akses, komunikasi, kemampuan memahami pelanggan diintegrasikan menjadi empati (empahty). Dengan demikian terdapat lima unsur pokok yang dapat dijadikan tolok ukur kualitas pelayanan yaitu kehandalan dan akurasi (reliability), sikap tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), empati atau perhatian secara personal (empathy) dan fasilitas atau bukti fisik (tangibles).
Sebelum wisatawan menggunakan layanan becak wisata Jogja, mereka memiliki harapan tentang kualitas jasa yang didasarkan pada kebutuhankebutuhan pribadi, pengalaman sebelumnya, rekomendasi dari mulut ke mulut, sebagainya. Ukuran-ukuran dalam bentuk dimensi jasa jika dipersepsikan menyenangkan (positif) atau memenuhi harapan akan menimbulkan kepuasan dalam konsumsi jasa dan memandang jasa yang dikonsumsi memiliki kualitas yang baik yang akan menciptakan kepuasan pelanggan (Lovelock & Wright, 2007). Becak wisata sebagai objek daya tarik wisata budaya sekaligus sebagai alat transportasi, mengundang keunikan tersendiri bagi wisatawan untuk mengunakan layanan jasa ini. Pengalaman yang diperoleh wisatawan akhirnya akan dirasa memuaskan atau tidak sama sekali. Dengan demikian penelitian ini akan menganalisis tingkat kepuasan penumpang becak terhadap pelayanan yang diberikan oleh becak wisata Jogja ditinjau dari dimensi-dimensi kualitas jasa. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk menilai kepuasan pelanggan terhadap kualitas keseluruhan jasa ditinjau dari dimensi-dimensi kunci yang terbentuk dari atribut kualitas jasa, sehingga dapat diketahui dimensi yang perlu dipertahankan kinerjanya maupun dimensi yang perlu ditingkatkan kinerjanya, ataupun kemungkinan dimensi ini sama sekali tidak memuaskan bagi wisatawan.
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan tujuan di atas maka pertanyaan penelitian ini adalah: a) Seberapa besar tingkat kepuasan pengguna becak wisata Jogja terhadap kualitas pelayanan becak wisata Jogja? b) Diantara dimensi kualitas jasa yang digunakan yaitu reliabilitas, daya tanggap, jaminan, empati, bukti fisik, manakah yang paling memberikan nilai kepuasan pengguna becak wisata Jogja? 1.4. Manfaat Penelitian a) Sebagai bahan masukan bagi Dinas Pariwisata Yogyakarta, LSM Pariwisata, dan organisasi pariwisata lainnya dalam rangka menentukan strategi dalam pengambilan keputusan mengenai pelayanan dan kepuasan wisatawan pengguna jasa becak di kawasan Yogyakarta. b) Sebagai menambah khasanah penelitian pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada khususnya Program Study Kajian Pariwisata. c)
Sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat selama mengikuti perkuliahan khususnya terhadap kepuasan wisatawan pengguna becak Malioboro.
d) Sebagai referensi bagi penelliti lainnya dalam melakukan penelitian yang sama di masa yang akan datang.
1.5. Keaslian Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan kepada pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan wisatawan dalam menggunakan jasa becak wisata di kawasan Malioboro Yogyakarta. Adapun penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dipaparkan pada tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Sumber: Penelitian Terdahulu No
1
Peneliti Heriyadi (2007)
Judul
Assisting The Vulnerable: From Vulnerability Towards Security :
A Case Study On Assistance Activities Conducted By Cd Bethesda For becak Drivers In Yogyakarta City
Tujuan
Mengetahui tingkat kesejahteraan pengemudi becak Jogja yang Dikelola olrh LSM Bethesda Jogja.
Parameter Becak wisata dikategorikan sebagai: - SDM yang miskin, pendidikan yang rendah, miskin keterampilan, keterbatasan akses kesehatan, asuransi - Miskin modal dan penghasilan rendah, keterbatasan akses terhadap kredit
Hasil dan kesimpulan
Becak dianggap sebagai asset dan karakteristik keunikan khas Jogja dan menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tukang becak masih terabaikan kehidupannya, butuh subsidi dari pemerintah. Dibutuhkan pengelolaan dan pengendalian jumlah tukang becak untuk menghindari populasi becak di Jogja.
- Modal fisik yang buruk - Miskin modal social, keterbatasan jaringan social.
2
3
Budiono, Gatut L (2004)
Rante, Sebastianus (2003)
Kepuasan wisatawan terhadap kualitas pelayanan objek wisata Gunung Bromo
Perilaku Disiplin Lalu Lintas Ditinjau Dari Persepsi Sosial Terhadap Polisi Dan Locus Of Control
Mengetahui signifikansi hubungan dimensi kualitas pelayanan terhadap kualitas kepuasan wisatawan
Meneliti hubungan antara persepsi sosial terhadap polisi dalam
Dimensi kualitas pelayanan -
professionalism
-
tangibility
-
complementary offer
-
basic benefit
-
location
Persepsi sosial dilandasi atas tiga konstruk: - Peran yang diemban
Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas pelayanan objek wisata dengan kepuasan wisatawan, terjadi hubugan yang sangat kuat dalam sektor wisata budaya, keterpeliharaan keindahan alam, kenyamanan lingkungan objek.
Semakin positif persepsi sosial terhadap polisi, maka semakin tinggi disiplin lalu lintas. Demikian pun sebaliknya, semakin negatif
4
5
Rumfabe, Steven (2002)
Huh, Jin (2002)
Internal Pada Pengendara becak Di Kota Yogyakarta
membentuk prilaku disiplin berlalu lintas pada akalangan pengemudi becak di Jogja.
Evaluasi implementasi Perda Nomor 11 tahun 1995 tentang ijin kendaraan tidak bermotor khusus becak di Kecamatan Wamena
Mengevaluasi implementasi kebijakan pengelolaan becak sebagai sarana transportasi rakyat di Kota Wamena sehingga dapat diketahui tujuan dan operasianalnya telah terwujud
Evaluasi formal digunakan dengan alasan bahwa objek penelitian adalah produk hukum formal dalam bentuk peraturan daerah. Tipe-tipe evaluasi formal:
Mengetahui hubungan kepuasan dan ekspectasi wisatawan terhadap atribut objek wisata budaya berdasarkan karakteristik demografi dan karakteristik tingkah laku.
-
Tingkat kepuasan (satisfaction)
-
Tingkat harapan (expectation)
-
Atribut ODTW
Mendeskripsikan, strategi kelangsungan hidup tukang becak ditelaah pula pada bentukbentuk strategi yang dilakukan para tukang becak untuk bertahan hidup.
- Deskripsi Usaha
Tourist Satisfaction with Cultural /Heritage.
Sites: The Virginia Historic Triangle
6
Salem, Veronike Eunike T (1998)
Strategi kelangsungan hidup tukang becak (Studi kasus tukang becak yang mangkal di kawasan Malioboro Yogyakarta)
- Ciri-ciri kepribadian - Karakteristik fisik
- Kontrol secara langsung dan tidak langsung terhadap evaluasi perkembangan yang bersifat eksperimental.
- Optimalisasi tenaga kerja keluarga - Jaringan sosial sesame tukang becak - Jaringan dengan pengusaha (toko, kios)
persepsi sosial terhadap polisi dan semakin rendah semakin rendah disiplin lalu lintas. Kata kunci: persepsi sosial terhadap polisi lalu lintas, dan disiplin lalu lintas. Becak memudahkan perjalanan jarak pendek, becak membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Wamena, pendapatan pengemudi becak relatif rendah, kepemilikan becak masih dimiliki oleh pengusaha becak dan bukan dimiliki oleh pengemudi becak sendiri.
Mengetahui harapan wisatawan terhadap ODTW budaya sehingga beberapa rekomendasi dapat dibuat untuk meningkatkan kepuasan wisatawan. Dengan mengetahui tingkat kepuasan dapat memahami kebutuhan wisatawan sebenarnya, mengetahui kepuasan wisatawan dapat membantu mengurangi biaya promosi dan menjaga pariwisata yang berkelanjutan.
Kenyataan kehidupan sosial tukang becak diwarnai segala ketidakcukupan akan kebutuhan sehari-hari. Kedua, bentuk-bentuk strategi agar bisa bertahan hidup, maka diversifikasi merupakan pekerjaan sampingan, dimana didapatkan tukang becak melakukan kerja tukang parkir; Tiga, mengoptimalisasikan tenaga kerja keluarga. Keempat, jaringan dengan sesama tukang becak.