BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pekalongan merupakan kota yang terkenal dengan sebutan kota batik. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bahwa sejak ratusan tahun yang lalu sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah sehingga batik menyatu erat dengan kehidupan
masyarakat
Pekalongan
(http://www.pekalongankota.go.id/selayang-
pandang/sejarah-singkat). Berbagai macam corak batik yang khas berkembang di kota pesisir ini. Jalan-jalan utama di Pekalongan dihiasi oleh papan-papan reklame iklan dan toko-toko batik. Pasar grosir dan wisata kampung batik berkembang di kota ini. Perkampungan-perkampungan di Pekalongan sibuk dengan berbagai kegiatan yang digerakkan bisnis batik. Geliat industri batik begitu terasa di kota ini. Kegiatan-kegiatan industri batik ini ditopang oleh kerja para buruh batik, para karyawan yang memasarkan batik serta pengusaha batik yang mengelola bisnis ini. Relasi antara individu-individu ini membentuk suatu tatanan sosial yang menempatkan pengusaha batik sebagai orang terpandang dan buruh batik sebagai orang yang memiliki ketergantungan kepada pengusaha. Weber (2006), seorang tokoh sosiologi terkemuka, menjelaskan bahwa tatanan sosial adalah cara penghargaan sosial didistribusikan dalam suatu komunitas di antara berbagai kelompok yang berpartisipasi dalam distribusi tersebut. Pengusaha batik Pekalongan, sebagai pihak yang memiliki sumber daya ekonomi lebih serta berperan sebagai penyedia lapangan kerja, mendapatkan penghargaan sosial yang tinggi di antara kelompok-kelompok lain. Peran sebagai penyedia lapangan kerja inilah yang membuat buruh batik menggantungkan hidupnya pada pengusaha batik.
1
2 Kajian ilmu sosial mengenal adanya fenomena pelapisan masyarakat atau pelapisan sosial. Pelapisan sosial secara sederhana merupakan pembedaan penduduk atau anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (Soekanto, 2010). Perbedaan ini bisa didasarkan atas ukuran kekayaan, kekuasaaan, kehormatan, ilmu pengetahuan atau ukuranukuran lain. Fenomena pelapisan ini tampak dalam masyarakat batik Pekalongan. Jurang pemisah antara kehidupan pengusaha dan buruh tampak jelas meskipun kedua belah pihak memiliki hubungan interpersonal yang dekat. Jurang yang seakan memisahkan sisi daerah yang makmur dan daerah yang memprihatinkan. Jurang yang seakan membatasi kemungkinan buruh untuk menjadi pengusaha. Sebuah kenyataan yang menarik mengemuka dibalik fenomena pelapisan masyarakat ini. Peneliti menemukan beberapa orang pengusaha batik yang sebelumnya merupakan buruh batik. Pengusaha sukses yang memulai karirnya sebagai buruh. Pengusaha yang datang dari kelas yang berbeda. Fenomena transformasi ini dalam kajian sosiologi disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Soekanto (2010) berpendapat bahwa sesuai dengan arahnya, maka terdapat dua jenis gerak sosial yang vertikal, yaitu yang naik (social climbing) dan yang turun (social-sinking). Mobilitas sosial pada pengusaha batik Pekalongan ini terjadi pada orang-orang yang berasal dari kedudukan yang rendah menuju ke kedudukan yang lebih tinggi sehingga disebut social climbing. Wawancara pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap pengusaha batik ini menemukan tema-tema motivasi berprestasi dalam proses social climbing. Subjek memunculkan tema-tema ini pada saat peneliti mewawancari mereka tentang bagaimana mereka melewati tahapan-tahapan dari buruh menjadi pengusaha batik. Motivasi berprestasi (n.Ach) secara umum dipahami sebagai motivasi untuk sukses, mencari keunggulan dan untuk bekerja keras mencapai tujuan (Argyle, 1994). McClelland(1987) berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi
3 memiliki rasa tanggung jawab personal terhadap performansi, memiliki kebutuhan untuk mendapat umpan balik atas performansinya serta inovatif. Karakteristik-karakteristik ini tampak pada hasil wawancara yang peneliti lakukan. Subjek tampak memiliki rasa tanggung jawab personal terhadap performansinya. Hal ini salah satunya tampak dari pernyataannya tentang proses pekerjaan yang ia kerjakan saat menjadi buruh. Subjek merasa harus bisa mengerjakan tugas-tugasnya dan hal itu harus bisa menjadi pelajaran baginya. “Aku harus bisa nglorot, melepas-lepas lilinnya itu, itu harus bisa. Kenopo sih kok dilorot susah? Ooh ini dari lilinnya. Kenapa sih batik dicap kok gak bisa pecah? Ini dari lilinnya. Kenapa kok dicap bisa pecah, remuk ga jadi batik yang bagus, ini direject, ini jadi eee..opo ee..apa itu jadi rusak. Lha ini kenapa? Oo ini dari lilinnya, ini pengalaman paling banyak saya di sini.”(W1S1 B111-116) Petikan pernyataan subjek di atas menunjukkan keinginan untuk bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis yang mendukung performansinya. Subjek beranggapan bahwa Ia harus dapat melakukan proses cap dan melepaskan lilin dari kain yang telah melalui proses pewarnaan. Kegagalan dalam beberapa performansinya membuat subjek mencari jawaban atas permasalahan tersebut. Subjek memiliki rasa tanggung jawab terhadap performansi pribadinya demi keberhasilan pekerjaannya. Subjek juga tampak memiliki usaha untuk melakukan inovasi terhadap batik-batik yang subjek produksi. Usaha ini terutama dilakukan dengan membuat model batik baru melalui eksperimen-eksperimen yang subjek lakukan. “...kita buat eksperimen. Satu potong kita bikin, kita oplos obat-obat pewarna itu di mana-mana itu. Terus kita ikut orang juga pernah dari awal sampe akhir saya nunggu di rumah, rumah kosong saya cuma dikasih nasi dan kecap sama abon, krupuk udah. Dari kain putih saya warnai sendiri tak cap sendiri tak lorot, itu sebuah pelajaran luar biasa.”(W1S1 B158-163) Subjek mencoba membuat berbagai macam batik yang berbeda pada beberapa lembar kain. Subjek mencoba melakukan tahapan-tahapan pembatikan dari awal hingga akhir dengan
4 variasi percobaan yang berbeda sehingga menghasilkan batik yang berbeda pula. Proses inovasi ini merupakan pelajaran yang berharga menurut subjek. Subjek menunjukkan bahwa dirinya memiliki kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas hasil kerjanya. Subjek berpikir bagaimana cara agar konsumen menyukai hasil karyanya. Kepuasan konsumen merupakan hal yang dicari subjek. “Kudu berusaha ben apik, konsumene ben seneng kepriye raa. Kokui raa, wes ngono tok. Untung rugi ke ngko wes keri. Nyenengke konsumen ndisik. Konsumen seneng baru untung rugine kita sing ngutak atik dewe.” (W1S2 B93-97) Petikan di atas memiliki arti: ”Harus berusaha agar hasilnya bagus dan konsumen senang entah bagimana caranya. Seperti itu. Untung dan rugi urusan belakangan, yang penting konsumen senang. Setelah konsumen senang, baru kita berpikir bagaimana bisa mendapatkan untung.” Subjek membuat batik berdasarkan selera konsumen. Subjek berusaha dengan berbagai cara agar produknya disukai konsumen sehingga umpan balik dari konsumen merupakan bahan evaluasi kinerjanya. Subjek juga bekerja sebagai buruh dalam rangka memahami proses produksi batik agar suatu saat nanti subjek bisa keluar dan mendirikan bisnis batiknya sendiri. Kemauan belajar tampak dalam hasil wawancara ini. “Artinya kita bekerja tapi kita punya planning. Jangan asal. Tenaga tetep kita curahkan semua tapi harus kita itu ada planning... kita harus sekian bulan, sekian tahun harus kita itu bisa tahu persis keadaan untuk pembuatan atau produk-produk yang dikelola dari awal sampai akhir”(W1S1 B6-9) Kutipan di atas menunjukkan bahwa tujuan awal dari keputusan subjek untuk menjadi buruh bukan semata-mata mencari uang namun juga dalam rangka mencari pengalaman dan pengetahuan tentang proses produksi batik. Hal ini mengindikasikan adanya semangat belajar yang tinggi dalam proses social climbing yang subjek alami. Beberapa kutipan wawancara di atas menunjukkan bahwa subjek memiliki karakteristik-karakteristik individu dengani motivas berprestasi yang tinggi yang diusulkan
5 McClelland (1987) yaitu, memiliki rasa tanggung jawab personal terhadap performansi, memiliki kebutuhan untuk mendapat umpan balik atas performansinya serta inovatif. Subjek menampilkan karakteristik-karakteristik ini dalam perilakunya selama proses bertransformasi dari buruh batik menjadi pengusaha batik. Motivasi berprestasi yang tinggi inilah yang mendorong buruh-buruh ini berhasil melewati proses transformasi yang panjang menjadi pengusaha batik. Proses yang juga membawa buruh-buruh ini mencapai tingkatan yang lebih tinggi dalam sistem pelapisan sosial. Terkait hubungannya dengan pelapisan sosial, McClelland (dalam Argyle, 1994) berpendapat bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi yang jelas antar kelas sosial. Kelas sosial yang tinggi menunjukkan skor motivasi berprestasi yang tinggi sedangkan kelas sosial yang rendah menunjukkan skor motivasi berprestasi yang rendah. Kulit hitam Amerika sebagai kelas terendah memiliki skor motivasi berprestasi yang paling rendah jika dibandingkan dengan yang lain (Argyle, 1994). Beberapa studi dapat menjawab mengapa perbedaan kelas sosial dapat memengaruhi skor motivasi berprestasi. Sejumlah studi sosiologi di Amerika Serikat dan Inggris menemukan fakta menarik. Studi itu menemukan bahwa keluarga kelas menengah disana lebih mungkin menggunakan pola asuh dengan kesadaran bahwa mereka harus menyiapkan anak-anak mereka dalam setting sosial dimana kompetisi individu dan prestasi dibutuhkan dalam pencapaian kesuksesan. Setting sosial tersebut juga harus menekankan individu memiliki tanggung jawab personal pada kesuksesan atau kegagalan (Argyle, 1994). Hal ini menyebabkan anak-anak dari keluarga kelas menengah tumbuh dengan stimulus yang cukup dalam pengembangan motivasi berprestasinya. Bagaimana dengan motivasi berprestasi para pengusaha batik di Pekalongan yang bukan berasal dari keluarga kelas menengah namun berasal dari kelas bawah atau kelas pekerja?Argyle (1994) berpendapat bahwa orang-orang yang mengalami mobilitas sosial
6 ke atas atau social climbing juga memiliki skor motivasi berprestasi yang tinggi. Penelitian-penelitian yang mendukung pendapat Argyle ini sayangnya belum menjawab bagaimana dinamika pembentukan motivasi berprestasi pada kasus pengusaha atau wiraswasta. Cassidy dan Lynn (dalam Argyle, 1994) hanya menjelaskan bahwa motivasi berprestasi dapat memprediksi kemana kelas sosial pemuda nantinya melalui performansi akademik. Studi yang dilakukanMcClelland (1987) juga baru mengungkapkan bahwa para mahasiswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi mempraktikkan beberapa perilaku yang secara teoretis dapat membawa mereka ke arah kewirausahaan yang sukses. Studi yang dilakukan Collins, Hanges, & Locke(2004) tampaknya mulai memberi pencerahan. Studi menghasilkan kesimpulan bahwa motivasi berprestasi berhubungan secara signifikan pada performansi pengusaha. Studi ini juga menyimpulkan bahwa individu yang mengejar karir sebagai pengusaha memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi ketimbang individu yang mengejar karir jenis lain. Pernyataan-pernyatan subjek dalam wawancara pendahuluan menunjukkan adanya motivasi berprestasi dalam diri subjek selama proses transformasi menjadi pengusaha batik. Penelitian-penelitian terdahulu belum menjawab bagaimana dinamika motivasi berprestasi dalam proses transformasi antar kelas sosial ini. Peneliti juga melihat bahwa tak banyak fenomena mobilitas sosial atau social climbing yang diteliti menggunakan perspektif psikologi. Selama ini penelitian tentang motivasi berprestasi belum banyak berkaitan dengan social climbing. Begitu pula penelitian tentang social climbing yang lebih banyak menggunakan perspektif studi sosial seperti sosiologi atau studi pembangunan. Beberapa hal diatas memberi inspirasi kepada peneliti untuk mengangkat tema ini sebagai sebuah penelitian dengan judul ”Motivasi Berprestasi Buruhyang BertransformasiMenjadi Pengusaha Batik di Pekalongan: Usaha Menembus Langit”.
7 Gagasan ini juga muncul sebagai upaya memperkaya kajian-kajian psikologi mengenai kelas sosial dengan latar Kota Pekalongan. Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan khazanah baru dalam penelitian psikologi di Indonesia. B. Keaslian Penelitian Penelusuran yang peneliti lakukan di Perpustakaan Fakultas Psikologi UGM dan beberapa publikasi penelitian online tidak menemukan penelitian yang serupa dengan penelitian ini. Penelitian ini meneliti motivasi berprestasi beberapa buruh yang kemudian berhasil melakukan proses social climbing sehingga mereka saat ini menjadi pengusaha batik. Pada umumnya penelitian tentang motivasi berprestasi yang ada di Perpustakaan Fakultas Psikologi UGM berfokus pada motivasi berprestasi dalam konteks pendidikan dan organisasi. Metode yang banyak digunakan juga lebih banyak bersifat mengkonfirmasi teori ketimbang bersifat grounded theory seperti penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian yang hampir serupa, yang peneliti temukan, adalah penelitian tesis yang berjudul “Hubungan antara Optimisme dan Nilai Tradisi dengan Motivasi Berwirausaha pada Wanita Perajin Batik di Paguyuban Batik Tulis Giriloyo (PBTG)” karya Putri Rahmayani. Penelitian mahasiswa Program Magister Sains Psikologi UGM ini secara judul, metode dan objek penelitian tetap memiliki perbedaan dengan penelitian skripsi yang peneliti lakukan. Tesis yang peneliti temukan meneliti tentang motivasi berwirausaha yang salah satu aspeknya adalah motivasi berprestasi sedangkan penelitian yang peneliti lakukan hanya berfokus pada motivasi berprestasi saja. Paradigma penelitian yang duigunakan juga berbeda. Tesis yang peneliti lakukan menggunakan paradigma penelitian kuantitatif sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berparadgima kualitatif. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana dinamika motivasi berprestasi pada fenomena transformasi buruh batik menjadi pengusaha batik di
8 Pekalongan. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada Pemerintah Kota Pekalongan agar dapat memanfaatkan motivasi berprestasi dalam upaya pengembangan kewirausahaan dan peningkatan kelas sosial di Pekalongan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan khazanah baru dalam penelitian psikologi di Indonesia. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian psikologi sosial secara umum, studi tentang motivasi dan mobilitas sosial atau social climbing. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tema-tema tersebut. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada Pemerintah Kota Pekalongan dan pihak-pihak lain agar dapat memanfaatkan motivasi berprestasi dalam usaha pengembangan Pekalongan.
kewirausahaan
serta
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat