BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena global yang sering terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Bahkan masalah kesenjangan ekonomi ini telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi di negara berkembang sejak puluhan tahun lalu. Perhatian ini timbul karena ada kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara. Secara teoritik, masalah kesenjangan ekonomi tersebut dapat dijelaskan menggunakan hipotesis Neoklasik. Dari teori ini, muncul sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan suatu negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah. Menurut Bort (1960) dalam model analisisnya dengan menggunakan teori Neoklasik menunjukkan pada proses awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung melebar (divergen). Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar sehingga terkonsentrasi di daerah yang maju. Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya infrastruktur maka mobilitas faktor produksi akan semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Dapat disimpulkan sementara, pada wilayah berkembang umumnya kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan wilayah maju kesenjangannya akan menjadi lebih rendah. Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva yang membentuk U terbalik (Sjafrizal, 2008).
2
Hipotesis Neoklasik tersebut, kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson (1966) melalui studi tentang kesenjangan regional pada negara maju dan negara sedang berkembang menggunakan data time series dan cross section. Ukuran kesenjangan yang digunakan adalah Indeks Williamson. Hasil penelitiannya menunjukkan hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis terbukti benar secara empirik. Ini berarti proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap awal justru terjadi peningkatan kesenjangan (Sjafrizal, 2008). Seperti di negara berkembang, kesenjangan ekonomi antar wilayah juga terjadi di Indonesia. Kesenjangan ini berkaitan dengan strategi pembangunan Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi sejak masa orde baru. Sasaran pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi, namun tidak memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun aspek pemerataan sempat mendapatkan perhatian ketika urutan prioritas trilogi pembangunan diubah dari pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas pada Pelita II (1974-1979) menjadi pemerataaan, pertumbuhan, dan stabilitas dari pada Pelita III (1979-1984), namun inti tumpuan pembangunan Indonesia tetap saja pertumbuhan (growth bukan equity). Dalam praktiknya, pemerintah hanya menetapkan target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai, namun tidak menetapkan target mengenai tingkat kemerataan. (Dumairy, 1996). Kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi dalam berbagai dimensi, diantaranya kesenjangan antar kawasan, dimana kualitas hidup di Kawasan Barat dan Tengah Indonesia lebih baik dibandingkan Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan gambar 1.1 Indeks Mutu Hidup (IMH) Kawasan Barat dan Tengah
3
Indonesia lebih tinggi dari nilai IMH Indonesia, sedangkan nilai IMH Kawasan
IMH
Timur Indonesia lebih rendah dari nilai IMH Indonesia. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kawasan Barat Indonesia Kawasan Tengah Indonesia Kawasan Timur Indonesia Indonesia 1985
1980 Tahun
Sumber: BPS, 1990 Gambar 1.1 Nilai IMH Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985
Kesenjangan ekonomi di Indonesia Indonesia juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa. Ini tampak nyata berkenaan dengan implementasi kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia yang cenderung Jawa sentris. Aktivitas ekonomi lebih terpusat di Pulau Jawa sehingga beberapa wilayah di Pulau Jawa men mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding wilayah lain di luar Jawa. Pulau Jawa memiliki kontribusi yang tinggi sebesar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini dapat memicu arus perpindahan tenaga kerja terampil dari luar uar Jawa ke Jawa. Meskipun PDRB di Pulau Jawa menjadi tinggi, namun akan timbul masalah seperti bertambahnya pengangguran, muncul kawasan kumuh, dan meningkatnya angka kriminalitas. Tabel 1.1 PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010 (Juta Rupiah) Wilayah 2009 2010 Jawa 1.356.252.622 1.275.913.846 Luar Jawa 865.351.236 818.402.440 Indonesia 2.221.603.860 2.094.316.286 Sumber: BPS, 2010
4
Ketidakmerataan kesejahteraan di Indonesia tersebut, dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik dan kerawanan disintegrasi antar wilayah. Bila dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi antar wilayah harus mendapatkan penanganan dari pemerintah. Setidaknya harus dicari cara mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah sampai pada taraf rendah karena kesenjangan ekonomi itu sendiri tidak dapat dihilangkan secara sekaligus.
1.2 Perumusan Masalah Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia. Permasalahan ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Proses pembangunan ekonomi yang berjalan tidak merata di seluruh wilayah Indonesia dapat menimbulkan permasalahan sosisal dan ekonomi yang menganggu kestabilan perekonomian negara. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Pada program Pelita II (1974-1979), pembangunan difokuskan pada pembangunan berimbang antardaerah. Kebijakan yang dikeluarkan antara lain program Inpres berupa bantuan pembangunan, pendirian Bappenas, dan pembentukan Bappeda Tingkat I pada tahun 1974. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah mengganti urutan prioritas pembangunan yang pertama menjadi pemerataan, oleh karena itu pemerintah lebih meningkatakan program Inpres yang sudah dijalankan sebelumnya, membentuk lembaga-lembaga pembangunan desa, serta pendidiran Bappeda Tingkat II pada tahun 1980. Kemudian pada Pelita VI (1994-1999),
5
pembangunan ekonomi di Indonesia dititikberatkan pada pembangunan desa terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan adalah program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di seluruh daerah Indonesia. Upaya pemerintah tersebut ternyata kurang efektif dalam mengurangi kesenjangan
ekonomi
antar
wilayah
di Indonesia.
Berbagai kebijakan
pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sentralisasi pengambilan keputusan pada pemerintah pusat ini justru memperbesar inefisiensi karena banyak program pembangunan daerah yang dilakukan tidak sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Pada era Reformasi pemerintah menetapkan kebijakan otonomi daerah yang diharapkan efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Tujuan kebijakan otonomi daerah adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan makro strategis. Sedangkan pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kemandirian sehingga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi daerah. Pemerintah daerah beserta masyarakat lokal lebih mengetahui potensi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Sehingga pelaksanaan otonomi daerah dapat menghasilkan kebijakan pembangunan daerah yang efektif di seluruh wilayah Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan laju PDRB dan PDRB per kapita yang cukup tinggi di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah setelah pelaksanaan otonomi daerah.
6
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB PDRB Per Kapita (Persen) (Rupiah) 1998 2010 1998 2010 Kab.Cilacap -5,20 5,65 1.312.744 7.915.518 Kab.Banyumas -6,80 5,77 701.319 2.994.244 Kab.Purbalingga -8,27 5,95 772.048 2.975.283 Kab.Banjarnegara -4,15 4,89 1.016.178 3.324.296 Kab.Kebumen -13,03 4,15 749.777 2.539.670 Kab.Purworejo -6,49 5,01 922.476 4.337.763 Kab.Wonosobo -9,37 4,46 740.991 2.502.120 Kab.Magelang -3,14 4,51 956.704 3.483.379 Kab.Boyolali -9,51 3,59 1.009.232 4.565.187 Kab.Klaten -11,35 1,73 1.035.396 4.285.881 Kab.Sukoharjo -11,23 4,65 1.458.601 6.039.837 Kab.Wonogiri -4,67 3,14 756.054 3.221.855 Kab.Karanganyar -11,29 7,40 1.484.226 6.704.946 Kab.Sragen -9,10 6,06 781.799 3.575.655 Kab.Grobogan -9,74 5,04 569.012 2.485.984 Kab.Blora -5,16 5,19 819.407 2.549.473 Kab.Rembang -9,56 4,45 841.869 3.862.232 Kab.Pati -4,02 5,11 839.078 3.845.406 Kab.Kudus -11,79 4,33 4.354.798 16.271.812 Kab.Jepara -0,03 4,52 1.036.906 3.891.674 Kab.Demak -10,52 4,12 764.890 2.861.766 Kab.Semarang -17,79 4,90 1.196.885 5.974.417 Kab.Temanggung -10,57 4,31 1.020.047 3.400.465 Kab.Kendal -9,29 7,43 1.746.668 5.990.100 Kab.Batang -10,17 4,97 1.108.922 3.342.675 Kab.Pekalongan -8,66 4,27 1.114.130 3.851.979 Kab.Pemalang -1,63 4,94 846.519 2.739.687 Kab.Tegal -9,02 4,63 646.710 2.600.442 Kab.Brebes -2,28 4,94 748.051 3.176.366 Kota Magelang -7,29 6,12 2.383.047 9.376.907 Kota Surakarta -13,93 5,94 2.342.395 10.221.325 Kota Salatiga -1,51 5,01 2.318.184 5.360.237 Kota Semarang -1,82 6,52 3.381.894 13.731.386 Kota Pekalongan -8,13 6,12 1.094.877 7.415.998 Kota Tegal -6,12 4,58 1.019.231 5.348.637 Sumber: BPS, 1998-2010
7
Namun, permasalahannya adalah peningkatan PDRB per kapita tersebut tidak merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah sehingga pada tahun 2010 terdapat adanya gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi yaitu Kabupaten Kudus sebesar 16.271.812 rupiah daengan wilayah memiliki PDRB per kapita terendah yaitu Kabupaten Grobogan sebesar 2.485.984 rupiah sehingga Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi dari PDRB per kapita di Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut mengindikasikan kesenjangan ekonomi antar wilayah masih terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Sehingga perlu adanya upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Pemahaman pertama yang perlu ditelaah yaitu bagaimana kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin melebar atau berkurang, serta tingkat kesenjangannya apakah masih tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Apabila tingkat kesenjangannya masih tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk menguranginya. Terjadinya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sementara di sisi lain terdapat daerah yang masih tertinggal karena mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Oleh karena itu dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah, pemerintah harus menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah-daerah yang tertinggal. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dalam rangka mengejar ketertinggalan daerah maju. Sehingga kesenjangan
8
ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi. Beberapa faktor yang nampaknya berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia (SDM), belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur. Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, seperti yang ada pada latar belakang dan perumusan masalah, dapat dirumuskan beberapa masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimana trend kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah?
2.
Bagaimana
klasifikasi
wilayah
di
Provinsi
Jawa
Tengah
untuk
mengidentifikasi daerah-daerah yang tertinggal? 3.
Faktor apa saja yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
4.
Bagaimana implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis
klasifikasi
wilayah
di
Provinsi
Jawa
Tengah
untuk
mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal. 3. Mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah. 4. Merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
9
1.4 Manfaat Penelitian 1.
Memberi informasi kepada pemerintah daerah mengenai: a. Gambaran kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah sehingga dapat membantu memberikan alternatif pemecahan masalah apakah setiap wilayah memerlukan penangan yang sama atau tidak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. b. Gambaran klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang tepat untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.
2.
Dapat menambah perbendaharaan penelitian yang telah ada serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan implikasi kebijakannya terhadap kebijakan pembangunan di Provinsi Jawa Tengah. Hal yang dibahas adalah khusus kesenjangan dari sudut ekonomi antar wilayah. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak tercakup dalam penelitian ini. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi hanya difokuskan di daerah-daerah yang tertinggal saja karena daerah ini mempunyai pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan daerah lain di Provinsi Jawa Tengah sehingga perlu untuk diprioritaskan.