1
KONDISI KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH DAN IMPLIKASI KEBIJAKANNYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH
OLEH PUSPA RATIH ANGGRAENI H14080130
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
2
RINGKASAN PUSPA RATIH ANGGRAENI. H14080130. Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah (dibimbing oleh Manuntun Parulian Hutagaol). Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia. Pada masa Orde Baru, strategi kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pemerintah kurang memperhatikan tercapainya pemerataan hasil pembangunan di seluruh wilayah sehingga terdapat kecenderungan kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan kebijakan pembangunan di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia adalah kebijakan otonomi daerah yang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Namun, peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak merata di seluruh wilayah sehingga menimbulkan gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi dan terendah, dimana Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi dari PDRB per kapita Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut mengindikasikan masih terjadi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah, pemahaman pertama yang perlu ditelaah adalah mengenai kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin melebar atau berkurang, serta kesenjangan yang terjadi masih dalam taraf rendah, sedang, atau tinggi. Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang cepat tumbuh, namun terdapat daerah lain yang tertinggal karena mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Oleh karena itu, pemerintah harus menyusun prioritas kebijakan untuk lebih memajukan perekonomian di daerah tertinggal. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Perhatian difokuskan pada daerah yang tertinggal supaya daerah ini mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dalam rangka mengejar ketertinggalan dari daerah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah; 2) menganalisis klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal; 3) mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah; dan 4) merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat
3
dan Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yakni tujuan 1 diukur dengan menggunakan Indeks Kesenjangan Williamson, tujuan 2 diukur dengan menggunakan analisis Klassen Typology, dan tujuan 3 diukur dengan menggunakan analisis panel data. Hasil penelitian ini menunjukan trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah pada masa sebelum otonomi daerah cenderung meningkat hingga tahun 2000. Pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah meningkat terlebih dahulu hingga tahun 2003. Setelah tahun 2004, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah berangsur-angsur menurun tetapi masih dalam taraf tinggi. Menurut analisis Klassen Typology, setelah pelaksanaan otonomi daerah jumlah wilayah yang terolong daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat wilayah menjadi delapan wilayah. Namun, wilayah yang masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal masih banyak yaitu enam belas wilayah. Berdasarkan analisis panel data, variabel yang berdampak positif secara signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan panjang jalan. Dari ketiga variabel yang signifikan dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Namun, terdapat tiga variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu jumlah tenaga kerja, belanja modal/pembangunan dan penyaluran air bersih. Implikasi kebijakan yang dapat dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur. Peningkatan kualitas SDM dilakukan dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui penambahan jumlah guru dengan memberikan insentif bagi guru yang bersedia mengajar di daerah tertinggal, melakukan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedunggedung sekolah, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di daerah, serta menambah bantuan belajar bagi murid seperti beasiswa. Peningkatan kualitas kesehatan dapat dilakukan dengan pemberian kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berupa puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain seperti apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh daerah tertinggal. Peningkatan kualitas kesehatan juga dapat dilakukan dengan penambahan jumlah dokter dengan memberikan insentif bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Selain SDM, pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur, terutama pembangunan jalan yang menghubungkan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan jalan yang rusak. Dapat juga dilakukan perpanjangan jalan di daerah tertinggal untuk memperlancar kegiatan perekonomian di daerah tersebut.
4
KONDISI KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH DAN IMPLIKASI KEBIJAKANNYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh PUSPA RATIH ANGGRAENI H14080130
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
5
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Puspa Ratih Anggraeni
Nomor Registrasi Pokok : H14080130 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 195709041983031005
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 196410221989031003
Tanggal Kelulusan :
6
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2012
Puspa Ratih Anggraeni H14080130
7
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Puspa Ratih Anggraeni lahir pada tanggal 10 Juli 1990 di Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Tofik dengan Rachmawati. Jenjang pendidikan penulis diawali dengan memasuki Taman Kanak-kanak Pertiwi pada tahun 1995 hingga 1996 di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan ke SDN 4 Kertanegara pada tahun 1996 hingga 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke SMP N 1 Bobotsari dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima di SMAN 1 Bobotsari dan lulus pada tahun 2008. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui program SNMPTN dan diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menadi staff Sumber Daya Insani di Sharia Economics Student Club (SES-C) FEM IPB. Penulis sering terlibat dalam kepanitiaan seperti Indonesian Economic Festifal (2009), Seminar Politik Ceria (2010), Orange Fakultas Ekonomi dan Manajemen (2010), Sharia Economics at Seminar, Expo, and Campaign 6 (2010), dan Journalistic and Blogging Training (2011). Penulis berkesempatan menerima beasiswa PPA pada tahun 2009-2012.
8
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta alam, pujian yang memenuhi seluruh nikmat-Nya bagi keagungan kekuasaan-Nya. Atas anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi penelitian dengan judul “Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya: 1. Kedua orang tua penulis yaitu Tofik dan Rachmawati, kakak penulis yaitu Dimas Rangga Hadi Saputra, serta adik penulis yaitu Noviana Setyowati atas doa, semangat dan dukungan baik moril maupun materil. 2. Manuntun Parulian Hutagaol, Ph. D selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M. Sc. Agr selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Deniey Adi Purwanto, M. SE selaku dosen penguji komisi pendidikan atas berbagai perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. Teman satu bimbingan skripsi yaitu Soulma Arum Mardiana, Fitri Karlinda, dan Aries Romario Sitinjak. 6. Sahabat terbaik saya yaitu Astary Pradipta Hadiputri atas dukungannya. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 atas kebersamaan yang indah serta dukungannya. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
9
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Juni 2012
Puspa Ratih Anggraeni H14080130
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. i DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... iv I.
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 8 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 9 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................... 10 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antarwilayah .................................................. 10 2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah ................................. 12 2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah ................. 13 2.3.1 Klassen Typology ....................................................................... 14 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ...... 15 2.4 Penelitian Terdahulu ............................................................................ 19 2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual ......................................................... 21 2.6 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 23 III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 24 3.1 Jenis dan Sumer Data ........................................................................... 24 3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data................................................. 24 3.2.1 Analisis Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah ............. 24 3.2.2 Analisis Klassen Typology ........................................................ 25 3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal .................................................. 27 3.3 Metode Pemilihan Model ..................................................................... 29 3.3.1 Uji Chow ................................................................................... 29 3.3.2 Uji Hausman ...............................................................................30 3.4 Uji Statistik .......................................................................................... 30 3.4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2) .................................................. 30
11
3.4.2 Pengujian Secara Serempak (Uji F) ........................................... 31 3.4.3 Pengujian Signifikasi Individu (Uji t) ........................................ 31 3.5 Uji Asumsi Klasik ................................................................................ 32 3.5.1 Uji Normalitas ............................................................................ 32 3.5.2 Uji Multikolinearitas .................................................................. 32 3.5.3 Uji Heteroskedastisitas ............................................................... 33 3.5.4 Uji Autokorelasi ......................................................................... 33 3.6 Spesifikasi Model Penelitian ................................................................ 34 3.7 Definisi Operasional ............................................................................. 34 IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................... 36 4.1 Kondisi Geografis ................................................................................. 36 4.2 Pemerintahan ........................................................................................ 37 4.3 Kependudukan ...................................................................................... 38 4.4 Ketenagakerjaan ................................................................................... 39 4.5 Kondisi Sosial ....................................................................................... 40 4.5.1 Pendidikan .................................................................................. 40 4.5.2 Kesehatan ................................................................................... 40 4.6 Perekonomian ....................................................................................... 41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 44 5.1 Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Provinsi Jawa Tengah ........................................................................................ 44 5.2 Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah ...................................... 46 5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal di Provinsi Jawa Tengah .................................. 51 5.4 Implikasi Kebijakan ............................................................................. 56 5.4.2 Peningkatan Kualitas SDM ......................................................... 56 5.4.3 Peningkatan kualias Infrastruktur ................................................ 59 VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 60 6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 60 6.2 Saran ..................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 62 LAMPIRAN ..................................................................................................... 64
i
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010....... 3 2. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita di Jawa Tengah ................ 6 3. Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2003 ..................................................................................................... 20 4. Jenis data dan Satuan yang Digunakan dalam Penelitian ............................. 24 5. Klasifikasi Daerah Berdasarkan Klassen Typology....................................... 26 6. Daerah Uji Statistik Durbin-Watson ............................................................. 33 7. Pembagian Wilayah Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010....... 37 8. Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010......................... 39 9. PDRB dan Laju PDRB ADHK Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010.... 42 10. PDRB ADHK Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010............ 42 11. Penggolongan Daerah menurut Sektor yang Dominan Tahun 2007............ 43 12. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah menurut Klassen Typology Tahun 1998 dan 2010 ................................................................... 48 13. Hasil Uji Chow Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah ................................. 51 14. Hasil Uji Hausman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah.................................. 51 15. Hasil Estimasi Regresi Panel Data dengan Pendekatan Fixed Effect dengan Pembobotan dan White Cross Section ............................................. 54 16. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 ..................................................... 56 17. Perbandingan Jumlah Guru, Murid, Rasio Murid Terhadap Guru di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 ............................................................... 57 18. Perkembangan Angka Harapan Hidup di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 ..................................................... 58
ii
19. Perbandingan Jumlah Dokter dan Dokter Per Puskesmas di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 ............................................................................ 58 20. Panjang Jalan Menurut Kondisi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 ...................................................................................... 59
iii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Nilai IMH Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985...................... 3 2. Kurva U terbalik ............................................................................................ 12 3. Kerangka Pemikiran Konseptual ................................................................... 23 4. Peta Provinsi Jawa Tengah ............................................................................ 36 5. Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 ............................................................................................ 41
iv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. PDRB Per Kapita ADHK 2000 Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2003............................................................................. 64 2. PDRB Per Kapita ADHK 2000 Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2010............................................................................. 66 3. Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2004 ......................................................................................... 68 4. Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2010 ......................................................................................... 70 5. Penghitungan Indeks Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 ................................................ 72 6. Matriks Korelasi Pearson Antar Variabel Independen ............................... 73 7. Uji Normalitas .............................................................................................. 73 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan Fixed Effect dengan Cross Section Weight dan White Heteroskedasticity .......................................................... 74 9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan PLS ........................................................... 75 10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan Random Effect ........................................... 76
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena global yang sering terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Bahkan masalah kesenjangan ekonomi ini telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi di negara berkembang sejak puluhan tahun lalu. Perhatian ini timbul karena ada kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara. Secara teoritik, masalah kesenjangan ekonomi tersebut dapat dijelaskan menggunakan hipotesis Neoklasik. Dari teori ini, muncul sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan suatu negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah. Menurut Bort (1960) dalam model analisisnya dengan menggunakan teori Neoklasik menunjukkan pada proses awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung melebar (divergen). Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar sehingga terkonsentrasi di daerah yang maju. Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya infrastruktur maka mobilitas faktor produksi akan semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Dapat disimpulkan sementara, pada wilayah berkembang umumnya kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan wilayah maju kesenjangannya akan menjadi lebih rendah. Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva yang membentuk U terbalik (Sjafrizal, 2008).
2
Hipotesis Neoklasik tersebut, kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson (1966) melalui studi tentang kesenjangan regional pada negara maju dan negara sedang berkembang menggunakan data time series dan cross section. Ukuran kesenjangan yang digunakan adalah Indeks Williamson. Hasil penelitiannya menunjukkan hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis terbukti benar secara empirik. Ini berarti proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap awal justru terjadi peningkatan kesenjangan (Sjafrizal, 2008). Seperti di negara berkembang, kesenjangan ekonomi antar wilayah juga terjadi di Indonesia. Kesenjangan ini berkaitan dengan strategi pembangunan Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi sejak masa orde baru. Sasaran pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi, namun tidak memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun aspek pemerataan sempat mendapatkan perhatian ketika urutan prioritas trilogi pembangunan diubah dari pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas pada Pelita II (1974-1979) menjadi pemerataaan, pertumbuhan, dan stabilitas dari pada Pelita III (1979-1984), namun inti tumpuan pembangunan Indonesia tetap saja pertumbuhan (growth bukan equity). Dalam praktiknya, pemerintah hanya menetapkan target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai, namun tidak menetapkan target mengenai tingkat kemerataan. (Dumairy, 1996). Kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi dalam berbagai dimensi, diantaranya kesenjangan antar kawasan, dimana kualitas hidup di Kawasan Barat dan Tengah Indonesia lebih baik dibandingkan Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan gambar 1.1 Indeks Mutu Hidup (IMH) Kawasan Barat dan Tengah
3
Indonesia lebih tinggi dari nilai IMH Indonesia, sedangkan nilai IMH Kawasan
IMH
Timur Indonesia lebih rendah dari nilai IMH Indonesia. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kawasan Barat Indonesia Kawasan Tengah Indonesia Kawasan Timur Indonesia Indonesia 1985
1980 Tahun
Sumber: BPS, 1990 Gambar 1.1 Nilai IMH Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985
Kesenjangan ekonomi di Indonesia Indonesia juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa. Ini tampak nyata berkenaan dengan implementasi kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia yang cenderung Jawa sentris. Aktivitas ekonomi lebih terpusat di Pulau Jawa sehingga beberapa wilayah di Pulau Jawa men mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding wilayah lain di luar Jawa. Pulau Jawa memiliki kontribusi yang tinggi sebesar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini dapat memicu arus perpindahan tenaga kerja terampil dari luar uar Jawa ke Jawa. Meskipun PDRB di Pulau Jawa menjadi tinggi, namun akan timbul masalah seperti bertambahnya pengangguran, muncul kawasan kumuh, dan meningkatnya angka kriminalitas. Tabel 1.1 PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010 (Juta Rupiah) Wilayah 2009 2010 Jawa 1.356.252.622 1.275.913.846 Luar Jawa 865.351.236 818.402.440 Indonesia 2.221.603.860 2.094.316.286 Sumber: BPS, 2010
4
Ketidakmerataan kesejahteraan di Indonesia tersebut, dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik dan kerawanan disintegrasi antar wilayah. Bila dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi antar wilayah harus mendapatkan penanganan dari pemerintah. Setidaknya harus dicari cara mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah sampai pada taraf rendah karena kesenjangan ekonomi itu sendiri tidak dapat dihilangkan secara sekaligus.
1.2 Perumusan Masalah Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia. Permasalahan ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Proses pembangunan ekonomi yang berjalan tidak merata di seluruh wilayah Indonesia dapat menimbulkan permasalahan sosisal dan ekonomi yang menganggu kestabilan perekonomian negara. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Pada program Pelita II (1974-1979), pembangunan difokuskan pada pembangunan berimbang antardaerah. Kebijakan yang dikeluarkan antara lain program Inpres berupa bantuan pembangunan, pendirian Bappenas, dan pembentukan Bappeda Tingkat I pada tahun 1974. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah mengganti urutan prioritas pembangunan yang pertama menjadi pemerataan, oleh karena itu pemerintah lebih meningkatakan program Inpres yang sudah dijalankan sebelumnya, membentuk lembaga-lembaga pembangunan desa, serta pendidiran Bappeda Tingkat II pada tahun 1980. Kemudian pada Pelita VI (1994-1999),
5
pembangunan ekonomi di Indonesia dititikberatkan pada pembangunan desa terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan adalah program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di seluruh daerah Indonesia. Upaya pemerintah tersebut ternyata kurang efektif dalam mengurangi kesenjangan
ekonomi
antar
wilayah
di Indonesia.
Berbagai kebijakan
pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sentralisasi pengambilan keputusan pada pemerintah pusat ini justru memperbesar inefisiensi karena banyak program pembangunan daerah yang dilakukan tidak sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Pada era Reformasi pemerintah menetapkan kebijakan otonomi daerah yang diharapkan efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Tujuan kebijakan otonomi daerah adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan makro strategis. Sedangkan pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kemandirian sehingga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi daerah. Pemerintah daerah beserta masyarakat lokal lebih mengetahui potensi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Sehingga pelaksanaan otonomi daerah dapat menghasilkan kebijakan pembangunan daerah yang efektif di seluruh wilayah Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan laju PDRB dan PDRB per kapita yang cukup tinggi di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah setelah pelaksanaan otonomi daerah.
6
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB PDRB Per Kapita (Persen) (Rupiah) 1998 2010 1998 2010 Kab.Cilacap -5,20 5,65 1.312.744 7.915.518 Kab.Banyumas -6,80 5,77 701.319 2.994.244 Kab.Purbalingga -8,27 5,95 772.048 2.975.283 Kab.Banjarnegara -4,15 4,89 1.016.178 3.324.296 Kab.Kebumen -13,03 4,15 749.777 2.539.670 Kab.Purworejo -6,49 5,01 922.476 4.337.763 Kab.Wonosobo -9,37 4,46 740.991 2.502.120 Kab.Magelang -3,14 4,51 956.704 3.483.379 Kab.Boyolali -9,51 3,59 1.009.232 4.565.187 Kab.Klaten -11,35 1,73 1.035.396 4.285.881 Kab.Sukoharjo -11,23 4,65 1.458.601 6.039.837 Kab.Wonogiri -4,67 3,14 756.054 3.221.855 Kab.Karanganyar -11,29 7,40 1.484.226 6.704.946 Kab.Sragen -9,10 6,06 781.799 3.575.655 Kab.Grobogan -9,74 5,04 569.012 2.485.984 Kab.Blora -5,16 5,19 819.407 2.549.473 Kab.Rembang -9,56 4,45 841.869 3.862.232 Kab.Pati -4,02 5,11 839.078 3.845.406 Kab.Kudus -11,79 4,33 4.354.798 16.271.812 Kab.Jepara -0,03 4,52 1.036.906 3.891.674 Kab.Demak -10,52 4,12 764.890 2.861.766 Kab.Semarang -17,79 4,90 1.196.885 5.974.417 Kab.Temanggung -10,57 4,31 1.020.047 3.400.465 Kab.Kendal -9,29 7,43 1.746.668 5.990.100 Kab.Batang -10,17 4,97 1.108.922 3.342.675 Kab.Pekalongan -8,66 4,27 1.114.130 3.851.979 Kab.Pemalang -1,63 4,94 846.519 2.739.687 Kab.Tegal -9,02 4,63 646.710 2.600.442 Kab.Brebes -2,28 4,94 748.051 3.176.366 Kota Magelang -7,29 6,12 2.383.047 9.376.907 Kota Surakarta -13,93 5,94 2.342.395 10.221.325 Kota Salatiga -1,51 5,01 2.318.184 5.360.237 Kota Semarang -1,82 6,52 3.381.894 13.731.386 Kota Pekalongan -8,13 6,12 1.094.877 7.415.998 Kota Tegal -6,12 4,58 1.019.231 5.348.637 Sumber: BPS, 1998-2010
7
Namun, permasalahannya adalah peningkatan PDRB per kapita tersebut tidak merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah sehingga pada tahun 2010 terdapat adanya gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi yaitu Kabupaten Kudus sebesar 16.271.812 rupiah daengan wilayah memiliki PDRB per kapita terendah yaitu Kabupaten Grobogan sebesar 2.485.984 rupiah sehingga Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi dari PDRB per kapita di Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut mengindikasikan kesenjangan ekonomi antar wilayah masih terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Sehingga perlu adanya upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Pemahaman pertama yang perlu ditelaah yaitu bagaimana kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin melebar atau berkurang, serta tingkat kesenjangannya apakah masih tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Apabila tingkat kesenjangannya masih tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk menguranginya. Terjadinya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sementara di sisi lain terdapat daerah yang masih tertinggal karena mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Oleh karena itu dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah, pemerintah harus menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah-daerah yang tertinggal. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dalam rangka mengejar ketertinggalan daerah maju. Sehingga kesenjangan
8
ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi. Beberapa faktor yang nampaknya berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia (SDM), belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur. Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, seperti yang ada pada latar belakang dan perumusan masalah, dapat dirumuskan beberapa masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimana trend kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah?
2.
Bagaimana
klasifikasi
wilayah
di
Provinsi
Jawa
Tengah
untuk
mengidentifikasi daerah-daerah yang tertinggal? 3.
Faktor apa saja yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
4.
Bagaimana implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis
klasifikasi
wilayah
di
Provinsi
Jawa
Tengah
untuk
mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal. 3. Mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah. 4. Merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
9
1.4 Manfaat Penelitian 1.
Memberi informasi kepada pemerintah daerah mengenai: a. Gambaran kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah sehingga dapat membantu memberikan alternatif pemecahan masalah apakah setiap wilayah memerlukan penangan yang sama atau tidak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. b. Gambaran klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang tepat untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.
2.
Dapat menambah perbendaharaan penelitian yang telah ada serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan implikasi kebijakannya terhadap kebijakan pembangunan di Provinsi Jawa Tengah. Hal yang dibahas adalah khusus kesenjangan dari sudut ekonomi antar wilayah. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak tercakup dalam penelitian ini. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi hanya difokuskan di daerah-daerah yang tertinggal saja karena daerah ini mempunyai pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan daerah lain di Provinsi Jawa Tengah sehingga perlu untuk diprioritaskan.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu negara. Terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah. Kesenjangan ekonomi antar wilayah sering menjadi permasalahan serius karena beberapa daerah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan lambat. Hal ini dapat memicu migrasi penduduk dari wilayah terbelakang ke wilayah maju sehingga timbul permasalahan sosial ekonomi di wilayah maju. Selain itu, kemajuan perekonomian yang tidak sama di setiap wilayah dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik antar wilayah. Apabila dibiarkan semakin parah, dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara Secara teoritik, permasalahan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dijelaskan menggunakan Hipotesis Neoklasik. Penganut Hipotesis Neoklasik menyatakan pada permulaan proses pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai kesenjangan tersebut mencapai titik puncak. Bila proses pembangunan berlanjut, maka secara berangsur-angsur kesenjangan ekonomi antar wilayah akan menurun. Hal tersebut dikarenakan pada waktu proses pembangunan baru dimulai di NSB, peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang
11
kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedang daerah yang tertinggal tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Karena pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan maka kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Keadaan yang berbeda terjadi di negara maju dimana kondisi daerahnya umumnya dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas SDM. Dalam kondisi demikian, setiap peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan pada negara maju akan mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah. Bort (1960) menjadi pelopor yang mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi Neoklasik, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah. Bort menyatakan pada awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar. Dampaknya modal dan tenaga kerja akan terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah melebar (divergen). Bila pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya fasilitas maka mobilitas faktor produksi semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva kesenjangan ekonomi antar wilayah yang berbentuk U terbalik.
12
Kesenjangan ekonomi antar wilayah
Pembangunan nasional Sumber: Sjafrizal (2008)
Gambar 2.1 Kurva U terbalik Kebenaran Hipotesis Neoklasik ini diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi sebaliknya (Sjafrizal, 2008).
2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diukur menggunakan perhitungan indeks ketimpangan regional Williamson. Istilah indeks Williamson muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang. Secara statistik, indeks Williamson ini adalah coefficient of variation yang biasa digunakan untuk mengukur perbedaan. Indeks ini menggunakan PDRB per kapita sebagai data
13
dasar karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Hal yang dipersoalkan bukan antara kelompok kaya dan miskin, tetapi antara daerah maju dan terbelakang. Dari indeks Williamson dapat diketahui kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi semakin melebar atau berkurang. Jika semakin tinggi nilai indeks Williamson, berarti kesenjangan ekonomi antar wilayah semakin besar, dan sebaliknya. Batasan untuk tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, yaitu: CVw < 0,35
= Kesenjangan taraf rendah
0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CVw > 0,5
= Kesenjangan taraf tinggi
Apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara masih tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi, maka harus segera dicari solusi untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebutkarena apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dibiarkan semakin tinggi, dapat menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam rasa persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara.
2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Adanya indikasi kesenjangan ekonomi antar wilayah menandakan terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sedangkan beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah tersebut, maka pemerintah dapat menyusun prioritas untuk lebih membangun daerah-daerah yang tertinggal. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi wilayah mana saja yang masuk dalam kategori daerah yang tertinggal.
14
Setelah diketahui daerah-daerah tertinggal. Kemudian dilakukan analisis faktorfaktor yang mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal tersebut. Sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat untuk memajukan perekonomian daerah-daerah yang tertinggal tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dikurangi. 2.3.1 Klassen Typology Identifikasi wilayah dapat dilakukan menggunakan alat analisis Klassen Typology yang membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik daerah yang berbeda, yaitu: 1.
Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) Merupakan daerah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh daerah. Pada dasarnya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Pada umumnya daerah tersebut mempunyai potensi pembangunan yang sangat besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat. 2.
Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth) Merupakan daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita tinggi,
tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan ekonomi daerahnya menurun. Walaupun wilayah ini telah maju tetapi di masa mendatang diperkirakan pertumbuhannya tidak akan begitu cepat.
15
3.
Daerah berkembang cepat (high growth but low income) Merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang sangat
besar tetapi masih belum diolah dengan baik. Walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi, namun tingkat pendapatan per kapita yang mencerminkan tahap pembangunan yang telah dicapai masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Wilayah ini diperkirakan akan mampu berkembang dengan pesat untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah maju. 4.
Daerah relatif tertinggal (low growth and low income) Merupakan daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah
dan pendapatan per kapita daerah yang berada di bawah rata-rata. Ini artinya, baik tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah ini masih rendah. (Sjafrizal, 1997). Setelah dilakukan analisis Klassen Typologi dapat diidentifikasi wilayah mana saja yang tergolong daerah tertinggal. Wilayah tersebut harus mendapat perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi sehingga daerah tertinggal dapat mengejar ketertinggalan dari daerah maju. Perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan supaya kesenjangan ekonomi antar wilayah tidak semakin melebar. 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terusmenerus sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.
16
Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant return to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow menggunakan fungsi produksi agregat standar, yakni : Y = Aeμt Kα L1-α Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangkan konstanta tingkat kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang (diminishing returns). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro, 2006).
17
Bebrapa faktor yang diduga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, antar lain: a.
Sumber Daya Manusia Input sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor terpenting bagi
keberhasilan perekonomian. Menurut Todaro (2006), pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah dalam menyerap dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh tingkat akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi. Menurut BPS (2010), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun ke atas, dibedakan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara kontinu selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan disebut menganggur. Jumlah tenaga kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang tersedia maka akan meningkatkan total produksi di suatu daerah. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun indikator-indikator lainnya. Rata-rata lama sekolah (RLS)
18
merupakan komponen yang mewakili tingkat pendidikan penduduk. Teori Human Capital mengemukakan pentingnya tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain penundaan penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan pendidikan harus membayar biaya. Namun, setelah tamat dari pendidikan yang ditempuhnya, sangat diharapkan orang tersebut dapat mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan berjuang pada pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Todaro, 2006). Sedangkan angka harapan hidup (AHH) sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan penduduk di bidang kesehatan (BPS, 2008). Tingkat kesehatan yang rendah akan berdampak pada produktivitas penduduk tidak maksimal. Harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan (Todaro, 2006). Tingkat pendidikan yang baik dibarengi dengan tingkat kesehatan yang baik akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. b. Belanja Modal Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G melambangkan pengeluaran pemerintah (government expenditures). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y, serta mengamati dari waktu ke waktu dapat
19
diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional. Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja modal untuk pembangunan dari pemerintah daerah. Belanja modal (BM) terdiri dari belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan, irigasi, dan jaringan. Alokasi belanja modal untuk pengembangan infrastruktur penunjang perekonomian akan mendorong produktivitas penduduk yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduk. c. Infrastruktur Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah. Adanya fasilitas transportasi dapat membuka keterisolasian suatu daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut dengan lancarnya transaksi perdagangan ke daerah lain. Ketersediaan listrik, air, dan telekomunikasi memungkinkan peningkatan produktivitas nilai tambah bagi faktor-faktor produksi (Prahara, 2010).
2.4 Penelitian Terdahulu Supriyantoro
(2005)
menganalisis
ketimpangan
pendapatan
antar
kabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah. Periode penelitian ini adalah tahun 1993-2003. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson berdasarkan data PDRB per kapita daerah yang dikelompokan berdasarkan pembagian sepuluh wilayah pembangunan di Provinsi Jawa Tengah.
20
Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 19932003 Tahun CVw 1993 0,2864 1994 0,2991 1995 0,3018 1996 0,3129 1997 0,3182 1998 0,2830 1999 0,2828 2000 0,2787 2001 0,2808 2002 0,2768 2003 0,3427 Sumber: Supriyantoro, 2005
Hasil penelitian menunjukkan pada periode penelitian tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah tergolong rendah yang dilihat dari nilai CVw yang kecil. Namun, dari tahun ke tahun ketimpangan pendapatan antarkabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang kurang baik karena nilai ketimpangan pendapatan antar wilayah tersebut cenderung meningkat. Fabia (2006) menganalisis dampak otonomi daerah terhadap kondisi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Periode tahun penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang digunakan yaitu analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda dengan PDRB per kapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB per kapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Hasil penelitian menunjukkan pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi lebih kecil dari nol. Hasil uji menunjukkan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan dan menurunnya ketimpangan pendapatan
21
antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. PDRB per kapita tahun dasar signifikan mempengaruhi PDRB per kapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan kurang mempengaruhi peningkatan konvergensi pada konvergensi bersyarat. Satrio (2009) menganalisis ketimpangan pendapatan antar pulau di Negara Indonesia. Periode penelitian ini adalah tahun 1996-2006. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson, trend ketimpangan, analisis korelasi dan koefisien determinan. Hasil penelitian yaitu ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia tergolong taraf rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35. Untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau berada pada ketimpangan taraf tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku & Irian yaitu antara 0,521 sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050-0,109, sedangkan Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379-0,498. Analisis trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan trend yang menurun. Ketimpangan pendapatan menurut pulau juga menunjukkan trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen.
2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena yang sering terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu wilayah Terdapat
22
kecenderungan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa tengah diukur menggunakan analisis indeks kesenjangan regional Williamson. Dapat dilihat apakah kesenjangan ekonomi yang terjadi semakin melebar atau berkurang serta masih dalam taraf rendah, sedang, atau tinggi. Apabila kesenjangan masih dalam taraf tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebut. Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat daerah yang lebih cepat tumbuh, tetapi terdapat daerah lain yang tumbuh lebih lambat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah-daerah yang tertinggal. Langkah pertama yaitu mengidentifikasi daerahdaerah tertinggal terlebih dahulu menggunakan alat analisis klassen Typology. Kemudian setelah diketahui daerah-daerah yang tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Faktor-faktor yang diduga kuat mempengaruhi adalah SDM, belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur. SDM dilihat dari jumlah angkatan kerja, rata-rata lama sekolah (pendidikan),
serta angka harapan hidup (kesehatan).
Belanja modal dilihat dari alokasi belanja daerah untuk pembangunan, Sedangkan infratsruktur dilihat dari panjang jalan, dan penyaluran air bersih. Faktor-faktor yang signifikan tersebut dapat dijadikan informasi bagi daerah tertinggal untuk lebih meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya mengejar ketertinggalan dari daerah yang sudah maju. Pada akhirnya didapatkan kebijakan yang tepat untuk
23
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal sehingga tercipta pemerataan pendapatan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Kebijakan yang bertumpu pada aspek pertumbuhan cenderung memperburuk kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah Indeks Williamson
Trend kesenjangan ekonomi antar wilayah
Klassen Typology
Klasifikasi daerah maju cepat tumbuh, maju tapi tertekan, berkembang cepat, dan daerah tertinggal
Analisis Panel Data
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual 2.6 Hipotesis Penelitian 1.
Pada tahap awal otonomi daerah, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat terlebih dahulu, dan ketika pembangunan daerah terus berlangsung maka trend kesenjangan ekonomi antar wilayah menurun.
2.
Setelah otonomi daerah, semakin banyak wilayah yang bergeser ke daerah maju.
3.
Variabel-variabel yang dianalisis yakni jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air secara signifikan berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah
24
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa kombinasi data time series dan cross section dari tahun 1998 sampai tahun 2010 yang mencakup 35 wilayah, terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota di Provinsi Jawa Tengah. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat dan BPS Provinsi Jawa Tengah. Data sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut. Tabel 3.1 Jenis data dan Satuan yang Digunakan dalam Penelitian Data Satuan PDRB Per Kapita ADHK 2000 Rupiah Jumlah penduduk Jiwa Laju pertumbuhan PDRB Persen Jumlah angkatan kerja Jiwa Belanja daerah untuk modal/pembangunan Rupiah Angka melek huruf Persen Rata-rata lama sekolah Tahun Angka harapan hidup Tahun Panjang jalan Kilometer (km) Penyaluran air bersih Meter3 (m3) 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah ditentukan menggunakan Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur tingkat kesenjangan regional yang semula dipergunakan oleh J. G. Williamson. Metode ini diperoleh dari perhitungan pendapatan regional per kapita dan jumlah penduduk masing-masing wilayah. Trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat diamati dari hasil perhitungan indeks Williamson yang digambarkan dalam sebuah grafik.
25
Rumus dari Indeks Williamson adalah sebagai berikut:
Yi Y . f 2
CVw
fi
I
Y
Dimana: CVw = Indeks Williamson f
i
= Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i di Provinsi Jawa Tengah (jiwa)
f = Jumlah penduduk seluruh wilayah di Provinsi Tengah (jiwa)
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i di Provinsi Jawa Tengah (rupiah) Y = PDRB per kapita rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah
(rupiah) Jika nilai indeks ketimpangan Williamson mendekati nol, menunjukan kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah semakin kecil. Sebaliknya semakin mendekati 1, menunjukkan kesenjangan ekonomi semakin melebar. Kriteria untuk menentukan tingkat kesenjangan adalah sebagai berikut: CVw < 0,35
= Kesenjangan taraf rendah
0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CVw > 0,5
= Kesenjangan taraf tinggi
3.2.2 Analisis Klassen Typology Alat analisis Klassen Typology digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola pertumbuhan ekonomi setiap daerah sehingga diketahui apakah pelaksanaan pembangunan telah terjadi secara merata di seluruh wilayah atau sebaliknya. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita
26
daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat klasifikasi daerah yang berbeda, yaitu: 1.
Daerah maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I) Merupakan wilayah yang mengalami tingkat pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
2.
Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II) Merupakan wilayah yang relatif maju karena PDRB per kapita daerah lebih tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan PDRB daerah menurun, lebih rendah dibanding rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
3. Daerah berkembang cepat (Kuadran III) Merupakan wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB daerah tinggi, namun PDRB per kapita daerahnya relatif rendah dibandingkan dengan ratarata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. 4. Daerah relatif tertinggal (Kuadran IV) Merupakan wilayah yang mempunyai tingkat pertumbuhan PDRB daerah dan PDRB per kapita daerah yang berada dibawah rata-rata dari seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di wilayah ini masih relatif rendah. Tabel.3.2 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Klassen Typology Y R Yi > Y Yi < Y Kuadran I Kuadran III Ri > R Daerah maju dan cepat tumbuh Daerah berkembang cepat Ri < R Sumber: Sjafrizal, 1997
Kuadran II Daerah maju tapi tertekan
Kuadran IV Daerah relatif tertinggal
27
Dimana: Ri = laju pertumbuhan PDRB ADHK kabupaten/kota i di Provinsi Jawa Tengah R = rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota i di Provinsi Jawa Tengah Y = rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah
3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dalam penelitian ini menggunakan alat analisis panel data yang merupakan gabungan dari data time series (antar waktu) dan data cross section (antar individu). Beberapa keunggulan menggunakan pendekatan panel data dibandingkan dengan pendekatan standar cross section dan time series, yaitu : 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu 2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien. 3. Mampu mngidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section dan time series. 4. Dapat menguji dan membangun model yang lebih kompleks.
28
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model panel data, yaitu : 1. Pooled OLS Metode pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana antara data time series dan cross section, selanjutnya dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan OLS. Spesifikasikan model yaitu: Yit = α + βXit Dimana i adalah urutan kabupaten/kota yang diobservasi pada data cross section, t menunjukkan periode pada data time series. Namun, pada metode ini intersep dan koefisien setiap variabel sama untuk setiap kabuapten/kota yang diobservasi. 2. Fixed Effect Model Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap kabupaten/kota yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unit cross section dapat dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada tiap kabupaten/kota. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama bagi setiap kabupaten/kota yang diobservasi. Spesifikasikan model yaitu: Yit = α + βiXit + γ2W2t +γ3 W3t + ...+ γNWNT + δ2Zi2 + δ3Zi3 +... + δTZit +ε it Dimana Wit = 1 untuk kabupaten/kota ke-i, i = 2,…, N 0 untuk lainnya Zit = 1 untuk kabupaten/kota ke-t, t = 2,…, T 0 untuk lainnya Penambahan variabel dummy (N-1)+(T-1) dalam model menghasilkan kolienaritas yang sempurna di antara variabel-variabel penjelas. Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan intersep cross section dan time series.
29
3. Random Effect Model Terdapat masalah dalam fixed effect yaitu dengan dimasukannya dummy akan menyebabkan berkurangnya derajat bebas sehingga mengurangi efisiensi parameter. Masalah ini dapat diatasi menggunakan model random effect yang dapat mengamati individual effect di semua unit observasi karena dilakukan dengan pengambilan sampel dari populasi. Dalam model ini individual effect tidak berkorelasi dengan regressor atau individual effect yang mempunyai pola acak sehingga pada model individual effect terpisah dengan error term. Yit = αi + β Xit + Uit, dimana αi = α + τi sehingga model pertama menjadi Yit = α + β Xit + Uit + τi Dari model tersebut diketahui random effect mempunyai galat kombinasi, yaitu : Wit = Uit + τi , dimana τi merupakan error dari unobserved variable. Metode analisis dalam random effect menggunakan Generalized Least Square (GLS) untuk mengendalikan keragaman error agar lebih homogen karena ragam error selalu berubah-ubah. Dengan metode ini model ditransformasi dengan memberikan bobot pada data asli lalu menerapkan metode OLS pada model yang telah ditransformasi. Penduga GLS lebih konsisten dan efisien daripada OLS.
3.3 Metode Pemilihan Model 3.3.1 Uji Chow Uji Chow digunakan untuk menentukan model yang akan digunakan, apakah lebih tepat dijelaskan oleh model Pooled OLS atau model Fixed effect. Hipotesis: H0: α1 = α2 = ...= αN (PLS) H1: α1 ≠ α2 ≠ ... ≠ αN (Fixed effect)
30
Kriteria uji: Prob.chi-square statistc < taraf nyata (α), maka tolak H0 Prob.chi-square statistic > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika tolak Ho berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect. Sebaliknya jika terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah PLS. 3.3.2 Uji Hausman Digunakan untuk memilih menggunakan fixed effect atau random effect. Hipotesis: H0: E (τi xit ) = 0 (Random effect) H1: E (τi xit ) ≠ 0 (Fixed effect) Kriteria uji: Prob.chi-square statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0 Prob.chi-square statistic > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika tolak H0 berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect. Sebaliknya terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah Random effect. Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu Pooled Ordinary Least Square (PLS), fixed effect, dan random effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model terbaik yang menggunakan Chow test dan Hausman test.
3.4 Uji Statistik 3.4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji R2 digunakan untuk melihat sejauh mana variabel independen (bebas) mampu menerangkan keragaman variabel dependen (tak bebas). Semakin besar R2 berarti semakin cocok garis regresi menggambarkan pola hubungan variabel independen dan dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol berarti kemampuan variabel independen dalam
31
menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Sebaliknya, jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. (Gujarati, 2003). 3.4.2 Pengujian Secara Serempak (Uji-F)
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen yang digunakan dalam model regresi secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen, perlu dilakukan pengujian koefisien regresi secara serempak. Hipotesis: H0: β1 = β2 = β3= β4= β5= 0 H1: minimal ada satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan 0 Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika tolak H0 berarti minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen dan model dapat diterima. 3.4.3 Pengujian Signifikasi Individu (Uji t) Uji-t digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hipotesis:H0: βi = 0 (variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen) H1: βi ≠ 0 (variabel independen mempengaruhi variabel dependen) Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika tolak H0 berarti variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika terima H0 berarti variabel independen tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
32
3.5 Uji Asumsi Klasik 3.5.1 Uji Normalitas Dilakukan jika sampel kurang dari 30. Uji ini berguna untuk melihat error term terdistribusi secara normal. Uji ini disebut uji Jarque-bera. Hipotesis: H0: error term terdistribusi normal H1: error term tidak terdistribusi normal Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika tolak H0 maka persamaan tersebut tidak memiliki error term terdistribusi normal. Sebaliknya jika terima H0 maka persamaan tersebut memiliki error term terdistribusi normal. 3.5.2 Uji Multikolinearitas Adanya hubungan linier antarvariabel independen dalam suatu regresi disebut
dengan
multikolinearitas.
Jika
dalam
suatu
model
terdapat
multikolinearitas akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak variabel bebas yang tidak signifikan dari pada variabel bebas yang signifikan atau bahkan tidak satupun (Gujarati, 2003). Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation matrix, yaitu dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas. Jika korelasinya kurang dari 0,8 (rule of tumbs 0,8) maka dapat dikatakan tidak ada multikolinearitas. Gejala multikolineritas biasanya timbul pada data time series dimana korelasi antar variabel independen cukup tinggi. Sehingga dengan mengkombinasikan data yang ada dengan data cross section mengakibatkan masalah multikolineritas secara tekhnis dapat dikurangi.
33
3.5.3 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama (konstan). Adanya masalah heteroskedastisitas dalam model menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas digunakan uji White Heteroscedasticity yang diperoleh dari program EViews. Data panel dalam EViews 6 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Residual pada Weighted statistics dengan Sum Square Residual pada Unweight statistics. Jika Sum Square Residual pada Weighted statistics < Sum Square Residual pada Unweight statistics maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi pelanggaran tersebut, bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity. 3.5.4 Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah keadaan dimana terdapat korelasi antar residual. Biasanya gejala autokorelasi terjadi dalam data time series. Uji autolorelasi yang paling sederhana adalah menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Karena jumlah variabel independen (k) 6 dan jumlah observasi (n) sebanyak 16, maka dU bernilai 0,50 dan dL bernilai 2,39. Kriteria uji autokorelasi adalah sebagai berikut. Tabel 3.3. Daerah Uji Statistik Durbin-Watson
Nilai statistik d 0 < d < 0,50 0,50 ≤ d ≤ 1,61 1,61 ≤ d ≤ 2,39 2,39 ≤ d ≤ 33,5 3,5 ≤ d ≤ 4 Sumber: Durbin Watson, 2006
Hasil ada autokorelasi tidak ada keputusan tidak ada autokorelasi tidak ada keputusan ada autokorelasi
34
3.6 Spesifikasi Model Penelitian Secara matematis, hubungan antar variabel-variabel yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah digambarkan dalam fungsi double log sebagai berikut: Yit = α0 + α 1 LnTKit + α 2 LnRLSit + α 3 LnAHHit + α 4 LnBMit + α 5 LnJLNit + α 6 LnAIRit + eit Dimana: Y
= laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah
TK
= jumlah tenaga kerja di daerah tertinggal Jawa Tengah
RLS
= rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Jawa Tengah
AHH
= angka harapan hidup di daerah tertinggal Jawa Tengah
BM
= belanja modal/pembangunan di daerah tertinggal Jawa Tengah
JLN
= panjang jalan di daerah tertinggal Jawa Tengah
AIR
= penyaluran air bersih di daerah tertinggal Jawa Tengah
α0
= intesrep
α 1, α 2, ... , α 6
= koefisien regresi
e
= residu
3.7 Definisi Operasional 1.
PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu daerah dalam satu tahun.
35
2.
Laju pertumbuhan ekonomi adalah PDRB tahun sekarang dikurangi PDRB tahun lalu kemudian dibagi PDRB tahun lalu.
3. Tenaga kerja adalah penduduk yang masuk dalam usia kerja yaitu di atas batas 15 tahun. 4. Rata-rata lama sekolah adalah perkiraan banyaknya tahun bagi seseorang untuk mengenyam pendidikan. 5. Angka harapan hidup adalah perkiraan rata-rata banyaknya tahun yang ditempuh oleh seseorang selama hidup. 6. Belanja modal adalah pengeluaran yang digunakan untuk pembelian/ pengadaan/pembangunan asset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari setahun dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. 7. Infrastruktur adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang bagi terselenggaranya pembangunan, misalnya panjang jalan dan kapasitas produksi maksimal air bersih yang disalurkan.
36
BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH
4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5°40' dan 8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' 111°30' Bujur Timur (termask Pulau Karimunjawa). Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan D.I. Yogyakarta di sebelah selatan, Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, dan Provinsi Jawa Timur di sebelah timur. Luas wilayahnya tercatat sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa dan 1,70 persen dari luas Indonesia.
Sumber : Wikipedia.com
Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah
37
4.2 Pemerintahan Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 29 kabupaten dan 6 kota yang terdiri atas 565 kecamatan, 764 kelurahan dan 7.804 desa. Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 10 wilayah pembangunan. Berikut adalah karakteristik dari setiap wilayah pembangunan. Tabel.4.1 Pembagian Wilayah Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Wilayah Pembangunan Kabupaten/Kota Luas Wilayah (km2) Kota Semarang 373,67 Kota Salatiga 52,96 Kabupaten Kendal 1.002,27 Wilayah Pembangunan I (terdapat 6 wilayah) Kabupaten Semarang 946,86 Kabupaten Grobogan 1.975,85 Kabupaten Demak 897,43 Kota pekalongan 44,96 Kabupaten Pekalongan 836,13 Wilayah Pembangunan II (terdapat 4 wilayah) Kabupaten Pemalang 1.011,90 Kabupaten Batang 788,95 Kota Tegal 34,49 Wilayah Pembangunan III Kabupaten Tegal 879,70 (terdapat 3 wilayah) Kabupaten Brebes 1.657,73 Kabupaten Cilacap 2.138,51 Wilayah Pembangunan IV Kabupaten Banyumas 1.327,59 (terdapat 3 wilayah) Kabupaten Purbalingga 777,65 Wilayah Pembangunan V (terdapat 1 wilayah)
Kabupaten Kebumen
1.282,74
Wilayah Pembangunan VI (terdapat 1 wilayah)
Kabupaten Banjarnegara
1.069,74
Kota Magelang Kabupaten Purworejo Kabupaten Magelang Kabupaten Temanggung Kabupaten Wonosobo Kota Surakarta Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Karanganyar Kabupaten Sragen Kabupaten Wonogiri Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten
18,12 1.034,82 1.085,73 870,23 984,68 44,03 466,66 772,20 946,49 1.822,37 1.015,07 655,56
Wilayah Pembangunan VII (terdapat 5 wilayah)
Wilayah Pembangunan VIII (terdapat 7 wilayah)
38
1.794,40 Wilayah Pembangunan IX (terdapat 1 wilayah)
Kabupaten Blora
Wilayah Pembangunan X (terdapat 4 wilayah)
Kabupaten Kudus Kabupaten Pati Kabupaten Jepara Kabupaten Renbang
425,17 1.491,20 1.004,16 1.014,10
Sumber: BPS Jawa Tengah, 2010
Kabupaten yang memiliki wilayah terluas adalah Kabupaten Cilacap yaitu sebesar 2.138,51 km2, sedangkan kabupaten yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kabupaten Kudus sebesar 425,17 km2. Kota yang memiliki luas wilayah terbesar yaitu Kota Semarang sebesar 373,67 km2, sedangkan kota yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kota Magelang dengan luas 18,12 km2.
4.3 Kependudukan Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah tercatat sebesar 32.382.657 jiwa atau sekitar 14 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh wilayah Jawa Tengah. Umumnya penduduk terkonsentrasi di perkotaan dengan dukungan aspek kegiatan ekonomi disertai sarana dan prasarana yang memadai. Kawasan permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang Raya (termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan Kendal), Solo Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal-Brebes-Slawi. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa
39
Tengah tercatat sebesar 995 jiwa per km2. Wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 11.341 jiwa setiap km2. Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2910 (Jiwa) Tahun Penduduk 1998 30.385.499 1999 30.761.131 2000 30.775.846 2001 31.063.818 2002 31.651.875 2003 32.052.340 2004 32.397.431 2005 32.908.850 2006 32.177.730 2007 32.380.279 2008 32.626.390 2009 32.864.599 2010 32.382.657 Sumber: BPS 1998-2010
4.4 Ketenagakerjaan Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumberdaya manusia yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan. Menurut BPS, penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, dan dibedakan sebagi Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Pertumbuhan penduduk setiap tahunnya akan mempengaruhi pertumbuhan angkatan kerja. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), angkatan kerja di Jawa Tengah tahun 2010 mencapai 16.856.330 jiwa atau turun sebesar 13 persen dibanding tahun sebelumnya. Tingkat partisispasi angkatan kerja penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 70,60 persen. Sedangkan angka pengangguran terbuka di Jawa Tengah relatif kecil, yaitu sebesar 6,21 persen. Dilihat dari kontribusi tenaga kerja pada tiap sektor dalam perekonomian di Provinsi Jawa
40
Tengah, sektor tersier merupakan sektor terbanyak menyerap pekerja sebesar 39,18 persen. Hal ini dikarenakan sektor tersebut tidak memerlukan pendidikan khusus. Sektor lainnya, yaitu sektor primer dan sekunder, masing-masing menyerap tenaga kerja sebesar 36,39 persen dan 24,43 persen.
4.5 Kondisi Sosial 4.5.1 Pendidikan Penduduk yang bersekolah selama periode tahun pelajaran 2009/20102010/2011 mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya murid tercatat pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Penurunan murid ini terjadi pada jenjang pendidikan SD sebesar 1,86 persen dan SLTP sebesar 1,09 persen. Sedangkan tingkat SLTA mengalami peningkatan sebesar 3,17 persen. Penyediaan sarana fisik dan tenaga guru yang memadai sangat diperlukan dalam menunjang pendidikan. Tahun 2010/2011 jumlah guru SD turun sebesar 5,84 persen, SLTP menurun 0,56 persen, dan guru SLTA menurun 0,44 persen. Banyaknya universitas/akademi pada tahun 2010/2011 tercatat sebanyak 244, terdiri dari 5 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 239 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Jumlah mahasiswa pada PTN naik sebesar 13,53 persen menjadi 137 ribu mahasiswa. 4.5.2 Kesehatan Peningkatan status kesehatan dan gizi dalam suatu masyarakat sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas manusia dalam aspek lainnya, seperti pendidikan dan produktivitas tenaga kerja. Tercapainya kualitas kesehatan dan gizi yang baik tidak hanya penting untuk generasi sekarang tetapi juga bagi
41
generasi berikutnya. Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai sangat diperlukan dalam upaya peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat. Hal ini akan terwujud bila adanya dukungan pemerintah dan swasta sekaligus. Pada tahun 2010 untuk jumlah rumah sakit pemerintah sebanyak 60 buah, sementara rumah sakit khusus dan rumah sakit umum swasta tahun 2010 tercatat 179 buah. Didukung oleh tersedianya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang terdapat hampir di seluruh wilayah kecamatan. Terdapat sebanyak 864 buah Puskesmas di Jawa Tengah. Fasilitas kesehatan lainnya adalah apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, merupakan sarana penyedia obat yang mudah dijangkau masyarakat. Pada tahun 2010 di Jawa Tengah terdapat 2.206 apotik, 297 toko obat dan 322 pedagang besar farmasi. Menurut Dinas Kesehatan, diare merupakan penyakit tertentu yang banyak diderita penduduk Jawa Tengah, tahun 2010 yakni sekitar 609,34 ribu kasus diare, penyakit Demam Berdarah 20,08 ribu ,malaria 3,3 ribu dan HIV/Aids 846 jiwa.
4.6 Perekonomian Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah merupakan tujuan dari pembangunan Jawa Tengah yang terkait dengan visi Jawa Tengah yaitu menciptakan Jawa Tengah yang mandiri, berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan dan menjadi pilar pembangunan nasional dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan YME dalam wadah NKRI. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu daerah adalah dengan melihat perkembangan PDRB.
42
Tabel 4.3 PDRB dan Laju PDRB ADHK Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 Tahun PDRB (Juta Rupiah) Laju PDRB (Persen) 1998 38.065.273 -11,74 1999 39.945.143 3,49 2000 40.941.667 3,93 2001 118.816.400 3,59 2002 123.038.541 3,55 2003 129.166.462 4,98 2004 135.789.872 5,13 2005 143.051.213 5,35 2006 150.682.654 5,33 2007 159.110.253 5,59 2008 168.034.483 5,61 2009 176.673.456 5,14 2010 186.995.480 5,84 Sumber: BPS, 1998-2010
Dilihat dari sektor perekonomian dengan klasifikasi 9 sektor, ada tiga sektor yang mempunyai porsi terbesar dalam PDRB Jawa Tengah, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pertanian serta sektor jasa-jasa. Sektor lain seperti sektor bangunan, sektor pengangkutan, sektor keuangan, listrik dan sektor pertambangan tidak begitu dominan. Tabel 4.4 PDRB ADHK Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 Sektor PDRB ( Miliar Rupiah) Pertanian 34.956 Pertambangan dan Pengglian 2.091 Industri Pengolahan 61.390 Listrik, Gas dan Air Minum 1.615 Bangunan 11.051 Perdagangan, Hotel dan Restoran 40.055 Pengangkutan dan Komunikasi 9.806 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 7.038 Jasa-jasa 19.030 PDRB Total 186.995 Sumber BPS, 2010
Tabel 4.5 menunjukkan penggolongan daerah menurut empat sektor dominan di provinsi Jawa Tengah berdasarkan pada PDRB tahun 2007 (tanpa
43
migas). Dari tabel tersebut terlihat bahwa 19 kabupaten di Jawa Tengah masih didominasi sektor pertanian. Terlihat bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor yang penting di sebagian besar daerah meskipun bukan sebagai porsi terbesar dari PDRB provinsi. Beberapa kabupaten mengandalkan sektor perdagangan dan industri dan untuk daerah perkotaan pada umumnya mengandalkan sektor perdagangan dan sektor jasa. Hal ini karena daerah perkotaan lahan pertanian sudah berkurang dan lebih mengandalkan sektor nonpertanian. Kota Semarang, Pekalongan, Tegal dan Surakarta didominasi oleh sektor perdagangan. Sedangkan sektor jasa-jasa lebih dominan di Kota Salatiga dan Kota Magelang. Tabel 4.5 Penggolongan Daerah menurut Sektor yang Dominan Tahun 2007 Sektor Kabupaten/Kota Jumlah Pertanian Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kab. 19 Kabupaten Banjarnegara, Kab. Kebumen, Kab. Purworejo, Kab. Wonosobo, Kab. Magelang, Kab. Magelang, Kab. Boyolali, Kab. Wonogiri, Kab. Sragen, Kab. Grobogan, Kab. Blora, Kab. Rembang, kab. Pati, Kab. Demak, Kab. Temanggung, Kab. Batang, Kab. Pemalang, Kab. Brebes Industri Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. 7 Kabupaten Kudus, Kab.Jepara, Kab. Semarang, Kab. Kendal, Kab. Pekalongan Perdagangan Kab. Klaten, Kab. Cilacap, Kab. Tegal, Kota 3 kabupaten Surakarta, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan 4 kota Kota Tegal Jasa-jasa Kota Magelang dan Kota Salatiga 2 Kota Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2007
44
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal dengan CV Williamson (CVw). Berdasarkan hasil perhitungan, pada masa sebelum otonomi daerah (1998-2000) (1998 2000) nilai indeks Williamson di Provinsi Jawa Tengah berada b pada kisaran antara 0,6219 0,6219-0,6530. Hal ini menunjukkan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Jawa Tengah
CVw
sebelum otonomi daerah tergolong tinggi karena nilai CVw melebihi batas 0,5. 0.68 0.67 0.66 0.65 0.64 0.63 0.62 0.61 0.6 0.59 0.58 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Sumber: BPS (diolah) Keterangan: Dihitung dengan data PDRB per kapita ADHK
Gambar 5.1 Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 1998 Pada Januari 2001 pemerintah mulai menerapkan otonomi daerah dimana pemerintah daerah berwenang menentukan arah kebijakannya sendiri deng dengan tujuan pelayanan masyarakat dan memajukan perekonomian daerah masing masingmasing. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, trend nilai kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat dahulu hingga tahun 2003. Hal
45
ini disebabkan oleh perbedaan kesiapandari masing-masing wilayah dalam menghadapi otonomi daerah.Kesempatan dan peluang pembangunan yang ada dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik. Sedangkan daerah yang masih tertinggal, kurang mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Pada tahun 2004, pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai berjalan secara efektif ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Peningkatan ini diikuti dengan semakin menurunnya nilai indeks kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pelaksanaan pembangunan terus berlanjut di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dimana arah pembangunan tersebut telah disesuaikan dengan kepentingan dan potensi daerah masing-masing. Sehingga setiap daerah umumnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas sumber daya manusia. Dalam kondisi demikian, setiap kesempatan dan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya, proses pembangunan dapat mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Walaupun nilai kesenjangan ekonomi tersebut berangsurangsur menurun, namuntingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah masih tergolong dalam kategorikesenjangan taraf tinggi karena nilainya diatas batas 0,5.
46
5.2 Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Perkembangan wilayah di Provinsi Jawa Tengah relatif stabil, tanpa adanya pemekaran wilayah administratif, baik kabupaten maupun kota selama kurun waktu penelitian. Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota.Wilayah tersebut dapat diklasifikasikan menggunakan alat analisis Klassen Typology yangberdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Klassen Typologymembagi daerah yang diamati dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income); (2) daerah maju tapi tertekan (high income but low growth); (3) daerah berkembang cepat (high growth but low income); dan (4) daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Berdasarkan hasil analisis Klassen Typology, terdapat beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami pergeseran tipologi (perpindahan posisi kuadran). Namun, dari analisis juga ditemui beberapa wilayah yang selalu berada pada tipologi statis (pada posisi kuadran yang tetap). Pengklasifikasian ini bersifat dinamis karena sangat tergantung pada paradigma pembangunan di provinsi yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa dalam periode waktu penelitian yang berbeda, pengklasifikasian juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita di masing-masing daerah pada saat itu. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah (1998), wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang.Wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta. Wilayah-wilayah yang
47
tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Blora, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Rembang,
Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, dan Kota Pekalongan. Setelah pelaksanaan otonomi daerah (2010), wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kota Tegal. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes.
48
Tabel 5.1 Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah menurut Klassen Typology Tahun 1998 dan 2010 Yi > Y Yi < Y Y R Daerah maju dan Daerah berkembang cepat tumbuh cepat Sebelum Selama Sebelum Selama otonomi otonomi otonomi otonomi daerah daerah daerah daerah (1998) (2010) (1998) (2010) 1 1 2 2 30 13 4 3 32 24 6 6 33 30 8 14 Ri > R 31 12 15 32 16 16 33 18 18 34 20 27 29 35 Daerah maju Daerah relatif tapi tertekan tertinggal Sebelum Selama Sebelum Selama otonomi otonomi otonomi otonomi daerah daerah daerah daerah (1998) (2010) (1998) (2010) 11 11 3 4 13 19 5 5 19 22 7 7 Ri < R 24 35 9 8 31 10 9 14 10 15 12 17 17 21 20 22 21 23 23 25 25 26 26 28 27 34 28 29 Sumber: BPS (diolah) Keterangan: 1 = Kabupaten Cilacap 2 = Kabupaten Banyumas 3 = Kabupaten Purbalingga
19 = Kabupaten Kudus 20 = Kabupaten Jepara
49
4 = Kabupaten Banjarnegara 5 = Kabupaten Kebumen 6 = Kabupaten Purworejo 7 = Kabupaten Wonosobo 8 = Kabupaten Magelang 9 = Kabupaten Boyolali 10 = Kabupaten Klaten 11 = Kabupaten Sukoharjo 12 = Kabupaten Wonogiri 13 = Kabupaten Karanganyar 14 = Kabupaten Sragen 15 = Kabupaten Grobogan 16 = Kabupaten Blora 17 = Kabupaten Rembang 18 = Kabupaten Pati
21 = Kabupaten Demak 22 = Kabupaten Semarang 23 = Kabupaten Temanggung 24 = Kabupaten Kendal 25 = Kabupaten Batang 26 = Kabupaten Pekalongan 27 = Kabupaten Pemalang 28 = Kabupaten Tegal 29 = Kabupaten Brebes 30 = Kota Magelang 31 = Kota Surakarta 32 = Kota Salatiga 33 = Kota Semarang 34 = Kota Pekalongan 35 = Kota Tegal
Rincian kabupaten/kota yang mengalami pergeseran serta yang berada pada posisi statis dari masa sebelum otonomi ke masa otonomi daerah yaitu: 1.
Wilayah yang tetap berada di daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang.
2.
Wilayah yang tetap berada di daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Kudus.
3.
Wilayah yang tetap berada di daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati.
4.
Wilayah yang tetap berada di daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Rembang,
Kabupaten
Demak,
Kabupaten
Temanggung,
Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal. 5.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah maju tapi tertekan ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta.
6.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kota Tegal.
50
7.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kota Pekalongan.
8.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Semarang.
9.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sregen dan Kabupaten Grobogan.
10. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes. Setelah pelaksanaan otonomi daerah (tahun 2010), kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan tetapi masih tergolong dalam taraf tinggi. Oleh karena itu, menurut analisis Klassen Typology, jumlah wilayah yang masuk dalam kategori daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat wilayah menjadi delapan wilayah. Namun, wilayah yang masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal juga masih banyak yaitu sebanyak enam belas wilayah. Hal ini perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah daerah maupun pemerintah Provinsi Jawa Tengah supayadaerahdaerah yang tertinggal dapat diprioritaskan dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan dengan lebih memacu laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal. Diharapkan daerah yang tertinggal dapat memajukan perekonomian daerahnya, mengejar daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat diatasi.
51
5.3Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Pengujian kesesuaian model dalam persamaan pengaruh jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dilakukandalam dua tahap yaitu membandingkan PLS model dengan fixed effects modelkemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect mdodel. Tabel 5.2 Hasil Uji Chow Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 82,139288 15 0,0000 Dasar statistika untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan pooled OLS atau fixed effect menggunakan uji Chow. Keputusan menggunakan fixed effect dapat dilihat dari nilai probabilitas Chi-Square. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,0000 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H0. Kemudian untuk pemilihan model dilanjutkan dengan uji Hausman untuk menentukan model yang digunakan fixed effectatau random effect. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas Chi-Square sebesar 0,0314 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H0 sehingga model yang layak digunakan adalah fixed effect. Tabel 5.3 Hasil Uji Hausman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah TertinggalProvinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 13,847173 6 0,0314
52
Pengujian uji asumsi klasik dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dipilih telah memenuhi asumsi yang telah ditentukan, yaitu: a.
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan bila jumlah observasi kurang dari 30.
Berdasarkan uji Jarque-bera, nilai probabilitas (0,000000) < taraf nyata 5 persen (0,05) maka tolak H0 berarti error term tidak terdistribusi normal. b.
Multikolinearitas Model yang baik harus terbebas dari masalah mutikolinearitas.
Berdasarkan matriks korelasi pearson antar variabel independen, terlihat bahwa korelasi antar variabel cukup rendah (kurang dari 0,8) sehingga dapat disimpulkan model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas. c.
Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilihat dari perbandingan nilai sum squared
resid Weighted Statistic (68,22851) < nilai sum squared resid Unweighted Statistic (70,15147) sehingga terjadi heteroskedastisitas dalam model yang dipilih. Untuk mengatasi adanya heteroskedastisitas dalam model, maka metode estimasi yang dipilih diperbaiki dengan metode Generalized Least Squared (GLS)atau disebut metode cross section weightdan white heterokedasticity. d. Uji Autokorelasi Pengujian asumsi autokorelasi dilakukan dengan menghitung nilai statistik uji Durbin Watson. Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,46 dengan nilai dL sebesar 0,50 dan dU sebesar 2,39 maka nilai statistik Durbin Watson berada pada daerah tanpa ada keputusan.
53
Setelah melakukan uji asumsi klasik, dilanjutkan dengan uji statistik untuk menguji validitas dari model, yaitu: a.
Koefisien Determinasi(R2) Koefisien determinasi mencerminkan variasi dari variabel dependen yang
dapat diterangkan oleh variabel independen. Model dalam penelitian ini memiliki R2 sebesar 0,75. Ini berarti model persamaan jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih mampu menjelaskan variabel laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar 75 persen, sedangkan 25 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. b.
Uji Secara Serempak (Uji F) Nilai probabilitas F-statistic (0,000000) < taraf nyata 5 persen(0,05) maka
tolak H0 artinya minimal ada satu peubah independen yang berpengaruh signifikan terhadap peubah dependen dan dapat dinyatakan pula bahwa hasil estimasi tersebut mendukung keabsahan model. c.
Uji signifikansi individu (uji t) Signifikasi individu dilakukan dengan melihat probabilitas masing-masing
variabel independen terhadap taraf nyata 5 persen. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat tiga variabel yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah antara lain rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan panjang jalan. Variabel-variabel ini berpengaruh secara positif. Tetapi terdapat tiga variabel yang tidak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu jumlah tenaga kerja, belanja modal/pembangunan dan penyaluran air bersih.
54
Tabel 5.4 Hasil Estimasi Regresi Panel Data dengan Pendekatan Fixed Effect dengan Pembobotan danWhite Cross Section Variabel Koefisien Std.Error t-Statistik Probabilitas Independen LNTK -0,328154 0,846837 -0,387506 0,6990 LNRLS 3,437337 0,682995 5,032739 0,0000* LNAHH 32,32304 10,20354 3,167826 0,0019* LNBM 0,026918 0,076386 0,352387 0,7251 LNJLN 1,080137 0,302397 3,571916 0,0005* LNAIR -0,027597 0,086502 -0,319028 0,7502 C -142,2464 45,41839 -3,131911 0,0021* Kriteria Statistik Nilai R-squared 0,758143 Adjusted R-squared 0,721339 F-statistic 20.59932 Prob(F-statistic) 0,000000 Durbin-Watson stat 1,463453 Keterangan: *signifikan pada taraf nyat 5 persen
Berdasarkan hasil estimasi model panel data dengan menggunakan fixed effect model setelah melalui serangkaian uji, maka diperoleh model terbaik dengan hasil estimasi sebagai berikut: Y = -142,2464- 0,328154LnTKit + 3,437337 LnRLSit+ 32,32304 LnAHHit+ 0,026918 LnBMit + 1,080137 LnJLNit-0,027597 LnAIRit+ e Pada
masing-masing
variabel
independen
yang
signifikan
dapat
diinterpretasikan sebagai berikut: 1.
Nilai konstanta (C) sebesar -142,2464 menunjukkan bahwa jika variabel-
variabel independen dianggap konstan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar -142,2464 satuan. Angka sebesar itu dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. 2.
Koefisien jumlah tenaga kerja (LNTK) tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah
55
masih belum optimal. Penggunaan tenaga kerja sudah berlebihan sehingga tidak lagi mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. 3.
Koefisien rata-rata lama sekolah (LNRLS) dengan elastisitas 3,437337
artinya jika terjadi kenaikan rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 3,437337 satuan (ceteris paribus). 4.
Koefisien angka harapan hidup (LNAHH) dengan elastisitas 32,32304
artinya jika terjadi kenaikan angka harapan hidup di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 32,32304 satuan (ceteris paribus). 5.
Variabel belanja modal/pembangunan (LNBM) tidak berpengaruh
signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pada tahun 2010 proporsi belanja untuk pembangunan kurang dari 10 satuan dari total belanja daerah. Dan sekitar 90 satuan belanja daerah dialokasikan untuk belanja rutin antara lain belanja pegawai, belanja barang dan jasa, bagi hasil, dan lain-lain. 6.
Koefisien panjang jalan (LNJLN) dengan elastisitas 1,080137 artinya jika
terjadi kenaikan panjang jalan di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah akan naik sebesar 1,080137 satuan(ceteris paribus). 7.
Variabel penyaluran air bersih (LNAIR) tidak berpengaruh signifikan
terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Seharusnya variabel ini berpengaruh karena dapat meningkatkan produktivitas jika porsi penyaluran air bersih lebih besar di daerah tersebut.
56
5.4 Implikasi Kebijakan Berdasar hasil regresi panel data, dari ketiga faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal yaitu rata-rata lama sekolah (pendidikan), angka harapan hidup (kesehatan), dan panjang jalan dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu kualitas SDM dan infrastruktur. Oleh karena itu, implikasi kebijakan yang dapat dibuat pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu meningkatkan kualitas SDM dan infrastruktur. 5.4.1 Peningkatan Kualitas SDM Modal manusia (human capital) merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Modal manusia dalam terminologi ekonomi sering digunakan untuk bidang pendidikan, kesehatan dan berbagai kapasitas manusia lainnya yang ketika bertambah dapat meningkatkan produktivitas (Todaro, 2006). Suatu negara yang mampu membeli berbagai peralatan canggih tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja terampil dan terlatih tidak akan dapat memanfaatkan barang-barang modal tersebut secara efektif. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui program-program sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas pendidikan di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Komponen rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yang semakin meningkat setiap tahunnya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Tabel 5.5 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 (Tahun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 6,02 6,08 6,17 6,26 6,31 6,49 6,61 6,54 6,74 6,77 Sumber: BPS, 2001-2010
57
Teori Human Capital menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena pendidikan berpengaruh terhadap produktivitas. Pendidikan menjadikan SDM lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu daerah. Menurut Todaro (2006), pendidikan memainkan peran kunci dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk mengadopsi teknologi modern dan dalam meningkatkan kapasitas produksi bagi pertumbuhan yang berkelanjutan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di daerah, serta menambah bantuan belajar bagi murid seperti beasiswa. Berdasarkan tabel 5.6 jumlah guru di daerah tertinggal lebih sedikit dibandingkan daerah maju sehingga jumlah rasio murid terhadap guru di daerah tertinggal lebih tinggi dibanding daerah maju maupun provinsi. Hal ini berarti di daerah tertinggal masih kekurangan guru. Oleh karena itu, untuk lebih mengefektifkan kegiatan pembelajaran, perlu penambahan guru di daerah tertinggal. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif berupa tunjangan lebih bagi guru yang bersedia mengajar di daerah-daerah tertinggal. Tabel 5.6 Perbandingan Jumlah Guru , Murid, Rasio Murid Terhadap Guru di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Rasio murid Sekolah Guru Murid terhadap guru SD 94.755 1.641.159 17,3 SLTP 36.272 353.084 9,7 SLTA 37.534 560.331 14,9 Total Daerah Tertinggal 168.561 2.554.574 15,2 Total Daerah Maju 190.986 2.808.985 14,7 Provinsi Jawa Tengah 359.547 5.363.466 14,9 Sumber: BPS, 2010
58
2. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Komponen angka harapan hidup di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat sehingga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Menurut Todaro (2006), harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan. Kesehatan juga merupakan prasayarat bagi peningkatan produktivitas. Dengan demikian kesehatan juga dilihat sebagai komponen vital pertumbuhan sebagai input fungsi produksi agregat. Tabel 5.7 Perkembangan Angka Harapan Hidup di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 (Tahun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 68,68 68,82 68,95 69,14 69,26 69,48 69,62 96,69 69,87 70,06 Sumber: BPS, 2001-2010
peningkatkan kualitas kesehatan dilakukan dengan pemberian kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berupa puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain seperti apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh daerah tertinggal. Berdasarkan tabel 5.8 jumlah dokter di daerah tertinggal pada tahun 2010 lebih kecil dibandingkan jumlah dokter di daerah maju. Dan rata-rata dokter per puskesmas di daerah tertinggal hanya sebesar 2,15 lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata dokter per puskesmas di daerah maju sebesar 3,47 maupun di Provinsi Jawa Tengah sebesar 2,62. Tabel 5.8 Perbandingan Jumlah Dokter dan Dokter Per Puskesmas di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Wilayah Dokter Dokter Per Puskesmas Daerah Tertinggal 851 2,15 Daerah Maju 1.409 3,47 Provinsi Jawa Tengah 2.260 2,62 Sumber: BPS, 2010
59
Hal tersebut menunjukkan di daerah tertinggal masih kekurangan dokter. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kesehatan juga dapat dilakukan dengan penambahan jumlah dokter di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif berupa tunjangan lebih bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah-daerah tertinggal. 5.4.2 Peningkatan Kualitas Infrastruktur Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Ketersediaan transportasi yang memadai dapat membuka keterisolasian daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut dengan lancarnya arus barang dan jasa (Prahara, 2010). Jalan merupakan sarana penghubung untuk mobilitas barang dan jasa baik di dalam daerah itu sendiri maupun dari daerah tersebut ke daerah lain di sekitarnya. Tabel 5.9 Panjang Jalan Menurut Kondisi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 (Km) Baik Sedang Rusak Rusak Berat 5.657,24 2.514,79 1.893,31 1.084,67 Sumber: BPS, 2010
Berdasarkan tabel 5.9 kondisi jalan yang rusak dan rusak berat lebih pendek dibandingkan jalan yang dalam kondisi baik dan sedang, tetapi jika jalan yang rusak dan rusak berat diperbaiki, maka dapat meningkatkan efisiensi transportasi, baik untuk barang maupun manusia. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur, terutama pembangunan jalan yang menghubungkan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan jalan yang rusak. Dapat juga dilakukan perpanjangan jalan di daerah tertinggal untuk memperlancar kegiatan perekonomian di daerah tersebut.
60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Kesenjangan ekonomi antarwilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah, tetapi setelah tahun 2004 saat pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai efektif, trend kesenjangan ekonomi antarwilayah semakin menurun walaupun masih dalam taraf tinggi. 2. Setelah otonomi daerah di Provinsi Jawa Tengah, wilayah yang tergolong daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat menjadi delapan, namun wilayah yang termasuk daerah relatif tertinggal masih banyak yaitu sebanyak enam belas wilayah. 3. Faktor-faktor yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal antara lain sumber daya manusia dan infrastruktur. SDM dilihat dari rata-rata lama sekolah (pendidikan), dan angka harapan hidup (kesehatan). Sedangkann infrastruktur dapat dilihat dari panjang jalan. Namun, jumlah tenaga kerja, belanja modal/pembangunan dan penyaluran air bersih tidak berpengaruh secara signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah.
6.2 Saran 1. Daerah-daerah yang tertinggal sebaiknya dijadikan prioritas pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi dalam pembuatan kebijakan pembangunan ekonomi.
61
2. Pemerintah hendaknya menambah jumlah guru dengan memberikan insentif bagi guru yang bersedia mengajar di daerah tertinggal, melakukan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di daerah, serta menambah bantuan belajar bagi murid seperti beasiswa untuk meningkatkan tingkat pendidikan dalam rangka memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. 3. Pemerintah sebaiknya memberikan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan dan ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berupa puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain seperti apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh wilayah di daerah-daerah tertinggal serta menambah jumlah dokter dengan memebrikan insentif bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah tertinggal untuk meningkatkan kualitas kesehatan dalam rangka memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. 4. Pemerintah perlu melakukan perbaikan infrastruktur jalan yang rusak serta memperpanjang jalan di daerah tertinggal sehingga dapat mendorong kegiatan perekonomian di daerah-daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah.
62
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Wijaya. 2000. Kajian Ketimpangan Jawa dan Luar Jawa. LIPI, Jakarta. Adisasmita, H. Rahardjo. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 1998-2001. Produk Domestik Regional Bruto Propinsipropinsi di Indonesia Menurut Penggunaan. BPS Pusat, Jakarta. __________________. 1998-2001. PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/Kota. BPS Provinsi Jawa Tengah, Semarang. __________________. 2000-2003. PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/Kota. BPS Provinsi Jawa Tengah, Semarang. __________________. 2000-2010. Jawa Tengah Dalam Angka. BPS Provinsi Jawa Tengah, Jawa Tengah. __________________. 2001-2005. Produk Domestik Regional Bruto Propinsipropinsi di Indonesia Menurut Penggunaan. BPS Pusat, Jakarta. __________________. 2001-2010. Statistik Keuangan Kabupaten/Kota. BPS Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Pemerintah
__________________. 2004-2008. PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/Kota. BPS Provinsi Jawa Tengah, Semarang. __________________. 2006-2010. Produk Domestik Regional Bruto Propinsipropinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha. BPS Pusat, Jakarta. Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga, Jakarta. Bhinadi, Ardito. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 8 N0.1: 39-48. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.
63
Fabia, Aulia. 2006. Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. [Skripsi]. Sarjana Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati, D. N. 1997. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Gujarati, D. N. 2007. Dasar-dasar Ekonometrika. Erlangga, Jakarta. Haris, Syamsuddin. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasti, Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press, Jakarta. Hartono, Budiantoro. 2008. Analisis Ketimpangam Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Kamaluddin, Rustian. 1992. Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah. LP Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Prahara, Guntur. 2010. Analisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prayitno, H. dan Budi S. 1996. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia, Jakarta. Satrio, R. W. 2009. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia. [Skripsi]. Sarjan Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma, Jakarta. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Supriyantoro, Gigih. 2005. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupatenkota di Provinsi Jawa Tengah. [Skripsi]. Sarjan Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, Tulus. T. H. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. PT Ghalia Indonesia, Jakarta. Todaro, M.P. dan Stephen C. S. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta.
64
LAMPIRAN
64
Lampiran 1. PDRB Per Kapita ADHK 2000 Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2003 (Rupiah) Kabupaten/Kota Kab.Cilacap Kab.Banyumas Kab.Purbalingga Kab.Banjarnegara Kab.Kebumen Kab.Purworejo Kab.Wonosobo Kab.Magelang Kab.Boyolali Kab.Klaten Kab.Sukoharjo Kab.Wonogiri Kab.Karanganyar Kab.Sragen Kab.Grobogan Kab.Blora Kab.Rembang Kab.Pati Kab.Kudus Kab.Jepara Kab.Demak
1998 1.312.744,148 701.319,493 772.048,990 1.016.178,383 749.777,549 922.476,206 740.991,047 956.704,800 1.009.232,292 1.035.396,510 1,458.601,435 756.054,371 1.484.226,142 781.799,655 569.012,946 819.407,479 841.869,147 839.078,397 4.354.798,661 1.037.194,893 764.890,071
1999 1.327.602,385 697.906,207 775.318,647 1.006.835,701 738.296,728 942.028,138 712.328,008 964.672,980 1.013.182,168 1.033.914,873 1.452.859,244 766.352,043 1.498.637,062 791.014,413 545.094,524 820.357,514 855.284,081 848.084,159 4.314.670,710 1.028.054,875 769.094,897
2000 2.3975840,720 710.428,576 781.440,948 1.023.927,961 774.714,417 972.453,421 714.841,483 965.366,425 1.012.699,035 1.080.159,570 1.447.528,982 810.938,836 1.580.659,670 826.962,548 565.799,128 836.963,991 908.854,964 822.227,309 4.401.218,852 1.027.386,534 770.913,735
2001 2.487.116,181 712.332,873 798.639,338 1.016.124,068 784.645,595 1.004.953,932 713.360,017 994.414,624 1.042.644,551 1.124.616,940 1.482.615,369 830.805,994 1.588.062,817 843.060,817 583.422,273 852.752,057 936.836,109 839.331,567 448.763,215 1.047.216,554 780.964,599
2002 2.641.159,666 730.628,290 816.242,646 1.020.233,580 800.595,101 1.040.623,561 716.840,462 1.012.439,227 1.100.849,859 1.105.646,528 1.500.060,964 856.551,445 1.587.534,622 855.514,319 593.420,710 868.067,292 960.497,238 849.354,950 4.600.100,731 1.064.976,837 781.827,931
2003 2.767.518,889 732.530,635 797.579,854 1.015.263,984 8129.82,410 1.091.728,975 725.465,285 1.048.512,920 1.126.405,152 1.198.730,132 1.538.225,968 856.963,240 1.589.111,466 880.703,128 614.358,751 902.789,578 980.461,576 863.812,188 4.657.099,213 1.066.015,883 792.429,034
65
Kab.Semarang Kab.Temanggung Kab.Kendal Kab.Batang Kab.Pekalongan Kab.Pemalang Kab.Tegal Kab.Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah Rata-rata
1.196.885,624 1.020.047,067 1.746.668,999 1.108.922,492 1.114.130,613 846.519,366 646.710,105 748.051,771 2.383.047,111 2.342.395,857 2.318.184,657 3.381.894,046 1.094.877,671 1.019.231,384 43.891.369,380 1.254.039,125
1.204.709,979 1.034.550,729 1.761.664,199 1.125.124,880 1.146.198,150 845.978,853 655.311,956 766.602,996 2.438.139,089 2.359.568,779 2.309.127,876 3.426.503,335 1.073.619,347 998.446,264 44.047.135,790 1.258.485,940
1.264.676,437 1.057.753,883 1.834.146,445 1.096.196,840 1.084.549,937 868.659,502 663.347,672 817.652,135 2.739.242,376 2.662.037,403 1.693.478,672 3.832.762,851 1.666.484,084 1.520.812,157 47.234.870,850 1.349.567,739
1.297.327,829 1.094.845,658 1.870.520,573 1.107.859,026 1.114.609,126 884.309,291 685.779,458 846.017,504 2.809.608,305 2.763.589,794 1.698.260,545 3.994.864,473 1.722.474,904 1.594.351,161 44.397.097,140 1.268.488,490
1.335.244,324 1.058.336,463 1.896.438,193 1.116.546,365 1.123.377,191 865.898,541 705.345,330 878.154,838 2.926.942,694 3.181.755,882 1.678.328,050 3.864.613,954 1.762.789,951 1.670.812,404 49.567.750,140 1.416.221,433
1.326.740,510 1.120.323,952 1.887.315,011 1.109.288,814 1.159.803,165 914.873,745 729.819,729 901.447,555 2.966.451,089 3.126.683,673 1.799.313,525 4.237.148,457 1.792.716,806 1.730.763,572 50.861.377,860 1.453.182,225
66
Lampiran 2. PDRB Per Kapita ADHK 2000 Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2010 (Rupiah) Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Kab.Cilacap Kab.Banyumas Kab.Purbalingga Kab.Banjarnegara Kab.Kebumen Kab.Purworejo Kab.Wonosobo Kab.Magelang Kab.Boyolali Kab.Klaten Kab.Sukoharjo Kab.Wonogiri Kab.Karanganyar Kab.Sragen Kab.Grobogan Kab.Blora Kab.Rembang Kab.Pati Kab.Kudus Kab.Jepara Kab.Demak
5.819.714,388 2.302.768,758 2.157.539,232 2.456.559,749 1.908.034,169 3.119.039,159 1.978.588,121 2.686.665,056 3.563.213,499 3.525.429,791 4.613.478,643 2.312.273,566 4.839.254,100 2.558.721,551 1.873.772,149 1.936.664,497 3.028.288,282 2.899.414,370 13.673.73,330 3.107.643,147 2.277.067,709
6.059.660,634 2.349.227,811 2.225.481,043 2.519.714,565 1.956.485,958 3.260.580,419 2.013.475,361 2.775.199,515 3.670.320,776 3.650.052,194 4.702.686,370 2.404.725,817 5.020.383,787 2.675.280,092 1.932.945,083 1.996.213,155 3.103.006,153 2.974.297,969 14.023.27,430 3.165.556,596 2.306.382,364
6.551.251,831 2.522.060,704 2.471.848,492 2.764.665,650 2.045.175,893 3.405.066,215 2.155.371,276 2.952.886,595 3.879.592,367 3.777.233,354 5.064.096,235 2.583.603,505 5.504.413,772 2.852.483,756 2.034.814,282 2.100.600,305 3.374.784,539 3.235.893,556 14.271.856,940 3.359.013,358 2.525.409,084
6.863.609,578 2.646.187,311 2.608.376,300 2.888.146,267 2.127.929,869 3.602.376,688 2.225.669,464 3.085.090,435 4.018.206,644 3.893.059,515 5.284.140,963 2.710.929,681 5.778.118,024 3.010.445,349 2.110.729,041 2.177.959,380 3.491.053,364 3.396.703,365 14.537.076,160 3.467.371,769 2.611.076,753
7.185.350,889 2.775.818,181 2.725.908,251 3.011.388,827 2.234.112,935 3.789.441,584 2.297.799,408 3.212.407,434 4.155.036,405 4.031.026,114 5.492.629,760 2.819.122,017 6.057.749,116 3.171.902,118 2.206.648,787 2.292.690,443 3.636.669,776 3.552.462,110 14.828.579,280 3.566.052,231 2.695.119,164
7.548.467,975 2.914.069,533 2.857.968,025 3.146.754,539 2.313.536,116 3.962.525,211 2.376.711,386 3.337.322,442 4.343.831,282 4.187.981,367 5.706.628,078 2.945.692,125 6.197.066,197 3.353.104,252 2.301.167,676 2.399.197,133 3.781.763,185 3.707.475,664 15.202.386,350 3.687.308,590 2.781.726,431
7.915.518,782 2.994.244,564 2.975.283,326 3.324.296,126 2.539.670,169 4.337.763,446 2.502.120,567 3.483.379,836 4.565.187,232 4.285.881,278 6.039.837,171 3.221.855,316 6.704.946,274 3.575.655,636 2.485.984,950 2.549.473,960 3.862.232,079 3.845.406,766 16.271.812,580 3.891.674,778 2.861.766,898
67
Kab.Semarang Kab.Temanggung Kab.Kendal Kab.Batang Kab.Pekalongan Kab.Pemalang Kab.Tegal Kab.Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah Rata-rata
4.907.951,632 2.720.672,413 4.698.081,944 2.736.408,210 2.970.151,059 1.982.491,016 1.854.884,442 2.324.715,704 6.811.485,644 7.263.885,298 4.202.271,986 10.953.14,180 5.989.012,802 3.971.375,008 136.024.39,6 3.886.411,274
5.012.604,109 2.779.389,270 4.765.535,752 2.768.646,410 3.029.005,963 2.013.387,058 1.909.760,755 2.395.682,488 6.717.259,432 7.217.737,962 4.103.405,468 11.278.91,940 5.988.216,795 4.017.523,156 138.782.29,9 3.965.208,541
5.221.744,588 2.964.448,082 4.790.086,148 2.990.897,638 3.234.704,513 2.130.820,781 2.100.604,430 2.577.758,144 6.922.286,614 7.930.485,106 4.392.163,529 11.658.924,310 6.450.898,208 4.411.430,191 147.209,374 4.205.982,114
5.410.191,089 3.058.053,093 4.928.583,361 3.082.848,997 3.357.724,465 2.202.650,837 2.210.952,932 2.685.421,887 7.157.551,768 8.316.547,491 4.537.578,578 12.187.351,560 6.651.013,053 4.625.357,333 152.946.082,4 4.369.888,068
5.573.831,806 3.135.698,290 5.049.197,814 3.178.989,936 3.487.315,651 2.285.280,169 2.321.422,298 2.794.523,687 7.383.009,397 8.699.633,702 4.663.212,198 12.676.255,930 6.858.911,645 4.850.636,876 158.695.834.2 4.534.166,692
5.749.999,631 3.233.211,037 5.197.810,921 3.280.706,019 3.606.742,331 2.366.918,796 2.440.483,967 2.913.904,008 7.622.124,257 9121.278,659 4.771.2894,43 13.078.049,780 7.098.518,940 5.083.273,448 164.616.994,8 4703.342,708
5.974.417,740 3.400.465,743 5.990.100,898 3.342.675,080 3.851.979,893 2.739.687,796 2.600.442,202 3.176.366,098 9.376.907,898 10.22.132,598 5.360.237,888 13.731.38,657 7.415.998,671 5.348.637,515 176.764.621,7 5.050.417,763
68
Lampiran 3. Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2004 (Jiwa) Kabupaten/Kota Kab.Cilacap Kab.Banyumas Kab.Purbalingga Kab.Banjarnegara Kab.Kebumen Kab.Purworejo Kab.Wonosobo Kab.Magelang Kab.Boyolali Kab.Klaten Kab.Sukoharjo Kab.Wonogiri Kab.Karanganyar Kab.Sragen Kab.Grobogan Kab.Blora Kab.Rembang Kab.Pati Kab.Kudus Kab.Jepara Kab.Demak
1998
1999
1.562.875 1.402.448 762.439 826.378 1.153.960 706.799 697.555 1.048.170 866.137 1.108.798 727.832 981.889 750.519 849.852 1.222.881 799.482 554.301 1.100.224 690.428 905.666 924.236
1.579.215 1.416.816 767.590 835.964 1.163.848 709.296 705.470 1.056.540 872.974 1.115.786 739.867 987.539 761.722 856.614 1.237.087 804.751 561.477 1.105.410 702.330 919.833 940.622
2000 1600.834 1.447.865 782.714 831.327 1.160.922 703.691 730.677 1.092.776 891.363 1.107.477 768.752 966.271 754.802 842.759 1.257.958 808.443 554.690 1.144.300 701.537 962.909 965.499
2001 1.613.964 1.460.324 788.675 838.962 1.166.604 704.063 739.648 1.102.359 897.207 1.109.486 780.949 967.178 761.988 845.320 1.271.500 813.675 559.523 1.154.506 709.905 980.443 984.741
2002 1.630.832 1.472.122 795.874 848.317 1.176.102 705.272 750.939 1.127.714 906.539 1.167.613 799.493 974.353 786.557 855.948 1.289.937 821.588 566.288 1.171.785 718.253 999.635 1.009.863
2003 1.641.849 1.501.370 846.924 884.353 1.193.850 709.397 759.018 1.142.467 925.722 1.120.400 807.635 1.004.722 811.877 859.986 1.299.175 826.702 576.417 1.187.646 738.410 1.034.799 1.024.934
69
Kab.Semarang Kab.Temanggung Kab.Kendal Kab.Batang Kab.Pekalongan Kab.Pemalang Kab.Tegal Kab.Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah
823.160 646.741 851.882 623.457 729.330 1.221.111 1.310.732 1.690.864 123.750 526.392 104.085 1.400.911 367.206 323.009 30.385.499
829.768 652.034 861.243 628.764 734.887 1.241.320 1.326.261 1.722.868 125.632 530.100 106.361 1.429.808 389.294 342.040 30.761.131
828.169 659.881 845.370 658.321 795.044 1.253.706 1.374.382 1.689.011 116.245 489.368 150.201 1.341.730 260.814 236.038 30.775.846
834.314 665.470 851.504 665.426 807.051 1.271.404 1.391.184 1.711.364 116.800 489.900 155.244 1.353.047 263.190 236.900 31.063.818
842.242 710.991 859.471 674.307 819.397 1.343.951 1.410.057 1.728.808 116.498 448.168 163.079 1.455.994 265.829 238.059 31.651.875
879.785 694.392 882.145 692.519 829.984 1.316.977 1.429.345 1.763.581 119.400 485.501 158.112 1.389.416 271.418 242.112 32.052.340
70
Lampiran 4. Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2010 (Jiwa) Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Kab.Cilacap Kab.Banyumas Kab.Purbalingga Kab.Banjarnegara Kab.Kebumen Kab.Purworejo Kab.Wonosobo Kab.Magelang Kab.Boyolali Kab.Klaten Kab.Sukoharjo Kab.Wonogiri Kab.Karanganyar Kab.Sragen Kab.Grobogan Kab.Blora Kab.Rembang Kab.Pati Kab.Kudus Kab.Jepara Kab.Demak
1.654.971 1.514.105 854.924 891.964 1.200.724 709.878 769.138 1.154.862 931.950 1.127.747 820.685 1.007.435 820.432 863.046 1.314.280 832.723 582.111 1.197.856 745.848 1.053.116 1.044.978
1.674.210 1.531.737 863.478 903.919 1.208.486 712.003 779.919 1.169.638 941.624 1.139.218 838.149 1.010.456 834.265 868.036 1.334.380 840.729 588.320 1.213.664 759.267 1.077.586 1.071.487
1.621.664 1.490.665 816.720 859.668 1.203.230 717.439 752.136 1.153.234 928.164 1.126.165 813.657 978.808 799.595 856.296 1.318.286 829.745 570.870 1.165.159 764.563 1.058.064 1.017.884
1.623.176 1.495.981 821.870 864.148 1.208.716 719.396 754.447 1.161.278 932.698 1.128.852 819.621 980.132 805.462 857.844 1.326.414 831.909 572.879 1.167.621 774.838 1.073.631 1.025.388
1.626.795 1.503.262 828.125 869.777 1.215.801 722.293 757.746 1.170.894 938.469 1.133.012 826.699 982.730 812.423 860.509 1.336.322 835.160 575.640 1.171.605 786.269 1.090.839 1.034.286
1.629.908 1.510.102 834.164 875.167 1.222.542 724.973 760.819 1.180.217 943.987 1.136.829 833.575 985.024 819.186 862.910 1.345.879 838.159 578.232 1.175.232 797.617 1.107.973 1.042.932
1.642.107 1.554.527 848.952 868.913 1.159.926 695.427 754.883 1.181.723 930.531 1.130.047 824.238 928.904 813.196 858.266 1.308.696 829.728 591.359 1.190.993 777.437 1.097.280 1.055.579
71
Kab.Semarang Kab.Temanggung Kab.Kendal Kab.Batang Kab.Pekalongan Kab.Pemalang Kab.Tegal Kab.Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah
885.500 704.820 887.091 701.277 842.122 1.339.112 1.446.284 1.784.094 123.576 505.153 164.979 1.406.233 273.633 240.784 32.397.431
894.018 717.486 897.560 712.542 858.650 1.371.943 1.471.043 1.814.274 130.732 534.540 175.967 1.435.800 284.112 249.612 32.908.850
890.898 694.949 925.620 676.152 837.906 1.344.597 1.406.796 1.765.564 129.952 512.898 171.248 1.468.292 271.808 239.038 32.177.730
900.420 700.845 938.115 678.909 844.228 1.358.952 1.410.290 1.775.939 132.177 517.557 174.699 1.488.645 273.342 239.860 32.380.279
911.223 707.707 952.011 682.561 851.700 1.375.240 1.415.625 1.788.687 134.615 522.935 178.451 1.511.236 275.241 240.502 32.626.390
921.865 714.411 965.808 686.016 858.967 1.391.284 1.420.532 1.800.985 137.055 528.202 182.226 1.533.686 277.065 241.070 32.864.599
930.727 708.546 900.313 706.764 838.621 1.261.353 1.394.839 1.733.869 118.227 499.337 170.332 1.555.984 281.434 239.599 32.382.657
72
Lampiran 5. Perhitungan Indeks Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
y 1.254.039,125 1.258.485,940 1.349.567,739 1.268.488,490 1.416.221,433 1.453.182,225 3.886.411,274 3.965.208,541 4.205.982,114 4.369.888,068 4.534.166,692 4.703.342,708 5.050.417,763
f 30.385.499 30.761.131 30.775.846 31.063.818 31.651.875 32.052.340 32.397.431 32.908.850 32.177.730 32.380.279 32.626.390 32.864.599 32.382.657
Yi
Y
2
.
fi f
0,608329492 0,616078362 0,776670588 0,607430632 0,865068859 0,954308869 6,537753332 6,894735392 7,431906202 7,974950312 8,516928916 9,058434443 10,30957587
CVw 0,6219 0,6237 0,6530 0,6144 0,6567 0,6722 0,6579 0,6622 0,6482 0,6462 0,6436 0,6399 0,6358
73
Lampiran 6. Matriks Korelasi Pearson Antar Variabel Independen
Y LNAK LNBM LNAMH LNRLS LNAHH LNJLN LNAIR
Y 1.000000 -0.005778 0.297531 0.234896 0.264741 0.022157 0.103503 0.100387
LNAK -0.005778 1.000000 -0.230856 -0.246890 0.340769 0.125282 -0.137607 -0.134658
LNBM 0.297531 -0.230856 1.000000 0.104695 -0.056663 -0.024888 0.221861 0.190371
LNAMH 0.234896 -0.246890 0.104695 1.000000 0.438409 0.168214 -0.458783 0.282704
LNRLS 0.264741 0.340769 -0.056663 0.438409 1.000000 0.509966 -0.332611 0.167407
LNAHH 0.022157 0.125282 -0.024888 0.168214 0.509966 1.000000 0.064154 0.329090
LNJLN 0.103503 -0.137607 0.221861 -0.458783 -0.332611 0.064154 1.000000 0.168199
Lampiran 7. Uji Normalitas 35
Series: Standardized Residuals Sample 2001 2010 Observations 160
30 25
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
20 15 10
Jarque-Bera Probability
5 0 -3
-2
-1
0
1
2
8.33e-18 0.037124 2.640155 -2.836430 0.661453 -0.531148 7.332839 132.6798 0.000000
LNAIR 0.100387 -0.134658 0.190371 0.282704 0.167407 0.329090 0.168199 1.000000
74
Lampiran 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan Fixed Effect dengan Cross Section Weight dan White Heteroskedasticity
Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/17/12 Time: 09:29 Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 160 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNTK LNRLS LNAHH LNBM LNJLN LNAIR C
-0.328154 3.437337 32.32304 0.026918 1.080137 -0.027597 -142.2464
0.846837 0.682995 10.20354 0.076386 0.302397 0.086502 45.41839
-0.387506 5.032739 3.167826 0.352387 3.571916 -0.319028 -3.131911
0.6990 0.0000 0.0019 0.7251 0.0005 0.7502 0.0021
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.758143 0.721339 0.703143 20.59932 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
6.235519 3.943010 68.22851 1.463453
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.533536 70.15147
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.986500 1.342120
75
Lampiran 9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan PLS
Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 160 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNTK LNRLS LNAHH LNBM LNJLN LNAIR C
0.356139 3.962020 -6.946368 0.400356 0.695885 3.71E-05 6.701376
0.309684 1.032491 4.891494 0.112221 0.391105 0.101010 20.91729
1.150006 3.837342 -1.420091 3.567568 1.779278 0.000367 0.320375
0.2519 0.0002 0.1576 0.0005 0.0772 0.9997 0.7491
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.227087 0.196777 0.871623 116.2382 -201.4676 7.492081 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.986500 0.972547 2.605845 2.740384 2.660477 0.953504
76
Lampiran 10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Pendekatan Random Effect Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/17/12 Time: 09:30 Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 160 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNTK LNRLS LNAHH LNBM LNJLN LNAIR C
0.216473 5.243378 -1.500285 0.273477 1.014876 0.099980 -17.34870
0.545696 1.269399 8.116278 0.099043 0.616296 0.122910 35.32230
0.396691 4.130599 -0.184849 2.761201 1.646736 0.813441 -0.491154
0.6921 0.0001 0.8536 0.0065 0.1017 0.4172 0.6240
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.546146 0.709999
Rho 0.3717 0.6283
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.237996 0.208114 0.727979 7.964405 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.515769 0.818065 81.08291 1.303944
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.155285 127.0366
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.986500 0.832261