Patirthān di Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta Dimas Nugroho, S.Hum.1 dan Prof. Dr. Agus Aris Munandar 2 1. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
2. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak Patirthān merupakan peninggalan arsitektur bangunan atau kolam penampungan air yang memiliki fungsi profan yakni sebagai pemenuh kebutuhan air dan sakral yakni sebagai sarana pendukung kegiatan keagamaan. Patirthān muncul dan berkembang dari masa klasik tua hingga masa klasik muda. Berbeda dengan bangunan candi, bangunan patirthān tidak memiliki pedoman pembangunan yang baku, sehingga tidak diketahui ciri, gaya serta penataan dari bangunan tersebut. Penelitian ini membahas 11 patirthān yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta guna mengetahui ciri, gaya serta penataan dari bangunan patirthān dan membandingkannya dengan patirthān masa klasik muda di Jawa Timur. Kata Kunci: Patirthān, amerta, klasik tua, klasik muda.
Patirthān in Central Java and Daerah Istimewa Yogyakarta Region Abstract Patirthān is one of architectural remains or a sacred pool which believed having profane function as a daily needs and sacred function as part or ritual. In ancient Javanese period, Patirthān can be found both in early classic and late classic period. Patirthān can be distinguished from Candi, especially in guiding aspect and manual books, Most of Patirthān do not have some sort of manual book. This concept, then implicate the form and style of Partithān’s architecture. This undergraduate thesis will deliberate 11 Patirthān located in Central Java and Yogyakarta for the purpose acquiring characteristic, style, and placing from Patirthān and comparing from Patirthān in Ancient Javanese Late Period. Keywords: Patirthān, amerta, early classic and late classic.
Pendahuluan Patirthān merupakan salah satu bentuk peninggalan arkeologis masa klasik yang berkembang di Indonesia dari abad ke-8 hingga abad ke-15 M. Menurut Agus Aris Munandar “Petirthaan yang berasal dari kata patirthān (pa + tirtha + an) mempunyai kata dasar tirtha yang artinya air, dalam hal keagamaan air yang dimaksud adalah air suci yang dapat membuat suci seseorang“ (Munandar, 2010: 112). Sedangkan menurut Daigoro Chihara patirthān merupakan suatu bangunan berupa kolam ataupun penampungan air yang berhubungkan dengan kepercayaan Hindu. Airnya dianggap sebagai air suci yang berasal dari empat sungai suci yang airnya dialirkan dari Gunung Mahameru (Chihara, 1996: 43-44).
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
Air merupakan elemen yang terpenting dan memberikan makna bagi suatu bangunan patirthān. Hal tersebutlah yang menyebabkan konsep bangunan patirthān berkaitan erat dengan konsep serta makna air yang dikenal pada masa Jawa Kuno. Air dianggap memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan sakral maupun profan. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Junus Satrio Atmodjo, yakni “Air dapat direpresentasikan sebagai unsur pemenuh kebutuhan praktis bersifat keseharian atau kebutuhan simbolik yang terkait dengan nilai kesucian“ (Atmodjo, 2010: 7). Pandangan masyarakat Jawa Kuno mengenai air juga banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buddha. Berdasarkan kepercayaan Hindu, air memiliki hubungan dengan para dewa-dewa. Menurut Stella Kramrisch terdapat tempattempat yang baik untuk dihuni dan beberapa tempat darinya masuk ke dalam wilayah dewadewa bermain dan menghuni, tempat-tempat yang disukai oleh dewa dan tempat kediaman dewa yakni di tempat-tempat seperti di dekat danau, sungai, gunung, taman, dan di dekat sumber-sumber air (Kramrisch, 1946: 4). Konsep mengenai air tersebutlah yang akan mempengaruhi fungsi, bentuk serta komponen dari suatu bangunan patirthān. Fungsi dari bangunan patirthān menurut Agus Aris Munandar dapat dibagi menjadi dua yakni untuk memenuhi kebutuhan air dan untuk upacara keagamaan. Bentuk dari patirthān dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yakni bentuk mata air atau tempat berair yang tidak mengalami perubahan, bentuk yang sudah mengalami sebagian perubahan, dan bentuk yang merupakan bangunan buatan keseluruhannya yang tidak memiliki sumber air (Munandar, 2010: 112-113). Bangunan patirthān berkembang di wilayah provinsi Jawa Tengah termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Perkembangan jenis bangunan ini tidak terlepas dari fungsi dari bangunan tersebut yang dianggap memiliki fungsi sakral dan dianggap memiliki peran dalam berbagai kegiatan keagamaan masyarakat masa lalu, sebagaimana fungsi dari bangunan candi. Namun patirthān berbeda dengan candi, karena candi memiliki pedoman pembangunan yang tertuang dalam kitab Manasara-Silpasastra dan Silpaprakasa. Hal tersebutlah yang menyebabkan candi-candi yang ada di Jawa memiliki beberapa pola kesamaan bentuk, pola penataan serta gaya bangunan dan atribut bangunan candi. Bangunan patirthān tidak memiliki pedoman pembangunan, sehingga tidak diketahui apakah bangunan ini memiliki pola kesamaan penataan, bentuk, maupun gaya bangunan. Penelitian ini ditujukan untuk pola-pola kesamaaan penataan maupun bentuk dari bangunan patirthān yang ada di wilayah provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta atau pada masa kebudayaan klasik tua. Gaya atau style menurut Francis D.K. Ching adalah “Karakteristik tertentu atau bentuk khas ekspresi seni dari seseorang, orang, atau periode“
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
(Ching, 1995: 128). Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah gaya yang merepresentasikan bangunan masa klasik tua. Untuk mengetahui gaya bangunan maka dibutuhkan perbandingan dari bentuk serta komponen-komponen lainnya guna mengetahui ciri kuat apa yang terlihat sehingga bisa disebut sebagai gaya. Perbandingan tersebut akan dilakukan pada sebelas patirthān yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yoyakarta. Perbandingan juga akan dilakukan pada bangunan patirthān masa klasik muda berdasarkan pada penelitian sebelumnya. Permasalahan dan Tujuan Penelitian Fokus utama dari penelitian ini adalah apakah patirthān memiliki kesamaan struktur bangunan serta penataan seperti yang ditemukan pada bangunan candi atau tidak antara patirthān yang ada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut akan berhubungan dengan gaya dari bangunan patirthān yang ada pada masa klasik tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap aktivitas keagamaan masyarakat masa lalu, terutama yang berhubungan secara langsung dengan bangunan patirthān maupun air sebagai elemen utama dari bangunan tersebut. Berusaha mengungkap konsep serta nilai-nilai keagamaan masyarakat masa Jawa Kuno. Metode Penelitian Penelitian ini akan melalui tujuh tahapan penelitian, menyesuaikan dengan metode penelitian yang diungkapkan oleh Robert J.Sharer dan Wendy Ashmore. Tahapan penelitian menurut Robert J.Sharer dan Wendy Ashmore mencakup formulasi penelitian, implementasi penelitian, tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap analisis data, tahap interpretasi, dan tahap publikasi (Sharer & Ashmore, 2003: 155-160). Penyesuaian dilakukan dengan mengganti tahapan interpretasi dengan kesimpulan. Tahapan pertama berupa formulasi penelitian yang mencakup latar belakang pemilihan dari topik, rumusan-rumusan masalah, penentuan metode penelitian yang akan dipakai, serta tujuan penelitian yang akan dituliskan dalam proposal penelitian. Tahapan kedua ialah implementasi penelitian, yakni melakukan berbagai persiapan. Tahapan ketiga dari penelitian ini ialah tahapan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, survey lapangan, dan pengumpulan data etnografi. Tahapan keempat penelitian yakni tahapan pengolahan data, yakni dengan melakukan perbandingan patirthān yang ada di wilayah lingkup penelitian. Mengelompokan data patirthān-patirthān yang dijadikan sebagai objek penelitian
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
berdasarkan kepada variabel-variabel penelitian dan membuat tipologi dari patirthān yang dijadikan sebagai objek penelitian. Tahapan kelima penelitian ini adalah tahapan analisis yang dilakukan dengan menganalisis pola persamaan dan perbedaan yang terlihat pada patirthānpatirthān yang ada di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta serta membandingkannya dengan patirthān yang ada di wilayah Jawa Timur. Tahapan keenam meliputi kesimpulan yang memuat hasil akhir dari penelitian yang menjelaskan hasil perbandingan gaya dan pola pembangunan patirthān
serta pola penempatan bangunan
tersebut. Tahapan ketujuh yakni publikasi penelitian melalui skripsi dan jurnal ilmiah. Konsep Kesucian air Konsep kesucian air dikenal hampir diberbagai agama yang berkembang di dunia. Konsep ini juga dikenal pada agama Hindu dan Buddha yang muncul dan berkembang di India. Kepercayaan mengenai kesucian air pada masyarakat di India sudah dikenal sejak masa Veda. Pada masa tersebut air dianggap sebagai awal mulai dari terciptanya alam semesta yang berubah dari waktu ke waktu (Hadiwijono, 1971: 14). Pemahaman serupa juga dikenal pada masa perkembangan agama Hindu. Pada masa ini air yang dianggap sebagai awal dari alam semesta dibawa oleh Brahma dalam vas yang dinamakan kalasa (Gupte, 1972: 2). Konsep kesucian air juga banyak disinggung dalam beberapa cerita mitologi Hindu. Salah satunya dikaitkan dengan air amerta. Amerta merupakan “suatu minuman yang dapat menghindarkan tua dan mati pula yang dapat menghidupkan yang telah mati” (Soekmono, 1985: 43). Pemahaman mengenai air amerta juga di disampaikan oleh Dawson yang menjelaskan bahwa air yang menggambarkan keabadian yang dihubungkan dengan kehidupan para dewa, serta dianggap sebagai air kehidupan (Dowson, 1998: 13). Salah satunya cerita yang menceritakan air amerta ialah Amertamanthana. Mitologi ini menceritakan pencarian air amerta yang dilakukan oleh para dewa dan daitya. Kesaktian dari air amerta ini banyak disinggung dalam beberapa cerita mitologi. Beberapa cerita tersebut antara lain cerita mitologi Garudeya. Pada cerita tersebut air amerta menjadi benda yang diperebutkan oleh Garuda, ular dan dewa (Fernandius, 1985: 25). Air amerta juga disinggung pada beberapa bait yang terdapat dalam cerita naskah Ramayana. Pada cerita tersebut, khasiat dari air amerta dikisahkan dapat menghidupkan kembali para kera yang gugur dalam pertempuran dengan para raksasa, juga memperbaiki keindahan dari negeri Lenka yang hancur akibat peperangan (Soewito-Santoso, 1980: 634). Air amerta juga dikaitkan dengan Gunung Meru. Hal tesebut dituliskan dalam kisah Tantu Panggelaran, yakni kisah pemindahan Gunung Meru dari India ke Jawa. Dalam cerita
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
tersebut diuraikan bahwa air suci yang dapat diartikan sebagai air amerta disimpan di dalam Gunung Meru, yang dapat diasumsikan pula bahwa gunung tersebut sebagai inti dari air amerta (Kinney, 2003: 27). Gunung Meru merupakan gunung yang disucikan oleh masyarakat Hindu. Gunung Meru atau Mahameru ini berdasarkan deskripsi yang uraikan oleh Jacques Dumarcay yakni, merupakan gunung suci yang memiliki lima puncak dan dianggap sebagai pusat dari alam semesta. Gunung tersebut berada di sebuah tempat bernama Jambudvipha. Gunung Meru dikelilingi oleh tujuh pegunungan yang masing-masing dipisahkan oleh samudra yang menjadi tempat para raksasa tinggal yang juga berjumlah tujuh (Dumarcay, 1989: 89-91). Gunung Meru ini menurut keterangan dari Agus Aris Munandar yakni, “Mahameru sebagai titik pusat kosmos dan axis mundi antara dunia manusia dan alam para dewa” (Munandar, 2010: 115). Konsep kesucian dan bentuk Gunung Mahameru ini banyak mempengaruhi ide-ide bentuk serta bangunan-bangunan masa klasik. Hal tersebut selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Aurora Roxas-Lim yang menyatakan bahwa beberapa bangunan keagaman yang ada di Asia Tenggara, baik yang berasal dari agama Hindu maupun Buddha mencerminkan bentuk serta konsep dari Gunung Mahameru (Lim, 1981: 113). Pengaruh tersebut tidak hanya terlihat pada bangunan candi namun juga terlihat pada bangunan bangunan keagamaan lainya. Konsep tersebut dan serta konsep lainnya, yakni konsep pencarian moksa juga turut mempengaruhi konsep ide pembangunan dari bangunan patirthān termasuk pula gua-gua buatan ataupun gua alam yang digunakan sebagai tempat tapa dan yoga (Lim, 1981: 116). Salah satu bentuk pengaruh dari konsep Gunung Mahameru nampak ada Patirthān Candi Tikus. Patirthān Candi Tikus yang terletak di Trowulan ini dipercayai memiliki air yang mampu menyucikan. Menurut Atmojo, bentuk dari Candi Tikus merepresentasikan bentuk dari Gunung Mahameru dan air yang keluar darinya dianggap merupakan air yang suci (amerta). Air yang keluar dari Candi Tikus tersebut kemudian dialirkan ke seluruh kota sehingga kota Trowulan dapat suci (Atmodjo, 2010: 4). Konsep penyucian air ini berkembang menjadi pemujaan terhadap sungai. Pemujaan tersebut berkaitan dengan kepercayaan akan fungsinya yang dianggap dapat menyucikan. Di India banyak ritual keagamaan yang dilakukan di pinggiran sungai-sungai dan berbagai ritual seperti mandi untuk menghormati sungai dan kegiatan persembahan kepada leluhur (Lahiri dan Bacus, 2004: 318). Sungai-sungai di India menurut Vasudha Narayanan disamakan dengan tokoh seorang wanita yang memiliki fungsi menyuburkan, sebagai ibu, atau pemelihara yang pada waktu bersamaan jika marah akan menimbulkan bencana dan dihubungkan dengan keberadaan dewa seperti Sungai Gangga yang dianggap berhubungan
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
dengan Siva (Narayana, 2001 : 193). Cerita mitologi yang berkaitan dengan air memiliki peran terhadap perkembangan pemikiran masyarakat. Air dianggap memiliki peran yang lebih dari sekedar pemunuh kebutuhan hidup sehari-hari. Hal tersebut nantinya juga akan berdampak pada kebudayaan Hindu dan Buddha yang berkembang di Indonesia. Bangunan air di India Perkembangan konsep kesucian air disebabkan adanya pandangan akan kemampuan air yang dapat menyucikan dipengaruhi oleh cerita-cerita mitologi yang berkaitan dengan hal keagamaan yang memberikan pandangan baru mengenai fungsi air. Secara nyata konsep tersebut lantas diaplikasikan pada bentuk bangunan yang merepresentasikan konsep penyucian air dan fungsi religinya. Di India terdapat beberapa jenis bangunan yang memiliki hubungan langsung dengan air. Bangunan yang secara fungsional berkaitan dengan kegiatan religi masyarakat yakni bangunan kunda dan ghat. Kunda menurut pendapat yang diutarakan oleh Prasanna Kumar Acharya adalah “suatu kolam atau sumur yang ada di dalam atau dekat dengan suatu candi“ (Acharya, 1946: 124). Bangunan kunda yang berkembang di India diduga memiliki kesamaan secara bentuk maupun fungsi dengan bangunan patirthān yang muncul dan berkembang di Indonesia. Sedangkan ghat menurut Bindia Thapar merupakan suatu bangunan yang terletak di pinggir sungai yang digunakan sebagai tempat membenamkan abu jenasah hasil kremasi. Pembenaman abu jenasah tersebut melambangkan perjalanan arwah yang meninggal menuju alam yang lain (Thapar, 2004: 24-25). Kedua jenis bangunan tersebut walaupun secara bentuk bangunan dan arsitekturnya berbeda, namun keduanya berfungsi sebagai sarana penunjang ritual keagamaan. Air dan Patirthān pada Sumber Tertulis Masa Jawa Kuno Konsep kesucian air dan juga keberadaan bangunan patirthān yang dikenal pada masa Jawa Kuno dapat ditelusuri melalui sumber-sumber tertulis yang berasal dari masa lampau. Sumber tertulis yang dapat digunakan untuk menelusuri permasalahan tersebut seperti prasasti dan juga naskah-naskah kakawin yang berasal dari masa klasik tua dan klasik muda. Pada naskah kakawin, walaupun tidak menggambarkan secara utuh keadaan masyarakat Jawa Kuno namun dapat memberikan pandangan mengenai kedudukan dari air dan patirthān dalam pandangan agama. Salah satu naskah yang berasal dari masa Jawa Kuno yang menggambarkan konsep kesucian air dan juga bangunan patirthān adalah Kakawin Rāmāyana. Kakawin ini walaupun
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
dianggap masih mempertahankan sifat Indianya, karena menggambarkan keadaan di India. Namun pada beberapa pupuh terdapat penyimpangan dan lebih menggambarkan keadaan lingkungan Pulau Jawa seperti deskripsi candi serta keadaan flora dan faunanya (Zoetmulder, 1985: 294-295). Dengan keadaan tersebut, maka kakawin ini dianggap dapat menggambarkan keadaan di Pulau Jawa dengan lebih baik. Pada kakawin ini terdapat beberapa bait yang mengungkapkan pemujaan terhadap telaga yang dianggap suci, serta penjabaran beberapa sungai seperti Sungai Yamuna, Sungai Tamasā dan Sungai Gangga yang dianggap memiliki kemampuan menyucikan, yakni dapat menghilangkan segala dosa dan dapat mendatangkan kebahagiaan. Selain sungai, danau juga dianggap sebagai salah satu objek yang disucikan. Danau tersebut ialah Danau Pampa yang dianggap memiliki kemampuan untuk menyucikan, menghapus segala kesusahan dan kesedihan serta membersihkan semua bentuk kenajisan (Soewito-Santoso, 1980: 684-685). Pada kakawin ini juga dideskripsikan jika di sepanjang tepi Sungai Serayu terdapat tempattempat pertapaan. Sungai Serayu sendiri merupakan salah satu sungai yang ada di daerah Jawa Tengah. Hal tersebut membuktikan jika pupuh tersebut menggambarkan latar keadaan Jawa dan dapat diketahui pula bahwa jika disepanjang sungai tersebut banyak terdapat tempat pertapaan. Gambaran tentang keberadaan patirthān pada kakawin ini juga terlihat pada salah satu bait yang menjelaskan bahwa telaga dan pancuran merupakan salah satu fasilitas yang wajib dipelihara oleh seorang Raja (Warna, 1987: 41). Telaga dan pancuran yang dimaksudkan tersebut kemungkinan merupakan contoh dari bangunan patirthān. Penjelasan mengenai kesucian air dan keberadaan bangunan patirthān juga diterangkan dalam kakawin Arjunawiwāha. Pada kakawin ini terdapat bait yang menyebutkan bahwa patirthān merupakan tempat atau dapat diartikan sebagai tempat yang digunakan untuk menyendiri atau bertapa (Wiryamartana, 1990: 133-134). Pada bait lainnya disebutkan pula tentang brahmana yang tinggal di patirthān (Wiryamartana, 1990: 149). Pada naskah kakawin lainnya, yakni kakawin Bharata-Yudha juga terdapat beberapa pula bait yang menggambarkan pandangan akan kemampuan air yang dianggap dapat menyucikan. Bait tersebut menceritakan para Pandawa yang berziarah ke hutan dan berkumur dengan air dengan harapan dapat membersihan hati mereka (Wirjosuparto, 1968: 347). Pada naskah kakawin yang berasal dari masa klasik muda juga ditemukan bait-bait yang menggambarkan patirthān. Pada kakawin Nāgarakŗ̧tāgama tepatnya pupuh ke-19 diceritakan bahwa raja melakukan upacara pemandian suci yang dilakukan di suatu tempat yang dinamakan Capahan (Robson, 1995: 40). Sedangkan pada pupuh ke-38 kakawin yang sama dijabarkan tentang keindahan Danau Bureng yang serta bangunan-bangunan yang
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
melengkapinya termasuk candi (Robson, 1995: 51). Dengan adanya bangunan candi yang melengkapi danau tersebut, diduga Danau Burěng merupakan salah satu bentuk bangunan patirthān pada masa Jawa Kuno. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada beberapa patirthān terdapat asosiasi antara kolam patirthān dengan bangunan candi. Sementara itu jika ditelusuri melalui sumber prasasti, terdapat beberapa prasati yang menyinggung masalah konsep kesucian air dan juga bangunan patirthān yang dikenal pada masa Jawa Kuno. Salah Satunya adalah prasasti Cuηgaη. Isi dari prasasti yang diperkirakan berasal dari 851 saka atau 929 M tersebut menurut keterangan yang diungkapkan oleh Boechari menceritakan tentang penetapan sima daerah desa Cuηgaη dan wilayah bawahannya yakni Wahuta Wuηkal yang dilakukan oleh raja Pu Sindok. Desa tersebut diberikan tugas untuk merawat beberapa bangunan keagamaan seperti tempat pertapaan dan prāsāda serta memperbaiki bangunan pemandian yang terletak di wilayah Pawitra serta fasilitas lainnya berupa sebuah sawah pakarunan yang diperuntukkan guna mendapatkan biaya untuk mengadakan upacara di pertapaan dan tirtha serta persembahan caru (Boechari, 1977: 324). Fakta tersebut turut mendukung cerita yang terdapat dalam Kakawin Ramayana, bahwa pemandian atau dapat dikatakan sebagai bangunan patirthān merupakan salah satu jenis bangunan yang wajib dirawat pada masyarakat Jawa Kuno. Pada prasasti lainnya, yakni prasasti yang menyebutkan suatu tempat yang disucikan oleh masyarakat dan diibaratkan sebagai Sungai Gangga (Atmosudiro, 2008:3). Berdasarkan kepada isi prasasti tersebut jelas terlihat pengaruh pandangan hidup dari Hindu akan sifat suci dari air, khususnya Sungai Gangga sudah tertanam dalam masyarakat Jawa kuno dengan kata lain masyarakat Jawa kuno telah mengenal konsep kesucian dari air. Prasasti lainnnya yang menguraikan mengenai bangunan patirthān berdasarkan keterangan dari Ninie Susanti, dkk antara lain terdapat pada prasasti Waharu yang berangka tahun 873 M, prasasti Cunggrang yang berangka tahun 929 M dan prasasti Gandhakuti yang berangka tahun 1049 M. Pada ketiga prasasti tersebut, terdapat istilah yang dapat diasumsikan sebagai air suci yang diperkirakan berasal dari patirthān. Pada prasasti Waharu terdapat istilah er haji, pada prasasti Cunggrang yang berasal dari pemerintahan Pu Sindok terdapat istilah berupa tapa haji dan air haji, sedangkan pada prasasti Gandhakuti yang berasal dari masa Airlangga juga menyebutkan istilah air haji. Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti tersebut menurutnya jika dibandingkan dengan beberapa sumber tertulis masa Majapahit dapat disimpulkan bahwa er haji atau air haji merupakan air suci yang dikaitkan dengan raja serta dijadikan sebagai patirthān serta terdapat pejabat yang digaji oleh raja untuk mengurusi tempat tersebut (Susanti, dkk, 2013: 110-111).
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
Konsep mengenai air yang dipercayai memiliki kekuatan lebih daripada kegunaannya dalam kegiatan sehari-hari seperti turut mempengaruhi kehidupan religi dan kebudayaan dari masyarakat yang menganutnya. Religi dan kebudayaan saling terkait satu dengan yang lainnya karena religi merupakan salah satu dari tujuh unsur dari kebudayaan seperti yang telah diungkapkan oleh Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, 2002: 203-204). Faktor religi tersebutlah yang mendorong munculnya bangunan patirthān, yang difungsikan sebagai sarana penunjang kegiatan keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan air. Selain faktor religi, faktor lainnya yang mempengaruhi munculnya bangunan ini ialah kebutuhan dasar manusia akan air juga ikut memberikan pengaruh bagi keberadaan bangunan patirthān. kedua faktor tersebutlah yang akan menentukan apakah suatu patirthān dapat dikatakan berfungsi sakral maupun profan. Perbedaan fungsi tersebut tentunya akan menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk dan arsitektur antar bangunan patirthān disesuaikan dengan fungsi dari masing-masing bangunan. Aspek yang harus diperhatikan dalam rangka penelitian terhadap patirthān antara lain bentuk denah, lokasi, dan tinggalan arkeologis lainnya yang ada di sekitar patirthān. Patirthān di Jawa Tengah Patirthān Candi Umbul Patirthān Candi Umbul secara administratif terletak di wilayah Desa Kartoharo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Terletak pada posisi 07°21,581’ LS dan 110°17,825’ BT dan berada pada ketinggian 577 mdpl. Di arah utara terdapat Sungai Elo. Bangunan ini terbuat dari batu andesit yang disusun menjadi kolam dengan denah empat persegi panjang, yang dibagi menjadi dua kolam penampungan air. Orientasi bangunan patirthān ini menghadap ke arah timur laut. Kolam pertama yakni kolam yang ada pada arah tenggara dan memiliki denah hampir empat persegi panjang. Kolam pertama memiliki tangga masuk ke dalam air yang disisi-sisinya dihiasi oleh motif kepala kala dan juga bentuk motif pipi tangga ikal lemah. Kolam kedua yang ada di arah barat laut juga memiliki denah hampir persegi panjang. Sumber air yang mengisi kolam ini merupakan sumber air panas yang keluar dari dasar kolam pertama. Kolam pertama dengan kolam kedua dihubungkan oleh saluran air. Temuan arkeologi lainnya yang ada di sekitar kolam adalah reruntuhan bangunan yang telah dikumpulkan di arah barat daya kolam. Berdasarkan kepada laporan penelitian Candi Umbul yang mengacu kepada data hasil survey dan ekskavasi, diperkirakan bahwa situs Candi Umbul diperkirakan merupakan bangunan yang terdiri dari dua candi yang tidak terlalu besar
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
(Hardjajanta, 2001: 14-15). Ditemukan beberapa batu yang berhiaskan relief, miniatur candi dan juga Arca Kinara-Kinari, serta Yoni. Patirthān Cabean Kunti Patirthān Cabean Kunti merupakan kompleks patirthān yang terdiri dari tujuh kolam yang berdiri secara terpisah di Lereng timur Merapi. Kompleks Patirthān Cabean Kunti secara administratif terletak di Desa Cabean Kunti, Kelurahan Cabean Kunti, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Ketujuh kolam tersebut berada di tepi Sungai Kunti. Lima Kolam berada di arah utara Sungai Kunti, dan dua sisanya berada di arah selatan Sungai Kunti. Sendang Palereban/Lerep terletak pada 07°30,215’ lintang selatan 110°32,319’ bujur timur dan berada pada ketinggian 755 mdpl. Denah bangunan Sendang Lerep menyerupai bentuk huruf U dengan kolam air berada di tengah bangunan tersebut. Bangunan ini menghadap ke arah timur. Kolam air yang berada di bawah bangunan tersebut memiliki denah persegi panjang memiliki ukuran panjang 7 m dan lebar 2,62 m. Air berasal dari bagain dasar kolam. Dinding kolam dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian dasar, bagian tengah, dan bagian atas. Bagian dasar dinding dilengkapi oleh bentuk pelipit padma dan pelipit rata. Bagian tengah dinding dilengkapi oleh relief non-cerita maupun relief cerita. Jumlah panil relief yang ada pada bagian tubuh dinding kolam berjumlah tujuh belas panil dengan delapan panil berada pada sisi dinding bagian dalam yang menghadap ke arah kolam. Relief cerita yang dipahatkan antara lain relief beberapa jenis burung seperti merak, bangau, dan jalak. Relief lainnya berupa relief manusia yang dipahatkan dengan beberapa posisi, antara lain duduk menghadap sesajian dan juga dalam posisi jongkok maupun duduk dengan posisi lutut di depan. Bagian tengah dinding juga dilengkapi relung. Bagian atas dinding dihias oleh lima kemuncak yang masing-masing dihias oleh antefiks dan sulur. Sendang Pertapan terletak pada 07°30,219’ lintang selatan 110°32,318’ bujur timur dan berada di ketinggian 760 mdpl. Sendang Pertapan memiliki bentuk denah dasar empat persegi panjang dan memiliki dinding berbentuk huruf U dengan kolam air berada di tengah dinding bangunan. Bangunan kolam menghadap ke arah tenggara. Sumber air dari kolam Sendang Pertapan berasal dari dua mata air yang ada di dalam kolam. Dinding bagian dasar kolam memiliki bentuk pelipit padma yang dikombinasikan dengan pelipit rata. Pada bagian atas dihiasi oleh kemuncak dan antefiks. Sendang Jangkang terletak pada 07°30, 244’ lintang selatan 110°32, 297’ bujur timur dan berada di ketinggian 766 mdpl. Bentuk asli dari bangunan Sendang Jangkang sudah tidak
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
dapat diketahui lagi dikarenakan batu-batuan yang ada sudah disemen agar air yang keluar dari mata air dapat tertampung. Mata air dari Sendang berasal dari bawah pohon Jangkang. Sendang Kaprawitan/Lanang terletak pada 07°30, 192’ lintang selatan 110°32, 337’ bujur timur. Secara geografis Sendang Kaprawitan/Lanang berada di ketinggian 762 mdpl. Kolam Sendang Kaprawitan/Lanang merupakan sendang alami yang pada bagian tepiannya diperkuat oleh batu andesit alami. Sumber mata air dari sendang ini berasal dari tiga mata air yang terdapat di dasar kolam. Sendang Panguripan/Derajat terletak pada 07°30, 182’ lintang selatan 110°32, 343’ bujur timur dan berada di ketinggian 761 mdpl. Kolam Sendang Panguripan/Derajat memiliki denah empat persegi panjang dengan ukuran panjang 1,40 m dan lebar 1,14 m. Bagian tepian dari kolam sendang disusun oleh batuan andesit yang berbentuk empat persegi panjang. Kedalaman rata-rata kolam mencapai 1,2 m. Sendang Kaputren/Pengantin terletak pada 07°30, 188’ lintang selatan 110°32, 352’ bujur timur dan berada di ketinggian 760 mdpl. Kondisi kolam Sendang Kaputren/Pengantin belum dipugar. Kolam Sendang Kaputren/Pengantin secara fisik memiliki denah empat persegi panjang. Dinding-dinding kolam Sendang Kaputren/Pengantin belum dipugar. Bangunan ini menghadap ke arah selatan. Air yang terdapat pada sendang berasal dari dua mata air yang ada di dalam kolam. Sendang Semboja/Kembar terletak pada 07°30, 212’ lintang selatan 110°32, 401’ bujur timur dan berada di ketinggian 758 mdpl. Bangunan kolam Sendang Semboja/Kembar menghadap ke arah timur dengan bangunan kolam yang membentang dari arah selatan-utara. Kolam Sendang Semboja memiliki berbentuk denah persegi panjang yang memiliki dinding bangunan menyerupai huruf U dengan kolam di tengah dinding-dinding tersebut. Dinding tengah membagi kolam menjadi dua, yakni kolam sisi selatan dan kolam sisi utara. Pada bagian dasar dinding kolam memiliki bentuk pelipit padma dikombinasikan dengan pelipit berjenis rata. Pada bagian tengah dinding tedapat panil relief kosong dan dilengkapi relung. Pada bagian atas dilengkapi kemuncak. Patirthān Cabean Kunti sumur Songo dan Candi Raga. Selain kedua bangunan tersebut juga ada beberapa bangunan kepurbakalaan lainnya yang letaknya cukup jauh dari kompleks Cabean Kunti, antara lain Candi Lawang dan Candi Sari. Patirthān Derekan Patirthān Derekan secara administratif terletak di Kelurahan Derekan, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Patirthān ini terletak pada posisi 07°11, 698’
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
LS dan 110°26, 301’ BT dan berada pada ketinggian 423 mdpl. Patirthān Derekan terletak di tepi sungai yang disebut sebagai tempuran, yakni pertemuan dua cabang anak sungai yakni Kali Wonoboyo dan Kali Grenieng. Lokasi patirthān berdekatan dengan Candi Ngempon. Bangunan kolam Patirthān Derekan memiliki bentuk empat persegi panjang yang pada sisisisi kolamnya dibatasi oleh dinding batuan andesit. Bangunan kolam menghadap ke arah timur di mana terdapat anak tangga untuk masuk ke dalam kolam. Kolam memiliki panjang 588 cm dan lebar 510 cm. Sumber mata air panas terdapat di dasar kolam. Dinding sisi selatan dilengkapi hiasan relung. Patirthān Tuk Bima Lukar Patirthān Tuk Bima Lukar secara administratif terletak di Kelurahan Dieng Wetan, Kecamatan Jajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Patirthān ini terletak pada posisi 07°12.263’ LS dan 109°54,795’ BT dan berada pada ketinggian 2084 mdpl. Patirthān ini telah mengalami banyak penambahan. Komponen yang diperkirakan masih asli adalah dinding yang terbuat dari batu andesit, lantai, dan dua jaladwara yang mengalirkan air dari mata air ke lantai batu andesit. Patirthān ini terletak dekat dengan kompleks percandian Dieng. Patirthān Pikatan Patirthān Pikatan secara administratif terletak di Desa Mundal, Kelurahan Mudal, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Patirthān ini terletak pada posisi 07°20, 277’ LS dan 110°11, 085’ BT dan berada pada ketinggian 570 mdpl. Patirthān ini merupakan jenis patirthān alami yang tidak mengalami penambahan. Di sekitar kolam terdapat sisa-sisa reruntuhan bangunan dan juga terdapat tiga yoni. Patirthān Senjoyo Patirthān Senjoyo secara administratif terletak di Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Patirthān Senjoyo terletak pada posisi 07°22, 449’ LS dan 110°31, 598’ BT dan berada pada ketinggian 675 mdpl. Bangunan kolam Patirthān Senjoyo sudah mengalami banyak perubahan. Kolam Senjoyo memiliki arah hadap ke arah utara. Pada arah tersebut, terdapat anak tangga menuju kolam yang terletak di sisi utara kolam. Sebagian dari anak tangga ini diperkirakan berasal dari sisa-sisa reruntuhan bangunan lainnya dan terdapat relief hias pada beberapa batuan yang menyusunnya. Pada sisi barat anak tangga tersebut terdapat sisi kolam terdapat susunan batu andesit yang memanjang
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
dari ujung anak tangga hingga ujung sisi timur laut kolam menyerupai batas kolam. Terdapat pula sisa-sisa reruntuhan bangunan lainnya yang telah dikumpukan yang terletak kurang lebih 200 m arah barat kolam. Terdapat pula temuan Arca ganesha dan lapik arca. Patirthān Selodoko Patirthān Selodoko secara administratif terletak di Desa Selodoko, Kecamatan Ampel, Kabupaten. Boyolali, Jawa Tengah. Patirthān Selodoko terletak pada posisi 07°28, 316’ LS dan 110°34, 849’ BT dan berada pada ketinggian 512 mdpl. Bangunan kolam Patirthān Selodoko saat ini sudah tidak terlihat lagi bentuk aslinya karena hanya menyisakan beberapa batu andesit pada sisi kolam sebelah utara dan sebagian kecil di sisi barat. Di arah utara kolam terdapat temuan batu andesit yang berbentuk menyerupai wadah. Patirthān Situs Kunden Patirthān Situs Kunden secara administratif terletak di Dusun Kunden, Desa Sumberejo, Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Patirthān ini terletak pada posisi 07°42, 815’ LS dan 110°35, 184’ BT dan berada pada ketinggian 190 mdpl. Bangunan situs Kunden merupakan hasil ekskavasi. Patirthān Situs Kunden saat ini sudah tidak dapat diketahui lagi bentuk aslinya, namun diperkirakan dengan melihat sisa-sisa reruntuhan bangunan tersebut dan posisi dari relung diperkirakan bangunan Patirthān Situs Kunden memiliki bentuk dan ciri yang hampir sama dengan dinding bangunan kolam dari Patirthān Cabean Kunti, yakni memiliki bentuk denah menyerupai huruf U. Pada bagian tengah dinding barat terdapat relung yang memiliki tinggi 34 cm. Pada bagian sisi-sisi relung tersebut dihiasi oleh pipi tangga berjenis ikal lemah. Patirthān Umbul Jumprit Patirthān Umbul Jumprit secara administratif terletak di Dusun Jumprit, Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Patirthān ini terletak pada posisi 07°15, 283’ LS dan 110°00, 966’ BT dan berada pada ketinggian 1308 mdpl di lereng Gunung Sindoro. Patirthān ini merupakan jenis patirthān alami yang terletak pada suatu ceruk yang mengahdap utara dan memiliki ukuran lebar 7, 25 m, dalam 10, 43 m, dan tinggi 4 sampai 5 m. Air dialirkan ke Sungai Progo.
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
Patirthān di Daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta Patirthān Situs Payak Patirthān Situs Payak secara administratif terletak di di Desa Payak, Kelurahan Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Patirthān ini terletak pada posisi 07°50, 007’ LS dan 110°27, 464’ BT dan berada pada ketinggian 90 mdpl. Situs Payak merupakan bangunan hasil ekskavasi dan sudah tidak mengeluarkan air. Bangunan patirthān Situs Payak memiliki bentuk denah menyerupai bangunan kolam yang ada di situs Cabean Kunti, yakni memiliki bentuk dinding menyerupai bentuk huruf U dengan bagian kolam terdapat di tengah. Arah orientasi bangunan menghadap ke arah Tenggara. Bangunan ini memiliki ukuran lebar 6,91 m dan panjang 3,24 m dengan tinggi bangunan 1,7 m. Pada bagian dasar dinding memiliki bentuk pelipit rata yang menyerupai bentuk pelipit candi Jawa tengah. Pada bagian badan terdapat relung. Ditemukan pula Arca Siva pada saat kegiatan ekskavasi. Kolam Situs Ratu Boko Situs Ratu Boko terletak di daerah Dusun Dawung, Desa Bokoharjo dan Dusun Sumberwatu, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kolam Situs Ratu Boko terletak pada posisi 07°46, 313’ LS dan 110°27, 438’ BT dan berada pada ketinggian 216 mdpl. Kolam yang terdapat pada situs Ratu Boko terdapat di teras ketiga, keempat, kelima, dan ketujuh. Kompleks kolam yang ada di teras kelima dibagi menjadi tiga kelompok, yang masing-masing kelompok memiliki kolam-kolam berbentuk bundar, bujur sangkar maupun empat persegi panjang yang mana masing-masing kelompok kolam dipisahkan oleh pagar keliling. Kelompok kolam bundar yang terdapat di teras kelima terpusat di sudut barat laut pagar keliling. Kolam-kolam tersebut disusun menjadi dua baris dengan membentuk huruf L. Jumlah kolam yang terdapat pada kompleks kolam bundar berjumlah dua puluh delapan dengan kolam bundar utama yang memiliki ukuran besar sebanyak empat belas dan kolam bundar kecil yang terdapat di antara saluran-saluran air berjumlah tiga belas dan satu kolam berbentuk persegi. Kolam bundar ini memiliki range diameter berkisar antara 1,4 m hingga 4 m. Kolam berdenah persegi panjang terletak di arah utara kolam bundar teras kelima. Kelompok kolam yang memiliki denah empat persegi panjang ini terdiri dari delapan kolam dengan ukuran berbeda. Kedua kelompok kolam ini dibuat dengan memahatkan batuan padas.
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
Kelompok lainnya terdapat pada teras ketujuh, yang terletak di dekat Gua Lanang yang ada di selatan dan Gua Wadon. Kolam berdenah persegi panjang dan dibuat dengan memahatkan batuan padas. Pada teras keempat terdapat dua kolam, yakni kolam yang terletak di arah timur laut pendopo yang memiliki bentuk persegi panjang dan dilengkapi dengan tangga masuk dan juga kolam yang menjadi satu dengan bangunan pendopo dan dilengkapi dengan miniatur candi. Kolam lainnya terletak pada teras ke 6, yang berupa kolam besar yang disebut dengan kolam kaputren. Kelompok kolam lainnya terdapat pada teras ke-3 yang terletak pada arah timur candi pembakaran dan kolam berbentuk persegi panjang yang terletak pada arah tenggara candi pembakaran dan terbuat dari susunan balok batu andesit. Analisis Keletakan Patirthān Lokasi merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan bangunan suci. Hal-hal yang patut diperhatikan dalam pembangunan kuil atau tempat suci berkaitan dengan pemilihan lokasi pembangunan menurut Kaulācāra antara lain tempat yang dilalui oleh sungai, tempat-tempat yang tidak dilalui oleh sungai merupakan tempat patut dihindari pada saat mendirikan bangunan suci (Boner, Alice dan Śarmā, Sadāśiva Rath, 1966: 10). Variabel lainnya yang akan diperhatikan dalam menganalisis keletakan bangunan patirthān yakni keletakan terhadap gunung dan juga bangunan kepurbakalaan lainya yang diduga memiliki kaitan dengan patirthān yang dijadikan sebagai objek penelitian, serta lokasi ketinggian dari bangunan. Variabel ketinggian dari situs akan dibagi menjadi tiga kelas ketinggian, seperti yang telah dikemukakan Zuidam tahun 1973 yang telah dikutip oleh Mundardjito pada tahun 2002 yakni kategori dataran tinggi (highland) dengan ketinggian lebih dari 1500 m dari permukaan air laut, kategori ketinggian menengah (midland) dengan ketinggian lokasi antara 200 m-1500 m diatas permukaan air laut, serta dataran rendah (lowland) dengan ketinggian lokasi kurang dari 200 m dari permukaan air laut (Mundardjito, 2002: 130). Patirthān yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta banyak terletak di wilayah dengan ketinggian menengah (midland), dua patirthān yang terletak di dataran rendah (lowland), serta hanya satu patirthān yang terletak di dataran tinggi (highland). Sementara itu jika dilihat dari pola keletakan bangunan patirthān terhadap gunung, diketahui hanya patirthān Tuk Bhima Lukar, Umbul Jumprti, dan Kompleks patirthān Cabean Kunti saja yang terletak di dekat atau di lereng Gunung. Sementara itu jika dilihat dari keletakan terhadap sungai, seluruh bangunan patirthān terletak dekat dengan sungai.
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
Sumber Mata Air Sebagian besar bangunan patirthān yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sumber mata air di dalam bangunan kolam. Hanya Patirthān Tuk Bhima Lukar yang memiliki sumber mata air di luar bangunan kolam dan menggunakan jaladwara untuk mengalirkan air dari mata air ke dalam kolam. Sedangkan untuk patirthān yang tidak memiliki sumber mata air sendiri seperti kolam-kolam teras Ratu Boko yang airnya berasal dari air hujan air. Dengan sumber air yang terletak di bagian dalam kolam, kolam tersebut dirancang untuk menampung air dari mata air. Keletakan sumber air dari suatu bangunan patirthān tentunya akan berpengaruh kepada bentuk dari bangunan patirthān tersebut, karena bentuk dari kolam ataupun bentuk-bentuk dinding sisi kolam tentunya akan menyesuaikan letak dari sumber air. Tipologi Bentuk Serta Analisis Patirthān Berdasarkan Tipe Berdasarkan denah bangunan dan kelengkapan atribut bangunan, patirthān di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe 1 merupakan patirthān buatan yang terdiri dari susunan dinding-dinding batu andesit, sisi-sisi kolam diperkuat oleh bebatuan andesit yang dibuat sebagai dinding untuk menampung air. Tipe 1 terdiri dari dua sub-tipe, yakni tipe 1-A yang memiliki tiga dinding yang mengelilingi kolam dan tipe 1-B yang hanya memiliki dinding pembatas pada salah satu sisi kolam, serta dilengkapi oleh pancuran air/jaladwara. Tipe 2 merupakan patirthān buatan yang terdiri dari susunan balok-balok batuan andesit maupun yang dibuat dengan cara memahatkan batuan dasar dan dibuat menyerupai kolam sehingga dapat menampung air. Tipe 2 terdiri dari dua sub-tipe, yakni tipe 2-A yang memiliki ciri bangunan kolam yang dibuat dari susunan batu andesit dan 2-B yang dibuat dengan cara memahatkan batuan dasar dan membentuknya menjadi bak penampungan air. Tipe 3 merupakan bentuk patirthān alami. Tipe 3 terdiri dari dua sub-tipe, yakni 3-A yang memiliki sisa-sisa bangunan yang diduga berkaitan dengan patirthān dan tipe 3-B yang memiliki sisa-sisa bangunan. Patirthān Tipe 4 yang merupakan patirthān buatan seluruhnya dan bangunannya menjadi satu dengan bangunan lain. Patirthān tipe sub 1-A antara lain kolam Sendang Palereban, Sendang Pertapan, Sendang Kaputren/Pengantin, dan Sendang Semboja/Kembar. Dua sisanya terdapat di Situs Kunden dan Payak. Bahan dasar seluruh bangunan patirthān tipe 1-A terbuat dari batu andesit. Bangunan patirthān tipe ini memiliki orientasi arah hadap yang cukup bervariasi,
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
yakni ke arah timur, tenggara, dan selatan. Seluruh banguan patirthān dengan tipe ini menghadap ke arah sungai. Atribut yang hampir ditemukan di seluruh dinding bagian tengah patirthān Tipe 1-A yakni keberadaan relung di dinding tengah kolam. Bentuk relung dari berbagai bangunan patirthān tersebut bervariasi, namun relung tersebut berbeda dengan relung yang terdapat pada bangunan candi, dan memiliki bentuk yang lebih menyerupai pintu masuk ke dalam candi. Pintu masuk tersebut dilambangkan dengan bentuk relung yang menyerupai pintu masuk. Berdasarkan kepada ciri yang terlihat pada bangunan patirthān tipe 1-A diketahui jika bangunan tipe ini memiliki ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan dengan ciri bangunan-bangunan candi yang ada di wilayah Jawa Tengah seperti bentuk pelipit, relief serta bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bangunan. Patirthān tipe 1-A ini yang diwakili oleh enam bangunan dapat dikatakan sebagai bentuk patirthān yang mencerminkan bangunan bergaya klasik tua yang berkembang di daerah Jawa Tengah. Patirthān tipe sub 1-B hanya terdapat satu, yakni Patirthān Tuk Bhima Lukar. Bangunan Patirthān Tuk Bhima Lukar ini pada dasarnya adalah bangunan pancuran air tanpa adanya kolam yang digunakan untuk menampung air. Patirthān tipe 2-A banyak ditemukan di Jawa Tengah Maupun Daerah Istimewa Yogyakarta. Tiga bangunan patirthān dari tipe ini yang memiliki tangga masuk menuju badan air, yakni Patirthān Candi Umbul, Patirthān Derekan, dan Kolam teras ke-4 Ratu Boko. Bangunan tipe 2-A lainnya yang tidak memiliki tangga masuk ke dalam badan air yakni Sendang Kaprawitan/Lanang, Sendang Derajat, Patirthān Selodoko, Kolam teras ke-6 Ratu Boko, dan Kolam teras ke-2 Ratu Boko. Patirthān tipe 2-B ini yang keseluruhan terletak pada situs Keraton Ratu Boko, yakni pada kolam bundar dan persegi yang ada pada teras kelima dan kolam teras ketujuh yang terletak di dekat gua buatan. Berdasarkan keterangan dari Ninie Susanti dkk, keletakan kompleks bangunan pada situs Ratu Boko yang terletak di perbukitan tanpa adanya sumber air mengharuskan adanya sarana untuk menyimpan cadangan air untuk berbagai macam keperluan, dan kolam tersebut diduga merupakan tempat menyimpan cadangan air (Susanti, dkk, 2013: 59). Patirthān sub tipe 3-A diwakili oleh Kolam teras ketiga Ratu Boko yang terletak di arah timur Candi Pembakaran dan Patirthān Umbul Jumprit. Patirthān sub tipe 3B antara lain Patirthān Senjoyo, Patirthān Pikatan, dan Sendang Jangkang yang terletak di kompleks Cabean Kunti. Patirthān tipe 4 hanya diwakili oleh satu patirthān, yakni kolam yang menjadi satu dengan bangunan pendopo yang terletak di teras keempat di kompleks Ratu Boko. Kolam ini tidak memiliki sumber air dan menjadi satu dengan bangunan pendopo maka dapat dikatakan jika kolam ini bukanlah bangunan patirthān murni.
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
Perbandingan Patirthān Masa Klasik Tua dan Klasik Muda Terdapat beberapa aspek yang membedakan antara patirthān yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan patirthān yang ada di wilayah Jawa Timur. Beberapa aspek tersebut antara lain keletakan sumber air. Pada patirthān masa klasik tua, sumber air lebih banyak ditemukan di dalam kolam. Pada patirthān masa klasik muda sudah banyak bangunan yang memiliki sumber air di luar bangunan kolam, sehingga untuk mengalirkannya masuk ke dalam kolam dibutuhkan jaladwara-jaladwara. Hal tersebut menunjukan adanya perkembangan konsep pembuatan patirthān, dari yang sebelumnya hanya bertujuan untuk menampung air mata air, menjadi bentuk kolam yang lebih bervariasi dan dilengkapi oleh jaladwara-jaladawara. Bentuk dari jaladwara yang ada di patirthān di wilayah Jawa Timur juga lebih bervariasi. Perkembangan bentuk dari jaladwara dari bangunan pada dasarnnya menggambarkan perkembangan gaya dari bangunan patirthān serta konsep yang mendasari pembangunan patirthān yang bersangkutan. Pada masa klasik muda juga sudah mulai dikenal penggunaan bahan dasar bata dalam membuat bangunan patirthān. Aspek lain yang membedakan antara bangunan patirthān di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta yang mewakili gaya arsitektur klasik tua dengan patirthān di wilayah klasik muda yang mewakili gaya arsitektur klasik muda ialah pada masa klasik muda terdapat bangunanbangunan patirthān yang memiliki bentuk yang lebih kompleks menyerupai bentuk candi serta memiliki sistem pengairan air yang lebih rumit. Bangunan patirthān yang muncul pada masa klasik muda konstruksinya serta bentukan fisiknya melambangkan gunung Mahameru. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya jika banyak bangunan di wilayah Asia Tenggara yang menjadi simbol bentuk serta konsep dari Gunung Mahameru. Hal tersebut contohnya dapat terlihat pada Patirthān Jalatunda yang dideskripsikan oleh Bernet Kempers diperkirakan memiliki puncak yang merupakan replika dari Gunung Meru, dimana replika Meru tersebut berfungsi sebagai pengalir air (Bernet Kempers, 1959: 66). Kesimpulan Bangunan patirthān yang ada di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, atau yang masuk ke dalam wilayah masa klasik tua cenderung memiliki bentuk yang lebih praktis jika dibandingkan dengan bangunan patirthān yang ada di wilayah Jawa Timur, karena hanya didesain untuk menampung air dari mata air maupun air hujan serta tidak memiliki mekanisme pengairan air yang rumit. Secara struktur bangunan, patirthān di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta masih menunjukkan adanya pengaruh
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
gaya klasik tua pada candi-candi. Hal yang membuat patirthān berbeda dari bangunan candi, yakni memiliki bentuk yang cenderung beragam, ialah dikarenakan candi merupakan bangunan suci seutuhnya, berbeda dengan bangunan patirthān yang tentunya dalam proses pembuatannya juga memikirkan sisi praktis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masa lalu akan air. DAFTAR PUSTAKA Acharya, Prasanna Kumar. 1946. An Encyclopedia of Hindu Architecture. London: Oxford University Press. Atmojo, Junus Satrio. 2010. “Air, Kerajaan, dan Konsep Kesucian “Kota” Masa Klasik“ dalam Seminar Nasional Naskah Kuna Nusantara Air dan kehidupan dalam naskah kuna Nusantara. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Halaman 1-13. Tanggal 5-6 Oktober 2010. Atmosudiro, Sumijati dkk. 2008. Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J Van Der Peet. Boechari. 1977. “Candi dan Lingkungannya“ dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan 2125 Februari 1977. Jakarta: Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala Departemen P&K. Halaman 319-341 Boner, Alice dan Śarmā, Sadāśiva Rath. 1966. Silpa Praksa. Leiden: E.J. Brill. Chihara, Daigoro. 1996. Hindu-Buddhist Architecture In Southeast Asia. Leiden: E.J Brill. Ching, Francis D.K. 1995. A Visual Dictionary of Architecture. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Dowson, John. 1998. A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion Geography, History, and Literature. New Delhi: D.K. Printworld Ltd. Dumarcay, Jacques. 1989. The Temples of Java. Singapore: Oxford University Press. Fernandius, P.E.J. 1985. “Wisnu diatas Garuda Dari Trawas Sebagai Arca Pancuran” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III Ciloto, 23-28 Mei 1983. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman 240-255. Gupte, R.S. 1972. Iconography of the Hindus Buddhists and Jains. Bombay: D.B. Taraporevala Sons & Co.Private LTD. Hadiwijono, Harun. 1971. Sari Falsafat India. Jakarta: Badan Penerbit Kristen. Hardjajanta, Respati. 2001. Penelitian Arkeologi Situs Candi Umbul.Semarang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014
Munandar, Agus Aris. 2010. “Patirthan di Pawitra: Jalatunda dan Belahan” dalam Seminar Nasional Naskah Kuna Nusantara Air dan kehidupan dalam naskah kuna Nusantara. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Halaman 112-125. Tanggal 5-6 Oktober 2010. Narayana, Vasudha. 2001. “Water, Wood, and Wisdom: Ecological Perspectives from the Hindu Traditions” dalam Daedalus, Vol. 130, No. 4, Religion and Ecology: Can the Climate Change?. Fall, 2001. American Academy of Art and Science. Halaman 179-206. http://www.jstor.org/stable/20027723
Kinney, Ann R, Klokke, Marijke j. dan Kieven, Lydia. 2003. Worshiping Siva and Buddha The Temple Art of East Java. Honolulu: University of Hawai’i Press. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Kramrisch, Stella. 1946. The Hindu Temple Vol. 1. India: University of Calcuttas. Lim, Aurora Roxas. 1981. “Caves and Bathing Places in Java as Evidence of Cultural Accommodation” dalam Asian Studies. Toronto: University of the Philippines. Halaman 107-131. Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Robson, Stuart. 1995. Desawarnana (Nagarakrtagama). Leiden: KITLV Press. Sharer, Robert J dan Ashmore, Wendy. 2003. Archaeology discovering our past. New York: Mc Graw Hill. Soekmono, R. 1985. “Amertamanthana” dalam majalah Amerta edisi 1. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman 43-47. Soewito-Santoso. 1980. Indones ianāRm āya̟navo lum eI
-III. New Delhi: Institute of Southeast
Asian Studies. Susanti, Ninie, dkk. 2013. Patirthan masa lalu dan masa kini. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Thapar, Bindia. 2004. Introduction to Indian Architecture. Singapore: Berkeley Books Pte Ltd. Wirjosuparto, R.M. Sutjipto. 1968. Kakawin Bharata-Yuddha. Jakarta: Bharata. Wiryamartana, I.Kuntara. 1990. Arjunawiwāha. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Warna, I Wayan, Murdha, Ida Bagus Gede, dan Sujana, I Nyoman. 1987. Kekawin Rāmāyana. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I. Zoetmulder, P.J.1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djembatan.
Patirthan di wilayah provinsi Jawa Tengah ..., Dimas Nugroho, FIB UI, 2014