44
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal dengan CV Williamson (CVw). Berdasarkan hasil perhitungan, pada masa sebelum otonomi daerah (1998-2000) (1998 2000) nilai indeks Williamson di Provinsi Jawa Tengah berada b pada kisaran antara 0,6219 0,6219-0,6530. Hal ini menunjukkan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Jawa Tengah
CVw
sebelum otonomi daerah tergolong tinggi karena nilai CVw melebihi batas 0,5. 0.68 0.67 0.66 0.65 0.64 0.63 0.62 0.61 0.6 0.59 0.58 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Sumber: BPS (diolah) Keterangan: Dihitung dengan data PDRB per kapita ADHK
Gambar 5.1 Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 1998 Pada Januari 2001 pemerintah mulai menerapkan otonomi daerah dimana pemerintah daerah berwenang menentukan arah kebijakannya sendiri deng dengan tujuan pelayanan masyarakat dan memajukan perekonomian daerah masing masingmasing. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, trend nilai kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat dahulu hingga tahun 2003. Hal
45
ini disebabkan oleh perbedaan kesiapandari masing-masing wilayah dalam menghadapi otonomi daerah.Kesempatan dan peluang pembangunan yang ada dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik. Sedangkan daerah yang masih tertinggal, kurang mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Pada tahun 2004, pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai berjalan secara efektif ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Peningkatan ini diikuti dengan semakin menurunnya nilai indeks kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pelaksanaan pembangunan terus berlanjut di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dimana arah pembangunan tersebut telah disesuaikan dengan kepentingan dan potensi daerah masing-masing. Sehingga setiap daerah umumnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas sumber daya manusia. Dalam kondisi demikian, setiap kesempatan dan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya, proses pembangunan dapat mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Walaupun nilai kesenjangan ekonomi tersebut berangsurangsur menurun, namuntingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah masih tergolong dalam kategorikesenjangan taraf tinggi karena nilainya diatas batas 0,5.
46
5.2 Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Perkembangan wilayah di Provinsi Jawa Tengah relatif stabil, tanpa adanya pemekaran wilayah administratif, baik kabupaten maupun kota selama kurun waktu penelitian. Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota.Wilayah tersebut dapat diklasifikasikan menggunakan alat analisis Klassen Typology yangberdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Klassen Typologymembagi daerah yang diamati dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income); (2) daerah maju tapi tertekan (high income but low growth); (3) daerah berkembang cepat (high growth but low income); dan (4) daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Berdasarkan hasil analisis Klassen Typology, terdapat beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami pergeseran tipologi (perpindahan posisi kuadran). Namun, dari analisis juga ditemui beberapa wilayah yang selalu berada pada tipologi statis (pada posisi kuadran yang tetap). Pengklasifikasian ini bersifat dinamis karena sangat tergantung pada paradigma pembangunan di provinsi yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa dalam periode waktu penelitian yang berbeda, pengklasifikasian juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita di masing-masing daerah pada saat itu. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah (1998), wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang.Wilayah-wilayah yang tergolong daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta. Wilayah-wilayah yang
47
tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Blora, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Rembang,
Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, dan Kota Pekalongan. Setelah pelaksanaan otonomi daerah (2010), wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kota Tegal. Wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati. Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes.
48
Tabel 5.1 Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah menurut Klassen Typology Tahun 1998 dan 2010 Yi > Y Yi < Y Y R Daerah maju dan Daerah berkembang cepat tumbuh cepat Sebelum Selama Sebelum Selama otonomi otonomi otonomi otonomi daerah daerah daerah daerah (1998) (2010) (1998) (2010) 1 1 2 2 30 13 4 3 32 24 6 6 33 30 8 14 Ri > R 31 12 15 32 16 16 33 18 18 34 20 27 29 35 Daerah maju Daerah relatif tapi tertekan tertinggal Sebelum Selama Sebelum Selama otonomi otonomi otonomi otonomi daerah daerah daerah daerah (1998) (2010) (1998) (2010) 11 11 3 4 13 19 5 5 19 22 7 7 Ri < R 24 35 9 8 31 10 9 14 10 15 12 17 17 21 20 22 21 23 23 25 25 26 26 28 27 34 28 29 Sumber: BPS (diolah) Keterangan: 1 = Kabupaten Cilacap 2 = Kabupaten Banyumas 3 = Kabupaten Purbalingga
19 = Kabupaten Kudus 20 = Kabupaten Jepara
49
4 = Kabupaten Banjarnegara 5 = Kabupaten Kebumen 6 = Kabupaten Purworejo 7 = Kabupaten Wonosobo 8 = Kabupaten Magelang 9 = Kabupaten Boyolali 10 = Kabupaten Klaten 11 = Kabupaten Sukoharjo 12 = Kabupaten Wonogiri 13 = Kabupaten Karanganyar 14 = Kabupaten Sragen 15 = Kabupaten Grobogan 16 = Kabupaten Blora 17 = Kabupaten Rembang 18 = Kabupaten Pati
21 = Kabupaten Demak 22 = Kabupaten Semarang 23 = Kabupaten Temanggung 24 = Kabupaten Kendal 25 = Kabupaten Batang 26 = Kabupaten Pekalongan 27 = Kabupaten Pemalang 28 = Kabupaten Tegal 29 = Kabupaten Brebes 30 = Kota Magelang 31 = Kota Surakarta 32 = Kota Salatiga 33 = Kota Semarang 34 = Kota Pekalongan 35 = Kota Tegal
Rincian kabupaten/kota yang mengalami pergeseran serta yang berada pada posisi statis dari masa sebelum otonomi ke masa otonomi daerah yaitu: 1.
Wilayah yang tetap berada di daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Cilacap, Kota Magelang, Kota Salatiga, dan Kota Semarang.
2.
Wilayah yang tetap berada di daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Kudus.
3.
Wilayah yang tetap berada di daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Pati.
4.
Wilayah yang tetap berada di daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Rembang,
Kabupaten
Demak,
Kabupaten
Temanggung,
Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal. 5.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah maju tapi tertekan ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, dan Kota Surakarta.
6.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kota Tegal.
50
7.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah maju dan cepat tumbuh adalah Kota Pekalongan.
8.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal cepat ke daerah maju tapi tertekan adalah Kabupaten Semarang.
9.
Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah relatif tertinggal ke daerah berkembang cepat adalah Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Sregen dan Kabupaten Grobogan.
10. Wilayah yang mengalami pergeseran dari daerah berkembang cepat ke daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes. Setelah pelaksanaan otonomi daerah (tahun 2010), kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan tetapi masih tergolong dalam taraf tinggi. Oleh karena itu, menurut analisis Klassen Typology, jumlah wilayah yang masuk dalam kategori daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat wilayah menjadi delapan wilayah. Namun, wilayah yang masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal juga masih banyak yaitu sebanyak enam belas wilayah. Hal ini perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah daerah maupun pemerintah Provinsi Jawa Tengah supayadaerahdaerah yang tertinggal dapat diprioritaskan dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan dengan lebih memacu laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal. Diharapkan daerah yang tertinggal dapat memajukan perekonomian daerahnya, mengejar daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat diatasi.
51
5.3Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Pengujian kesesuaian model dalam persamaan pengaruh jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dilakukandalam dua tahap yaitu membandingkan PLS model dengan fixed effects modelkemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect mdodel. Tabel 5.2 Hasil Uji Chow Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 82,139288 15 0,0000 Dasar statistika untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan pooled OLS atau fixed effect menggunakan uji Chow. Keputusan menggunakan fixed effect dapat dilihat dari nilai probabilitas Chi-Square. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,0000 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H0. Kemudian untuk pemilihan model dilanjutkan dengan uji Hausman untuk menentukan model yang digunakan fixed effectatau random effect. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas Chi-Square sebesar 0,0314 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 yang berarti tolak H0 sehingga model yang layak digunakan adalah fixed effect. Tabel 5.3 Hasil Uji Hausman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah TertinggalProvinsi Jawa Tengah Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. D.f Prob. 13,847173 6 0,0314
52
Pengujian uji asumsi klasik dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dipilih telah memenuhi asumsi yang telah ditentukan, yaitu: a.
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan bila jumlah observasi kurang dari 30.
Berdasarkan uji Jarque-bera, nilai probabilitas (0,000000) < taraf nyata 5 persen (0,05) maka tolak H0 berarti error term tidak terdistribusi normal. b.
Multikolinearitas Model yang baik harus terbebas dari masalah mutikolinearitas.
Berdasarkan matriks korelasi pearson antar variabel independen, terlihat bahwa korelasi antar variabel cukup rendah (kurang dari 0,8) sehingga dapat disimpulkan model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas. c.
Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilihat dari perbandingan nilai sum squared
resid Weighted Statistic (68,22851) < nilai sum squared resid Unweighted Statistic (70,15147) sehingga terjadi heteroskedastisitas dalam model yang dipilih. Untuk mengatasi adanya heteroskedastisitas dalam model, maka metode estimasi yang dipilih diperbaiki dengan metode Generalized Least Squared (GLS)atau disebut metode cross section weightdan white heterokedasticity. d. Uji Autokorelasi Pengujian asumsi autokorelasi dilakukan dengan menghitung nilai statistik uji Durbin Watson. Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,46 dengan nilai dL sebesar 0,50 dan dU sebesar 2,39 maka nilai statistik Durbin Watson berada pada daerah tanpa ada keputusan.
53
Setelah melakukan uji asumsi klasik, dilanjutkan dengan uji statistik untuk menguji validitas dari model, yaitu: a.
Koefisien Determinasi(R2) Koefisien determinasi mencerminkan variasi dari variabel dependen yang
dapat diterangkan oleh variabel independen. Model dalam penelitian ini memiliki R2 sebesar 0,75. Ini berarti model persamaan jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air bersih mampu menjelaskan variabel laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar 75 persen, sedangkan 25 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. b.
Uji Secara Serempak (Uji F) Nilai probabilitas F-statistic (0,000000) < taraf nyata 5 persen(0,05) maka
tolak H0 artinya minimal ada satu peubah independen yang berpengaruh signifikan terhadap peubah dependen dan dapat dinyatakan pula bahwa hasil estimasi tersebut mendukung keabsahan model. c.
Uji signifikansi individu (uji t) Signifikasi individu dilakukan dengan melihat probabilitas masing-masing
variabel independen terhadap taraf nyata 5 persen. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat tiga variabel yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah antara lain rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan panjang jalan. Variabel-variabel ini berpengaruh secara positif. Tetapi terdapat tiga variabel yang tidak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu jumlah tenaga kerja, belanja modal/pembangunan dan penyaluran air bersih.
54
Tabel 5.4 Hasil Estimasi Regresi Panel Data dengan Pendekatan Fixed Effect dengan Pembobotan danWhite Cross Section Variabel Koefisien Std.Error t-Statistik Probabilitas Independen LNTK -0,328154 0,846837 -0,387506 0,6990 LNRLS 3,437337 0,682995 5,032739 0,0000* LNAHH 32,32304 10,20354 3,167826 0,0019* LNBM 0,026918 0,076386 0,352387 0,7251 LNJLN 1,080137 0,302397 3,571916 0,0005* LNAIR -0,027597 0,086502 -0,319028 0,7502 C -142,2464 45,41839 -3,131911 0,0021* Kriteria Statistik Nilai R-squared 0,758143 Adjusted R-squared 0,721339 F-statistic 20.59932 Prob(F-statistic) 0,000000 Durbin-Watson stat 1,463453 Keterangan: *signifikan pada taraf nyat 5 persen
Berdasarkan hasil estimasi model panel data dengan menggunakan fixed effect model setelah melalui serangkaian uji, maka diperoleh model terbaik dengan hasil estimasi sebagai berikut: Y = -142,2464- 0,328154LnTKit + 3,437337 LnRLSit+ 32,32304 LnAHHit+ 0,026918 LnBMit + 1,080137 LnJLNit-0,027597 LnAIRit+ e Pada
masing-masing
variabel
independen
yang
signifikan
dapat
diinterpretasikan sebagai berikut: 1.
Nilai konstanta (C) sebesar -142,2464 menunjukkan bahwa jika variabel-
variabel independen dianggap konstan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar -142,2464 satuan. Angka sebesar itu dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. 2.
Koefisien jumlah tenaga kerja (LNTK) tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah
55
masih belum optimal. Penggunaan tenaga kerja sudah berlebihan sehingga tidak lagi mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. 3.
Koefisien rata-rata lama sekolah (LNRLS) dengan elastisitas 3,437337
artinya jika terjadi kenaikan rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 3,437337 satuan (ceteris paribus). 4.
Koefisien angka harapan hidup (LNAHH) dengan elastisitas 32,32304
artinya jika terjadi kenaikan angka harapan hidup di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah naik sebesar 32,32304 satuan (ceteris paribus). 5.
Variabel belanja modal/pembangunan (LNBM) tidak berpengaruh
signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pada tahun 2010 proporsi belanja untuk pembangunan kurang dari 10 satuan dari total belanja daerah. Dan sekitar 90 satuan belanja daerah dialokasikan untuk belanja rutin antara lain belanja pegawai, belanja barang dan jasa, bagi hasil, dan lain-lain. 6.
Koefisien panjang jalan (LNJLN) dengan elastisitas 1,080137 artinya jika
terjadi kenaikan panjang jalan di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah sebesar satu satuan, maka laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah akan naik sebesar 1,080137 satuan(ceteris paribus). 7.
Variabel penyaluran air bersih (LNAIR) tidak berpengaruh signifikan
terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Seharusnya variabel ini berpengaruh karena dapat meningkatkan produktivitas jika porsi penyaluran air bersih lebih besar di daerah tersebut.
56
5.4 Implikasi Kebijakan Berdasar hasil regresi panel data, dari ketiga faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal yaitu rata-rata lama sekolah (pendidikan), angka harapan hidup (kesehatan), dan panjang jalan dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu kualitas SDM dan infrastruktur. Oleh karena itu, implikasi kebijakan yang dapat dibuat pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu meningkatkan kualitas SDM dan infrastruktur. 5.4.1 Peningkatan Kualitas SDM Modal manusia (human capital) merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Modal manusia dalam terminologi ekonomi sering digunakan untuk bidang pendidikan, kesehatan dan berbagai kapasitas manusia lainnya yang ketika bertambah dapat meningkatkan produktivitas (Todaro, 2006). Suatu negara yang mampu membeli berbagai peralatan canggih tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja terampil dan terlatih tidak akan dapat memanfaatkan barang-barang modal tersebut secara efektif. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui program-program sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas pendidikan di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Komponen rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yang semakin meningkat setiap tahunnya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Tabel 5.5 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 (Tahun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 6,02 6,08 6,17 6,26 6,31 6,49 6,61 6,54 6,74 6,77 Sumber: BPS, 2001-2010
57
Teori Human Capital menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena pendidikan berpengaruh terhadap produktivitas. Pendidikan menjadikan SDM lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu daerah. Menurut Todaro (2006), pendidikan memainkan peran kunci dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk mengadopsi teknologi modern dan dalam meningkatkan kapasitas produksi bagi pertumbuhan yang berkelanjutan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di daerah, serta menambah bantuan belajar bagi murid seperti beasiswa. Berdasarkan tabel 5.6 jumlah guru di daerah tertinggal lebih sedikit dibandingkan daerah maju sehingga jumlah rasio murid terhadap guru di daerah tertinggal lebih tinggi dibanding daerah maju maupun provinsi. Hal ini berarti di daerah tertinggal masih kekurangan guru. Oleh karena itu, untuk lebih mengefektifkan kegiatan pembelajaran, perlu penambahan guru di daerah tertinggal. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif berupa tunjangan lebih bagi guru yang bersedia mengajar di daerah-daerah tertinggal. Tabel 5.6 Perbandingan Jumlah Guru , Murid, Rasio Murid Terhadap Guru di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Rasio murid Sekolah Guru Murid terhadap guru SD 94.755 1.641.159 17,3 SLTP 36.272 353.084 9,7 SLTA 37.534 560.331 14,9 Total Daerah Tertinggal 168.561 2.554.574 15,2 Total Daerah Maju 190.986 2.808.985 14,7 Provinsi Jawa Tengah 359.547 5.363.466 14,9 Sumber: BPS, 2010
58
2. Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Komponen angka harapan hidup di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat sehingga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Menurut Todaro (2006), harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan. Kesehatan juga merupakan prasayarat bagi peningkatan produktivitas. Dengan demikian kesehatan juga dilihat sebagai komponen vital pertumbuhan sebagai input fungsi produksi agregat. Tabel 5.7 Perkembangan Angka Harapan Hidup di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 (Tahun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 68,68 68,82 68,95 69,14 69,26 69,48 69,62 96,69 69,87 70,06 Sumber: BPS, 2001-2010
peningkatkan kualitas kesehatan dilakukan dengan pemberian kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berupa puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain seperti apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh daerah tertinggal. Berdasarkan tabel 5.8 jumlah dokter di daerah tertinggal pada tahun 2010 lebih kecil dibandingkan jumlah dokter di daerah maju. Dan rata-rata dokter per puskesmas di daerah tertinggal hanya sebesar 2,15 lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata dokter per puskesmas di daerah maju sebesar 3,47 maupun di Provinsi Jawa Tengah sebesar 2,62. Tabel 5.8 Perbandingan Jumlah Dokter dan Dokter Per Puskesmas di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Wilayah Dokter Dokter Per Puskesmas Daerah Tertinggal 851 2,15 Daerah Maju 1.409 3,47 Provinsi Jawa Tengah 2.260 2,62 Sumber: BPS, 2010
59
Hal tersebut menunjukkan di daerah tertinggal masih kekurangan dokter. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kesehatan juga dapat dilakukan dengan penambahan jumlah dokter di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif berupa tunjangan lebih bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah-daerah tertinggal. 5.4.2 Peningkatan Kualitas Infrastruktur Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Ketersediaan transportasi yang memadai dapat membuka keterisolasian daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut dengan lancarnya arus barang dan jasa (Prahara, 2010). Jalan merupakan sarana penghubung untuk mobilitas barang dan jasa baik di dalam daerah itu sendiri maupun dari daerah tersebut ke daerah lain di sekitarnya. Tabel 5.9 Panjang Jalan Menurut Kondisi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 (Km) Baik Sedang Rusak Rusak Berat 5.657,24 2.514,79 1.893,31 1.084,67 Sumber: BPS, 2010
Berdasarkan tabel 5.9 kondisi jalan yang rusak dan rusak berat lebih pendek dibandingkan jalan yang dalam kondisi baik dan sedang, tetapi jika jalan yang rusak dan rusak berat diperbaiki, maka dapat meningkatkan efisiensi transportasi, baik untuk barang maupun manusia. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur, terutama pembangunan jalan yang menghubungkan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan jalan yang rusak. Dapat juga dilakukan perpanjangan jalan di daerah tertinggal untuk memperlancar kegiatan perekonomian di daerah tersebut.