111
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak Geografis Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan batas serta sekaligus sebagai pintu gerbang ke Provinsi Jawa Tengah. Dilihat dari permukaan tanah/daratannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, pertama daerah dataran rendah umumnya terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang memiliki letak ketinggian antara 0 – 10 m dari permukaan laut, sedangkan sebagian lagi termasuk pada daerah dataran tinggi yang terletak di bagian Selatan dengan ketinggian antara 11 – 130 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Cirebon sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu, sebelah Barat Laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan, sebelah Timur dengan wilayah Kotamadya Cirebon, dan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah). Iklim dan curah hujan di kabupaten ini, dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai, perbukitan terutama daerah bagian Utara, Timur, dan Barat, sedangkan bagian Selatan merupakan daerah perbukitan.
112
Kota Cirebon terletak di daerah pantai utara Provinsi Jawa Barat bagian timur dan ketinggian + 5 meter dari permukaan laut, dengan demikian Kota Cirebon merupakan daerah dataran rendah. Yang mempunyai batasbatas: sebelah Utara sungai Kedung Pane, sebelah Barat Kabupaten Cirebon, sebelah Selatan sungai Kalijaga, dan sebelah Timur Laut Jawa. Kota Cirebon termasuk daerah iklim tropis dengan suhu udara berkisar 24
0
C – 33 0 C. Daerah Kabupaten Purwakarta secara administratif mempunyai batas wilayah bagian Barat dan sebagian wilayah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karawang, bagian Utara dan sebagian wilayah bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Subang, bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung, dan bagian Barat Daya berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Purwakarta dibagi atas beberapa wilayah yaitu
bagian
Utara memiliki ketinggian antara 25 – 500 meter dari permukaan laut dan wilayah bagian Barat yang mempunyai ketinggian 400 meter dari permukaan laut, sedangkan wilayah bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari 200 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Bekasi topografinya terbagi dua bagian, yaitu dataran rendah yang meliputi sebagian wilayah bagian Utara dan dataran bergelombang di wilayah bagian Selatan, dengan ketinggian lokasi
113
Kabupaten Bekasi antara 6 – 115 m dari permukaan laut serta kemiringan 0 – 25 %. Suhu udaranya berkisar antara 28 – 32 0 C. Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah dan perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi antara 50-140 meter di atas permukaan laut serta kemiringan lerengnya dari 15 % Kota Depok. Batas-batas wilayahnya sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, sebelah Timur dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor, sebelah Selatan
berbatasan
dengan
Kecamatan
Cibinong dan Kecamatan
Bojonggede Kabupaten Bogor, dan sebelah Barat dengan Kecamatan Parung serta Kecamatan Gunungsindur Kabupaten Bogor. Kota Bandung merupakan Ibu kota Provinsi Jawa Barat, lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, perekonomian maupun keamanan. Hal tersebut disebabkan oleh: Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan raya; Barat-Timur yang memudahkan hubungan dengan Ibu Kota Negara dan Utara – Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan). Ketinggian kota ini terletak pada ketinggian 791 meter di atas permukaan laut, titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 meter dan terendah di sebelah Selatan 675 meter di atas permukaan laut. Iklim Kota Bandung dipengaruhi oleh iklim pegunungan yang lembab dan sejuk, temperatur rata-rata 23,6 0C.
114
4.1.2
Keadaan Penduduk dan Tenaga Kerja Salah satu aset pembangunan yang paling dominan pada umumnya
adalah jumlah penduduk dan jumlah tenaga kerja
masyarakat di suatu
wilayah. Besarnya Jumlah penduduk yang akan membawa implikasi tertentu, utamanya terhadap persebarannya dan densitas atau tingkat kepadatan, di samping itu, jumlah penduduk dapat dijadikan suatu indikator pilihan segmen pasar dan target pasar
bagi perusahaan yang ingin mengembangkan
pemasarannya. Keadaan penduduk dari ke enam daerah penelitian dapat disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1.Penduduk, Rumah Tangga, Kepadatan dan Rata-Rata Penduduk Per Rumah Tangga Menurut Kota/Kabupaten Kabupaten/Kota
Luas Wilayah (Km 2)
Penduduk (Orang)
1.073,68
1.642.952
441.114
1.530,20
Rata-rata per Rumah Tangga (Orang) 3,72
2. Kab. Cirebon
971,72
1.911.625
480.969
1.962,65
3,97
3.Kab. Purwakarta
974,00
698.353
186.290
718,68
3,75
4. Kota Bandung
166,06
2.141.837
595.408
12.744,47
3,60
5. Kota Depok
186,06
1.146.055
289.902
6.159,60
3,95
37,36
269.186
66.824
7.205,19
4,03
1. Kab. Bekasi
6. Kota Cirebon
Rumah Tangga (KK)
Kepadatan (Per Km 2)
Sumber : BPS, Jawa Barat Dalam Angka, 2004.
Pembangunan ekonomi salah satu tujuannya adalah untuk mengatasi permasalahan dibidang ketenagakerjaan, dengan harapan terciptanya lapangan pekerjaan yang lebih luas lagi sehingga dapat menyerap tenaga
115
kerja yang lebih banyak. Keadaan ketenagakerjaan dari ke enam daerah penelitian dapat disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2.Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Bekerja , Mencari Pekerjaan dan Bukan Angkatan Kerja Menurut Kabupaten dan Kota
1. Kab. Bekasi
565.048
25.532
590.580
Bukan Angkatan Kerja (Orang) 697.940
2. Kab. Cirebon
729.180
56.590
785.770
739.729
3. Kab. Purwakarta
264.991
17.970
282.961
274.679
4. Kota Bandung
777.191
80.658
857.849
935.769
5. Kota Depok
345.282
39.473
427.423
423.332
6. Kota Cirebon
101.758
5.696
539.935
522.794
Kabupaten/Kota
Angkatan Kerja (Orang) Bekerja Mencari Jumlah Pekerjaan
Sumber : BPS, Jawa Barat Dalam Angka, 2004. Tabel 4.2 menunjukkan, daerah perkotaan masih merupakan daerah yang menjadi pilihan sebagian besar penduduk yang ingin bekerja terutama di Kota Bandung. Untuk melihat berapa besar persentase penduduk yang bekerja menurut jenis pekerjaan utama dapat disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 menunjukkan, persentase
pekerjaan utama penduduk di
Kabupaten Bekasi, tertinggi pada jenis pekerjaan produksi dan operator kasar, serta
tenaga penjualan. Hal ini dimungkinkan karena Kabupaten
Bekasi sebagai daerah industri yang memiliki lokasi yang strategis karena berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta.
116
Di Kabupaten Cirebon, persentase lapangan pekerjaan utama mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian dan produksi. Hal ini dimungkinkan karena daerah ini memiliki potensi pertanian dan perikanan laut sebagai mata pencaharian utama, sedangkan di Kabupaten Purwakarta, persentase jenis pekerjaan utama mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian dan tenaga kerja produksi. Hal ini dimungkinkan karena daerah ini memiliki potensi industri pengolahan, pertanian dan perdagangan yang secara geografis cukup menguntungkan karena berada pada posisi tengah antara DKI Jakarta dan Ibu Kota Jawa Barat (Kota Bandung) sehingga akses ke dua wilayah ini sangat lancar. Di Kota Bandung,
persentase jenis pekerjaan utama
mayoritas
penduduknya bekerja sebagai tenaga kerja produksi, jasa, dan penjualan . Hal ini dimungkinkan karena daerah ini memiliki potensi industri pengolahan, terutama tekstil dan industri makanan serta dijuluki sebagai kota belanja serta kota wisata. Di Kota Depok,
persentase jenis
pekerjaan utama
mayoritas
penduduknya bekerja sebagai tenaga kerja produksi, jasa, dan penjualan. Hal ini dimungkinkan karena daerah ini memiliki potensi industri pengolahan terutama tekstil, kulit dan industri makanan. Demikian halnya di Kota Cirebon, persentase jenis pekerjaan utama mayoritas penduduknya bekerja sebagai tenaga kerja produksi, jasa, dan penjualan. Hal ini dimungkinkan karena daerah ini memiliki potensi industri pengolahan terutama industri perikanan
117
laut dan industri makanan olahan laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat. Tabel 4.3.Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan Utama Menurut Kabupaten dan Kota Tenaga Profesional
Jenis Pekerjaan Utama (%) Tenaga Tenaga Tenaga PenjuaUsaha Usaha lan Jasa Pertanian
1. Kab. Bekasi
4,38
Tenaga Kepemim -pinan dan Ketatalaksana 0,16
2. Kab. Cirebon
2,89
0,19
2,59
24,85
3,79
35,06
29,59
0,60
0,63
3. Kab. Purwakarta
2,88
0,28
2,27
21,47
4,65
33,19
34,14
0,30
0,82
4. Kota Bandung
7,33
2,30
12,21
32,76
9,12
0,29
34,27
1,15
0,57
5. Kota Depok
9,14
2,46
17,05
21,53
14,35
3,18
29,87
1,86
0,56
6. Kota Cirebon
5,51
1,07
11,84
33,78
14,12
3,24
28,69
1,08
0,67
Kabupaten/Kota
Pjb. Pelak -sana & TU
3,12
22,69
8,15
Anggota TNI
Lainnya
17,45
Tenaga Produksi Operator,kasar 42,31
0,08
1,66
Sumber : Susenas 2003 Tabel 4.3 memberikan dampak pada kontribusi perolehan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di suatu wilayah.
Untuk lebih jelasnya
distribusi persentase PDRB pada wilayah penelitian dapat disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 menunjukkan, di Kabupaten Bekasi PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto), tertinggi pada sektor industri pengolahan 78,26 %, perdagangan, hotel dan restoran 10,53 %. Di Kabupaten Cirebon, konstribusi PDRB tertinggi pada sektor pertanian 36,86 %, perdagangan, hotel,
dan restoran
19,25 %, sedangkan di Kabupaten Purwakarta,
konstribusi PDRB tertinggi pada sektor industri pengolahan 42,14 %, sektor perdagangan, hotel, restoran 27,42 %, dan sektor pertanian 10,41 %.
118
Di Kota Bandung konstribusi PDRB tertinggi pada sektor industri pengolahan 32,46 %, sektor perdagangan, hotel, restoran 32,12 %, dan sektor jasa 10,05 %. Di Kota Depok konstribusi PDRB tertinggi pada sektor industri pengolahan 40,45%, sektor perdagangan, hotel, restoran 25,23 %, dan sektor jasa 9,41
%, sedangkan di Kota Cirebon konstribusi PDRB
tertinggi pada sektor industri pengolahan 29,78 %, sektor perdagangan, hotel, restoran 16,24 %, dan sektor jasa 10,14 %. Tabel 4.4. Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 Pendapatan Domestik Regional Bruto (%) Kabupaten No
Lapangan Usaha
Kota
Bekasi 1.99
Purwakarta 8.57
Cirebon 36.86
Cirebon 20.49
Bandung 0.38
Depok 3.12
0.06
0.28
0.64
1.16
0.00
0.00
78.26
42.14
6.39
29.78
32.46
40.45
Listrik,Gas, Air Minum
1.55
3.76
2.43
2.45
2.49
4.01
5
Bang/Konstruksi
1.44
2.91
12.40
7.56
4.98
6.87
6
Perdag, Hotel, Rest
10.53
27.42
19.25
16.24
32.12
25.23
7
Pengk.dan Kom
1.62
2.91
5.33
5.36
10.57
6.12
8
Bank, Lemb.Keu.
1.62
5.81
5.48
6.82
6.94
4.79
9
Jasa-Jasa
2.93
6.20
11.23
10.14
10.05
9.41
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
1
Pertanian
2
Pertambangan dan Galian
3
Indust dan Pengolahan
4
PDRB
Sumber : PDRB Kabupaten dan Kota Tahun 2004 4.1.3 Pendidikan Pendidikan merupakan suatu faktor kebutuhan dasar untuk setiap manusia
sehingga
upaya
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
melalui
pendidikan merupakan bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
119
Jika pembangunan yang dilakukan tidak dapat mengandalkan sumber daya alam yang keberadaannya terbatas, maka peningkatan pendidikan penduduk merupakan upaya peningkatan sumber daya manusia yang hasilnya merupakan modal intelektual untuk penggerak pembangunan, seperti yang disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Memiliki Ijazah Tertinggi Menurut Kabupaten dan Kota Ijazah Tertinggi Yang Dimiliki (%) SLTP/MT SMU/M SM Dipl. Dipl /Sedera- A/Sede Keju- I/II III/Sarjat/Kejurajat ruan mud ruan 15,52 11,19 3,59 0,35 0,97
Tidak Punya
SD/MI/ Sedera -jat
1. Kab. Bekasi
27,76
39,61
2. Kab. Cirebon
39,92
35,56
12,55
7,92
2,93
0,34
3. Kab. Purwakarta
26,56
42,00
15,35
11,38
3,56
9,33
26,05
22,23
27,34
5. Kota Depok
15,40
22,93
19,24
6. Kota Cirebon
21,42
23,55
19,79
Kabupaten/Kota
4. Kota Bandung
Dipl IV/S1
S2/S3
1,01
-
0,23
0,55
-
0,53
0,40
0,24
-
6,46
1,25
2,38
4,66
0,29
23,75
7,67
1,05
4,58
4,90
0,40
22,47
4,82
1,69
2,38
3,63
0,25
Sumber : Susenas 2003 Tabel 4.5 menunjukkan, tingkat pendidikan yang dimiliki sebagian besar penduduk yang berada di tiga kabupaten tersebut relatif rendah, jika dibandingkan dengan penduduk yang berada di daerah perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa
keterbelakangan pendidikan tersebut sangat erat
kaitannya dengan faktor tingkat sosial ekonomi sebagian masyarakat di pedesaan.
Di
samping
itu,
keefektifan
program
pemerintah
untuk
mengsukseskan program belajar 9 tahun perlu ditingkatkan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
120
Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki sebagian besar masyarakat di tiga kabupaten tersebut telah berdampak pada jenis pekerjaan utama seperti tampak pada Tabel 4.3 di atas, sedangkan di tiga kota tersebut kondisi pendidikan masyarakatnya
relatif lebih baik. Hal ini
menunjukkan bahwa di daerah perkotaan sarana dan prasarananya cukup memadai serta masyarakat
telah memahami pentingnya peningkatan
sumber daya manusia untuk menghadapi persaingan yang cukup ketat di segala bidang.
Peningkatan sumber daya manusia yang pada gilirannya
dapat meningkatkan kesejahteraan. 4.1.4. Pendapatan Perkapita Pendapatan per kapita merupakan hasil bagi pendapatan regional dengan
jumlah
perhitungan
penduduk
pertengahan
tahun.
Dalam
kenyataannya
pendapatan yang benar-benar diterima oleh penduduk
kabupaten/kota sulit dilakukan karena masih belum tersedianya data arus pendapatan yang mengalir antar kabupaten/kota. Oleh karena itu, sampai saat ini penyajian data pendapatan masih menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk melihat besarnya pendapatan per kapita di daerah penelitian dapat disajikan pada Gambar 4.1.
121
20,000,000 18,000,000 16,000,000
Rupiah
14,000,000 12,000,000 10,000,000
H.Konstan H. Berlaku
8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000
Ka b. Be Ka ka b. si Pu rw ak ar Ka ta b. Ci re bo Ko n ta Ba nd un g Ko ta De po Ko k ta Ci re bo n
0
Gambar : 4.1. Pendapatan Per Kapita di Daerah Penelitian Sumber : BPD Provinsi Jawa Barat Kerjasama dengan BPS, Tahun 2003 Gambar 4.1 menunjukkan, PDRB per kapita yang dicapai di daerah penelitian, dalam kondisi tertentu pendapatan per kapita dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran di wilayah tersebut. Gambaran kemakmuran tersebut dikatakan kasar karena pada kenyataannya produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah belum tentu seluruhnya dinikmati oleh penduduk wilayah yang bersangkutan. Sebaliknya pada keadaan mobilitas penduduk yang tinggi dengan cakupan wilayah yang relatif sempit akan sulit untuk mengukur pendapatan yang diterima oleh penduduk yang berasal dari wilayah lainnya.
122
Menurut laporan Susenas (2003:163-176), pendapatan masyarakat tersebut dibelanjakan untuk kebutuhan makanan dan non makanan ratarata per bulan tampak pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Sebulan Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Pengeluaran Kabupaten/Kota
Makanan Rp %
Non Makanan Rp %
Total Pengeluaran Rp %
1. Kab.Cirebon
106.406
66,91
52.624
33,09
159.030
100,00
2. Kab.Purwakarta
136.772
65,24
72.888
34,76
209.660
100,00
3. Kab.Bekasi
133.483
55,79
105.787
44,21
239.271
100,00
4. Kota Bandung
159.948
50,68
155.632
49,32
315.580
100,00
5. Kota Cirebon
145.526
53,55
126.214
46,45
271.740
100,00
6. Kota Depok
162.056
44,24
204.236
55.75
366.291
100,00
Sumber : Susenas Tahun 2003. Tabel 4.6 menunjukkan, pengeluaran masyarakat di tiga kabupaten tersebut masih didominasi oleh pengeluaran untuk makanan, masing-masing padi-padian, makanan/minuman,
tembakau dan sirih, sedangkan, non
makanan masih didominasi oleh perumahan, pakaian, dan aneka barang dan jasa. Namun, berbeda di tiga kota yaitu: Kota Bandung, Kota Cirebon, dan Kota Depok
jenis pengeluarannya
didominasi oleh makanan dan
minuman, tembakau dan sirih, padi-padian, daging, telur dan susu, sayuran/ buah-buahan, sedangkan untuk pengeluran non makanan didominasi oleh perumahan,
aneka
2003:163-176).
barang/jasa,
pendidikan,
dan
pakaian
(Susenas,
123
4.1.5 Industri dan Perdagangan Sektor industri secara umum mempunyai kontribusi terbesar dalam pembangunan ekonomi di Jawa Barat. Secara makro tahun 2003 didominasi oleh hampir 60 % industri pengolahan yang berlokasi di Jawa Barat. Oleh karena itu, perekonomian nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja industri di daerah ini. Bahkan sektor industri pengolahan merupakan lapangan usaha terbesar ke dua
menyerap tenga kerja setelah sektor pertanian. Jumlah
Industri Besar dan Sedang serta Tenaga Kerja menurut kabupaten dan kota, disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Jumlah Industri Besar dan Sedang serta Tenaga Kerja Menurut Kabupaten dan Kota Kabupaten/Kota 1. Kab. Bekasi
Perusahaan (Unit usaha) 703
Tenaga Kerja (Orang) 198.626
2. Kab. Cirebon
194
24.169
3. Kab. Purwakarta
168
43.423
4. Kota Bandung
475
76.108
5. Kota Depok
120
41.532
6. Kota Cirebon
60
6.370
Sumber : BPS masing-masing Kabupaten/Kota Dalam Angka 2004 Menurut BPS Jawa Barat Dalam Angka (2004:235), yang dimaksud dengan industri besar adalah dengan jumlah pekerja 100 orang atau lebih, industri sedang dengan jumlah pekerja antara 20 sampai dengan 99 orang, industri kecil mempunyai pekerja antara 5 sampai dengan 19 orang, serta
124
perusahaan yang mempunyai pekerja kurang dari 5 orang termasuk dalam kategori industri kerajinan rumah tangga (household industry). Di samping sektor industri, peranan sektor perdagangan selama ini memiliki kontribusi yang besar dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi di wilayah penelitian.
Sektor ini
dapat dikelompokkan menjadi perusahaan
besar, perusahaan menengah dan kecil yang dapat disajikan pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Jumlah Perdagangan Nasional Menurut Golongan Usaha (Unit usaha / Orang) Kabupaten/Kota 1. Kab. Bekasi
Perdagangan Perdagangan Perdagangan Besar Menengah Kecil 62 140 849
2. Kab. Cirebon
2
11
86
3. Kab. Purwakarta
2
12
120
154
505
2.091
5. Kota Depok
45
181
663
6. Kota Cirebon
10
52
412
4. Kota Bandung
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2004 4.1.6 Potensi Perkebunan Teh di Jawa Barat Salah satu tujuan utama pembangunan di sektor perkebunan teh adalah meningkatkan mutu dan produksinya, karena sektor ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam pertehan nasional dan kontribusinya dalam PDRB Provinsi Jawa Barat. Di Jawa Barat lahan perkebunan diklasifikasikan menurut ketinggian dalam 5 (lima) kelas atau golongan yaitu:
125
(a) Teh dataran tinggi (high land grown tea) yaitu lokasi perkebunan teh yang memiliki ketinggian di atas 1.500 meter di atas permukaan laut. Contoh perkebunan teh Dayeuh Manggung dan Sperata-Sinumbra. (b) Teh medium tinggi (good medium tea) yaitu lokasi perkebunan teh dengan ketinggian antara 1.200 – 1.500 meter di atas permukaan laut. Contoh perkebunan Talun dan Malabar. (c) Teh
medium (medium tea)
yaitu
lokasi
perkebunan
teh
yang
ketinggiannya 1.000 – 1.2000 meter di atas permukaan laut. Contoh perkebunan Pangheotan dan Goalpara. (d) Teh medium rendah (low medium tea) yaitu lokasi perkebunan teh dengan ketinggiannya antara 800 – 1.000 meter di atas permukaan laut. Contoh perkebunan Cikopo. (e) Teh tanah rendah (common tea) yaitu lokasi perkebunan teh dengan ketinggian di bawah 800 meter di atas permukaan laut. Contoh perkebuan Pasirnangka Potensi perkebunan teh tersebut, tersebar hampir seluruh wilayah Kabupaten,seperti yang disajikan pada Tabel 4.9.
126
Tabel 4.9. Luas Areal dan Produksi Tanaman Teh Menurut Kepemilikan di Provinsi Jawa Barat. No
Kabupaten
Perkebunan Rakyat Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton)
Perkebunan Besar Swasta Luas Areal
Perkebunan Besar Negara
Produksi
Luas Areal
Produksi
(Ton)
(Ha)
(Ton)
3.165,00
1.311,73
2.214,61
(Ha) 1
Bogor
193,25
262,50
941,24
2 3
Sukabumi
11.368,00
4.475,00
5.656,31
5.415,00
2.615,62
4.621,46
Bandung
3.139,00
1.853,80
6.633,76
10.438,63
14.169,26
27.737,18
4
Garut
7.049,40
3.520,22
1.383,67
1.382,20
3.093,68
4.662,94
5
Tasik
11.963,00
6.746,14
1.00,72
1.833,80
-
-
6
Ciamis
1.837,29
1.515,50
-
-
-
-
7
Kuningan
302,10
9,25
-
-
-
-
9
Majalengka
1.565,07
173,26
-
-
-
-
10
Sumedang
1.034,00
204,00
24,00
28,00
-
--
11
Cianju1
14.608,50
13.309,00
9.188,90
6.823,89
2.780,03
5.036,65
12
Subang
504,40
198,33
-
-
2.362,10
5.292,80
13
Purwakarta Total
4.220,15 57.816,66
1.518,87 33.790,52
169,50 25.005,10
110,60 29.197,12
26.322,42
49.565,44
Sumber : BPS,Jawa Barat Dalam Angka 2004 Tabel 4.9 menunjukkan, potensi luas perkebunan teh rakyat, perusahaan besar swasta, dan perusahaan negara cukup besar. Namun, kendala yang dihadapi oleh teh rakyat adalah mutu, produktivitas lahan yang rendah serta harga pucuk yang cenderung turun dalam kurun waktu lima tahun. Demikian halnya perusahaan besar swasta dan perusahaan negara, kendala yang dihadapi lebih kompleks terutama untuk penjualan ekspor ke berbagai negara di dunia yang menghadapi persaingan semakin ketat di antara negara-negara penghasil teh lainnya.
127
4.2 Faktor Internal Konsumen Rumah Tangga Keputusan untuk melakukan pembelian atau mengkonsumsi teh dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis. Berbagai indikator tersebut telah diukur berdasarkan penelitian emprik yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 4.2.1 Budaya Konsumen Budaya konsumen merupakan suatu yang perlu dipelajari, konsumen tidak dilahirkan untuk secara spontan mengerti tentang nilai dan norma atas kehidupan sosialnya. Mereka harus belajar tentang apa yang diterima dari keluarga dan lingkungannya. Persepsi konsumen terhadap sesuatu termasuk bagaimana cara berfikir, percaya, dan bertindak ditentukan oleh lingkungan budaya sekitar konsumen itu berada serta kelompok yang berhubungan dengan konsumen. Dalam penelitian ini indikator budaya telah diukur berdasarkan kebiasaan minum teh oleh konsumen rumah tangga, jumlah atau frekuensi minum teh dalam sehari, dan waktu minum teh. (a) Kebiasaan Minum Teh oleh Konsumen Rumah Tangga Kebiasaan minum teh dalam rumah tangga diukur dari frekuensi minum teh dalam sehari. Kebiasaan minum teh sebagai budaya yang dapat diterima
oleh
anggota
keluarga
Ujang
Sumarwan
(2004:195),
128
mengemukakan bahwa kebiasaan adalah berbagai bentuk perilaku dan tindakan yang diterima secara budaya. Hasil penelitian memberikan informasi dalam sehari
bahwa frekuensi konsumsi teh
erat kaitannya dengan faktor kebiasaan dalam keluarga
responden, seperti yang disajikan pada Tabel 4.10. Tabel 4.10. Frekuensi Konsumsi Teh dalam Sehari oleh Konsumen Rumah Tangga Frekuensi
Kota Bandung
Kota Depok
Kota Cirebon
Kab. Bekasi
Kab. Cirebon
Kab. Purwakarta
Total
> 4 Kali
F 3
% 5.17
F 2
% 6.90
F 0
% 0.00
F 15
% 34.09
F 13
% 27.08
F 3
% 15.79
F 36
% 17.56
4 Kali
23
39.66
13
44.83
6
85.71
18
40.91
21
43.75
10
52.63
91
44.39
3 Kali
26
44.83
14
48.28
1
14.29
9
20.45
12
25.00
3
15.79
65
31.71
2 Kali
4
6.90
0
0.00
0
0.00
2
4.55
2
4.17
3
15.79
11
5.37
1 Kali
2
3.45
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
2
0.98
Jumlah
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Tabel 4.10 menunjukkan, di tiga kota (Kota Bandung, Kota Depok, dan Kota Cirebon) sebagian besar responden mengkonsumsi teh dalam sehari tiga sampai empat kali dan sisanya responden mengkonsumsi antara dua kali dan sekali dalam sehari. Namun, di tiga daerah kabupaten ( Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta) sebagian besar responden mengkonsumsi lebih dari empat kali dan sisanya responden minum teh antara tiga dan dua kali sehari. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi teh merupakan minuman yang sangat penting, walaupun kebiasaan ini belum sebanyak konsumsi masyarakat Jepang.
129
Di Jepang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Joko Sulistyo (2004:6), bahwa orang Jepang yang minum teh hijau 5 -10 cangkir dalam sehari tampaknya memiliki harapan hidup lebih panjang, karena terhindar dari kanker dan serangan jantung, serta minum teh hijau 4 cangkir dalam sehari mampu melindungi diri kita dari berkembangnya penyakit radang sendi, sedangkan 2 cangkir dalam sehari secara teratur dapat memberi dampak bagi tubuh manusia. Kebiasaan minum teh tersebut, dari hasil pengumpulan data diperoleh beragam suku atau daerah asal yang mewarnai karakteristik responden secara heterogen di daerah penelitian, seperti disajikan pada Tabel 4.11. Tabel 4.11. Suku/Keturunan/Daerah Asal Responden Kota Bandung
Kota Depok
Kota Cirebon
Kab. Bekasi
Kab. Cirebon
Kab. Purwakarta
Total
Pilihan Sunda
F 23
% 39.66
F 10
% 34.48
F 3
% 42.86
F 10
% 22.73
F 18
% 37.50
F 8
% 42.11
F 72
% 35.12
Jawa
9
15.52
15
51.72
2
28.57
16
36.36
27
56.25
7
36.84
76
39.51
Ket.China
4
6.90
3
10.34
1
14.29
5
11.36
0
0.00
1
5.26
14
6.83
Sumatera
15
25.86
1
3.45
0
0.00
4
9.09
0
0.00
3
15.79
23
11.21
Kalimantan
3
5.17
0
0.00
0
0.00
4
9.09
1
2.08
0
0.00
8
3.90
Sulawesi
4
6.90
0
0.00
1
14.29
5
11.36
2
4.17
0
0.00
12
5.85
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Jumlah
Tabel 4.11 menunjukkan, masing-masing daerah penelitian diwarnai oleh berbagai suku, Kota Bandung lebih heterogen, namun Suku Sunda tetap lebih dominan, kemudian daerah asal Sumatera, dan Suku Jawa, sedangkan
130
sisa lainnya keturunan China, daerah asal Kalimantan serta
daerah asal
Sulawesi. Kota Depok hampir separuhnya atau dominan berasal dari Suku Jawa, Sunda, dan sisanya responden yang berasal dari keturunan China serta Sumatera. Kota Cirebon hampir berimbang antara Suku Sunda dan Jawa serta sisanya adalah responden yang berasal dari keturunan China dan daerah asal Sulawesi. Kabupaten Bekasi mayoritas Suku Jawa, selanjutnya Suku Sunda, namun antara keturunan China dan responden yang berasal dari daerah asal Sulawesi sama banyaknya. Demikian halnya daerah asal Sumatera dan Kalimantan responden yang terjaring sama banyaknya. Kabupaten Cirebon mayoritas responden berasal dari Suku Jawa, Suku Sunda, dan sisanya adalah responden yang berasal dari daerah Kalimantan dan Sulawesi. Kabupaten Purwakarta responden yang terjaring hampir sama banyaknya antara Suku Sunda dan Jawa serta sisanya responden yang berasal dari keturunan China dan Sumatera. Secara total responden dapat dilihat pada Gambar 4.2.
131
3.90%
5.85% Sunda Jawa
11.21%
35.12%
Ket.China Sumatera
6.83%
Kalimantan Sulawesi
39.51%
Gambar 4.2: Suku/Keturunan/Daerah Asal Responden Gambar
4.2
bagi
seorang
pemasaran,
informasi
mengenai
karakteristik responden berdasarkan suku/keturunan/daerah asal responden akan memberikan inspirasi mengenai produk yang dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga berdasarkan segmentasi pasar. Menurut Nugroho J. Setiadi (2003:349),
menjelaskan beberapa
strategi pemasaran dapat dilakukan berkenan dengan pemahaman budaya suatu masyarakat. Sebagai contoh, komoditi teh hijau wangi sangat disenangi oleh masyarakat yang berasal Suku Jawa, contoh lain strategi pemasaran yang dilakukan oleh Indofood sebagai produsen mie instan yang sangat terkenal di tanah air, sangat pandai memanfaatkan budaya masyarakat untuk mengembangkan mie instan berdasarkan jenis masakan yang biasanya dikonsumsi di 32 (tiga puluh dua) provinsi, misalnya antara
132
lain mie instan rasa rendang Padang, rasa mie kocok Bandung, rasa mie ayam Bangka, rasa sup kondro Makassar, dan mie rasa cakalang Manado. (b) Pilihan Waktu Minum Teh Hasil penelitian
menunjukkan sebagian besar responden di enam
wilayah penelitian, memilih waktu minum teh pagi, siang, dan malam atau pagi serta malam saja. Walaupun, di wilayah Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Purwakarta yang memilih waktu minum teh persentasenya cukup besar pada pagi dan siang. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan waktu minum teh tersebut sangat erat kaitannya dengan temperatur setempat, misalnya daerah beriklim panas, anggota keluarga lebih senang minum teh dingin, daerah beriklim sedang dan dingin (pegunungan), lebih senang minum teh panas. Pilihan waktu minum teh dapat disajikan pada Tabel 4.12. Tabel 4.12. Waktu Minum Teh Pilihan
Kota Bandung
Kota Depok
Kota Cirebon
Kab. Bekasi
Kab. Cirebon
Kab. Purwakarta
Total
Pg,Siang,Mlm
F 21
% 36.21
F 8
% 27.59
F 5
% 71.43
F 16
% 36.36
F 10
% 20.83
F 8
% 42.11
F 68
% 33.17
Pagi & Mlm
28
48.28
17
58.62
1
14.29
21
47.73
23
47.92
5
26.32
95
46.34
Pg & Siang
7
12.07
4
13.79
1
14.29
6
13.64
13
27.08
4
21.05
35
17.07
Pagi saja
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
2.27
2
4.17
2
10.53
5
2.44
Kapan saja
2
3.45
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
2
0.98
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Jumlah
Cara penyajiannyapun di berbagai daerah penelitian hampir sama yaitu, teh diseduh dengan air panas. Lamanya waktu teh diendapkan ke dalam air panas, pada
umumnya responden
tidak berpatokan pada waktu tetapi
133
berpatokan pada warna air yang diinginkan, padahal menurut Ali Khomsan6), untuk memperoleh khasiat antioksidan dari teh diajurkan agar menyeduh selama 3 menit Penggunaan wadah sebagai seduhan, belum menggunakan wadah khusus, berbeda dengan negara lain yang memiliki tradisi minum teh yang kuat, minum teh di Indonesia
hampir dapat dikatakan
tidak terikat oleh
aturan apa pun. Sebagai contoh, tradisi minum teh di China, ada dua wadah yang digunakan sebuah gelas dan sebuah mangkuk. Gelas berfungsi untuk menghirup aroma teh sebagai tanda penghormatan pada tuan rumah, sedangkan mangkuk berfungsi untuk meminum air teh. Jepang mempunyai tradisi upacara minum teh selama 4 jam. Cara penyajiannya menggunakan ketel dan cangkir di ruang penyuguhan, tamu dipersilahkan minum teh kental dengan beberapa makanan dan disajikan bersama wiski (sake) Di Tiongkok, sebelum teh diminum, cawan diangkat
ke atas, ke
bawah, dan ke kanan, kemudian diputar-putar di atas telapak tangan untuk memberi penghormatan kepada unsur alam. Teh diseduh cara kung fu serta teh dipakai sebagai antaran ketika melamar, hal ini menggambarkan atau memberikan makna kesetiaan.
6
). Media Indonesia, 2004.Tinggi Kandungan Antioksidan; Teh Bisa Cegah Penyakit Degeneratif. 18 Agustus, p.20., Jakarta
134
Masyarakat Rusia mengenal teh sejak abad ke 17 mereka minum teh sambil berdiri, mengikuti tradisi orang barat dan air dididihkan menggunakan ketel samovar dengan tungku arang, daun teh dimasukkan sampai hangat dan layu ditutup hingga aroma teh keluar. Selanjutnya air teh dituangkan ke dalam gelas perak. Di Inggris, teh dianggap sebagai minuman bangsawan, teh disajikan saat sarapan pagi dan makan malam. Kebiasaan minum teh di Inggris berlangsung sampai saat ini. Minuman teh biasanya disajikan pada siang hari dalam pertemuan keluarga yang dihidangkan bersama
roti
berselai,
sandwich atau makanan kecil lainnya. Orang Irak selalu meyempatkan diri pada sore hari sambil menikmati teh, setiap keluarga memiliki tradisi berbeda-beda tetapi intinya sama yaitu air dididihkan dalam ketel, daun teh dimasukkan ke dalam poci dan dituangi air mendidih hingga daunnya naik ke atas 7). 4.2.2 Kelas Sosial Kelas sosial adalah bentuk lain dari pengelompokkan masyarakat ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda. Kelas sosial akan mempengaruhi jenis produk, jenis jasa, dan merek yang dikonsumsi konsumen. Kelas sosial juga akan mempengaruhi
pemilihan tempat belanja,
tempat pendidikan, dan tempat berlibur. Konsumen juga sering memiliki persepsi mengenai kaitan antara satu jenis produk atau sebuah merek 7). Kompas, 2004. Bukan Sekedar Minuman Pelepas Dahaga. 20 Desember p.30. Jakarta.
135
dengan kelas sosial konsumen. Perbedaan kelas dengan indikator pendapatan, pendidikan,
tersebut
dapat dilihat
pekerjaan, dan tempat tinggal
(Ujang Sumarwan, 2004:218), masing-masing indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: (a) Tingkat Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa di tiga Kota (Bandung, Depok, dan Cirebon) tingkat pendidikan baik ibu maupun bapak jauh lebih baik, dibandingkan dengan di tiga daerah Kabupaten (Bekasi, Cirebon, dan Purwakarta). Hal ini diduga berkaitan erat dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
peranan pendidikan
dalam
keluarga sangatlah penting. Seperti yang dikemukakan oleh Nugroho J. Setiadi (2003:304) dan Ujang Sumarwan(2004:222) bahwa para pemasar sering menggunakan tiga indikator untuk menentukan kelas sosial konsumen yaitu pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Ketiga indikator tersebut lebih mudah diukur dibandingkan dengan indikator lain dalam menentukan status sosial seseorang. Untuk melihat strata pendidikan di wilayah penelitian, disajikan pada Tabel 4.13.
136
Tabel 4.13. Tingkat Pendidikan Kota Bandung
Kota Depok
Kota Cirebon
Kab. Bekasi
Kab. Cirebon
Kab. Purwakarta
Total
Pendidikan F
%
6 2
10.34 3.45
4 2
S1 = Bpk S1 = Ibu
23 11
39.66 18.97
Dipl = Bpk Dipl = Ibu
24 13
SLTA = Bpk SLTA= Ibu
S1/S2 = Bpk S1/S2 = Ibu
SMP/SD = Bp SMP/SD =Ibu Jum= Bpk = Ibu
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
13.79 6.90
1 0
14.29 0.00
3 1
6.82 2.27
0 0
0.00 0.00
2 0
10.53 0.00
16 5
7.80 2.44
10 4
34.48 13.79
7 3
100.00 42.86
14 8
31.82 18.18
6 4
12.50 8.33
5 5
26.32 26.32
65 35
31.71 17.07
41.38 22.41
10 4
34.48 13.79
0 2
0.00 28.57
5 12
11.36 27.27
9 3
18.75 6.25
7 7
36.84 36.84
55 41
26.83 20.00
3 25
5.17 43.10
3 15
10.34 51.72
0 1
0.00 14.29
3 3
6.82 6.82
13 15
27.08 31.25
5 0
26.32 0.00
27 59
13.17 28.78
2
3.45
2
6.90
0
0.00
19
43.18
20
41.67
0
0.00
43
20.98
7 58 58
12.07 100.00 100.00
4 29 29
13.79 100.00 100.00
0 8 6
0.00 114.29 85.71
20 44 44
45.45 100 100
26 48 48
54.17 100.00 100.00
7 19 19
36.84 100.00 100.00
64 206 204
31.22 100.5 99.51
(b) Status Pekerjaan Hasil penelitian memperlihatkan di Kota Bandung, Kota Depok, dan Kota Cirebon pada umumnya bapak maupun ibu memilih bekerja di luar rumah
baik
sebagai
PNS
mapun
sebagai
pegawai
swasta,
serta
berwiraswasta dengan tujuan untuk menambah pendapatan keluarga. Kabupaten
Bekasi separuhnya
responden mempunyai status
pekerjaan PNS baik bapak maupun ibu, sisanya memilih berwiraswasta dan menjadi buruh di pabrik, karena daerah Kabupaten Bekasi memiliki kawasan industri yang cukup besar. Demikian halnya di Kabupaten Cirebon, bapak lebih banyak memilih bekerja sebagai wiraswasta (petani) dan ibu sebagai tenaga kerja dalam keluarga. Namun di Kabupaten Purwakarta, bapak lebih
137
banyak memilih sebagai pegawai swasta dan ibu lebih memilih berwiraswasta atau sebagai ibu rumah tangga. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14. Status Pekerjaan Kota Bandung
Kota Depok
Kota Cirebon
Kab. Bekasi
Kab. Cirebon
Kab. Purwakarta
Total
Pilihan PNS= Bpk
F 20
% 34.48
F 6
% 20.69
F 2
% 28.57
F 22
% 50.00
F 10
% 20.83
F 1
% 5.26
F 61
% 29.76
PNS= Ibu
13
22.41
1
3.45
1
14.29
22
50.00
3
6.25
1
5.26
41
20.00
P.Sw= Bpk
10
17.24
10
34.48
2
28.57
8
18.18
13
27.08
10
52.63
53
25.85
P.Sw= Ibu
6
10.34
5
17.24
2
28.57
6
13.64
2
4.17
2
10.53
23
11.22
Wiras= Bpk
24
41.38
10
34.48
3
42.86
10
22.73
17
35.42
6
31.58
70
34.15
Wiras= Ibu
21
36.21
7
24.14
3
42.86
5
11.36
22
45.83
8
42.11
66
32.20
RT/Brh= Bpk
3
5.17
3
10.34
0
0.00
4
9.09
7
14.58
2
10.53
19
9.27
RT/Brh= Ibu
18
31.03
15
51.72
1
14.29
11
25.00
21
43.75
8
42.11
74
36.10
Lainnya=Bp
1
1.72
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
2.08
0
0.00
2
0.98
Lainnya=Ibu
0
0.00
1
3.45
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
0.49
Jum= Bpk
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100,00
48
100.00
19
100.00
205
100,00
Jum= Ibu
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100,00
48
100.00
19
100.00
205
100,00
Tabel 4.14 menunjukkan, status pekerjaan bagi keluarga sangatlah penting, untuk membiayai kebutuhan hidup. Yang menarik dari hasil penelitian tersebut peranan ibu rumah tangga hampir sama banyaknya dengan bapak kegiatan
di dalam berwiraswasta
yang berwiraswasta, di mana
wiraswasta bagi ibu rumah tangga
dilakukan di rumah (home
industry) terutama di wilayah perkotaan seperti Kota Bandung, Kota Depok, dan Kota Cirebon.
138
Untuk melihat gambaran secara total, data tersebut dapat ditampilkan pada Gambar 4.3.
Ibu
La in ny a
RT /B ur uh
as sw ira W
B apak
Ib u
ta
ta as
Pe g. Sw
PN S
36.10% 40.00% 34.15% 32.20% 35.00% 29.76% 25.85% 30.00% 25.00% 20.00% 20.00% 11.22% 15.00% 9.27% 10.00% 0.98% 0.49% 5.00% 0.00%
Gambar 4.3: Status Pekerjaan Gambar
4.3
memberikan
informasi
status
pekerjaan
akan
menentukan kelas sosial konsumen rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat Ujang Sumarwan (2004:220), mengemukakan bahwa pekerjaan yang dilakukan orang tua, baik ayah atau ibu akan menentukan kelas sosial. Di daerah pedesaan penghargaan terhadap guru masih sangat tinggi, maka status pekerjaan sebagai guru dianggap sebagai kelas sosial yang sangat baik atau kelas atas. Demikian halnya para pengusaha dan eksekutif perusahaan di kota-kota besar juga dianggap sebagai kelas atas. (c) Pendapatan Keluarga Hasil penelitian menunjukkan di Kota Bandung lebih dari separuh responden mempunyai pendapatan keluarga antara dua
sampai tiga juta
139
rupiah per bulan, sisanya di atas tiga juta dan hanya sebagian kecil yang berpendapatan di bawah dua juta rupiah. Kota Depok, sebagian besar responden berpendapatan antara satu sampai dua juta rupiah per bulan, sebagiannya lagi berpendapatan antara dua sampai tiga juta rupiah, dan berpendapatan di bawah satu juta rupiah, sisanya hanya sebagian kecil yang berpendapatan tinggi (di atas tiga sampai empat juta rupiah). Kota Cirebon lebih dari separuh yang berpendapatan di atas tiga sampai empat juta rupiah per bulannya, sisanya antara satu sampai tiga juta rupiah, sedangkan di Kabupaten Bekasi hampir sebagian besar responden berpendapatan di atas tiga sampai empat juta rupiah, sedangkan pendapatan satu sampai dua juta rupiah dan di atas dua juta sampai tiga juta rupiah berimbang, dan hanya sebagian kecil yang berpendapatan rendah. Di Kabupaten Cirebon lebih dari separuh atau 81,25 % berpendapatan di bawah satu juta rupiah, dan hanya sebagian kecil yang berpendapatan antara satu sampai dua juta rupiah per bulan, sedangkan di Kabupaten Purwakarta, sebagian besar responden berpendapatan antara satu sampai tiga juta rupiah, sisanya di bawah satu juta rupiah. Besar kecilnya pendapatan responden berkaitan erat dengan status pekerjaan seperti yang telah dipaparkan pada tabel sebelumnya. Untuk melihat besarnya tingkat pendapatan masing-masing responden di wilayah penelitian, dapat disajikan pada Tabel 4.15.
140
Tabel 4.15. Pendapatan Keluarga Per Bulan Kota Bandung Pendapatan (Rp)
F
Kota Depok
%
F
Kota Cirebon
%
F
%
Kab. Bekasi F
Kab. Cirebon
%
F
%
Kab. Purwakarta F
Total
%
F
%
< 1 Jt
0
0.00
5
17.24
0
0.00
2
4.55
39
81.25
5
26.32
51
24.88
1 Jt- 2 Jt
6
10.34
14
48.28
1
14.29
9
20.45
9
18.75
8
42.11
47
22.93
>2 Jt-3 Jt
30
51.72
8
27.59
2
28.57
9
20.45
0
0.00
6
31.58
55
26.83
>3 Jt-4 Jt
11
18.97
2
6.90
4
57.14
14
31.82
0
0.00
0
0.00
31
15.12
>4 Jt]
11
18.97
0
0.00
0
0.00
10
22.73
0
0.00
0
0.00
21
10.24
Jumlah
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Indikator pendapatan sangatlah penting bagi pemasaran teh, karena pendapatan adalah sumber daya finansial bagi konsumen, karena dengan pendapatan itulah konsumen dapat membiayai kebutuhan konsumsinya. Jumlah pendapatan
akan menggambarkan
besarnya daya beli
konsumen. Karena alasan inilah maka para pemasar perlu mengetahui pendapatan konsumen
yang menjadi target pasarnya. Semakin
tinggi
pendapatan seseorang semakin besar peluangnya ia masuk ke dalam kategori kelas sosial (Ujang Sumarwan, 2004:224). Uraian pendapatan secara total disajikan pada Gambar 4.4.
30.00%
24.88%
22.93%
26.83% 15.12%
20.00%
10.24% 10.00% 0.00%
>Rp.1 - 2 jt
>Rp.2 - 3 jt
>Rp.3 - 4 jt
Gambar 4.4: Grafik Pendapatan Keluarga Per Bulan
>Rp.4 jt
141
Untuk melihat hubungan antara pendapatan responden rumah tangga dengan banyaknya jumlah konsumsi teh dalam sebulan dapat disajikan pada Gambar 4.5. 160
Konsumsi Teh (gr)
140 Kota Bandung
120
Kota Depok
100
Kota Cirebon
80
Kab.Bekasi
60
Kab.Cirebon
40
Kab.Purwakarta
20 0 < 1jt
1 - 2 jt > 2 - 3 jt > 3 - 4 jt
> 4 jt
Pendapatan
Gambar 4.5: Grafik Pendapatan dan Konsumsi Teh Rata-rata Sebulan Gambar 4.5 menunjukkan, di Kota Bandung yang berpendapatan rendah dan sedang jutru lebih tinggi rata-rata konsumsi tehnya dibandingkan dengan
yang berpendapatan tinggi. Kota Depok, yang berpendapatan
rendah dan tinggi rata-rata konsumsinya juga tinggi, tetapi responden yang berpendapatan sedang lebih rendah konsumsinya. Namun, di Kota Cirebon yang berpendapatan sedang dan tinggi jumlah rata-rata konsumsi teh relatif sama. Kabupaten Bekasi responden yang berpendapatan sedang jauh lebih banyak
mengkonsumsi
teh
dibandingkan
dengan
responden
yang
142
berpendapatan tinggi dan rendah. Di Kabupaten Cirebon, responden yang berpendapatan rendah jauh lebih besar konsumsi tehnya dibandingkan dengan yang berpendapatan sedang dan tinggi. Demikian halnya di Kabupaten Purwakarta, responden yang berpendapatan sedang jauh lebih tinggi
konsumsi
tehnya
dibandingkan
dengan
responden
yang
berpendapatan rendah dan tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan besar kecilnya tingkat rata-rata konsumsi teh pada strata pendapatan tetentu tidak diikuti oleh naiknya tingkat konsumsinya. Namun, pada pengeluaran untuk non teh menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan responden rumah tangga, maka pengeluaran untuk non teh pun semakin tinggi pula. Misalnya, susu, sirup, dan minuman ringan lainnya. Untuk lebih jelasnya pengeluaran teh dan non teh dapat disajikan pada pada Tabel 4.16. Tabel 4.16. Pengeluaran Teh dan Non Teh (Per Bulan) No
Jumlah Pengeluaran
Pengeluaran Untuk: Teh Non Teh Frekuensi % Frekuensi % 104 50,73 3 1,46
1
< Rp.10.000
2
> Rp.10.000-Rp.15.000
92
44,88
5
2,44
3
> Rp.15.000-Rp.30.000
9
4,39
8
3,90
4
> Rp.30.000-Rp.35.000
0
0
7
3,41
5
> Rp.35.000-Rp.40.000
0
0
71
34,63
6
> Rp.40.000.-
0
0
111
54,15
Jumlah
205 100,00
205 100,00
143
Kondisi
ini,
secara teoritis memberikan kebenaran apa yang
disimpulkan dalam teori Engel bahwa, jika pendapatan seseorang meningkat maka persentase pengeluaran
antara lain
untuk
kesehatan semakin
meningkat. Hasil penelitian ini, terdapat kecenderungan responden rumah tangga yang berpendapatan tinggi, akan beralih ke minuman lain seperti susu, yang dianggap sebagai minuman kesehatan dan bergengsi. Penelitian ini, memperkuat hasil temuan Suryatmo (2003:18), yang menyimpulkan bahwa konsumen yang berpendapatan tinggi mengutamakan pengeluaran untuk non teh dan cenderung tinggi terutama pengeluaran untuk susu yang dianggap sebagai minuman kesehatan. (d) Lokasi Tempat Tinggal Hasil penelitian mengungkapkan bahwa responden yang bertempat tinggal di kompleks perumahan biasa dengan type antara 36 sampai dengan type 70 44,29 persen, kompleks perumahan mewah 24,88 persen, kampung 18,05 persen, gang 5,37 persen, sedangkan responden yang tinggal di jalan utama hanya
7,32 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan
tempat tinggal akan memberikan gambaran tentang
kelas sosial pada
umumnya. Lokasi tempat tinggal responden disajikan pada Gambar 4.6.
144
44.39%
50.00% 40.00% 24.88%
30.00% 20.00% 10.00%
18.05% 7.32%
5.37%
0.00% JlnUtama
Per.Mewah
Per.Biasa
Kampung
Gang
Gambar 4.6: Garfik Lokasi Tempat Tinggal Gambar 4.6 menunjukkan, lokasi tempat tinggal responden rumah tangga dapat dijadikan simbol kelas sosial, misalnya lokasi perumahan di Kota Bandung yang tergolong kelas sosial tinggi atau menengah yaitu, perumahan
Arcamanik,
perumahan
Taman Sari Sindanglaya,
dan
perumahan Setra Duta. Menurut
Nugroho J. Setiadi (2003:306), mengemukakan bahwa
kepemilikan tempat tinggal adalah simbol keanggotaan kelas, dengan melihat kelas sosial berdasarkan tempat tinggal, ini mengesankan bahwa organisasi pemasaran dengan target pasar di dalam kelas atas, menengah maupun kelas bawah, perlu lebih banyak dipelajari untuk mengembangkan strategi pemasaran berdasarkan perbedaan kelas sosial. Fenomena yang terjadi saat ini hampir di semua kompleks perumahan telah tersedia sarana belanja lengkap seperti super market yang melayani kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di kompleks tersebut.
145
4.2.3 Karakteristik Individu Setiap individu memiliki karakteristik sendiri yang
mempengaruhi
pengambilan keputusan. Beberapa indikator karakteristik individu seperti umur dan jumlah anggota keluarga, gaya hidup, keinginan, dan sikap akan dijelaskan berdasarkan hasil temuan-temuan lapangan sebagai berikut. (a) Umur Umur anggota keluarga menjadi pertimbangan dalam mengkonsumsi teh, yang dapat dilihat pada Tabel 4.17. Tabel 4.17. Umur Bapak/Ibu dan Anak Umur (thn) 25
F 28
Bapak % 13.66%
> 25 - 35
45
> 35 - 45
38
18.54%
Umur (thn) <5
F 45
Anak % 10.98%
21.95%
43
20.98% > 5 - 10
67
16.34%
74
36.10%
70
34.15% > 10 - 15
145
35.37%
> 45 - 55
47
22.93%
45
21.95% > 15 - 20
99
24.15%
> 55
11
5.37%
9
4.39% > 20 - 25
54
13.17%
Total
Ibu
205 100.00% 205 100.00%
Total
410 100.00%
Tabel 4.17 menunjukkan, sebagian besar atau 34,15 persen ibu berumur di atas 35 sampai dengan 45 tahun,
umur di atas 45 sampai
dengan 55 tahun 21,95 persen, umur di atas 25 sampai dengan 35 tahun 20,98 persen, umur di bawah 25 tahun 18,54 persen, dan di atas 55 tahun hanya 4,39 persen.
146
Umur Bapak sebagian besar berumur di atas 35 sampai dengan 45 tahun 36,10 persen, umur di atas 45 sampai dengan 55 tahun 22,93 persen, umur di atas 25 sampai dengan 35 tahun 21,95 persen, umur di bawah 25 tahun 13,66 persen, dan di atas 55 tahun hanya 5,37 persen. Umur anak rata-rata di atas 10-15 tahun 35,37 persen , di atas 15 – 20 tahun 24,15 persen, di atas 5-10 tahun 16,34 persen, umur balita 10,98 persen, dan hanya sebagian kecil berumur antara 20 – 25 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan umur dalam mengkonsumsi teh tidak terlalu berpengaruh, karena teh dapat dikonsumsi segala umur. (b) Jumlah Anggota Keluarga Yang dimaksud dengan keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga inti (nucleus family) yaitu ayah, ibu, dan anak yang hidup bersama serta keluarga besar (extended familiy) yaitu keluarga inti ditambah dengan orang-orang yang mempunyai ikatan
saudara dengan keluarga tersebut,
seperti kakek, nenek, paman, bibi dan menantu. Jumlah anggota rumah tangga di berbagai daerah penelitian dapat disajikan pada Tabel 4.18. Tabel 4.18 memperlihatkan di tiga kota ( Kota Bandung, Kota Depok, dan Kota Cirebon) jumlah anggota keluarga pada umumnya lebih sedikit yaitu rata-rata lima orang, sedangkan di tiga
kabupaten (Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Purwakarta) jumlah anggota keluarga lebih banyak yaitu di atas lima orang dalam satu keluarga. Apakah jumlah
147
atau besarnya anggota keluarga akan
memberikan pengaruh terhadap
banyaknya jumlah konsumsi teh. Tabel 4.18. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Anggota Keluarga > 5 orang
Kota Bandung F % 6 10.34
Kota Depok F % 5 17.24
Kota Cirebon F % 2 28.57
Kab. Bekasi F % 18 40.91
Kab. Cirebon F % 6 12.50
5 orang
10
17.24
8
4 orang
28
48.28
3 orang
9
2 orang Total
Kab. Purwakarta F % 4 21.05
27.59
2
28.57
18
40.91
18
37.50
9
11
37.93
3
42.86
7
15.91
14
29.17
15.52
5
17.24
0
0.00
1
2.27
7
5
8.62
0
0.00
0
0.00
0
0.00
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
F 41
Total % 20.00
47.37
65
31.71
6
31.58
69
33.66
14.58
0
0.00
22
10.73
3
6.25
0
0.00
8
3.90
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Berdasarkan informasi pada Tabel 4.18, memberikan gambaran hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan jumlah konsumsi rumah tangga, seperti disajikan pada Gambar 4.7.
Konsumsi Teh (gr)
250 200 150 100 50
Kota Bandung Kota Depok Kota Cirebon
0 2
3
4
5
6
7
Jumlah Anggota Keluarga
8
Kab.Bekasi Kab.Cirebon Kab.Purwakarta
Gambar 4.7: Grafik Jumlah Anggota Keluarga dan Konsumsi Teh (gram)
148
Gambar 4.7 menunjukkan, di Kota Bandung dan Kota Cirebon, tampak semakin besar jumlah anggota keluarga maka rata-rata konsumsi teh relatif meningkat, tetapi pada titik tertentu dengan jumlah anggota keluarga enam orang konsumsi menurun. Ujang Sumarwan (2004:232), mengemukakan bahwa jumlah anggota keluarga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang atau jasa. Namun, teori ini tidak berlaku bagi responden di Kota Depok, karena semakin
besar jumlah anggota keluarga, maka semakin menurun jumlah
konsumsinya. Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cirebon memiliki karakteristik relatif sama, karena ada kecenderungan semakin besar jumlah anggota keluarga, maka jumlah konsumsinya juga meningkat. Akan tetapi, di Kabupaten Purwakarta, dengan jumlah
anggota keluarga
empat atau lima orang
konsumsi tehnya tinggi, tetapi pada posisi jumlah anggota lebih lima orang konsumsinya menurun. Berdasarkan
uraian
tersebut,
dapat
disimpulkan
bahwa
tidak
berlakunya teori konsumsi berdasarkan jumlah keluarga pada daerah penelitian lain, salah satu penyebabnya karena anggota keluarga responden terdapat anggota keluarga yang masih balita atau dalam keluarga terdapat manula (manusia lanjut usia) yang lebih menyukai minum susu khusus kalsium atau umumnya bapak lebih memilih minum kopi terutama di pagi hari.
149
4.2.4 Faktor Psikologis Keputusan pembelian komoditas teh oleh konsumen rumah tangga sangat dipengaruhi oleh
faktor psikologis. Beberapa indikator yang telah
diukur berdasarkan persepsi, motivasi, dan sikap serta keyakinan konsumen rumah tangga terhadap konsumsi teh dapat dijelaskan sebagai berikut. (a) Persepsi Tentang Manfaat Teh Persepsi berkaitan dengan pemahaman atau pengetahuan konsumen rumah tangga terhadap manfaat dari minuman teh, yang dirasakan selama ini. Beragam persepsi responden di enam wilayah penelitian disajikan pada Tabel 4.19. Tabel 4.19. Persepsi Responden tentang Manfaat yang Dirasakan dengan Minum Teh Manfaat P.Dahaga
Kota Bandung F % 5 8.62
Kota Depok F % 4 13.79
Kesehatan
21
36.21
18
Kecantikan
6
10.34
Praktis
8
M.diperoleh Jumlah
Kota Cirebon F
Kab. Bekasi F % 11 25.00
Kab. Cirebon F % 11 22.92
Kab. Purwakarta F % 8 42.11
F 40
Total % 19.51
1
% 14.29
62.07
5
71.43
14
31.82
15
31.25
5
26.32
78
38.05
4
13.79
1
14.29
4
9.09
2
4.17
2
10.53
19
9.27
13.79
3
10.34
0
0.00
13
29.55
13
27.08
4
21.05
41
20.00
18
31.03
0
0.00
0
0.00
2
4.55
7
14.58
0
0.00
27
13.17
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Tabel 4.19 menunjukkan, sebagian besar responden beranggapan dengan minuman teh akan memperoleh manfaat kesehatan 38,05 persen, sebagian lagi beranggapan minuman teh hanya sebagai pelepas dahaga dan praktis dalam penyajian masing-masing 19,51 persen dan 20,00 persen.
150
Responden yang menyatakan minuman teh untuk kecantikan 9,27 persen dan mudah diperoleh 13,17 persen. Kondisi ini menunjukkan telah terjadi pergeseran persepsi konsumen rumah tangga terhadap minuman teh dalam kurun waktu dua tahun sejak hasil penelitian Suryatmo (2003:20), menyimpulkan bahwa persepsi konsumen rumah tangga (Kota Bandung dan Kota Cirebon) terhadap manfaat kesehatan hanya 3,6 persen dan 11,10 persen. Persepsi konsumen rumah tangga terhadap menyegarkan 25 persen dan konsumen rumah tangga
pelepas dahaga dan
33 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
telah memiliki pengetahuan yang cukup luas
tentang manfaat kesehatan dan tidak hanya sekedar minuman praktis serta minuman yang menyegarkan. Joko Sulistyo (2004:1), menjelaskan bahwa hampir semua jenis teh berperan
besar
terhadap
kesehatan
dan
kecantikan
bagi
yang
mengkonsumsi. Daun teh segar mengandung senyawa-senyawa bermanfaat seperti, Polifenol, Theofilin, flavonoi/Metiksantin, Tannin, Vitamin C, dan E, Katekin dan sejumlah mineral seperti Zn, Se,Mo,Ge,Mg, yang sangat berguna sebagai zat anti mutagenik dan anti kanker, mengobati saluran pencernaan, membantu oksidasi lemak,
menetralkan lemak dalam makanan, mencegah
menurunkan kolesterol darah, menyegarkan pernapasan,
jantung koroner, stroke, osteoporosis, dan gigi berlubang.
151
Selanjutnya,
Ali Khomsan8), menjelaskan bahwa orang tua zaman
dahulu sering menganjurkan agar kita tiap pagi selalu mencuci muka dengan air teh yang telah direndam semalam. Peresapan air teh melalui pori-pori wajah diyakini
akan membuat kulit muka selalu kelihatan kencang dan
bersinar sehingga memberi kesan awet muda. Demikian pula penjelasan The Stash Tea Company dikutip Achadiyani Wiyono (2004:1), bahwa teh dapat digunakan untuk spa, facial beauty, hair treatment, menghitamkan dan mengkilapkan rambut. Minuman pilihan anggota keluarga pada saat sakit dapat disajikan pada Tabel 4.20. Tabel 4.20. Minuman Pilihan Anggota Keluarga pada Saat Sakit Pilihan Air Putih
Kota Bandung F % 21 36.21
Kota Depok F % 13 44.83
Kota Cirebon F % 3 42.86
Kab. Bekasi F % 9 20.45
Kab. Cirebon F % 6 12.50
Kab. Purwakarta F % 5 26.32
Air Teh
28
48.28
14
48.28
3
42.86
19
43.18
27
56.25
14
Susu
5
8.62
2
6.90
1
14.29
8
18.18
4
8.33
Sirup
1
1.72
0
0.00
0
0.00
8
18.18
8
Juice
3
5.17
0
0.00
0
0.00
0
0.00
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
Jumlah
F 57
Total % 27.80
73.68
105
51.22
0
0.00
20
9.76
16.67
0
0.00
17
8.29
3
6.25
0
0.00
6
2.93
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Tabel 4.20 menunjukkan, di tiga kota (Kota Bandung, Kota Depok, Kota Cirebon) pada umumnya responden menyatakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, lebih banyak menyukai minum teh dan air putih daripada menuman lain. 8). Media Indonesia, 2004. Tinggi Kandungan Antioksidan; Teh Bisa Cegah Penyakit Degeneratif. 18 Agustus, p.20, Jakarta
152
Tiga kabupaten (Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Purwakarta) lebih dari separuhnya memilih minuman teh pada saat sakit. Hal ini mengindikasikan bahwa
kesukaan anggota keluarga pada saat sakit,
sebagai bukti bahwa minuman teh mempunyai manfaat bagi kesehatan. Ini berarti mencerminkan dalam kondisi tertentu ternyata minuman teh merupakan suatu pilihan terbaik, hanya saja sebagian besar konsumen belum mengetahui secara luas tentang manfaat yang besar dengan adanya minum teh, terutama teh hijau. Itaro
Oguni
dan
Okuda
dikutip
menjelaskan dalam hasil penelitian
Achadiyani
Wiyono
(2004:1)
menyebutkan bahwa teh adalah obat
ajaib yang mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk memperpanjang umur dan dapat menekan proses ketuaan. Lebih lanjut, Ali Khomsan9), menjelaskan sebuah studi di Norwegia menunjukkan bahwa mereka yang rajin minum teh minimal secangkir sehari akan dapat menekan angka kematian. Penelitian lainnya dengan subjek manusia usia lanjut (manula) di Belanda menghasilkan temuan bahwa risiko kematian
akibat penyakit
jantung menurun seiring dengan kebiasaan minum teh. Hal ini juga telah dibuktikan pada masyarakat China yang memiliki usia lebih dari 100 tahun. Kesukaan minum teh anggota keluarga pada saat sakit berkaitan dengan
9
) Media Indonesia, 2004. Tinggi Kandungan Antioksidan; Teh Bisa Cegah Penyakit Degeneratif. 18 Agustus, p.20, Jakarta
153
jenis penyakit yang sedang diderita, seperti disajikan pada Gambar 4.8.
46.34%
5.37%
1.95%
Kolesterol
Diabetes
12.68%
Diare
Mual
16.59%
Stamina
Flu,
17.07%
Batuk,Demam
50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
Jenis Penyakit
Gambar 4.8. Pengobatan Jenis Penyakit dengan Minum Teh
Gambar 4.8 menunjukkan, 46,34 persen responden menjawab jika anggota keluarga sakit diare sebagai pencegahan awal diberikan minuman teh yang sepet dan agak kental, 17,07 persen untuk mengatasi penyakit flu, batuk dan demam, serta 16,59 persen untuk mengatasi rasa mual. Responden yang menjawab minum teh untuk stamina atau menambah tenaga agar tidak lemas, mengatasi kolesterol dan diabetes relatif kecil persentasenya. Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi atau pengetahuan masayarakat tentang manfaat minuman teh telah mengalami kemajuan, walaupun hanya terbatas pada kebiasaan yang diturunkan secara turun temurun dari orang tua. Menurut Joko Sulisatyo (2004:2), daun teh juga mengandung senyawa Superantioksidan atau
yang disebut
EGCG
(Epigallocatechin-Gallate)
154
maupun senyawa yang menyehatkan lainnya, termasuk florida, katekin, dan tanin. Daun teh mengandung tiga komponen penting yang mempengaruhi mutu minuman yaitu kafein yang memberikan efek stimulan, tanin yang memberikan kekuatan rasa (getir), dan polifenol
yang berkhasiat
untuk
kesehatan. Untuk memperoleh khasiat antioksidan dari teh, dianjurkan agar kita menyeduh teh dalam air hangat selama tiga menit. Tanin dalam teh yang menimbulkan rasa agak sepat diketahui dapat
menghambat penyerapan
mineral besi. Itulah sebabnya wanita hamil dianjurkan untuk tidak terlalu sering minum teh untuk menghindari risiko anemia (kurang darah). Ali Khomsan secara ekstrem mensarankan jangan minum teh sehabis makan karena menu lengkap kaya vitamin, mineral dan protein tidak akan terserap oleh kehadiran teh. Kalau teh tidak terlalu kental dampak negatif terhadap gangguan penyerapan gizi tidak terlalu besar, pola minum teh semacam ini merupakan tradisi masyarakat Sunda. Masyarakat China, Himalaya, Tibet dan Jepang memiliki kebiasaan atau tradisi minum teh setiap hari, karena mempunyai manfaat kesehatan dan aman untuk dikonsumsi. Jika dicermati sepanjang tahun belum pernah ada laporan orang keracunan teh. Kelebihan dari teh adalah kandungan antioksidan berupa zat katekin cukup tinggi, terutama pada teh hijau.
Polifenol adalah antioksidan yang
155
kekuatannya 100 kali lebih efektif dibandingkan Vitamin C dan 25 kali lebih tinggi dibandingkan Vitamin E. Polifenol juga bermanfaat untuk mencegah radikal bebas yang merusak DNA dan menghentikan berkembangbiakan sel-sel liar (kanker). Oleh karena teh mengandung zat untuk menurunkan kolestrol dan mengurangi lemak dalam darah, maka dianjurkan
teh jangan dicampur
dengan gula. (b) Motivasi Minum Teh Motivasi
yang dimiliki
setiap konsumen rumah tangga
sangat
berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil. Motivasi responden dalam mengkonsumsi teh dapat disajikan pada Tabel 4.21. Tabel 4.21.Motivasi Responden Rumah Tangga dalam Mengkonsumsi Teh Kota Bandung F persen
Kota Depok F %
Kota Cirebon F %
Kab. Bekasi F %
Kab. Cirebon F %
Kab. Purwakarta F %
F
Total %
Pilihan Keb. Utama Keamanan Kebersamaan/Gaya hidup Penghargaan
Aktualisasi Jumlah
26
44.83
7
24.14
4
57.14
19
43.18
20
41.67
6
31.58
82
40.00
28
48.28
16
55.17
3
42.86
22
50.00
22
45.83
8
42.11
99
48.29
4
6.90
6
20.69
0
0.00
3
6.82
6
12.50
5
26.32
24
11.71
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
58
100.00
29
100.00
7
100.00
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.00
156
Tabel 4.21 menunjukkan, sebagian besar responden di enam wilayah penelitian menyatakan bahwa minuman teh merupakan kebutuhan utama dalam keluarga dan minum teh lebih aman untuk kesehatan, dibandingkan dengan minuman lainnya. Namun, responden yang menyatakan minum teh merupakan kebersamaan atau bagian dari gaya hidup persentasenya kecil. Motivasi penghargaan/harga diri dan pengakuan atau aktualisasi diri tidak satupun responden menjawab. Hal ini mengindikasikan bahwa motivasi konsumen rumah tangga dalam mengkonsumsi teh sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Nugroho J. Setiadi (2003:95) bahwa perilaku yang termotivasi diprakarsai oleh pengaktifan kebutuhan kebutuhan. Dengan adanya motivasi tersebut
atau pengenalan
pada diri seseorang akan
menunjukkan suatu perilaku yang diarahkan pada suatu tujuan untuk mencapai sasaran kepuasan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa motivasi konsumen minum teh sebagai kebutuhan utama keluarga, berkaitan erat dengan persepsi konsumen bahwa dengan minum teh akan memberikan kenikmatan. Sejalan
dengan
pendapat
mengemukakan bahwa kenikmatan seperti
Achadiyani
Wiyono
(2004:4),
yang dirasakan dengan minum teh,
menghilangkan rasa lelah dan lesu fisik, dapat memberikan
ketenangan dalam berfikir, menghilangkan keraguan, menghilangkan demam panggung,
menimbulkan
kelegaan
sesudah
bertanding,
memperoleh
157
perasaan antusias, kenaikan intelegensi dan kemampuan berfikir maju serta cepat mengambil keputusan. Hasil penelitian
Nana Subarna dkk., (2002:6), yang menyimpulkan
bahwa kedudukan minuman teh ditinjau dari motivasi
mengkonsumsi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan minuman non teh. Kedudukan minuman teh dalam keluarga masih merupakan minuman biasa bahkan dianggap merupakan minuman kelas sosial tingkat rendah. Padahal gaya hidup yang dimiliki oleh responden dan anggota keluarga sangat
penting
untuk
mempengaruhi
perilaku
konsumen
dalam
Negara-negara pengimpor yang tergolong negara maju
yang
mengkonsumsi teh.
menjadikan minuman teh sebagai gaya hidup (life style), sebagaimana dilihat dari konsumsi teh per kapitanya, seperti Inggris, negara-negara Arab, dan Australia
telah mencapai di atas 600 gram per kapita per tahun (ITC,
2004:121). Lamb et al., (2001:223), menjelaskan gaya hidup merupakan cara hidup konsumen yang diidentifikasi melalui aktivitas seseorang, minat dan pendapat. Demikian halnya menurut Ujang Sumarwan (2004:56), gaya hidup berbeda dengan kepribadian. Kepribadian lebih menggambarkan karaktersitik terdalam yang ada pada manusia. (cara berfkir, merasa dan berpersepsi), perbedaan dalam kepribadian konsumen akan mempengaruhi perilakunya dalam memilih atau membeli produk teh.
158
Gaya hidup seringkali digambarkan dengan kegiatan, minat, dan opini dari seseorang. Gaya hidup seseorang biasanya tidak permanen dan cepat berubah. Seseorang mungkin
dengan cepat mengganti merek teh yang
dikonsumsi atau minuman lain setelah terpengaruh oleh salah satu iklan. Untuk memperoleh kenikmatan dalam mengkonsumsi teh, konsumen rumah tangga mencampurkan dengan berbagai campuran misalnya gula, madu, jeruk dan lain sebagainya, seperti tampak pada Tabel 4.22. Tabel 4.22. Kebiasaan Responden pada Saat Minum Teh
Pilihan Tawar
Kota Bandung F % 23 39.66
Kota Depok F % 8 27.59
Kota Cirebon F % 1 14.29
Kab. Bekasi F % 21 47.73
Kab. Cirebon F % 18 37.50
Gula
17
29.31
12
41.38
3
42.86
13
29.55
28
58.33
9
Susu
2
3.45
2
6.90
2
28.57
4
9.09
2
4.17
Jeruk
1
1.72
1
3.45
1
14.29
3
6.82
0
0.00
13
22.41
5
17.24
0
0.00
0
0.00
0
2
3.45
1
3.45
0
0.00
3
6.82
0
0
0.00
0
0.00
0
0.00
2
4.55
0
58
100
29
100
7
100
44
100
48
Es Madu Telur Jumlah
Kab. Purwakarta F % 5 26.32
F 76
Total % 37.07
47.37
82
40.00
2
10.53
14
6.83
3
15.79
9
4.39
0.00
0
0.00
18
8.78
0.00
0
0.00
6
2.93
0.00
0
0.00
2
0.98
100
19
100
205
100
Tabel 4.22 menunjukkan, karakteristik responden masing-masing di wilayah penelitian memiliki selera yang beragam, misalnya di Kota Bandung sebagian besar responden lebih suka minum teh tawar, sebagiannya lagi lebih
senang
dicampur
dengan
gula,
dan
hanya
sebagian
kecil
mencampurnya dengan jeruk, es atau madu. Selain itu, di Kota Depok dan Kota Cirebon sebagian besar responden lebih menyukai minum teh dicampur dengan gula, sebagiannya lagi lebih
159
memilih tawar atau mencampurnya dengan yang lainnya. Di daerah Kabupaten Bekasi lebih menyukai teh tawar, sebagiannya lagi lebih memilih mencampur dengan gula atau lainnya. Namun, di dua Kabupaten (Cirebon, Purwakarta) hampir separuh responden menyukai mencampur dengan gula dibandingkan dengan
teh tawar, dan hanya sebagian kecil yang
mencampurnya dengan lainnya. Kebiasaan mengkonsumsi teh tersebut erat kaitannya dengan suku. Suku Sunda lebih menyukai teh tawar, sedangkan Suku Jawa atau lainnya lebih menyukai mencampur dengan
gula, sementara yang
menyukai
mencampurnya dengan madu atau telur ditemukan pada responden yang berasal dari Sumatera.
60.00%
51.22%
50.00% 40.00%
31.71%
30.00% 20.00%
11.22% 5.85%
10.00% 0.00% Air putih
Air teh
Minuman segar
Lainnya
Gambar 4.9: Grafik Minuman Pilihan Keluarga Responden pada Saat di Luar Rumah
160
Kebiasaan yang dilakukan responden dengan mencampurkan teh dengan madu, merupakan salah satu informasi dalam brosur teh merek Walini, yang menjelaskan bahwa teh digolongkan pada posisi ke dua setelah madu sebagai makanan bergizi terbaik untuk memelihara kesehatan. Upaya untuk memperkenalkan beberapa variasi dalam penyajian teh, pada saat berlangsungnya Festival Teh di Bandung tanggal 5 Desember 2004. dan 4 Desember 2005 yang secara rutin dilaksanakan oleh pemerintah sebagai agenda nasional, terlihat bahwa beberapa perusahaan menawarkan sajian teh yang dicampaur
susu atau madu. Upaya ini dilakukan untuk
meningkatkan apresiasi teh dan meningkatkan gengsi. Selain itu, apabila konsumen rumah tangga sedang berpergian atau sedang makan di rumah makan, tampak pilihannya tetap pada minuman teh, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4.9, bahwa sebagian besar responden lebih menyukai minum teh dan air putih jika mereka berada di luar rumah misalnya pada saat makan di restoran atau rumah makan dan sebagian kecil responden memilih minuman segar (juice, sirup), serta minuman lainnya (soft drink). Kondisi ini mencerminkan bahwa
minuman teh sebenarnya telah
menjadi suatu alternatif utama, karena minuman teh instant (kemasan botol) telah mempunyai diversifikasi rasa. Di samping itu, kebiasaan disetiap rumah makan di Jawa Barat menyediakan secara gratis minuman teh sebagai
161
pengganti air putih, di mana kebiasaan ini belum diperoleh pada rumah makan di luar Jawa Barat. Pilihan utama konsumen rumah tangga tersebut, tidak terlepas dari kontribusi salah satu produsen teh yang begitu gencar melakukan promosi, seperti bunyi salah satu
iklan yang berbunyi “apa pun makanannya
minumnya teh botol Sosro”, atau salah satu iklan Sariwangi yang berbunyi “ kebersamaan belum lengkap tanpa minum teh”. Demikian halnya, menurut responden bahwa jika mereka menerima tamu di rumah sajian utama untuk tamu, seperti disajikan pada pada Tabel 4.23. Tabel 4.23. Sajian Untuk Tamu Kota
Kota
Kota
Kab.
Kab.
Kab.
Bandung
Depok
Cirebon
Bekasi
Cirebon
Purwakarta
Pilihan
F
%
F
%
F
%
F
%
F
Air Putih
20
34.48
9
31.03
1
14.29
13
29.55
4
Air Teh
27
46.55
11
37.93
5
71.43
16
36.36
Sirup
8
13.79
6
20.69
1
14.29
1
Kopi
3
5.17
3
10.34
0
0.00
58
100.00
29
100.00
7
100.00
Jumlah
%
Total
F
%
F
%
8.33
8
42.11
55
26.83
30
62.50
6
31.58
95
46.34
2.27
1
2.08
1
5.26
18
8.78
14
31.82
13
27.08
4
21.05
37
18.05
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.00
Tabel 4.23 menunjukkan, sebagian besar responden menyatakan jika menerima tamu suguhannya adalah air teh 46,34 persen, air putih 26,83 persen, kopi 18,05 persen, sedangkan sebagian kecil menyuguhkan sirup 8,78 persen. Namun,
ada suatu kebiasaan yang bersifat temporer
khususnya yang terjadi di wilayah perkotaan yaitu pada hari-hari
besar
162
terutama
lebaran atau
hari natal,
responden lebih
sering menyajikan
minuman ringan (soft drink) kepada tamu daripada minuman teh. Keadaan ini berbeda dengan tradisi di negara lain
seperti Inggris
maupun negara Arab, pada acara-acara nasional ataupun internasional lebih banyak menyajikan teh, bahkan dijadikan suatu tradisi saling mengundang hanya untuk minum teh. Keberadaan minuman teh dalam pergaulan masih dianggap minuman biasa, walaupun di kota-kota besar telah ada cafe khusus teh, namun masih dianggap sebagai suatu tempat yang kurang menarik, seperti yang dikemukakan oleh Spillane (1992:25), bahwa setiap ada pertemuan dan acara pesta di banyak negara, teh merupakan minuman tanda persahabatan internasional dan pengikat persahabatan. Jika hal semacam ini terjadi di Indonesia pada umumnya dan khususnya Jawa Barat, maka diharapkan tingkat konsumsi dalam negeri akan meningkat. Alasan lain, minum teh dapat dijadikan suatu daya tarik bagi turis domestik/mancanegara bahwa mereka datang ke Bandung bukan hanya karena alamnya (perkebunan teh) atau belanja saja (kota belanja), namun karena ingin menikmati minuman teh. Hal ini tidaklah berlebihan karena secara historis orang Belanda pernah mencetuskan bahwa “ teh adalah Jawa Barat, tanpa teh Jawa Barat tak banyak artinya ( tea is West Java, without tea West Java means nothing).
163
Secara luas minuman teh dapat diterima, namun fakta menunjukkan bahwa minuman teh belum mendapatkan tempat atau penghargaan di setiap rumah tangga. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Nana Subarna dan Dadang Surjadi (1999:1), bahwa citra (image) teh sebagai bahan minuman masyarakat sehari-hari masih dinilai rendah (inferior). Posisi teh sebagai produk bergengsi belum tampak di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Jawa Barat, padahal Jawa Barat merupakan produsen terbesar di Indonesia. Oleh karena masih dianggap minuman bermutu rendah, teh belum mendapat penghargaan yang cukup layak di tingkat produsen sampai di tingkat konsumen. Hal ini dapat dilihat dibeberapa restoran atau rumah makan teh disajikan sebagai minuman gratis. Beberapa negara di dunia, begitu mengahargai minuman teh, seperti orang Irak, teh dijadikan sebagai media untuk mengakrabkan diri dengan orang lain dan saling mengundang hanya untuk menikmati secangkir teh. Orang Inggris masih menempatkan teh sebagi minuman terhormat yang disajikan dalam poci perak dan disuguhkan langsung oleh tuan rumah untuk tamunya dengan menggunakan cangkir porselen China. Di China minuman teh dijadikan sebagai minuman tradisi, sedangkan di Jepang memiliki kebiasaan upacara minum teh yang berlangsung selama empat jam yang awalnya diperkenalkan oleh Sen Rikyu pada abad ke 16
164
dan masih berlangsung sampai dengan sekarang10). Keyakinan dan sikap konsumen tentang faktor keamanan menjadi sangat penting, sesuai pendapat Hidayat (2000:5), bahwa peraturan mengenai keamanan pangan
yaitu memberikan perlindungan kepada
masyarakat akan apa yang dimakan/minum, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, yaitu dengan cara mencegah dan keracunan
dan
penyakit
atau mengurangi kasus
melalui makanan/ minuman.
Oleh karena,
pentingnya keamanan makanan/minuman tersebut, maka produsen teh telah mencantumkan label pada kemasannya mengenai batas waktu penggunaan produk teh. Jaminan keamanan dengan mengkonsumsi teh, Kyushu
University
Jepang
dikutip
oleh
Joko
para peneliti dari Sulistyo
(2004:9),
mengumumkan sebuah penelitian tentang suatu unsur pada teh hijau yang dapat menghambat proses penting yang merespon alergi dan gejala-gejala yang ditimbulkan. Pada
pengujian
laboratorium,
terungkap
bahwa
EGCg
(Epigallocatechin-gallate = anti oksidan yang sangat kuat) dalam teh hijau menghambat produksi dua senyawa yang memicu dan melanjutkan terjadinya reaksi alergi, sehingga teh hijau tampaknya menjadi sumber penghasil senyawa anti alergi yang menjanjikan.
10
) Kompas, 2004. Minuman Teh Belum Dianggap Bergengsi. p.31, Jakarta.
165
Lebih lanjut, dikatakan
meskipun memiliki banyak manfaat
perlu
diingat bahwa teh juga mengandung kafein, jika dikonsumsi secara berlebih dapat menyebabkan beberapa gangguan, seperti insomania, kecemasan dan ketidakteraturan detak jantung. Namun, kandungan kafein dalam teh masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kopi atau minuman ringan bersoda. 4.3.
Kinerja Bauran Pemasaran Kinerja
bauran pemasaran yang dilaksanakan
dinilai berdasarkan persepsi konsumen
oleh produsen teh
akhir yang dalam hal ini adalah
konsumen rumah tangga di Provinsi Jawa Barat. Kinerja bauran pemasaran tersebut meliputi produk teh yang dipasarkan, tingkat harga penawarannya, saluran distribusi yang digunakan, dan promosi yang dilakukan. 4.3.1. Produk Teh Konsumen membeli suatu produk berdasarkan kinerja yang dimiliki produk tersebut. Kinerja produk akan memberikan kepuasan tersendiri bagi konsumen. Beberapa indikator produk teh telah diukur secara empirik seperti: kualitas, merek,
label, kemasan, warna air seduhan, aroma, dan
kekuatan rasa yang dapat diuraikan sebagai berikut. (a)
Atribut Produk Penilaian konsumen tentang atribut akan mempengaruhi pengambilan
keputusan. Pertimbangan responden terhadap atribut produk yang dianggap penting dapat disajikan pada Tabel 4.24.
166
Tabel 4.24. Pertimbangan Responden Terhadap Atribut Produk Teh
Kualitas
Kota Bandung F % 21 36.21
Merek
19
32.76
9
31.03
1
14,28
12
27.27
12
25.00
8
42.11
62
30.24
Kemasan
12
20.69
9
31.03
2
28,57
14
31.82
14
29.17
3
15.79
55
26.83
Label
4
6.90
0
0.00
0
0.00
0
0.00
3
6.25
1
5.26
8
3.90
Jaminan
2
3.45
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
2
0.98
Jumlah
58
100.00
29
100.00
7
100,00
44
100.00
48
100.00
19
100.00
205
100.98
Pilihan
Kota Depok F % 11 37.93
Kota Cirebon F % 4 57.14
Kab. Bekasi F % 18 40.91
Kab. Cirebon F % 19 39.58
Kab. Purwakarta F % 7 36.84
F 80
Total % 39.02
Tabel 4.24 menunjukkan, pada umumnya responden di enam wilayah penelitian mempunyai preferensi relatif sama yaitu mempertimbangkan kualitas teh, merek, dan pertimbangan kemasan Namun, sebagian kecil saja yang mempertimbangkan label produk serta jaminan mutu. Kualitas produk teh merupakan faktor pertimbangan yang sangat penting bagi konsumen rumah tangga pada saat
memutuskan untuk
melakukan pembelian salah satu merek teh. Menurut Gregorius Chandra (2002:111), bahwa dinamika lingkungan bisnis berdampak pada perubahan selera dan preferensi pelanggan. Perubahan ini pada gilirannya menuntut inovasi dan kreativitas setiap organisasi agar dapat menyempurnakan produk yang sudah ada dan mengembangkan
produk
baru
dalam
rangka
mempertahankan
kelangsungan hidup dan profitabilitas. Hermawan Kartajaya (2000:39), mengungkapkan bahwa produk harus diperbaiki terus menerus supaya konsumen tidak berpaling ke pesaing,