BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perjanjian bangun bagi merupakan perjanjian yang lahir dari kebiasaan masyarakat dalam bekerja sama dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Fenomena perjanjian bangun bagi ini berkembang dalam masyarakat sebagai akibat adanya kebiasaan dalam masyarakat melakukan kegiatan bagi hasil. Perjanjian bagi hasil ini timbul dari adanya keinginan dua pihak atau lebih saling bekerja sama untuk suatu kegiatan usaha yang kemudian hasil usahanya dibagi sesuai dengan kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Demikian pula dengan keinginan sebagian warga masyarakat untuk memiliki bangunan rumah atau bangunan toko juga ditempuh berbagai macam cara. Salah satu cara yang ditempuh dengan mengadakan perjanjian bangun bagi, dimana pihak yang memiliki tanah dengan mengikatkan diri dengan pemilik modal membangun perumahan atau pertokoan. Perjanjian antara pelaksana pembangunan (pihak pemilik modal) dengan pemilik tanah tersebut dikenal dengan perjanjian bagi hasil atau selanjutnya disebut “Perjanjian Bangun Bagi”. Dalam pelaksanaannya perjanjian bangun bagi ini juga merupakan perjanjian konsensuil (timbal balik) dan sebagai suatu perjanjian timbal balik, maka yang menjadi kewajiban pemilik tanah merupakan hak dari pemilik modal atau pelaksana pembangunan. Sebaliknya apa yang menjadi kewajiban pemilik modal atau pelaksana 1 Universitas Sumatera Utara
pembangunan merupakan hak bagi pemilik tanah. Perjanjian bangun bagi belum secara khusus ada pengaturannya. Oleh karena itu, perjanjian bagi hasil ini mengikuti ketentuan umum di dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUH Perdata) khususnya pada ketentuan Buku III KUH Perdata mengatur tentang Perikatan. Dalam membuat perjanjian termasuk dalam hal ini perjanjian bangun bagi terdapat suatu asas yang disebut asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan lainnya setiap perjanjian diikuti dengan itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 (3) bahwa persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik. Pada prinsipnya setiap perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak, yang memberikan kebebasan untuk mengadakan dan menentukan perjanjian asal dalam batas-batas tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum dan setiap perjanjian harus diikuti dengan itikad baik. Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana pihak yang seorang berjanji kepada pihak lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seorang berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak di mana hanya seorang yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra
Universitas Sumatera Utara
prestasi) atas sesuatu yang diterimanya.1 Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang dijanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan. Di dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lainnya menginginkan uang karena
tidak
mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama.2 Dengan demikian kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. Dalam suatu perjanjian terdapat para pihak dimana masing-masing pihak mempunyai kewajiban yang timbul dari perjanjian yang telah disepakati bersama. Hak dan kewajiban itu harus dilaksanakan secara sukarela. Apabila hak tersebut tidak dilaksanakan atau dengan kata lain tidak memenuhi apa yang dijanjikan maka ia dikatakan melakukan wanprestasi (ingkar janji). Wanprestasi merupakan suatu kelalaian yang dilakukan oleh salah satu pihak. Pihak yang dinyatakan 1
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1. 2 Ibid., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
wanprestasi tidak melaksanakan sesuatu sebagaimana yang telah dijanjikan semula. Termasuk juga dalam katagori wanprestasi, bila prestasi yang dilaksanakan terlambat dari yang dijanjikan. Terdapat dua kemungkinan alasan mengapa tidak dipenuhi dilaksanakan kewajiban itu oleh pihak yang berutang (debitur) yaitu : a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesalahan maupun kelalaian; b.
Karena keadaan memaksa (force majeure), jadi di luar kemampuan debitur tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan.3 Oleh karena itu, wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu
penting, maka harus ditentukan lebih dahulu apakah debitur benar telah melakukan wanprestasi. Untuk mengetahui hal ini, maka harus dilihat isi dari suatu perjanjian yang telah disepakati. Baru dapat diketahui debitur telah melakukan wanprestasi apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya.4 Selanjutnya dalam hal wanprestasi R. Subekti menyebutkan “apabila dalam tenggang waktu debitur tidak memenuhi kewajiban prestasinya, maka dapat dikatakan debitur wanprestasi”.5 Mengenai wanprestasi ini, Subekti membagi dalam 4 (empat) macam yaitu : 1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya; 3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat; atau 3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, hal. 20. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, 1995, hal. 44. 5 Subekti R, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 45. 4
Universitas Sumatera Utara
4. Melakukan sesuatu yang di dalam perjanjian yang tidak boleh dilakukan.6 Berdasarkan pendapat di atas, bila dalam suatu perjanjian telah ditentukan bahwa objek dari suatu perjanjian akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan, namun pada waktu tersebut objeknya tidak diserahkan, sedangkan waktu telah tiba untuk diserahkan. Dalam hal ini dikatakan telah terjadi wanprestasi atau ingkar janji. Selain itu, munculnya sengketa ataupun perselisihan dalam suatu perjanjian dapat pula disebabkan oleh adanya perbuatan melawan hukum. Hal ini diketahui apabila ditelaah dari ketentuan hukum atau perbuatan hukum perdata, hubungan hukum antara pemilik modal dengan pemilik tanah dalam perjanjian bangun bagi juga erat kaitannya dengan timbulnya kerugian bagi para pihak apabila terjadi kerugian akibat tindakan salah satu pihak yang dilakukan secara melawan hukum mengingkari ketentuan dalam perjanjian. Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Kedua hal tersebut merupakan hal yang menimbulkan kerugian yang berujung pada tuntutan ganti rugi. Tuntutan ganti rugi dapat dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 – 1367 KUH Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
6
Ibid., hal. 137.
Universitas Sumatera Utara
Ganti rugi terhadap kerugian pihak yang dirugikan merupakan kewajiban pihak yang menyebabkan kerugian walaupun disebabkan oleh kelalaian pekerjanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 KUH Perdata bahwa seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya, seperti majikan yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian akibat tindakan pekerjanya. Demikian pula halnya dalam perjanjian bangun bagi apabila hak dan kewajiban tersebut tidak terlaksana tentunya akan menyebabkan kerugian bagi salah satu pihak, oleh karena itu para pihak dapat menuntut pihak yang menyebabkan kerugian tersebut. Tuntutan dapat dilakukan melalui tuntutan pemenuhan perjanjian, ganti rugi sampai pada pembatalan perjanjian. Tuntutan pembatalan perjanjian itu sendiri kemudian menyebabkan timbulnya perselisihan atau sengketa. Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari adanya perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian di antara para pihak. Apabila pihak-pihak tidak berhasil menemukan bentuk penyelesaian yang tepat, maka perbedaan pendapat ini dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan di antara keduanya. Oleh karena itu, setiap menghadapi perbedaan pendapat (sengketa), para pihak selalu berupaya menemukan cara-cara penyelesaian yang tepat. Pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh kemenangan (seperti peperangan,
Universitas Sumatera Utara
perkelahian bahkan lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan hukum. Akibatnya, apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang hubungan diantara pihakpihak yang bersengketa menjadi buruk, bahkan berubah menjadi permusuhan. Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk penyelesaian yang berorientasi pada kemenangan tidak lagi menjadi pilihan utama, bahkan sedapat mungkin dihindari. Pihak-pihak lebih mendahulukan kompromi dalam setiap penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka, dengan harapan melalui kompromi tidak ada pihak yang merasa dikalahkan /dirugikan. Di dalam masyarakat Indonesia sendiri penyelesaian terhadap sengketa akibat suatu perjanjian seperti halnya dalam perjanjian bagi hasil atau bangun bagi juga memerlukan suatu upaya untuk menyelesaikannya, baik upaya penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) dengan menggunakan ketentuan hukum formal maupun melalui upaya di luar pengadilan (non litigasi). Adanya upaya untuk menemukan cara-cara penyelesaian yang lebih mendahulukan kompromi, dimulai pada saat melihat bentukbentuk penyelesaian yang dipergunakan pada saat itu (terutama lembaga peradilan) menunjukkan berbagai kelemahan/kekurangan, seperti: biaya tinggi, lamanya proses pemeriksaan, dan sebagainya. Akibat semakin meningkatnya efek negatif dari lembaga pengadilan, upaya ini dikenal dengan maupun upaya penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi). Kondisi ini kemudian mendorong lahirnya ketentuan
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999). Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 mendefinisikan Alternatif Penyelesaian
Sengketa,
yaitu
lembaga
penyelesaian
sengketa
atau
beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution/ADR) mempunyai arti penting tersendiri sebagai salah satu model penyelesaian sengketa. ADR diperlukan baik di negara maju maupun di negara berkembang dengan berbagai alasan. Walaupun menurut pendapatnya upaya penyelesaian sengketa ini termasuk alternatif yang paling tua yang telah dikenal sejak bangsa Mesopotamia yang menyelenggarakan suatu bentuk perwasitan di mana Raja Mesilim yang pada saat itu memerintah
Mesopotamia,
memutus
sengketa
antara
dua
suku
yang
mempersengketakan batas wilayah, yaitu suku Lagash dan suku Umna.7
7
Kantaatmadja, Beberapa masalah Dalam Penerapan ADR di Indonesia. Makalah: Bandung 1998 hal 35.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui upaya non litigasi ini juga dimanfaatkan untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang terjadi dalam perjanjian bangun bagi pembangunan toko di Kota Banda Aceh. Perselisihan atau sengketa ini terjadi akibat adanya tuntutan pembatalan perjanjian dari pemilik tanah yang dilakukan oleh pemilik tanah akibat pelaksana pembangunan tidak melaksanakan pembangunan sesuai dengan perjanjian. Tuntutan pembatalan tersebut terjadi akibat pihak pengembang yang menjadi pelaksana pembangunan melakukan tindakan yang merugikan pihak pemilik tanah. Tindakan tersebut berupa pelaksanaan pembangunan toko tidak sesuai dengan perjanjian, di mana dalam perjanjian disepakati bahwa pelaksanaan pembangunan akan dilakukan secara keseluruhan dan masing-masing akan memperoleh bagian toko yang sama. Namun kemudian, pada saat pembangunan pihak pengembang hanya membangun yang menjadi hak pemilik tanah terlebih dahulu sedangkan untuk yang menjadi miliknya dibangun belakangan dengan model yang berbeda dari kesepakatan semula. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh pemilik tanah karena dengan sendirinya akan merugikan pemilik tanah yang akan memperoleh bagian toko yang berbeda. Selain itu, juga ditemukan adanya pelaksanaan perjanjian yang tidak selesai tepat waktu sehingga harus dilakukan pengalihan perjanjian bangun bagi kepada pihak lain. Dalam hal ini pemilik meminta pembatalan perjanjian secara litigasi dengan mengajukan gugatan ke pengadilan tetapi meminta bantuan notaris pembuat akta perjanjian. Tuntutan pembatalan perjanjian tersebut diajukan akibat pelaksana
Universitas Sumatera Utara
pembangunan tidak membangun bangunan sesuai perjanjian. Akan tetapi, oleh pihak notaris hal tersebut kemudian dianjurkan untuk diselesaikan secara musyawarah, dimana notaris dalam hal ini bertindak sebagai mediator antara kedua pihak. Peranan notaris dalam penyelesaian tuntutan pembatalan bangun bagi ini adalah karena Notaris merupakan pejabat umum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan kewenangan untuk membuat segala perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan.8 Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), yaitu : (1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh udang-undang. (2) Notaris berwenang pula a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan suarat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta berkaitan dengan pertanahan; atau membuat akta risalah lelang.
8
Suhrawadi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, 1994, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
Dalam ketentuan tersebut terlihat bahwa notaris selain berwenang dalam pembuatan akta otentik dan kegiatan lainnya yang berkenaan dengan akta juga berwenang atau dapat bertindak sebagai pihak yang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Dalam hal ini notaris dapat menjadi mediator dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa antara para pihak yang terlibat dalam akta perjanjian yang dibuatnya. Termasuk dalam hal ini untuk menyelesaikan perselisihan atau tuntutan pembatalan terhadap Akta Perjanjian Bangun Bagi. Keterlibatan notaris dalam penyelesaian tuntutan pembatalan
juga terjadi
pada praktek notaris di Kota Banda Aceh, dimana sampai pada periode penelitian di Kota Banda Aceh terdapat 23 orang Notaris yang aktif melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya tersebut notaris juga terlibat dalam penyelesaian tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi yang dibuatnya atas permintaan para pihak. Tuntutan pembatalan perjanjian tersebut diajukan akibat pelaksana pembangunan tidak membangun bangunan sesuai perjanjian. Akan tetapi, oleh pihak notaris hal tersebut kemudian dianjurkan untuk diselesaikan secara musyawarah, dimana notaris dalam hal ini bertindak sebagai mediator antara kedua pihak. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai penyelesaian tuntutan pembatalan perjanjian bangun bagi oleh notaris. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “PERANAN NOTARIS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT
Universitas Sumatera Utara
TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI (Suatu Penelitian pada Praktek Notaris di Kota Banda Aceh)”. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan yang diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi di Kota Banda Aceh ? 2. Bagaimanakah peranan notaris dalam penyelesaian sengketa akibat
tuntutan
pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi di Kota Banda Aceh? 3. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa yang digunakan dalam penyelesaian sengketa akibat tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi di Kota Banda Aceh? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi di Kota Banda Aceh. 2. Untuk mengetahui peranan notaris dalam penyelesaian sengketa akibat tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi di Kota Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa yang digunakan dalam penyelesaian sengketa akibat tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi di Kota Banda Aceh.. D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perjanjian pada khususnya, terutama mengenai masalah pelaksanaan perjanjian bangun bagi dan peranan notaris dalam pelaksanaan perjanjian. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat khususnya yang terlibat dalam perjanjian bangun bagi, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian yang disepakatinya dan peranan notaris sebagai pembuat akta dan kewenangan notaris menjadi mediator atau penengah apabila terjadi tuntutan pembatalan, sekaligus pula memberi masukan kepada aparat dan praktisi hukum terkait dengan penyelsaian sengketa akibat tuntutan pembatalan akta perjanjian bangun bagi.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui ditemukan adanya salah satu penelitian mengenai peranan notaris, yaitu dengan judul PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PROFESI
PENUNJANG
PASAR
MODAL
oleh
Deborah
D.R.
Parapat/067011025/MKn, yang pembahasan (1) mengenai kedudukan notaris sebagai profesi penunjang pasar modal dengan kewajiban mendaftarkan diri di Bapepam dan (2) peran dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta yang berhubungan dengan proses penawaran umum di pasar modal. Apabila dilihat dari permasalahan yang dibahas tentunya sangat berbeda. Oleh karena itu, penelitian tentang “PERANAN NOTARIS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI (Suatu Penelitian pada Praktek Notaris di Kota Banda Aceh), belum pernah dilakukan. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Ilmu hukum dalam menjalankan fungsinya selalu bergantung pula pada berbagai bidang ilmu lainnya termasuk dalam hal ini bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.9 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.10 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.11 Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata dan juga akibat adanya asas kebebasan berkontrak sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengartikan: Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6. J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal 203. 11 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80. 10
Universitas Sumatera Utara
system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.12 Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa: Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.13 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.14 Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan. Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.15 Selanjutnya, dapat pula dijelaskan bahwa musyawarah dan mufakat itu sendiri merupakan bagian dari budaya manusia, sementara kesepakatan yang dilakukan antara anggota masyarakat mengandung komponen budaya yang disebut budaya hukum. Nilai-nilai budaya mempunyai kaitan erat dengan hukum karena hukum
12
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal 55. 13 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal 15. 14 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, 1991, Bandung, hal. 56. 15 Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Universitas Sumatera Utara
yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.16 Nilai tidak bersifat kongkrit melainkan sangat abstrak dan dalam prakteknya bersifat subjektif, agar dapat berguna maka nilai abstrak dan subjektif itu harus lebih dikongkritkan. Wujud kongkrit dari nilai adalah dalam bentuk norma. Norma hukum bersifat umum yaitu berlaku bagi siapa saja.17 Nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika, moral akan tercermin dari sikap dan tingkah laku seseorang. Pada situasi seperti ini maka sudah memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.18 Sikap masyarakat yang patuh dan taat pada hukum akan memperlancar penegakan hukum (law enforcement).19 Sikap moral masyarakat yang ada akan melembaga dalam suatu budaya hukum (legal culture). Sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum sangat mempengaruhi bagi berhasil atau tidaknya penegakan hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat. Lawrence M. Friedmen menyatakan bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu
16
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hal 80. R. Rosjidi Rangga Widjaja, Ilmu Perundang-undangan Indonesia Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 24. 18 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Gramedia Pustaka, 1996, Jakarta, hal. 250. 19 Law Enforcement adalah pelaksanaan hukum atau penegakan hukum. Lihat John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta 1989, hal. 140. 17
Universitas Sumatera Utara
jalannya proses hukum.20 Beliau juga menyatakan bahwa budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak akan berdaya21 jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor sarana atau fasilitas merupakan faktor yang cukup penting dalam upaya penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang mendukung, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan lancar. Hal ini meliputi sumber daya manusia yang trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai serta keuangan yang cukup.22 Penyelesaian sengketa di Indonesia biasanya memiliki pola tersendiri, Ade Maman Suherman mengutip pendapat Daniel S.Lev. mengatakan bahwa budaya hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa mempunyai karakteristik tersendiri yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu.23 Istilah budaya hukum digunakan untuk menunjukkan tradisi hukum dalam mengatur kehidupan suatu masyarakat.24 Faktor penting dalam menyelesaikan sengketa yaitu konsensus di antara para pihak yang bersengketa. Kenyataannya bahwa setiap
masyarakat mengenal pembagian
kewenangan atau otoritas (authority)25 secara tidak merata.
20
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), Penerjemah Wishnu Basuki, Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 8. 21 Ibid. 22 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 27 23 Ade Maman Suherman, Perbandingan Sistem Hukum RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 16 24 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op.Cit., hal. 108. 25 Authority menurut Mark Weber yang ia bedakan dari pengertian Power, ia mengartikan authority sebagai kemungkinan perintah-perintah seseorang di dalam posisi ataukedudukan tertentu
Universitas Sumatera Utara
Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan suatu perjanjian termasuk dalam hal ini perjanjian bangun bagi yang berkembang dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat merupakan suatu perjanjian yang tumbuh dalam masyarakat akibat adanya asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan demikian, perjanjian bangun bagi juga termasuk dalam suatu sistem hukum perjanjian yang berpedoman pada sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan dan pelaksanaannya. Istilah perjanjian atau kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst (perjanjian).26 Perjanjian adalah merupakan salah satu sumber perikatan. Hal tersebut landasan hukumnya terdapat dalam Pasal 1233 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa "tiap-tiap
perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang". Akan tetapi perikatan yang lahir karena perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian melahirkan perikatan ini menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang melaksanakannya. Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
diikuti oleh sekelompok orang tertentu. Power bersumber dari dalam kepribadian seseorang, maka authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang yang memilikinya. Lihat Ralph Dahrendorf, Case and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, Jakarta, 1959, hal. 162. 26 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. R. Subekti memberikan rumusan perjanjian sebagai suatu peristiwa hukum dimana seseorang berjanji kepada orang lain dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.27 Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.28 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melunasi prestasi.29 Menurut teori hukum baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah "suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum".30 Tan Kamello mengatakan bahwa dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi
sebagai
perbuatan
hukum
melainkan
merupakan
hubungan
hukum
(rechtsverhouding).31 Menurut beliau :
27
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, hal. 1. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citara Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 9. 29 M. Yahya Harahap„egi-Segi Hukurn Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hal. 6. 30 Salim H S., Op.Cit, hal. 16 31 Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar ,USU, 2 September 2006, hal .5. 28
Universitas Sumatera Utara
Pandangan ini dikemukakan oleh van Dunne yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik, atau teori konvensional. Communis Opinio Doctorum selama ini memahami arti perjanjian adalah satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling), yaitu perbuatan penawaran (aanbod, offer), dan penerimaan (aanvaarding, acceptance). Seharusnya perjanjian adalah dua perbuatan hukum yang masing-masing bersisi satu (twee eenzijdige rechthandeling) yaitu penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang atau lebih yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg). Konsep ini melahirkan arti perjanjian adalah hubungan hukum. Inilah alasan hukum (legal reasoning) yang dipergunakan mengapa esensi perjanjian yang dimaksudkan adalah sebagai hubungan hukum antara nasabah dengan debitor.32 Selanjutnya dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 bahwa yang dimaksud dengan Notaris adalah Pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Notaris merupakan jabatan profesi yang dapat dikategorikan sebagai profesi hukum, sehingga sebagai sebuah profesi, notaris terikat dengan peraturan dari profesinya tersebut yang kita kenal juga dengan istilah kode etik (kode etik notaris).
32
Ibid., hal 5
Universitas Sumatera Utara
Kode Etik Notaris merupakan suatu kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan Keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas dan jabatan sebagai Notaris.33 Kode Etik Notaris dilandasi oleh kenyataan bahwa Notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian dan keilmuan dalam bidang kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang kenotariatan. Secara pribadi Notaris bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang diberikannya.34 Sedangkan yang dimaksud dengan Akta Otentik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu akta yang sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat dimana akta itu dibuat.35 Notaris merupakan perwujudan dan personifikasi dari hukum keadilan, kebenaran dan merupakan jaminan adanya kepastian hukum bagi masyarakat.
33
http://ucupneptune.blogspot.com/2007/11/ketentuan-dan-kode-etik-notaris.html,April 2010. Ibid. 35 http://wawasanhukum.blogspot.com/2007/07/tentang-jabatan-notaris.html, April 2008. 34
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan seorang notaris sebagai suatu profesi dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seorang dapat memperoleh nasehat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.36 Notaris berwenang untuk:37 a) b) c) d)
membuat akta-akta otentik; mengesahkan surat-surat di bawah tangan (legaliseren); mendaftarkan surat-surat di bawah tangan (waarmerken); memberikan nasihat hukum dan penjelasan mengenai Undang-Undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Wewenang Notaris adalah bersifat umum (regel) dan meliputi hal-hal sebagai
berikut :38 1. 2. 3. 4. 5.
sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya itu; sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat; sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris berwenang pula : a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. 36
Tan Thong Kie, Media Notariat (Edisi kedelapan), Harvindo, Jakarta, 2001, hal 33. http://welinkusuma.blogspot.com/2008/05/profesi-notaris.html. 38 http://notarisgracegiovani.com/index.php/Latest/Article-1.html 37
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dapat dijelaskan bahwa dalam point 5 di atas terlihat bahwa notaris dapat memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, termasuk pula dalam hal ini menyelesaikan perselisihan akibat pelaksanaan akta perjanjian yang dibuat sebelumnya. Dalam penyelesaian sengketa akibat pelaksanaan perjanjian yang dituangkan dalam akta yang dibuatnya ini notaris dapat juga bertindak sebagai mediator dalam proses mediasi. Notaris dalam hal ini adalah sebagai pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak dan yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rachmadi Usman yang dikutip Runtung Sitepu dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya yang menyimpulkan bahwa : Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (nonintervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut “mediator” atau “penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.39 Dengan perkataan lain, mediator di sini hanya bertindak sebagai fasilitator saja dan melalui mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai
39
Runtung Sitepu, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, USU, Medan, 2006, Hal 24.
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa. Bentuk penyelesaian sengketa yang pertama dan paling penting adalah Negosiasi (negosiation). Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembagalembaga tertentu yang memungkinkan timbulnya pola diskusi atau negosiasi dalam pengambilan keputusan di antara para pihak yang berlawanan terhadap persoalanpersoalan yang mereka pertentangkan. Di dalam mediasi kedua belah pihak yang bertentangan menyetujui untuk menerima pihak ketiga menyelesaikan sengketanya. Tetapi mereka bebas untuk menerima atau menolak keputusan tersebut. Melalui mekanisme pengendalian sengketa yang efektif akan menjadikan suatu kondisi yang kondusif, dengan kata lain dalam mediasi kekuasaan tertinggi ada di para pihak masing-masing yang bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja.40 Proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan antara para pihak (mutually acceptable solution). Kesepakatan para pihak ini lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan pengadilan, karena merupakan hasil dari kesepakatan para pihak yang bersengketa. Artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan tengah yang telah mereka pilih untuk disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka bersama. Sedangkan dalam putusan pengadilan ada pihak lain yang memutuskan, yaitu hakim.
40
Surya Perdana, Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan Disumatera Utara, USU e-Repository, Medan, 2008, hal 40.
Universitas Sumatera Utara
Putusan pengadilan itu bukan hasil kesepakatan para pihak, melainkan lebih dekat pada perasaan keadilan hakim itu sendiri yang belum tentu sama dengan perasaan keadilan dari para pihak yang bersengketa.41 2. Konsepsi Konsep adalah suatu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.42 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubuis) dari suatu istilah yang dipakai.43 Oleh karenanya untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Berdasarkan judul dari penelitian tesis ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut. 1. Notaris adalah yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan 41
Ibid., hal 41 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993. hal. 10. 43 Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal. 35. 42
Universitas Sumatera Utara
akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Peranan Notaris adalah peranan dari notaris di luar kewenangan pembuatan akta dalam hal ini keikutsertaan notaris dalam pemberian pendapat hukum (advis hukum) dan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. 3. Penyelesaian sengketa adalah suatu upaya yang dilakukan oleh para pihak guna menyelesaikan perselisihan atau sengketa akibat adanya suatu perbuatan hukum yang disepakati sebelumnya. 4. Tuntutan Pembatalan adalah tuntutan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam suatu perjanjian untuk membatalkan perjanjian. 5. Pembatalan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum sebagai upaya untuk tidak melanjutkan sebuah perjanjian akibat terpenuhinya syarat batal dari suatu perjanjian. 6. Perjanjian Bangun Bagi adalah perjanjian yang dilaksanakan antara
pemilik
tanah dengan pelaksana pembangunan (pengembang) untuk pembangunan dengan membagi bagian masing-masing pihak berupa bangunan pertokoan sesuai dengan kesepakatan. 7. Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan dalam hal ini mediasi yang dilakukan oleh atau melibatkan notaris sebagai mediator.
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis. Dengan demikian, sifat penelitian dikategorikan penelitian deskriptif dengan analisis yang bersifat kualitatif. Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa perundang-undangan yang berlaku berdasarkan teori hukum yang bersifat umum44 yang diaplikasikan pada peranan notaris dalam penyelesaian tuntutan pembatalan perjanjian bangun bagi dengan menggunakan metode mediasi. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif. Namun dalam melakukan penelitian ini juga tidak terlepas dari adanya dukungan penelitian lapangan mengenai berlakunya berbagai ketentuan hukum positif tentang Peranan Notaris Dalam Penyelesaian Sengketa Akibat Tuntutan Pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi Pada Praktek Notaris di Kota Banda Aceh. Kemudian setiap data yang diperoleh baik primer maupun sekunder langsung diolah dan dianalisa dengan tujuan untuk memperjelas maksud dari penelitian ini.
44
Bambang Sunggono, Metedologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
Universitas Sumatera Utara
2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kota Banda Aceh di mana lokasi ini juga ditemukan adanya perjanjian bangun bagi yang tidak berjalan sesuai dengan perjanjian yang disepakati sebelumnya sehingga menimbulkan tuntutan pembatalan yang selanjutnya dalam penyelesaian perselisihan dilakukan upaya mediasi yang melibatkan notaris sebagai mediator. Penelitian ini meliputi seluruh notaris di Kota Banda Aceh yaitu berdasarkan data dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Aceh yang saat ini berjumlah 23 orang dan masyarakat yang terlibat dalam Akta Perjanjian Bangun Bagi. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya. Selanjutnya juga dilakukan penelitian lapangan (field research) guna memperoleh data data penunjang dalam penelitian ini guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan melalui wawancara dengan responden dan informan sebagai narasumber. 4. Sumber data Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari :
Universitas Sumatera Utara
(1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; a. Norma dasar yaitu Pancasila b. Undang-undang Dasar 1945 c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa. d. Kontrak atau Akta Perjanjian Bangun Bagi yang dibuat oleh Notaris. (2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. (3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum. yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini. 5. Alat Pengumpulan Data Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian adalah : a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mewawancarai narasumber.
Universitas Sumatera Utara
6. Analisis Data Lexy. J. Moleong mengatakan bahwa “proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya”.45 Dalam penelitian ini semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif dan deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
45
Moleong, Lexy. J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006,
hal 247
Universitas Sumatera Utara