BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Beberapa
tahun
terakhir
muncul
beberapa
studi
yang menunjukkan
kecenderungan penurunan tingkat toleransi di Indonesia, salah satu segmen masyarakat yang menjadi perhatian adalah kalangan anak muda di tingkat sekolah menengah. Rendahnya tingkat toleransi ditunjukkan dalam sejumlah survei tentang toleransi agama-politik masyarakat Indonesia termasuk di antaranya survei oleh LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada tahun 2006, survei toleransi beragama siswa SMA di Yogyakarta oleh LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) pada tahun 2009, dan monograf tentang pengerasan identitas keagamaan SMA Yogyakarta oleh LKiS dan CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) pada tahun 2011. Berbagai sumber tersebut menunjukkan adanya peningkatan sikap intoleran terhadap kelompok atau praktik keagamaan yang lain baik yang seagama maupun berbeda agama. LSI (2006) telah melakukan survei kepada masyarakat Indonesia tentang sikap toleransi dan pandangan tentang pluralisme masyarakat Indonesia. Terkait toleransi beragama, responden diberi pertanyaan mengenai kesediaan mereka untuk membiarkan pihak yang berbeda keyakinan untuk melaksanakan dan membangun sarana ibadah. Survei tersebut menunjukkan bahwa: Sebanyak 36,7% warga negara Indonesia merasa keberatan jika ada pemeluk agama lain melakukan ritual keagamaan di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka, selain itu ada sebanyak 42,3% warga negara Indonesia merasa keberatan jika ada pemeluk agama lain membangun tempat peribadatan di lingkungan sekitar tempat mereka tinggal (LSI, 2006:11). 1
Hal serupa ditemukan dalam survei yang dilakukan oleh Yayasan LKiS (2009) mengenai gejala intoleransi di Sekolah Menengah Atas Negeri di Yogyakarta; survei tersebut menjaring 760 responden dari 20 SMA Negeri di Yogyakarta. Dalam survei ini, LKiS mencoba mengukur toleransi beragama terhadap agama lain dan seagama pada siswa SMA di Yogyakarta. Maksud dari toleransi di sini adalah bentuk pengukuran toleransi keagamaan terhadap agama lain dan bentuk keagamaan lain yang seagama. Hasil survei LKiS menunjukkan bahwa:
Ada 6,4 % responden memiliki pandangan yang rendah dalam hal toleransi, 69,2% memiliki pandangan yang sedang dan hanya 24, 3% yang memiliki pandangan yang tinggi. Sementara dalam hal tindakan; 31,6% memiliki tingkat toleransi yang rendah, 68,2% memiliki tingkat toleransi yang sedang dan hanya 0,3% yang bisa dikategorikan memiliki pandangan toleransi yang tinggi. (Wajidi, 2009 dalam Salim, 2011:31)
Dari hasil survei tersebut bisa terlihat bahwa tingkat toleransi siswa SMA Negeri di Yogyakarta perlu mendapat perhatian lebih. Kecenderungan rendahnya tingkat toleransi ini juga dikhawatirkan terjadi di berbagai kota lain di Indonesia, termasuk di Purwokerto yang sama-sama menjadi kota tujuan belajar. Satu hal yang belum dijelaskan dalam beberapa kajian dan survei di atas adalah korelasi antara tingkat toleransi dan orientasi keagamaan teologis dan politik. Kaitan antara tingkat toleransi dan orientasi keagamaan tertentu, seperti Wahabisme atau puritanisme dan cara memahami teks keagamaan yang formalistik sering muncul sebagai penjelasan terhadap karakter intoleransi keagamaan, tetapi sejauh ini belum ada penelitian dengan metode kuantitatif yang menguji asumsi tentang korelasi ini. 2
Meski kaitan antara puritanisme dan intoleransi nampak logis tetapi dibutuhkan data empiris untuk menguji asumsi ini. Untuk menjawab kebutuhan ini, tesis ini mengkaji secara kuantitatif pengaruh orientasi keagamaan dan politik terhadap sikap toleransi di kalangan anak muda dengan mengambil studi kasus siswa di empat SMA di Purwokerto. Apakah suatu orientasi atau bentuk keagamaan yang dimiliki siswa berpengaruh pada sikap toleransi mereka. Dengan penelitian ini maka akan terlihat seberapa toleran siswa SMA di empat sekolah di Purwokerto terhadap bentuk keagamaan lain, tidak hanya yang berbeda agama namun juga yang seagama. Kota Purwokerto diambil sebagai lokasi penelitian karena Purwokerto adalah salah satu kota tujuan belajar dan adanya berbagai organisasi keagamaan yang aktif di sana seperti NU (Nahdlathul Ulama), Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyyah, PITI (Pembina Islam Tauhid Islam), Gerakan Tarbiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut aktif dalam ranah pendidikan, kultural, dan sosial yang dapat mempengaruhi bentuk keagamaan anak-anak muda atau para siswa di Purwokerto. Selain alasan di atas, kota Purwokerto dijadikan objek penelitian dalam tesis ini karena peneliti memiliki akses ke berbagai sekolah di kota tersebut. Hal ini bisa mempermudah penelitian yang dijalankan.
B. Perdebatan tentang Intoleransi
Para peneliti memiliki pendapat yang berbeda mengenai faktor penyebab kekerasan dan intoleransi agama. Dalam tulisannya tentang toleransi yang banyak 3
dikutip, Powell & Clarke (1992) membahas tentang permasalahan pengaruh faktor keagamaan terhadap toleransi atau sebaliknya. Powell & Clarke (1992:2) menerangkan bahwa para pemikir ilmu politik cenderung berpendapat bahwa kekerasan dan intoleransi tidak disebabkan oleh keagamaan, namun disebabkan masalah ekonomi dan politik. Agama hanya sebagai pemicu atau faktor pendorong kekerasan tersebut. Selanjutnya, mereka menerangkan bahwa para kalangan antiagama berpendapat bahwa agama lah yang menyebabkan kekerasan. Tentu intoleransi terjadi karena adanya dogma dan klaim kebenaran agama Penelitian berjudul “Toleransi Beragama Mahasiswa” dari Puslitbang Kemenag (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementrian Agama) menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pendidikan di sekolah memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terbesar terhadap toleransi beragama. Di samping latar belakang agama, ada juga faktor-faktor yang mempengaruhi sikap toleransi, namun memiliki nilai korelasi yang rendah, yakni nilai pendidikan agama dan keterlibatan organisasi (Puslitbang Kemenag, 2010:141). Selain itu, tesis yang ditulis oleh Jeny Elna Mahupale (2007) pada Program Studi Kajian Agama dan Lintas Budaya UGM (Universitas Gadjah Mada) menjabarkan bahwa model pendidikan agama memiliki tingkat korelasi yang cukup dalam meningkatkan sikap pluralisme siswa. Ia berpendapat bahwa masyarakat sekolah dalam kegiatan belajar mengajarnya telah memiliki kesadaran tentang kontekstualisasi wacana pendidikan agama yang berwawasan pluralis dan kesadaran masyarakat sekolah tersebut sangat dipengaruhi oleh paradigma multikultural yang berkembang di dalam masyarakat sekitar. 4
Dengan pandangan senada, Altemeyer and Hunsberger (1992) memperkenalkan konsep tentang Religious Fundamentalism (RF) dan Right Wing Authoritarism (RWA) untuk menjelaskan pengaruh agama terhadap berbagai sikap intoleransi, khususnya praduga terhadap agama lain. Mereka menjelaskan dalam penelitiannya bahwa RF dan RWA berkorelasi secara konsisten pada sikap intoleransi terhadap kelompok di luar mereka (Altemeyer and Hunsberger, 1992:188) Di berbagai penelitian yang ada tentang hubungan antara orientasi keagamaan dan toleransi menghasilkan banyak kontradiksi. Ketika keagamaan hanya diukur dari penampakan luar, seperti kehadiran ke gereja, intensitas berdoa dan seberapa sering membaca kitab suci, berbagai penelitian menunjukkan agama berkorelasi positif dengan sikap intoleransi, namun beberapa penelitian selanjutnya menunjukkan sebaliknya (Altemayer & Hunsberger, 1992). Untuk memecahkan paradoks itu Powell & Clarke merujuk pada hasil penelitian Gordon Allport. Allport dalam Powell & Clarke (1992:10) mencoba menjelaskan mengapa agama menyebabkan toleransi dan sekaligus intoleransi. Hal ini dikarenakan agama bukanlah entitas yang tungggal, ada dimensi dan spektrum di dalamnya. Keagamaan perlu dibagi menjadi dua orientasi, yakni intrinsic religious (IR) dan extrinsic religious (ER). IR adalah bentuk beragama yang menganggap agama sebagai nilai-nilai yang diinternalisasikan pada diri, sedangkan ER adalah keagamaan yang memandang agama sebagai instrumen untuk meraih kebahagiaan hidup (Powell & Clarke,1992:11). Dalam penelitiannya, Allport menunjukkan bahwa IR berkorelasi dengan intoleransi dan ER berkorelasi dengan toleransi.
5
Pendapat serupa dikemukakan Effendy (2012) dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, ia berpendapat bahwa orientasi keagamaan formalistik cenderung mengarah pada halhal yang mengganggu toleransi, sedangkan orientasi keagamaan yang menekankan substansi cenderung membawa keharmonisan. Menurut Effendy: Pandangan mengenai Islam yang legalistik dan formalistik, karena kecenderungan eksklusifnya, tampak memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial-keagamaan dan kultural bersifat heterogen. Pada sisi lain, apa yang dapat disebut sebagai pandangan mengenai Islam yang substansialistik — yakni yang menomorsatukan keadilan, kesamaan, partisipasi dan musyawarah— dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis yang pas antara Islam dan negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik keduanya. (Effendy, 2005:18)
Sutiyono (2010) dalam bukunya yang berjudul Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis, yang disusun dari hasil penelitian di salah satu desa di Klaten menjelaskan bahwa benturan budaya yang menyebabkan konflik berlangsung sejak Islam puritan datang ke desa Senjakarta (lokasi penelitiannya), hal ini disebabkan karena masyarakat puritan melarang tradisi slametan dan tahlilan pada kelompok Islam sinkretis (Sutiyono, 2010:12). Dua orientasi keagamaan tersebut, yakni puritan dan sinkretis, memiliki pemahaman yang berbeda tentang bagaimana agama bersentuhan dengan budaya lokal, sehingga benturan keduanya menyebabkan hal-hal yang merusak toleransi pada masyarakat. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab intoleransi bisa berupa faktor agama dan faktor non agama. Faktor non agama bisa berupa politik, 6
model pendidikan dan kondisi lingkungan. Faktor keagamaan berupa bagaimana cara dia beragama atau seperti apa orientasi dia beragama, berupa orientasi intrinsic religiousity, extrinsic religiousity, fundamentalism dan ada juga spektrum keagamaan dalam ranah politis berupa substansialis dan formalis, serta spektrum keagamaan dalam ranah teologis yang berupa puritan dan inklusif/sinkretis.
C. Batasan Masalah Dari identifikasi permasalahan tentang tingkat toleransi di atas terlihat bahwa toleransi dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor relijius maupun non relijius, seperti orientasi keagamaan, lingkungan, pendidikan agama dan sosial-politik. Untuk memperdalam kajian dan melihat keterbatasan peneliti, maka penelitian ini hanya akan memfokuskan pada aspek pengaruh orientasi keagamaan politis dan orientasi keagamaan teologis pada tingkat sikap toleransi. Orientasi keagamaan teologis adalah suatu bentuk atau corak keagamaan dalam wilayah keyakinan keagamaan, yakni kecenderungan kembali pada pemahaman awal suatu agama atau membuka penafsiran baru, serta bagaimana agama bersentuhan dengan kepercayaan dan budaya lokal. Sedangkan orientasi keagamaan politis adalah bentuk atau corak keagamaan dalam ranah politis, yakni bagaimana mengaplikasikan kepercayaan mereka pada wilayah sosial-politis, dan peraturan hukum kenegaraan. Oleh karena itu, orientasi keagamaan politis dan orientasi keagamaan teologis merupakan konsep yang cukup baik dalam menjelaskan fenomena keagamaan dimana dua variabel tersebut memiliki spektrum yang dinamis. Selain itu, kedua model ini mewakili dua tipe gerakan Islam, 7
puritan dan inklusif pada ranah teologis serta formalis dan substansialis pada ranah politis. Tesis ini akan menguji manakah dari dua jenis gerakan ke-Islaman ini yang lebih berpengaruh terhadap toleransi. Tesis ini juga akan menunjukkan apakah orientasi keagamaan teologis atau orientasi keagamaan politik tertentu berpengaruh pada tingkat sikap toleransi. Objek penelitian dalam tesis ini juga akan mengerucut pada siswa SMA yang beragama Muslim. Peneliti hanya membatasi kepada siswa Muslim karena selain demi kedalaman kajian, juga untuk mempermudah analisa dan ketepatan instrumen penelitian. Penelitian ini berfokus pada siswa SMA karena mengingat kasus-kasus munculnya pengerasan identitas keagamaan yang terjadi pada siswa SMA dan hubungan radikalisme dengan pemuda. Peneliti mengambil empat sekolah berbeda untuk melihat variasi fenomena toleransi di berbagai sekolah yang walaupun berada dalam naungan Dinas Pendidikan, tetapi memiliki corak pendidikan agama yang berbeda. Kemampuan untuk mengakses sekolah-sekolah tersebut juga menjadi pertimbangan dalam memilih obejek penelitian ini. Peneliti memilih SMA N 1 Purwokerto sebagai sekolah negeri berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), SMA IT Al Irsyad Purwokerto sebagai sekolah swasta milik Yayasan Al Irsyad Al Islamiyah, SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto sebagai sekolah swasta di bawah naungan Yayasan Muhammadiyah, serta SMA Diponegoro 1 Purwokerto sebagai sekolah swasta milik Yayasan Al Hidayah.
8
D. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana orientasi keagamaan siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto secara teologis dan politis?
2.
Bagaimana tingkat sikap toleransi siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto?
3.
Apakah ada pengaruh orientasi keagamaan teologis terhadap tingkat sikap toleransi siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto?
4.
Apakah ada pengaruh orientasi keagamaan politis terhadap
tingkat sikap
toleransi siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto?
E. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui bagaimana orientasi keagamaan siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto secara teologis dan politis.
2.
Mengetahui bagaimana tingkat sikap toleransi siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto.
3.
Mengetahui apakah ada pengaruh antara orientasi keagamaan teologis terhadap tingkat sikap toleransi siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto.
4.
Mengetahui apakah ada pengaruh orientasi keagamaan politis terhadap tingkat sikap toleransi siswa Muslim di empat SMA di Purwokerto.
F. Penjelasan Istilah-istilah
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan definisi istilah atau tipologi yang dipakai pada tesis ini agar terjadi kesepahaman makna. Tipologi dipakai untuk membantu kita memahami fenomena relijius yang kompleks dan sangat beragam 9
(Effendy, 2012:8). Peneliti menyadari bahwa definisi atas istilah yang akan digunakan bukanlah realitas yang terpatri secara permanen. Tipologi adalah upaya memahami fenomena keagamaan yang akan diungkap pada penelitian. Dalam penelitian, akan sulit untuk menghindar dari penggunaan tipologi. Tipologi memang seringkali problematik, karena bersifat reduksionis. Selain itu, setiap tipologi memiliki sejarah dan konteks tersendiri dalam penggunaannya dan akan problematik jika digunakan untuk menjelaskan fenomena pada konteks historis yang berbeda. Itulah sebabnya ada orang yang menghindarinya, namun kita tidak bisa sepenuhnya menghindar, khususnya bila kita menghadapi fenomena kompleks masyarakat politik seperti fenomena Muslim Indonesia (Effendy, 2010:9). Orientasi keagamaan teologis: Dalam tesis ini, orientasi keagamaan teologis dimaknai sebagai suatu bentuk atau corak keagamaan dalam wilayah keyakinan keagamaan, yakni kecenderungan kembali pada pemahaman awal suatu agama atau membuka penafsiran baru, serta bagaimana agama bersentuhan dengan kepercayaan dan budaya lokal. Orientasi keagamaan ini memiliki dua dimensi, yakni orientasi keagamaan inklusif dan puritan. Orientasi keagamaan politis: Orientasi keagamaan politis adalah bentuk atau corak keagamaan dalam ranah politis, yakni bagaimana mengaplikasikan kepercayaan mereka pada wilayah sosialpolitis, dan peraturan hukum kenegaraan. Orientasi keagamaan ini memiliki dua dimensi, yakni orientasi keagamaan formalis dan orientasi keagamaan substansialis.
10
Puritan: Puritan dipahami sebagai sistem budaya yang menginginkan kembalinya sistem kehidupan Islam yang otentik yang berpedoman pada teks suci (Sutiyono, 2010:12). Orientasi keagamaan puritan sangat dekat dengan konsep fundamentalisme dalam pengertian Altemayer & Hunsberger yang mencoba kembali pada teks-teks suci. Sinkretisme: Sinkretisme adalah suatu bentuk keagamaan yang membentuk suatu sistem budaya yang menggambarkan pencampuran antara Islam dan budaya lokal atau sifat permisif terhadap unsur-unsur budaya lokal (Sutiyono, 2010:12). Inklusif: Dalam tesis ini, pengertian inklusif memiliki kesamaan makna dengan sinkretisme. Istilah inklusif memang sering digunakan sebagai suatu tipologi yang menjelaskan bentuk keagamaan yang mengasimilasi berbagai kepercayaan dan agama. Namun, pada tesis ini istilah inklusif diartikan sebagai bentuk keagamaan yang merupakan hasil dari respon terhadap kultur lokal. Oleh kerena itu, peneliti akan menggunakan istilah inklusif, yang diartikan sebagai keagamaan yang akomodatif pada budaya lokal dan bersifat dinamis dimana mereka sering melakukan ritual-ritual seperi tahlilan, ziarah kubur, slametan, dan lain-lain. Substansialis: Substansialis adalah bentuk keagamaan yang lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Sehingga, keagamaan ini lebih menekankan pada penerapan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan 11
partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam daripada simbolsimbol Islam. Formalis: Formalis adalah bentuk keagamaan yang memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal aturan-aturan yang bersumber dari agama Islam pada ranah politik kenegaraan. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara. Fundamentalisme: Fundamentalisme adalah suatu keyakinan bahwa hanya ada sekumpulan ajaran agama yang jelas berisikan kebenaran yang mendasar, intrinsik, esensial, kebenaran tentang kemanusiaan dan ke-Illahian, dan ajaran agama tersebut harus diikuti pada saat ini dimana ajaran itu harus sesuai dengan praktek dan pemahaman yang ada pada masa lalu (Altemayer & Hunsberger, 1992:188). Toleransi: Toleransi diartikan sebagai sikap yang tidak berprasangka kepada orang lain, sikap menghormati perbedaan, dan tidak mengintervensi berbagai hal yang berbeda dengan dirinya. Dan dalam penelitian ini, objek toleransinya adalah bentuk keagamaan yang berbeda baik yang seagama maupun yang berbeda agama.
12