BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah Program Sister Hospital NTT merupakan sebuah inovasi dalam usaha mengurangi kematian ibu dan anak sebagai salah satu bagian dari Revolusi KIA NTT. Sebagaimana diketahui, salah satu kendala penurunan kematian ibu dan anak adalah terbatasnya dokter spesialis obstetric-ginekologi, dokter spesialis kesehatan anak, dan tenaga paramedis pendukung dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak di NTT. Tanpa tenaga-tenaga kesehatan ini dikawatirkan penurunan angka kematian ibu dan anak akan terhambat. Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai salah satu wilayah yang memiliki angka kematian ibu dan bayi tertinggi di Indonesia setelah wilayah Papua. Puncaknya pada tahun 2002-2003, angka kematian ibu mencapai 307/100.000 angka kelahiran hidup dan menurun pada tahun 2007 dengan data 228/100.000 angka kelahiran hidup1. Sementara itu menurut catatan Kompas, hasil survei demografi kesehatan Indonesia tahun 2007 menunjukkan angka kematian ibu (AKI) NTT 306 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan AKI nasional 228 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun angka kematian bayi (AKB) NTT 57 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB nasional 228 per 100.000
1
Menurut data Dinkes NTT. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2011. Kupang:Dinkes NTT.
1
kelahiran hidup. Perbandingan ini menggambarkan bahwa tingginya tingkat kematian ibu dan bayi di NTT perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah nasional dan juga khususnya pemerintah daerah. Oleh karenanya pemerintah pusat beserta daerah berupaya meningkatkan kesehatan ibu dan bayi melalui programprogram seperti KB (Keluarga Berencana) dan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Salah satunya kasus kematian di Kecamatan Detusoko terjadi di Desa Ranga, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur oleh Mama Bernadeta (34 tahun). Sudah 7 hari berturut-turut hujan turun di Desa Ranga, saat itu waktu menunjukkan pukul 02.00 WIT tengah malam ketika Mama Bernadeta sudah merasa akan melahirkan bayinya. Polindes sebagai tempat pelayanan kesehatan terdekat di Desa Ranga tidak bisa melayani persalinan karena bidan yang bertugas sedang melayani persalinan di Puskesmas yang letaknya berada di pusat Kecamatan Detusoko. Setelah menunggu beberapa lama angin dan hujan mulai reda, Mama Bernadeta dibawa menuju Puskesmas. Sesampainya di lokasi, persalinan berjalan dengan normal. Melihat ibu dan bayinya selamat, Bapak Nicolas, suami dari Mama Bernadeta, kembali ke rumahnya untuk mengambil pakaian istri dan bayinya, karena pasca persalinan ibu dan bayi harus dirawat di Puskesmas selama 2 hari. Tanpa firasat apapun terhadap keadaan istrinya Bapak Nicolas yang sudah berkemas lalu bergegas kembali ke Puskesmas karena sudah tidak sabar untuk menggendong anaknya yang baru saja lahir. Namun setibanya di dalam ruangan bersalin ia tidak menemukan istrinya karena telah dilarikan ke rumah sakit akibat pendarahan yang terus menerus, dan nyawanya sudah tidak tertolong. Diketahui 2
selama perjalanan istrinya yang dibawa oleh ambulans Puskesmas mengalami kendala yaitu longsor dibeberapa titik yang mengakibatkan pasien mulai kehabisan darah. Dengan perasaan yang kacau mengetahui istrinya dilarikan ke rumah sakit, Bapak Nicolas menumpang mobil polisi menuju kota Ende. Bapak Nicolas merasa kaget, tidak menyangka akan kehilangan istri yang telah melahirkan tiga orang anak sebelumnya. Selama melahirkan ketiga anak sebelumnya, istrinya tidak mempunyai riwayat penyakit seperti kelahiran anak keempatnya ini. Bapak Nicolas hanya pasrah dan berusaha menenangkan hatinya bahwa ia tidak sendiri. Ada tiga anak dan satu bayi yang kini harus ia tanggung untuk kedepannya. Baginya, kematian istrinya ini bukan hanya meninggalkan anak – anak, melainkan juga berbagai macam rutinitas dan tanggung jawab yang harus ia lakukan sebagai seorang ayah dan ibu sekaligus dirumah. Begitu kabar kematian terdengar, warga kampung yang dikepalai oleh seorang Mosalaki beserta dengan wakil keluarga (saudara laki-laki dari Bernadeta) menyiapkan ritual luka tana untuk menggali kubur. Untuk ritual ini Bapak Nicolas mengorbankan seekor sapi sebagai simbol untuk dapat menancapkan linggis pertamanya di tanah. Setelah itu dilanjutkan pula dengan ritual pemakuan peti dan penguburan jenazah. Selain seekor sapi, ia juga mengorbankan 4 ekor babi untuk disembelih setiap hari selama 4 hari berturutturut untuk mengadakan upacara doa-doa setiap malam sebagai penghormatan terakhir kepada istri yang disayanginya. Sanak saudara merupakan orang yang akan membantu melaksanakan prosesi pemakaman. Dalam rangkaian ritual adat suku Lio, prosesi pemakaman di masyarakat Detusoko menjadi sebuah obat untuk 3
kembali memantapkan diri orang yang ditinggalkan. Beratnya prosesi pemakaman seseorang di Detusoko sama beratnya dengan penderitaan seorang suami kehilangan istri yang meninggalkan 4 orang anaknya. “Kalau saya bole bilang, lebih baik yang meninggal suami daripada istri. Benar itu. Kalau suami meninggal, ibu sudah biasa masak, mencuci, bersihbersih rumah. Tapi kalau istri saya yang meninggal, setengah mati betul urus semua anak ini. Itulah kenapa saya itu belum bisa terima.”2 Meskipun demikian, bagi sebagian masyarakat kematian ibu dan bayi di Ende malah sudah dianggap “biasa” karena banyak kasus serupa yang dialami oleh keluarga lain. Di lain sisi menurut kepercayaan masyarakat setempat, kematian ibu dan bayi seringkali ditempatkan secara berbeda dengan penjelasan bahwa mereka mendapatkan tempat di surga. Surga bagi roh ibu dan bayi yang meninggal dalam masa persalinan berada di danau Ata Pupu . Kepercayaan ini menunjukkan sistem kepercayaan religius masyarakat setempat yang berkaitan dengan danau Kelimutu. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib seperti roh jahat dan guna-guna masih menjadi bagian dari asumsi masyarakat setempat yang menghubungkan relasi mereka dengan dukun. Oleh karenanya masih banyak diantara mereka yang menggunakan jasa dukun yang dipercaya mampu menangani penyakit yang disebabkan hal gaib. I.2. Rumusan Masalah Demikianlah kisah cerita dari Bapak Nicolas yang kehilangan istrinya yang mewakili gambaran kepedihan dan penderitaan penduduk Detusoko dalam
2
Wawancara dengan Bapak Nicholas Sare (54 tahun) tanggal 26 Juni 2013
4
mengupayakan kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Bahkan setelah kehilangan istrinya, ia pun merelakan hewan ternaknya sebagai biaya ritual adat, dan melanjutkan pengasuhan anak-anaknya dalam segala keterbatasan. Kondisi kehidupannya tampak semakin miskin dan belum mengarah pada perubahan yang lebih baik. Namun berpegang (pasrah) pada adat merupakan sebuah upaya yang sangat bisa diterima oleh penduduk Detusoko. Ritual kematian merupakan sebuah upaya penyelesaian masalah yang mengandung nilai-nilai moral dan tradisi. Oleh karenanya, muncul beberapa pertanyaan yang menggelitik saya di dalam merumuskan pertanyaan penelitian ini, antara lain: 1. Apa makna kematian ibu bersalin dan bayinya bagi keluarga yang ditinggalkan? 2. Bagaimana upaya solidaritas sosial yang tercakup dalam ritual kematian mampu mengatasi penderitaan sosial terkait kematian ibu dan bayi? 3. Apakah perubahan yang telah muncul dalam ritual kematian ibu dan bayi? I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian mengenai kematian ibu dan bayi dari sudut pandang masyarakat di Ende ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi Melalui Transformasi Budaya” (Studi Kasus Mengenai Kesehatan Ibu Hamil di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur). Penelitian ini didanai oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
5
Mada (FIB UGM) dalam rangka kegiatan produktivitas penulisan karya ilmiah (skripsi) dan percepatan kelulusan mahasiswa. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui seperti apa transformasi budaya masyarakat Ende khususnya di wilayah Detusoko mengalami perubahan di bidang kesehatan terutama ibu dan anak yang berhubungan dengan kasus tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi lahir. Diharapkan dengan membedah makna kematian ibu dan anak dari perspektif masyarakat lokal, saya dapat menjelaskan tentang upaya kultural masyarakat dalam mencegah kematian ibu dan anak. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan data dan referensi dari perspektif budaya dalam memahami dan mengupayakan usaha menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Ende, NTT. I.4. Tinjauan Pustaka I.4.1. Kondisi Alam dan masyarakat NTT Nusa Tenggara Timur, menurut hasil ekspedisi harian Kompas (2011), memperlihatkan bahwa NTT sangat kaya akan budaya dan tradisi dengan keindahan alam, sabana yang luas untuk peternakan, berbagai lahan subur untuk perkebunan, dan potensi perikanan dan kelautan yang melimpah. Namun hal ini berbanding terbalik dan tidak sejalan dengan kondisi kemakmuran dan kesejahteraan penduduknya. Singkatan NTT seringkali diplesetkan menjadi Nasib Tidak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong untuk menggambarkan kondisi ekonomi
6
dan sosial yang suram3. Mulai dari kasus angka kematian ibu dan bayi yang tinggi, busung lapar yang merebak di berbagai tempat, minimnya infrastruktur, dan korupsi yang tidak surut yang mungkin saja disebabkan oleh salah urus para pemimpinnya. Meskipun menyimpan potensi kekayaan alam, namun wilayah geografis yang merupakan wilayah pegunungan dan wilayah kepulauan tidak didukung oleh keterjangkauan akses infrastruktur yang menjadi modal penting pembangunan. Pembangunan di wilayah Timur Indonesia memang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah selama ini sehingga pembangunan yang sekarang ini dinilai
terlalu
lambat
dan
membutuhkan
percepatan.
Oleh
karenanya,
keterlambatan pembangunan tersebut telah menarik banyak pengelola program bantuan, baik dari pemerintah pusat maupun internasional yang masuk ke beberapa wilayah NTT. Bantuan tersebut berupa program pengentasan kemiskinan, ketertinggalan, kelaparan, dan juga tingginya angka kematian ibu dan bayi. Salah satunya seperti intervensi Helen Keller Internasional (HKI) melalui dana internasional Mondelez dengan program Rapid Action on Nutrition and Agriculture Initiative (RANTAI) yang sejak tahun 2012 melakukan pendidikan komunitas mengenai bagaimana bertanam tanaman bernutrisi (sayur-mayur) dan meningkatkan sumber energi protein hewani dengan beternak secara sustainable4. Program ini mendapat banyak tantangan karena penduduk merasa pesismis karena harus bertanam dengan pengairan yang jauh dari sumber dan keterbatasan debit
3
BPKM dalam buku Mendukung Revolusi KIA di NTT tahun 2013 halaman XV.
4
Sumber: “Empowering Vulnerable Households to Combat Malnutrition”, Jakarta Post, Senin 21 September 2015, halaman 17.
7
air yang ada. Namun melalui pendidikan partisipatif rumah tangga banyak diantara mereka yang telah berubah pola pikirnya sehingga mereka percaya bahwa tanaman nutrisi dapat tumbuh di lahan mereka dan membantu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Selama ini kasus malnutrisi dan krisis pangan telah menyebabkan banyak anak mengalami busung lapar dengan berat badan yang kurang sehingga berakibat pada perkembangan mental yang menurun serta perempuan hamil yang menderita anemia. Kini sangat terlihat kemajuan yang signifikan dalam menumbuhkan varietas micronutrisi, dengan adanya beragam jenis sayuran dan banyak diantara rumah tangga yang sekarang beternak ayam yang meningkatkan kualitas pangan rumah tangga. Tantangan untuk memperbaiki kualitas pangan rumah tangga juga harus beradaptasi dengan tradisi budaya di NTT, seperti Pirei dan Poi. Pirei dan Poi merupakan aturan adat yang terdapat pada masyarakat Detusoko untuk menyebut sesuatu yang dilarang (Pirei) dan hukuman (Poi) yang dialami jika melanggar larangan tersebut5. Pandega Putra (2015) menjelaskan bahwa Pirei menjadi faktor penghambat dalam mengentaskan angka kematian ibu dan bayi di Detusoko, karena ibu hamil memiliki kepercayaan tidak mengkonsumsi beberapa sayuran atau makanan yang terkait dengan mitos adat. Namun hal ini sebenarnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena persoalan yang terjadi sebenarnya adalah ketidakberagaman varietas atau jenis makanan yang tidak tersedia pada rumah tangga. Ini disebabkan karena pasar sangat jauh lokasinya untuk desa lain
5
Lihat dalam “Pirei: Aspek Ekonomi dan Sosial Budaya Penghambat Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Detusoko, Ende-NTT”, oleh Aldo Pandega Putra, 2015, Skripsi Jurusan Antropologi Budaya UGM, Yogyakarta.
8
di Kecamatan Detusoko serta hari pasar yang jatuh pada hari Rabu dan Sabtu saja sehingga sulit bagi ibu untuk membeli beragam jenis sayur yang baik nutrisinya bagi ibu hamil. Sementara untuk membeli sayuran yang beragam itu pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit seperti ongkos transport dan berbelanja dalam jumlah yang banyak untuk pemenuhan kebutuhan dengan jangka panjang. Sementara di warung-warung desa ketersediaan pangan instan seperti mie instan dan roti lebih menjangkau daerah pelosok dan menjadi konsumsi harian yang murah dan enak meskipun minim nutrisi. Belajar dari salah satu keberhasilan program mandiri pangan tersebut menunjukkan bahwa dibutuhkan banyak program pendidikan rumah tangga yang mendukung perbaikan kualitas hidup masyarakat di NTT. Misalnya program kesehatan HKI yang ternyata juga memberi dampak pada perbaikan kualitas pangan rumah tangga sehingga wanita hamil dan bayi maupun balita mengalami kemajuan kesehatan. Artinya dari banyaknya program seharusnya saling memberi dampak yang bersinergi untuk mengatasi salah satu misi pemerintah daerah misalnya dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi di NTT. Bukan program yang saling tumpang tindih dan tidak berkelanjutan ketika program berakhir. Ada beberapa upaya pendekatan yang dilakukan menjadi tumpuan penting dalam keberhasilan program, salah satunya adalah partisipasi rumah tangga. Kebanyakan program pemerintah hanya merupakan proyek yang tidak melakukan pendidikan berkelanjutan sehingga banyak program hanya menjadi proyek semata dan mengalami kegagalan karena tantangan yang dihadapi cukup besar. Peran 9
serta yang menjadi tujuan program ini justru merupakan yang utama karena melibatkan keseharian dan kebiasaan dalam perilaku kehidupan mereka serta lingkungan secara sosial. 1.4.2. Angka Kematian Ibu dan Bayi di Kecamatam Detusoko Beberapa program pemerintah dalam upaya mengurangi angka kematian ibu dan bayi di Propinsi Nusa Tenggara Timur seperti keberhasilan Program Revolusi KIA perlu didukung oleh persiapan infrastruktur yang memadai, anggaran, tenaga kesehatan, insentif, dan dukungan dari semua pihak. Keberhasilan ini sangat ditentukan oleh relasi dan sinergi yang baik antar dinas terkait. Misalnya saja seperti akses jalan dari rumah penduduk ke puskesmas yang masih relatif jauh, dan banyak hambatan lain terkait infrastruktur yang ternyata bukan menjadi tugas Dinas Kesehatan, melainkan tugas dinas pekerjaan umum. Sementara itu, ketersediaan moda transportasi dari kampung ke kota merupakan tugas Dinas Perhubungan. Kiranya diperlukan koordinasi dan sinergi antar dinas pemerintahan dalam mensukseskan program kesehatan ibu dan anak untuk mencapai harapan kesehatan ibu dan anak yang lebih baik. Program-program kesehatan sebagai bentuk intervensi kesehatan modern sebaiknya perlu berintegrasi dengan program lain seperti pendidikan, kemiskinan, dan ketahanan pangan misalnya yang juga memberikan dampak perubahan dengan melibatkan partisipasi kelompok masyarakat yang lebih kecil seperti kelompok rumah tangga. Ada banyak program dan bantuan pemerintah berupa pendidikan hanya sampai pada tingkat kelompok-kelompok besar bukan pada
10
kelompok rumah tangga sehingga tidak tercapai perubahan pola pikir yang signifikan. Begitupula tampaknya program Jampersal (Jaminan Persalinan) yang merupakan bagian dari revolusi KIA menjadi program pelayanan kesehatan pemerintah modern yang bersaing dengan pelayanan kesehatan tradisional yang dilakukan oleh dukun. Keduanya dapat membantu proses persalinan namun dengan cara yang berbeda. Dalam ketentuan Jampersal, ibu yang melahirkan harus melakukan persalinan dan telah berada di puskesmas selama 2 hari sebelum melahirkan untuk mengurangi resiko bayi tidak tertolong oleh tenaga kesehatan dengan fasilitas kesehatan yang lebih mencukupi dibandingkan di rumah. Untuk itu bagi ibu yang bersedia mengikuti program jampersal akan diberikan reward berupa uang sebesar Rp. 200.000. Sementara itu ada aturan dari puskesmas yang mengatakan bahwa ibu hamil yang melahirkan dengan tenaga dukun akan diberi sanksi berupa denda. Padahal penggunaan jasa dukun selama masa kehamilan dan pada waktu melahirkan, tidak hanya memberikan pelayanan persalinan saja, tetapi juga berdampak psikologis. Misalnya saja, dukun lebih memberikan pelayanan full time kepada ibu hamil baik dalam mengatasi persalinan maupun membantu pekerjaan ibu hamil dan dianggap mampu mengatasi gangguan makhluk halus yang dipercaya suka mengganggu ibu hamil dan bayi.
11
TABEL 1. Data Jumlah Persalinan Di Puskesmas Detusoko 2010-20136
No.
Tahun
1 2 3 4
2010 2011 2012 2013
Persalinan Kec. Detusoko Nakes Dukun 150 34 140 18 87 11 72 11
Total 184 158 98 83
TABEL 2. Data Jumlah Angka Kematian Ibu Dan Bayi Di Puskesmas Detusoko 2010-20137
No.
Tahun
AKI
AKB
AKN
1. 2. 3. 4.
2010 2011 2012 2013
1 0 1 1
0 0 0 1
0 0 1 5
Keterangan Ibu meninggal dari Kelurahan Detusoko dengan sebab eklamsi berat AKI: 1 orang, Kel. Detusoko, April, karena eklamsi. AKI: 1 orang, Detusoko Barat, dinding perut tidak ada. AKI: 1 orang, Ranga, Januari AKB: 1 orang, Kel. Detusoko (Pemoria), April AKN: 1] 1 orang, Nuaone, Juni, usia < 1 Minggu, sebab: ada cairan masuk ke paru-paru
6
Sumber : Data Persalinan 2010-2013 Puskesmas Detusoko Kecamatan Detusoko
7
Sumber : Data Persalinan 2010-2013 Puskesmas Detusoko Kecamatan Detusoko
12
dan ada kelainan (cacat bawaan) 2] 1 orang, Ranga, Mei, usia 0 hari, sebab: Asfiksia; bayi sesak nafas, lahir dengan dukun, partus lama, bayi besar 3] 1 orang, Sipijena, Mei, usia 9 hari, sebab: Prematur 4] 1 orang, Wolomage, September, sebab: BBLR 1,5 kg; prematur 7 bulan lebih; meninggal di RS; lahir di puskesmas kemudian rujuk 5] 1 orang, Nuanggela, usia 1 hari, sebab: BBLR 2,1 kg; bayi telan air ketuban
Penyebab kematian ibu maupun bayi tidak bisa diketahui secara pasti, namun secara medis ada beberapa faktor predisposisi menurut Chapman (2006;311-312) antara lain faktor yang berhubungan dengan: (1) kehamilan (abrupsio plasenta, plasenta previa, pre-eklampsia, polihidramnion, kehamilan lama, kehamilan ganda, infeksi, diabetes, genitourinaria), (2) faktor yang berhubungan dengan persalinan (Abrupsio plasenta, ruptur uteri, kecelakaan tali pusat, trauma kelahiran, hipoksia), dan (3) faktor yang berhubungan dengan kondisi bayi baru lahir (prematuritas dan komplikasi yang menyertainya, infeksi, hipoksia, malformasi kongenital). Sedangkan, bila dilihat dari aspek yang lebih luas, jumlah kematian ibu dan bayi dipengaruhi pula oleh beberapa faktor kondisi yang saling berhubungan dengan: (1) derajat kesehatan, (2) sosial ekonomi, (3) pendidikan, (4) keadaan lingkungan, dan (5) budaya. Kabupaten Ende merupakan salah satu kabupaten penyumbang tingginya AKI dan AKB di NTT8. Kasus Kematian Bayi di Kabupaten Ende pada Tahun 2013 mencapai 54 orang, 10 orang diantaranya berusia 0 hingga 28 hari dan 44 “Ende Penyumbang AKI dan AKB Tertinggi di NTT”, Pos Kupang: Senin,14 Juli 2014 (Halaman 14). 8
13
orang berusia diatasnya. Rata-rata kematian bayi disebabkan oleh ISPA, malaria, dan diare. Sedangkan untuk kasus kematian ibu pada tahun 2011 terjadi 9 kasus, tahun 2012 terjadi 14 kasus dan tahun 2013 terjadi 8 kasus. Adapun penyebab kematian ibu disebabkan karena pertolongan persalinan yang masih dilakukan dengan pertolongan dukun dan sebagian besar disebabkan oleh perdarahan pada saat melahirkan. I.4.3.Sarana dan Prasarana Pelayanan Kesehatan Masyrakat di Kecamatan Detusoko Pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu tumpuan dalam menangani kasus kematian ibu dan bayi masih belum tertunjang dengan baik. Mulai dari transportasi, peralatan serta tenaga medis yang masih memiliki keterbatasan. Dalam beberapa kasus sering terjadi keterlambatan menangani pasien dikarenakan kondisi geografis yang sulit untuk dijangkau oleh masyarakat. Puskesmas yang berada di Detusoko cukup jauh untuk dicapai oleh desa lain karena kondisi jalan perbukitan terlebih lagi saat terjadi kondisi alam yang sedang memburuk. Menurut penelusuran Kompas 2011, sulitnya akses pelayanan kesehatan di NTT salah satunya adalah sulitnya transportasi yang bisa dijangkau oleh petugas kesehatan yang tinggal di perbukitan dan di pulau-pulau kecil. Diterangkan oleh penduduk Desa Demondei, Kecamatan Wotanulumado, Pulau Adonara, harus menempuh jalan panjang dengan berbagai moda transportasi untuk mencapai RSUD di Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Dari desa di ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut harus berjalan kaki ke Desa Mewet di pesisir pantai, disambung naik ojek sepeda motor selama 30 menit menuju dermaga 14
Waiwerang untuk menyeberang selama dua jam lebih dengan kapal motor menuju Larantuka. Tak jarang ibu yang mengalami kesulitan persalinan saat dibantu dukun, akhirnya meninggal dalam perjalanan karena kehabisan darah.9 Dari data Dinas Kesehatan provinsi NTT tahun 2011 menjabarkan situasi dan kondisi kesehatan di wilayah NTT. Kondisi kesehatan NTT telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan terkait dengan program Revolusi KIA NTT yaitu semua ibu hamil melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai10. Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan terdekat masyarakat dan sarana yang ditingkatkan untuk mendukung program revolusi KIA yang terdiri dari puskesmas perawatan dan non perawatan, mulai dari tahun 2008-2011 mengalami peningkatan jumlah dari 112 unit pada tahun 2008-2009, menjadi 127 unit pada tahun 2010, dan bertambah menjadi 341 unit pada tahun 2011. Sementara itu, untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan ke masyarakat di wilayah kerjanya dibantu oleh keberadaan Pustu (puskesmas pembantu) yang mengalami peningkatan dari 1043 unit pada tahun 2008, menjadi 1115 unit pada tahun 2009, dan mengalami penurunan menjadi 1054 unit pada tahun 2010 yang disebabkan oleh faktor penambahan jumlah penduduk, dan pemekaran wilayah sehingga status pustu dinaikkan menjadi puskesmas. Sementara itu rumah sakit memberikan sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang bergerak di bidang kuratif dan rehabilitatif yang digunakan sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan. Sejalan dengan meningkatnya
9
Laporan Jurnalistik Kompas, 2011. Profil Kesehatan Provinsi NTT, 2011 oleh Dinas Kesehatan
10
15
kebutuhan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, jumlah rumah sakit (umum dan khusus) dari tahun 2009 - 2011 di NTT mengalami peningkatan jumlah sarana ini. Pada tahun 2009, rumah sakit umum sebanyak 31 buah dan rumah sakit khusus 1 buah, tahun 2010 rumah sakit umum sebanyak 33 buah dan rumah sakit khusus 3 buah dan pada tahun 2011 jumlah rumah sakit umumbertambah menjadi 40 buah dan rumah sakit khusus 6 buah. Rumah sakit tersebut dikelola olehPemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, TNI/POLRI, dan swasta. Pada tahun 2008 – 2011, data tenaga kesehatan yang dihasilkan dari pendidikan yang disediakan pemerintah dan swasta mengalami peningkatan yang memuaskan sehingga jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan relatif mengalami peningkatan yaitu dari 10.529 orang pada tahun 2008, meningkat menjadi 10.833 orang pada tahun 2009, tahun 2010 meningkat menjadi 13.496 orangdan meningkat menjadi 14.159 orang pada tahun 2011. Sementara untuk tenaga bidan di NTT perbandingannya berjumlah 66:100.000 dari jumlah tingkat nasional 100:100.000. Minimnya infrastruktur dan kondisi sosial ekonomi yang tidak memadai bagi penduduk di NTT menyebabkan penduduk hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan.11 Peningkatan infrastruktur yang terjadi setiap tahunnya di wilayah NTT tampaknya belum benar-benar terealisasikan dengan baik. Contohnya Detusoko yang hanya memiliki satu mobil ambulan. Rumah sakit yang harus ditempuholeh amsyarakat Detusoko dengan kurun waktu dua jam hingga empat jam membuat penangan
11
terhadap
pasien
kritis
menjadi
Profil Kesehatan Provinsi NTT, 2011 oleh Dinas Kesehatan
16
terlambat.
Padahal
pasien
yangmenadapat rujukan ke rumah sakit adalah pasien yang secara medis tidak mampu ditangani oleh sarana yang ada di Puskesmas. Hal ini tentunya membuat masyarakat yang berada jauh dari pusat kecamatan semakin parah. Kemungkinan sarana yang dapat mereka jangkau disekitar mereka yaitu pelayanan kesehatan polindes dan dukun. Padahal hampir keseluruhan wilayah membutuhkan peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan. Akan sangat suit bagi masyarakat yang tinggal di desa yang terpencil (jauh dari pusat kecamatan atau puskesmas) untuk bisa mendapatkan pelayanan dengan baik. Ditambah lagi pelayanan tenaga medis muda yang masih dirasa kurang berpengalaman dalam memberikan pertolongan masyarakat sekitar. Banyak keluhan muncul oleh pelayanan tenaga medis muda yang dianggap tidak maksimal memberikan pelayanan kesehatan. Salah satunya Mama Leta (27 tahun) yang saat periksa kehamilan justru malah dibentak-bentak karena tetap bekerja di umur kandungan yang menginjak 5 bulan. Keluhan sakit yang dia rasakan justru tidak diberikan obat tetapi makian sedangkan keluarga membutuhkan perannya untuk tetap bekerja di ladang. Akhirnya dia hanya mendapatkan perintah untuk tidak boleh bekerja. I.5. Landasan Teori Kasus kematian ibu dan bayi yang tinggi di NTT sudah menjadi bahan perbincangan dan diskusi oleh berbagai pihak terkait dengan kepentingannya. Dalam hal ini ada banyak referensi atau bahan pustaka yang mengungkapkan pentingnya membedah kasus tingginya angka kematian ibu dan bayi dari berbagai perspektif ilmu. Diantaranya dari bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya.
17
Oleh karena itu terdapat banyak data yang menunjukkan bahwa aspek-aspek minimnya atau kekurangan dalam berbagai hal menjadi faktor penyebab dan penghambat dalam mengentaskan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Di sisi lain, belum banyak kajian yang mengupas bagaimana secara kebudayaan masyarakat NTT memandang kematian ibu dan bayi yang tinggi di wilayahnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan untuk menurunkan AKI dan AKB selama ini merupakan program dan misi dari luar masyarakat itu sendiri. Mungkin bagi penduduk NTT, kematian adalah suatu hal biasa yang memang sudah takdir dan pasti terjadi bagi siapapun di dunia. Atau kematian mungkin bukan merupakan suatu peristiwa buruk seperti yang dibayangkan pejabat-pejabat dinas yang beranggapan bahwa kasus tingginya AKI dan AKB ini membawa citra buruk di wilayahnya. Subagya (2004;7-8) menjelaskan bahwa ritual-ritual kematian yang diselenggarakan sebenarnya merefleksikan gagasan mengenai konstruksi sosial dari fenomena kematian itu. Setiap kebudayaan memiliki konstruksi berlainan dalam memaknai kematian. Kematian merupakan paradoks kebudayaan karena hanya orang-orang yang masih hidup yang memperbincangkannya. Sebagaimana pandangan orang Jawa mengenai kematian dikonstruksi dan direproduksi dalam interaksi sosialnya sehari-hari. Salah satu wacana mengenai perspektif lintas budaya mengenai studi tentang kematian dipaparkan oleh dua orang yang bernama Phyllis Palgi dan Henry Abramovitch (1984:385-417). Mereka mengatakan bahwa studi mengenai kematian di kalangan para Antropolog menghasilkan suatu khasanah pengetahuan 18
mengenai sikap perilaku yang berkaitan dengan kematian dalam berbagai masyarakat dan mendorong munculnya teori-teori sosial. Namun, ada perbedaan antara para antropolog dengan para theolog dan filsuf dalam memandang proses kematian tersebut. Para antropolog cenderung memberi penekanan dan memberikan perhatian khusus terhadap subyek sedangkan para theolog dan filsuf cenderung tertarik untuk merenungkan misteri yang ada dibalik kematian itu sendiri. Dalam Rahajeng Pamularsih (2012), dijelaskan bahwa antropolog lebih memusatkan perhatian pada orang-orang yang berada dalam lingkup perkabungan dan jenazah itu sendiri. Dalam beberapa penelitian antropologi mengenai kematian memusatkan perhatian pada orang-orang yang berkabung dan jenazah bukan pada kematiannya. Contohnya seperti catatan etnografis antropolog pada awal abad sembilan belas yang mendeskripsikan secara detil terhadap kepercayaan tentang keberadaan roh yang berhubungan dengan hidup setelah mati serta sikap orang terhadap orang mati. Kemudian pada tahun 1960-an ke depan yang menekankan perhatian pada fungsi pemulihan sosial dari upacara pemakaman dan siginifikansi simbolisme perilaku yang bersangkutan dengan kematian sebagai sistem nilai yang bermakna (Subagya: 2004;21-22). Adapun melalui pendekatan evolusi, kematian berhubungan dengan isu-isu besar tentang gagasan religi dan perkembangan budaya. Oleh karenanya studistudi mengenai ritual kemudian menjadi isu utama dalam antropologi modern terutama menjadi alat meneliti kepercayaan. Sementara itu, pendekatan fungsional memusatkan perhatiannya pada persoalan kematian bagi masyarakat. Seperti yang
19
diungkapkan oleh Malinowski bahwa fungsi upacara kematian sama dengan upacara lainnya menjadi pemecahan dialektis gangguan tatkala terjadi krisis sosial. Oleh karenanya ritual mempunyai arti penting sebagai upaya menghidupkan kohesi dan memperbarui nilai-nilai sosial (Durkheim; 1976:389414 via Subagya;2004;23). Masih seperti yang dituliskan oleh Subagya (2004;23-24), menurut Schiller dan Chee Kiong (1993;1-9), mengatakan bahwa etnografi mengenai kematian sebagai persoalan sosial dihadapi secara berbeda-beda berdasarkan konteks sosial dan budaya komunitas pendukungnya. Misalnya seperti di Jawa, pengalaman Geertz (1973), mengungkapkan bahwa fungsi ritual kematian di Jawa merupakan usaha bersama komunitas yang dianggap mampu menciptakan kohesi sosial, mengatasi duka cita yang dialami keluarga, namun jika terjadi kegagalan fungsi ritual maka yang terjadi adalah kekisruhan dan penderitaan batin. Siegel (1983-114) memaparkan sikap ikhlas yang menandai perkabungan orang Jawa dibantu dengan beroperasinya perangkat ritual penguburan, yaitu foto dan bau wewangian dalam kerangka pemikiran itu. Dari berbagai pandangan mengenai kematian di dalam komunitas yang berbeda-beda itu, ada banyak unsur yang dapat dilihat untuk menafsirkan pandangan masyarakat komunitas. Usaha penafsiran pandangan masyarakat tersebut dapat dilihat melalui aktivitas ritual, hubungan sosial yang terkonstruksi di dalamnya, serta tradisi penguburan dan perangkat simbolik yang digunakan. Selain itu kesemua unsur tersebut juga dapat menjelaskan status yang berbeda secara sosial. Dari pengalaman Subagya (2004;31) wacana kesejarahan hidup
20
yang dihadapi setiap orang menghasilkan pengalaman maupun perlakuan yang berlainan dalam konteks kematian. Mengenai kematian ibu dan bayi di NTT, sejauh ini saya melihat bahwa masyarakat di Detusoko juga memiliki gagasan dan pandangan dalam menghadapi kematian. Melalui observasi dan sejumlah wawancara mendalam yang telah saya lakukan, masyarakat Lio memiliki cara pandang berbeda dengan orang Jawa dalam memaknai kematian. Lebih khusus lagi mengenai kematian ibu hamil dan melahirkan serta bayi yang baru lahir. Oleh karena itu, landasan teori ini akan mengarahkan pembahasan saya pada deskripsi pengalaman masyarakat. Detusoko melewati peristiwa kematian ibu dan bayi melalui ritual adat. Berkaitan dengan kesehatan dan budaya, Helman (1994;224) mengatakan bahwa ritual memiliki dimensi penting sosial, psikologi, dan simbolik. Dalam ritua simbol berlaku sebagai jembatan yang menghubungkan fisiologi dan siklus sosial dari hidup manusia. Siklus tersebut termasuk kelahiran, pubertas, perkawinan, dan kematian. Helman menjelaskan tahapan dari transisi sosial melalui teori Van Gennep mengenai rites de passage yang diantaranya yakni; separation (pengasingan), transition (transisi), dan incorporation(penggabungan)12. Pada tahap pertama, seseorang akan dipindahkan dari kehidupan normal sosialnya dan diatur dengan beragam aturan dan tabu dalam jangka waktu tertentu. Setelah masa transisi terlewati, ia akan diikuti oleh perayaan ritual lain pada tahap ketiga yaitu penggabungan. Dimana ia akan kembali ke masyarakat normal dan ke dalam
12
Lihat halaman 231.
21
aturan sosial yang baru. Bahkan tahapan ini ditandai dengan ritual mandi atau symbolic purification. Pada kebanyakan masyarakat non Western, simbol berasosiasi dengan perubahan fisiologi yang menghubungkan perubahan tersebut dengan peristiwa sosial atau kosmologi yang lebih luas. Misalnya kehamilan tidak hanya peristiwa fisik, tetapi merupakan transisi sosial dari seorang perempuan menjadi seorang ibu. Begitupula dengan kematian, yang bukan hanya dianggap sebagai peristiwa fisiologis tetapi terkadang dilihat sebagai kelahiran kembali ke masyarakat leluhurnya. Salah satu bentuk ritual dari fenomena transisi sosial tersebut adalah kematian dan belasungkawa. Tradisi berkabung pada kelompok masyarakat berbeda-beda. Antara peristiwa kematian biologis dengan sosial memiliki periode waktu yang beragam (berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun). Kematian biologis merupakan akhir hayat dari manusia sebagai organisme biologis, sementara kematian sosial berarti berakhirnya identitas sosial seseorang. Hal ini terlihat dalam rangkaian upacara termasuk pemakaman. Ada semacam proses transisi antara identitas sosial dari seseorang yang hidup ke dalam keadaan mati. Selama periode kematian biologis dan kematian sosial berakhir, jenazah masih menjadi bagian dari masyarakat. Dalam fase transisi ini arwah masih memiliki sisa-sisa ritus sosial yang masih tampak dari upacara-upacara, cara berpakaian khusus, yang menggambarkan kehidupan nyata. I.6. Metode Penelitian Ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam penelitian untuk memahami bagaimana persepsi mengenai kematian ibu dan bayi pasca melahirkan dalam 22
masyarakat Detusoko. Hal ini antara lain: (1) pengumpulan data lapangan, (2) studi pustaka, (3) pengolahan data. I.6.1. Pengumpulan Data Lapangan Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan cara observasi pastisipatif yang dilakukan dengan mengamati berbagai hal seperti tingkah laku, bahasa, interaksi, serta wujud benda atau bangunan yang ada di lokasi penelitian. Melakukan penelitian dengan terjun langsung ke lokasi penelitian merupakan sebuah cara yang tepat untuk mengumpulkan data. Arnold M. Rose (1965: 11) dalam buku Metode dan Masalah Penelitian Sosial, menekankan bahwa fakta tidak tergeletak begitu saja melainkan harus dibuka dari kulit pembungkus kenyataan, diamati dalam kerangka acuan yang spesifik, diukur dengan tepat dan diamati pula dimana suatu fakta berkaitan dengan fakta lain yang relevan (Black dan Champion, 1992). Selama kurun waktu kurang lebih 2 bulan, dalam dua kali kunjungan, ada banyak hal terutama simbol-simbol yang dapat diamati seperti penyelenggaraan ritual adat, maupun kegiatan sehari-hari masyarakat Detusoko yang terkait dengan kematian. Misalnya seperti simbol-simbol pada kuburan dan aktivitas masyarakat yang terkait seperti upacara pemakaman, dan
kegiatan
harian yang mereka lakukan di atas kubur orang yang meninggal. Metode yang digunakan dalam penelitian di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores yaitu metode kualitatif dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam kepada beberapa keluarga yang mengalami kasus kematian ibu dan bayi. Penelitian berlangsung selama bulan Juni dan September tahun 2013
23
dalam dua kali kunjungan. Dalam penelitian dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa tetua adat dan juga beberapa informan yang merupakan keluarga dari ibu dan bayi yang meninggal selama proses kehamilan maupun melahirkan. Dalam menentukan informan, saya mengunjungi Puskesmas di Kecamatan Detusoko untuk mengetahui siapa nama-nama informan dan dimana lokasi desa tempat tinggal mereka. Selain data tertulis dari pihak Puskesmas, kasus-kasus kematian ibu dan bayi di wilayah tersebut dapat dijelaskan berdasarkan ingatan masyarakat Detusoko dan para petugas Puskesmas mulai dari tahun 2010-2013. Informan merupakan ayah dan ibu dari bayi yang sudah pernah meninggal anaknya serta suami dari istri yang pernah meninggal ketika sedang dalam proses melahirkan. Selain itu pihak keluarga yang menyaksikan, mengalami dan menemui kasus tersebut juga menjadi informan penting, ditambah masyarakat Detusoko seperti tetangga korban, ketua adat, pemuka agama yang terlibat dalam ritual kematian. Ada pengalaman unik yang seringkali penulis lihat di lokasi penelitian. Anak-anak maupun orang dewasa bisa bebas bermain di atas kuburan. Kubur orang detusoko memang terletak disekitar rumah mereka, terutama berada di depan. Tentu saja ini tidak seperti di kebudayaan Jawa dimana kubur merupakan suatu yang “angker”. Tetapi bagi masyarakat Detusoko tidak demikian, sebab kubur menjadi bagian dari aktivitas keseharian mereka, anak-anak bermain dan memanjat, bahkan ibu-ibu ramai bermain kartu di atas kubur keluarganya. Dari salah satu hal tersebut membuat saya ingin mengetahui lebih dalam mengenai persepsi mereka terhadap kematian.
24
I.6.2. Studi Pustaka Adapun bahan pustaka yang digunakan berupa buku-buku, dan jurnal mengenai budaya masyarakat di Ende dan juga referensi yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu mengenai kematian, kesehatan ibu dan anak, sistem kepercayaan dan sistem sosial , dan transformasi budaya. I.6.3. Pengolahan Data Dalam mengolah data, ada beberapa langkah yang dilakukan antara lain: (1) memilih dan menyusun data secara deskriptif dan sistematis, (2) mencari korelasi antara sistem kepercayaan dengan tradisi ritual kematian dan dengan peristiwa konteks kasus kematian ibu dan bayi, (3) menganalisis data secara interpretif dan reflektif seperti yang dijelaskan oleh Geertz (1992:94), (4) menyusun data dan analisis menjadi argumen naratif.
25