BAB I PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Permasalahan Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi
dengan manusia lain, hal ini sudah sepantasnya karena manusia pada kodratnya adalah mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka masing-masing sehingga selalu dan akan memerlukan bantuan dari orang lain. Dalam interaksi tersebut, akan banyak menimbulkan perbedaanperbedaan pendapat dan kepentingan antara masing-masing individu. Perbedaan yang semakin meruncing antar individu dapat memicu timbulnya konflik individu ataupun pertengkaran. Perbedaan-perbedaan ini sebenarnya dapat dipahami karena pada hakekatnya manusia antara satu dengan yang lain tidak memiliki persamaan, yang menjadi masalah adalah bagaimana individu-individu itu menanggapinya, karena terkadang individu-individu tersebut melibatkan emosi dalam menyelesaikan masalahnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik seringkali tidak dapat menahan diri sehingga melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum baik yang bersifat pidana maupun perdata dan aspek hukum lainnya. Sebagai contoh misalnya perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana.Sebagai contoh memaksa penumpang naik kedalam bus atau angkutannya. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat, baik sebagai usaha
2
pencegahan
maupun
pemberantasan
atau
penindakan
setelah
terjadinya
pelanggaran hukum. Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah jelas ditentukan tujuan dari penegakan hukum pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana yang diatur secara jujur dan tepat. Dalam rangka penegakan hukum, apabila terjadi suatu peristiwa yang diduga atau patut diduga merupakan tindak pidana, maka aparat hukum wajib melakukan berbagai tindakan sesuai dengan kewenangan masing-masing sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan yang dimaksud adalah melakukan penyelidikan oleh penyelidik dan kemudian diteruskan dengan penyidikan sebagai suatu tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Upaya untuk menemukan dan menentukan pelaku dalam suatu peristiwa pidana
sangat
penting
untuk
menentukan
siapa
yang
harus
dipertanggungjawabkan secara pidana atas peristiwa pidana tersebut. Mengenai pertanggungjawaban pidana, E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi mengemukakan pendapatnya bahwa : Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tiada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtvaardigingsgrond atau alasan pembenar).1 1
E. Y. Kanter, dan S. R. Sianturi,2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Halaman. 106
3
Penyidikan sebagai upaya untuk menemukan dan menentukan pelaku dalam suatu peristiwa pidana dilaksanakan oleh Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut Polri). Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Polri menduduki posisi sebagai aparat penegak hukum, sesuai dengan prinsip diferensiasi fungsional yang digariskan KUHAP. Polri diberikan peran berupa kekuasaan umum menangani kriminal (general policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Indonesia. Lebih lanjut kewenangan penyidik diatur dalam pasal 6 KUHAP. Kewenangan Penyidik yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP adalah kewenangan dari penyidik Polri. Kewenangan penyidik pembantu serupa dengan kewenangan penyidik Polri, kecuali dalam hal penahanan. Mengenai kewenangan penyidik pembantu telah ditentukan dalam Pasal 11 KUHAP, yaitu: ‘Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”. Hal ini berarti bahwa untuk melakukan penahanan, seorang penyidik pembantu harus memperoleh pelimpahan wewenang dari penyidik. Mengenai peran Polri berupa kekuasaan umum menangani kriminal (general policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Indonesia, M. Yahya Harahap mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : “Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Polri berperan melakukan kontrol kriminal (crime control) dalam bentuk: investigasi-penangkapanpenahanan-penggeledahan-penyitaan. Sesuai dengan otoritas kepolisian itu, semestinya Polri harus mengembangkan peran pelayanan (civil service).”Diantara fungsi pelayanan polisi yang harus dikembangkan pada saat sekarang, antara lain: mengatur lalu lintas, mengontrol keributan,
4
memberi pertolongan darurat (emergency medical care) dan pengaturan jam malam.2 Dalam melaksanakan fungsi penyidikan, Polri harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due process. Setiap tersangka berhak disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara, tidak boleh secara undue process. Hak due process dalam melaksanakan tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-cita negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum yang menegaskan “kita diperintah oleh hukum” dan bukan “oleh orang” (government of law and not of men). Bertitik tolak dari asas ini, Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan harus berpatokan dan berpedoman pada ketentuan khusus yang diatur dalam KUHAP. Polri sebagai ujung tombak penegak hukum di lapangan tidak mungkin diharapkan dapat melakukan patroli secara terus menerus sehingga setiap kali tindak pidana terjadi mereka dapat langsung mengetahuinya. Polri sering mengeluhkan bahwa jumlah rasio Polisi di Indonesia dengan jumlah penduduk sangat tidak seimbang. Hal ini mengakibatkan pelayanan yang dapat diberikan oleh Polri kepada masyarakat menjadi tidak atau kurang maksimal. Oleh karena itu Polri selalu meminta agar masyarakat selalu membantu Polri untuk menjaga dan menciptakan ketertiban dan ketenteraman umum. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Polri) yang isinya dinyatakan Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan Nasional 2
M.Yahya Harahap, 2004, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Sinar Grafika, Jakarta). Halaman. 101.
5
dalam rangka tercapainya tujuan Nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Pada prinsipnya, jika terjadi suatu peristiwa pidana maka Polri sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum dapat segera mengambil tindakan. Akan tetapi dari banyak peristiwa pidana itu ada beberapa jenis yang hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang dirugikan akibat terjadinya peristiwa pidana tersebut. Peristiwa pidana tersebut biasanya disebut delik aduan. Menurut R. Soesilo: Alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangi prinsip oppurtuniteit dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan) senantiasa mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum.3 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana telah mengatur secara tegas mengenai jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam tindak pidana (delik) aduan. Salah tindak pidana yang termasuk delik aduan adalah perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam pasal 335 Kitan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perbuatan tidak menyenangkan dapat berakibat fatal bagi pelakunya, jika perbuatan tersebut tidak disukai atau tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut.
3
http://legal-community.blogspot.com, 11 Juni 2015, Surabaya.
6
Memang akibat perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita, akan tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan oleh korban, atau korban mengalami sakit hati (perasaan). Berarti dari sudut pandang hukum positif, perbuatan yang tidak menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang perorang,oleh karena itu hukum positif perlu berperan aktif dan mengambil langkah-langkah penyelamatan, perlindungan, pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran terhadap “kemerdekaan orang”. Dalam hukum pidana, perbuatan tidak menyenangkan diatur dalam Bab. XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang. Perbuatan tidak menyenangkan ini haruslah dilakukan dengan kesengajaan, sehingga orang yang melakukan perbuatan pidana itu dapat dihukum karena mempunyai sikap bathin yang berupa kesengajaan.4 Aturan
yang
mengatur
tentang
tindak
pidana
perbuatan
tidak
menyenangkan adalah Pasal 335 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan sebagai berikut: a.
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; Ke-1 : Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan,
sesuatu
perbuatan
lain
maupun
perlakuan
yang
tak
menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu
4
Masruchin Ruba’i, dkk, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia Publishing, Malang, Halaman. 103.
7
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Ke-2 : Barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. b.
Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya
dituntut atas pengaduan orang yang terkena. Terkait dengan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 335 KUHP, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 1/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Januari 2014 dalam amar putusannya menyebutkan bahwa; a.
Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
8
b.
Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) tidak mempunyai kekuatan mengikat; c.
Menyatakan Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) menjadi: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.
9
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak menghapus ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP secara keseluruhan, tetapi yang dihapus pada rumusan ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP adalah frasa: “perbuatan tidak menyenangkan” dan frasa: “perbuatan lain”, frasa tersebut dianggap oleh Mahkamah Konstitusi telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena Pasal tersebut tidak memberi kepastian pada tindak pidana mana yang harus diterapkan oleh Pasal 335 ayat (1) KUHP sehingga penerapan frasa perbuatan tidak akan terlepas dari penafsiran yang beragam. Dalam hal terjadinya suatu delik aduan, sumber informasi yang diterima oleh Polri adalah pengaduan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengaduan merupakan dasar untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu delik aduan. Hal ini membuat terjadinya perbedaan dalam penanganan peristiwa yang termasuk delik aduan dengan peristiwa pidana yang merupakan delik biasa. Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka Penulis dalam tulisan ini akan mengkaji mengenai “Tinjauan Yuridis Kedudukan Penyidik Atas Pengaduan Delik Perbuatan Tidak Menyenangkan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013”.
2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka dapat ditentukan
rumusan masalahnya yaitu: a. Bagaimana proses pelaksanaan penyidikan terhadap delik aduan di Indonesia ?
10
b. Apa akibat hukum bagi kedudukan penyidik atas pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 1/PUUXI/2013 tentang Uji Undang-Undang pasal 335 KUHP dalam delik aduan perbuatan tidak menyenangkan ?
3.
Tujuan dan Mnfaat Penelitian 3.1. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 3.1.1. Untuk menganalisis proses pelaksanaan penyidikan dalam suatu peristiwa yang termasuk dalam kualifikasi delik aduan . 3.1.2. Untuk menganalisis tentang kedudukan penyidik Polri terhadap delik perbuatan tidak menyenangkan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 Tentang Perubahan atas redaksi Pasal 335 ayat (1) KUHP.
3.2. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 3.2.1. Manfaat teoritis dari penelitian ini agar dapat memberikan pemahaman di bidang akademik maupun non akademik terkait dengan proses pelaksanan penyelidikan terhadap delik aduan maupun akibat hukum terhadap kedudukan Penyidik Polri atas pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor
1/PUU-XI/2013
Perubahan atas redaksi Pasal 335 ayat (1) KUHP.
Tentang
11
3.2.2. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam hal ini Kepolisian, kejaksanaan maupun masyarakat luas dalam kaitannya dengan pelaksanaan penyidikan terhadap delik aduan.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.
Pengertian Penyidik dan Penyidikan
Pasal 1 butir 2 KUHAP isinya dinyatakan bahwa:”Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Mengenai pengertian penyidikan dapat diketahui dari isi Pasal 1 butir 2 KUHAP yang menetukan bahwa: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”Penyidikan dilakukan segera setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.5 Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begrips bepaling) sesuai tersebut dengan konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan kongkret dan factual dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut: a. 5
Tindak pidana yang telah dilakukan.
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Ghalia Indonesia, Bogor), Halaman. 24
13
b. c. d. e. f.
Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti). Cara tindak pidana dilakukan. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan. Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan. Siapa pelakunya6
Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 mengenai pengertian penyidik dan penyidikan, dapat diketahui bahwa penyidik itu bukan hanya penyidik Polri, melainkan juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Tugas dari penyidik adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Dari pengertian penyidik dan penyidikan, dapat diketahui pula perbedaan antara penyelidik dengan penyidik dan penyelidikan dengan penyidikan. Penyidikan adalah tindakan yang dilakukan setelah penyelidikan selesai. Menurut M. Yahya Harahap: Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja.7
Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:
6
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya, (Alumni, Bandung), Halaman. 55 7 M.Yahya Harahap, 2004, Op.Cit, (Sinar Grafika, Jakarta), Halaman.109
14
a. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua anggota” Polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik. b. Wewenang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya). Memperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1), apalagi jika dihubungkan dengan beberapa bab KUHAP, seperti Bab V (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban penyidik adalah amat luas jika dibanding dengan penyelidikan. Akan tetapi, cara penguraiannya dalam KUHAP agak berserakan dalam beberapa bab. Wewenang dan kewajiban penyidik serta ruang lingkup fungsi penyidikan secara sempurna, tidak dapat melihatnya, hanya pada Bab XIV saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya dari bab dan pasal-pasal lain di luar kedua bab yang disebutkan. Mengenai siapa saja yang disebut sebagai penyidik ditentukan dalam Pasal 6 KUHAP sebagai berikut: a. Penyidik adalah: 1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
15
2)
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang. b. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 KUHAP diketahui bahwa yang disebut penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari para pejabat seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 KUHAP. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam pasal 6 KUHAP. Akan tetapi, di samping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 KUHAP yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik. Apabila penyidik menerima laporan dari penyelidik atau korban maka penyidik wajib dengan segera melakukan penyidikan terhadap tersangka. Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka. Jika penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil maka mereka diberi petunjuk dan bantuan oleh penyidik Polri. Berkas Acara Penyidikan (BAP) disampaikan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang bersangkutan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.Pasal 106 KUHAP menentukan bahwa penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Lebih lanjut Pasal 108 KUHAP menentukan: a. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
16
laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik. c. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. d. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu. e. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik. f. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Pelaksanaan penyidikan oleh kepolisian dilakukan dalam rangka menjalankan tugas utama kepolisian yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang diantaranya : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum;
17
c. Memberikan
perlindungan,
pengayoman,
dan
pelayanan
kepada
masyarakat.8
2.
Pengertian Delik Delik berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam bahasa Jerman
disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda disebut delic yang artinya perbuatan yang dapat dihukum. Menurut
Moeljatno
dalam
bukunya
Asas-asas
Hukum
Pidana,
menerjemahkan delik dengan istilah perbuatan pidana adalah: “ Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan terssebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditentukan oleh kelakuan orang.Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.”9 Adapun unsur-unsur delik Menurut VOS sebagai berikut : a.
Suatu kelakuan manusia.
b.
Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan
dilarang umum dan diancam dengan hukuman.10
Dalam hukum pidana dikenal dua macam delik yaitu : delik aduan dan delik biasa. Delik biasa diartikan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang penaganananya tanpa memerlukan pelaporan dari orang yang dirugikan.
8
Sadjijojno,2006, Hukum Kepolisian dalam perspektif kedudukan dan hubungannya dalam hukum administrasi,laksbang pressindo, yokyakarta, Halaman.117 9
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman.54.
10
E. Utrecht, 2000, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, Halaman 252.
18
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini berarti bahwa kepentingan umum lebih diutamakan. Oleh karena itu penuntutan suatu delik pada dasarnya dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, tidak bergantung kepada orang yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan juga andaikan ada keberatan dari penderita tidak merupakan penghalang bagi usaha penuntutan. Delik aduan (klacht delict) pada hakikatnya juga mengandung unsur-unsur yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Pada lazimnya, setiap delik terjadi menghendaki adanya penuntutan dari Penuntut Umum tanpa ada permintaan yang tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Delik aduan mempunyai ciri khusus dan kekhususan itu terletak pada penuntutannya. Penuntutan suatu delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari penderita atau seseorang yang berhak mengadu. Mengenai penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan, E. Y Kanter dan S. R. Sianturi berpendapat: Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adalah karena kepentingan pribadi dari yang dirugikan/penderita/yang berhak mengadu dipandang perlu mengutamakan perlindungannya. Dalam hal ini, yang dijadikan alasan untuk menjadikan suatu delik menjadi delik aduan ialah bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seseorang yang mengadu akan lebih dirugikan apabila perkara itu disidangkan dibandingkan dengan kepentingan umum jika perkar itu tidak dituntut karena jabatan.11
Menurut R. Soesilo: Alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara 11
E. Y. Kanter, dan S. R. Sianturi, 2002, Op.Cit, Storia Grafika, Jakarta, Halaman. 10 http://legal-community.blogspot.com,, Juni 2015
12
19
itu daripada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangi prinsip oppurtuniteit dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan) senantiasa mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum. Dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.
3. Perbuatan Tidak Menyenangkan. Dalam kaitannya dengan delik aduan, salah satu acuan yang menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini adalah Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan yang diatur dalam Pasal 335 KUHP menentukan bahwa: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: a.
barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan,
sesuatu
perbuatan
lain
maupun
perlakuan
yang
tak
menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; b.
barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan
atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
20
Pembuktian dalam pasal tersebut diatas ialah: bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu; dan Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu ancaman ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain. “Memaksa”, menyuruh orang melakukan sesuatu demikian rupa,sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri. Paksaan dalam sub 1 harus melawan hak, sedangkan dalam sub 2 tidak perlu. Kejahatan tersebut sub 2 adalah suatu delik aduan. Yang dapat dikenakan pasal tersebut adalah rupa-rupa misalnya memaksa dengan cara dalam pasal ini. Tentang kekerasan dapat dilihat pada Pasal 89 KUHP dan tentang menista dapat dilihat pada Pasal 310 KUHP. Pasal 89 KUHP menentukan: “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Pasal 310 KUHP menentukan: a.
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. b.
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena
21
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. c.
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. d.
Di tuntut atas pengaduan orang yang terkena.
Sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya pun dapat diukur, ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata. “Sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian itu, dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain berdasarkan suatu laporan. Namun, apabila laporan tidak terbukti di pengadilan, pihak yang dilaporkan jelas telah menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan penuntut umum. Terlebih, lagi apabila yang bersangkutan ditahan yang berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan sebagai hak asasinya.12 Rasa tidak menyenangkan dapat berbagai macam; ada rasa cemas, takut, dongkol, malu, dan lain-lain rasa yang menyeruak dalam hati. Berbagai perasaan timbul bergejolak, emosi meninggi, ada rasa ingin membalas akan tetapi dengan berbagai kendala dan keterbatasan membuat si penderita atau korban tidak dapat melakukan pembalasan; kendala takut menghadapi ancaman hukuman, malu 13
Hukumonline.com, diakses tanggal 08 Juli 2015
22
dengan masyarakat, dan keterbatasan karena lemahnya phisik, kurangnnya kekuatan, membuat si penderita atau korban menahan gejolak emosinya untuk membalas seketika.13
4.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 335 KUHP, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 1/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Januari 2014 dalam amar putusannya menyebutkan bahwa; Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terdapat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 14
ibid
23
(selanjutnya disebut UU MK) menegaskan hal yang sama, yakni menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
24
BAB III METODE PENELITIAN
1.
Tipe Penelitian Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian hukum normatif,14 yakni
berusaha memberikan gambaran terhadap fenomena hukum dengan cara mengungkapkan hubungan antara peristiwa hukum, perbuatan hukum dengan akibat hukum dalam rangka keberlakuan suatu norma. Dalam hal ini peneliti akan mengungkapkan kedudukan penyidik terhadap pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor .1/PUU-XI/2013 tentang perubahan atas redaksi kalimat pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2.
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 2.1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Adalah penelitian yang dilakukan dengan menelaah semua UndangUndang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
15
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, Halaman. 60.
25
sedang ditangani”.15 Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelusuri seluruh ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum pidana khususnya pada perbuatan yang tidak menyenangkan dan kepolisian. 2.2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam
memecahkan
isu
yang
dihadapi”.16
Pendekatan
ini
dimaksudkan untuk menelusuri doktrin-doktrin hukum pidana yang relevan dengan isu hukum yang sedang dikaji. 3. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.17 3.1. Bahan hukum primer meliputi: 3.1.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3.1.2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3.1.3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 3.1.4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
16
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Halaman. 93. 17 Ibid., h. 95. 18 Ibid.,h. 95-96.
26
3.1.5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 3.1.6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. 3.1.7. Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
1/PUU-XI/2013
tertanggal 16 Januari 2014. 3.2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu, buku-buku hukum yang berkaitan dengan buku-buku hukum acara pidana, jurnal, tesis, disertasi, dan artikel serta internet yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. 3.3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Teknik
pengumpulan
bahan
hukum
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu buku-buku hukum yang berisikan doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran hukum dan konsep-konsep hukum serta putusan-putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai perbuatan yang tidak menenangkan dan mengenai kedudukan penyidik dalam proses penanganan delik aduan. Selanjutnya pengolahan dilakukan dengan cara melakukan klasifikasi terhadap bahan hukum primer yang terkumpul dan mengkaitkan kesesuaian pasal-pasal perundangundangan yang ada dalam bahan hukum primer dengan pokok permasalahan yang diteliti, setelah itu dicari untuk ditemukan asas-
27
asasnya dalam doktrin-doktrin hukum yang terdapat dalam buku-buku hukum atau bahan hukum sekunder kemudian dilakukan analisis dan penyimpulan terhadap hasil pengolahan bahan hukum. 3.4. Analisis Bahan Hukum Kegiatan penelaahan dan interpretasi atas fakta-fakta hukum yang telah dikemukakan, dikaitkan dengan bahan-bahan hukum yang relevan.18 Analisis hukum dalam penelitian ini, dimulai dari peneliti melakukan telaah atas isu hukum dengan cara mengemukakan faktafakta hukum yang menimbulkan isu hukum, selanjutnya isu hukum itu dicocokkan atau ditelaah menurut bahan hukum primer sehingga dapat ditentukan: aturan mana yang digunakan, selanjutnya dilakukan interpretasi melalui doktrin-doktrin para ahli hukum yang terdapat dalam bahan hukum sekunder, dengan demikian peneliti dapat menjawab isu hukum yang dikemukakan.
B. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penyusunan dalam penelitian dibagi menjadi 4 (empat) Bab, dan tiap-tiap Bab dibagi dalam sub-bab yang disesuaikan dengan luas pembahasan. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
19
M. Syamsudin, 2008, Mahir Menulis Legal Memorandum, Kencana Prenada Media, Jakarta, Halaman. 45.
28
BAB IV SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I pendahuluaan yang mengemukakan tentang latar belakang,rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II akan diuraikan analisis tentang proses pelaksanaan penanganan delik aduan yang terjadi di Indoensia. Bab III akan diuraikan analisis kedudukan Penyidik terhadap pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Januari 2014 tentang perubahan atas redaksi kalimat pasal 335 KUHP. Bab IV berupa bab Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.