1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam utama berupa vegetasi/hutan, tanah dan air mempunyai peranan penting untuk kelangsungan pembangunan dan penghidupan masyarakat pada umumnya. Pembangunan merupakan suatu kenyataan yang harus kita terima sebagai
suatu
bentuk
pertumbuhan
dan
perkembangan
suatu
wilayah.
Keberhasilan pembangunan memberikan manfaat sosial dan ekonomi, namun kondisi ini juga seringkali berdampak sebaliknya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan termasuk lingkungan daerah aliran sungai (DAS). DAS Unda merupakan salah satu DAS yang besar dan memiliki fungsi strategis baik secara ekologis maupun ekonomi di Pulau Bali. Wilayah DAS Unda terbentang melintasi 3 kabupaten di Provinsi Bali dari Kabupaten Bangli, Karangasem hingga Klungkung sebagai hilirnya. Air sungai dari DAS Unda merupakan sumber air minum, sumber air bagi irigasi pertanian dan perikanan yang
digunakan
kabupaten-kabupaten
di
Bali
bagian
timur.
Pesatnya
pembangunan di Pulau Bali, berdampak terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di wilayah Bali, termasuk wilayah DAS Unda. Berbagai tekanan terhadap sumberdaya alam DAS tidak hanya terjadi di hilir tetapi juga di hulu DAS Unda. Di hulu DAS, tekanan tidak hanya terjadi di luar kawasan hutan tetapi juga di dalam kawasan hutan lindung. Kawasan hutan yang berada di bagian hulu DAS Unda merupakan kawasan hutan lindung. Saat ini, pada sebagian kawasan tersebut dirambah masyarakat
2
untuk hijauan tanaman pakan ternak terutama yang berbatasan langsung dengan lahan milik masyarakat. Di luar kawasan hutan, penambangan batu dan pasir marak dilakukan dengan menggunakan alat-alat berat. Pengolahan lahan pada lahan berbukit dengan kemiringan yang terjal untuk lahan budidaya tanaman semusim dengan minimnya penerapan teknologi pengolahan lahan. Asdak (2010) menyatakan bahwa lahan yang diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor. Sub DAS Telagawaja merupakan salah satu DAS yang berada di bagian hulu DAS Unda. Sebagai hulu DAS, Sub DAS Telagawaja berfungsi sebagai daerah konservasi, daerah tangkapan hujan dan daerah yang dikelola untuk mempertahankan lingkungan DAS Unda agar tidak terdegradasi. Tujuan pengelolaan Sub DAS Telagawaja adalah tetap terjaga dan terkendalinya erosi tanah, hasil air yang optimal, serta produktivitas dan daya dukung lahannya. Perubahan penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja dapat mengancam keberadaan fungsi hidrologis dari DAS Unda. Guna kesinambungan fungsi tersebut, diperlukan sistem pengelolaan yang terpadu dan sinerjik, hingga kesalahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja dapat dihindari. Untuk menghindarkan kesalahan dalam pengelolaan lahan pada wilayah Sub DAS Telagawaja perlu dibuat perencanaan arahan penggunaan lahannya. Untuk tujuan tersebut diperlukan data dan informasi kondisi karakteristik Sub DAS Telagawaja dimana salah satunya adalah dari aspek lahan. Penelitian berupa “Arahan Penggunaan Lahan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Telagawaja” ini dilakukan pengkajian terhadap kondisi karakteristik lahan, erosi dan tingkat
3
bahaya erosi yang terjadi, arahan klasifikasi fungsi kawasan serta alternatif tindakan konservasi tanah yang baik sebagai bentuk arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian tersebut di atas serta memperhatikan fungsi Sub DAS Telagawaja, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah kondisi karakteristik lahan pada Sub DAS Telagawaja?
2.
Bagaimanakah tingkat bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja?
3.
Bagaimanakah bentuk arahan klasifikasi fungsi kawasan pada Sub DAS Telagawaja?
4.
Bagaimanakah alternatif tindakan konservasi tanah yang baik sebagai bentuk arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja?
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh bentuk arahan penggunaan lahan di Sub DAS Telagawaja secara berkelanjutan. Sementara tujuan khusus yang ingin diperoleh adalah: 1.
Mengidentifikasi kondisi karakteristik lahan Sub DAS Telagawaja.
2.
Menentukan tingkat bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja.
3.
Menentukan arahan klasifikasi fungsi kawasan di Sub DAS Telagawaja.
4.
Merencanakan alternatif tindakan konservasi tanah yang baik sebagai bentuk arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja.
4
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan : 1. Teridentifikasinya kondisi karakteristik lahan pada Sub DAS Telagawaja 2. Diperolehnya data dan sebaran tingkat bahaya erosi di wilayah Sub DAS Telagawaja sehingga memudahkan dalam perencanaan arahan penggunaan lahan di Sub DAS Telagawaja. 3. Diperolehnya data dan sebaran arahan klasifikasi fungsi kawasan, sehingga dapat memberikan informasi mengenai peruntukan fungsi kawasan pada Sub DAS Telagawaja, 4. Diperolehnya arahan atau alternatif penggunaan lahan dengan menerapkan tindakan konservasi tanah yang tepat sehingga mampu mengendalikan erosi pada tingkat erosi yang diperkenankan. Dengan diperolehnya data dan informasi tersebut, memberikan pengaruh positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya khususnya bidang rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi tanah sehingga dapat dipergunakan untuk merencanakan kebijakan dan strategi pengelolaan lahan DAS, khususnya Sub DAS Telagawaja.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) memiliki 3 komponen utama yang menjadi ciri khas atau penciri utamanya, yaitu: (1) suatu wilayah yang dibatasi oleh puncak gunung/bukit dan punggung/igir-igirnya; (2) hujan yang jatuh di atasnya diterima, disimpan, dan dialirkan oleh sistem sungai; dan (3) sistem sungai itu keluar melalui satu outlet tunggal. Selanjutnya beberapa ahli DAS membuat suatu kesimpulan bahwa DAS merupakan: (1) suatu wilayah bentang lahan dengan batas topografi; (2) suatu wilayah kesatuan hidrologi; dan (3) suatu wilayah kesatuan ekosistem (Kementerian Kehutanan, 2013). Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Peraturan Pemerintah Nomor 37, 2012). Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis di dalam Sub-sub DAS (Kementerian Kehutanan, 2013). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta
6
meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2009b) Asdak (2010) menyatakan bahwa secara konseptual, pengelolaan DAS dipandang sebagai suatu sistem perencanaan terhadap: (1) aktivitas pengelolaan sumberdaya termasuk tata guna lahan, praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya setempat dan praktek pengelolaan sumberdaya di luar daerah kegiatan program atau proyek; (2) alat implementasi untuk menempatkan usahausaha pengelolaan DAS se-efektif mungkin melalui elemen-elemen masyarakat dan perseorangan; dan (3) pengaturan organisasi dan kelembagaan di wilayah proyek dilaksanakan. Effendi (2007) menyatakan bahwa dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat
7
bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Keterpaduan biofisik tersebut menyebabkan DAS harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh menyeluruh yang terdiri dari sumber-sumber air, badan air, sungai, danau, dan waduk yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahpisahkan (Departemen Kehutanan, 2001). 2.2 Erosi Tanah Arsyad (2010) menyatakan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi oleh (1) kehilangan
unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2)
terakumulasinya garam di daerah perakaran (salinitas), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tumbuhan, (3) penjenuhan tanah oleh air (water logging), dan (4) erosi. Erosi yang terjadi dalam keadaan alami (yaitu ketika permukaan tanah dan penutup vegetasi asli belum terganggu oleh kegiatan manusia) disebut erosi alami atau erosi geologi. Sebaliknya, bila lahan hutan ditebang atau padang rumput dirusak, proses erosi dipercepat, dan kita mendapatkan erosi tanah. Bilamana erosi dipercepat sebagai akibat kegiatan manusia sehingga menghilangkan seluruh atau sebagian tanah atas, proses tersebut disebut erosi tanah (Foth, 1994). Erosi tanah terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari masa tanah dan tahap pengankutan oleh media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk
8
mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan (Suripin, 2002). Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa masuk sumber air yang dinamai sedimen, akan diendapkan di tempat yang aliran airnya melambat; di dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan sebagainya. Dengan demikian, maka kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi di dua tempat, yaitu (1) pada tanah tempat erosi terjadi, dan (2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Dampak Erosi Tanah Bentuk Dampak - Langsung
Dampak di Tempat Kejadian Erosi - Kehilangan lapisan tanah yang relatif kaya unsur hara dan bahan organik, dan memiliki sifat-sifat fisik yang baik bagi tempat akar tanaman berjangkar - Meningkatnya penggunaan energi untuk berproduksi - Kemrosotan produktivitas tanah atau bahkan menjadi tidak dapat digunakan untuk berproduksi - Kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya - Pemiskinan petani penggarap dan/atau pemilik tanah
- Tidak Langsung - Berkurangnya altermatif penggunaan lahan - Timbulnya dorongan atau tekanan untuk membuka lahan baru dengan membabat hutan - Timbulnya keperluan penyediaan dana untuk perbaikan bangunan konservasi yang rusak Sumber: Arsyad, 2010
Dampak di Luar Tempat Kejadian Erosi - Pelumpuran atau sedimentasi dan pendangkalan waduk, sungai, saluran irigasi, muara sungai, pelabuhan dan badan air lainnya. - Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan rumah atau bangunan lainnya - Mnghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air - Kerusakan ekosistem perairan (tempat bertelur ikan, terumbu karang dan sebaginya) - Kehilangan nyawa oleh banjir di musim hujan dan meningkatnya ancaman kekeringan pada musim kemarau - Kerugian sebagai akibat memendeknya umur guna waduk dan saluran irigasi dan tidak berfungsinya badan air lainnya
9
Erosi sangat merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif singkat, tanah lapisan atas yang subur hilang. Sebagai contoh, tanah Latosol (Inceptisol) pada kemiringan lahan 14% di Citayam, Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi tanah, mengalami kehilangan tanah setebal 2,50 cm tahun-1 dan penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun. Jika tanah yang hilang setebal 10 cm, maka produksi dapat menurun lebih dari 50% meskipun dilakukan pemupukan lengkap (Suwardjo, 1981). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas tanah karena erosi, antara lain: adanya penurunan kandungan bahan organik tanah dan adanya penurunan kandungan dan/atau ketersediaananya dan kekurangan air (Utomo, 1989 dalam Rahim, 2006). Asdak (2010) menyatakan bahwa lahan yang diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor. Lebih lanjut disebutkan bahwa kegiatan tata guna lahan yang bersifat mengubah bentang alam dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) seringkali dapat mempengaruhi hasil air (water yield). Pada batas tertentu, kegiatan tersebut juga dapat mempengaruhi kondisi kualitas air termasuk air Sungai Telagawaja. Susila (2012) melaporkan bahwa kualitas air Sungai Telagawaja telah mengalami penurunan. Konsentrasi Fosfat 1,5083 mg liter-1 – 1,7052 mg liter-1 melebihi baku mutu air kelas III yaitu > 1 mg liter-1. Konsentrasi fosfat yang tinggi mengindikasikan banyaknya masukan ke dalam badan air yang bisa bersumber dari pupuk yang terbawa limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk (Effendi, 2003).
10
2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah meliputi hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng, penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah. Faktorfaktor tersebut dalam mempengaruhi erosi tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya (Rahim, 2006). Hardjowigeno (1995) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi adalah: (1) curah hujan, (2) sifat-sifat tanah, (3) lereng, (4) vegetasi, dan (5) manusia. Untuk di Indonesia yang beriklim tropis, hujan merupakan faktor yang paling penting dalam erosi tanah. Karakteristik hujan yang mempunyai pengaruh terhadap erosi tanah meliputi: (1) jumlah hujan, yang menunjukan banyaknya air hujan selama terjadinya hujan dalam kurun waktu satu bulan atau satu tahun, (2) intensitas hujan, yang menunjukkan banyaknya curah hujan persatuan waktu dan dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam, (3) distribusi hujan, yang menunjukan penyebaran waktu terjadinya hujan. Dari ketiga karakteristik hujan tersebut yang besar pengaruhnya terhadap erosi tanah adalah intensitas hujan. Erosi air timbul apabila aksi dispersi dan tenaga pengangkut oleh air hujan mengalir ada di permukaan dan atau di dalam tanah. Erosi dapat terjadi melalui adanya tahapan-tahapan yang dimulai dengan adanya benturan butir-butir hujan dengan tanah, percikan tanah oleh butir hujan ke semua arah, penghancuran bongkah tanah oleh butiran hujan, pemadatan tanah, penggenangan air di permukaan, pelimpasan air karena adanya penggenangan dan kemiringan lahan
11
dan pegangkutan partikel terpercik dan/atau massa tanah yang terdispersi oleh air limpasan (Morgan, 1988 dalam Rahim, 2006). Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau permeabilitas tanah dan kandungan bahan organik. Tanah dengan tekstur kasar seperti pasir tahan terhadap erosi karena untuk mengangkut butir-butir yang besar diperlukan energi yang besar pula. Demikian pula terhadap tanah dengan tekstur halus seperti liat tahan terhadap erosi karena daya kohesinya yang kuat sehingga gumpalan-gumpalannya sukar untuk dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Bentuk struktur tanah yang bulat (granular, remah, gumpal membulat) menghasilkan tanah dengan porositas tinggi sehingga air mudah meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan menjadi kecil sehingga erosi menjadi kecil. Pada struktur tanah yang mantap tidak akan mudah hancur oleh pukulan air hujan, yang pada akhirnya membuat tanah tahan terhadap erosi. Sebaliknya pada struktur tanah yang tidak mantap, sangat mudah hancur menjadi butiran halus jika terkena pukulan air hujan yang akhirnya menyumbat pori-pori tanah yang berakibat aliran permukaan meningkat sehingga erosi juga meningkat. Daya infiltrasi tanah yang besar, menunjukan air mudah meresap ke dalam tanah sehingga aliran permukaan kecil yang berakibat pada mengecilnya jumlah erosi. Daya infiltrasi tanah dipengaruhi oleh porositas dan kemantapan struktur tanah. Kandungan bahan organik dalam tanah akan menentukan kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah.
12
Tanah yang cukup mengandung bahan organik umumnya mempunyai struktur tanah yang mantap sehingga tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2 % umumnya peka terhadap erosi (Morgan, 1979 dalam Hardjowigeno, 1995). Lereng yang semakin curam atau panjang akan meningkatkan besarnya erosi. Jika lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kapasitas daya angkut meningkat. Lereng yang semakin panjang, berarti volume air yang mengalir semakin besar dan aliran juga semakin besar sehingga benda yang bisa diangkut akan semakin banyak (Arsyad, 2010). Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalagi air hujan agar tidak langsung jatuh di permukaan tanah sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah berkurang, menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air meresap ke dalam tanah. Kegiatan manusia merupakan salah satu faktor paling penting terhadap terjadinya erosi tanah. Kegiatan-kegiatan tersebut kebanyakan berkaitan dengan perubahan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi, misalnya perubahan penutupan tanah akibat penggundulan/pembabatan hutan untuk pemukiman, lahan pertanian, dan gembalaan. 2.2.2 Prediksi Kehilangan Tanah Untuk mengetahui besarnya erosi pada satuan unit lahan perlu dilakukan pendugaan/prediksi erosi. Tujuan dilakukan pendugaan erosi adalah untuk meramalkan besarnya erosi yang telah, sedang dan/atau akan terjadi pada suatu satuan unit lahan dengan atau tanpa pengelolaan tertentu serta memilih praktek
13
penggunaan lahan dalam arti luas yang mempunyai produktivitas tinggi dan berkelanjutan. Pendugaan erosi bisa dilakukan di laboratorium, lapangan atau pendekatan permodelan dengan menggunakan model matematika sebagaimana dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE). Penelitian pendugaan erosi dengan pendekatan matematika sudah banyak dilakukan, antara lain: Mario (2004) melaporkan bahwa DAS Banyumala Kabupaten Buleleng menunjukkan tingkat bahaya erosi (TBE) sangat berat (699,20 ha atau 19,6%), berat (432,92 ha atau 12,2%), sedang (1.166,22 ha atau 32,8%), ringan (1.261,93 ha atau 35,4%). Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) dan erosivitas hujan memberikan kontribusi paling tinggi dalam menimbulkan erosi. Mahmud (2007) melaporkan bahwa di wilayah DAS Otan Kabupaten Tabanan menunjukkan (TBE) yang bervariasi dari sangat ringan sampai sangat berat. TBE sangat berat mencapai 326,08 ha. Faktor pemberat yang menjadikan sebagian DAS tersebut masuk dalam kategori sangat berat adalah kemiringan lereng, penutupan lahan, dan pengelolaan lahan dengan pembuatan teras yang kurang baik. 2.2.3 Erosi yang Diperkenankan (Edp) Drajat dan Notohadipurwo (1982) menyebutkan bahwa erosi merupakan gejala alam yang wajar bahkan dalam suatu ekosistem yang utuhpun erosi tanah tetap berlangsung. Erosi berjalan seimbang dengan laju pembentukan tanah, sehingga tanah mengalami peremajaan secara seimbang. Besarnya erosi yang
14
diperkenankan merupakan besarnya erosi yang tidak melebihi laju pembentukan tanah. Arsyad (2010) menyatakan bahwa erosi alami merupakan proses pengangkutan tanah atau bagian-bagian tanah yang terjadi di bawah keadaan alami. Erosi alami terjadi dengan laju yang lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal dan mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Laju erosi yang dinyatakan dalam mm tahun-1 atau ton hektar-1 tahun-1 yang terbesar dan masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan yang bisa dinyatakan dengan notasi Edp. 2.3 Peruntukan Fungsi Kawasan Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual Arsyad (2010). Kartasapoetra (1985), menyatakan bahwa pengelolaan lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi. Bentuk pengelolaan lahan yang baik adalah dapat menciptakan suatu keadaan yang mirip dengan keadaan alamiahnya (Arsyad, 2010). Penggunaan lahan, selain menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh penduduk juga tidak lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan pada lahan itu sendiri. Kerusakan ini terjadi salah satu penyebabnya adalah erosi yang
15
disebabkan karena pengelolaan lahan belum menerapkan konservasi tanah dan air yang baik. Menteri
Pertanian
mengeluarkan
Surat
Keputusan
Nomor:
837/Kpts/Um/11/1980 dan Nomor: 683/Kpts/Um/8/1981 untuk mengatur penggunaan lahan guna melindungi kepentingan hidroorologi suatu wilayah menjadi fungsi lindung dan produksi dengan memperhatikan faktor-faktor dan diperhitungkan di dalam penetapan kesesuaian fungsi kawasan adalah lereng lapangan, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi serta intensitas hujan dari wilayah yang bersangkutan. Undang-undang Penataan Ruang Nomor: 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Lebih lanjut dinyatakan dalam rangka upaya pelestarian lingkungan, dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 menjelaskan bahwa wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang
16
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir, erosi, dan pemeliharaan kesuburan tanah. Asdak (2010) menyebutkan bahwa arahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi yang berkaitan dengan karakteristik fisik DAS berikut ini: a. kemiringan lereng b. jenis tanah menurut kepekaanya terhadap erosi c. curah hujan harian rata-rata. Rahim (2006) menyebutkan lahan-lahan di Indonesia dapat diperuntukan ke dalam satu atau lebih dari katagori dari peruntukan berikut: (1) kawasan lindung; (2) kawasan penyangga; (3) kawasan budidaya tanaman tahunan; (4) kawasan budidaya tanaman semusim; dan (5) kawasan permukiman.
17
2.4 Perencanaan Teknik Konsevasi Tanah Arsyad (2010) menyatakan bahwa konservasi tanah dalam arti luas adalah penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Konservasi tanah adalah masalah menjaga agar tanah tidak terdispersi, dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan agar tidak terjadi pengangkutan tanah. Metode konservasi tanah dapat digolongkan ke dalam tiga golongan utama, yaitu (1) metode vegetatif, (2) metode mekanik dan (3) metode kimia (Arsyad, 2010). Asdak (2010) menyebutkan bahwa langkah pertama yang harus ditempuh dalam perencanaan tanah adalah melakukan inventarisasi dan klasifikasi tanah untuk pemanfaatan tanah yang paling optimal. Dalam konteks program konservasi tanah perlu menentukan tingkat bahaya erosi (TBE), suatu informasi penting untuk memulai aktivitas konservasi tanah. Untuk menentukan tingkat bahaya erosi suatu bentang lahan diperlukan kajian terhadap empat faktor sebagai berikut: a. Jumlah, tipe dan waktu berlangsungnya hujan serta faktor-faktor yang berkaitan dengan unsur iklim. b. Jumlah dan tipe tumbuhan penutup tanah. c. Tingkat erodibilitas di daerah kajian. d. Kemiringan lereng.
18
Salah satu upaya konservasi tanah guna memulihkan dan menjaga kelestarian sumberdaya lahan adalah rehabilitasi. Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar (2009) menjelaskan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Selanjutnya Asdak (2010) menyebutkan bahwa rehabilitasi merupakan salah satu aspek konservasi tanah yang bertujuan untuk memulihkan atau memperbaiki keadaan lahan kritis sehingga dapat berfungsi sebagai media produksi dan mengatur tata air yang baik sedangkan konservasi
tanah
adalah
upaya
mempertahankan,
merehabilitasi
dan
meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan kelas kemampuannya. Perencanaan atau pemilihan teknik konservasi tanah dan air dilakukan dengan membandingkan besarnya prediksi erosi dengan erosi yang dapat ditoleransikan. Tujuannya adalah untuk mengurangi besarnya prediksi erosi sampai pada tingkat yang lebih kecil dari laju erosi yang dapat diperkenankan. Untuk menjaga agar tanah yang hilang melalui erosi tetap berada di bawah laju erosi yang masih dapat diperkenankan, maka jenis tanaman dan sistem pertanaman serta penerapan teknik konservasi tanah harus sedemikian rupa, agar nilai factor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman (CP) tidak melebihi rasio total erosi (Adnyana, 2000).
19
BAB III KERANGKA PIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung kepada lingkungan yang memberikan sumber daya alam untuk tetap bertahan hidup. Mengingat adanya keterbatasan daya dukung (carrying capacity) lingkungan, manusia harus memperhatikan kelestarian lingkungan agar fungsi-fungsi lingkungan masih dapat berjalan sehingga tetap memberikan keuntungan bagi manusia. Eksploitasi sumber daya alam ataupun perusakkan lingkungan atas nama pembangunan yang berlebihan karenanya akan berdampak buruk bagi kualitas lingkungan dalam menjalankan fungsinya yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidup dan bahkan keberlangsungan hidup manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Pertumbuhan pembangunan, berimplikasi pada pemanfaatan sumberdaya alam termasuk lahan yang kurang sesuai dengan peruntukannya. Pemanfaatan sumber daya lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat memicu terjadinya penurunan kualitas lingkungan termasuk lingkungan daerah aliran sungai (DAS). Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan DAS adalah erosi. Upaya meminimalisir dampak dari tekanan yang terjadi dalam rangka mempertahankan serta memulihkan fungsinya, DAS Unda ditetapkan sebagai DAS Prioritas melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.328/Menhut-II/2009. Ditetapkannya DAS Unda sebagai salah satu DAS
20
Prioritas dimaksudkan agar kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan reboisasi, penghijauan, dan konservasi tanah dan air, baik vegetatif, agronomis, struktural, maupun manajemen menjadi skala prioritas (Departemen Kehutanan, 2009a). Tujuannya adalah agar pemanfaatan sumber daya lahan DAS Unda bisa bermanfaat secara lestari dan berkesinambungan baik secara ekologi maupun ekonomi. Wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan bagian dari wilayah DAS Unda yang berada di hulu. Sebagai hulu DAS, Sub DAS Telagawaja merupakan daerah konservasi yang difungsikan sebagai daerah tangkapan air. Aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilakukan di daerah hulu DAS tidak hanya memberikan dampak di daerah tersebut dilakukan tetapi juga memberikan dampak terhadap daerah di bawahnya. Sehingga pengelolaan lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja menjadi penting dilakukan. Guna kepentingan penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja perlu dibuat sebuah perencanaan untuk menghindari kesalahan di dalam pengelolaannya, maka dari itu perlu dikenali karakteristiknya termasuk di dalamnya karakteriktik lahan. Kondisi karakteristik Sub DAS Telagawaja meliputi: iklim, jenis tanah dan geomorfologi/ bentuk lahan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Identifikasi karakteristik fisik lahan menggambarkan kondisi lahan Sub DAS Telagawaja saat ini. Diketahuinya kondisi fisik lahan digunakan sebagai input di dalam analisis selanjutnya sesuai dengan tujuan penelitian.
21
Erosi tanah terjadi sebagai dampak dari pemanfaatan lahan yang telah dilakukan pada berbagai penggunaan lahan saat ini. Prediksi laju dan besaran erosi dihitung dengan menggunakan Rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) dari Wischmeier dan Smith (1978). Tingkat bahaya erosi (TBE) mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departeman Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dengan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Arahan penggunaan lahan dilakukan setelah diketahui kondisi fisik lahan dan tingkat erosi yang telah terjadi di wilayah Sub DAS Telagawaja. Bentuk arahan penggunaan lahan dimaksudkan untuk melindungi lahan tersebut dari kerusakan akibat penggunaan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Arahan klasifikasi fungsi kawasan berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor: 837/KPTS/Um/11/1980 dan Nomor: 683/KPTS/Um/8/1981 tentang kriteria penetapan fungsi kawasan lindung dan budidaya dinilai berdasarkan klasifikasi skor jenis tanah, intensitas hujan dan kelerengan kawasan. Analisis ini memberikan arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja secara makro meliputi; kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman tahunan, kawasan budidaya tanaman semusim dan kawasan permukiman. Perencanaan arahan penggunaan lahan di Sub DAS Telagawaja dengan menerapkan alternatif tindakan konservasi tanah didasarkan pada keadaan fisik lahan saat ini, tingkat erosi yang terjadi dan kesesuaian klasifikasi fungsi kawasannya. Perencanaan tindakan konservasi tanah yang baik adalah dengan
22
menerapkan pola pertanaman yang sesuai dan mampu menekan erosi serta mewujudkan optimalisasi pemanfaatan Sub DAS Telagawaja yang berazaskan kelestarian dan berkelanjutan. Agar erosi dapat ditekan dan tanah tetap lestari, maka nilai prediksi erosi aktual (A) harus diturunkan menjadi sama atau dibawah erosi toleransi (Edp). Hasil akhir dari penelitian ini dapat disajikannya data dan informasi baik angka maupun spasial meliputi: kondisi biofisik lahan, tingkat bahaya erosi, arahan klasifikasi fungsi kawasan, serta bentuk alternatif tindakan konservasi tanah sebagai bentuk arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja. Untuk lebih jelasnya diagram kerangka alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. 3.2 Konsep Penelitian Karakteristik lahan merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungan. Karakteristik lahan Sub DAS Telagawaja merupakan sifat atau karakter fisik yang dimiliki oleh Sub DAS Telagawaja. Setiap DAS/Sub DAS memiliki karakter lahan yang berbeda-beda termasuk Sub DAS Telagawaja. Diketahuinya karakteristik lahan suatu DAS/Sub DAS akan memudahkan perencanaan pembangunan DAS/Sub DAS itu sendiri. Erosi merupakan aspek penting di dalam pengelolaan lahan. Erosi dipengaruhi oleh besarnya intensitas curah hujan, jenis tanah, topografi, penutupan lahan, serta tindakan pengelolaan lahan. Perhitungan perkiraan laju dan sebaran erosi dilakukan agar diketahui tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi.
23
Penggunaan lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi. Penggunaan lahan memberikan manfaat yang optimal secara ekologis maupun ekonomis jika dilakukan sesuai dengan karakteristik dan peruntukannya. Arahan penggunaan lahan dilakukan dilakukan dengan menerapkan alternatif tindakan konservasi tanah didasarkan pada kondisi karakteristik lahan saat ini, erosi yang terjadi dan disesuaikan dengan tingkat bahayanya, serta kesesuaian arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja. Melalui upaya tersebut, tingkat bahaya erosi lahan dapat ditekan dan dikendalikan sehingga sumberdaya lahan Sub DAS Telagawaja menjadi optimal dan lestari. 3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah dengan lahan yang rentan terjadi erosi tanah.
2.
Pada Sub DAS Telagawaja telah terjadi erosi berat sampai sangat berat.
3.
Arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja merupakan kawasan dengan fungsi lindung.
4.
Penerapan alternatif teknik konservasi tanah yang sesuai mampu menekan erosi sampai pada erosi yang tidak membahayakan pada wilayah Sub DAS Telagawaja.
24
Latar belakang
Tekanan terhadap Sumber Daya Alam dan lingkungan DAS Unda
Sub DAS Telagawaja sebagai Hulu DAS
Unda
Bagaimanakah kondisi karakteristik lahan, arahan klasifikasi fungsi kawasan, tingkat bahaya erosi, dan tindakan konservasi tanah dan air di Sub DAS Telagawaja
Perumusan masalah
Tujuan Penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja yang berkelanjutan
Analisis
Identifikasi Karakteristik Lahan
Analisis arahan klasifikasi fungsi kawasan
Arahan/ Rekomendasi Penggunaan Lahan
Hasil Penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja yang berkelanjutan dan lestari
Gambar 3.1. Kerangka alur pikir penelitian
Analisis Tingkat Bahaya Erosi
25
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Telagawaja. Secara geografis Sub DAS Telagawaja terletak diantara
08016’49,481” - 08030’29,371” LS dan
115023’30,81” - 115030’17,745” BT. Secara administratif wilayah Sub DAS Telagawaja teletak di wilayah Kabupaten Bangli, Karangasem dan Kabupaten Klungkung dengan luas 11.115,59 Ha. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.1.
a
b
c
d
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian a) Pulau Bali; b) Kabupaten Karangasem; c) DAS Unda; d) Sub DAS Telagawaja
26
4.1.2 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai dengan April 2014. 4.2 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi; 1. Mengidentifikasi kondisi karakteristik fisik lahan pada Sub DAS Telagawaja meliputi antara lain: iklim, jenis tanah, bentuk lahan, kelerengan dan penutupan lahan. 2. Menentukan tingkat bahaya erosi (TBE) mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departeman Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 dengan membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dengan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Tingkat erosi dihitung dengan menggunakan Rumus Universal Soil Loss Equation (USLE). 3. Menentukan arahan klasifikasi fungsi kawasan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/Um/11/1980 dan Nomor: 683/Kpts/Um/8/1981 tentang kriteria penetapan fungsi kawasan lindung dan fungsi produksi dinilai berdasarkan klasifikasi skor jenis tanah, intensitas hujan harian rata-rata dan kelerengan lahan. 4. Menentukan alternatif tindakan konservasi tanah sebagai bentuk arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja didasarkan pada keadaan fisik lahan saat ini, kesesuaian peruntukan fungsi lahan, dan tingkat erosi yang terjadi.
27
4.3 Jenis dan Sumber Data Pada dasarnya penelitian merupakan upaya mengumpulkan data dan informasi untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder . 4.3.1 Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan untuk memperoleh data: 1.
kondisi penutupan lahan, jenis vegetasi dominan serta pengelolaan/tindakan konservasi tanah untuk menentukan faktor nilai CP/VM melalui kegiatan pengecekan lapangan di wilayah Sub DAS Telagawaja.
2.
struktur, tekstur, persentase pasir halus, permeabilitas, serta persentase kandungan bahan organik di dalam tanah diperoleh melalui pengambilan sampel tanah dan selanjutnya dilakukan analisis di laboratorium untuk mengetahui nilai erodibilitas tanah (K) di wilayah Sub DAS Telagawaja.
4.3.2 Data Sekunder Data sekunder berasal dari: 1.
Instansi-instansi/dinas terkait dalam pengelolaan Sub DAS Telagawaja yang ada di Provinsi Bali.
2.
Laporan-laporan hasil penelitian atau studi tentang DAS/Sub DAS, erosi lahan, arahan penggunaan lahan baik yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah, Lembaga Swasta maupun Perguruan Tinggi.
3.
Peta-peta yang berhubungan dengan lokasi dan topik penelitian, seperti peta rupa bumi, peta tanah, peta penutupan lahan, peta topografi, peta geologi,
28
peta bentuk lahan, peta kelerengan lahan, peta iklim dan peta-peta lain yang berkaitan dengan lokasi penelitian. 4.4
Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi kondisi Sub DAS Telagawaja Variabel yang diamati dalam mengidentifikasi kondisi Sub DAS Telagawaja meliputi antara lain: iklim, jenis tanah, bentuk lahan, kelerengan dan penutupan lahan. 4.4.2 Tingkat bahaya erosi Variabel yang diamati dalam menentukan tingkat bahaya erosi meliputi: prediksi erosi actual dan kedalaman tanah. 4.4.3 Arahan klasifikasi fungsi kawasan Pengamatan yang diamati dalam menentukan kesesuaian peruntukan penggunaan lahan berdasarkan arahan klasifikasi fungsi kawasan teridi atas: jenis tanah, intensitas rata-rata curah hujan dan kelerengan lahan. 4.5 Peralatan dan Bahan Penelitian Alat-alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Data curah hujan bulanan rata-rata selama 10 tahun terakhir (tahun 2004 s/d 2013) di lokasi penelitian; 2. Daftar isian dan alat-alat tulis untuk mencatat data lapangan; 3. Rol meter/meteran 4. Bor tanah
29
5. Pisau tanah, plastik, ring sampel, dan peralatan laboratorium untuk analisis tanah. Bahan lain yang diperlukan dalam penelitian ini adalah peta tematik Sub DAS Telagawaja dengan skala 1 : 50.000, diantaranya : 1. Peta administrasi Sub DAS Telagawaja 2. Peta bentuk lahan Sub DAS Telagawaja 3. Peta kemiringan lahan Sub DAS Telagawaja 4. Peta penutupan lahan Sub DAS Telagawaja 5. Peta jenis dan solum tanah Sub DAS Telagawaja 6. Peta penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja 7. Peta batas Sub DAS Telagawaja Dalam penelitian ini juga digunakan beberapa jenis alat pendukung berupa peralatan lapangan dan peralatan meja diantaranya adalah : 1. Perangkat komputer dengan kelengkapannya serta sudah dilengkapai dengan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG), diperlukan untuk analisis data, peta, dan penyusunan laporan penelitian. 2. Peralatan laboratorium tanah digunakan untuk menganalisis sampel tanah. 3. Kalkulator, digunakan untuk menghitung data hasil pengukuran. 4. Kamera digital untuk pengambilan gambar di lapangan dan binokuler. 5. Perangkat GPS (Global Positioning System), untuk menentukan posisi pengambilan data di lapangan.
30
4.6
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini diawali dengan:
1. Pembuatan peta satuan unit lahan. Pembuatan peta unit lahan didasarkan atas peta kelerengan tanah, peta geomorfologi (bentuk lahan), dan peta liputan lahan Sub DAS Telagawaja. Unit lahan adalah merupakan gambaran unsur lahan yang kurang lebih sama, yaitu kesamaan dalam topografi, proses pembentukan, kemiringan lereng, dan tutupan vegetasinya. Penggambaran unsur unit lahan ke dalam satu kesatuan pemetaan dilakukan dengan cara tumpang susun. Satuan unit lahan ini merupakan tempat dilaksanakannya pengamatan dan analisis data untuk mencapai tujuan penelitian. 2. Survey pendahuluan Survey pendahuluan dilaksanakan untuk dapat melakukan persiapan lapangan seperti mencocokan lokasi penelitian di peta dengan di lapangan serta mengidentifikasi para pihak yang terkait dalam pengelolaan Sub DAS Telagawaja. 3. Survey utama Survey utama merupakan kegiatan pengamatan vegetasi penutup lahan dan pengelolaan lahan (faktor CP/VM) serta pengambilan sampel tanah. Pengamatan faktor CP/VM dilakukan pada setiap satuan unit lahan untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi penutup lahan serta pengelolaan lahan yang telah dilakukan pada unit lahan tersebut. Pengambilan sampel tanah didasarkan pada jumlah jenis tanah yang ada di Sub DAS Telagawaja. Pengambilan sampel tanah selanjutnya dilakukan dengan cara membagi wilayah ke dalam kelompok yang homogen, sehingga terbentuk
31
tingkatan kelompok yang disebut strata. Sampel tanah dari lapangan di analisis di laboratorium pada Laboratorium Tanah Universitas Udayana untuk mengetahui sifat fisik tanah berupa tekstur, struktur, persentase pasir halus, permeabilitas dan persentase bahan organik tanah yang selanjutnya diolah untuk menentukan nilai indek erodibilitas tanah (K). 4. Observasi dan wawancara Observasi dan wawancara dilakukan guna melengkapi informasi yang dikumpulkan dari lapangan dan sumber-sumber lain dalam rangka mempertajam analisis dalam rangka mencapai tujuan penelitian. 5. Pengolahan data dan penyusunan laporan penelitian. 4.7 Analisis Data Dalam
penelitian
ini
dilakukan
beberapa
tahapan
analisis
dengan
memperhatikan faktor fisik kawasan Sub DAS Telagawaja. Output analisis akan dijadikan sebagai indikator input untuk analisis arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja. Secara lengkap kerangka analisis penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2. 4.7.1 Identifikasi Karakteriktik Lahan Sub DAS Telagawaja Identifikasi karakteristik lahan menggunakan data sekunder yang telah ada dengan menganalisis peta-peta tematik dalam format digital dengan aplikasi GIS antara lain peta jenis dan kedalaman tanah, topografi, geomorfologi serta penutupan lahan Sub DAS Telagawaja.
32
INPUT - Luas Sub DAS - Penutupan lahan - Geomorfologi, - Jenis tanah, - Kelerengan - Curah hujan
- Jenis tanah, - Kelerengan - Data curah hujan
-
-
Erosivitas Hujan (R), Erodibilitas tanah (K) Panjang dan Kemiringan lereng (LS) Indeks Penutupan lahan dan pengeolaan lahan (CP/VM)
PROSES Identifikasi Karakteristik Sub DAS Telagawaja
Analisis Kesesuaian fungsi lahan Sub DAS Telagawaja Kriteria Kesesuaian berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/Um/1 1/1980 dan 6383/KPTS/Um/8/1 981
Analisis tingkat dan sebaran erosi dengan persamaan USLE (universal Soil loss Equation) A=RKLSCP dan Keputusan Dirjen RRL Departeman Kehutanan No: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998
Gambar 4.2 Kerangka analisis
OUTPUT
Karakteristik lahan Sub DAS Telagawaja
Arahan Kalasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja
Tingkat Bahaya erosi: SR (Sangat Ringan), R (Ringan), S (Sedang), B (Berat), SB ( Sangat berat)
Arahan penggunaan lahan (alternatif tindakan konservasi tanah)
Penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja yang berkelanjutan dan lestari
4.7.2 Analisis Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi 4.7.2.1 Prediksi Laju dan Sebaran Erosi Untuk memprediksi erosi di daerah pertanian menggunakan persamaan sesuai dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978), dengan persamaan sebagai berikut : A = RKLSCP ............................................................................................ (1) Pendugaan erosi pada daerah non pertanian (hutan) menggunakan persamaan USLE yang disempurnakan oleh Snyder (1980) dalam Asdak (2010) yaitu : A = RKLSVM .......................................................................................... (2) dimana : A
=
Jumlah tanah yang hilang (ton hektar-1 tahun-1)
R
=
Indeks erosivitas hujan
K
=
Indeks erodibilitas tanah
LS
=
Indeks panjang dan kemiringan lereng
C
=
Indeks pengelolaan tanaman
P
=
Indeks upaya konservasi tanah
VM
=
Faktor konservasi tanah dan sistem pertanaman
Besarnya erosi yang terjadi diperoleh dari hasil perkalian dari masingmasing parameter dalam persamaan USLE. Besarnya erosi secara spasial diperoleh dengan melakukan proses tumpang susun peta masing-masing parameter tersebut.
4.7.2.1.1 Indeks Erosivitas Hujan (R) Indeks erosivitas hujan diperoleh dengan menggunakan rumus Bols (1978) dalam Asdak (2010), dengan persamaan sebagai berikut : EI30 = 6,12 x (RAIN)1,21 x (DAYS) -0,47 x (MAX P) 0,53 ............................... (3) dimana : EI30
=
erosivitas hujan rata-rata tahunan
(RAIN)
=
curah hujan rata-rata tahunan (cm)
(DAYS)
=
jumlah hari hujan rata-rata per tahun (hari)
(MAX P)
=
curah hujan maksimum rata-rata dalam 24 jam per bulan untuk kurun waktu satu tahun (cm)
4.7.2.1.2 Indeks Erodibilitas Tanah ( K ) Indeks erodibilitas tanah menunjukkan tingkat kerentanan tanah terhadap erosi, yaitu retensi partikel terhadap pengikisan dan perpindahan tanah oleh energi kinetik air hujan. Tekstur tanah yang sangat halus akan lebih mudah hanyut dibandingkan dengan tekstur tanah yang kasar. Kandungan bahan organik yang tinggi akan menyebabkan nilai erodibilitas tinggi. Sifat fisik tanah dalam kaitannya dengan konservasi tanah dan air adalah tekstur, struktur, infiltrasi dan kandungan bahan organik. Indeks erodibilitas tanah (K) didapatkan dari persamaan Wischmeier dan Smith (1978). Parameter yang dipakai untuk menentukan nilai K ini adalah kandungan bahan organik, tekstur, struktur, dan permeabilitas tanah, yaitu: 100 K = 2,1 M 1,14(10-4) (12–a) +3,25x(b-2)+2,5x(c-3)......................…. (4)
dimana : K
=
erodibilitas tanah
M
=
Persentase ukuran partikel % debu + pasir sangat halus (diameter 0,05 - 0,02 dan 0,1 - 0,05 mm) x (100 - % liat)
a
=
Persen bahan organic
b
=
Kode klasifikasi struktur tanah (granular, platy,massive. dll)
c
=
Permeabilitas tanah
Perkiraan besarnya nilai erodibilitas tanah dapat diketahui berdasarkan data persentase debu, dan pasir sangat halus, pasir, bahan organik, struktur dan permeabilitas tanah seperti ditunjukan nomograf pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Nomograf untuk menentukan erodibilitas tanah K (Wischmeir dan Smith, 1978)
Adapun cara penggunaan nomograf tersebut adalah sebagai berikut: a. persentase debu dan pasir sangat halus ditetapkan pada titik yang bersesuaian pada sumbu tegak sebelah kiri dari nomograf b. ditarik garis horizontal memotong garis yang menunjukan persentase pasir c. dari titik perpotongan ini ditarik garis vertikal hingga memotong persentase bahan organik d. dari perpotongan garis horizontal ke kanan hingga memotong kelas struktur tanah e. dari titik perpotongan ini ditarik garis vertikal hingga memotong kelas permeabilitas tanah f.
dari titik perpotongan ini ditarik horizontal ke kiri hingga memotong skala indeks erodibilitas tanah (K). Untuk menggunakan nomograf diperlukan analisis tekstur tanah, yaitu
persentase kandungan pasir (2,0-0,10mm), persentase pasir sangat halus (0,10 0,05 mm), persentase debu (0,05-0,002 mm), persentase liat (lebih kecil dari 0,002 mm), persentase bahan organik tanah, struktur tanah dan permeabilitas profil tanah. Kode struktur tanah disajikan pada Tabel 4.1 sedangkan kode permeabilitas profil tanah disajikan pada Tabel 4.2 Tabel 4.1 Kode Struktur Tanah Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter) Granuler sangat halus (< 1 mm) Granuler halus (1 sampai 2 mm) Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm) Berbentuk blok, blocky, plat, massif Sumber: Arsyad, 2010
Kode 1 2 3 4
Tabel 4.2 Kode Permeabilitas Profil Tanah Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Sangat lambat < 0,5 Lambat 0,5 sampai 2,0 Lambat sampai sedang 2,0 sampai 6,3 Sedang 6,3 sampai 12,7 Sedang sampai cepat 12,7 sampai 25,4 Cepat >25,4 Sumber: Arsyad, 2010
Kode 6 5 4 3 2 1
4.7.2.1.3 Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Faktor indeks topografi L dan S masing-masing mewakili pengaruh panjang dan kemiringan lereng terhadap erosi. Panjang lereng mengacu pada aliran permukaan, yaitu lokasi berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi dan derajat kemiringan lereng (S) dalam %. Komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) diintegrasikan menjadi faktor LS. Departemen Kehutanan (1998) telah menyusun penilaian kelas lereng dan faktor LS sebagaimana Tabel 4.3. Tabel 4.3 Penilaian Kelas Lereng dan faktor LS Kelas lereng Kemiringan lereng (%) I 0–8 II 0 – 15 III 15 – 25 IV 25 – 40 V >40 Sumber : Departemen Kehutanan, 1998
LS 0,4 1,4 3,1 6,8 9,5
4.7.2.1.4 Indeks Pengelolaan Tanaman (C) Nilai indeks pengelolaan tanaman (C) diperoleh melalui pemeriksaan secara intensif di lapangan dan dipetakan secara terinci menggunakan interpretasi citra landsat. Hasil pemeriksaan lapangan tersebut selanjutnya disesuaikan dengan indeks nilai pengelolaan tanaman sebagaimana disajikan pada Tabel 4.4 untuk
pertanaman tunggal dan Tabel 4.5 untuk pertanaman tumpangsari dan pergiliran tanaman.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Tabel 4.4 Indeks Pengelolaan Tanaman (C) untuk Pertanaman Tunggal Jenis Tanaman Nilai C Padi sawah 0,01 Tebu 0,20 – 0,30 *) Padi gogo (lahan kering) 0,53 Jagung 0,64 Sorgum 0,35 Kedelai 0,40 Kacang tanah 0,40 Kacang hijau 0,35 Kacang tunggak 0,30 Kacang gude 0,30 Ubu kayu 0,70 Talas 0,70 Kentang ditanam searah lereng 0,90 Kentang ditanam menurut kontur 0,35 Ubi jalar 0,40 Kapas 0,70 Tembakau 0,40 – 0,60 *) Jahe dan sejenisnya 0,80 Cabe, bawang, sayuran lain 0,70 Nanas 0,40 Pisang 0,40 Teh 0,35 Jambu mete 0,50 Kopi 0,60 Coklat 0,80 Kelapa 0,70 Kelapa sawit 0,50 Cengkeh 0,50 Karet 0,60 – 0,75 *) Serai wangi 0,45 Rumput, Brachiaria decumbens tahun 1 0,29 Rumput, Brachiaria decumbens tahun 2 0,02 Rumput gajah tahun 1 0,50 Rumput gajah tahun 2 0,10 Padang rumput (permanen) bagus 0,04 Padang rumput (permanen) jelek 0,40 Alang-alang permanen 0,02 Alang-alang dibakar sekali setiap tahun 0,10 Tanah kosong tak diolah 0,95
No. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
Jenis Tanaman Tanah kosong diolah Ladang berpindah Pohon reboisasi tahun 1 Pohon reboisasi tahun 2 Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan bagus Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan jelek Semak tak terganggu Hutan tak terganggu, sedikit serasah Hutan tak terganggu, banyak serasah
Nilai C 1,00 0,40 0,32 0,10 0,10 0,50 0,01 0,005 0,001
Keterangan : *) nilai lebih rendah untuk produksi perkebunan Sumber : Departemen Kehutanan, 1998
Tabel 4.5 Indeks Pengelolaan Tanaman (C) untuk Pertanaman Tumpangsari dan Pergiliran Tanaman No. Pengelolaan Tanaman Nilai C 1. Ubi kayu + Kedelai 0,30 2. Ubi kayu + kacang tanah 0,26 3. Ubi kayu + jagung – kacang tanah 0,45 4. Padi gogo + jagung 0,50 5. Padi gogo + sorgum 0,30 6. Padi gogo – kedelai 0,55 7. Padi gogo – kacang gude 0,45 8. Padi gogo – kacang tunggak 0,50 9. Kacang tanah – kacang hijau 0,45 10. Kacang tanah – kacang hijau 0,40 11. Jagung + kacang-kacangan/kacang tanah 0,40 12. Jagung + ubi jalar 0,40 13. Jagung + padi gogo + ubi kayu – 0,35 kedelai/kacang tanah 14. Padi gogo – jagung – kacang tanah 0,45 15. Sorgum – sorgum 0,45 16. Kebun campuran rapat 0,10 17. Kebun campuran, ubi kayu + kedelai (sedang) 0,20 18. Kebun campuran, kacang gude + kacang tanah 0,40 (jarang) Keterangan tanda (+) = tumpangsari, dan (–) pergiliran tanaman Sumber : Departemen Kehutanan, 1998
4.7.2.1.5 Indeks Upaya Konservasi Tanah (P) Jumlah tanah yang hilang akibat erosi pada dasarnya dapat dikurangi dengan adopsi pengelolaan lahan yang baik dan upaya konservasi tanah. Nilai indeks upaya konservasi Tanah (nilai P) disajikan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Indeks Konservasi Tanah (nilai P) No. Teknik Konservasi Tanah 1. Teras bangku baik 2. Teras bangku sedang 3. Teras bangku jelek 4. Teras tradisional 5. Teras gulud baik 6. Hillside ditch atau field pits 7. Kontur cropping kemiringan 1-3% 8. Kontur cropping kemiringan 3-8% 9. Kontur cropping kemiringan 8-15% 10. Kontur cropping kemiringan 15-25% 11. Kontur cropping kemiringan >25% 12. Strip rumput permanen, baik, rapat dan berjalur 13. Strip rumput permanen, jelek 14. Strip crotolaria 15. Mulsa jerami sebanyak 6 ton/ha/th 16. Mulsa jerami sebanyak 3 ton/ha/th 17. Mulsa jerami sebanyak 1 ton/ha/th 18. Mulsa jagung 3ton/ha/th 19. Mulsa crotolaria 3 ton/ha/th 20. Mulsa kacang tanah 21. Bedengan untuk sayuran
Nilai P 0,04 0,15 0,40 0,35 0,15 0,30 0,40 0,50 0,60 0,80 0,90 0,04 0,40 0,50 0,15 0,25 0,60 0,35 0,50 0,75 0,15
Sumber : Departemen Kehutanan, 1998
4.7.2.1.6 Faktor Konservasi Tanah dan Sistem Pertanaman (VM) Penentuan nilai faktor VM dapat digunakan untuk menilai besarnya erosi terutama di daerah non pertanian untuk berbagai tata guna lahan sebagaimana Tabel 4.7 dan Tabel 4.8.
Tabel 4.7 Faktor VM untuk daerah berhutan yang tidak terganggu (U.S. Soil Conservation Service, 1977 dalam Arsyad, 2010) Tajuk efektif 1 (%) 100 -75 75 - 40 35 -20
Seresah 2 (%) 100 -90 85 - 75 70 -40
Nilai VM 3 0,0001 - 0,001 0,002 - 0,004 0,003 - 0,009
Keterangan 1 Bila luas tajuk efektif kurang dari 20 % daerah tersebut dapat dianggap sebagai padang rumput/ tanah kosong/ tidak produktif 2 Seresah hutan diasumsikan mempunyai ketebalan 2,5 cm pada daerah naungan 3 Nilai VM berkaitan dengan daerah naungan, tajuk yang rendah efektif dalam mengurangi dampak negatif air hujan terhadap permukaan tanah dengan menurunkan nilai VM , Tajuk tinggi lebih dari 13 m, kurang efektif dalam mengurangi dampak negatif air hujan, dan dengan demikian tidak berpengaruh terhadap besarnya nilai VM Tabel 4.8 Faktor VM untuk beberapa tipe vegetasi penutup tanah (U.S. Soil Conservation Service, 1977 dalam Arsyad, 2010) Vegetasi penutup Tipe dan tinggi tajuk 1
Tumbuhan bawah Tajuk 2 penutup
Kondisi tanpa tajuk Semak belukar rendah 0,5 meter dari tanah
25 50 75
Semak atau tanaman bawah lainnya (2 meter dari tanah)
25 50 75
Pohon-pohonan dengan sedikit semak (4 meter dari tanah)
25 50 75
Persen penutup (%)
Tipe 3
0
20
40
60
80
95-100
G W
0,45 0,45
0,2 0,24
0,1 0,15
0,042 0,09
0,013 0,043
0,003 0,011
G W G W G W
0,36 0,36 0,26 0,26 0,17 0,17
0,17 0,2 0,13 0,16 0,1 0,12
0,09 0,13 0,07 0,11 0,06 0,09
0,038 0,082 0,035 0,075 0,031 0,038
0,012 0,041 0,012 0,039 0,011 0,038
0,003 0,011 0,003 0,011 0,003 0,011
G W G W G W
0,4 0,4 0,34 0,34 0,28 0,28
0,18 0,22 0,16 0,19 0,14 0,17
0,09 0,14 0,085 0,13 0,08 0,12
0,04 0,085 0,038 0,081 0,036 0,077
0,013 0,042 0,012 0,041 0,012 0,04
0,003 0,011 0,003 0,011 0,003 0,011
G W G W G W
0,42 0,42 0,39 0,39 0,36 0,36
0,19 0,23 0,18 0,21 0,17 0,2
0,1 0,14 0,09 0,14 0,09 0,13
0,041 0,087 0,04 0,085 0,039 0,083
0,013 0,042 0,013 0,042 0,012 0,041
0,003 0,011 0,003 0,011 0,003 0,011
Keterangan: 1 Rata-rata ketinggian air jatuh bebas dari tajuk ke permukaan tanah 2 bagian tanah yang terlindung tajuk tanaman bila dilihat dari atas (gambar tampak atas) 3 G= rumput atau tanaman yang menyerupai rumput ketinggian 2,5 cm W= semak dengan tajuk daun lebar atau seresah yang belum membusuk
4.7.2.2 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi Kelas dan Tingkat bahaya erosi (TBE) dihitung mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departeman Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 dengan membandingkan tingkat erosi di suatu lahan (land unit) dengan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Kelas dan tingkat bahaya erosi didapatkan dengan menggunakan matrik sederhana sebagaimana disajikan pada Tabel 4.9. Peta TBE dibuat berdasarkan hasil tumpang susun antara peta erosi hasil perhitungan dengan persamaan (1) dan peta kedalaman tanah sesuai parameter pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Kombinasi Solum Tanah dan Erosi dalam Penentuan TBE Kedalaman tanah (cm)
I
Dalam >90 Sedang 60 – 90 Dangkal 30 – 60 Sangat dangkal <30
<15 SR 0 R I S II B III
Kelas erosi II III IV Erosi (ton ha-1 tahun-1) 15-60 60-180 180-480 R S B I II III S B SB II III IV B SB SB III IV IV SB SB SB IV IV IV
Sumber : Departemen Kehutanan, 1998 Keterangan : SR : Sangat Ringan, R : Ringan, S : Sedang, B : Berat, SB : Sangat Berat
V >480 SB IV SB IV SB IV SB IV
4.7.2.3 Erosi yang Diperkenankan Laju erosi yang dinyatakan dalam mm tahun-1 atau ton hektar-1 tahun-1 yang terbesar dan masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan yang bisa dinyatakan dengan notasi Edp. Arsyad (2010) dengan berpedoman pada kriteria Thompson (1957) membuat penetapan besarnya penilaian erosi yang masih dapat ditoleransi pada tanah-tanah di Indonesia sebagaimana Tabel 4.10. Tabel 4.10 Penetapan Erosi yang Diperbolehkan (Edp) untuk Tanah-Tanah di Indonesia No Sifat Tanah dan Substratum Nilai T (mm th-1) 1. Tanah sangat dangkal (<25 cm) di atas batuan 0,0 2. Tanah sangat dangkal (<25 cm) di atas tanah sudah melapuk 0,4 (tidak terkonsolidasi) 3. Tanah dangkal (25 – 50 cm) di atas bahan telah melapuk 0,8 4 Tanah dengan kedalaman sedang (50 – 90 cm) di atas bahan 1,2 telah melapuk 5. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah yang kedap 1,4 air di atas substrata yang telah melapuk 6. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah 1,6 berpermiabelitas lambat di atas substrata yang telah melapuk 7. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawahnya 2,0 berpermiabilitas sedang di atas substrata yang telah melapuk 8. Tanah yang dalam(>90 cm) dengan lapisan bawah 2,5 berpermeabilitas tinggi di atas substrata yang telah melapuk Sumber : Arsyad, 2010 4.7.3 Analisis Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Dalam penelitian ini kawasan adalah wilayah dengan fungsi lindung, penyangga, budidaya tanaman tahunan atau tanaman semusim dan pemukiman. Penetapan fungsi kawasan dinilai berdasarkan klasifikasi skor jenis tanah, intensitas hujan harian rata-rata dan kelerengan lahan. Ketiga faktor tersebut
dinilai dengan sistem skoring berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.837/KPTS/Um/11/1980 Nomor: 683/Kpts/Um/8/1981 sebagaimana berikut: 1.
2.
Faktor Kemiringan Lahan Kelas 1
=
0-8
%
Datar
:
skor 20
Kelas 2
=
8,1 - 15
%
Landai
:
skor 40
Kelas 3
=
15,1 - 25
%
Agak curam
:
skor 60
Kelas 4
=
25,1 - 45
%
Curam
:
skor 80
Kelas 5
=
> 45
%
sangat curam
:
skor 100
Kelas 1
= Aluvial, Gleisol, lanosol, Hidromorf kelabu, Laterik air tanah (tidak peka)
:
skor 15
Kelas 2
= Latosol (agak peka)
:
skor 40
Kelas 3
= Brown Forest Soil, Non calcic brown, Mediterranian (kepekaan sedang)
:
skor 45
Kelas 4
= Andosol, Laterik, Grumosol, podsol, Podsolic (peka)
:
skor 60
Kelas 5
= Regosol, Litosol, Renzina (sangat peka)
:
skor 75
mm/hr (sangat rendah)
:
skor 10
3 Faktor Intensitas Hujan Harian Kelas 1
=
0 - 13,6
Kelas 2
=
13,7 - 20,7
mm/hr (rendah)
:
skor 20
Kelas 3
=
20,8 - 27,7
mm/hr (sedang)
:
skor 30
Kelas 4
=
27,8 - 34,8
mm/hr (tinggi)
:
skor 40
Kelas 5
=
> 34,8
mm/hr (sangat tinggi)
:
skor 50
Penetapan
arahan
klasifikasi
fungsi
kawasan
dilakukan
menjumlahkan skor ketiga faktor tersebut sebagaimana Tabel 4.11.
dengan
Tabel 4.11 Arahan Teknis Klasifikasi Fungsi Kawasan No Fungsi Kawasan 1 2 1 Kawasan Lindung a. Kawasan penyangga b. Kawasan budidaya hutan produksi terbatas (HPTb) 3 a. Kawasan Budidaya tanaman tahunan b. Kawasan budidaya hutan produksi tetap (HPTt) 4 Kawasan budidaya tanaman semusim/setahun 5 Kawasan Pemukiman
Jumlah Skor 3 > 175 124 -174 125 - 174 ± 124 ± 124 < 124 < 124 (kemiringan 0 - 8 %)
Sumber: SK Mentan No:837/KPTS/Um/11/1980 dan No:683/Kpts/Um/8/1981
4.7.3.1 Kawasan Lindung Areal yang mempunyai jumlah skor untuk kemampuan lahan sama dengan atau lebih dari 175, atau memenuhi salah satu atau beberapa syarat berikut: a.
Mempunyai lereng lapangan > 45 %
b.
Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah Regosol, Litosol, Organosol dan Renzina dengan lereng > 15 %
c.
Merupakan jalur pengaman aliran sungai/air sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai/aliran sungai tersebut.
d.
Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekililing mata air tersebut.
e.
Mempunyai ketinggian antara 500 meter di pulau-pulau dimana pegunungan hanya sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut dan 1.000 meter di atas permukaan atau lebih untuk pulau-pulau yang mempunyai gunung-gunung yang tinggi.
f.
Guna keperluan/kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung.
4.7.3.2 Kawasan Penyangga Areal dengan skor untuk kemampuan lahan antara 124 – 174 dan atau memenuhi beberapa kriteria umum berikut: a. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis. b.
Lokasi secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga
c.
Tidak merugikan segi-segi ekologi/lingkungan hidup
4.7.3.3 Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan Yang termasuk dalam kawasan ini adalah areal dengan jumlah skor untuk kemampuan lahan 124 ke bawah serta cocok atau seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (pepohonan, tanaman perkebunan dan tanaman industri). Di samping itu, areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan penyangga. 4.7.3.4 Kawasan Budidaya Tanaman Semusim/Setahun Yang termasuk dalam katagori kawasan ini adalah areal dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman tahunan, tetapi areal tersebut cocok untuk atau seharusnya dikembangkan untuk usaha tani tanaman semusim/setahun. 4.7.3.5 Kawasan Permukiman Yang dapat dijadikan kawasan permukiman pada prinsipnya adalah areal yang sama dengan kawasan budidaya, hanya saja lahan tersebut mempunyai kemiringan lereng sebaiknya antara 0 sampai 8 persen.
4.7.4 Perencanaan Arahan Penggunaan Lahan Perencanaan arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja dibuat berdasarkan data keadaan lahan saat ini, kesesuaian peruntukan lahan dan tingkat bahaya erosi yang terjadi. Data tersebut diolah untuk menentukan alternatif arahan penggunaan lahan dengan tindakan konservasi tanah sehingga erosi tetap terkendali. Kisaran nilai prediksi erosi setelah perencanaan yang diinginkan adalah minimal sama atau di bawah nilai erosi yang diperkenankan. Perencanaan penggunaan lahan dievaluasi dengan mengetahui C dan P yang lebih kecil atau sama dan perbandingan antara nilai batas erosi yang diperkenankan dengan erosi potensial dengan persamaan: A CP ≤
…………………………………………(5)
RKLS A
=
Jumlah tanah yang hilang (ton hektar-1 tahun-1)
R
=
Indeks erosivitas hujan
K
=
Indeks erodibilitas tanah
LS
=
Indeks panjang dan kemiringan lereng
CP
=
Indeks pengelolaan tanaman dan upaya konservasi tanah
Dari perhitungan indeks pengelolaan tanaman (C) dan pengelolaan tanah (P) sesuai persamaan diatas maka alternatif usaha konservasi tanah dapat ditentukan dengan berpedoman pada nilai faktor C, P dan VM.
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Biofisik Sub DAS Telagawaja 5.1.1 Letak Adminstrasi dan Luas Sub DAS Telagawaja memiliki luas total seluas 11.115,59 hektar yang secara administrasi terbagi ke dalam 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu: Kabupaten Bangli seluas 1.125,28 hektar (10,12 %), Karangasem seluas 9.897,71 hektar (89,04%) dan Klungkung seluas 92,60 hektar (0,83 %). Sebaran wilayah administrasi Sub DAS Telagawaja secara lengkap disajikan ada Tabel 5.1. Peta Administrasi Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran Peta 1. Tabel 5.1 Letak Wilayah Administrasi Sub DAS Telagawaja
No Kabupaten 1 2 1. Bangli
Kecamatan 3 Kintamani
2. Karangasem
Rendang
Selat Sidemen 3. Klungkung Klungkung Jumlah Hasil analisis Peta Administrasi, 2014
Desa 4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter Besakih Menanga Nongan Pempatan Pesaban Rendang Muncan Sebudi Sangkan Gunung Tangkup Selat
Luas (ha) 5 150,10 240,15 735,03 2.807,33 1.242,29 332,84 3.565,32 79,34 384,48 243,26 551,14 477,03 214,68 92,60 11.115,59
5.1.2 Iklim Tipe iklim Sub DAS Telagawaja ditentukan berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidht
Ferguson, yaitu dengan memanfaatkan data curah hujan
bulanan selama 10 tahun terahir (2004-2013) yang diperoleh dari Stasiun Penakar Curah Hujan di wilayah Sub DAS Telagawaja. Jumlah curah hujan dan hari hujan tahunan pada masing-masing Stasiun Pengamat Curah Hujan Sub DAS Telagawaja disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Tahunan pada Masing-masing Stasiun Pengamat Curah Hujan Sub DAS Telagawaja No
Tahun Pengamatan
Lokasi Stasiun Pengamat Curah Hujan BPP Kec Rendang RPH Rendang BPP Kec Selat CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari) 3 4 5 6 7 8 2.496 125 2.887 88 3.514 113 2.601 148 2.796 78 3.403 95 2.892 138 1.816 82 3.125 84 2.903 129 2.611 87 3.485 74 5.118 168 3.273 110 3.875 110 3.422 145 2.278 81 3.692 81 3.927 252 3.582 130 4.429 108 2.926 187 2.359 98 3.044 248 2.716 139 2.981 98 4.170 142 2.223 172 3.326 105 3.543 170 31.224 1.603 27.909 957 36.279 1.225 3.122 160 2.791 96 3.628 123
1 2 1 2004 2 2005 3 2006 4 2007 5 2008 6 2009 7 2010 8 2011 9 2012 10 2013 Jumlah Jumlah rata-rata Keterangan: CH : Jumlah curah hujan HH : Jumlah hari hujan
Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah hujan pada BPP Kecamatan Rendang sebesar 3.122 mm tahun-1 dengan 160 hari hujan. Curah hujan terendah pada bulan Juli sebesar 85 mm bulan-1 dengan 9 hari hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 437 mm bulan-1
dengan 21 hari hujan. Curah hujan ini mempengaruhi wilayah di Desa Muncan, Sangkan Gunung, Tangkup, Menanga, Rendang, Nongan, Pesaban dan Selat. Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah hujan pada RPH Rendang sebesar 2.791 mm tahun-1 dengan 96 hari hujan. Curah hujan terendah pada bulan Agustus sebesar 49 mm bulan-1 dengan 2 hari hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 463 mm bulan-1 dengan 16 hari hujan. Curah hujan ini mempengaruhi wilayah di Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan, Suter, Pempatan, Besakih dan sebagian wilayah Desa Sebudi Selat. Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah hujan pada BPP Kecamatan Selat sebesar 3.628 mm tahun-1 dengan 123 hari hujan. Curah hujan terendah pada bulan Agustus sebesar 160 mm bulan-1 dengan 6 hari hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 419 mm bulan-1 dengan 12 hari hujan. Curah hujan ini mempengaruhi daerah penelitian pada sebagian wilayah di Desa Sebudi. Jumlah hujan bulanan dan hari hujan rata-rata selama 10 tahun (2004-2013) di Sub DAS Telagawaja sebagaimana disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Jumlah Hujan Bulanan dan Hari Hujan Rata-rata selama 10 Tahun (2004-2013) Sub DAS Telagawaja
No Lokasi Stasiun Curah Hujan
Januari Februari Maret CH HH CH HH CH HH 1 2 3 4 5 1 RPH Rendang 451 15 421 13 362 12 2 BPP Rendang 436 19 423 17 383 17 3 BPP Selat 397 14 322 11 323 11 Jumlah 1.284 47 1.166 41 1.068 41 Jumlah rata-rata 428 16 389 14 356 14 Keterangan: CH : Jumlah curah hujan (mm) HH : Jumlah hari hujan
April CH HH 6 306 10 297 14 279 9 881 33 294 11
Bulan pengamatan (2004-2013) Mei Juni Juli CH HH CH HH CH HH 7 8 9 133 5 67 3 69 3 187 12 107 7 85 9 337 9 196 19 225 9 656 26 370 29 380 22 219 9 123 10 127 7
Agustus CH HH 10 49 2 94 9 160 6 302 17 101 6
Setember CH HH 11 73 3 153 10 288 6 514 19 171 6
Oktober CH HH 12 121 5 207 11 311 7 640 22 213 7
Nopember Desember CH HH CH HH 13 14 277 10 463 16 313 14 437 21 372 9 419 12 961 33 1.319 48 320 11 440 16
Sebagaimana Tabel 5.3, jumlah bulan basah (jumlah curah hujan satu bulan > 100 mm) pada BPP Rendang berjumlah 10 bulan, RPH Rendang 8 bulan dan BPP Selat 12 bulan. Jumlah bulan lengas (jumlah curah hujan satu bulan 60 mm 100 mm) pada BPP Rendang berjumlah 2 bulan, RPH Rendang 3 bulan. Bulan kering (jumlah curah hujan satu bulan < 60 mm) BPP Rendang tidak terdapat bulan kering, RPH Rendang 1 bulan dan BPP Selat tidak terdapat bulan lengas maupun bulan kering. Tipe iklim diperoleh dengan ratio antara jumlah rerata bulan kering dengan jumlah rerata bulan basah dari masing-masing stasiun penakar curah hujan. Hasil analisi diperoleh nilai Q untuk RPH Rendang dengan nilai Q = 0,125 dan nilai Q=0 untuk stasiun pada BPP Selat dan Rendang. Nilai tersebut berada diantara 0 < Q < 0,143 artinya tipe iklim menurut klasifikasi iklim Schmidht Ferguson pada Sub DAS Telagawaja termasuk tipe iklim A (sangat basah). 5.1.3 Jenis Tanah Karakteristik tanah pada Sub DAS Telagawaja berdasarkan Peta Tanah Skala 1 : 250.000 terdiri atas jenis tanah Regosol berhumus seluas 2.612,51 hektar (23,50 %), Regosol kelabu seluas 6.783,77 hektar (61,03 %) dan Regosol coklat kekuningan seluas 1.719,31 hektar (15,47 %). Sebaran luas masingmasing jenis tanah Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Tabel 5.4. Peta Jenis Tanah Sub DAS Telagawaja Lampiran Peta 2.
No
Kabupaten
1
2 1 Bangli
2 Karangasem
Kecamatan
3 Kintamani
Rendang
Selat Sidemen 3 Klungkung Klungkung Jumlah Hasil analisis Peta Jenis Tanah, 2014
Tabel 5.4 Luas dan Jenis Tanah Sub DAS Telagawaja Jenis Tanah (Ha) Desa Regosol Humus Regosol Kelabu 4 Abang Batu Dinding
5 82,57
6 67,53
Abang Songan Suter Besakih Menanga Nongan Pempatan Pesaban Rendang Muncan Sebudi Sangkan Gunung Tangkup Selat
176,71 523,10 118,29 1.711,84 2.612,51
63,44 211,93 2.807,33 1.069,87 1.853,48 159,05 551,14 6.783,77
Jumlah (Ha) Regosol Coklat Kekuningan 7
8 54,13 332,84 79,34 384,48 84,21 477,03 214,68 92,60 1.719,31
150,10 240,15 735,03 2.807,33 1.242,29 332,84 3.565,32 79,34 384,48 243,26 551,14 477,03 214,68 92,60 11.115,59
5.1.4 Topografi Kemiringan lahan (lereng) merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan kondisi suatu wilayah. Semakin landai kondisi kelerengan suatu wilayah, maka bentuk topografinya semakin datar dan apabila semakin terjal kondisi kelerengan suatu wilayah maka kondisi topografinya semakin bergunung. Kelas kelerengan suatu wilayah berdasarkan pedoman penyusunan pola rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dibedakan atas 5 (lima) kelas lereng, yaitu: kelas lereng I / datar (0 – 8 %), kelas II / landai (8 – 15 %), kelas lereng III agak curam atau bergelombang (15 – 25 %), kelas lereng IV / curam atau berbukit (25 – 40 %) ) dan kelas lereng V / sangat curam atau bergunung ( > 40 %). Berdasarkan pembagian kelas lereng tersebut maka kondisi kelerengan pada Sub DAS Telagawaja tersusun atas wilayah landai (kelas lereng II) hingga kelas lereng V atau bergunung. Sub DAS Telagawaja tidak terdapat wilayah pada kelas lereng I dengan topografi datar. Sehingga bentuk topografi Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah dengan bentuk topografi bergelombang hingga berbukit dan bergunung. Kemiringan lahan pada Sub DAS Telagawaja secara berurutan adalah wilayah landai seluas 3.414,01 hektar (30,71 %), agak curam seluas 4.364,63 hektar (39,27 %), curam seluas 3.179,02 hektar (28,60 %) dan sangat curam seluas 157, 93 hektar (1,42 %). Sebaran kemiringan lahan Sub DAS Telagawaja disajikan sebagaimana Tabel 5.5. Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran Peta.3.
Tabel 5.5 Kemiringan dan Luas pada masing-masing Kemiringan Lereng Sub DAS Telagawaja No
Kabupaten
2
Kecamatan
1 1
Bangli
3 Kintamani
2
Karangasem
Rendang
Selat Sidemen 3 Klungkung Klungkung Jumlah Hasil Analisis Peta Lereng, 2014
Desa
4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter Besakih Menanga Nongan Pempatan Pesaban Rendang Muncan Sebudi Sangkan Gunung Tangkup Selat
Kelas Lereng (Ha) III (15 - 25 %)
I (0 - 8 %)
II (8 -15 %)
5
6 55,6 373,65 829,57 208,61 811,46 284,29 189,22 46,63 307,7 214,68 92,6 3.414,01
-
Jumlah (ha) IV (25 - 40 %)
V (> 40 %)
7
8
9
10
94,5 240,15 349,8 1214,44 412,72 1921,9 131,12 4.364,63
385,23 1191,81 124,23 831,96 79,34 100,19 54,04 242,89 169,33 3.179,02
27,43 130,5 157,93
150,10 240,15 735,03 2.807,33 1.242,29 332,84 3.565,32 79,34 384,48 243,26 551,14 477,03 214,68 92,60 11.115,59
5.1.5 Bentuk Lahan Bentuk lahan adalah bentang permukan lahan yang mempunyai relief yang khas sebagai akibat/pengaruh yang kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu. Berdasarkan genesis/asal-usulnya bentuk lahan yang dapat dijumpai pada Sub DAS Telagawaja meliputi bentuk lahan asal proses vulkanik seluas 10.431,86 hektar (93,85 %) dan denudasional seluas 683,73 hektar (6,15 %). Sebaran bentuk lahan di wilayah Sub DAS Telagawaja disajikan pada Tabel 5.6. Peta Bentuk Lahan Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran Peta 4. Tabel 5.6 Sebaran Bentuk Lahan Sub DAS Telagawaja
No
Kabupaten
Kecamatan
1 2 3 1 Bangli Kintamani 2 Karangasem Rendang
Selat Sidemen 3 Klungkung Jumlah
Klungkung
Hasil analisis Peta Bentuk Lahan, 2014
Bentuk Lahan (ha) Vulkanik Denudasional 5 6 4 Abang Batu Dinding 1.125,28 Besakih 2.807,33 Menanga 1.242,29 Nongan 332,84 Pempatan 2.881,59 683,73 Pesaban 79,34 Rendang 384,48 Muncan 243,26 Sebudi 551,14 Sangkan Gunung 477,03 Tangkup 214,68 Selat 92,60 10.431,86 683,73 Desa
Jumlah 7 1.125,28 2.807,33 1.242,29 332,84 3.565,32 79,34 384,48 243,26 551,14 477,03 214,68 92,60 11.115,59
5.1.6 Penutupan Lahan Manusia melakukan intervensi (campur tangan) terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhanya. Intervensi tersebut bukan hanya terjadi di luar kawasan hutan, namun juga telah merambah ke dalam kawasan hutan. Besar kecilnya intervensi manusia terhadap lahan tercermin dari keanekaragaman jenis penutupan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja. Hasil analisis peta pentutupan lahan wilayah Sub DAS Telagawaja diperoleh 8 (delapan) kelas penutupan lahan. Jenis penutupan dan luas masingmasing penutupan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 5.7. Sebaran jenis penutupan lahan per masing-masing wilayah disajikan Tabel 5.8. Peta Penutupan Lahan dapat dilihat pada Lampiran Peta 5. Tabel 5.7 Jenis dan Luas Penutupan Lahan Sub DAS Telagawaja No Jenis Penutupan Lahan 1 2 1 Pertanian Lahan Kering Campuran 2 Pertanian Lahan Kering 3 Belukar 4 Hutan lahan Kering Sekunder 5 Hutan lahan Kering Primer 6 Tanah Terbuka 7 Sawah 8 Permukiman Jumlah Hasil pengolahan data peta penutupan lahan, 2014
Luas (Ha) 3 4.701,64 1.372,63 577,22 3.047,47 850,88 157,93 352,07 55,75 11.115,59
% 4 42,30 12,35 5,19 27,42 7,65 1,42 3,17 0,50 100,00
Tabel 5.8 Jenis Penutupan Lahan Sub DAS Telagawaja Berdasarkan Hasil Analisis Peta Penutupan Lahan Jenis Penutupan lahan (Ha) No kabupaten Kecamatan Desa Pertanian Pertanian Belukar Hutan Hutan Tanah Lahan Lahan lahan lahan Terbuka Kering Kering Kering Kering Campuran Sekunder Primer 1 5 6 7 8 9 10 2 3 4 1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,1 Abang Songan 207,40 32,75 Suter 73,40 318,24 343,39 2 Karangasem Rendang Besakih 1.019,46 268,65 837,28 598,76 27,43 Menanga 590,31 651,98 Nongan 281,88 50,96 Pempatan 1.281,00 198,21 1.818,25 Pesaban 79,34 Rendang 262,72 121,76 Selat Muncan 159,05 Sebudi 91,95 28,02 48,55 252,12 130,50 Sidemen Sangkan Gunung 448,75 28,28 Tangkup 214,68 3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 Jumlah 4.701,64 1.372,63 577,22 3.047,47 850,88 157,93 Hasil Analisis Peta Penutupan Lahan, 2014
Jumlah (ha) Sawah
Permuki man
11 267,86 84,21 352,07
12 55,75 55,75
13 150,10 240,15 735,03 2.807,33 1.242,29 332,84 3.565,32 79,34 384,48 243,26 551,14 477,03 214,68 92,60 11.115,59
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penutupan penggunaan lahan terdiri dari atas hutan, kebun campuran, tegalan, permukiman dan sawah. Penutupan vegetasi di dalam kawasan hutan terdiri atas hutan dengan vegetasi penutupan rapat seluas 3.854,04 hektar (34,67%), hutan dengan vegetasi penutupan sedang seluas 956,85 hektar (8,61%), semak belukar 577,22 hektar (5,19%) dan tanah terbuka seluas 157,93 hektar atau 1,42 % dari total DASnya. Penutupan lahan di luar kawasan hutan terdiri atas kebun campuran rapat seluas 2.433,71 hektar (21,89%), kebun campuran sedang 1.255,06 hektar (11,29%), kebun campuran jarang 247,91 hektar (2,23%), tegalan 1.225,05 hektar (11,02%), permukiman 55,75 hektar (0,5%) dan sawah seluas 352,07 hektar atau 3,17% dari total DASnya. Jenis penutupan vegetasi pada penggunaan lahan hutan didominasi oleh semak belukar, Pinus (Pinus merkusii), Ampupu (Eucalyptus urophylla), Kaliandra (Calliandra haematocephala) dan Rumput gajah (Penisetum purpureum). Jenis vegetasi pada penggunaan lahan kebun campuran didominasi tanaman kayu, tanaman perkebunan, tanaman serbaguna (MPTS) dan tanaman semusim. Jenis tanaman kayu terdiri atas Sengon (Albizia chinensis, Kejimas (Duabanga mollucana), Jabon (Anthocephalus cadamba) dan Mahoni (Swietenia mahagoni). Jenis tanaman perkebunan terdiri atas Kopi (Canthium dicoccum), Cengkeh (Eugenia aromatica) dan Kelapa (Cocos nucifera). Sementara jenis tanaman MPTS terdiri atas Durian (Durio zibethinus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Sawo manila (Achras zapota var depressa) dan Alpokat (Persea
americana). Untuk tanaman semusimnya didominasi oleh salak, umbi dan kacang-kacangan. Sementara tindakan pengelolan tanah berupa pembuatan teras tradisional dan teras dengan konstruksi sedang. Penutupan vegetasi pada penggunaan lahan tegalan dan permukiman didominasi oleh tanaman semusim berupa tanaman bunga kenikir dan tanaman pertanian (jenis sayur-sayuran) sementara upaya konservasi tanah yang dilakukan berupa teras gulud. Penutupan vegetasi pada penggunaan lahan sawah terdiri atas padi. Jenis
penutupan
lahan
Sub
DAS
Telagawaja
survey/pengamatan lapangan disajikan pada Tabel 5.9.
berdasarkan
hasil
Tabel 5.9 Jenis Penutupan Lahan Sub DAS Telagawaja Berdasarkan Hasil Survey/Pengamatan di Lapangan No.
Kabupaten
1 2 1 Bangli
2 Karangasem
Kecamatan 3 Kintamani
Desa
4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter Rendang Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Selat Sebudi Muncan Sidemen Sangkan Gunung Tangkup Klungkung Selat
Kc1 5 82,57 315,88 353,18 587,82 284,29 281,88 79,34 448,75 2.433,71 21,89
Kc2 6 25,35 166,40 73,40 386,04 168,09 28,31 100,19 214,68 92,60 1.255,06 11,29
Kc3 7 51,27 196,64 247,91 2,23
3 Klungkung Jumlah Sub DAS Persentase (%) Keterangan: Kc1: Kebun campuran rapat; Kc2: kebun campuran sedang; Kc3: Kebun campuran jarang Tg: Tegalan; P: Pemukiman; S: Sawah; Vt1: hutan dengan vegetasi tetap rapat Vt2: hutan dengan vegetasi tetap sedang B: hutan dengan vegetasi tetap semak belukar TT: Hutan dengan penutupan berupa lahan terbuka
Penutupan Penggunaan Lahan (Ha) Tg P S Vt1 8 9 10 11 343,39 267,86 1.773,94 268,65 55,75 - 1.436,04 626,16 50,96 91,95 300,67 159,05 84,21 28,28 1.225,05 55,75 352,07 3.854,04 11,02 0,50 3,17 34,67
Luas (Ha) Vt2 12 42,18 41,00 572,12 301,55 956,85 8,61
B 13 32,75 318,24 198,21 28,02 577,22 5,19
TT 14 27,43 130,50 157,93 1,42
15 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59 100,00
62
5.2 Satuan Unit lahan Satuan unit lahan Sub DAS Telagawaja dibuat dari hasil tumpang susun peta penutupan lahan, peta kemiringan lereng, peta bentuk lahan. kemudian peta unit lahan yang dihasilkan ditumpangsusunkan dengan peta jenis tanah serta peta administrasi untuk memudahkan pengambilan sampel tanah serta untuk mengetahui posisi atau letak administrasi dari satuan unit lahan tersebut. Satuan unit lahan mencerminkan adanya pengaruh sifat batuan, relief dan lereng, jenis tanah serta penutupan lahan pada suatu wilayah di Sub DAS Telagawaja. Hasil tumpangsusun dari peta-peta tersebut pada Sub DAS Telagawaja diperoleh 95 satuan unit lahan. Penelitian menggunakan satuan analisis dan satuan pemetaan berupa satuan unit lahan yang telah dihasilkan. Sebaran satuan unit Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran 2. Peta Satuan Unit Lahan pada Sub DAS Telagawaja dapat dilihat pada Lampiran Peta 6. 5.3 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi 5.3.1 Prediksi Erosi Aktual Besarnya erosi dipengaruhi oleh erosivitas curah hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, tutupan vegetasi dan tindakan pengelolaan lahan saat ini. Untuk menghitung nilai erosivitas curah hujan diperlukan data curah hujan, jumlah hari hujan, dan curah hujan maksimum per bulan pada kurun waktu satu tahun. Hasil perhitungan nilai erosivitas curah hujan pada Sub DAS Telagawaja berturut-turut disajikan dari stasiun pengamat curah hujan BPP
63
Kecamatan Selat sebesar 4.758,86; RPH Rendang sebesar 3.082,39 dan BPP Rendang sebesar 3.070,69. Erodibilitas tanah diperoleh dengan mengunakan nomograf sebagaimana Gambar 4.3. Untuk menggunakan nomograf tersebut diperlukan data persentase debu + pasir halus, persentase pasir, persentase bahan organik, struktur tanah serta permeabilitas tanah pada Sub DAS Telagawaja. Data-data tersebut diperoleh dengan melakukan analisis tanah pada laboratorium, yang dalam hal ini dilakukan pada Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Udayana. Hasil analisis nilai erodibilitas tanah disajikan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10 Nilai Erodibilitas Tanah (K) Sub DAS Telagawaja No Debu + Pasir (%) Bahan Kelas Permeabilitas Nilai K Pasir halus Organik struktur tanah (%) (%) tanah 1 2 3 4 5 6 7 1 33,29 66,00 1,23 3 1 0,22 2 19,80 76,12 2,81 3 1 0,09 3 30,43 67,50 1,22 3 1 0,20 4 58,51 34,35 1,33 3 1 0,42 5 22,63 69,06 1,21 3 1 0,14 6 25,15 63,62 1,62 3 1 0,15 7 10,71 85,47 1,59 3 1 0,06 8 21,95 73,76 3,23 3 1 0,10 9 27,29 61,77 2,46 3 2 0,16 10 60,03 30,59 1,68 4 3 0,48 Data hasil pengolahan Panjang dan kemiringan lereng pada suatu lahan sangat mempengaruhi laju dan besarnya erosi. Nilai panjang dan kemiringan lereng (LS) sebagaimana disajikan pada Tabel 5.11.
64
Tabel 5.11 Nilai Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Sub DAS Telagawaja No
Kemiringan Lereng (%)
Klasifikasi
1 2 3 1 0-8 Datar 2 8 - 15 Landai 3 15 -25 Agak Curam 4 25 - 40 Curam 5 > 40 Sangat Curam Jumlah Data hasil pengolahan
Luas (Ha)
Nilai LS
4
5
3.414,01 4.364,63 3.179,02 157,93 11.115,59
1,40 3,10 6,80 9,50
Erosi juga dipengaruhi oleh penutupan vegetasi dan pengelolaan tanah. Faktor pengelolaan tanaman dan tanah (CP/VM) Sub DAS Telagawaja saat ini secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Hasil perhitungan dan analisis prediksi besarnya laju dan sebaran erosi total (erosi aktual) yang terjadi per masing-masing wilayah desa Sub DAS Telagawaja sebagaimana disajikan pada Tabel 5.12. Tabel 5.12 Besarnya Prediksi Erosi Per Masing-masing Wilayah Desa Sub DAS Telagawaja No.
Kabupaten
Kecamatan
1 1
2 Bangli
3 Kintamani
2
Karangasem
Rendang
Selat Sidemen 3 Klungkung Klungkung Jumlah Sub DAS Data hasil pengolahan
Desa
Luas (Ha)
Besarnya Erosi (Ton/Ha/Th)
4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Sebudi Muncan Sangkan Gunung Tangkup Selat
5 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59
6 81,04 68,61 54,30 238,53 726,32 516,22 120,86 110,54 50,11 267,89 141,62 292,70 54,17 54,17 2.777,07
65
5.3.2 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi Kelas erosi dan tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Dirjen RRL) Departeman Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 sebagaimana Tabel 4.9. Berdasarkan keputusan tersebut, kelas erosi terklasifikasi ke dalam lima kelas, yaitu kelas I apabila erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, kelas II jika erosi yang terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, kelas III jika erosi yang terjadi berada diantara nilai 60 – 180 ton hektar-1 tahun-1, kelas IV jika erosi yang terjadi berada diantara nilai 180 – 480 ton hektar-1 tahun-1 dan kelas V jika erosi yang terjadi berada >480 ton hektar-1 tahun-1. Berdasarkan kriteria tersebut, kelas erosi yang terjadi pada Sub DAS Telagawaja terdiri atas kelas erosi tingkat I sebanyak 45 unit lahan yaitu nomor: 1, 3, 4, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 43, 46, 47, 48, 53, 56, 61, 64, 67, 68, 81, 82, 85, 86, 89 dan 94. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan, Suter, Pempatan, Besakih, Rendang, Nongan, Sebudi, dan Muncan. Kelas erosi pada tingkat II sebanyak 38 unit lahan yaitu nomor: 2, 5, 6, 8, 9, 17, 18, 19, 22, 27, 34, 38, 42, 44, 45, 50, 51, 52, 54, 57, 58, 59, 60, 63, 65, 66, 70, 71 72, 73, 74, 75, 78, 80, 87, 88, 92 dan 95. Unit lahan tersebut tersebar di Desa Tangkup, Selat serta sebagian wilayah Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan, Suter, Pempatan, Besakih, Menanga, Nongan, Sebudi, dan Sangkan Gunung. Sedangkan kelas erosi tingkat III sebanyak 12 unit lahan, yaitu nomor:
66
49, 55, 62, 69, 76, 77, 79, 83, 84, 90, 91, dan 93. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Besakih, Menanga, Rendang, Sebudi, Muncan, Sangkan Gunung dan wilayah Desa Pesaban. Luas kelas tingkat erosi pada Sub DAS Telagawaja disajikan pada Tabel 5.13. Mengacu pada Keputusan Dirjen RRL di atas, tingkat bahaya erosi (TBE) diklasifikasikan kedalam kelas sangat ringan (SR), ringan (R), sedang (S), berat (B) dan sangat berat (SB). Klasifikasi ini diperoleh dengan membandingkan besarnya erosi yang terjadi dengan kedalam tanah efektif pada unit lahan yang bersangkutan. TBE Pada tanah dalam (kedalaman > 90 cm) tingkat sangat ringan apabila erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, tingkat ringan apabila erosi yang terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, tingkat sedang jika erosi yang terjadi berada diantara nilai 60 – 180 ton hektar-1 tahun-1, tingkat berat jika erosi yang terjadi berada diantara nilai 180 – 480 ton hektar-1 tahun-1 dan tingkat sangat berat jika erosi yang terjadi berada > 480 ton hektar-1 tahun-1. TBE pada tanah sedang (kedalaman 60 - 90 cm) tingkat ringan apabila erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, tingkat sedang apabila erosi yang terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, tingkat berat jika erosi yang terjadi berada diantara nilai 60 – 180 ton hektar-1 tahun-1 dan tingkat sangat berat jika erosi yang terjadi > 480 ton hektar-1 tahun-1. TBE pada tanah dangkal (kedalaman 30 - 60 cm) tingkat sedang apabila erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, tingkat berat apabila erosi yang terjadi diantara 15 – 60 ton hektar-1 tahun-1, tingkat sangat berat jika erosi yang
67
terjadi berada diantara nilai > 60 ton hektar-1 tahun-1. TBE pada tanah sangat dangkal (kedalaman < 30 cm) tingkat berat apabila erosi yang terjadi < 15 ton hektar-1 tahun-1, tingkat sangat berat apabila erosinya diantara >15 ton hektar-1 tahun-1. Berdasarkan kriteria tersebut, tingkat bahaya erosi yang terjadi pada Sub DAS Telagawaja pada tingkat sangat ringan (SR) sebanyak 15 unit lahan yaitu nomor: 3, 4, 7, 33, 36, 37, 39, 40, 41, 43, 81, 82, 85, 86 dan 89. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan, Suter, Pempatan, Rendang, Nongan dan Muncan. TBE pada tingkat ringan (R) sebanyak 24 unit lahan yaitu: 5, 6, 8, 9, 34, 38, 42, 44, 66, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 80, 87, 88, 92, 93, 94 dan 95. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan, Suter, Pempatan, Menaga, Nongan, Sebudi, Sangkan Gunung dan wilayah Desa Pesaban, Tangkup dan Selat. TBE pada tingkat sedang (S) sebanyak 34 unit lahan, yaitu: 1, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 35, 46, 47, 48, 53, 56, 61, 67, 68, 77, 79, 83, 84, 90 dan 91. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Suter, Pempatan, Besakih, Menaga, Rendang, Muncan dan Sangkan Gunung. TBE tingkat berat sebanyak 17 unit lahan yaitu: 2, 17, 18, 19, 22, 27, 50, 51, 52, 54, 57, 58, 59, 60 dan 64. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Suter, Pempatan, Besakih dan Sebudi. Sedangkan TBE pada tingkat sangat berat sebayak 7 unit lahan yaitu nomor 45, 49, 55, 62, 63, 65 dan 69. Unit lahan tersebut tersebar di sebagian wilayah Desa Besakih dan Sebudi.
68
Sebaran tingkat bahaya erosi dan sebaran per masing-masing wilayah desa disajikan pada Tabel 5.14. Peta tingkat bahaya erosi disajikan pada Lampiran Peta 7.
69
Tabel 5.13 Sebaran Kelas Erosi Per Masing-Masing Wilayah pada Sub DAS Telagawaja
No.
Kabupaten
1 2 1 Bangli
2 Karangasem
Kecamatan 3 Kintamani
Rendang
Selat Sidemen 3 Klungkung Klungkung Jumlah Sub DAS Telagawaja Keterangan: I,II,…dst: kelas erosi
Desa 4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Sebudi Muncan Sangkan Gunung Tangkup Selat
Kelas Erosi (ha) I 5 42,18 73,75 619,79 2.977,70 1.737,59 284,29 208,61 300,67 84,21 6.328,79
II 6 107,92 166,40 115,24 587,62 661,99 985,22 124,23 205,15 279,42 214,68 92,60 3.540,47
III 7 407,75 257,07 100,19 79,34 45,32 159,05 197,61 1.246,33
Jumlah (ha) IV 8 -
V 9 -
-
10 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59
70
Tabel 5.14 Sebaran Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Per masing-masing Wilayah pada Sub DAS Telagawaja
No.
Kabupaten
Kecamatan
Desa
SR 4 5 Abang Batu Dinding 42,18 Abang Songan 73,75 Suter 449,70 2 Karangasem Rendang Pempatan 505,57 Besakih Menanga Rendang 284,29 Nongan 208,61 Pesaban Selat Sebudi Muncan 84,21 Sidemen Sangkan Gunung Tangkup 3 Klungkung Klungkung Selat Jumlah Sub DAS 1.648,31 Keterangan: SR: Sangat Ringan; R: Ringan; S: Sedang; B: Berat; SB: Sangat Berat. 1 2 1 Bangli
3 Kintamani
Tingkat Bahaya Erosi (Ha) R 6 107,92 166,40 73,40 131,74 1.014,93 124,23 79,34 46,63 279,42 214,68 92,60 2.331,29
S 7
Jumlah (Ha) B 8
170,09 2.472,13 1.737,59 227,36 100,19 -
41,84 455,88 634,56 -
159,05 197,61 -
300,67 -
5.064,02
1.432,95
SB 9 435,18 203,84 639,02
10 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59
71
5.3.3 Erosi yang Diperkenankan Mengacu pada peta kedalaman tanah, wilayah Sub DAS Telagawaja terdiri atas kedalam tanah < 30 cm, kedalaman 30 – 60 cm dan kedalaman > 90 cm. Dengan menggunakan Kriteria yang digunakan oleh Thomson (1957) dalam Arsyad (2010) sebagaimana Tabel 4.10 maka secara teoritis erosi yang diperkenankan (Edp) untuk tanah dengan kedalaman < 30 cm erosi yang diperkenankan tidak boleh lebih dari 0,8 mm tahun-1 atau 9,6 ton hektar-1tahun-1, nilai Edp untuk tanah dengan kedalaman 30 – 60 cm sebesar 1,2 mm tahun-1 atau 14,4 ton hektar-1tahun-1 sementara untuk tanah dalam dengan kedalaman > 90 cm dengan lapisan bawah berpermeabilitas tinggi di atas substrata yang telah melapuk adalah sebesar 2,5 mm tahun-1 atau 30 ton hektar-1tahun-1. Berdasarkan atas kriteria tersebut, banyaknya unit lahan yang melebihi erosi yang diperkenankan sebanyak 35 unit lahan, yaitu: 2, 17, 18, 19, 22, 27, 45, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 69, 70, 74, 76, 77, 78, 79, 83, 84, 87, 88, 90, 91, 94 dan 95. Unit lahan tersebut berada di sebagian wilayah Desa Suter, Pempatan, Besakih, Menanga, Rendang, Nongan, Pesaban, Sebudi, Muncan, Sangkan Gunung, Tangkup dan Desa Selat. Sebaran dan besaran erosi yang diperkenankan per wilayah desa pada Sub DAS Telagawaja disajikan sebagaimana Tabel 5.15. Perhitungan dan analisis, prediksi erosi aktual, erosi yang diperkenankan (Edp), kelas erosi dan tingkat bahaya erosi per masing-masing satuan unit lahan pada wilayah Sub DAS Telagawaja disajikan pada Lampiran 4.
72
Tabel 5.15 Sebaran Erosi yang Diperkenankan Per Masing-masing Desa pada Sub DAS Telagawaja No. Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Ha) Prediksi Erosi Erosi yang Aktual Ditoleransi (Ton/ha/tahun) (Ton/Ha/Tahun) 1 2 3 4 5 7 6 1 Bangli Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 120,00 81,04 Abang Songan 240,15 120,00 68,61 Suter 735,03 54,30 118,80 2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 238,53 555,60 Besakih 2.807,33 726,32 254,40 Menanga 1.242,29 516,22 330,00 Rendang 384,48 120,86 90,00 Nongan 332,84 110,54 90,00 Pesaban 79,34 30,00 50,11 Selat Sebudi 551,14 267,89 102,00 Muncan 243,26 141,62 90,00 Sidemen Sangkan Gunung 477,03 292,70 90,00 Tangkup 214,68 30,00 54,17 3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 30,00 54,17 Jumlah Sub DAS 11.115,59 2.777,08 2.050,80 Sumber: Hasil pengolahan data 5.4 Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Arahan klasifikasi fungsi kawasan ditentukan berdasarkan faktor kemiringan lahan, kepekaan tanah terhadap erosi serta jumlah intensitas curah hujan harian. Skor dari ketiga faktor tersebut dijumlahkan untuk memperoleh arahan klasifikasi fungsi kawasan di Sub DAS Telagawaja sebagaimana Tabel 4.11. Kemiringan lahan pada Sub DAS Telagawaja terdiri dari kelas 2 (8,1 – 15%) sampai dengan kelas 5 (> 45%). Secara berurutan kemiringan lahan pada kelas 2 (8,1 – 15%) memiliki skor 40 seluas 3.414,01 hektar (30,71%). Kemiringan lahan pada kelas 3 (15,1 – 25%) seluas 4.364,63 hektar (39,27%) katagori agak curam dengan skor 60. Kelas kemiringan 4 (25,1 – 45%) katagori
73
curam skor 80 seluas 3.179,02 hektar (28,60%). Kelas kemiringan lahan yang masuk pada kelas 5 kemiringan lahan > 45% dengan skor 100 seluas 157,93 hektar (1,42%). Jenis tanah pada Sub DAS Telagawaja jenis tanah Regosol kelabu, Regosol berhumus dan Regosol coklat kekuningan. Berdasarkan kelas kepekaan tanah teradap erosi jenis tanah regosol termasuk dalam kelas 5 artinya jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi dengan skor 75. Jumlah intensitas curah hujan yang diperoleh dari Stasiun Pengamat Curah Hujan di BPP Selat sebesar 29,62 mm hari-1 dan RPH Rendang sebesar 29,16 mm hari-1 termasuk dalam kelas 4 katagori tinggi dengan skor 40. Sementara jumlah intensitas curah hujan BPP Rendang sebesar 19,48 mm hari-1 termasuk dalam kelas 2 katagori rendah dengan skor 20. Hasil analisis dari ketiga faktor di atas, diperoleh hasil arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja sebagaimana Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis tersebut, unit lahan yang menunjukkan kawasan dengan fungsi lindung sejumlah 65 unit lahan. Dari 65 unit lahan tersebut terdiri atas kawasan lindung dalam kawasan hutan sebanyak 40 unit lahan dan 25 unit lahan merupakan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Unit lahan yang termasuk dalam kawasan hutan yaitu unit lahan nomor: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 20, 21, 23, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 37, 41, 43, 45, 46, 47, 48, 53, 56, 61, 63, 64, 65, 67 dan 68. Sebaran unit lahan tersebut berada di Kecamatan Kintamani (Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan dan, Suter) Kecamatan Rendang (Desa Pempatan dan Besakih) serta Kecamatan Selat (Desa Sebudi).
74
Sedangkan unit lahan yang termasuk dalam kawasan dengan fungsi lindung di luar kawasan hutan yaitu nomor: 8, 9, 27, 34, 36, 38, 39, 40, 42, 44, 49, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 62, 69, 81, 84, 87, 88, 90 dan 93. Sebaran unit lahan tersebut tersebar di Kecamatan Kintamani (Desa Abang Batu Dinding, Abang Songan dan, Suter) Kecamatan Rendang (Desa Pempatan, Besakih, Rendang, dan Nongan), Kecamatan Selat (Desa Sebudi dan Muncan) serta Kecamatan Sidemen (Desa Sangkan Gunung). Unit lahan yang menunjukkan kawasan dengan fungsi penyangga sebanyak 30 unit lahan. Satuan unit lahan tersebut yaitu: 6, 16, 18, 19, 22, 24, 50, 51, 52, 66, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 85, 86, 89, 91, 92, 94 dan 95. Sebaran unit lahan tersebut tersebar pada wilayah Sub DAS Telagawaja kecuali wilayah Desa Abang Songan dan Suter Kecamatan Kintamani. Luas kawasan Sub DAS Telagawaja berdasarkan fungsinya disajikan pada Tabel 5.16 dan Tabel 5.17. Peta Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Sub DAS Telagawaja dapat dilihat Lampiran Peta 8.
75
Tabel 5.16 Luas Kawasan Sub DAS Telagawaja Berdasarkan Arahan Fungsi Kawasan Per Masing-masing Wilayah Desa No. Kabupaten Kecamatan
1 2 1 Bangli
Desa
3 4 Kintamani Abang Batu Dinding Abang Songan Suter 2 Karangasem Rendang Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Selat Sebudi Muncan Sidemen Sangkan Gunung Tangkup 3 Klungkung Klungkung Selat Jumlah Sub DAS Prosentase (%)
Data hasil pengolahan
Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan (Ha)
Luas (Ha)
Kawasan Lindung 5 94,50 240,15 735,03 3.123,03 2.192,27 100,19 124,23 504,51 54,04 169,33 7.337,28
Kawasan Penyangga 6 55,60 442,29 615,06 1.242,29 284,29 208,61 79,34 46,63 189,22 307,70 214,68 92,60 3.778,31
7 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59
66,01
33,99
100,00
76
Tabel 5.17 Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Lindung dan Penyangga Sub DAS Telagawaja No. Kabupaten Kecamatan
1 2 1 Bangli
3 Kintamani
Desa
4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter 2 Karangasem Rendang Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Selat Sebudi Muncan Sidemen Sangkan Gunung Tangkup 3 Klungkung Klungkung Selat Jumlah Sub DAS Prosentase (%) Data hasil pengolahan
Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan (Ha) Jumlah (Ha) Kawasan Lindung Kawasan Kawasan Budidaya Permuki Dalam Luar Kawasan Penyangga Kawasan man Kawasan Kawasan Budidaya Budidaya Hutan Hutan Tanaman Tanaman (Budidaya) Tahunan Semusim/Setah 5 6 7 8 9 10 11 42,18 52,32 55,60 150,10 73,75 166,40 240,15 661,63 73,40 735,03 2.544,27 578,76 442,29 3.565,32 1.765,02 427,25 615,06 2.807,33 1.242,29 1.242,29 100,19 284,29 384,48 124,23 208,61 332,84 79,34 79,34 459,19 45,32 46,63 551,14 54,04 189,22 243,26 169,33 307,70 477,03 214,68 214,68 92,60 92,60 5.546,04 1.791,24 3.778,31 11.115,59 49,89
16,12
33,99
100
77
Berdasarkan sebaran erosi aktual di Sub DAS Telagawaja, erosi tidak hanya terjadi di kawasan penyangga tetapi terjadi juga di kawasan lindung baik di kawasan hutan lindung maupun kawasan lindung di luar kawasan hutan. Besarnya erosi dan sebaran per masing-masing fungsi kawasan disajikan pada Tabel 5.18. Tabel 5.18 Besarnya Erosi pada Masing-Masing Fungsi Kawasan Sub DAS Telagawaja No. Kabupaten
Kecamatan
Desa
Luas (Ha)
3 Kintamani
4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Sebudi Muncan Sangkan Gunung Tangkup Selat
5 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59
1 1
2 Bangli
2
Karangasem Rendang
Selat Sidemen
3 Klungkung Klungkung Jumlah Sub DAS Persentase (%) Keterangan: KHL: Kawasan Lindung di dalam Kawasan Hutan KLR: Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan KP: Kawasan Penyangga
Besarnya Erosi (Ton/ha/tahun) KHL KLR KP Jumlah 6 7 8 9 3,82 62,11 15,10 81,04 11,28 57,33 68,61 25,63 28,67 54,30 57,45 99,09 81,99 238,53 44,05 595,12 87,15 726,32 516,22 516,22 100,23 20,64 120,86 100,23 10,32 110,54 50,11 50,11 82,97 156,09 28,84 267,89 6,26 135,35 141,62 131,55 161,15 292,70 54,17 54,17 54,17 54,17 225,20 1.386,79 1.165,09 2.777,07 8,11 49,94 41,95 100,00
78
5.5 Perencanaan Arahan Penggunaan Lahan Perencanaan arahan penggunaan lahan merupakan upaya penanganan Sub DAS Telagawaja secara sistematis dan berkesinambungan sehingga pemanfaatan lahan dapat berlangsung secara produktif disertai dengan tetap terjaganya kelestarian fungsi DAS. Perencanaan arahan penggunaan lahan direncanakan dalam rangka mengurangi laju erosi tanah yang terjadi dengan menerapkan tindakan konservasi tanah. Penerapan tindakan konservasi tanah di Sub DAS Telagawaja didasarkan pada kodisi fisik lahan saat ini, prediksi erosi dan tingkat bahaya erosi yang terjadi serta arahan klasifikasi fungsi kawasannya dengan cara mengoreksi faktor penutupan vegetasi (C), faktor pengelolaan lahan (P) dan faktor konservasi tanah dan sistem pertanaman (VM) sebagaimana Tabel 4.4, Tabel 4.5, Tabel 4.7, Tabel 4.8 dan Tabel 4.9. Alternatif tindakan konservasi tanah yang dilakukan adalah dengan cara menambah jumlah vegetasi penutupan lahan dan memperbaiki pengelolaan lahan atau kombinasi dari kedua alternatif tersebut pada masingmasing unit lahan sebagaimana disajikan pada Lampiran 6. Alternatif bentuk perencanaan arahan penggunaan lahan pada kawasan hutan lindung, antara lain: 1) hutan dengan penutupan tajuk efektif 75 - 100 % dengan seresah hutan 75 - 85 % memiliki ketebalan 2,5 cm pada daerah naungan dengan nilai VM sebesar 0,002; 2) hutan dengan persen penutupan tanah semak dan sejenisnya sebesar 95-100 % dan persen tajuk penutupan tanah sebesar 25% dengan nilai VM sebesar 0,003; 3) hutan dengan penutupan tajuk efektif 75 - 100 % dengan seresah hutan 90 - 100 % memiliki ketebalan 2,5 cm pada daerah
79
naungan dengan nilai VM sebesar 0,001; 4) hutan dengan persen penutupan tanah semak dan sejenisnya sebesar 95-100 % dan persen tajuk penutupan tanah sebesar 25 % dengan nilai VM sebesar 0,003; 4) Hutan lindung dengan luas penutupan tajuk efektif lebih dari 20 % dengan nilai VM sebesar 0,003. Alternatif bentuk perencanaan arahan penggunaan lahan pada lahan kebun campuran dan tegalan, antara lain: 1) kebun campuran dengan penutupan rapat lengkap dengan teras bangku dengan konstruksi baik dengan nilai CP sebesar 0,004; 2) kebun campuran dengan penutupan rapat lengkap dengan teras bangku dengan konstruksi sedang dengan nilai CP sebesar 0,015; 3) kebun campuran dengan penutupan sedang lengkap teras bangku dengan konstruksi baik dengan nilai CP sebesar 0,008; 4) kebun campuran dengan penutupan sedang dan teras bangku konstruksi sedang dengan nilai CP sebesar 0,030. Alternatif bentuk perencanaan arahan penggunaan lahan pada sawah dengan cara memperbaiki teras dengan teras bangku dengan konstruksi baik dengan nilai P sebesar 0,04. Bentuk perencanaan pada lahan pemukiman dengan cara meningkatkan penutupan rumput atau tanaman sebesar 95 % dan penutupan pohon 25 % dengan nilai VM sebesar 0,003. Hasil perencanaan arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja dengan menerapkan alternative tindakan konservasi tanah sebagaimana dijelaskan di atas, mampu menekan erosi total sebesar 2.166,07 ton hektar-1 tahun-1 atau 78,00 % dari total erosi yang terjadi sebesar 2.777,07 ton hektar-1 tahun-1. Besarnya prediksi erosi setelah dilakukan perencanaan penggunaan lahan dengan
80
menerapkan beberapa alternatif penerapan teknik konservasi tanah menjadi sebesar 611,00 ton hektar-1 tahun-1. Prediksi besarnya erosi setelah dilakukan penerapan arahan penggunaan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 5.19. Kelas dan tingkat bahaya erosi setelah dilakukan perencanaan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.20 dan 5.21. Peta arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja disajikan Lampiran Peta 9. Tabel 5.19 Prediksi Erosi setelah Dilakukan Perencanaan Penggunaan Lahan Sub DAS Telagawaja No. Kabupaten Kecamatan
Desa
Luas (Ha)
Besarnya Erosi Aktual (Ton/ha/Th KHL
1 2 1 Bangli
KLR
3 4 5 6 7 Kintamani Abang Batu Dinding 150,10 1,91 28,67 Abang Songan 240,15 3,63 28,67 Suter 735,03 7,33 14,33 2 Karangasem Rendang Pempatan 3.565,32 22,22 34,67 Besakih 2.807,33 21,51 51,87 Menanga 1.242,29 Rendang 384,48 13,37 Nongan 332,84 26,73 Pesaban 79,34 13,36 Selat Sebudi 551,14 16,96 11,65 Muncan 243,26 1,67 Sidemen Sangkan Gunung 477,03 35,08 Tangkup 214,68 3 Klungkung Klungkung Selat 92,60 Jumlah Total 11.115,59 73,56 260,06 Keterangan: KHL: Kawasan Hutan Lindung; KLR: Kawasan Lindung di luar kawasan hutan; KP: Kawasan Penyangga
KP 8 6,47 38,84 22,96 148,77 5,50 2,75 8,41 7,57 21,67 7,22 7,22 277,38
Jumlah 9 37,05 32,30 21,66 95,73 96,34 148,77 18,87 29,48 13,36 37,02 9,24 56,75 7,22 7,22 611,00
81
Tabel 5.20 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi setelah Dilakukan Perencanaan Penggunaan Lahan Sub DAS Telagawaja No. Kabupaten Kecamatan
1 1
2 Bangli
Desa
3 4 Kintamani Abang Batu Dinding Abang Songan Suter 2 Karangasem Rendang Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Selat Sebudi Muncan Sidemen Sangkan Gunung Tangkup 3 Klungkung Klungkung Selat Jumlah Sub DAS Keterangan: I;II;II….dst : kelas erosi SR;R;S….dst : Tingkat bahaya erosi
Luas (Ha)
5 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59
Kelas Erosi (ha) I 6 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 695,36 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 307,70 214,68 92,60 10.399,33
II 7 546,93 169,33 716,26
III 8
-
TBE (ha) IV 9
V 10
-
-
-
-
-
-
-
-
SR 11 150,10 240,15 523,10 637,31 695,36 384,48 332,84 79,34 46,63 243,26 307,70 214,68 92,60 3.947,55
R 12
S 13
B 14
546,93 169,33 716,26
211,93 2.928,01 2.779,90 131,12 6.050,96
27,43 373,39 400,82
SB 15 -
82
Tabel 5.21 Perbandingan Prediksi Laju dan Besarnya Erosi sebelum dan setelah Dilakukan Perencanaan Penggunaan Lahan Sub DAS Telagawaja
No.
Kabupaten
Kecamatan
Desa
Luas (Ha)
Prediksi Erosi (ton/ha/th) Saat ini
1 2 1 Bangli
3 Kintamani
2 Karangasem
Rendang
Selat Sidemen 3 Klungkung Klungkung Jumlah Sub DAS Data hasil pengolahan
4 Abang Batu Dinding Abang Songan Suter Pempatan Besakih Menanga Rendang Nongan Pesaban Sebudi Muncan Sangkan Gunung Tangkup Selat
5 150,10 240,15 735,03 3.565,32 2.807,33 1.242,29 384,48 332,84 79,34 551,14 243,26 477,03 214,68 92,60 11.115,59
6 81,04 68,61 54,30 238,53 726,32 516,22 120,86 110,54 50,11 267,89 141,62 292,70 54,17 54,17 2.777,07
Setelah Perencanaan 7 37,05 32,30 21,66 95,73 96,34 148,77 18,87 29,48 13,36 37,02 9,24 56,75 7,22 7,22 611,00
Laju Penurunan Erosi Penurunan Persentase Erosi (%) (ton/ha/th) 8 9 43,99 54,28 36,31 52,92 32,64 60,11 142,80 59,87 629,98 86,74 367,45 71,18 101,99 84,39 81,06 73,33 36,75 73,33 230,88 86,18 132,38 93,48 235,95 80,61 46,95 86,67 46,95 86,67 2.166,07 78,00
83
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sub DAS Telagawaja Sub DAS Telagawaja secara administrasi terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu: Kabupaten Bangli 10,12%, Karangasem 89,04% dan Klungkung 0,83%. Berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2012 DAS yang wilayahnya berada dalam wilayah administrasi lebih dari satu kabupaten termasuk dalam DAS lintas kabupaten sehingga pengelolaan Sub DAS Telagawaja berada pada kewenangan Provinsi Bali. Wilayah Sub DAS Telagawaja termasuk daerah dengan tipe iklim sangat basah dan mendapatkan cukup banyak air hujan sepanjang tahun dengan jumlah rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 2.791 mm sampai dengan 3.628 mm. Besarnya curah hujan ini perlu diwaspadai mengingat semakin banyaknya air hujan yang jatuh ke atas tanah bisa memicu terjadinya erosi tanah. Makin besar diameter titik hujan, daya kinetiknya makin besar (Kartasapoertra, dkk., 1985). Erosi tanah terjadi apabila aksi dispersi dan tenaga pengangkut air hujan yang mengalir ada di permukaan dan atau di dalam tanah (Rahim, 2006). Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan serta tingkat kerusakan erosi yang terjadi (Arsyad, 2010). Jenis tanah berdasarkan hasil analisis terdiri atas tanah Regosol berhumus, Regosol kelabu dan Regosol coklat kekuningan. Jenis tanah di wilayah Sub DAS
84
Telagawaja terjadi akibat pelapukan abu vulkanik yang berasal dari material erupsi Gunung Api Agung dan material batuan Gunung Api Buyan, Beratan, dan Batur Purba. Tanah regosol merupakan tanah dengan kandungan bahan organik yang rendah, selain itu tanah ini juga peka terhadap erosi. Dari penelitian Coster 1938 dalam Arsyad (2010) menunjukkan bahwa tanah Regosol dari bahan vulkan merupakan tanah yang memiliki sifat sangat rentan terhadap erosi. Kemiringan lahan pada Sub DAS Telagawaja sebagian besar adalah agak curam sampai sangat curam yang mencapai 69,29% wilayahnya, sisanya merupakan wilayah dengan topografi landai. Kondisi ini menggambarkan wilayah
Sub
DAS
Telagawaja
merupakan
wilayah
dengan
topografi
bergelombang hingga berbukit dan bergunung. Kondisi ini perlu diwaspadai mengingat faktor kemiringan dan panjang lereng merupakan faktor penentu terjadinya erosi tanah. Arsyad (2010) menyatakan bahwa selain memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curam lereng juga memperbesar energi angkut aliran permukaan. Wilayah Sub DAS Telagawaja dilihat dari struktur geomorfologinya merupakan wilayah dengan bentuk lahan vulkanik dan denudasional. Bentuk lahan vukanik merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat terjadinya aktivitas gunung api. Bentuk lahan vulkanik pada wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan bentuk lahan yang dihasilkan dari hasil aktivitas Gunung Api Agung dan Gunung Api Batur. Karakteristik bentuk lahan asal vulkanik pada satuan lahan terdiri atas kerucut gunung, lereng gunung, kaki gunung dan dataran kaki Gunung Api Agung.
85
Bentuk lahan denudasional terbentuk dari adanya proses degradasi lahan seperti erosi dan tanah longsor. Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Denudasi cenderung akan menurunkan bagian permukaan bumi yang positif hingga mencapai bentuk permukaan bumi yang hampir datar membentuk dataran nyaris (pineplain). Denudasi meliputi dua proses utama yaitu pelapukan dan perpindahan material dari bagian lereng atas ke lereng bawah oleh proses erosi dan gerak massa batuan (masswashting). Ini menunjukan proses erosi telah terjadi di wilayah Sub DAS Telagawaja. Manusia melakukan intervensi (campur tangan) terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhanya. Intervensi tersebut bukan hanya terjadi di luar kawasan hutan, namun juga telah merambah ke dalam kawasan hutan. Besar kecilnya intervensi manusia terhadap lahan tercermin dari keanekaragaman jenis penutupan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja. Penutupan lahan berupa hutan di wilayah Sub DAS Telagawaja sangat mendukung infiltrasi air hujan yang jatuh di kawasan tersebut, namun tidak sepenuhnya dalam kondisi baik, terutama kawasan hutan yang berdekatan dengan lahan milik. Kawasan hutan telah dirambah sehingga penutupan tajuk hutan sudah berubah. Hal ini mengakibatkan kemampuan vegetasi hutan dalam menerima, menahan, menguapkan, mengalirkan serta meresapkan air hujan yang jatuh di atasnya terganggu. Arsyad (2010) menyatakan bahwa vegetasi penutup
86
tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat dapat menghilangkan pengaruh hujan terhadap erosi. Penggunaan lahan di luar hutan, selain terjadi pergeseran tanaman dari tanaman dengan perakaran dalam ke tanaman dengan perakaran dangkal, kegiatan budidaya tanaman pertanian juga dilakukan pada lahan-lahan yang miring dan berbukit. Kegiatan pengelolaan lahan dilakukan dengan tidak memperhatikan teknologi pengelolaan lahan. Kondisi ini, mengakibatkan air hujan jatuh ke permukaan tanah dan pada kondisi tertentu menjadi aliran permukaan. Berdasarkan uraian tentang hasil pembahasan kondisi karakteristik Sub DAS Telagawaja dilihat dari aspek iklim, jenis tanah, kemiringan lahan, bentuk lahan
serta
adanya
intervensi
manusia
didalam
mengelola
lahannya
menunjukkan bahwa wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah yang rentan terjadinya erosi tanah. Kondisi tersebut apabila lahan tidak dikelola dan direncanakan dengan baik bisa berdampak buruk terhadap lahan Sub DAS Telagawaja. 6.2 Kelas dan Tingkat Bahaya Erosi Penggunaan lahan secara tepat guna dan berhasil guna hanya akan terjadi bila dilakukan berdasarkan kemampuan alami yang dimiliki oleh lahan itu sendiri. Kesalahan dalam mengelola atau salah dalam pemanfaatannya merupakan penyebab timbulnya kerusakan lahan (Rahim, 2006). Saat ini, penggunaan kawasan lindung maupun kawasan dengan fungsi penyangga di wilayah Sub DAS Telagawaja tidak semuanya sesuai dengan pemanfaatan sebagaimana seharusnya.
87
Keberadaan kawasan lindung dan penyangga terus tergerus oleh kawasan budidaya yang berkembang. Kawasan lindung di dalam kawasan hutan sebagian wilayahnya dirambah, tanaman bawah telah diganti dengan tanaman hijauan pakan ternak. Sementara kawasan lindung di luar kawasan hutan dan wilayah dengan fungsi penyangga sebagian wilayahnya telah dialih fungsikan sebagai areal budidaya pertanian dengan minimnya penerapan teknologi pengolahan lahan, permukiman penduduk, bahkan areal tambang seperti yang dijumpai di Desa Sebudi dan Besakih. Aktivitas ini tentunya memicu dan mempercepat terjadinya erosi tanah di wilayah Sub DAS Telagawaja yang secara karakteristik lahannya merupakan lahan yang rentan terjadi erosi. Hasil analisis terhadap prediksi erosi di wilayah Sub DAS Telagawaja, menunjukan erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja sebesar 275.361,49 ton tahun-1 atau 2.777,07 ton hektar-1 tahun-1. Besarnya nilai erosi yang terjadi selanjutnya digunakan untuk menentukan kelas erosi dan tingkat bahaya erosi di wilayah Sub DAS Telagawaja. Kelas erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja bervariasi dari kelas I sampai dengan kelas III. Secara umum erosi pada kelas III terjadi di Desa Besakih, Menanga, Rendang, Pesaban, Sebudi, Muncan, dan sangkan Gunung. Penggunaan lahan pada kelas ini merupakan lahan kebun campuran dan tegalan. Erosi pada pada kelas II hampir terjadi di seluruh wilayah kecuali Desa Rendang, Pesaban dan Muncan. Luas per masing-masing kelas erosi dari tingkat I sampai dengan kelas III secara berurut adalah kelas
I seluas
6.328,79 hektar atau 56,94%, erosi kelas II seluas 3.540,47 hektar atau 31,85% dan erosi kelas III seluas 1.246,33 hektar atau 11,21%.
88
Tingkat bahaya erosi (TBE) Sub DAS Telagawaja diperoleh dengan membandingkan besarnya erosi yang terjadi (erosi aktual) dengan kedalaman efektif tanah pada satuan unit lahan di wilayah bersangkutan. Hasil analisis TBE pada Sub DAS Telagawaja bervariasi dari tingkat sangat ringan sampai dengan tingkat sangat berat. TBE pada Sub DAS Telagawaja secara berturut disajikan sebagai berikut: tingkat sangat ringan (SR) seluas 1.648,31 hektar atau 14,83 %, ringan (R) seluas 2.331,29 hektar atau 20,97 %, sedang (S) seluas 5.064,02 hektar atau 45,56 %, berat (B) seluas 1.432,95 hektar atau 12,89 % dan sangat berat (SB) seluas 639,02 hektar atau 5,75 %. Secara umum erosi tanah dengan tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat, terjadi pada lahan: 1) lahan dengan tutupan lahan berupa vegetasi tetap dengan persen penutupan penutupan tanah adalah semak belukar rendah dengan tajuk daun lebar atau seresah belum membusuk sebesar 80% dan tajuk tanaman bawah sebesar 25%; 2) hutan lindung dengan luas penutupan tajuk kurang dari 20 %; 3) kebun campuran jarang sampai sedang dan tanaman semusim, jenis tanah regosol serta kemiringan lereng antara 15% sampai lebih dari > 40% dengan pengolahan lahan berupa teras tradisional sampai teras bangku dengan konstruksi sedang. Erosi tanah dengan tingkat bahaya erosi sangat ringan terjadi pada vegetasi tetap rapat dan kebun campuran rapat dengan pengolahan lahan berupa teras bangku dengan konstruksi sedang hingga baik. 6.3 Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Upaya untuk menekan dan mengendalikan erosi tanah di wilayah Sub DAS Telagawaja perlu segera dilakukan baik secara makro maupun mikro.
89
Penyelamatan lahan secara makro dilakukan dengan cara penataan lahan pada wilayah Sub DAS Telagawaja sesuai dengan arahan fungsi utamanya yaitu sebagai fungsi lindung dan produksi. Upaya ini untuk menjaga keseimbangan antara kemampuan lahan dengan jenis pemanfaatan yang digunakan sebagai upaya untuk melindungi kelangsungan fungsi dan manfaat sumberdaya lahan di Sub DAS Telagawaja. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, peruntukan wilayah Sub DAS
Telagawaja terdiri atas fungsi lindung dan fungsi penyangga. Luas wilayah lindung mencapai 7.337,28 hektar atau 66,01% dari luas total DAS. Sedangkan wilayah penyangga di Sub DAS Telagawaja seluas 3.778,31 hektar atau 33,99% dari luas DASnya. Arahan fungsi lindung Sub DAS Telagawaja terdiri dari kawasan
lindung dalam kawasan hutan (hutan lindung) dan kawasan lindung di luar kawasan hutan (kawasan budidaya). Kawasan lindung di luar kawasan hutan pada Sub DAS Telagawaja sebesar 16,12% atau seluas 1.791,24 hektar. Sedangkan fungsi lindung di dalam kawasan hutan seluas 5.546,04 hektar atau 49,89% dari luas DAS nya. Luas hutan di wilayah Sub DAS Telagawaja telah memenuhi ketentuan sebagaimana telah disyaratkan dalam upaya pelestarian lingkungan sebagaimana yang telah diamanahkan dalam Undang-undang Penataan Ruang Nomor: 26 tahun 2007. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka upaya pelestarian lingkungan, dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
90
Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980 dan No.683/kpts/um/8/1981, wilayah Sub DAS Telagawaja yang diklasifikasikan sebagai kawasan lindung merupakan kawasan yang difungsikan sebagai kawasan perlindungan bagi daerah sekitarnya, sehingga kawasan ini tidak sesuai untuk dijadikan sebagai kawasan budidaya. Penggunaan lahan yang diperbolehkan pada kawasan lindung adalah pengolahan lahan dengan tanpa pengolahan tanah (zero tillage) dan dilarang melakukan penebangan vegetasi hutan. Pemanfaatan kawasan lindung ini bisa dimanfaatkan untuk pemanfaatan kawasan berupa jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Daerah penyangga merupakan daerah yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi membatasi aktifitas manusia di dalam kawasan lindung agar tidak merusak kawasan lindung (Soemarwoto, 1985). Luas kawasan dengan fungsi penyangga pada wilayah Sub DAS Telagawaja sebesar 33,99% dari luas DAS atau 3.778,31 hektar. Kawasan penyangga ini merupakan batas antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pemanfaatan lahan pada wilayah ini berpengaruh terhadap kelestarian kawasan lindung yang ada di wilayah Sub DAS Telagawaja. Dari hasil analisis prediksi erosi disandingkan dengan arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja diketahui bahwa erosi tidak hanya terjadi di kawasan dengan fungsi penyangga (budidaya) tetapi juga kawasan lindung. Prediksi erosi pada kawasan lindung sebesar 1.611,99 ton hektar-1 tahun-1 (58,05% ) sementara di kawasan penyangga sebesar 1.165,09 ton hektar-1 tahun-1. (41,95%). Hal yang menarik dari penelitian ini adalah jumlah erosi yang terjadi
91
dalam kawasan lindung sebesar 1.386,79 ton hektar-1 tahun-1 terjadi pada kawasan lindung di luar kawasan hutan atau menyumbang 49,94% dari total erosi yang terjadi sementara luasnya hanya 1.791,24 atau 16,12% dari total luas DAS. Kondisi tersebut menjadi catatan mengingat kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. 6.4 Perencanaan Arahan Penggunaan Lahan Besarnya erosi aktual yang terjadi pada Sub DAS Telagawaja secara umum telah melebihi batas erosi yang ditoleransi. Wilayah desa dimana erosi aktualnya telah melebihi erosi yang ditoleransi meliputi Desa Besakih, Menangan, Rendang, Nongan, Pesaban, Sebudi, Muncan, Sangkan Gunung, Tangkup dan Desa selat. Ini memberikan pesan bahwa penutupan vegetasi, pola tanam dan tindakan konservasi tanah yang ada di wilayah tersebut belum mampu untuk mencegah atau menekan terjadinya erosi sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Atas kondisi tersebut diperlukan upaya penyelamatan lahan secara mikro dengan cara menerapkan tindakan konservasi tanah sebagai bentuk dari arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja. Perencanaan arahan penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja didasarkan pada kodisi fisik lahan saat ini, erosi dan tingkat bahaya erosi yang terjadi serta dengan memperhatiakan arahan klasifikasi fungsi kawasannya dengan cara mengoreksi faktor penutupan vegetasi (C), faktor pengelolaan lahan (P) serta faktor konservasi tanah dan sistem pertanaman (VM).
92
Bentuk arahan penggunaan lahan dengan menerapkan alternatif tindakan konservasi tanah dilakukan dengan cara menambah vegetasi penutupan lahan dan memperbaiki praktek pengelolaan lahan atau kombinasi dari kedua alternatif tersebut di masing-masing unit lahan. Penerapan arahan penggunaan lahan tidak hanya menekan laju erosi yang terjadi tetapi mampu mengurangi tingkat bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Telagawaja. Besarnya laju erosi yang berhasil ditekan sebesar 2.166,07 ton hektar-1tahun-1 (78,00%) dari erosi yang terjadi sebesar 2.777,07 ton hektar-1 tahun-1 menjadi 611,00 ton hektar-1 tahun-1. Kelas erosi yang terjadi sebelum dilakukan arahan penggunaan lahan berada pada kisaran kelas I sampai dengan kelas III dengan tingkat bahaya erosi sangat ringan sampai sangat berat. Setelah dilakukan perencanaan arahan penggunaan lahan maka kelas erosi yang terjadi hanya pada kelas I dan II bahkan sebesar 93,56 % dari luas DAS berada pada kelas I. Tingkat bahaya erosi berhasil ditekan sangat ringan sampai dengan berat. Penurunan tersebut sebagai dampak dari pemilihan nilai C dan P atau VM sesuai dengan ketentuan konservasi. Pembuatan atau penyempurnaan teras bangku dan teras gulud pada hakekatnya adalah untuk mengurangi kemiringan lahan dengan tujuan untuk menahan aliran permukaan, meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah. Pengkayaan tanaman merupakan upaya untuk menambah tajuk penutupan tanah dengan tujuan untuk melindungi tanah terhadap daya rusak butirbutir air hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air permukaan, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah melalui perakarannya. Manfaat dari pengkayaan tanaman antara lain dapat menjaga dan memperbaiki
93
kesuburan
tanah,
mengurangi
erosi,
menambah
pupuk
organik
dan
mempertahankan produksi tanaman serta memutus siklus hama dan penyakit. Pengkayaan tanaman bisa dilakukan baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan. Kegiatan pengkayaan tanaman di dalam kawasan hutan atau yang disebut reboisasi dilakukan dengan jenis tanaman yang sudah tumbuh di kawasan tersebut. Jenis tanaman reboisasi yang disarankan untuk pengkayaan tanaman di dalam kawasan hutan Sub DAS Telagawaja meliputi tanaman Pinus (Pinus merkusii) dan Ampupu (Eucalyptus urophylla). Pengkayaan tanaman pada kebun campuran dan tegalan atau lahan milik dilakukan dengan hutan rakyat atau agroforestry. Pemilihan jenis tanaman yang disarankan adalah jenis-jenis yang sudah tumbuh baik, disukai masyarakat, memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta cepat memiliki menghasilkan. Jenis tanaman kayu yang disarankan adalah Sengon (Albizia chinensis), Kejimas (Duabanga mollucana), Jabon (Anthocephalus cadamba) dan Mahoni (Swietenia mahagoni). Jenis tanaman untuk kawasan lindung di luar kawasan hutan disarankan untuk jenis tanaman serbaguna seperti: Durian (Durio zibethinus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Sawo manila (Achras zapota var depressa) dan Alpokat (Persea americana). Selain tanaman tersebut, untuk perlindungan jurang dan sempadan sungai atau mata air disarankan untuk ditanami dengan tanaman Bambu (Bambusa, Sp.) dan Aren (Arenga pinnata). Penggunaan tanaman serbaguna memiliki fungsi ganda selain kayu hasil yang bisa dimanfaatkan adalah buah atau bagian lain yang dihasilkannya. Tingginya nilai ekonomi buah yang
94
dihasilkan akan mendorong penduduk untuk tetap mempertahankan keberadaan tanaman tersebut di lahannya. Pengkayaan tanaman kayu dan tanaman serbaguna dapat dikombinasikan dengan tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh dan kelapa serta tanaman semusim lainnya. Sedangkan untuk penyediaan tanaman hijauan pakan ternak antara lain: Rumput gajah (Penisetum purpureum), Lamptoro (Leucaena leucocephala),
Turi
haematocephala).
(Sesbania
grandiflora)
dan
Kaliandra
(Calliandra
95
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Sebagaimana hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diambil simpulan sebagai berikut: 1.
Karakteristik wilayah Sub DAS Telagawaja merupakan wilayah yang rentan terhadap terjadinya bahaya erosi tanah.
2.
Tingkat bahaya erosi (TBE) pada tingkat berat hingga sangat berat telah terjadi di wilayah Sub DAS Telagawaja.
3.
Arahan klasifikasi fungsi kawasan Sub DAS Telagawaja terdiri atas kawasan dengan fungsi lindung dan kawasan dengan fungsi penyangga.
4.
Arahan penggunaan lahan Sub DAS Telagawaja dengan menerapkan alternatif tindakan konservasi tanah yang sesuai mampu menekan erosi sampai pada erosi yang tidak membahayakan.
7.2 Saran Berdasarkan simpulan dan kondisi tersebut diatas, guna perbaikan dan menjaga agar kondisi Sub Daerah Aliran Sungai Telagawaja tetap terjaga dengan baik, disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pemanfaatan atau penggunaan lahan pada Sub DAS Telagawaja hendaknya hati-hati mengingat lahannya rentan terhadap erosi tanah. 2. Pada lahan dengan tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat perlu dilakukan perubahan pengelolaan tanaman dan pengelolaan lahan (faktor CP/VM) untuk mengurangi laju erosi yang terjadi. Upaya yang dapat
96
dilakukan yaitu rehabilitasi hutan dan lahan melalui penerapan teknologi konservasi tanah dengan metode vegetatif dan mekanik. Sedangkan pada lahan dengan erosi sangat ringan hingga ringan dimana tingkat erosinya masih di bawah erosi yang diperkenankan agar penutupan vegetasi dan pengelolaan lahannya agar bisa dipertahankan. 3. Perlu dilakukan sosialisasi serta penyuluhan sebagai upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi kawasan lindung baik kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan seperti sempadan jurang maupun sungai atau perlindungan mata air, serta perlunya diberlakukan aturan yang jelas terhadap pelanggaran yang terjadi dikawasan tersebut. 4. Pemilihan alternatif tindakan konservasi tanah selain berdasarkan karakteristik lahan juga harus memperhatikan kondisi karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang ada wilayah Sub DAS Telagawaja. 5. Selain Pemerintah dan masyarakat, pihak Swasta juga perlu dilibatkan dalam pengelolaan wilayah Sub DAS Telagawaja. 6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait identifikasi karakteristik sosial ekonomi dan kelembagaan, kondisi karakteristik hirologi dan morfometri DAS sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi karakteristik Sub DAS Telagawaja guna keterpaduan pengelolaan Sub DAS Telagawaja.
97
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, I.W.S. 2000. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air. Jurusan Tanah. Denpasar: Universitas Udayana. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah & Air. Edisi Kedua. Bogor : IPB Press. Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Edisi kelima. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Balai Pengelolaan DAS unda Anyar, 2009. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) Wilayah Kerja BPDAS Unda Anyar. Denpasar: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar. Departemen Kehutanan. 1998. Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan Nomor: 041/Kpts/V/1998 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Jakarta: Departemen Kehutanan RI. Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan No:52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta: Departemen Kehutanan RI. Departemen Kehutanan. 2009a. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010 – 2014. Jakarta: Departemen Kehutanan RI. Departemen Kehutanan. 2009b. Peraturan Menteri Kehutanan RI No:P. 39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Jakarta: Departemen Kehutanan RI. Departemen Pertanian. 1980. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara penetapan Hutan Lindung. (cited 2013 Des.20). Available from: http://www.docstoc.com/docs/20556251 Departemen Pertanian. 1981. Keputusan Menteri Pertanian No 683/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. (cited 2013 Des.20). Available from: http://www.docstoc.com/docs/2055625 Dradjad, M dan Notohadiprawiro. 1982. Prosedur Standar Pengawetan Tanah dan Air. Yogyakarta: Departemen Ilmu Tanah fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
98
Effendi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. (cited 2013 Des.3). Published by Andi Prasetyo. Available from: http://www.scribd.com/doc/52831935 Foth, H.D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. (Soenarto Adisoemarto, Pentj). Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Hardjowigeno, S. (1995). Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta http://lutfiardiansyahsaputra.wordpress.com/2013/04/03/bentuk-lahan-asaldenudasional. (cited 2014 Januari.17). Kartasapoetra, G. A. G. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta : Rineka Cipta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Analisis Kawasan lindung DAS Cisadane-Angke-Ciliwung (laporan akhir). Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. Kementerian Kehutanan. 2013. Keputusan Direktur Jenderal Bina pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kementerian Kehutanan Nomor: P.3/Kpts-II/2013 tentang Pedoman Identifikasi Karekteristik DAS. Jakarta: Kementerian Kehutanan RI. Mahmud, A. 2007. “Studi Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) Otan di Kabupaten Tabanan Ditinjau dari Aspek Hidrologi dan Lahan” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Mario, I.K. 2004. “Arahan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Banyumala Buleleng” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Peraturan Pemerintah (PP RI) No.P.37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. 1 Maret 2012. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62. Peraturan Daerah Provinsi Bali (PERDA) No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029. 28 Desember 2009. Denpasar: Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16. Rahim, S.E. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Soemarwoto, Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan Sugiman. 1982. Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Bhratara Karya Aksara. Suripin. 2002. Pelestarian Sumber daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi. Susila, K.G.D. 2012. “Studi Kualitas Air Sungai Telagawaja Kabupaten Karangasem” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
99
Suwardjo, H. 1981. “Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usaha Tani Tanaman Semusim” (disertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 30 September 1999. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167. Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 26 April 2007. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68. Wischmeier, W. H., Smith, D. D. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses – A Guide to Conservation Planning. Washington DC: US Gov. US Dep. of Agriculture, Agric. Print Off. Handbook No. 537.