1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Penelitian Kehadiran korporasi dalam era globalisasi dan perekonomian bebas dewasa ini dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua. Disatu sisi dapat “bermanfaat” (memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi), sedangkan di sisi lain dapat “mengancam” (melakukan kejahatan untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya)1. Korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, seperti meningkatkan penerimaan pajak, devisa,
standar hidup
masyarakat,
menciptakan lapangan pekerjaan, serta berkontribusi positif terhadap pertumbuhan suatu negara. Bahkan dalam beberapa aspek peran penting korporasi dapat melebihi peran serta pengaruh suatu negara, namun demikian peranan penting dan positif korporasi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara seringkali korporasi melakukan penyimpangan yang mengarah pada hukum pidana. Kejahatan korporasi tidak hanya merugikan suatu negara dan
1
Ermanto Fahamsyah dan I Gede Widhiana Suarda, “Implementasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Kaitannya Dengan Kejahatan Korporasi”, Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum UGM, Vol.18, No.2, Juni, 2006. hlm. 235.
2
konsumen, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Praktik-praktik bisnis yang curang seperti praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, pemberian informasi yang tidak benar kepada konsumen, manipulasi pajak, pencemaran lingkungan, perusakan sumber daya alam, dengan tujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Kejahatan korporasi (corporate crime) timbul karena semakin majunya kegiatan di bidang ekonomi dan teknologi. Berkaitan dengan dampak negatif dari kegiatan korporasi inilah maka sering menimbulkan kerugian dan mengancam sendi-sendi perekonomian masyarakat sehingga korporasi harus dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering ada dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Pada awalnya, korporasi atau biasa disebut perseroan perdata hanya dikenal dalam hukum perdata sehingga prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) di Indonesia tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP) saat ini. Subyek hukum pidana dalam KUHP yang dapat dilihat dalam sebagian besar ketentuan pidana diawali dengan kata “barang siapa” dimana hal tersebut menunjukkan bahwa subyek hukum pidana dalam sistem
3
hukum pidana Indonesia adalah natuurlijke person (manusia). Pasal 59 KUHP2, menegaskan bahwa pengurus tidak serta merta bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh salah satu anggotanya. Namun tidak menutup
kemungkinan
jika
pelanggaran
tersebut
terjadi
di
dalam
tanggungannya atau ternyata pengurus atau komisaris ikut campur melakukan pelanggaran, maka pengurus atau komisaris dapat dipidana. Rumusan pertanggungjawaban pidana dalam pasal tersebut tidak menganut prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) yang artinya korporasi tidak dianggap sebagai subjek hukum pidana oleh sebab itu tidak ada pemidanaan terhadap kejahatan korporasi, namun pengertian ini berkembang karena dalam hukum pidana, korporasi dapat berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, korporasi tentunya mempunyai perbedaan dengan orang perseorangan. Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri yang terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Korporasi dalam hukum perdata adalah subyek hukum yang berwenang melakukan perbuatan hukum adalah badan hukum (legal person), sedangkan dalam hukum pidana tidak hanya badan hukum tetapi juga (firma, CV, persekutuan) yang tidak berbadan hukum atau
2
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
4
sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan hukum3. Karakteristik suatu badan hukum yaitu memiliki kekayaan serta hak dan kewajiban yang terpisah dari anggota-anggotanya sehingga anggota hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disetor sesuai akta pendirian atau anggaran dasar perusahaan artinya jika korporasi dikenakan pidana denda dan tidak dibayar maka yang disita adalah aset korporasinya dan tidak sampai pada harta kekayaan pribadi anggotanya. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum secara yuridis lebih merupakan fungsi pengikat bagi para mitra atau sekutu daripada makna yuridis karena bentuk usaha ini bukan subjek hukum sehingga tidak dapat melakukan perbuatan hukum, tidak dapat menuntut dan tidak dapat dituntut. Seiring dengan semakin besar peranan korporasi dalam berbagai bidang, khususnya ekonomi dan adanya kecenderungan korporasi melakukan kejahatan dalam mencapai tujuannya, maka kini telah terjadi pergeseran pandangan bahwa korporasi juga merupakan subjek hukum pidana di samping manusia alamiah. Perkembangan pemikiran bahwa suatu korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dipertanggung jawabkan secara pidana dilandaskan pada pemikiran abstraksi-logis merujuk pada pengalaman empiris dimana korporasi telah digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan suatu
3
Eko Purwanto, “Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Seminar Nasional, Kerjasama dengan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 24, 2013.
5
tindak pidana atau digunakan sebagai sarana untuk menampung hasil suatu tindak pidana dan korporasi dianggap telah memperoleh keuntungan dari tindak pidana tersebut. Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest (badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana) sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional meskipun hanya berlaku dalam sejumlah perundang-undangan khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Desain hukum pidana Indonesia juga mengadopsi dan mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, sebagaimana yang ada di RUU KUHP yang telah memasukkan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan suatu korporasi. Kejahatan korporasi itu sendiri sebenarnya merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime).
Kejahatan korporasi sering
dipersepsikan sebagai white collar crime, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berstatus sosial tinggi. Bentuk white collar crime bisa berstatus formal atau informal (moralitas bisnis). Lingkup white collar crime dapat berupa occupational crime (berkaitan dengan jabatan atau profesi) dan corporate crime (dilakukan oleh korporasi baik dalam lingkup administrasi, perdata, dan/atau pidana)4.
4
Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM, “Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Seminar Nasional, Kerjasama dengan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 24, 2013.
6
Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh kolektif atau kumpulan individu dengan bidang (pekerjaan) yang berbeda. Pada intinya, untuk dapat disebut sebagai kejahatan korporasi jika pejabat atau pengurus korporasi melakukan pelanggaran hukum untuk kepentingan korporasi5. Perbuatan korporasi diwujudkan dalam bentuk atau melalui perbuatan manusia. Pertanggungjawaban pidana harus diperluas, bukan hanya terhadap individu tetapi juga kepada korporasi yang diduga telah melakukan tindak pidana. Dalam hal ini terjadi pengalihan atau
pelimpahan
pertanggungjawaban dari perbuatan manusia yang bersifat personal menjadi perbuatan korporasi, oleh sebab itu pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi dan korporasi dapat dipidana. Disejajarkannya individu dan korporasi sebagai subyek hukum pidana memiliki makna, bahwa keduanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri, bukan alternatif. Secara umum suatu pertanggung jawaban pidana harus dipikul oleh pelaku tindak pidana yaitu subyek hukum berupa orang-perorangan atau manusia (natuurlijke person), dan ini sudah jelas ada ketentuan pidana yang mengaturnya, tetapi terhadap pelanggaran pada korporasi belum semuanya diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus. Dewasa ini ketentuan hukum pidana tidak membedakan pengaturan, artinya jenis sanksi 5
I Gusti Ketut Ariawan, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Vol.15, No.1, Januari, 2009, hlm. 1.
7
pidana yang ditujukan terhadap orang dan korporasi disatukan pengaturan dalam satu
paket
jenis
pidana6.
Korporasi
sebagai
badan hukum
(rechtpersoon) tidak bisa dikenai tanggung jawab sama persis seperti orang pribadi (natuurlijk persoon). Untuk adanya pertanggung jawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat (fisiek dader) suatu tindak pidana tersebut. Dalam kenyataannya untuk memastikan siapa pembuat tidaklah mudah, karena dalam lingkungan sosial ekonomi seorang pembuat tidak perlu selalu melakukan perbuatan tindak pidana secara fisik. Bagian penting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakkan berlakunya norma. Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Apa yang menjadi tujuan pemidanaan tidak lepas dari tujuan hukum pada umumnya yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat materiil dan spirituil,
6
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, Jakarta, hlm. 228.
8
dan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian masyarakat7. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, pengaturan tentang perumusan sanksi pidana terhadap korporasi diatur secara beragam dalam berbagai ketentuan perundang-undangan salah satunya seperti yang terdapat dalam Pasal 20 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga) serta dapat dijatuhi pidana tambahan8. Setelah peneliti telaah dalam beberapa undang-undang didapatkan kesimpulan bahwa sanksi pidana pokok bagi kejahatan korporasi yang melakukan tindak pidana hanya pidana denda. Ketentuan tersebut cukup wajar sebab dari dua jenis pidana pokok yang diancamkan yaitu penjara dan denda, hanya pidana denda yang cocok dan dapat diterapkan untuk korporasi karena sebuah korporasi tidak mungkin dijebloskan ke dalam penjara, akan tetapi penerapan sanksi tersebut tidak diikuti dengan reformulasi alternatif jika pidana denda terhadap korporasi tersebut tidak dibayarkan. Apabila terhadap 7
8
Yeni Widowaty, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup”, Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial RI, Vol.5, No.2, Agustus, 2012, hlm. 160. Lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9
orang perseorangan dalam arti natuurlijke person (manusia) tidak menjadi persoalan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 30 KUHP. Pasal 30 KUHP mengatur mengenai pidana denda dan pidana pengganti pidana denda. Menurut ketentuan umum tersebut, apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan, oleh sebab itu tidak dapat diterapkan terhadap korporasi. Kebijakan legislatif yang hanya mengatur jumlah ancaman denda bukanlah suatu jaminan untuk dapat mengefektifkan sanksi pidana denda. Kebijakan legislatif yang perlu dipikirkan adalah kebijakan yang mencakup keseluruhan sistem sanksi pidana denda itu sendiri. Suatu sistem sanksi pidana yang menyeluruh harus pula mencakup kebijakan-kebijakan yang dapat diharapkan menjamin terlaksananya sanksi pidana itu. Penerapan aturan pemidanaan terhadap korporasi yang berlaku saat ini memang masih belum jelas, tanggung jawab pidana bagi korporasi masih menyisakan sejumlah permasalahan yang menarik untuk dikaji dan dipecahkan. B.
Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan dari penjelasan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan untuk diteliti adalah: Bagaimanakah reformulasi alternatif pidana denda terhadap korporasi atas pidana denda yang tidak dibayar ?
10
C.
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif` Penelitian ini secara objektif memiliki tujuan untuk mengkaji, menganalisis, menelaah, dan memahami mengenai reformulasi alternatif pidana denda terhadap korporasi atas pidana denda yang tidak dibayar. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis peneliti untuk memperoleh gelar Master Hukum (M.H) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, lebih khusus bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi terhadap pidana pengganti denda. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi hukum, akademisi dan regulator dalam rangka menerapkan,
mengembangkan
dan
membentuk
hukum
khususnya
11
berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban korporasi terhadap pidana pengganti denda. E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang peneliti lakukan di Fakultas Hukum UGM terdapat beberapa karya tulis yang berupa skripsi maupun tesis yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Berikut beberapa karya tulis ilmiah yang peneliti maksud: 1. Tri Basuki Raharjo, 2009, Tesis dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perpajakan”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perpajakan ? b. Siapa yang bertanggungjawab dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perpajakan? Dalam penelitian tersebut berisi tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perpajakan dan penanggungjawab dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perpajakan adalah korporasi dan pengurus tergantung dari jenis tindak pidana. 2. Esti Kusumastuti, 2007, Tesis, dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kejahatan yang terkait dengan Proses Penyelesaian Kepailitan”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
12
a.
Bagaimana tanggungjawab pidana terhadap korporasi yang melakukan kejahatan yang terkait dengan proses penyelesaian kepailitan ?
b.
Bagaimana cara PT. Alam Raya Sewing Machine & Electronic Industrie dan PT. Alam Multi Sari melakukan kejahatan yang terkait dengan proses penyelesaian kepailitan berdasarkan kasus antara PT. Tempo Utama Finance dengan PT. Alam Raya Sewing Machine & Electronic Industrie dan PT. Alam Multi Sari ?
Dalam penelitian tersebut berisi, bahwa korporasi dan/atau penguruspengurus korporasi
berdasarkan kasus
tersebut
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana serta membahas tentang cara korporasi dan/atau korporasi atas nama pengurus (Direksi dan/atau Komisaris) melakukan kejahatan yang terkait dengan proses penyelesaian kepailitan berdasarkan surat kurator kepada hakim pengawas. 3. Mochamad
Gesit
“Pertanggungjawaban
Margo
W,
Korporasi
2007,
Skripsi,
Berdasarkan
Asas
dengan Piercing
judul The
Corporate Veil dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan (Studi Kasus Terhadap Pencemaran dan Perusakan Lingkungan oleh PT. Lapindo Brantas)”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: a.
Bagaimanakah persepsi yang ada pada pemerintah, PT. Lapindo Brantas Inc. dan masyarakat berdasarkan peraturan perundangan yang
13
ada mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hal telah terjadi kasus perusakan dan pencemaran lingkungan oleh korporasi ? b.
Bagaimanakah pertanggungjawaban PT. Lapindo Brantas Inc. sebagai kewajiban korporasi yang melakukan tindakan merugikan pihak lain?
c.
Hambatan-hambatan apakah yang ada dalam upaya penegakan hukum terhadap PT. Lapindo Brantas Inc. dan bagaimanakah solusisolusinya?
Dalam penelitian tersebut berisi, yang pertama bahwa persepsi pemerintah, PT. Lapindo Brantas Inc. dan masyarakat korban bencana mengenai pihak yang harus bertanggungjawab atas terjadinya bencana semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo berbeda antara masing-masing pihak. Kedua membahas pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas Inc. ditanggung oleh pemegang saham PT.Lapindo Brantas Inc. dalam hal ini adalah PT. Energi Mega Perkasa selaku pemegang saham PT. Lapindo Brantas Inc. dan yang ketiga mengenai beberapa hambatan yang muncul dalam upaya penegakan hukum terhadap PT. Lapindo Brantas Inc. dan upaya memenuhi rasa keadilan bagi para korban bencana semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo 4. Bobby Rahman Manalu, 2007, Skripsi, dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Delik Korupsi”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
14
“Bagaimana konstruksi pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku delik korupsi” Dalam penelitian tersebut berisi tentang konstruksi hukum untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku delik korporasi dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan menggunakan ajaran identifikasi dan agregasi. 5. Yulia Yudantari, 1998, Skripsi, dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Perbankan”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: a.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perbankan?
b.
Kriteria-kriteria apakah yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan suatu korporasi dan pidana apakah yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap korporasi?
c.
Bagaimana cara mengatasi pemecahan permasalahan pokok yang timbul sebagai akibat dari tindak pidana korporasi?
Dalam penelitian tersebut berisi, yang pertama tindak pidana perbankan mengarah pada tindak pidana yang dilakukan oleh bank untuk mencapai tujuannya, dan termasuk dalam korporasi jahat seperti usaha bank tanpa izin (bank gelap) sedangkan tindak pidana terhadap korporasi bukan termasuk tindak pidana perbankan, tetapi merupakan penipuan terhadap bank yang dapat dilakukan baik oleh nasabah, pegawai atau orang. Kedua
15
mengenai satu-satunya pidana pokok yang dapat dikenakan terhadap tindak pidana korporasi dalam perbankan adalah pidana denda, dapat pula dikenakan pidana tambahan serta tindakan tata tertib. Sanksi atau tindakan yang bersifat ekonomis dan administratif lebih cocok untuk diterapkan. Ketiga tentang pertanggungjawaban pidana korporasi yang dipecahkan dengan mengadopsi doktrin strict liability dan vicarious liability dan peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP. 6. Syahbandar, 1997, Skripsi, dengan judul “Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Korporasi”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: a.
Bagaimana aturan pemidanaannya dalam Peraturan Perundangundangan Indonesia terhadap korporasi?
b.
Elemen-elemen apa saja yang dipakai untuk merumuskan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi?
c.
Bagaimana bentuk pertanggungjawaban korporasi yang melakukan pelanggaran atau kejahatan tersebut?
Dalam penelitian tersebut berisi, yang pertama ketentuan dalam KUHP dalam rangka memberikan sanksi pidana terhadap korporasi dapat digunakan ketentuan Pasal 103 KUHP dan ketentuan-ketentuan hukum khusus seperti Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Perseroan Terbatas, Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, membahas mengenai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
16
kejahatan korporasi. Ketiga, korporasi dapat dituntut dengan bentuk pertanggungjawaban pidana strict liability atau pertanggungjawaban mutlak. 7. Agus Haryanto, 1995, Skripsi, dengan judul “Tanggungjawab Substitusi bagi Korporasi dalam Tindak Pidana Ekonomi”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: a.
Bila terjadi tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh badan hukum/korporasi, siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan?
b.
Bagaimanakah
proses
pelaksanaan
pertanggungjawaban
pada
korporasi, bila dilakukan penuntutan terhadap suatu korporasi? Dalam penelitian tersebut berisi, bahwa dalam Pasal 15 UUTPE kurang jelas kapan suatu hukum dapat dinyatakan sebagai pembuat tindak pidana ekonomi dan kurang jelas ditentukan istilah yang telah dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum. Badan hukum bukan sebagai pembuat utama dari tindak pidana ekonomi, akan tetapi merupakan pembuat penyertaan bersama-sama dengan pengurusnya. Terjadinya sistem pertanggungjawaban badan hukum tergantung dari sudut pandang pembuat delik ekonomi. Dalam tindak pidana ekonomi yang ada dan diatur dalam UUTPE bukan merupakan tindak pidana yang selalu dikaitkan dengan kesalahan secara langsung akan tetapi dalam praktek, masih memperhatikan unsur-unsur penghapus pidana.
17
Dari semua karya ilmiah di atas, lebih banyak mengkaji tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi pada umumnya, sedangkan permasalahan peneliti lebih khusus mengenai reformulasi alternatif pidana denda terhadap korporasi atas pidana denda yang tidak dibayar, sehingga membuat penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu atau penulisan karya ilmiah sebelumnya. Setelah peneliti melakukan penelusuran dan pengamatan, penelitian dengan objek yang sama belum pernah peneliti temukan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.