1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Seiring dengan pertambahan penduduk Indonesia yang semakin tinggi
menyebabkan kebutuhan akan pangan juga meningkat. Persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia yaitu masih banyaknya kebutuhan akan beras untuk kebutuhan dalam negeri yang harus didatangkan dari luar negeri. Impor beras dalam jumlah yang sangat banyak terutama beras yang dikonsumsi oleh kalangan menengah ke bawah, menyebabkan kerugian produsen beras dalam negeri karena harga beras luar negeri lebih murah dibandingkan dengan harga beras dalam negeri. Dalam usaha peningkatan produksi padi, pemerintah telah melaksanakan program-program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Program intensifikasi pertanian dilakukan dengan pengolahan lahan yang telah ada dengan intensif, seperti penggunaan varietas unggul, pengenalan teknologi baru, dan juga penggunaan faktor-faktor produksi yang lebih efisien. Sedangkan program ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan cara membuka lahan baru untuk areal pertanian sehingga dengan bertambah luasnya lahan pertanian diharapkan produksi dapat ditingkatkan. Analisis luas panen padi secara nasional berdasar data BPS (2012), pada tahun 2002 sejumlah11,53 juta ha dan pada tahun 2012 mencapai 13,35 juta ha, secara akuulatif terjadi penambahan 1,94 juta ha (Subejo, 2014). Tantangan utama dari program peningkatan produktivitas dan produksi padi adalah bagaimana membuat agar usahatani padi lebih efisien sehingga memiliki daya saing dan layak sebagai sumber pendapatan yang berkelanjutan.
2
Program peningkatan produksi padi masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain rendahnya harga gabah di tingkat petani, nilai tukar gabah/beras sangat rendah, belum efektifnya penerapan tarif impor beras untuk melindungi harga beras dalam negeri, kredit pengadaan pangan yang menggunakan suku bunga komersial dan kredit ketahanan pangan (KKP) yang belum tersalur secara lancar, terbatasnya kemampuan petani menyimpan gabah untuk mendapatkan harga jual yang diinginkan serta ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat masih cukup tinggi yaitu 120-130 kg/kapita/tahun (Suryadi, dkk., 2008). Karena kebutuhan rata-rata karbohidrat perorang perhari sekitar 44 kg/kapita/tahun. Intervensi pemerintah tentang perberasan masih tetap dilakukan sampai sekarang dengan berbagai pertimbangan. Pertama, di Indonesia beras merupakan pangan penting dari berbagai jenis pangan karena peranannya menduduki struktur utama dalam konsumsi pangan masyarakat, karena itu, pembahasan tentang pangan selalu dipriporitaskan beras (Mursyid et al., 1992). Kedua, Kebijakan tentang pangan di Indonesia diprioritaskan pada beras, karena merupakan komoditas bahan makanan yang dikonsumsi lebih dari 95% penduduk Indonesia (Amang dan Sawit, 1999). Ketiga, beras dikategorikan sebagai bahan pangan pokok yang mempunyai kedudukan strategis karena yang terlibat dalam industri perberasan cukup banyak serta mempunyai peran yang signifikan dalam indeks harga konsumen. Ke empat, ekosistem sawah sebagai tempat usaha tani padi mempunyai peranan penting dalam menjaga dan menahan erosi daerah tropis (Sapuan, 1991). Kelima, komoditas pertanian khususnya pangan diusahakan oleh jutaan petani skala kecil (Simatupang,1999), dan membahas masalah pangan khusus beras, tidak bisa lepas dari membicarakan petani dan politik pertanian,
3
karena masalah beras selalu berkaitan dengan petani, bahkan di seluruh dunia, ketika berbicara tentang pangan otomatis mengacu pada petani (Sumodiningrat, 2001). Berdasarkan hal itu, maka beras tidak termasuk barang ekonomi biasa tetapi merupakan barang khusus yang memerlukan penilaian khusus, oleh karena itu Dillon et al. (1999) mengatakan bahwa beras harus dipandang sebagai barang kuasi publik (quasi public goods) yang dalam kegiatan industri perberasan menghasilkan jasa publik yang harganya bernilai tinggi karena menyangkut peranannya dibidang sosial, politik, budaya dan lingkungan hidup. Khusus untuk beras, yang pada saat ini peranannya cukup sentral karena aktivitas produksi hingga konsumsinya melibatkan hampir seluruh masyarakat, pemerintah sangat memperhatikan kestabilan produksi maupun harganya. Harga yang relatif stabil dan dijaga kewajarannya bagi produsen dan konsumen, akan lebih memberikan kepastian penghasilan dan insentif berproduksi kepada petani dan sekaligus menjaga kelangsungan daya beli konsumen. Dalam era perdagangan bebas (globalisasi) dan reformasi pemerintahan saat ini, fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, BRI, Bulog, termasuk kebijakan subsidi yang dahulu sangat berperan dalam menunjang stabilisasi sistem perberasan, telah mengalami deregulasi mengikuti asas mekanisme pasar bebas.
Kebijakan harga dasar menjadi sulit dipertahankan
karena pemerintah tidak lagi membiayai pembelian gabah dan operasi pasar dalam jumlah besar, dan Bulog tidak lagi memegang hak monopoli. Dalam kondisi demikian pemerintah harus mengupayakan cara-cara lain untuk menjaga kestabilan harga dan memberikan insentif berproduksi kepada petani (Suryana, 2005).
4
Penetapan Inpres No 13 Tahun 2005 memberikan dukungan peningkatan produktifitas padi, dan produksi padi nasional termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air dalam rangka peningkatan pendapatan petani.
Memberikan
dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani.
Memberikan dukungan kebijakan bagi
pengembangan penanganan pasca panen gabah/beras, guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. pemerintah.
Melaksanakan kebijakan harga pembelian
Menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok
masyarakat miskin dan rawan pangan.
Menyediakan dan menyalurkan beras
untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stabilitas harga beras dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah. Dampak perubahan terjadi tentang perberasan Indonesia, banyak dikaji oleh para pakar dan hasil analisis pasca kritis telah memperlihatkan bahwa peningkatan
produksi
hasil
pertanian
melalui
berbagai
rekayasa
tidak
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani padi (Dillon et al, 1999; Simatupang dan Syafa‘at, 1999; Simatupang et al.,2000; Suryana et al., 2002; Kariyasa et al., 2003; Malian et al., 2004). Akan tetapi menurut Gunawan (1987) bahwa kebijakan harga hasil pertanian merupakan salah satu kebijaksanaan yang secara langsung dapat mempengaruhi kesejahteraan petani. Campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan antara lain dilakukan melalui lembaga pangan yang bertugas melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang perberasan baik yang menyangkut aspek pra produksi, proses produksi, serta pasca produksi. ditugaskan pemerintah untuk
Salah satu lembaga pangan yang
menangani
masalah
pasca produksi,
5
khususnya dalam bidang harga, pemasaran dan distribusi adalah Bulog (Saifullah, 2001). Kebijakan pemerintah lainnya yang berkaitan dengan stabilisasi harga gabah adalah pengembangan institusi lumbung pangan, Dana Pengembangan masyarakat- Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) dan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat) LDPM. Secara teknis beras merupakan produk sektor pertanian yang merupakan salah satu bidang kewenangan pemerintah daerah. Dari sudut pandang ini maka pemerintah daerah secara proaktif harus berperan dalam menangani persoalan perberasan yang terjadi di daerahnya.
Masalahnya, dalam aspek apa saja
pemerintah daerah seharusnya dapat berperan? Pemilahan persoalan diperlukan karena pada kenyataannya persoalan beras tidak saja terbatas pada persoalan teknis produksi belaka. Di dalamnya menyangkut aspek yang lebih luas, karena komoditi beras bukan sekedar sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga merupakan komoditi sosial politis yang bisa menimbulkan aksi emosional. Bulog kesulitan menyerap gabah petani karena berdasar pada HPP yang terpatok sehingga harga bulog sering lebih rendah dibanding pasar atau tengkulak. Kerjasama dalam pengadaan gabah dilakukan dengan pedagang besar (bukan dengan petani). Dengan demikian Bulog tidak memberikan keuntungan bagi petani. Penyerapan hasil (gabah) oleh lumbung kelompok masih sedikit sehingga belum efektif mengatasi gejolak harga gabah di tingkat petani.
Dana
Pengembangan Masyarakat Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) sering terlambat dalam proses administrasi sehingga pada saat panen raya dana belum tersedia. Padahal kesinambungan program tergantung kepada pendanaan pemerintah.
6
Berdasar hal tersebut di atas, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta merumuskan Kebijakan harga gabah dalam SK Bupati nomor 12 A tahun 2003, yaitu membentuk tim pasca panen yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul.
Adapun tujuan
dibentuknya tim pasca panen adalah untuk : memberikan jaminan harga gabah pada saat harga jatuh ; harga gabah ditetapkan oleh bagian perekonomian Bappeda bersama Dinas pertanian dengan harga layak berdasar pada situasi dan kondisi pada saat itu ; kerjasama langsung dengan petani melalui kelompok tani padi ; memberikan informasi harga ; membeli gabah/beras dalam bentuk GKP, GKG dan beras ; menyediakan fasilitas pasca panen ; meningkatkan Pendapatan ; dan membantu pemerintah pusat dalam penanganan produksi gabah/beras. Upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten Bantul untuk mendorong kebijakan ini adalah kampanye pola pikir dan pola sikap yang isinya : aja adol gabah ning sawah, aja adol gabah ning adola beras, aja adol gabah/beras yen regane murah (jangan jual gabah di sawah, jangan jual gabah tetapi juallah beras, jangan jual gabah/beras kalau harganya murah) dan kalau kebutuhan sangat mendesak juallah kepada pemerintah kabupaten Bantul melalui kelompok tani.
1.2.
Permasalahan Penelitian. Pada dasarnya, kebijakan yang dirumuskan oleh Kabupaten Bantul sama
dengan kebijakan Bulog, Program institusi lumbung pangan, dan DPM-LUEP yaitu bagaimana pada saat panen raya produksi padi dapat diserap dan harga gabah/beras tetap stabil sehingga menyelamatkan petani. Pertanyaannya adalah, mengapa pemerintah Kabupaten Bantul juga membuat kebijakan harga gabah yang sama dengan Bulog, lumbung pangan dan LDPM ?
7
Dilema ekonomi sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani adalah mereka hidup begitu dekat dengan subsistensi. Terkait dengan struktur kepemilikan : (1)
Petani
lahan,
lahan, mengakibatkan terjadinya dua lapisan petani yaitu
lapisan
atas;
merupakan petani yang akses pada sumberdaya
mampu merespons teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki
peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; dan (2) Petani lapisan bawah; sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan tenaga
kerja.
masyarakat seimbang
dan
kapital), hanya memiliki
Untuk memenuhi petani tersebut
terlibat
(Elizabeth, 2007).
pertanian Indonesia
dalam
kebutuhan
berproduksi,
faktor kedua
produksi lapisan
dalam hubungan kerja yang kurang
Lebih seabad lamanya struktur masyarakat kondisi sangat timpang. Lebih 80 persen petani
berlahan kurang dari 1 ha per KK. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit
ini,
menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian.
Sementara itu sekitar 20 persen sisanya, menguasai lebih dari 50 persen keseluruhan lahan pertanian dimiliki petani berlahan luas (Husken dan White, 1989; Sensus Pertanian, 2003). Kepemilikan lahan petani kabupaten Bantul yang kurang dari 0,5 ha mencapai 97% (Sensus Pertanian, 2003), dan ratarata kepemilikan lahan hanya 900 m2per KK. Dengan kondisi subsistensi tersebut, tentunya memiliki dinamika tersendiri dalam penanganan pasca panen. Bagaimana dinamika pasca panen petani (kelompok tani) terkait dengan kebijakan harga gabah di Kabupaten Bantul ?
8
Berdasar data di lapangan menunjukkan bahwa harga pembelian gabah kering panen (GKP) oleh Tim Pasca Panen (TPP) secara umum lebih tinggi dibanding HPP maupun pasar. Daftar harga GKP disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Kabupaten Bantul Berdasar TPP, HPP dan Pasar. NO.
TAHUN
TPP (Rp)
HPP (Rp)
Pasar (Rp) Terendah Tertinggi
1. 2009 2.400,2.400,2100,2.200,2. 2010 3.200,2.640,2.900,3.000,3. 2011 2.975,2.640,2.600,2.950,Sumber : Tim Pascapanen Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul 2012, Subdirektorat Statistik Harga Produsen, BPS, dan Kompas. Dari sisi harga, tim pasca panen memberikan harga gabah yang sama dengan HPP pada tahun 2009 (rp. 2400,-) dan memberikan harga gabah lebih tinggi pada tahun 2010 (rp. 3.200) dibandingkan dengan HPP (2.640,-). Meskipun pada tahun 2009 pemerintah kabupaten Bantul menetapkan harga gabah yang sama dengan harga gabah HPP, akan tetapi dari sisi operasional penetapan harga gabah Kabupaten Bantul lebih menguntungkan (lebih terjangkau petani).
Harga Gabah TPP lebih tinggi dibandingkan dengan harga gabah di
pasar (kompas). Akan tetapi perilaku petani dalam menjual gabah ke tim pasca panen masih rendah (0,2%). Selain itu masih saja didapatkan petani yang menjual gabahnya di sawah dengan sistim ijon dan tebasan. Berdasar hal tersebut, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku petani dalam merespons kebijakan harga gabah ?
9
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mempelajari latar belakang dibentuknya tim pasca panen. 2. Mengidentifikasi dinamika penanganan pasca panen terkait Kebijakan harga gabah di Kabupaten Bantul. 3. Menganalisis factor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam merespons penjualan gabah ke tim pasca panen.
1.4.
Manfaat Penelitian 1. Mengetahui hal-hal yang mendasari dibentuknya tim pasca panen dan pengembangan tim pasca panen. 2. Mengetahui
dinamika penanganan pasca panen padi terkait dengan
kebijakan harga gabah. 3. Sebagai evaluasi perilaku petani dalam merespons kebijakan harga gabah yang telah ditetapkan oleh tim pasca panen.
1.5. Keaslian Penelitian. Penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi dan harga beras serta inflasi bahan makanan (Malian et al., 2004), menunjukkan bahwa kebijakan harga dasar gabah tidak efektif kalau tidak diikuti dengan kebijakan perberasan lainya. Faktor determinan yang teridentifikasi memberikan pengaruh adalah : 1) Produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya. Impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil, dan harga beras di pasar domestik. 2) Konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras di pasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik
10
dan nilai tukar riil. 3) Harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan di tingkat domestik dan harga dasar gabah. Penelitian Elizabeth (2007), tentang Fenomena sosiologis metamorfosis petani:
ke arah keberpihakan pada masyarakat petani di pedesaan yang
terpinggirkan
terkait
konsep
Phenomenon of Farmers:
ekonomi
kerakyatan
(Socio-Metamorphosis
Towards the Favor of Disadvantage Farmer‟s
Community in Rural Areas Related to People‟s Economy Concept). Didapatkan adanya tekanan ekonomi kapitalis ke pedesaan, berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasar yang mengutamakan efisiensi,
bukan
saja
mengakibatkan hilangnya kesempatan berusaha tani bagi petani, namun juga makin longgar dan melemahnya ikatan sosial yang terjalin dalam masyarakat di pedesaan. Kemampuan petani
dalam merespons perkembangan teknologi dan
beradaptasi dengan kemajuan pembangunan perekonomian yang ditingkatkan
tanpa
ada
perlu
menghancurkan norma dan nilai serta inti budaya yang
menjiwainya. Masalah keterbatasan petani yang menjadi penyebab kemiskinan lebih merupakan kondisi struktural sehingga diperlukan perubahan struktural untuk mengatasinya. Agenda pembiayaan pertanian yang mudah diakses petani. Pemberdayaan petani merupakan upaya menciptakan iklim (suasana) kondusif, untuk membangkitkan kesadaran berkembangnya potensi yang dimiliki dengan mendorong, memotivasi, menciptakan/membuka aksesbilitas berbagai peluang, mengurangi atau bahkan menghilangkan intervensi dan
dominasi pemerintah
terhadap perbaikan sistem dan mekanisme pemasaran komoditas. Hasil penelitian Nunung Kusnadi et al., (2008), tentang karakteristik sosial ekonomi petani pada berbagai agroekosistim: Besaran karakteristik Marketable
11
surplus beras menyimpulkan bahwa secara umum studi ini menunjukkan bahwa besaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketable surplus telah terjadi perubahan orientasi dalam mengusahakan padi dari subsisten kearah komersial sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan infrastuktur. Namun ciri-ciri subsistensi masih tetap melekat pada komoditas padi. Penelitian Rahayu (2008), menganalisis dampak kebijakan harga dan elastisitas kebijakan terhadap kesejahteraan petani padi.
Hasil yang didapat
adalah kebijakan harga berupa harga dasar gabah sebagai proxy kebijakan harga output tetap dipertahankan dalam jangka pendek untuk tetap meningkatkan produksi padi, karena masih digunakan insentif bagi petani untuk membuat keputusan dalam upaya meningkatkan luas areal, produktifitas dan produksi. Kebijakan stabilisasi harga dengan mekanisme pengendalian stok beras melalui pelepasan dan pengadaan beras masih diperlukan untuk menjaga harga di tingkat petani dalam jangka pendek terutama pada saat panen. Kebijakan harga dalam kebijakan perdagangan perlu ditinjau kembali berkaitan dengan harga beras dunia karena cenderung memberikan dampak negative terhadap kesejahteraan ceteris paribus, yang akhirnya merugikan petani sebagai produsen karena terimbas harga dunia yang cenderung menekan harga domestik yang selanjutnya berdampak pada pendapatan dan kesejahteraan petani. Kebijakan menaikkan gabah dan harga pupuk dalam jangka panjang berdampak pada penurunan produksi yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan dan memberikan dampak terhadap kesejahteraan petani.
12
Rahayu (2008) melakukan penelitian dengan menganalisis secara makro tentang kebijakan dalam mempertahankan harga beras dalam peningkatan produksi dan luas areal, mekanisme pengendalian stok beras, kebijakan perdagangan yang semuanya diperuntukkan untuk kesejahteraan petani. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pada Harga Produsen, Harga Konsumen Dan Luas Tanam Padi:
Belajar Dari Pengalaman Masa Lalu (Hadi, 2010).
Kebijakan
pemerintah berhasil menstabilkan harga gabah domestik, Harga gabah produsen lebih stabil dibandingkan dengan harga gabah konsumen. Kebijakan harga dasar dibutuhkan secara terus menerus dapat memberikan keuntungan petani dan harga pada penggilingan padi.
Penelitian Soewandi (1972), tentang respons masyarakat desa terhadap modernisasi produksi pertanian, terutama padi = Vilage society response toward the modernization of agricultural production, especially rice; A case from west java mengungkapkan bahwa bagaimana
respons masyarakat desa terhadap
program pemerintah. khususnya dalam peningkatan produksi. Dari sisi sosial, terjadi kesepakatan dan pola adaptasi baru antara masyarakat desa dan pemerintah. Hal ini dipandang dari segi sosiologi, respons masyarakat desa yang telah ada menunjukkan tumbuhnya satu fenomena baru yang dapat digolongkan ke dalam terjadinya perubahan merupakan landasan positif yang perlu ditelaah secermat cermatnya dan dikembangkan terus dalam menghadapi usaha-usaha akselerasi pembangunan nasional.
Dalam proses penelaannya penulis
menggunakan tinjauan historis sebagai landasan faktual berdasarkan karya Geertz ―agricultural involution‖.(1963).
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa
penekanan kepada ; pertama, bagaimana hubungan variable ekologis dan komunikasi terhadap adopsi inovasi teknologi baru. Kedua, gambaran mikro
13
sosiologi terhadap timbulnya perekonomian desa, dan ketiga bagaimana penyebaran inovasi baru dari lapisan atas yang responsive sebagai pembuka jalan ke lapisan bawah. Kajian Perilaku Rasional Petani Padi Lokal di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantru, Kabupaten Malang yang dilakukan oleh Prasetyo (2009) mengangkat permasalahan mengapa petani tetap menanam padi lokal hingga sekarang ? Apakah merupakan pilihan yang menguntungkan secara rasional, bagaimana respons petani, hubungannya dengan struktur sosial dan hubungan struktur sosial agrarisnya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap dan perilaku petani tetap menanam padi lokal. Hasil yang dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Petani tetap menanam padi lokal, terbukti hasil produksinya lebih tinggi, efisien biaya dan tenaga kerja bila dibandingkan dengan menanam padi unggul, ini merupakan pilihan yang rasional, membuktikan bahwa petani bukan kelompok substantivist / pesimistis, malas, fatalistic dan etos kerja rendah, tetapi petani padi lokal merupakan petani kelompok rasionalist, berani mengambil resiko gagal panen dan sangsi dari pemerintah karena mengejar profit yang maksimal. (2) Respons
petani
desa
penelitian
terhadap
program
BIMAS/INMAS
SUPRAINSUS dan INSUS bervariasi : petani gurem menolak dengan terus terang, petani kecil menerima dengan selektif/syarat, dan petani besar dan menengah, bersikap mendua, ini dibuktikan bahwa sikap dan perilaku petani ini merupakan bentuk perlawanan kaum tani, sependapat dengan J. Scoot, et al. (1994), bahwa petani gurem menolak dengan terus terang, merupakan bentuk perlawanan terbuka, petani kecil menerima dengan selektif,
14
merupakan bentuk perlawanan dalam bingkai, artinya mereka memilih teknologi seperlunya saja dari 5,7 atau 10 paket teknologi yang dianjurkan pemerintah; petani menengah dan besar bersikap mendua, merupakan bentuk perlawanan yang menerapkan kultur jawa, artinya mereka tetap bisa eksis dalam struktur organisasi pemerintah desa, dan eksis dalam struktur agraris, kelompok ini sebagian golongan tokoh masyarakat atau pamong desa. (3) Penelitian fakta sosial, dengan pendekatan sosiologis yaitu teori fungsional struktural
(Robert R. Merton) dan Ralp Dahrendorf adalah sebagai berikut:
pertama, pandangan teori fungsional setiap petani tetap bertahan menanam padi lokal secara rasional menguntungkan baik secara ekonomis dan nonekonomis, terbukti juga fungsional bagi sistem sosial, struktur sosial, sistem agraris dan sistem organisasi desa, juga memberi dukungan tentang pola tanam padi lokal. Terbukti terjaga /terpelihara hubungan yang harmonis dan tercipta integrasi sehingga terpenuhinya faktor internal dan eksternal. Ke dua, pandangan teori konflik. Bahwa petani menolak program pemerintah, itu merupakan hal yang wajar karena ada konflik kepentingan nilai, prestise dan power, dengan menetapkan program secara top downplanning, maka akan mengancam kesempatan yang dikuasai memperoleh nilai, prestise dan power. Terbukti terungkap bahwa dengan menanam padi lokal dan sayur, petani terbebas dari tekanan harga dasar gabah/beras yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga merasa lebih sejahtera dan dapat mengoptimalkan usaha taninya. (4) Perspektif agronomis membuktikan bahwa padi lokal cocok di tanam di Desa Ngantru, yang lokasinya lembah, kemiringan tinggi, suhu dan kelembapan
15
tinggi, dan ketinggian 750 M diatas permukaan laut. Produksi padi lokal per hektar mencapai antara 5-10 ton dan padi unggul per hektar mencapai antara 4-6 ton, ini berarti membantah atau menolak deskripsi IRRI, dan hasil penelitian LP3 Bogor dan peneliti-peneliti sebelumnya. Salah satu penemuan penting dalam penelitian Hayami dan Kikhuci adalah penyajian tipologi desa dalam rangka merangkum perubahan sosial ekonomi di desa-desa. Hasil revolusi hijau (investasi modal dan sumberdaya manusia dalam pertanian padi sawah), hasil dan investasi modal oleh petani yang punya surplus dan pengusaha lain dalam usaha nafkah di luar pertanian, di desa dan dikota-kota. Jika disatu pihak dicatat dengan jelas bahwa usaha tani petani kecil sudah komersial maka dipihak usaha tani padi sawah dinilai tidak ada yang bernilai skala bisnis. Bisnis terbatas pada peternakan, sayur mayur/buah-buahan yang bersyarat modal lebih disamping teknologi lebih unggul, ditambah bisnis jasa-jasa melayani usaha tani yang komersial,
Pertanyaan hayami dan Kikuchi :
Jika sampai kini proses ini berlangsung dalam pola Stratifikasi, apakah ada gejala menuju ke polarisasi dimana ada golongan petani-tuan tanah berhadapan dengan buruh tani yang tak punya apa-apa lagi ? Dalam masyarakat desa yang terstratifikasi atas sekian banyak lapisan (dari pemilik tanah luas sampai sempit, bahkan tanpa lahan milik), ikatan kesatuan di desa masih memberi peluang bagi semua untuk ikut berusaha diatas lahan bukan milik sendiri dan bekerja (buruh) dan memperoleh hasil dari keringat masing-masing.
Penelitian Hayami dan
Kikhuci mengamati bahwa petani kecil dalam meningkatkan perekonomiannya sudah komersial, sedangkan petani padi sawah dinilai tidak ada yang bernilai skala bisnis. Pengamatan berikutnya adalah bahwa atas sekian banyak lapisan
16
masih terikat dalam kesatuan di desa dan masih memberikan peluang berusaha dan mendapatkan hasil yang baik dan belum mengarah ke polarisasi (Sayogyo, 2006). Penelitian Adi Kuncoro (2004), tentang Analysis relation attitude dan subyektif norms toward intention and behavior to consume "X" product in adolesance based on reasoned action theory. Hasilnya dari model regresi berganda, variabel independen sikap dan norma subjektif tidak signifikan dalam menjelaskan intensi dan perilaku mengkonsumsi rokok, dan determinasi dari intensi yang bisa dijelaskan oleh variasi dari ke dua variabel independen hanya sebesar 3%. Setelah variabel norma subjektif dihilangkan, variabel indipenden sikap ternyata signifikan kontribusinya dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel dependen intensi untuk merokok namun determinasi dari Intensi yang bisa dijelaskan oleh variasi dari variabel sikap hanya sebesar 4%. Sedangkan variabel Independen Norma Subjektif tidak signifikan kontribusinya dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel dependen Intensi untuk merokok, sehingga tidak dapat digunakan menjelaskan intensi perilaku merokok. Helmi Yosepa (2008), meneliti tentang kecurangan akademis dengan menggunakan teori of planed behavior.
Yang menggambarkan sikap, norma
subyektif dan control perilaku dengan intensi perilaku kecurangan akademik. Variabel independen adalah sikap, norma subyektif dan control perilku, sedangkan intensi adalah variable dependen.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sikap, norma subyektif dan control perilaku mempunyai hubungan yang sigifikan terhadap intensi melakukan kecurangan terhadap Ujian Nasional.
17
Penelitian Dwiastuti et al (2010), tentang perilaku konsumen khususnya mengenai perilaku kosumen dalam mengambil keputusan pembelian. Dengan landasan teori reasoned action, perilaku diukur dengan keinginannya untuk bertindak sehingga tujuan penelitian bisa tercapai yaitu mengukur keinginan bertindak petani terhadap pupuk organik kemasan setelah dipengaruhi oleh faktor sikap dan faktor norma subyektif. Dengan mengamati perilaku petani pada tiga strata yaitu strata I kelompok petani yang sedang menggunakan pupuk organik kemasan, strata II yaitu petani yang pernah menggunakan pupuk organik kemasan namun tidak lagi menggunakan saat ini dan strata III yaitu petani yang belum pernah menggunakan pupuk organik kemasan, didapatkan hasil bahwa keinginan bertindak petani strata I dan III cenderung membeli sedangkan petani strata II cenderung ragu untuk membeli pupuk organik kemasan. Hal tersebut bisa terjadi karena mayoritas petani memiliki sikap ‖netral‖ terhadap pupuk organik kemasan. Selain itu, dalam mengambil keputusan pembelian petani juga mendapatkan pengaruh dari keluarganya, tetangga, kelompok tani dan tenaga penjual, dan kelompok tani merupakan kelompok referensi yang paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan pembelian oleh petani. Kemudian dari hasil analisis juga dinyatakan
bahwa
norma
subyektif
merupakan
faktor
dominan
yang
mempengaruhi perilaku petani dalam mengambil keputusan sehingga adanya faktor ini menyebabkan tidak selamanya sikap positif akan selalu dikuti dengan pembelian, begitu juga sebaliknya sikap negatif petani terhadap pupuk organik kemasan tidak selalu pasti tidak membeli produk tersebut. Dari beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa :
18
1. Penelitian analisis kebijakan beras secara makro oleh Mahlian et al. (2004), Elizabeth (2007), Kusnadi et al (2008), Rahayu (2008), dan Hadi (2010)menunjukkan bahwa sampai sekarang kebijakan harga beras masih
sangat diperlukan untuk meningkatkan produktifitas, pendapatan, stok pangan, perdagangan dan kesejahteraan. 2. Kajian respons petani terhadap teknologi baru pada penelitian Soewandi (1972) dan Hayami dan Kikhuci (1980) dalam Sayogyo (2006) menghasilkan respons positif sedangkan penelitian prasetyo (2009) menunjukkan respons negative (menolak) adanya teknologi baru. 3. Helmi Yosepa (2008), Adi Kuncoro (2004), dan Dwiastuti et al. (2010), menganalisis hubungan signifikansi antara sikap, norma subyektif dan control perilaku dengan intensi berperilaku menunjukkan hasil yang berbeda-beda tergantung pada obyek dan situasi yang diteliti. Dari beberapa penelitian terdahulu, focus yang diteliti adalah : (1) Analisis social ekonomi
kebijakan harga beras secara makro.
(2) Analisis dampak
kebijakan harga gabah secara social ekonomi . (3) Fenomena perubahan social dari petani subsisten ke arah konsep ekonomi pasar. (4) Perubahan social dalam polarisasi petani-tuan tanah. (5) Respons petani terhadap modernisasi produksi pertanian ditinjau dari adaptasi ekologi. ((6) Kajian Rasional Perilaku petani padi local menolak penanaman padi varietas unggul ditinjau dari structural fungsional, teori konflik, dan agronomis. (7) Mengkaji hubungan sikap dan perilaku terhadap suatu produk menggunakan teory reasoned action dan teory of plant behavior. Sedangkan pada penelitian ini adalah mengeksplorasi latar belakang dibentuknya sebuah kebijakan harga gabah di kabupaten Bantul. Menganalisis
19
respons petani dalam penanganan pasca panen terkait dengan kebijakan harga gabah. yang penekanannya adalah mengapa kelompok tani menolak dan menerima sebuah kebijakan harga gabah. Ketika kelompok tani menerima sebuah kebijakan, apakah memenuhi kaidah fungsional structural ?.
Pendekatan ini
menggunakan teori AGIL (Parsons), teori menyimpang (Merton) dan teori aksi sukarela (Durheim). Dan menganalisis factor-faktor yang mempengaruhi petani padi dalam merespons kebijakan harga gabah. Masalah yang diformulasikan akan di bedah dengan menggunakan pendekatan sosiologi dan psikologi sosial.