BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Indonesia, adalah salah satu negara berkembang dan termasuk negara berpendapatan menengah ke bawah (The World Bank, 2015). Pemerintahan Indonesia berbentuk Republik dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Presiden dalam menjalankan tugas dibantu para menteri yang dibentuknya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan terbagi menjadi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Republik Indonesia, 2002). Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengeluaran negara Indonesia bergantung dengan penerimaan pajak. Pemungutan pajak dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Penerimaan perpajakan berkontribusi rata-rata 73,40% per tahun dari total penerimaan negara Indonesia. Berikut adalah tabel kondisi penerimaan pajak selama 5 tahun terakhir: Tabel 1. Penerimaan Perpajakan Indonesia Tahun 2010-2014 (dalam Miliar Rupiah)
2010 Tahun 2011 2012 2013 2014 Penerimaan Negara 995.272 1.210.600 1.338.110 1.438.891 1.550.491 Penerimaan 723.307 873.874 980.518 1.077.307 1.146.866 Perpajakan % Penerimaan Pajak terhadap 72,67% 72,19% 73,28% 74,87% 73,97% Penerimaan Negara (Sumber: Kementerian Keuangan, 2015)
1
Berdasarkan tabel 1 di atas, penerimaan pajak adalah hal utama bagi Indonesia dan harus didukung dengan infrastruktur yang baik seperti tata kelola pemungutan pajak yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penerimaan pajak di Indonesia
berdasarkan kondisi perpajakan saat ini masih belum ada pencapaian penuh antara potensi penerimaan perpajakan dengan realisasinya. Kondisi infrastruktur perpajakan yang lemah dapat dimanfaatkan oleh perusahaan dalam mengelola pembayaran pajak. Faccio (2010) menemukan perbedaan karakteristik perusahaan yang memiliki koneksi politik dengan yang tidak memiliki koneksi politik di negara yang kurang maju dan memiliki level korupsi yang tinggi. Chen et al. (2010) menemukan bahwa dampak koneksi politik memiliki jurisdiksi tinggi di negara yang level korupsinya tinggi. Indonesia merupakan negara yang level korupsinya tinggi.
The
Corruption Perception Index pada tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki level korupsi yang tinggi dengan ranking 88 dari 168 negara di dunia (Transparency International, 2015). Para pejabat negara yang menduduki jabatan di pemerintahan seharusnya mendukung adanya tata kelola kenegaraan yang bersih dari tindakan memenuhi kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Aturan di Indonesia sesuai Peraturan Presiden No.6 Tahun 1974 menyatakan bahwa pejabat publik dilarang menduduki jabatan memimpin dan duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas suatu Perusahaan Swasta
(Republik Indonesia, 1974).
Pejabat publik di pemerintahan
Indonesia tidak diperkenankan memegang jabatan direksi dan komisaris sewaktu menjabat dan harus mengungkapkan kepemilikan sahamnya selama masa jabatan. Fenomena yang terjadi di Indonesia terdapat pejabat publik setelah selesai menjabat, 2
menduduki dewan komisaris dan atau komite suatu perusahaan. Organ perusahaan yang memiliki koneksi politik dengan pemerintahan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan. Penelitian mengenai koneksi politik yang dihubungkan dengan perusahaan, baik dari sisi kinerja perusahaan maupun tindakan manajemen yang menyimpang telah dilakukan sebelumnya. Koneksi politik terjadi terutama pada negara yang memiliki korupsi tinggi dan lebih menguntungkan secara ekonomi. Koneksi politik dapat memberikan manfaat untuk perusahaannya melalui sejumlah koneksi yang dimiliki (Faccio, 2006, 2010; Johnson dan Mitton, 2003; Khwaja dan Mian, 2005; Hilman, 2005; Leuz dan Gee, 2006; Chaney et al., 2011; Gray et al., 2014) Faccio (2006, 2010) menemukan bahwa koneksi politik tidak sama di antar negara. Ada tiga tipe koneksi politik yang dilakukan perusahaan menurut Faccio, jika salah satu pemegang saham besar atau manajemen puncak perusahaan adalah 1) anggota parlemen, 2) menteri atau kepala negara, dan
3) memiliki hubungan dekat dengan
pemegang kekuasaan puncak di suatu negara. Koneksi politik yang disampaikan oleh Faccio tersebut sulit untuk dilakukan di Indonesia karena keterbatasan data dan informasi. Gray et al. (2014) dan Goldman et al. (2009, 2013) memberikan pandangan lain mengenai definisi koneksi politik. Koneksi politik perusahaan dapat diidentifikasi jika dewan komisaris perusahaan memiliki koneksi dengan pemerintahan. Koneksi tersebut berasal dari pengalaman sebelumnya di pemerintahan seperti duta besar, kepala militer, direktur umum, atau kepala staf. Hal ini sejalan dengan struktur politik yang dijelaskan oleh Frohock (1978). Frohock (1978) menyampaikan bahwa inti utama dari politik adalah
3
directiveness dan aggregation. Directiveness dapat berupa berbagai bentuk seperti perintah, rekomendasi (pemberian saran, atau mengarahkan seseorang ke suatu jalan yang terbaik), serta berupa perubahan aturan (secara tidak langsung mengarahkan dan sebagai peta arah). Aggregation adalah pengumpulan unit-unit, tidak terorganisasi keseluruhan tanpa bentuk tertentu sampai susunan unit-unit ditetapkan. Agrawal dan Knoeber (2001) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki komisaris dari luar perusahaan dan memiliki pengalaman politik pada umumnya melakukan penjualan ke pemerintah serta mempunyai pengaruh lobi yang lebih besar. Guedhami et al. (2014) menemukan bahwa perusahaan yang terkoneksi politik lebih cenderung menggunakan jasa dari KAP Big4 untuk meyakinkan investor. Penelitian terkait koneksi politik yang dihubungkan dengan ekonomi di Indonesia adalah penelitian Fisman (2001), Kristiansen (2006), Klinken dan Barker (2009), serta Ifada dan Wulandari (2015). Fisman (2001) meneliti tentang koneksi politik di Indonesia yang mengaitkan informasi rumor kesehatan Soeharto, Presiden Indonesia, dengan nilai perusahaan. Fisman (2001) menemukan bahwa pergerakan harga saham berhubungan dengan informasi kesehatan Soeharto untuk perusahaan yang terkoneksi politik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak terkoneksi politik, reaksi harga saham lebih buruk ketika memperoleh berita negatif. Kristiansen (2006) menemukan adanya indikasi kepentingan elit dan korupsi di Indonesia dalam transaksi biaya. Klinken dan Barker (2009) menyampaikan bahwa adanya hubungan antara politik dan bisnis pada level propinsi di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2006, diketahui bahwa para pelaku bisnis juga terlibat dalam demokrasi pemilihan gubernur pada dua propinsi di Sumatra. Penelitian Ifada dan Wulandari (2015) menggunakan sampel
4
penelitian perusahaan non-manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008 sampai dengan 2012. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pajak tangguhan mempengaruhi manajemen laba pada perusahaan yang melakukan penurunan pendapatan kena pajak. 1.2.Masalah Penelitian a. Apakah adanya koneksi politik yang dimiliki perusahaan berhubungan pada tindakan penghindaran pajak di Indonesia? b. Apakah manajemen laba berhubungan dengan penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan di Indonesia? c. Apakah hubungan tersebut dapat diperlemah dengan kualitas audit, yaitu monitoring eksternal dari Kantor Akuntan Publik Big 4? 1.3.
Tujuan Penelitian a. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan manajemen laba dan koneksi politik yang dimiliki perusahaan terhadap tindakan penghindaran pajak. b. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kualitas audit sebagai variabel pemoderasi hubungan manajemen laba dan koneksi politik terhadap penghindaran pajak.
1.4
Kontribusi Penelitian a. Penelitian ini menggunakan definisi koneksi politik yang berbeda dengan Faccio (2006, 2010) yang disesuaikan dengan kondisi politik di Indonesia, sehingga diharapkan dapat menambah literatur mengenai studi koneksi politik. b. Penelitian ini juga menguji lebih lanjut atas koneksi politik yang dimiliki perusahaan
terhadap tindakan penghindaran pajak di satu industri, yang sebelumnya belum berhasil ditemukan oleh Faccio (2010).
5