BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat itu, ASEAN mengalami perkembangan yang dinamis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah keanggotaan ASEAN yang semakin bertambah, serta output berupa perjanjianperjanjian yang telah disepakati baik dengan negara intra-ASEAN maupun dengan negara-negara mitra ASEAN, seperti Cina, Jepang, Korea, Australia, dan Uni Eropa. Pencapaian ASEAN saat ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan awal dibentuknya ASEAN, yaitu bahwa negara-negara Asia Tenggara mempunyai tanggung jawab utama dalam memperkuat stabilitas sosial dan ekonomi kawasan ini dan menjamin pembangunan nasional yang pesat dan damai, dan bahwa mereka ditakdirkan untuk menjamin stabilitas dan keamanan mereka dari campur tangan pihak luar dalam bentuk dan menifestasi apapun untuk memelihara identitas nasional mereka sesuai dengan aspirasi dan cita-cita rakyat mereka.1 Pada tahun 1997, kepala negara anggota ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata. ASEAN Vision 2020 dibangun oleh tiga pilar, yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Political-Security Community, dan ASEAN Sosio-Cultural Community. Namun pada KTT 12 tahun 2007 telah disepakati Declaration on the Acceleration of the ASEAN Community by 2015, sehingga ASEAN segera merancang AEC Blueprint untuk diimplementasikan pada tahun 2008. Untuk mewujudkan ASEAN Economic Community, terdapat 12 sektor yang hendak diintegrasikan, salah satunya sektor pariwisata.2 Pariwisata merupakan salah satu industri yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pariwisata dapat meningkatkan GDP, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kapasitas tenaga kerja lokal, dan perbaikan infrastruktur. Alasan yang mendasari pariwisata
1
M. Leifer, Indonesia’s Foreign Policy, edisi Bahasa Indonesia Politik Luar Negri Indonesia, diterjemahkan oleh A. Ramlan Srbakti, PT Gramedia, Jakarta, 1986. p. 176. 2 J. Suatma, „Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015‟, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.
1
menarik untuk diteliti karena pariwisata memiliki nilai dan dan identitas yang merepresentasikan sebuah negara. Terlepas dari nilai ekonomis, pariwisata mengandung unsur masyarakat yang berlangsung turun-temurun, dalam hal ini misalnya pariwisata budaya. Pariwisata ASEAN memiliki performa yang baik dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke negara-negara di Asia Tenggara. Berdasarkan data yang diambil dari ASEAN Tourism Meeting, jumlah wisatawan pada tahun 2012 berkisar 89 juta, meningkat sebanyak 11,73 persen menjadi 99,2 juta wisatawan pada tahun 2013.3 Peningkatan ini perlu diimbangi dengan kualitas pariwisata yang memiliki daya saing. Oleh karena itu, ASEAN melakukan serangkaian upaya yang tertuang dalam ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015. Dalam rancangan tersebut, salah satu strategi yang diambil yaitu mengimplementasikan Mutual Recognition Arrangement on Tourism Professionals (MRA-TP) pada tahun 2015 bersamaan dengan ASEAN Economic Community. MRA merupakan perjanjian internasional yang di desain untuk memfasilitasi pergerakan tenaga kerja profesional yang hendak mencari lapangan pekerjaan di negara anggota ASEAN lainnya. Implementasi MRA-TP ini dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi sebuah Negara, khususnya terhadap tenaga kerja lokal. Dalam skripsi ini, penulis tertarik untuk meneliti Thailand, sebagai salah satu Negara ASEAN yang memberikan respon yang positif terhadap implementasi MRATP. Mengapa Thailand? Karena penulis melihat bahwa terdapat political will yang kuat dari pemerintah dalam meningkatkan pariwisata Thailand, tidak hanya kuantitas, tetapi juga kualitas. Selain itu, pada tahun 2013, pariwisata Thailand berhasil mengungguli Malaysia dan menempati posisi pertama di tingkat ASEAN. Meningkatnya wisatawan yang datang ke Thailand ini merupakan hasil dari upaya pemerintah dalam mempromosikan Thailand ke negara-negara di dunia, sehingga permintaan terhadap tenaga kerja di bidang pariwisata juga kian meningkat. Meskipun Thailand merupakan negara terakhir yang menandatangani MRA-TP, tetapi pemerintah Thailand sangat sigap dalam melakukan persiapan, bahkan negara-negara lain yang menandatangani MRA-TP di awal tidak begitu siap dalam implementasinya nanti pada tahun 2015. Thailand melihat bahwa MRA-TP dapat memberikan banyak manfaat bagi pariwisata 3
ASEAN, „ASEAN Tourism Minister Meeting‟, ASEAN(online),
diakses pada 20 Oktober 2014.
2
Thailand, sehingga pemerintah Thailand begitu antusias dalam mempersiapkannya. Namun demikian, pemerintah Thailand juga perlu melindungi tenaga kerja lokal Thailand agar keberadaannya tidak terancam oleh tenaga kerja asing, sehingga berbagai upaya pemerintah, seperti training dan seminar banyak dilakukan oleh pemerintah Thailand untuk mempersiapkan tenaga kerja lokalnya sehingga dapat bersaing dalam ASEAN Economic Community 2015 nanti.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: Mengapa pemerintah Thailand memberikan respon positif terhadap implementasi ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Professionals pada tahun 2015 sedangkan keberadaannya dapat mengancam tenaga kerja lokal Thailand?
C. Kerangka Berpikir 1. Teori Neo-Liberalisme4 Neo-liberalis melihat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang penting daripada nasionalisme karena pertumbuhan ekonomi dapat mendorong pada kesejahteraan dan kemakmuran. Neo-Liberalis memiliki pandangan yang optimis terhadap hubungan internasional. Meskipun sistem internasional digambarkan sebagai sistem yang anarki dan konfliktual, tetapi konflik tersebut dapat dicegah dengan adanya interdependensi. Interdependensi ini merupakan salah satu proses dimana Negara satu akan bergantung dengan Negara lain dalam rangka memenuhi kebutuhan Negara, sehingga antar-negara akan meningkatkan kerjasama dengan Negara lain dan membatasi konflik. Mereka percaya bahwa setiap Negara memiliki kepentingan nasional. Akan tetapi dalam mencapai kepentingan nasional tersebut dapat ditempuh melalui kerjasama dengan Negara lain atau melalui organisasi internasional. Mereka percaya pada mutual interest dan adanya kerjasama akan mengantarkan pada win-win situation atau keuntungan bersama, dibandingkan dengan zero sum game atau kemenangan di salah satu pihak dan kekalahan di pihak lain. Tidak seperti realis yang
4
J. T. Rourke, International Politics on the World Stage, Twelfth Edition, McGraw-Hill Companies, New York, 2008. p.23-25.
3
secara ekslusif memandang politik internasional sebagai struggle for power, tetapi keberadaan moral, hukum internasional, dan ideologi juga merupakan faktor-faktor yang tidak dapat diabaikan.
Neo-liberalis melihat bahwa batas Negara harus
dihilangkan untuk mencapai perdamaian dan meningkatkan arus perdagangan. Meningkatnya arus perdagangan inilah yang kemudian dapat menuntun pada kemakmuran dan kesejahteraan dan menekan konflik. Konsep ini dapat digunakan untuk melihat kepentingan Thailand dalam MRA-TP sehingga Thailand kemudian sangat mendukung implementasi ini. Hal ini dapat dikaitkan dengan kemajuan pariwisata Thailand saat ini dimana pertumbuhan pariwisata Thailand tumbuh dengan cepat sehingga perlu adanya keseimbangan dengan jumlah tenaga kerja profesional. Dengan demikian, MRA-TP dapat membantu Thailand dalam mendapatkan tenaga kerja profesional yang dibutuhkan karena dengan kebebasan bergerak, peluang untuk memperkerjakan tenaga kerja asing juga lebih besar. Upaya ini tidak lain adalah untuk memajukan pariwisata Thailand yang berdaya saing di ASEAN maupun di tingkat internasional.
2. Teori Fungsionalisme Teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh David Mitrany menekankan pada peran organisasi internasional. Mitrany percaya bahwa organisasi internasional merupakan “working peace system”, yaitu bahwa organisasi internasional dapat meningkatkan
intensitas
kerjasama
Negara
anggotanya,
sehingga
tercipta
interdependensi di antara Negara-negara anggota yang kemudian dapat mengurangi konflik. Masuknya sebuah Negara dapat mengurangi kedulatan sebuah Negara karena Negara tersebut harus menyesuaikan kebijakan domestiknya sesuai dengan aturan yang berlaku di organisasi internasional tempatnya bergabung. Melemahnya kedaulatan merupakan hal yang baik dengan demikian kerjasama dan integrasi dapat tercipta. 5 Berbeda dengan teori realis yang menekankan pada national interest, teori fungsionalisme lebih fokus pada common interest dan kebutuhan bersama.6 Mitrany percaya bahwa terdapat kebutuhan yang sifatnya cross border dan cara terbaik untuk 5
M. Griffiths, Fifty Key Thinkers in International Relations, edisi Bahasa Indonesia Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, diterjemahkan oleh Mahyudin, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. P. 239. 6 D. Mitrany, „The Functional Approach to World Organization‟, Journal of International Affairs, Vol 23 no.3, 1948, p. 356.
4
menyelesaikannya
adalah
dengan
joint
government.
Kerjasama
yang saling
menguntungkan ini akan lebih mudah dicapai apabila fokus pada isu-isu non-politis. Dari kerjasama yang berhasil dicapai tersebut dapat mempengaruhi terciptanya kerjasama di sektor lainnya (spill over). Cakupan dari fungsionalisme tidak hanya terbatas pada aktor negara, tetapi juga aktor non-negara. Fungsionalisme mengusulkan untuk membangun otoritas yang berbasis pada fungsi dan kebutuhan, dan mengesampingkan ide mengenai state power dan pengaruh politik. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan mengenai kerjasama Negara-negara ASEAN di bidang pariwisata. Dengan menjadi bagian dari ASEAN, Thailand menjalin kerjasama dengan negara-negara untuk mengatasi permasalahan shortage labor di Thailand. Hal ini juga disebabkan oleh gap yang terdapat di negara-negara ASEAN, sehingga terdapat ketidakseimbangan antara satu negara dengan negara lain. Tidak hanya Thailand, tetapi kerjasama ini akan memberikan keuntungan bagi Negara-negara ASEAN karena MRATP ini akan mendorong Negara-negara untuk saling bekerjasama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
D. Hipotesa Thailand merespon positif implementasi MRA-TP karena terdapat beberapa kepentingan yang hendak dicapai oleh Thailand. Pertama, MRA-TP mendukung pelaksanaan prinsip Three Rs yang dicanangkan oleh Ministry of Tourism and Sports Thailand.
Kedua, MRA-TP dapat menjadi salah satu sarana dalam menunjang
Gastrodiplomacy Thailand ke negara-negara Laos, Kamboja, dan Myanmar. Ketiga, Standardisasi ASEAN dapat digunakan untuk mengurangi jumlah Human Trafficking yang terjadi di Thailand. Adanya kepentingan-kepentingan yang direfleksikan dengan respon positif Thailand terhadap implementasi MRA-TP ini merupakan salah satu fenomena dari teori neo-liberalisme dimana setiap negara memiliki kepentingan nasional dan kepentingan tersebut dicapai melalui kerjasama internasional. Selain itu, implementasi MRA-TP ini juga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan organisasi internasional, dalam kasus ini ASEAN, dalam menjalankan fungsi-fungsinya untuk memfasilitasi kerjasama negara-negara ASEAN.
5
E. Jangkauan penelitian Tinjauan
penelitian
ini
dimulai
dari
tahun
2008
ketika
AEC
mulai
diimplementasikan. Demikian juga dengan persiapan implementasi MRA-TP yang dimualai dari tahun 2012 sampai tahun 2014. Tahun 2012 merupakan waktu dimana penjanjian MRA-TP ditandatangani oleh Thailand, sebagai negara terakhir yang belum menandatangani MRA-TP. Sedangkan tahun 2014 merupakan tahun terkini dimana penelitian ini dilakukan dan MRA-TP masih berada pada tahap persiapan untuk diimplementasikan pada tahun 2015 mendatang.
F. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif yang didukung oleh data kualitatif dan kuantitatif. Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik studi literatur atau kajian pustaka. Data tersebut terdiri dari data primer dan data sekunder, dimana data primer diperoleh dari situs resmi ASEAN, situs Kementrian pariwisata dan oleh raga Thailand, situs resmi Kementrian Pendidikan Thailand, dan segala hal yang berkaitan dengan penulisan ini. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku yang menjelaskan mengenai teori dan hubungan di Asia Tenggara, artikel, maupun jurnal yang berkenaan dengan penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan dibagi menjadi 4 bab. Bab I terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka berpikir, hipotesa, jangkauan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II akan dibagi menjadi tiga subbab yang menjabarkan tentang kondisi tenaga kerja Thailand, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Professionals, dan respon pemerintah Thailand terhadap implementasi MRATP. Bab III menjelaskan tentang kepentingan Thailand yang direfleksikan melalui respon positif Thailand terhadap implementasi MRA-TP menggunakan kerangka berpikir yang telah dijelaskan di atas. Bab IV berupa kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dalam penulisan ini.
6