BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Usaha Kecil Memengah (UKM) merupakan kunci utama perekonomian di
berbagai sektor, penyedia lapangan pekerjaan terbesar, pengembang perekonomian daerah dan pemberdayaan masyarakat, serta pendorong terciptanya pasar baru dan inovasi (Urata, 2000). Akterujjaman (2000) menyatakan bahwa UKM di seluruh dunia memiliki peran krusial dalam mendorong perkembangan ekonomi serta menyediakan hal mendasar yang dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan pendapatan pada negara-negara kurang berkembang. Matlay dan Westhead (2005) beranggapan bahwa UKM memberikan kontribusi yang signifikan untuk infrastruktur sosial-ekonomis dan politis pada negara-negara maju dan negaranegara berkembang. Secara umum, UKM memegang peranan ekonomi yang sangat penting di berbagai negara. Baas dan Schrooten (2006) mengungkapkan bahwa 90% badan usaha di negara industri merupakan UKM. UKM ini mempekerjakan 2/3 dari total tenaga kerja, dan berkontribusi pada value added produksi non-agrikultur sebesar 50%. UKM menciptakan 90% perusahaan swasta dan berkontribusi lebih dari 50% pada penyerapan tenaga kerja dan GDP di kebanyakan negara-negara Benua Afrika (UNIDO dalam Quartey, 2010). Di Ghana, 92% dari seluruh jumlah perusahaan yang ada adalah UKM. UKM ini berkontribusi sebesar 70% pada GDP negara tersebut (Abor dan Quartey, 2010). Sementara di Afrika Selatan, 91% dari
1
2
total badan usaha adalah UKM dengan kontribusi GDP sebesar 52-57% serta menyerap 61% tenaga kerja (Berry et al., 2002). Chen (2006) mengungkapkan bahwa pada akhir tahun 2001, terdapat sekitar 2,4 juta usaha kecil dan menengah di China atau 99% dari total badan usaha yang ada di China pada saat itu. Semua UKM ini berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Cina sebesar 60% serta hasil penjualan dan pendapatan pajak sebesar 40%. Pada penyerapan tenaga kerja, usaha kecil dan menengah di China telah menciptakan 79% lapangan kerja baru di negara itu. Dua tahun kemudian, peran UKM semakin krusial pada pertumbuhan ekonomi. UKM tetap menjadi jumlah perusahaan terbesar dengan persentase mencapai 99% dari total jumlah perusahaan di China, berkontribusi sebesar 60% pada GDP dan menyerap lebih dari 82% tenaga kerja (Xiangfeng, 2008). India memiliki 95% unit industri (3,4 juta) berbentuk usaha kecil dengan pertambahan nilai di sektor manufaktur sebesar 40%. Sektor ini merupakan penyumbang tenaga kerja terbesar kedua setelah sektor agrikultur, serta berkontribusi sebesar 30% ekspor India (Singh et al., 2010). Sementara di Malaysia, UKM berjumlah 93,8% dan bergerak di sektor manufaktur dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 38,9% dan 25,8% tambahan nilai produksi yang pada tahun 2020 diproyeksikan menjadi 50% atau setara dengan RM 120 juta (Saleh dan Ndubisi, 2006). Di Indonesia sendiri, UKM berperan sangat penting dalam menyokong perekonomian nasional dan penyerapan tenaga kerja. Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2012) mencatat pada tahun 2011, terdapat 55,2 juta unit UKM dan merupakan 99,9% dari total pelaku usaha di Indonesia. Pada tahun
3
tersebut, UKM berperan Rp 4.303,6 triliun atau 57,94% dari total PDB nasional. Jumlah ini mengalami perkembangan sebesar Rp 837,2 triliun atau sekitar 24% dibanding tahun sebelumnya. Sementara untuk penyerapan tenaga kerja, UKM mampu menyerap 101,7 juta atau 97,24% tenaga kerja yang ada di Indonesia. Jumlah ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, UKM menyerap 94,9 juta atau 90,77% tenaga kerja Indonesia. Dengan kata lain, terjadi peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja sebesar 6,8 juta atau 7% dari tahun 2010 ke tahun 2011. Begitu vitalnya peran UKM di Indonesia, pemerintah mengambil tindakan untuk dapat mendorong perkembangan UKM. Dalam rangka memberdayakan UKM dan Koperasi, penciptaan lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan, pemerintah menerbitkan paket kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan sektor riil dan memberdayakan UKM dan Koperasi. Kebijakan tersebut mencakup: (1) peningkatan akses pada sumber pembiayaan, (2) pengembangan kewirausahaan, (3) peningkatan pasar produk UKM dan Koperasi, serta (4) Reformasi regulasi UKM dan Koperasi (Komite Kredit Usaha Rakyat, 2010). Pada tanggal 5 November 2007, Presiden meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai upaya untuk meningkatkan akses pada sumber pembiayaan dengan memberikan penjaminan kredit bagi UKM dan Koperasi. KUR adalah kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UKM dan Koperasi yang memiliki prospek bisnis yang baik. Pemerintah juga menunjuk Bank Pelaksana yang menyalurkan program KUR ini kepada masyarakat. Bank Pelaksana tersebut adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Bukopin (Komite Kredit Usaha Rakyat, 2010).
4
Ditunjuknya beberapa bank untuk menyalurkan KUR dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan kredit. Di samping menunjuk sejumlah bank, pemerintah juga berusaha menarik minat penyerapan KUR dengan mempermudah izin usaha serta mengurangi bunga kredit pertahun yang sebelumnya 22% menjadi hanya 12% pada tahun 2015. Bahkan, Kementrian Koperasi mengusulkan pengurangan jumlah bunga KUR menjadi hanya 9% pada awal tahun 2016 (CNN Indonesia, 2015). Namun pada praktiknya, program bantuan pemerintah ini belum berjalan sesuai dengan harapan meskipun telah dikemas sedemikian rupa untuk menarik minat
masyarakat
terhadap
KUR.
Misalnya,
CNN
Indonesia
(2015)
mengungkapkan bahwa penyerapan KUR pada tahun 2015 diproyeksikan hanya sebesar 12,3% dari total target outstanding sebesar Rp 30 triliun. Jika kita menilik sedikit ke belakang, pada tahun 2009, target 20 triliun yang dibuat pemerintah untuk penyaluran KUR hanya terserap 14,8 triliun atau sebesar 74% saja (Rudiantoro dan Siregar, 2012). Nampaknya, terdapat kendala bagi UKM untuk mendapatkan pembiayaan dari badan pembiayaan. Beck dan Maksimovic (2002) menyatakan bahwa kesulitan kredit yang dihadapi UKM merupakan sebuah fenomena global. Padahal, akses keuangan sangat krusial untuk kelangsungan perkembangan dan profitabilitas pada UKM dalam perannya untuk memfasilitasi terciptanya usaha baru dan memelihara proses inovasi serta mendorong pertumbuhan dan perkembangan bisnis yang sudah berdiri, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Abdulsaleh dan Worthington, 2013).
5
Tidak terserapnya bantuan-bantuan yang ditawarkan pemerintah di berbagai negara kepada UKM disebabkan oleh langkanya informasi handal yang dapat disediakan oleh UKM sehingga penyedia jasa keuangan menjadi sangat berhati-hati dalam memberikan kredit usaha. Di samping itu, penyedia jasa keuangan enggan mengeluarkan biaya untuk mengumpulkan informasi yang handal mengenai suatu UKM tertentu (Baas dan Schrooten, 2006). Sebenarnya, masalah ini dapat diatasi dengan praktik akuntansi yang memadai bagi UKM sehingga laporan keuangan yang disajikan oleh UKM sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh penyedia jasa keuangan. Namun, pelaku UKM masih memiliki keterbatasan pengetahuan dalam pembukuan akuntansi. Di samping itu, pengusaha memiliki persepsi bahwa proses akuntansi bersifat rumit, serta menganggap bahwa laporan keuangan bukanlah hal yang penting bagi UKM (Said dalam Rudiantoro, 2012). Padahal, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) telah meluncurkan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) pada tahun 2009 yang memudahkan para pengusaha UKM untuk membuat laporan keuangan usahanya dengan sederhana guna meningkatkan penggunaan informasi akuntansi untuk mengembangkan usaha yang sudah dijalankan. Namun pada praktiknya, SAK ETAP ini belum sepenuhnya diimplementasi mengingat masih banyak pengusaha yang enggan melakukan pembukuan pada usahanya (Murniati, 2002). Latar belakang yang sudah dijelaskan di atas membuat penulis termotivasi untuk menguji faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan usaha, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kredit yang diterima UKM, serta faktor-faktor yang
6
mempengaruhi pemahaman pengusaha terkait SAK ETAP. Penelitian ini mengacu pada penelitian Rudiantoro dan Siregar (2012) yang melakukan penelitian terhadap 50 UKM yang ada di beberapa daerah di Jakarta dan sekitarnya, serta beberapa kota di Pulau Jawa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sampel yang diambil. Pada penelitian ini, sampel UKM ditetapkan lebih spesifik dalam hal demografi dan jenis usaha, yaitu UKM batik di Kampung Batik Laweyan Solo. 1.2.
Rumusan Masalah Pengusaha UKM msih memiliki persepsi bahwa pembukuan akuntansi
bersifat rumit dan tidak dibutuhkan dalam menjalankan usahanya. Dengan fenomena seperti ini, implementasi SAK ETAP yang sudah dirancang juga akan ikut terhambat. Selain itu, kesulitan dalam menyediakan informasi keuangan kepada penyedia jasa keuangan adalah kendala umum yang akan menimbulkan perbedaan kualitas informasi yang dihasilkan, sehingga penyedia jasa keuangan akan kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai UKM yang hendak mengajukan kredit. Masalah-masalah inilah yang kemudian dikaji oleh penulis untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pengusaha terkait pembukuan dan pelaporan keuangan usaha, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kredit perbankan yang diterima UKM, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman pengusaha UKM terkait SAK ETAP. Dari uraian tersebut dapat diuraikan rumusan masalah sebagai berikut.
7
a. Apakah jenjang pendidikan terakhir pengusaha UKM berpengaruh pada persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan usaha? b. Apakah latar belakang pendidikan pengusaha UKM berpengaruh pada persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan usaha? c. Apakah ukuran usaha berpengaruh pada persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan usaha? d. Apakah umur usaha berpengaruh pada persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan usaha? e. Apakah kualitas laporan keuangan berpengaruh pada jumlah kredit perbankan yang diterima UKM? f. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh pada jumlah kredit perbankan yang diterima UKM? g. Apakah usia perusahaan berpengaruh pada jumlah kredit perbankan yang diterima UKM? h. Apakah termin kredit mempengaruhi jumlah kredit perbankan yang diterima UKM? i. Apakah sosialisasi SAK ETAP berpengaruh pada pemahaman pengusaha terkait SAK ETAP? j. Apakah jenjang pendidikan terakhir berpengaruh pada pemahaman pengusaha terkait SAK ETAP? k. Apakah latar belakang pendidikan berpengaruh pada pemahaman pengusaha terkait SAK ETAP?
8
l. Apakah ukuran usaha berpengaruh pada pemahaman pengusaha terkait SAK ETAP? m. Apakah umur usaha berpengaruh pada pemahaman pengusaha terkait SAK ETAP? 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi pengusaha terkait pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan usaha, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kredit perbankan yang diterima UKM, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman pengusaha terkait SAK ETAP. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara
lain adalah sebagai berikut ini. a. Bagi UKM Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran pada UKM mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kredit perbankan yang diterima oleh suatu UKM, sehingga UKM dapat melakukan strategi ekonomis untuk mendapatkan pendanaan yang sesuai dengan kebutuhan serta mampu mengembangkan usahanya. b. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini mampu menjadi referensi dan dikembangkan untuk dijadikan penelitian yang lebih handal di bidang UKM di Indonesia.