BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1. Masalah Penelitian Industri media pada beberapa dekade terakhir telah merambah ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Wacana yang ditawarkan atau diproduksi oleh media pun seakan menjadi suatu gambaran baru atas realitas kehidupan masyarakat yang menjadi penanda atas kehidupan modern. Realitas kehidupan masyarakat dengan demikian seolah telah terwakili oleh wacana yang dilahirkan oleh media dalam bentuk sebuah berita mengenai realitas kehidupan masyarakat. Segala sesuatu yang diproduksi oleh media tersebut pun, di luar dari informasi atau berita tentang fakta yang diwartakannya, seolah ingin mengeksploitasi kehidupan manusia dengan berbagai macam proses simbolik yang diproduksinya. Kenyataan tersebut merupakan suatu hal yang tidak dapat terbantahkan, sebab dalam perjalanan sejarah kehidupan, manusia senantiasa memusatkan perhatiannya terhadap proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari (Berger dalam Kuntowijoyo, 2006: 3). Pemberitaan yang ada, seringkali didapati kesamaan-kesamaannya dari waktu ke waktu, meski berita tersebut berasal dari media yang berbeda. Pada beberapa waktu yang lalu misalnya, ketika Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia mengadakan pemilihan Gubernur, sangat ramai diprediksikan dan diwacanakan oleh media sebagai titik tolak masa depan pemilihan umum pada tahun 2014. Beberapa
14
kalangan media menganggap hal tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah bentuk pembenaran, bahwa proses pemilihan harus diberitakan sedetail-detailnya, sehingga membentuk sebuah opini dan realitas baru dalam masyarakat tentang kondisi perpolitikan bangsa ini. Semua media pun tidak mau ketinggalan atas wacana tersebut. Televisi menayangkannya pada berita pagi, siang, sore, malam, breaking news, sampai pada liputan khusus. Media cetak pun memuat berita yang sama hampir setiap hari dan bahkan menjadi headline news. Berita yang berasal dari portal berita online yang dapat diakses setiap saat pun, tidak mau ketinggalan mewartakan wacana tersebut. Padahal di beberapa daerah juga ada yang sedang melaksanakan Pilkada, namun sangat minim pemberitaan dari skala nasional. Hal tersebut kemudian memunculkan beberapa anggapan bahwa untuk menggambarkan dan mengonstruksikan peta perpolitikan di Indonesia, harus diukur dari apa yang terjadi di Jakarta, seperti yang digambarkan oleh media-media yang ada. Fenomena yang terdapat dalam media sebagaimana yang digambarkan di atas, dapat dikategorikan sebagai sebuah mimetisme karena hampir setiap media yang ada tiba-tiba hanya fokus terhadap satu pemberitaan saja. Mimetisme ini dalam pengertiannya dapat diartikan sebagai gairah yang tiba-tiba muncul dan menghinggapi media dan mendorong media, seperti sesuatu yang sangat penting, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting (Ramonet dalam Haryatmoko, 2007:22). Dampak yang lahir dengan adanya fenomena mimetisme ini, khususnya dalam sudut pandang realitas yang sesungguhnya, adalah dapat memunculkan sebuah pandangan dalam masyarakat yang hanya memfokuskan diri pada satu persoalan saja, dan yang demikian itu pun
15
dianggapnya sebagai sesuatu yang sangat penting daripada beberapa berita yang lain, yang sejatinya juga penting untuk diperhatikan. Pandangan tersebut jelas akan menjadi sebuah pandangan yang salah kaprah, karena hal tersebut belum tentu sama dengan realitas yang sesungguhnya. Kondisi sosial-politik yang ada di Indonesia terlalu beragam, sehingga sangat sulit untuk dipetakan seperti apa yang diwacanakan oleh media, yang hanya berbasis pada daerah Jakarta saja. Hal inilah yang kemudian menguatkan pandangan penulis, bahwa media, dalam contoh kasus ini, sejatinya sedang membentuk sebuah realitas baru melalui wacana dan pembentukan opini yang dilakukannya. Masyarakat seolah, baik sadar maupun tidak, telah tergiring pada sebuah realitas buatan (construct reality) yang dibentuk oleh media, yang pada akhirnya membentuk sebuah realitas baru yang diyakini sebagai sebuah kebenaran dalam masyarakat. Hal ini dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa orang tidak akan pernah sampai pada sebuah kebenaran, karena antara realitas, representasi, hiperealitas atau tipuan tidak dapat diverifikasi atau dibedakan lagi (Haryatmoko, 2007: 22). Persoalan seperti ini sangat sering terjadi dalam dunia pemberitaan media saat ini, utamanya di Indonesia. Hal tersebut sangat mungkin disebabkan oleh media yang ada di negeri ini hanya dimiliki oleh segelintir orang, yakni hanya dimiliki oleh dua belas group perusahaan media massa. Sepuluh group diantaranya memiliki televisi, enam group memiliki radio, sembilan group memiliki koran atau media cetak, dan delapan group memiliki media online. Adapun rincian dari keduabelas group tersebut adalah: MNC Media Group dengan 3 televisi terrestrial (RCTI, Global TV, MNC TV) dan 17 televisi lokal; Jawa Pos Group dengan 140 koran dibawah naungan Radar Group; Kompas Gramedia Group dengan 27 jaringan Koran dibawah Tribun Group,
16
48 majalah, dan 9 jaringan televisi lokal Kompas TV; Elang Mahkota Teknologi, induk perusahaan SCTV yang mempunyai 2 televisi terrestrial dan 1 televisi local; CT Group dengan 2 televisi terrestrial (Tarans TV dan Trans7); Visi Media Asia (Viva Group) dengan 2 televisi terrestrial (TV One dan ANTV) dan satu media online (vivanews.co.id); Media Group dengan 16 media cetak dan 11 jaringan radio; serta Beritasatu Media Holding dengan 10 media cetak dan 1 IPTV (majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012: 6 dan 37). Selain itu, para pemilik media tersebut saat ini juga diketahui sebagai politisi, yang juga sekaligus sebagai pengusaha dan pebisnis lainnya seperti: pertambangan, perkebunan skala besar, pembangkit listrik, dan bidang lainnya yang juga menguasai hajat hidup orang banyak. Para pemilik media tersebut juga menggunakan media miliknya untuk melindungi kekuasaan dan kepentingannya, sebagai ruang pencitraan serta untuk menutupi hal-hal buruk yang terjadi di lapangan (Majalah Balairung edisi 47/XXVII/Desember 2012, Rubrik Editrorial: 6). Hal tersebut merupakan sebuah persoalan pelik yang memang dialami oleh berbagai media dari sejak kelahirannya sampai hari ini. Ada semacam relasi kuasa yang mengikat dalam persoalan tersebut, sebagaimana teori Foucault (1997: 293) tentang kekuasaan yang menyatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu sistem dominasi yang mengontrol segala sesuatu dan meninggalkan ruang kosong bagi kebebasan (power is a system of domination that controls everything and leaves no room for freedom…). Selain itu, ada juga semacam penanaman sebuah ideologi baru yang sangat berefek pada kehidupan realitas masyarakat, sebagaimana teori dari Althusser dalam Piliang (2005: 25) tentang ideological states apparatus, yang menggambarkan media massa sebagai alat ideologi negara dan dijadikan sebagai alat
17
hegemoni, meski tidak secara langsung dilakukan oleh negara. Hal lain yang juga muncul dalam industri media adalah adanya semacam dominasi atas kapital-kapital yang ada, yang coba digiring ke dalam sebuah ranah, jika mengacu pada teori kapital Bourdieu dalam Haryatmoko (2010: 17-19), yang arahnya jelas pada sebuah habitus baru dalam dunia media, sehingga boleh dikatakan ada beberapa pihak yang bermain dalam problematika yang terjadi dalam media tersebut. Seiring berkembangnya industri media dewasa ini pun, wacana yang didominasi oleh media, terkhusus pada wacana politik, seakan menjadikan dunia ini selalu identik dengan intrik politik. Hal tersebut terlihat jelas dalam kehidupan realitas, yang kemudian melahirkan lembaga-lembaga yang berbasiskan pada dunia sosial dan politik. Pada sisi yang lain, masyarakat awam pun seolah faham seluk beluk dunia politik, sehingga melahirkan “komentator dadakan” dalam dunia politik yang tidak memiliki kapasitas dan integritas yang jelas. Hal tersebut memang pada satu sisi memiliki nilai positif, namun yang terjadi kemudian adalah tidak jelasnya kebenaran epistemik yang lahir dari komentar-komentar yang lahir. Berdasarkan hal tersebut pula lah kemudian lahir sejumlah pengamat amatiran dalam dunia politik, yang bahkan sekali pun tidak pernah terlibat ataupun mengkaji secara mendalam tentang dunia politik, dan sangat disangsikan landasan epistemik yang dimilikinya ketika mengeluarkan hasil pengamatannya. Dampak negatif dari wacana politik dalam media tersebut adalah rakyat kebanyakan pun dengan serta merta menjadi seorang politisi, seolah rakyat kebanyakan tersebut adalah politisi sejati. Hal tersebut semakin diperburuk lagi dengan sebuah kondisi yang melahirkan mental-mental politisi dadakan dalam masyarakat, yang menganggap segala sesuatu sebagai lahan untuk melakukan praktek
18
politik. Padahal jika dilihat dari analisis terhadap kehidupan sosial, hal tersebut sejatinya telah mereduksi dan menyederai makna kehidupan sosial dan demokrasi. Massa dengan demikian hanya dilihat sebagai “lubang hitam” yang menyerap semua makna, informasi, komunikasi, pesan, dan sebagainya menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Massa kemudian menempuh jalannya sendiri, tanpa mengindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi dirinya. Sikap ketakacuhan, apatis, dan kebebalan ini merupakan istilah yang tepat untuk melukiskan kejenuhan massa terhadap tanda media, simulasi dan hiperealitas (Maksum, 2009: 338), yang pada tataran nilai kehidupan sosial, kemudian menjadi sesuatu yang absurd untuk dicermati. Wacana yang diwacanakan oleh media ini, jika dilihat dari tataran dunia global secara umum, seakan telah menjadi sebuah penanda baru dalam sebuah sistem yang dikatakan oleh pasangan Toffler sebagai The Third Wave (Gelombang ketiga) dalam perkembangan dunia. Menurut pasangan Toffler ini, revolusi informasi dalam perspektif historis telah melampaui dua revolusi yang ada sebelumnya, yakni revolusi pertanian sebagai gelombang pertama dan revolusi industri sebagai gelombang kedua. Kedua pasangan ini seolah faham betul bahwa perkembangan serta pendistribusian akses informasi sekarang telah menjadi sebuah produktivitas sentral serta aktivitas kekuasaan ras manusia (Gingrich dalam Alvin dan Heidi Toffler, 2002: xv). Pasangan Toffler tersebut lebih rinci mengatakan bahwa sebuah peradaban baru sedang muncul dalam kehidupan manusia. Peradaban baru tersebut memberikan manusia gaya-gaya yang baru, cara-cara untuk bekerja dan melihat segala sesuatu dalam konteks realitas kehidupannya, termasuk pergolakan politik yang terjadi di sekitar kehidupannya. Namun yang terpenting dari semua hal tersebut adalah
19
munculnya sebuah kesadaran yang juga berubah, yang dikarenakan akses teknologi dan informasi yang semakin pesat dapat dijangkau oleh setiap umat manusia. Umat manusia pun kemudian menghadapi sebuah lompatan kuantum ke depan dan menghadapi pergolakan sosial terdalam serta restrukturisasi kreatif sepanjang masa. Umat manusia pun tanpa benar-benar disadari, sesungguhnya sedang terikat dalam pengembangan sebuah peradaban baru yang luar biasa dari dasar ke atas (Toffler, 2002:1). Persoalan nyata yang dihadapi ini dengan demikian, baik sadar ataupun tidak, telah terejawantahkan ke dalam realitas kehidupan manusia, yang sebagaimana diketahui telah dikonstruksikan oleh pusat informasi, yakni media massa yang ada hari ini. Hal ini sejatinya menunjukkan bahwa segala bentuk pandangan atas peristiwa yang diwartakan oleh media sebagai sebuah wacana baru, kemudian dengan serta merta diterima sebagai sebuah realitas yang benar-benar riil atau eksis. Hal ini menjadikan pengkajian secara mendalam atas problematika dalam media, khususnya problematika wacana politik yang ada di dalamnya, menjadi sangat penting karena telah mengonstruksikan segala bentuk realitas dalam kehidupan manusia sebagai realitas tunggal dan mesti ada. Jika ditinjau dari teori simulasi Baudrillard, kenyataan-kenyataan yang ada kemudian dalam dunia politik, dengan serta merta diterima sebagai sebuah kenyataan yang paling pertama dan utama yang ada di sekitar persoalan pelik dalam dunia politik hari ini. Hal ini pada titik tertentu, sejatinya telah mengaborsi struktur realitas itu sendiri yang tidak berawal dari sebuah opini tunggal tetapi dari sebuah fakta atas setiap opini yang lahir kemudian atas fakta itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Baudrillard (1983: 4) bahwa era simulasi dimulai dengan suatu penghapusan atau pemusnahan atas segala bentuk referensi atau petunjuk – bahkan diperburuk lagi oleh kebangkitan yang palsu dari
20
petunjuk-petunjuk di dalam sistem tanda yang ada, memiliki kelenturan material daripada makna yang sesungguhnya, yang dalam hal ini memberikan petunjukpetunjuk yang lahir dari era simulasi, kepada seluruh rangkaian sistem kesamaan dalam realitas (…the age of simulation thus begins with a liquidation of all referentials – worse by their artificial resurrection in system of signs, a more ductile material than meaning, in that it lends itself to all systems of equivalence…). Pandangan atas wacana politik dalam media tersebut bagi penulis merupakan sebuah hal penting untuk dikaji secara mendalam, utamanya dalam era kebebasan pers yang ada di negeri ini. Hal tersebut dikarenakan peran penting dalam media sebagai alat kontrol sosial serta alat informasi dan komunikasi publik, menjadi sebuah titik tolak dari setiap problematika yang lahir dalam kehidupan realitas yang ada disekitar umat manusia. Terutama jika hal tersebut kemudian dikorelasikan dengan pandangan Baudrillard tentang simulasi realitas yang menghasilkan hiperrealitas kehidupan dalam segala bentuk dan sendi kehidupan umat manusia kini, maka akan menjadi semakin menarik pembahasan lanjutan dari penelitian ini. Tujuan dasar dari tema ini adalah ingin melihat serta menganalisis kebenaran epistemik yang terdapat dalam wacana politik pada media, apakah murni sebagai sebuah realitas atau hanya sebagai sebuah simulasi terhadap kehidupan realitas dalam kehidupan umat manusia, yang dalam hal ini penulis akan coba melihatnya melalui berita-berita politik yang terdapat pada koran Kompas edisi Juli-Desember 2013. Pemilihan berita-berita politik pada koran Kompas edisi Juli-Desember 2013 sebagai bagian dari pembatasan objek material dari penelitian ini, juga dimaksudkan untuk melihat
bagaimana
permainan
dan
peran
wacana
politik
pada
media
mengonstruksikan realitas politik dan demokrasi masyarakat Indonesia menjelang
21
pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 2014. Pemilihan koran Kompas oleh penulis, juga lebih didasari oleh alasan bahwa pada perhelatan pemilu 2014 penulis melihat pemilik Kompas group maupun koran Kompas itu sendiri tidak terlibat secara langsung dalam salah satu partai politik peserta pemilu 2014 maupun menjadi kontestan pemilu 2014, serta alasan bahwa koran Kompas merupakan salah satu media cetak yang berbasis secara nasional, bukan regional ataupun lokal.
2. Rumusan Masalah Pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, telah dijelaskan mengenai beberapa persoalan yang terkait dengan wacana yang diproduksi oleh media, khususnya dalam wacana politik media. Berdasarkan dari pemaparan tersebut, maka kemudian dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang akan diteliti dan dikaji secara lebih lanjut dan mendalam dalam karya ini, yakni: 1. Bagaimana bentuk pemikiran dari teori simulasi Jean Baudrillard, khususnya dalam melihat wacana media? 2. Apakah wacana politik dalam media telah berubah menjadi realitas politik, khususnya dalam berita-berita politik pada Koran Kompas? 3. Apa peran media dalam membentuk sebuah realitas politik dan mindset atau pola pikir publik terhadap realitas kehidupan politik serta demokrasinya dalam pandangan teori simulasi Jean Baudrillard?
3. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran penulis dalam persoalan yang akan dibahas dan diteliti dalam tulisan ini, belum pernah ada yang membahas ataupun meneliti secara spesifik
22
tentang wacana politik dalam media, khususnya wacana politik yang terdapat dalam berita politik pada koran Kompas (edisi Juli-Desember 2013). Pembahasan yang ada tentang persoalan ini kebanyakan hanyalah sebatas membahas wacana dalam media secara umum, namun tidak membahas persoalan wacana politik dalam media secara spesifik. Kalaupun ada, kebanyakan hanya pada pengkajian dalam tataran global, tanpa menyentuh pada persoalan wacana politik dalam berita yang terkandung dalam media tersebut, dan atau yang lebih spesifik lagi menggunakan analisis teori simulasi Jean Baudrillard dalam membedah setiap persoalan dalam setiap pemberitaan politik dalam media. Adapun beberapa karya yang dapat terlacak oleh penulis mengenai persoalan wacana dalam media adalah sebagai berikut: A. Karya yang telah berbentuk buku: 1. Karya Alex Sobur yang berjudul “Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik Dan Analisis Framing”, diterbitkan pada tahun 2001, yang membahas tentang wacana dalam media. Namun, dalam karya tersebut lebih cenderung pada analisis terhadap teks yang dipaparkan oleh media secara umum, tidak membahas secara spesifik pada analisis atas wacana politik dalam media. 2. Karya Eriyanto yang berjudul “Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media”, diterbitkan pada tahun 2001. Namun, karya tersebut membahas lebih pada analisis wacana dan penerapannya dalam studi analisis isi media. Karya ini juga lebih cenderung kepada pengenalan tentang analisis atas wacana dalam media.
23
3. Karya Julian Baggini yang berjudul “Making Sense; Filsafat Di Balik Berita Media Massa”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurul Qamariyah dan diterbitkan pada tahun 2003, dan membahas tentang wacana yang terdapat dalam media massa. Meski dalam pembahasan buku tersebut juga membahas tentang politik dan filsafat politik yang terdapat di balik media, namun yang dibahas adalah lebih pada berita politik yang hadir dalam beberapa pemberitaan oleh media massa yang ada di luar negeri dan lebih bersifat umum, sedangkan penelitian penulis lebih dikhususkan pada berita politik yang terdapat di Indonesia, yang dalam hal ini berita politik pada koran Kompas. 4. Karya Haryatmoko yang berjudul “Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi”, diterbitkan pada tahun 2007. Karya tersebut banyak membahas tentang persoalan yang terdapat dalam media dewasa ini. Karya ini, meskipun banyak mengkaji tentang persoalan yang terdapat dalam media seperti manipulasi dan kekerasan dalam media, namun karya tersebut lebih cenderung mengarah pada usaha pencapaian sebuah sistem etika yang semestinya terdapat dalam industri media. B. Karya yang berbentuk Skripsi: 1. Karya skripsi Setiawan Ananto yang berjudul “Tinjauan Etis Fenomena Hiperealitas Di Media Massa: Analisis Terhadap Surat Kabar Harian Kompas Dan Republika” pada tahun 2005, yang membahas kajian etis tentang fenomena dalam media massa dalam
24
himpitan hiperealitas. Meski karya tersebut banyak membahas tentang wacana yang terdapat dalam media, namun pembahasan yang ada adalah lebih umum dan cenderung pada persoalan etika dalam wacana media. 2. Karya skripsi dari Ahmad Ghozi Nurul Islam yang berjudul “Analisis Pertarungan Konstruksi Citra Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla Vs Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi Pada Iklan Kampanye Pilpres 2004 Dalam Teori Simulasi Jean Baudrillard” pada tahun 2007, yang membahas tentang iklan pencitraan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden Indonesia pada kampanye Pemilihan Presiden Indonesia pada tahun 2004. Meski tulisan dalam karya tersebut banyak membahas dan menganalisis tentang wacana politik dalam media, namun pembahasan yang ada lebih cenderung dan fokus pada iklan kampanye para kontestan pemilihan presiden yang menggunakan berbagai media, baik cetak maupun elektronik, sehingga wacana politik yang ada dalam karya tersebut lebih spesifik pada kajian bahasa iklan. 3. Karya skripsi dari Tri Utami yang berjudul “Dampak Media Televisi Bagi
Anak
Terhadap
Proses
Pendidikan
Dalam
Perspektif
Progresivisme” pada tahun 2008, yang membahas tentang pengaruh media khususnya televisi terhadap pendidikan anak. Karya tersebut lebih condong pada pembahasan pengaruh atas acara-acara dalam televisi pada pola perkembangan pendidikan anak, sehingga wacana
25
yang dianalisis dalam hal tersebut lebih cenderung pada programprogram dalam televisi yang dapat mempengaruhi cara berfikir anak. 4. Karya skripsi dari Taufik Dwi Wijayanto yang berjudul “Friendster Sebagai Bentuk Ekstasi Komunikasi Jean Baudrillard” pada tahun 2008, yang membahas tentang media friendster sebagai sebuah media sosial yang mempengaruhi pola komunikasi modern. Karya tersebut meski membahas tentang media, namun lebih spesifik terhadap media tersebut, bukan wacana yang ditawarkannya. Sebab media tersebut adalah sebuah media sosial yang hampir sama dengan facebook dan twitter yang marak hari ini sebagai sebuah media jejaring sosial, sehingga wacana yang ada dalam media tersebut lebih cenderung pada pola komunikasi masyarakat modern.
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini sangat diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang besar dalam pemikiran atas wacana dalam media yang menyangkut tentang wacana politik yang terdapat dalam media cetak yang ada dewasa ini, yang lebih spesifik pada beberapa hal yaitu: 1. Pada bidang ilmu pengetahuan, penelitian ini sangat diharapkan dapat menjadi sebuah pengetahuan baru, khususnya dalam hal metode dalam melihat beberapa fenomena yang ada dalam media, khususnya fenomena dalam dunia politik yang diwacanakan dan diberitakan oleh koran Kompas.
26
2. Pada bidang filsafat, penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk cara baca filosofis dengan meggunakan analisis simulasi dari Jean Baudrillard, sehingga kemudian dapat menghasilkan sebuah metode filosofis yang baru dalam melihat berbagai macam fenomena dalam kehidupan dan pemikiran post-modern ini. 3. Pada dunia media, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah kritik dan autokritik pada para pelaku dalam dunia media, khususnya dalam hal wacana yang diberitakan oleh media itu sendiri, sehingga dalam beberapa hal, media dapat menjadi corong komunikasi dua arah dalam menyikapi berbagai wacana yang ada, terkhusus pada wacana politik yang diberitakan oleh koran Kompas. 4. Pada kehidupan berbangsa dan bernegara, penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang besar terhadap cara pandang terhadap wacana yang diberitakan oleh media, terkhusus pada wacana politiknya, sehingga wacana yang diberitakan oleh media tersebut dapat tersaring beberapa aspek positif di dalamnya. 5. Bagi penulis, penelitian ini sangat diharapkan dapat membuka cakrawala dan menambah wawasan serta khasanah pengetahuan penulis, terkhusus pada pola dan bentuk wacana politik dalam media, sehingga berguna dalam menganalisis berbagai persoalan dalam wacana media, khususnya wacana politik yang tercakup di dalamnya.
27
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dan kemudian menganalisis bentuk pemikiran dari teori simulasi Jean Baudrillard, khususnya dalam melihat wacana media. 2. Menganalisis dan mengungkap perubahan yang terjadi dalam wacana politik yang terdapat dalam media menjadi realitas politik melalui beritaberita politik pada Koran Kompas. 3. Menganalisis, menerangkan dan mengungkap peran media dalam membentuk sebuah realitas politik dan mindset atau pola pikir publik terhadap realitas kehidupan politiknya dalam pandangan teori simulasi Jean Baudrillard.
C. Tinjauan Pustaka Media sejatinya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Althusser (1971: 162163) mengungkapkan bahwa media dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi yang strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi (interpellation or hailing legitimacy). Media massa, sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus), dengan kata lain bahwa media massa dalam pandangan Althusser merupakan alat hegemoni yang dijadikan sebagai alat ideologi oleh Negara (Piliang, 2005: 25).
28
Pandangan Althusser tentang media di atas, bagi Gramsci (1971) dapat dianggap telah mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi yang terdapat dalam ruang media. Hal ini dikarenakan media pada dasarnya merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi, sehingga dalam persoalan ini, media lebih dilihat sebagai ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan. Media dalam hal ini, pada satu sisi, dapat diartikan bahwa media dapat menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana dalam ruang publik. Media di sisi lain juga dapat menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media dapat menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, dan juga sekaligus dapat menjadi instrumen perjuangan bagi kaum marginal untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Gramsci dengan demikian pada posisi ini sejatinya mensyaratkan bahwa dalam mekanisme hegemoni yang dilakukan oleh media, mesti terdapat keseimbangan antara kekuatan (power) dan penerimaan publik, sehingga penerimaan publik bukan hanya dihasilkan dari kekuatan senjata saja (Piliang, 2005: 25). Hal tersebut memang merupakan sebuah fenomena tersendiri dalam setiap wacana dalam media, utamanya dalam wacana politik yang ada di dalamnya. Melalui wacana tersebut, kemudian dapat dibentuk sebuah paham atau ideologi yang diangkat dari realitas kehidupan, yang kemudian diejawantahkan atau direalisasikan kembali ke dalam kehidupan realitas itu sendiri. Media dengan demikian, sebetulnya telah membentuk sebuah kesadaran (manufactured consent) (Hall, 2011 : 215-217 dan 267-269), yang dalam hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah konsensus dalam melihat realitas.
29
Terlepas dari kritik antara kedua tokoh tersebut, sejatinya Althusser dan Gramsci bersepakat bahwa media massa bukanlah sesuatu yang bebas dan independen, akan tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial (Sobur, 2006: 30). Hal tersebut lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa ada berbagai macam kepentingan yang bermain dalam wacana media tersebut, utamanya dalam wacana politik yang dikembangkannya. Hal yang sama juga terjadi pada berbagai kepentingan lain yang ada dalam wacana media tersebut, semisal kepentingan dari para pemilik modal serta kepentingan-kepentingan lain yang include dalam persoalan tersebut. Media dalam kondisi yang seperti ini, tidak mungkin dapat berdiri secara statis dan berada di tengah-tengah, sebab media akan terus bergerak secara dinamis di antara pusaranpusaran kepentingan yang ada. Kondisi kenyataan dan keadaan seperti inilah yang menyebabkan setiap wacana yang terdapat dalam media, khususnya wacana politik, menjadi bias dan sangat sulit untuk dihindari. Tidak salah jika ada pandangan sebagian orang yang menyatakan media (pers) sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam sendi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat (Sobur, 2006: 30). Media sebagai sebuah alat untuk menyampaikan sebuah berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal, pada dasarnya memiliki kemampuan untuk berperan sebagai sebuah institusi yang dapat membentuk opini publik. Ide ataupun gagasan-gagasan yang dibentuk dan yang diwacanakan oleh media terhadap publik tersebut,
telah
mengonstruksikan
dan
mengarahkan
sebuah
citra
yang
30
direpresentasikannya ke dalam sebuah konteks kehidupan yang lebih bersifat empirik dalam ranah publik. Representasi semacam ini, menurut Hall (1982: 87) sebagai sesuatu yang wajar, terlihat alamiah dan memang demikian kenyataannya. Media pun dalam kehidupan masyarakat modern, memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi, yang menjadikan kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi merupakan dasar penting untuk sebuah sistem demokrasi dan telah dikukuhkan dalam semua dokumen hak asasi manusia yang dikeluarkan setelah perang dunia kedua (Rainer Adam dalam Mirza (ed.), 2007: 7). Pada posisi ini, apa yang disebutkan oleh Samuel L. Baker dalam Muis (2001:110) tentang peranan media atau pers pun menjadi sangat esensial dalam setiap proses sosialisasi dan pemindahan (transfer) warisan kehidupan budaya dan sosial. Hal tersebut dengan kata lain dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi dari wacana dalam media yang sangat penting adalah tentang proses identifikasi kehidupan realitas masyarakat atau sebagai sebuah penanda atas setiap simbol yang diwariskan dalam setiap fase dalam kehidupan manusia. Hal menarik dalam persoalan ini, pada beberapa dekade yang lalu manusia mengangankan sebuah realitas baru yang dibentuk oleh media itu sendiri. Media, dalam pandangan tersebut, dapat dianggap sebagai satu-satunya institusi yang dapat mengkaji secara menyeluruh tentang kehidupan realitas. Hal ini mungkin masih tidak secara sempurna, namun anggapan yang ada pada media tersebut, semestinya menjadikan media berfungsi sebagai pewarta atas kebenaran dan kenyataan. Kepercayaan semacam ini, yang muncul pada media, sejatinya terbentuk oleh sebuah paradoks. Anggapan tersebut sepertinya muncul justru karena adanya kesadaran
31
umum yang muncul dalam masyarakat bahwa ternyata media memiliki fungsi yang demikian, sehingga kemudian muncul kesenjangan besar antara yang dianggap semestinya dan yang telah terbukti terjadi (Sobur, 2006:32). Haryatmoko (2007: 35) menyatakan bahwa media sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru semakin membuat pembaca atau audience tergantung dan kompulsif. Apalagi logika pasar yang bermain dalam media juga sangat berperan besar dalam mempengaruhi setiap content atau isi tayangan atau rubrik dalam media, sehingga yang dihasilkan kemudian adalah komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tidak terkontrol yang mengarahkan pada sebuah penanaman sebuah ideologi yang cukup serius, yakni ideologi pasar. Olehnya itu, sangat sulit bagi media untuk keluar dari logika pasar tersebut dan membentuk pikiran kritis dan penilain yang refleksif dan objektif. Seorang kritikus sekaligus editor, Sam Lipski, sebagimana dikutip oleh Macnamara dari Kelly (1999:5) mengatakan bahwa pada dasarnya, media telah menjadi elit kekuasaan yang baru, dan para pekerja media tidak lagi ingin menjadi kelas keempat, melainkan sebagai kelas baru. Media ingin menjadikan dirinya sebagai penjaga stabilitas dalam masyarakat. Namun, sekarang media telah tumbuh menjadi penguasa baru yang menakutkan. Seluruh media juga sangat mudah menyebar, sangat kuat dan oleh karena itu menimbulkan sebuah pertanyaan: dimana fungsi pengawasan dan keseimbangan media berada? Hal yang sama juga dapat terjadi pada koran Kompas, yang dalam hal ini menjadi sumber data yang akan dianalisis dalam objek material pada penelitian ini, jika koran Kompas tidak dapat keluar dari mainstream berfikir yang terdapat dalam
32
media. Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar isi berita dalam media memiliki kecenderungan hanya sebatas menjajakan tanda (Haryatmoko, 2010: 267), yang menghilangkan representasi dari kenyataan. Publik pun pada akhirnya didorong untuk mengkonsumsi tanda yang dijamin benar-benar merupakan representasi dari yang riil, yang menghantarkan pada rasa penasaran dari pembaca ataupun audience, bukan pada persamaan kepentingan yang dimiliki oleh keduanya. Efek dari hal semacam ini dalam masyarakat adalah terjadinya pemiskinan komunikasi yang hanya menjadi dan dimaknai sebatas tanda semata (Haryatmoko, 2010: 266). Problematika yang terdapat dalam wacana media tersebut, khususnya dalam wacana politiknya, semakin diperburuk dengan adanya ‘logika waktu pendek’ (shortterm logic) (Lipovetsky dalam Haryatmoko, 2007: 34) yang dimainkan oleh media. Hal ini menjadikan media lebih mementingkan kecepatan daripada ketepatan atau keakuratan berita, sehingga melahirkan tayangan-tayangan siaran langsung (live) dari tempat kejadian bagi media elektronik dan Headline berita bagi media cetak, yang seolah merepresentasikan atau menggambarkan situasi yang sedang terjadi di lokasi kejadian, dan hal yang semacam ini juga seringkali dapat dijumpai dalam beritaberita politik pada koran Kompas. Godaan-godaan yang seperti inilah yang selalu menggangu media, yang dalam pandangan para pekerjanya, lebih baik segera menyampaikan informasi kepada publik baru kemudian dicek, daripada basi atau sudah disampaikan lebih dulu oleh media lain (Haryatmoko, 2007: 39). Gambaran di atas, sejatinya sejalan dengan yang dikatakan oleh McLuhan dalam karyanya “Understanding Media: the Extensions of Man” yang menyatakan bahwa: “The medium is the message. This is merely to say that the personal and social consequences of any medium -- that is, of any extension of ourselves -- result from the new scale that is 33
introduced into our affairs by each extension of ourselves…” (McLuhan, 1964: 7). Hal ini tentunya dapat dikatakan bahwa sejatinya media bukan hanya sebagai sumber informasi melalui berita-beritanya, melainkan juga sebagai sebuah alat atau instrument yang mengatur dan mengonstruksikan sendi-sendi kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, serta sendi-sendi kehidupan lain dalam kehidupan manusia.
D. Landasan Teori Keberadaan media komunikasi dan informasi yang semakin canggih dalam kehidupan masyarakat modern, pada dasarnya membawa sebuah implikasi yang mempengaruhi corak kehidupan masyarakat tersebut. Melalui media komunikasi dan informasi yang ada tersebut, segala macam bentuk citra atau image akan kebutuhan dan keinginan yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat, sedang diupayakan untuk direpresentasikan. Citra yang berusaha direpresentasikan tersebut, pada satu sisi seringkali melampaui realitas atau dalam bahasa Baudrillard (1983) terjadi hiperrealitas dalam kehidupan manusia. Masyarakat modern pun pada titik tertentu, merasa tersihir dengan adanya beraneka macam bentuk citra (image) yang disuguhkan dihadapannya dan kemudian dengan serta merta menerima kebenaran sihir yang diberikan atau direpresentasikan oleh citra tersebut. Media pada sisi yang lain ketika mewartakan sebuah wacana dalam kehidupan politik yang masih dalam taraf wacana, tentunya dengan asumsi bahwa dalam beritanya terdapat permainan kepentingan di dalamnya, maka akan timbul sebuah pemaknaan baru atas wacana tersebut sebagai sebuah gambaran dari realitas. Pemaknaan baru yang semacam inilah yang menjadi sebuah manipulasi struktural
34
dari tanda (Ritzer, 2010: 152), yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia, sehingga yang ada sekarang menurut Ritzer (2010: 152) hanyalah dunia yang disimulasi yang menghancurkan pertukaran simbolik. Hal seperti ini sejatinya telah mengarahkan masyarakat modern kepada sebuah pandangan yang absurd, yang membuat masyarakat tidak lagi dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, serta yang mana yang benar-benar riil dan yang mana yang hanya berupa rekayasa atau hanya sekedar sebagai sebuah isu atau wacana. Akhirnya, masyarakat pun terjebak dalam sebuah citra atau pencitraan yang berlebihan akan realitas atau dapat dikatakan bahwa telah terjadi hiperrealitas dalam masyarakat. Baudrillard (1983) dalam hal ini pun berkesimpulan bahwa dalam dunia hiperrealitas, kesemuan dianggap lebih nyata ketimbang kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar dari pada sebuah kebenaran. Isu atau opini lebih dipercaya ketimbang sebuah informasi, bahkan rumor dianggap lebih benar daripada suatu hal yang kebenarannya adalah sesuatu yang telah terbukti. Hal yang sama pun terjadi dalam dunia sosial-politik, segala hal yang dicitrakan kepada masyarakat, dengan sendirinya dipercayai sebagai sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Padahal jika dicermati dengan seksama, kebanyakan citra yang tergambar dalam dunia sosial-politik seringkali dikemas dengan hal-hal yang sering disebut sebagai sebuah iklan yang informatif atas sebuah pencitraan sosial ataupun politik. Pengaburan informasi serta rekayasa citra yang semacam inilah yang pernah terjadi dan mewarnai kehidupan komunikasi politik pada era orde baru dan mungkin juga di era reformasi sekarang ini (Piliang, 2005: 206). Persoalan seperti di atas, merupakan sebuah wujud atau model dari simulasi atas realitas, yang memanipulasi segala bentuk citra melaui pencitraan atau simulasi
35
citra agar didapatkan sebuah legitimasi atas kekuasaan dalam kehidupan sosial-politik yang dikehendaki. Hal tersebut tentu saja bertujuan untuk tercapainya sebuah dominasi kekuasaan, meminjam istilah Bourdieu, dalam konteks kehidupan sosialpolitik. Gambaran yang terdapat dalam citra yang melalui proses simulasi tersebut, dapat mengarahkan konstituen untuk lebih percaya terhadap apa yang sedang dicitrakan dihadapannya sebagai sebuah realitas. Pada konteks yang lebih riil dalam wacana publik, media pun kemudian melancarkan sebuah simulasi dalam praktek pewacanaan yang ada. Pewacanaan atas persoalan yang ada tersebut, kemudian akan menimbulkan sebuah kesadaran baru akan realitas yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan yang dirasakan oleh para penikmat media. Melalui simulasi yang dilakukan oleh media terhadap para penikmat media inilah kemudian terjadi sebuah hiperralitas dalam cara pandang terhadap segala sesuatu yang nampak sebagai tanda akan kehadiran realitas tersebut. Hiperrealitas dalam hal ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang melampaui realitas, yang tanpa makna sama sekali (Maksum, 2009: 338), atau lebih tegas lagi merupakan sebuah simulasi yang lebih nyata dari yang nyata, lebih cantik dari yang lebih cantik, dan lebih benar dari yang benar (Ritzer, 2010: 163). Jika dimaknai dengan saksama maksud dari hiperrealitas dari sebuah simulasi yang dimaksudkan oleh Baudrillard ini, maka akan ditemui sebuah pemaknaan bahwa hiperrealitas tersebut terjadi melalui simbolisasi dan penandaan dalam proses simulasi atas simulacrum-simulacrum (counterfeit of simulacrum), yang kemudian membentuk sebuah produksi atas setiap sistem tanda dan makna yang ada, yang kemudian berujung pada sebuah akhir, yakni simulasi itu sendiri, yang melahirkan sebuah simulacra dan hiperrealitas yang hampa makna (Ritzer, 2010: 162-163).
36
Penjelasan ini pada dasarnya ingin melihat bahwa sejatinya sebuah pencitraan merupakan bagian atau salah satu model dari simulasi yang dimaksudkan oleh Baudrillard. Piliang (2003: 134) menyatakan bahwa simulasi adalah citra tanpa referensi atau suatu simulacrum. Simulacrum sendiri dapat dipahami sebagai sebuah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat modern atas tanda (Piliang, 2003: 134), atau penampakan yang menyatakan diri sebagai realitas (Petit Robert dalam Haryatmoko, 2010: 23). Baudrillard (1983) menggunakan simulasi untuk membandingkan sebuah model dengan realitas, yang dilakukan atau dibuat berdasarkan hasil acak dari model yang dibandingkan atau lebih tepatnya direpresentasikan dengan realitas itu sendiri. Penerapan berbagai simbol dan tanda dalam simulasi tersebut seringkali bersifat ambivalen, bahkan sering berfungsi menghindari makna ganda suatu istilah, dengan cara memunculkan istilah lain untuk mengikat makna melalui tanda-tanda dari kenyataan dan menghidupkan sesuatu untuk diingkari dan didorong ke belakang. Baudrillard (2009: 16) dalam hal ini menjelaskan, bahwa dengan cara tertentu segala sesuatu yang bersifat konsumsi digeneralisasi dengan gambar-gambar; perbuatanperbuatan, dan informasi-informasi yang ada ditujukan pada penyingkiran atas kenyataan dalam tanda-tanda kenyataan, yang juga menyingkirkan sejarah kehidupan dalam tanda-tanda perubahan. Baudrillard pada persoalan ini, menjelaskan dalam karyanya simulations (1983a:11) empat tahap simulasi atau pencitraan, yakni: 1. It is the reflection of a basic reality 2. It masks and perverts a basic reality 3. It masks the absence of a basic reality 4. It bears no relation to any reality. Whatever: it is its own pure simulacrum.
37
Penjelasan selanjutnya mengenai tahap pencitraan ini, menurut Baudrillard (1983a: 11-12): “In the first case, the image is a good appearance – the representation is of the order of sacrament. In the second, it is an evil appearance – of the order of malefice. In the third, it plays at being an appearance – it is of the order of sorcery. In the fourth, it is no longer in the order of appearance at all, but of simulation”. Tahap-tahap yang dijelaskan oleh Baudrillard ini, jelas menunjukkan bahwa citra yang sampai pada masyarakat modern telah menyimulasi atau lebih tepatnya memanipulasi pandangan masyarakat atas realitas yang terjadi di sekitarnya. Jika dilihat lagi tahapan-tahapan pencitraan ini, maka masyarakat sejatinya sedang mengalami proses disimulasi. Masyarakat modern pun berada pada posisi tahapan citra yang kedua, yakni citra berusaha menyembunyikan dan menyimpangkan realitas. Jelas hal ini mengarahkan masyarakat modern ke dalam suatu situasi yang hiperriil atau tahap yang ke empat, yang dipenuhi dengan simulacrum-simulacrum yang memanipulasi. Haryatmoko (2007: 33 dan 2010: 24) juga memberikan penjelasan yang menarik tentang tahapan pencitraan oleh Baudrillard ini. Menurutnya, pada tahap pertama, citra merupakan representasi ketika citra menjadi cermin realitas. Pada tahap kedua, ideologi dipahami ketika citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas. Pada tahap ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain menjadi penampakannya, akhirnya citra menutupi tidak adanya dasar atas realitas. Pada tahap keeempat, citra tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas apapun, citra hanya menyerupai dirinya, atau dengan kata lain sebagai sebuah simulasi.
38
Proses tahapan ini sejatinya mengarahkan pada suatu implosi yakni proses kemunduran sosial yang membawa ke hancurnya batas-batas: ledakan makna dalam media dan ledakan media dan sosial ke dalam massa, yang pada akhirnya mengarahkan pada hal-hal yang membosankan, menjenuhkan atau bahkan membingungkan (Haryatmoko, 2013). Hal tersebut bagi Baudrillard (1983a: 57) merupakan awal mula dari proses simulasi secara keseluruhan, karena makna tidak lagi dapat dibedakan yang bermakna positif atau yang bermakna negatif, yang pada akhirnya berujung pada kejenuhan atau kegamangan dalam pemaknaan pada ranah kehidupan sosial. Tanda pun hanya dimaknai sebatas sebagai sebuah petanda, bukan sebagai sebuah penanda. Hal tersebut disebabkan oleh tanda yang dimaknai bukan atau tidak lagi berkaitan dengan realitas. Menurut Baudrillard (1983a:12), hal tersebut dikarenakan telah terjadi pengembangbiakan mitos-mitos dalam tanda tersebut akan asal-usul (origin) dan tanda realitas serta kebenaran pun hanya sebatas objektifitas dan keaslian yang kedua (second hand). Informasi dalam media yang dijadikan sebagai wacana, terutama wacana politik, terkadang dijadikan sebagai sebuah informasi yang riil atas sebuah kondisi dalam dunia politik saat itu. Informasi tersebut pun dengan serta merta menghilangkan kekhawatiran yang timbul akibat berbagai konflik politik yang terjadi dalam dunia nyata. Gambaran yang muncul kemudian pun adalah gambaran tentang sesuatu yang baik dari segala proses yang berlangsung dalam persoalan politik. Segala sesuatu yang bersifat tidak nyata pun dengan serta merta kemudian dirubah menjadi sebuah simulasi atas sebuah kenyataan baru yang berujung pada hiperrealitas
39
yang absurd akan makna realitas. Realitas dalam dunia simulasi dengan kata lain adalah hilangnya pesona secara mutlak (Baudrillard, 1993: 143). Segala proses yang terjadi dalam simulasi atau pencitraan ini, kemudian berujung pada sebuah absurditas ganda yang dikonsumsi oleh publik sebagai sebuah kebenaran, yang pada satu sisi berdampak positif dan pada sisi yang lain berdampak negatif. Akhirnya yang berlangsung pun bukan lagi representasi atas yang riil, melainkan suatu penciptaan yang hiperreal (Haryatmoko, 2010: 23). Proses tersebut pun dengan serta merta membangkitkan secara artifisial sistem tanda, karena tanda merupakan materi yang lebih mudah dibentuk dari pada makna, bukan lagi masalah imitasi atau reduplikasi dan bukan pula parodi, tetapi masalah menggantikan tandatanda yang riil sebagai yang riil (Haryatmoko, 2010: 24), yang menghapus segala macam bentuk acuan atas realitas. Simulasi atau pencitraan tersebut dengan kata lain telah mengawali sebuah era baru dalam kehidupan masyarakat modern, khususnya dalam kehidupan sosialpolitiknya, yakni era yang disebut oleh Baudrillard (1983) sebagai era hiperrealitas. Pada era ini, simulasi dijadikan sebagai sebuah instrumen operasional dalam menanamkan sebuah kesemuan dalam realitas sosial-politik masyarakat modern. Hal ini jelas dapat dilihat dari atau ditandai dengan hilangnya petanda dan metafisika representasi, runtuhnya ideologi dan hilangnya realitas, dan diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi (Piliang, 2003: 135). Baudrillard (1983a: 142) dalam hal ini menyatakan bahwa hiperrealitas pun menjadi realitas pengganti realitas, pemujaan (fetish) atas objek yang hilang bukan lagi pada objek representasi, melainkan ekstase penyangkalan dan pemusnahan terhadap ritualnya dalam realitas.
40
E. Metode Penelitian 1. Sumber Data Penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah penelitian pustaka, yang mengambil dan menganalisis data dari berbagai sumber primer dan sekunder yang berasal dari karya-karya pustaka, baik yang telah diterbitkan sebagai buku maupun dalam bentuk karya tulis ilmiah lainnya seperti skripsi, tesis dan desertasi, serta tentunya dari koran Kompas edisi Juli-Desember 2013 sebagai sumber data utama yang akan dianalisis. Adapun objek material dalam karya ini adalah wacana politik media dalam berita-berita politik yang terdapat pada koran Kompas (edisi Juli-Desember 2013), sedangkan objek formal yang digunakan dalam karya ini adalah teori simulasi dari Jean Baudrillard. Sumber data primer yang digunakan dalam objek material penelitian ini adalah koran Kompas (edisi Juli-Desember 2013). Adapun beberapa sumber pustaka yang menyangkut objek formal dari penelitian ini, yang akan digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini, diantaranya adalah: 1. Buku yang berjudul “For A Critique Of The Political Economy Of The Sign”, karangan Jean Baudrillard, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Charles Levin dan diterbitkan oleh Teloss Press, USA, pada tahun 1981. 2. Karya Jean Baudrillard yang berjudul “Simulations” yang diterbitkan oleh Semiotext(e), New York, pada tahun 1983. 3. Buku yang Berjudul “In The Shadow of Silent Majorities …or The End of The Social and Other Essays” yang dikarang oleh Jean Baudrillard dan
41
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Paul Foss dkk, yang diterbitkan oleh Semiotext(e), New York, pada tahun 1983. 4. Karya Jean Baudrillard yang berjudul “The Ecstasy of Communication”, yang diterbitkan oleh Semiotext(e), New York, pada tahun 1988. 5. Karya Jean Baudrillard yang berjudul “Symbolic Exchange and Death”, yang diterbitkan oleh Sage, London, pada tahun 1993. 6. Buku yang berjudul “The Vital Illusion”, karangan Jean Baudrillard, yang diterbitkan oleh Columbia University Press, New York, pada tahun 2000. Selain karya-karya yang disebutkan di atas, beberapa buku ataupun karya yang dijadikan sebagai sumber primer dan sekunder dalam penelitian ini adalah: 1. Buku atau karya-karya ilmiah yang membahas tentang wacana politik media. 2. Buku atau karya-karya sekunder yang membahas dan menjelaskan tentang teori simulasi Jean Baudrillard. 3. Buku atau karya-karya yang membahas tentang wacana politik kontemporer, khususnya dunia politik di Indonesia dewasa ini.
2. Langkah-langkah Penelitian Tahap awal dari penelitian ini adalah berupa pengumpulan data dari berbagai sumber referensi pustaka yang tersedia untuk mengeksplorasi data yang dapat memberikan informasi dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan dalam penulisan karya ini. Setelah tahap awal tersebut rampung dengan data-data yang memadai, langkah selanjutnya adalah mereduksi data yang tidak relevan dengan penelitian ini,
42
yang kemudian dapat memudahkan penulis dalam tahap selanjutnya yakni tahap analisis. Pada tahap akhir, penulis akan mengolah data dari hasil penelitian ini dengan menggunakan metode analisis terhadap data yang telah diverifikasi pada tahap sebelumnya, agar kemudian menemukan deskripsi yang tepat dan akurat dalam setiap pokok permasalahan yang menjadi topik kajian dalam pembahasan penelitian ini. Laporan akhir dari hasil penelitian yang dilaksanakan tersebut selanjutnya akan berupa tesis, yang akan dipertanggungjawabkan pada sidang selanjutnya.
3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis data yang telah terkumpul dan terverifikasi sebelumnya, agar kemudian mendapatkan hasil analisis yang lebih akurat dalam analisa terhadap objek material penelitian ini, antara lain adalah: 1. Analitika bahasa, yang berfungsi untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap makna dari ungkapan bahasa (Mustansyir, 2009: 14), khususnya yang bersifat analogal (Bakker dalam Wattimena (ed.), 2011: 68), yang terdapat dalam berita politik koran Kompas, sehingga dapat ditentukan kemana arah wacana politik yang terkandung dalam berita politik koran Kompas tersebut. 2. Semiotika, yang berfungsi memberikan gambaran atas sistem tanda yang tercakup dalam wacana politik media dalam koran Kompas, sehingga dapat diungkap pesan penting dari hasil analisis atas wacana yang
43
digulirkan tersebut. Pada metode ini, akan digunakan pendekatan semiotika dari Roland Barthes. 3. Hermeneutika, yang berfungsi untuk menganalisis data yang telah terkumpul dan terverifikasi, khususnya dalam memahami makna terdalam dari wacana politik media dalam koran Kompas, sehingga dapat diungkap konteks realitas politik yang terkandung dan dimaksudkan oleh wacana politik media tersebut, khususnya yang terdapat pada koran Kompas.
F. Sistematika Penulisan Penyusunan atau penulisan hasil penelitian ini terdiri atas lima bab. Pada bab pertama membahas tentang latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode penelitian. Pada bab kedua membahas tentang biografi dan karya-karya dari Jean Baudrillard,
perkembangan
dan
pengaruhnya
terhadap
pemikiran
filsafat
kontemporer, termasuk di dalamnya orang-orang yang mempengaruhi pemikirannya, dan yang terakhir bentuk dari teori simulasinya, khususnya dalam melihat wacana media, yang juga di dalamnya termasuk bagaimana teori simulasi Jean Baudrillard melihat konsumsi atas wacana yang dihasilkan media. Pada bab ketiga, membahas mengenai objek material dari penelitian ini, yakni wacana politik dalam media. Pembahasan pada bab ini terdiri dari deskripsi mengenai analisis wacana media, media sebagai salah satu medium permainan politik, dan yang terakhir adalah politisasi realitas kehidupan politik masyarakat yang dilakukan oleh media, yang dalam hal ini tentunya dilihat dari berita-berita politik pada Koran Kompas.
44
Pada bab keempat, merupakan uraian analisis dengan menggunakan pendekatan dari pandangan dan pemikiran teori simulasi Jean Baudrillard atas peran wacana politik media dalam membentuk realitas politik masyarakat, yang dalam hal ini dilihat dari wacana politik yang terdapat dalam berita politik koran Kompas. Inti dari pembahasan pada bab ini antara lain: analisis terhadap wacana politik yang terkandung dalam berita politik pada koran Kompas, peran wacana politik yang terdapat dalam berita politik koran Kompas dalam membentuk realitas politik masyarakat dengan menggunakan pendekatan teori simulasi Jean Baudrillard, implikasi yang dihasilkan oleh wacana politik yang terdapat dalam berita politik koran Kompas terhadap mindset atau pola pikir masyarakat terhadap realitas politik yang sedang atau telah berlangsung di sekitarnya. Pada bab ini juga sedikit direfleksikan secara kritis teori simulasi dari Jean Baudrillard, khususnya dalam konteks wacana politik yang terdapat di dalam media dan realitas politik yang terdapat atau sedang dan telah berlangsung dalam masyarakat Indonesia. Pada bab kelima, berupa penutup yang di dalamnya tercakup kesimpulan dari hasil penelitian ini, serta saran-saran yang diharapkan dari hasil penelitian ini.
45