BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Beberapa dekade terakhir, pembangunan kota tumbuh cepat fokus pada
peningkatan ekonomi. Orientasi ekonomi membuat aspek sosial dan lingkungan seringkali diabaikan sehingga terjadi kesenjangan berbagai dimensi dalam perkembangan kota. Keadilan dan kemanusiaan yang tidak diprioritaskan akan menimbulkan
persoalan
kemiskinan,
pengangguran,
kriminalitas
hingga
minimnya akses bagi kaum marginal. Salah satu alternatif untuk merubah orientasi pembangunan mengarah pada keadilan melalui pendekatan perencanaan inklusif (Diningrat, 2013). Goltsman dalam Diningrat (2013) menyatakan perencanaan kota yang inklusif adalah suatu proses perumusan
Ramah Anak
kebijakan yang sensitif terhadap kondisi ekonomi, sosial, lingkungan dan juga
Ramah Wanita
budaya. Kota yang inklusif mengakui Ramah Lansia
setiap orang memiliki hak partisipasi yang
seimbang
pembangunan
kota
dalam sesuai
proses dengan
kebutuhannya. Hadirnya perencanaan inklusif menjadi angin segar ditengah
Ramah Pemuda
Perencanaan Inklusif
fenomena pertumbuhan kota yang kapitalis. Data dari UNICEF (2007) menunjukkan 43,24% anak Indonesia tinggal diperkotaan dan diperkirakan akan mencapai 60% pada tahun 2025. Perencanaan inklusif yang menjamin tumbuh kembang dan pemenuhan hak anak, yang dalam prakteknya dikenal dengan konsep child friendly city atau diterjemahkan sebagai kota layak anak. Awal perjalanan konsep kota layak anak tidak dapat dilepaskan dari proyek yang diinisiasi oleh UNESCO pada tahun 1977 dalam bentuk program Growing Up City. Kegiatan ini diujicobakan di empat negara terpilih yaitu Argentina, Australia, Mexico dan Polandia dalam rangka mengetahui persepsi anak terhadap lingkungan keruangan sekitarnya. Kemudian pada tahun 2006, konsep ini diperkenalkan kembali oleh UNICEF sebagai Child Friendly Cities Initiative (CFCs). Tujuannya adalah menciptakan suatu kondisi yang mengaspirasi hak-hak anak melalui tujuan, kebijakan, program-program dan struktur pemerintahan local (Widiyanto, 2012). Di Indonesia, inisiatif kota layak anak hadir sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam Konvensi Hak Anak pada tahun 2002. Keikutsertaan Indonesia dalam komitmen dunia layak anak merupakan bagian tujuan negara sekaligus menunjukkan peran aktif terhadap rangkaian upaya dunia untuk memberikan perhatian kepada masa depan bumi sekaligus kelangsungan hidup generasi masa depan yang lebih baik melalui anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini dan pada
masa-masa
selanjutnya
(Menteri
Perlindungan Anak, 2006).
2
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 11 Tahun 2011 mengenai Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, kota-kota di Indonesia berusaha mewujudkan kota yang ramah bagi anak. Program dan kegiatan dirancang dan dikembangkan guna mendukung terciptanya lingkungan layak anak sekaligus dapat mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Anak menjadi subjek sekaligus objek dalam pembangunan perkotaan. Yogyakarta merupakan salah satu Kota Layak Anak (KLA) di Indonesia. Penetapan Kota Yogyakarta sebagai KLA disahkan pada tahun 2009, selanjutnya meraih penghargaan KLA tingkat madya sebanyak tiga tahun berturut-turut, mulai tahun 2011 sampai 2013. Komitmen Yogyakarta terhadap pemenuhan hak anak telah diwujudkan dalam kebijakan berupa Peraturan Daerah diantaranya Peraturan Daerah DIY Nomor 6 tahun 2011 tentang perlindungan anak yang hidup di jalan, didukung penerbitan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 535 tahun 2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kota Layak Anak Kota Yogyakarta, serta Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 316/KEP/2012 tentang indikator dan skoring kampung ramah anak. Sampai dengan tahun 2014, Kota Yogyakarta telah memiliki 117 kampung ramah anak sebagai realisasi program kota layak anak. Kampung ramah anak adalah kampung yang mampu memberikan pemenuhan hak dan berbagai kebutuhan anak untuk tumbuh dan berkembang. Kampung ramah anak saat ini dikembangkan dengan basis rukun warga (RW) oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Yogyakarta. Kampung ramah anak dibentuk dari inisiatif warga kemudian diberi penilaian terkait skoring kampung ramah
3
anak yang terbagi dalam enam indikator, yaitu komitmen wilayah, hak sipil dan kebebasan untuk anak, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, hak perlindungan khusus, budaya serta sarana dan prasarana. Inisiasi kampung ramah anak di Kota Yogyakarta telah diawali pada pertengahan 2011 yaitu menetapkan Kampung Badran, Kecamatan Jetis, dan Kampung Sudagaran, Kecamatan Umbulharjo sebagai Kampung Ramah Anak. Selain kampung ramah anak yang menjadi ruang hidup dalam skala lokal, dibutuhkan juga lingkungan ramah anak lainnya dalam skala kota untuk mendukung kegiatan anak dalam lingkup yang lebih luas. Salah satu fasilitas yang dapat mengakomodir kegiatan anak dalam skala perkotaan adalah ruang publik yang mudah dicapai sewaktu-waktu sebagai tempat bermain maupun tempat rekreasi bagi anak. Ruang publik yang dimaksud dapat berupa ruang terbuka yang dapat diakses tanpa ada pungutan biaya (free cost) dan anak-anak bebas mengekspresikan kegiatannya dengan aman dan nyaman. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada pasal 28 ditegaskan perlunya penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Terkait dengan itu maka RTH publik dan RTNH publik yang disediakan untuk publik dapat dikategorikan sebagai ruang publik perkotaan. Merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW Kota Yogyakarta terdapat sembilan jenis ruang publik, meliputi alun-alun, taman, kebun binatang, lapangan olahraga, lapangan upacara, sempadan sungai, taman parkir, taman rekreasi serta median jalan, ruang milik rel kereta api dan pedestrian.
4
Dari kesembilan jenis ruang publik tersebut ditemukan ada empat ruang publik Kota Yogyakarta tak berbayar yang dikunjungi anak-anak antara lain AlunAlun, Taman Pintar, Taman Gajahwong, dan Lempuyangan. Selanjutnya dari keempat lokasi terlihat hanya ada dua lokasi ruang publik skala kota yang benarbenar ramai dikunjungi spesifik oleh anak-anak. Taman Pintar dengan fasilitas bermain yang beragam menjadi daya tarik anak-anak untuk bermain dan Lempuyangan dengan kereta api yang selalu melintas membuat anak-anak tidak bosan untuk datang kembali. Kenyataannya saat ini keberadaan ruang publik semakin tertekan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai akibatnya kebutuhan akan lahan permukiman serta sarana dan prasarana pendukungnya juga ikut meningkat (Setiawan, 2006). Kondisi ruang publik yang terbatas dan munculnya ruang publik dadakan (informal) seperti Lempuyangan sebagai tempat yang selalu ramai dikunjungi anak-anak di Kota Yogyakarta merupakan kasus unik yang perlu digali lebih dalam. Fenomena menarik ini menunjukkan
bahwa
ada
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
eksistensi
Lempuyangan padahal ruang ini tidak direncanakan sebelumnya sebagai ruang terbuka publik. Ruang ini tumbuh secara spontan sekaligus menggambarkan bahwa ruang terbuka publik di Kota Yogyakarta masih kurang sehingga anak telah menciptakan sendiri ruang menurut persepsinya yang difungsikan untuk bermain tanpa memperhatikan faktor keamanan dan keselamatan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membentuk sebuah kota yang layak anak. Beberapa temuan penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ketersediaan ruang publik merupakan salah satu prioritas peningkatan keramahan
5
kota dalam lingkup pembangunan fisik. Berangkat dari hal tersebut maka diperlukan penelitian yang membahas lingkungan fisik Kota Yogyakarta, khususnya ruang terbuka publik khusus anak-anak. Sehingga nantinya dapat diketahui gambaran karakteristik setiap ruang publik yang dikunjungi anak-anak dan ditemukan faktor yang mempengaruhi penggunaan ruang publik tersebut dalam konteks kota layak anak di Kota Yogyakarta.
1.2
Pertanyaan Penelitian Predikat Yogyakarta sebagai kota layak anak merupakan suatu peluang
sekaligus tantangan untuk pembangunan lingkungan perkotaan kedepannya. Ruang publik menjadi salah satu indikator keramahan suatu kota. Terbatasnya ruang publik dan tanah milik pemerintah, diikuti dengan munculnya ruang informal seperti ruang sekitar rel kerata api Lempuyangan sebagai tempat bermain menunjukkan perlunya alternatif konsep pengembangan ruang publik yang lebih akomodatif bagi anak-anak di Kota Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang di atas maka pertanyaan penelitian ini adalah 1. Seperti apakah kelayakan ruang terbuka publik yang dikunjungi anakanak di Kota Yogyakarta? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan ruang terbuka publik tersebut bagi anak-anak dalam konteks KLA di Kota Yogyakarta?
6
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Menilai kelayakan ruang terbuka publik yang dikunjungi anak-anak di Kota Yogyakarta. 2. Menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan ruang terbuka publik bagi anak-anak dalam konteks KLA di Kota Yogyakarta.
1.4
Manfaat Penelitian Secara teoritik, hasil penelitian ini adalah dapat menjelaskan berbagai
kondisi ruang publik di perkotaan serta membangun konsep ruang publik yang lebih ramah anak. Hal ini dapat menjadi input sekaligus referensi terkait perencanaan kota layak anak yang akan terus berkembang di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan masukan bagi ilmu perencanaan kota yang inklusif serta menjadi sumber informasi bagi penelitian sejenis. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan kajian sekaligus rekomendasi untuk mewujudkan Yogyakarta yang benar-benar ramah bagi anak. Terutama berkaitan dengan pengembangan ruang publik, mengingat saat ini pemerintah masih terfokus pada skala lokal yakni pengembangan kampung ramah anak berbasis rukun warga (RW). Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gagasan baru untuk pembangunan KLA skala perkotaan di Kota Yogyakarta.
7
1.5
Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan anak dan lingkungan keruangan (spatial
environment) terus berkembang di Indonesia. Saat ini sudah banyak penelitian terkait ruang bermain anak di skala lokal kampung kota seperti penelitian Pradipta (2005), Setiawan (2006), Prayarani (2006), Suhartini (2010), Agustina (2014), dan Lutfiani (2015). Sedangkan penelitian terkait lingkungan layak anak skala perkotaan masih terbatas antara lain Susanti (2008), Widiyanto (2012) dan Nurjanah (2013). Penelitian ruang bermain anak di kampung kota kebanyakan adalah jenis penelitian kualitatif seperti Pradipta (2005) menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi ruang-ruang terbuka bagi kegiatan bermain anak adalah (a) bentuk ruang, ukuran dan pelingkupnya, (b) ruang gerak terkait jenis dan pola aktivitas bermain, (c) akses untuk menuju ruang terbuka, (d) kenyamanan dengan pemberian rasa aman dan nyaman bagi anak-anak saat bermain. Lebih rinci digambarkan pada kawasan kampung kota di bantaran sungai Code, Yogyakarta oleh Setiawan (2006) bahwa anak-anak memiliki persepsi positif terhadap sungai sebagai elemen penting lingkungan perumahan mereka. Lebih lanjut dijabarkan oleh Lutfiani (2015) bahwa pada kawasan permukiman padat, ruang bermain anak dikelompokkan menjadi dua yaitu ruang bermain formal seperti lapangan dan tanah kosong dan ruang informal seperti jalan/gang. Arahan optimalisasi fasilitas untuk ruang bermain formal dan arahan pengaturan kegiatan berdasarkan waktu dan rambu untuk ruang informal sehingga kegiatan anak-anak dapat berjalan lancar ditengah keterbatasan ruang bermain di lingkungan penduduk yang padat (Suhartini, 2010). Sedangkan pada kawasan
8
kampung kota lainnya yang memiliki ciri khas peninggalan jejak-jejak sejarah seperti Kampung Tamansari ditemukan bahwa anak-anak memiliki adaptasi yang cukup baik terhadap lingkungannya. Adanya seting peninggalan arkeolog menjadikan pengalaman menarik bagi aktivitas bermain anak-anak (Prayarani, 2006). Senada dengan hal tersebut, untuk
kampung yang sudah memiliki
komitmen kuat seperti kampung ramah anak Golo menyatakan bahwa ruang bermain anak memanfaatkan ruang publik yang terdiri dari external public space (selokan dan ruas jalan) dan external and internal ‘quasi’ public space (halaman balai RW, halaman sekolah, lapangan, dan lahan kosong). Perilaku bermain anak tergantung dari luas ruang yang ada. Semakin luas ruang publik maka makin beragam jenis permainan yang dimainkan (Agustina, 2014). Berbeda halnya dengan skala lokal, penelitian terkait anak dengan lingkungannya dalam skala perkotaan di Indonesia masih jarang ditemukan. Berdasarkan penelusuran baru ditemukan penelitian oleh Susanti (2008) yang berfokus pada capaian tahap pengembangan Kota Layak Anak di Kabupaten Sidoarjo dalam hal sistem organisasi dan kebijakan pemerintah. Kemudian penelitian Widiyanto (2012) yang menemukan bahwa Lingkungan KLA di Yogyakarta terdiri dari empat konsep utama yaitu (1) kebijakan, dimana pemerintah telah menyusun peraturan untuk mendukung terciptanya atmosfir KLA dan memberikan sosialisasi sampai tingkat kecamatan; (2) perlindungan, berdasar hasil uji empiris perhatian orang tua belum mengarah sampai dengan proteksi yang berlebihan terhadap anak di Kota Yogyakarta; (3) lingkungan, anakanak memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang bebas dari polusi dan
9
berbagai pemenuhan hak dasar; dan terakhir (4) perencanaan bagi anak, pengalaman di Kota Yogyakarta menunjukkan sudah dijumpai fasilitas pendukung kegiatan anak seperti Zona Aman dan Selamat Sekolah. Terakhir, penelitian oleh Nurjanah (2014) yang menemukan unsur-unsur penyusun ruang terbuka publik yang layak untuk anak-anak dan remaja. Unsur ini meliputi: (1) keterikatan pada dimensi waktu efektif, (2) keterjangkauan, (3) keingin-tahuan terhadap ruang dan daya tarik ruang yang timbul dari kekhasan ruang baik dari segi historis maupun nilai fisik serta keberadaan sarana-sarana pendukung yang khas yang tidak ditemukan di ruang terbuka publik lainnya, (4) keamanan, (5) kenyamanan dalam beraktivitas dan berinteraksi, (6) kebebasan berinteraksi dan keleluasaan beraktivitas, dan (7) adanya rasa penerimaan karena anak-anak dan remaja. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka sampai saat ini, dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian terkait anak dan lingkungan keruangannya masih bersifat lokal dan parsial. Hasil-hasil penelitian tersebut belum menjelaskan secara komprehensif bagaimana lingkungan keruangan kota layak anak digunakan sebagai landasan dalam perencanaan KLA di kawasan perkotaan. Telah ada penelitian lingkungan kota layak anak dengan lokus skala kota yang dilakukan oleh Nurjanah (2013) yakni pada RTP alun-alun selatan. Secara khusus, penelitian ini akan memperkaya pengetahuan dan teori perencanaan kota, khususnya ruang terbuka publik dalam rangka menciptakan kota layak anak.
10